Anda di halaman 1dari 15

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Social Learning Theory


Dalam pendekatan social learning theory oleh (Bandura, 1971) menjeIaskan
bahwa interaksi pemimpin dalam mempengaruhi

kelompok dalam hal ini

bawahan dilakukan dengan pendekatan modeling atau pemberian contoh atau


panutan bagi bawahannya. Sangat penting bagi pemimpin untuk menjadi panutan
utama bagi bawahannya lewat peran penugasan, status dan kesuksesan dalam
organisasi, dan kekuatannya untuk mempengaruhi perilaku dan hasil dari
bawahannya.
Social learning theory oleh Bandura dibahas dalam (Thoha, 1983) yang
menjelaskan bahwa terdapat peran pemimpin termasuk perilakunya serta
lingkungan termasuk bawahan dan variabel makro lainnya yang saling
berinteraksi satu sama lain. Dalam teori ini bawahan ikut terlibat dalam proses
kegiatan organisasi dan bersama dengan pemimpin berfokus pada perilaku untuk
mencapai tujuan. Adanya interaksi ini memunculkan kemungkinan bagi pimpinan
dan bawahan untuk mendiskusikan setiap masalah yang muncul dan sikap apa
yang harus diambil untuk menyelesaikan masalah bersama. Selain itu pemimpin
berperan untuk mempengaruhi bawahannya lewat perilaku melalui interaksi
dengan situasi dan kelompok.

11

12

2.2 Kepemimpinan Etis


Kepemimpinan menurut (Yukl, 2005) berkaitan dengan proses yang
disengaja dari seseorang untuk menekankan pengaruh yang kuat terhadap orang
lain untuk membimbing, membuat struktur, memfasilitasi aktivitas dan hubungan
di dalam kelompok atau organisasi. Sedangkan etis merupakan kata sifat, yang
berasal dari kata etika. Etika adalah pedoman untuk menentukan suatu perilaku itu
baik atau buruk dan benar atau salah. Jika kedua pengertian ini disatukan, maka
kepemimpinan etis merupakan perilaku pemimpin untuk mempengaruhi
bawahannya agar berperilaku baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai yang dianut
dalam mencapai tujuan.
Adapun menurut (Trevino dan Brown, 2005) kepemimpinan etis adalah
peragaan perilaku normatif yang tepat melalui tindakan pribadi dan hubungan
interpersonal, dan promosi perilaku tersebut untuk pengikut melalui komunikasi
dua arah, penguatan, dan pengambilan keputusan. Penjelasan dari perilaku
normatif seperti jujur, dapat dipercaya, adil, dan peduli. Sehingga dapat menjadi
pemimpin yang dapat dicontoh dan dipercaya, selain itu juga harus sesuai dengan
nilai atau norma yang berlaku. Penjelasan dari promosi perilaku tersebut untuk
pengikut melalui komunikasi dua arah berarti pemimpin etis tidak hanya
memberikan perhatian pada etika dan membuatnya menjadi hal yang penting
untuk diperbincangkan dalam lingkungan sosial melainkan juga melibatkan
bawahan untuk memberikan tanggapan. Penguatan menjelaskan pemimpin etis
menetapkan standar, memberikan reward bagi mereka yang mematuhi dan
punishment bagi yang melanggar. Pengambilan keputusan merefleksikan bahwa

13

pemimpin etis mempertimbangkan konsekuensi etis dari keputusannya dan


membuat pilihan yang berdasar dan adil sehingga dapat diamati dan ditiru oleh
orang lain.
Selain itu dijelaskan dalam perspektif ilmu sosial bahwa perilaku etis
pemimpin dapat memberikan pengaruh bagi bawahannya untuk berperilaku etis
dengan memberikan contoh. Dalam memberikan contoh atau teladan ini maka
pemimpin harus dapat dilihat bawahannya sebagai seseorang yang atraktif,
kredibel, dan menjadi contoh yang benar dalam berperilaku dan dapat
menyampaikan perilaku etis dengan sangat jelas.
Seorang pemimpin etis memahami hubungan positif akan adanya hubungan
dengan keseluruhan stakeholder yang merupakan standar dalam keseluruhan
usaha yang dilakukan dalam organisasi. Kualitas hubungan yang baik membangun
kepedulian dan kepercayaan dengan stakeholder.

