Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH ASPEK HUKUM PAJAK DALAM EKONOMI

MAKALAH
ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
ASPEK PAJAK DALAM EKONOMI

DOSEN PENGAMPU:
RUSYDI, S.H., M.H.
NAMA MAHASISWA:
KISWANDI (09410633)

JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI


UNIVERSITAS ISLAM DARUL ULUM (UNISDA) LAMONGAN
2012

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Seru Sekalian alam yang telah melimpah
kan rahmat dan hidayah Nya kepada kita semua termasuk upaya penyelesaian
penyusunan makalah ASPEK PAJAK DALAM BISNIS ini.Selanjutnya shalawat dan salam
semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW.
Makalah ini akan membahas tentang macam-macam pajak yang ada dalam bidang
bisnis yang sesuai dengan peraturan undang-undang perpajakan yang berlaku serta hal-hal
yang berkaitan dengannya.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk melaksanakan tugas mata kuliah
ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI dan juga untuk mempermudah proses kegiatan
perkuliahan bagi kita semua.Dimana dengan adanya tugas pembuatan makalah diharapkan

dapat meningkatkan keterampilan dan kreatifitas bagi mahasiswa dalam kegiatan akademik
di kampus .
Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan
baik yang kami sengaja maupun tidak kami sengaja.Untuk itu,kritik dan saran dari semua
pihak sangat kami harapkan guna penyempurnaan dalam pembuatan makalah berikutnya.
Demikian semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dalam menapaki
keberhasilan dan kesuksesan di masa depan.Amiin Ya Robbal alamin!
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Lamongan, Januari 2012
Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................................... 1


Kata Pengantar .................................................................................................................. 2
Daftar Isi ............................................................................................................................. 3
BAB I

: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan....................................................................................... 5
D. Manfaat Penulisan..................................................................................... 5
BAB II
A.

: PEMBAHASAN
Jenis-jenis pajak dalam dunia bisnis ......................................................... 6

1. Pajak Penghasilan...................................................................................6
2. Pajak Pertambahan Nilai.........................................................................10
3. Pajak Bumi dan Bangunan......................................................................12
4. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan......................................15
5. Pajak atas Bea Materai...........................................................................15
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................16
B. Saran... 16

Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Rasanya dunia bisnis tidak bisa dilepaskan dari aspek perpajakan.Pajak dan bisnis
dikatakan sebagai satu mata uang dengan dua sisi yang saling berkaitan satu sama
lain.Berkembang tidaknya dunia bisnis tentu akan dipengaruhi oleh aspek perpajakan yang
berlaku.Begitupun dengan penerimaan pajak, akan berhasil bila dunia bisnis berkembang
dengan baik.
Apalagi saat ini pemerintah terus berusaha meningkatakan penerimaan negara dari
sektor pajak. Sebab pada masa mendatang penerimaan dari sektor pajak akan menjadi
primadona dalam mengisi kas APBN, setelah penerimaan dari sektor minyak dan gas bumi
tidak dapat diharapkan lagi, karena harganya sangat anjlok. Salah satu cara untuk
meningkatkan penerimaan pajak ini tentunya berkaitan erat dengan berkembang tidaknya
dunia usaha. Bila dunia usaha berkembang, maka penerimaan pajak bisa dipastikan akan
meningkat. Sebaliknya bila dunia bisnis tidak berkembang, maka penerimaan pajak juga
sulit diharapkan akan meningkat.
Setelah berlakunya undang-undang perpajakan sejak tahun 1983, terdapat
bermacam-macam pajak yang berlaku dalam dunia bisnis. Oleh karenanya dalam
penyusunan makalah ini akan diuraikan aspek pajak yang berkaitan erat dengan dunia
bisnis.
B.Rumusan Masalah
Agar memudahkan kita dalam memahami materi tentang aspek pajak dalam bisnis
atau ekonomi, makalah ini akan membahas tentang hal-hal pokok dalam materi tersebut
.Adapun rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini antara lain :
1. Pajak-pajak apa saja yang dikenakan dalam dunia bisnis.
2. Pengertian dan dasar hukum dari jenis-jenis pajak.
3. Permasalahan apa saja yang timbul dari praktek perpajakan dalam kehidupan sehari-hari.
C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penulisan dan
pembahasan makalah ini adalah :
1. Memahami tentang jenis-jenis pajak yang berkaitan dengan dunia bisnis/ekonomi.
2. Mampu menjelaskan pengertian dan dasar hukum dari pajak-pajak yang dikenakan dalam
bisnis.
3. Mampu memecahkan masalah-masalah yang menyangkut perpajakan dalam dunia bisnis
sehari-hari.
D.Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapkan akan diperoleh dari penulisan dan pembahasan makalah ini
nantinya antara lain :
1. Kita dapat mengetahui jenis-jenis pajak yang berkaitan dengan dunia bisnis.
2. Kita dapat mengerti definisi dari pajak-pajak dalam dunia bisnis serta dasr hukum yang
meliputinya.
3. Kita mampu memecahkan permasalahan yang sering timbul dalam praktek perpajakan
dalam kehidupan sehari-hari.