Pemimpin etis memiliki

karakteristik sebagai manusia bermoral (moral person) dan manajer bermoral


(moral manager). Moral person berarti pemimpin yang adil, pengambil keputusan
yang peduli pada orang lain maupun masyarakat luas, dan yang berperilaku etis
baik pada kehidupan pribadi maupun kehidupan profesional. Moral manager
berarti pemimpin menunjukkan usaha yang proaktif untuk mempengaruhi perilaku
etis bawahannya dengan mengkomunikasikan nilai dan etika, menjadi contoh
dalam berperilaku etis, dan mengaplikasikan sistem reward dan punishment dalam
melaksanakan pendekatan etika pada bawahan.

14

Pemimpin etis berfokus pada nilai moral dan keadilan dalam pengambilan
keputusan, mempertimbangkan dampak keputusan organisasi pada dunia luar dan
secara jelas mengkomunikasikan kepada bawahan bagaimana cara kerja yang
harus mereka lakukan dalam berkontribusi pada pencapaian tujuan organisasi.
Pemimpin etis selalu melakukan komunikasi dengan bawahannya, menetapkan
standar etika yang jelas dan menggunakan reward dan punishment untuk melihat
standar-standar tersebut telah diikuti. Dengan begitu pemimpin etis dapat
meningkatkan kinerja dalam organisasi dengan menunjukkan kualitas yang akan
mempengaruhi bawahan untuk bekerja keras.

2.3 Kinerja Individual


Kinerja merupakan evaluasi terhadap pekerjaan melalui pemimpin baik
secara langsung, lewat rekan kerja, diri sendiri, dan juga bawahan langsung.
Dalam penilaian kinerja, sesuatu itu dinilai berdasarkan pencapaian tingkat
ketercapaian tujuan atau target dengan mengidentifikasi dan melakukan analisis
aktivitas kerja yang dilakukan seseorang. Dalam (Campbell, 1990) kinerja
individual didefinisikan sebagai perilaku atau aksi yang relevan terhadap tujuan
organisasi.
Kinerja individual memiliki fokus pada perilaku atau aksi dari pegawai
dibandingkan dengan hasil yang dicapai. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
(Koopmans dkk., 2011) kinerja individual memiliki tiga dimensi :

15

1) Task performance, merupakan keahlian dari pegawai untuk melaksanakan tugas


mendasar yang harus dipenuhi dalam pekerjaannya (Campbell, 1990).
2) Contextual peformance, merupakan suatu perilaku pegawai yang mendukung
organisasi, sosial, dan psikologis lingkungan untuk dapat melaksanakan dan
mencapai tujuan organisasi (Borman dan Motowidlo, 1993).
3) Counterproductive work behavior, merupakan perilaku yang dapat merugikan dan
menghalangi keberhasilan organisasi (Rotundo dan Sackett, 2002).

2.4 Goal Congruence


Goal congruence digunakan untuk menciptakan keefektifan sistem
pengendalian dalam organisasi sehingga semakin meningkatlah ketercapaian
tujuan organisasi. Congruence didefinisikan oleh Satir dalam Lee (2001) dalam
tiga perkembangan jaman, pada tahun 1950-an congruence berarti adanya
kesadaran, pengakuan, dan penerimaan akan rasa dan ekspresi dengan cara yang
non reaktif; pada tahun 1960-an congruence didefinisikan sebagai keutuhan dan
keterpusatan batin yang sesuai dengan diri, sedangkan pada tahun 1980-an
congruence

didefinisikan

sebagai

keselarasan

dalam

kaitannya

dengan

spiritualitas dan universalitas dalam hubungannya dengan kekuatan kehidupan


bersama yang menciptakan, mendukung, dan mempromosikan perkembangan
hidup manusia dan alam lainnya.
Menurut Anthony dan Govindarajan dalam Kronberg dan Maria (2012),
goal congruence merupakan suatu sistem pengendalian yang mempengaruhi
individu dalam berperilaku agar perilaku yang dilakukan individu konsisten

16

dengan apa yang menjadi tujuan organisasi. Jadi dengan begitu terdapat kesamaan
tujuan individu dengan tujuan organisasi yang berdampak pada keefektifan
organisasi dalam mencapai tujuan.

2.5 Psychological Capital


Psychological capital merupakan keadaan dimana individu memiliki
keadaan psikologi yang positif yang memiliki empat aspek sebagai berikut
1) Memiliki keyakinan (self-efficacy) untuk mengambil keputusan dan
berupaya agar berhasil menjalankan tugas yang menantang
sekalipun.
2) Optimis akan keberhasilan masa sekarang maupun masa depan.
3) Memiliki harapan dan tekun dalam mencapai tujuan dan bila
diperlukan mengarahkan segala usaha dan kegiatan untuk mencapai
keberhasilan dalam mencapai tujuan. Hal ini dilakukan dengan
memotivasi diri terus menerus dan berkomitmen untuk dapat
mencapai tujuan dengan berbagai macam cara yang mungkin dapat
diusahakan.
4) Memiliki ketahanan untuk menghadapi setiap masalah baik itu
keterpurukan, ketidakpastian, konflik, kegagalan, dan kesulitan
untuk mencapai keberhasilan. Serta dapat menerima perubahan
positif, kemajuan,dan peningkatan tanggungjawab Luthans dkk
dalam Larson dkk (2013).

17

2.6 Pengembangan Hipotesis


2.6.1 Goal Congruence Memediasi Hubungan Kepemimpinan Etis
terhadap Kinerja Individual
Dalam

social

learning

theory

dijelaskan

bahwa

pemimpin

mempengaruhi persepsi bawahan dengan menggunakan pendekatan


modeling. Dalam proses ini pemimpin harus menjadi contoh atau model
utama bagi bawahannya bawahannya lewat peran penugasan, status dan
kesuksesan dalam organisasi, dan kekuatannya untuk mempengaruhi
perilaku dan hasil dari bawahannya. Bawahan menerima arahan dari
pemimpin mengenai hal apa saja yang harus dicapai dan mendapat
penjelasan mengenai bagaimana cara mencapainya dengan jelas oleh
pemimpin, dengan begitu maka pemimpin dan bawahan dapat mencapai
tujuan organisasi bersama-sama.
Social learning theory menjelaskan konsep kepemimpinan etis yang
secara proaktif mempengaruhi perilaku etis bawahannya lewat modeling
dengan mengkomunikasikan nilai dan etika dalam organisasi dan menjadi
panutan bagi bawahannya dalam penerapan nilai dan etika. Adapun
pemimpin etis merupakan peragaan perilaku yang normatif yang jujur, dapat
dipercaya, dan peduli. Sehingga dengan panutan pemimpin etis dan adanya
upaya yang proaktif untuk menyampaikan nilai dan visi organisasi dapat
membuat bawahan dengan jelas mengerti dan memahami perannya dalam
pencapaian tujuan organisasi. Ketika hal ini terjadi, maka