BAB II
PEMBAHASAN
A. JENIS-JENIS PAJAK DALAM DUNIA BISNIS
Setelah berlakunya undang-undang perpajakan sejak tahun 1983, terdapat
bermacam-macam pajak yang berlaku dalam dunia bisnis,Adapun pajak-pajak yang
dikenakan dalam kegiatan bisnis di Indonesia antara lain :
1. Pajak Penghasilan (PPh)
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
3. Pajak Bumi dan Bangunan(PBB)
4. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
5. Pajak atas Bea Materai

1. Pajak Penghasilan
Definisi pajak penghasilan menurut UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 10 Tahun 1994 adalah pajak yang dikenakan pada setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh seseorang atau suatu badan atau
Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan
dengan nama dan dalam bentuk apapun.Pengertian penghasilan yang dianut UndangUndang Pajak Penghasilan adalah pengertian ekonomis, yakni setiap tambahan
kemampuan

ekonomi

yang

diterima atau diperoleh

oleh

seseorang

atau

suatu

badan.Dengan demikian pengertian penghasilan dipandang dari segi mengalirnya tambahan


kemampuan ekonomi kepada Wajib Pajak, dapat diklasifikasikan mejadi 4 (empat) macam,
yaitu :
a. Penghasilan dari pekerjaan, baik dalam hubungan kerja maupun atas pekerjaan
bebas.Penghasilan dari hubungan kerja demikian misalnya penghasilan yang diterima
subjek pajak karena bekerja pada pemberi kerja, seperti karyawan suatu perusahaan, guru
suatu sekolah, dan sebagainya.Sedangkan penghasilan atas pekerjaan bebas yaitu
penghasilan yang diterima subjek pajak karena menjalankan usaha yang bebas yang tidak
berkaitan pada pemberi kerja tertentu tetapi pekerjaan karena profesinya, seperti pekerjaan
bebas seorang akuntan public, pekerjaan seorang dokter , pengacara, dan sebagainya.
b. Penghasilan dari kegiatan usaha, yakni kegiatan melalui sarana perusahaan, misalnya laba
atau Sisa Hasil Usaha (SHU), baik dari usaha perseorangan, perseroan, maupun koperasi.
c. Penghasilan dari modal yaitu penghasilan dari harta gerak, harta tidak bergerak, dan harta
yang dikerjakan sendiri. Misalnya bunga dari deposito, tabungan, atau surat-surat berharga
lainnya, serta penghasilan berupa pembagian laba suatu perusahaan baik berupa dividen
maupun bentuk lainnya.
d. Penghasilan lain-lain, misalnya bisa berupa hadiah undian (menang lotre), penghasilan
karena pembebasan utang, dan penghasilanl lainnya.