terjadilah

18

kesatuan dan keselarasan tujuan antara pimpinan dan bawahan untuk


mencapai kinerja yang diharapkan. Hal ini akan berakibat pada perilaku
setiap individu mengenai bagaimana caranya agar tujuan ini dapat tercapai.
Sehingga hal ini akan berpengaruh pada makin tingginya kinerja individual
dalam organisasi sesuai dengan peran dan tanggungjawab tiap individu.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa goal congruence dapat
menjelaskan hubungan antara kepemimpinan etis dengan kinerja individual
(Bouckenooghe, dkk., 2015).
Ha1: Goal congruence memediasi hubungan antara kepemimpinan etis
dengan kinerja individual
2.6.2 Psychological Capital Memediasi Hubungan Kepemimpinan Etis
terhadap Kinerja Individual
Pemimpin etis memiliki beberapa karakteristik seperti berperan
sebagai panutan bagi bawahannya, dapat menjelaskan visi dan misi untuk
mempengaruhi bawahan, mengkomunikasikan harapan pimpinan akan
kinerja, memotivasi bawahannya, dan juga peduli pada bawahannya.
Karakteristik kepemimpinan etis ini mendukung secara penuh bawahannya
untuk dapat mencapai tujuan organisasi lewat tindakan yang proaktif. Hal
ini sejalan dengan social learning theory yang berupaya mempengaruhi
bawahannya melalui pendekatan modeling dengan menumbuhkan motivasi
pada bawahan, yang secara tidak

langsung mempengaruhi motivasi

internal individu sebagai bawahan seperti empat aspek yang terkandung


dalam psychological capital. Psychological capital memiliki empat aspek

19

penting yaitu kepercayaan diri atau self-efficaccy , optimisme, memiliki


harapan,

dan

ketahanan.

Ketika

pimpinan

memberikan

suatu

tanggungjawab kepada bawahannya maka pimpinan percaya bahwa


bawahan tersebut dapat melaksanakan tugas yang diberikan sesuai dengan
kemampuannya, karena pemimpin mengetahui kemampuan bawahannya.
Dengan adanya motivasi yang diberikan, maka bawahan akan termotivasi
juga untuk dapat menyelesaikan tugasnya dengan penuh percaya diri dan
optimis. Hal ini akan berdampak pada kepercayaan bawahan akan adanya
harapan bahwa akan ada keberhasilan yang dicapai baik untuk masa
sekarang maupun masa depan. Sehingga apapun kendala yang harus
dihadapi maka dapat dilalui sehingga dapat mencapai tujuan.
Aspek harapan pada psychological capital yang selalu meyakini akan
adanya keberhasilan dalam melaksanakan tugas tujuan memberikan
motivasi dalam mencapai tujuan. Hal ini akan mempengaruhi peningkatan
kinerja individual baik dalam berpikir dan bertindak. Aspek optimisme
berhubungan dengan adanya pendekatan yang positif bagi individu dalam
menyelesaikan tugasnya baik untuk tugas yang sedang terjadi saat ini
maupun tugas di masa mendatang. Aspek kepercayaan diri yang dimiliki
individu menjadi sumber internal yang berguna dalam pemenuhan
kesuksesan tugas yang diterima, sehingga hal

ini akan mendukung

tercapainya kinerja individu yang diharapkan. Terakhir aspek ketahanan


berhubungan dengan kekuatan dalam menghadapi berbagai kendala dan
kesulitan yang mungkin terjadi dalam usahanya mencapai tujuan.
Sehingga apapun yang terjadi pasti bawahan dapat menghadapi masalah

20

dan mendapatkan hasil berupa kinerja yang baik. Dari keseluruhan aspek
psychological capital yang dijabarkan, jika individu memiliki keempat
aspek psychological capital ini, maka dapat meningkatkan kinerja
individual mereka. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan
(Bouckenooghe, dkk., 2015) yang menemukan adanya hubungan positif
antara kepemimpinan etis

dengan kinerja yang dijelaskan oleh

psychological capital.
Ha2: Psychological capital memediasi hubungan antara kepemimpinan etis
dengan kinerja individual