Sekalipun penghasilan yang akan dikenakan adalah setiap tambahan kemampuan


ekonomis, tetapi tetap ada hal-hal yang sebenarnya merupakan tambahan kemampuan

ekonomis yang tidak diperlakukan sebagai objek pajak.Menurut Pasal 4 Ayat (3) UU No. 10
Tahun 1994, pengecualian sebagai objek pajak adalah sebagai berikut :
a. Bantuan atau sumbangan, harta hibahan yang diterima keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan oleh badan keagamaan atau badan social atau pengusaha
kecil termasuk koperasi, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,
pemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
b. Warisan
c. Harta termasuk setoran yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyetoran modal.
d. Pengganti atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah.
e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwi guna, dan asuransi bea siswa.
f. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri.
g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan.
h. Bagian laba yang diperoleh atau diterima oleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi.
i. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana.
j. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba
dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di
Indonesia.

Pajak penghasilan juga dapat dibedakan berdasarkan pasal-pasalnya, antara lain :


1) PPh Pasal 21
2) PPh Pasal 22
3) PPh Pasal 23
4) PPh Pasal 24
5) PPh Pasal 25
6) PPh Pasal 26

1. PPh Pasal 21
PPh Pasal 21 merupakan pengenaan pajak terhadap penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari pekerjaan dalam hubungan kerja (karyawan, karyawati, pegawai), dan
pekerjaan bebas (dokter, pengacara, akuntan) atau dengan kata lain dikenakan terhadap
gaji, upah, honorarium, tunjangan, atau pembayaran lainnya.
2. PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 mengatur tentang pengenaan dan pemungutan pajak terhadap penghasilan
dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain yang memperoleh
pembayaran untuk barang dan/atau jasa dari APBN atau APBD.
3. PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 mengatur tentang pengenaan dan pemungutan pajak atas penghasilan modal
yang diperoleh atau diterima Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak .Objek atau
penghasilan dari modal tersebut dapat berupa : dividen, bunga, termasuk premium,
diskonto,dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalti, hadiah, dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, dan imbalan sehubungan dengan
jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain.
4. PPh Pasal 24
PPh Pasal 24 merupakan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan
dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri, yang bisa
dikreditkan (diperhitungkan kemudian).

5. PPh Pasal 25
PPh Pasal 25 merupakan pajak penghasilan yang terutang berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan dan dalam melakukan pelunasan pembayaran pajaknya, maka
Wajib Pajak diperbolehkan mengangsurnya.
6. PPh Pasal 26

PPh Pasal 26 mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang dibayarkan atau
yang terutang dengan nama dan dalam bentuk apapun oleh badan pemerintah, BUMN,
BUMD atau Wajib Pajak dalam negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri.
2. Pajak Pertambahan Nilai
Jenis pajak kedua yang sering menjadi masalah dalam dunia bisnis adalah masalah
Pajak Pertambahan Nilai (PPN), seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 yang mulai berlaku tanggal 1 Juli 1984 dan terakhir diubah dengan UU No. 18
Tahun 2000. Pengertian dari Pajak Pertambahan Nilai adalah golongan pajak yang
dikenakan atas konsumsi suatu barang ataupun jasa tertentu di daerah pabean
Indonesia.Dengan demikian apabila suatu barang diproduksi di daerah pabean Indonesia
tetapi tidak dikonsumsi di Indonesia atau dilakukan ekspor , maka atas ekspor barang
tersebut terkena tarif sebesar 0% (nol persen).
Dari pengertian di atas jelas bahwa ada 6 (enam) kegiatan yang dapat dikenakan PPN,
yaitu berupa :
1. Penyerahan BKP di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Penyerahan
barang ini harus memenuhi syarat :
-

Barangnya merupakan barang kena pajak

Penyerahan dilakukan di daerah pabean

Penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan pengusaha yang


bersangkutan.

2. Impor BKP.Artinya siapa pun yang memasukkan BKP ke dalam daerah pabean
tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya
atau tidak, tetap dikenakan pajak.
3. Penyerahan JKP di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Penyerahan
jasa ini harus memenuhi syarat :
-

Jasa yang diserahkan merupakan barang kena pajak

Penyerahan dilakukan di daerah pabean

Penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan pengusaha yang


bersangkutan.

4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
5. Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

6. Ekspor BKP oleh pengusaha kena pajak.

Rupanya tidak semua barang dan jasa dikenakan PPN. Menurut PP No. 144 Tahun 2000
terdapat barang-barang tertentu dan jasa-jasa tertentu yang tidak dikenakan PPN. Untuk
barang yang tidak dikenakan PPN, ada 4 (empat) jenis, yaitu sebagai berikut :
1. Barang hasil pertambangan, atau hasil pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya,
yaitu minyak mentah (crude oil), gas bumi, panas bumi, pasir dan kerikil, batu bara sebelum
diproses menjadi briket batu bara dan bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih
nikel, dan bijih perak serta bijih bauksit.
2. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, meliputi :
beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam baik yang berjudium maupun yang tidak.
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan
sejenisnya.
4. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.

Sedangkan untuk jasa yang tidak dikenakan PPN, ada 12 jenis yaitu :
1. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medic
2. Jasa di bidang pelayanan social
3. Jasa di bidang pengiriman surat
4. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi
5. Jasa di bidang keagamaan
6. Jasa di bidang pendidikan
7. Jasa di bidang kesenian
8. Jasa di bidang penyiaran
9. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan laut
10. Jasa di bidang tenaga kerja
11. Jasa di bidang perhotelan
12. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara
umum

Tarif PPN secara umum adalah sebesar 10 %, sedangkan tariff PPN atas ekspor BKP
adalah 0% karena PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang di dalam
negeri, maka barang yang diekspor atau dikonsumsi di luar negeri tidak dikenakan PPN
.Oleh karenanya tariff PPN untuk barang yang di ekspor adalah 0%. Di dalam UU PPN
ditentukan adanya tariff minimum dan tariff maksimum yang akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah, yaitu serendah-rendahnya 5% dan setinggi-tingginya 15%. Namun demikian
tariffnya tidak boleh meninggalkan prinsip tariff tunggal. Artinya harus diberlakukan tariff
yang sama untuk semua penyerahan BKP dan JKP . Sedangkan tariff untuk PPn BM telah
ditentukan yaitu serendah-rendahnya 10 % dan setinggi-tingginya 50 %.
3. Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan adalah salah satu jenis pajak yang dikenakan terhadap objek
berupa bumi dan /atau bangunan. Oleh karena jenis pajak ini mengenakan pajak terhadap
bumi dan bangunan, maka kalangan dunia usaha atau bisnis juga seringkali memantau
ketentuan-ketentuan yang mengaturnya, agar mereka juga dapat mengantisipasi dalam
rangka kegiatan bisnis sehari-hari. Dunia bisnis yang sering kali mengantisipasi masalah ini
adalah bisnis di bidang property serta bisnis yang berkaitan dengan masalah tanah dan
bangunan lainnnya.
Untuk itu beberapa termonologi yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 1994 tentang PBB
perlu dikemukakan, sebagai berikut :
-

Bumi : permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya .Pengertian permukaan bumi
meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia.

Bangunan : konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah
dan/atau perairan. Termasuk dalam pengertian bangunan adalah: jalan lingkungan yang
terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, dan
lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut, jalan TOL,
kolam renang, pagar mewah, tempat olah raga, galangan kapal, dermaga, taman mewah,
tempat penampungan,/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak, fasilitas lain yang
memberikan manfaat.

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP):harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang
terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli. Nilai Jual Objek Pajak

ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan
baru, atau nilai jual objek pajak pengganti.