2.7 Kerangka Pikir


Pemimpin tidak dapat bertindak secara etis dalam menjalankan tugasnya seperti yang
dilakukan oleh Direktur Utama PDAM Tirta Moedal Kota Semarang periode 2011-2013.
(Indenpers Media, 28 September 2012). Kejadian ini disinggung oleh Plt Walikota dengan
mengatakan untuk memberikan teguran kepada direktur PDAM yang tidak menghadiri rapat
oleh Plt Sekda (Krjogja.com, 4 Desember 2012)
Hubungan antara
kepemimpinan etis dan kinerja
Kepemimpinan
etis
sebagai
ini dapat dijelaskan
Dibutuhkan kepemimpinan etis untukindividual
dapat mempengaruhi
dan mengarahkan bawahan untuk
peragaan perilaku mencapai
normatif kinerja yangdengan
menganalisis
diharapkan (Sutherland, 2010).
yang tepat melalui tindakan
hubungan mediasi goal
Kinerja
pribadi dan hubungan
congruence (keselarasan
Bawahan(individual
interpersonal, dan promosi
tujuan antara pimpinan dan
Penilaian kinerja PDAM Tirta Moedal Kota Semarang kurang efektif mempengaruhi
) merupakan
perilaku tersebut untuk
bawahan)dan psychological
pemberhentian jabatan direktur sebelum waktunya(Edi Faisol, 8 Januari 2013).
perilaku atau aksi
pengikut melalui komunikasi
capital (empat aspek motivasi
pegawai yang
dua arah,
penguatan,
danmenemukan
internal
(Gloria
Washington,
2010)
bahwa:harapan,
perilaku ketahanan,
tidak etis pemimpindari
berpengaruh
pada
relevan
terhadap
pengambilan
keputusan.
selfindustri
efficacy,
dan optimisme)
rendahnya
produktivitas
pegawai dalam
bisnis.
pencapaian tujuan
(Brown, Trevino & Harrison,
diantaranya
organisasi.
2005)
(Bouckenooghe,2015).
(Koopmans dkk.,
(Shukurat, 2012) menyimpulkan bahwa pemimpin etis akan menghasilkan hal positif
2011)seperti
kepercayaan dan komitmen pada stakeholder, sehingga menjamin kinerja jangka panjang

21

2.8 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel


2.8.1 Variabel Independen : Kepemimpinan Etis
Kepemimpinan etis merupakan persepsi pegawai PDAM tentang
karakterisktik kepemimpinan etis yang terdiri dari
1. Moral person yang berarti pemimpin yang adil, pengambil
keputusan yang peduli pada orang lain maupun masyarakat
luas, dan berperilaku etis baik pada kehidupan pribadi maupun
kehidupan profesional. Item pernyataan diwakili dengan
nomor 1-7.

22

2.

Moral manager yang berarti pemimpin menunjukkan usaha


yang proaktif untuk mempengaruhi perilaku etis bawahannya
dengan mengkomunikasikan nilai dan etika, menjadi contoh
dalam berperilaku etis, dan mengaplikasikan sistem reward
dan punishment dalam melaksanakan pendekatan etika pada
bawahan. Diwakili dengan pernyataan nomor 8-10.

Dalam penelitian ini variabel diukur dengan menggunakan ELS


(Ethical Leadership Questionaire) yang dikembangkan oleh (Trevino,
Brown & Harrison, 2005) yang terdiri dari 10 pernyataan dengan skala
likert: 1 (sangat tidak setuju), 2 (tidak setuju), 3 (netral), 4 (setuju), dan 5
(sangat setuju).
Interpretasi dari pengukuran ini adalah semakin tinggi skor yang
didapat dari tiap pernyataan yang diberikan, maka semakin tinggi pula
persepsi pegawai PDAM akan karakteristik kepemimpinan etis yang terdiri
dari moral person dan moral manager.
2.8.2 Variabel Dependen : Kinerja Individual
Kinerja individual merupakan persepsi pegawai PDAM tentang
perilakunya sebagai pegawai yang relevan terhadap tujuan organisasi.
Dalam penelitian ini pengukuran variabel diukur dengan menggunakan
individual work performance questionnaire (Koopmans dkk., 2014) dengan
27 instrumen yang terdiri dari tiga dimensi kinerja individual:

23

1. Task performance yang diwakili dengan item pernyataan nomor 1-7


yang menyatakan keahlian pegawai dalam melaksanakan tugas
mendasar yang harus dipenuhi dalam pekerjaannya.
2. Contextual performance diwakili dengan item pernyataan nomor 819 yang menyatakan perilaku pegawai yang mendukung organisasi,
sosial, dan psikologis lingkungan untuk dapat melaksanakan dan
mencapai tujuan organisasi.
3. Counterproductive work behavior diwakili dengan item pernyataan
nomor 20-27 yang menyatakan perilaku pegawai yang dapat
merugikan dan menghalangi keberhasilan organisasi.
Penilaian tiap pernyataan menggunakan skala likert: 1 (sangat tidak setuju),
2 (tidak setuju), 3 (netral), 4 (setuju), dan 5 (sangat setuju). Keseluruhan
pengukuran item dari counterproductive work behavior direcording.
Interpretasi dari pengukuran semakin tinggi skor yang didapat, maka
semakin relevan perilaku pegawai PDAM dengan tujuan organisasi.
2.8.3 Variabel Mediasi : Goal Congruence
Goal congruence merupakan persepsi pegawai PDAM tentang
keselarasan tujuan dan nilai antara pegawai PDAM dengan pemimpinnya.
Dalam penelitian ini variabel diukur dengan menggunakan kuesioner
berisi empat pernyataan yang dikembangkan oleh (Clercq, 2014). Adapun
skala yang digunakan merupakan skala likert: 1 (sangat tidak setuju), 2
(tidak setuju), 3 (netral), 4 (setuju), dan 5 (sangat setuju).

24

Interpretasi dari pengukuran ini adalah semakin tinggi skor yang


didapat maka semakin tinggi pula persepsi pegawai PDAM akan
keselarasan tujuan dan nilai antara pegawai PDAM dengan pemimpinnya.

2.8.4 Variabel Mediasi : Psychological Capital


Psychological capital merupakan persepsi pegawai PDAM tentang
keadaan psikologi positif dari pegawai yang memiliki empat aspek (selfefficacy, optimisme, harapan, dan ketahanan).
Dalam penelitian ini variabel diukur dengan menggunakan PCQ
(Psychological Capital Questionnaire) oleh (Luthans, dkk., 2007) yang
dikembangkan oleh (Sapyaprapa, dkk., 2013) dalam usahanya untuk
menyesuaikan pemakaian kuesioner di wilayah Asia. Kuesioner terdiri dari
24 pernyataan yang mewakili
1. Keyakinan (self-efficacy) untuk mengambil keputusan dan
berupaya agar berhasil menjalankan tugas dengan item
pernyataan nomor 1-6.
2. Optimis akan keberhasilan masa sekarang maupun masa depan
dengan item pernyataan nomor 7-12. Untuk penilaian item
pernyataan nomor 12 direcording.
3. Memiliki harapan dan tekun dalam mencapai tujuan dan bila
diperlukan mengarahkan segala usaha dan kegiatan untuk
mencapai keberhasilan dalam mencapai tujuan dengan item
pernyataan nomor 13-18.

25

4. Memiliki ketahanan untuk menghadapi setiap masalah baik itu


keterpurukan, ketidakpastian, konflik, kegagalan, dan kesulitan
untuk mencapai keberhasilan dengan item pernyatvan nomor
19-24.
Penilaian menggunakan skala likert: 1 (sangat tidak setuju), 2 (tidak setuju),
3 (netral), 4 (setuju), dan 5 (sangat setuju).
Semakin tinggi skor yang didapat, maka semakin tinggi persepsi
individu (pegawai PDAM) memiliki keadaan psikologi yang positif yang
memiliki empat aspek (self-efficacy, optimisme, harapan, dan ketahanan).

Anda mungkin juga menyukai