Seperti diketahui bahwa PBB tergolong pada jenis pajak obyektif yang bersifat
kebendaan, yang dapat diartikan bahwa pengenaannya tidak memandang kepada
kemampuan atau daya pikul subjeknya (sebagai wajib pajak) tetapi didasarkan pada wujud
benda yang menjadi objek PBB. Namun demikian UU PBB tetap memberikan suatu fasilitas
khusus berupa pengurangan pajak yang terutang seperti disebutkan dalam pasal 19 karena
2 (dua hal), yaitu :
a. Karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan sebabsebab tertentu lainnya, yang dapat berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, bangunan
yang ditempati sendiri yang dikuasai atau dimiliki oleh golongan wajib pajak tertentu, lahan
yang nilai jualnya meningkat sebagai akibat perubahan lingkungan dan dampak positif
pembangunan serta yang pemanfaatannya belum sesuai dengan peruntukan lingkungan
b. Dalam hal objek PBB terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa. Misalnya
seperti gempa bumi, banjir , longsor, kebakaran, kekeringan, wabah penyakit tanaman, dan
hama tanaman.
Yang menjadi subjek pajak dalam PBB adalah badan atau perseorangan yang
mempunyai hak atas bumi baik memiliki, menguasai, maupun memanfaatkan bumi dan/atau
bangunan.
Pada dasarnya dalam Pajak Bumi dan Bangunan tidak mengenal pengecualian terhadap
subjek pajak, oleh karena PBB merupakan pajak yang objektif atau termasuk pajak
kebendaan, pengecualian hnaya pada objek saja.
Objek-objek pajak yang tidak dikenakan PBB antara lain :
a. Yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, social,
kesehatan, pendidikan, kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh
keuntungan.
b. Yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu.
c. Yang merupakan hutang lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.

d. Yang digunakan oleh perwakilan diplomatic, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbale
balik
e. Yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan.
4. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah salah satu jenis pajak
yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dapat berupa
tanah (termasuk tanaman di atasnya ), tanah dan bangunan, atau bangunan, yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 197 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000.
1. Pemindahan hak
2. Pemberian hak baru
Pemindahan hak terjadi karena adanya : jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat,
waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hokum lainnya, pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim
yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha,
pemekaran usaha dan hadiah.Sedangkan pemberian hak baru terjadi karena :kelanjutan
pelepasan hak, dan di luar pelepasan hak.
Kalangan dunia bisnis tentu saja perlu memperhatikan ketentuan tersebut apalagi asset
(kekayaan) suatu perusahaan ditentukan juga dari sisi legal atas keberadaan asset tersebut
yang dari waktu ke waktu nilainya terus bergerak naik. Pajak yang dikenakan atas perolehan
hak atas tanah dan bangunan tentunya akan menjadi beban(biaya) tersendiri sebagai
bagian dari aktivitas bisnis atau usaha yang dijalankannya sehari-hari.
5. Pajak atas Bea Materai
Satu lagi jenis pajak yang tidak bisa dilepaskan dari dunia bisnis adalah jenis Pajak Bea
Materai. Kita ketahui bahwa dunia bisnis juga berarti terjadinya transaksi-transaksi para
pengusaha, dimana dari transaksi tersebut pasti akan menggunakan dokumen yang
berdasarkan UU No. 13 Tahun 1985 akan terkena bea materai.
Dokumen menurut UU Bea Materai adalah kertas yang berisikan tulisan yang
mengandung arti dan maksud tentang suatu perbuatan , keadaan atau kenyataan bagi
seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan.

Menurut UU Bea Materai, dokumen-dokumen yang akan dikenakan bea materai, adalah :
1. Dokumen yang disebutkan dalam undang-undang ialah seperti :
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai
alat pembuktian mengenai perbuatan,kenyataan atua keadaan yang bersifat perdata.Suratsurat lainnya yang dimaksud antara lain :surat kuasa, surat hibah, surat pernyataan.
b. Akta-akta notaries termasuk salinannya.
c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya.
d. Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah), yaitu yang
menyebutkan penerimaan uang, yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan
uang dalam rekening di bank, yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank, dan yang
berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau
diperhitungkan.
e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek yang berharga nominalnya lebih dari
Rp 1.000.000,-(satu juta rupiah).
f.

Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp
1.000.000,- ( satu juta ).

2. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan, seperti :
a. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan.
b. Surat-surat yang semula tidak dikenakan bea materai berdasarkan tujuannnya, jika
digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula.
Misalnya: surat keterangan dokter, laporan taksiran, berita acara pemeriksaan , keterangan
hak warisan, dan lain-lain.
Dengan dikeluarkannya PP Nomor 7 Tahun 1995, besarnya tariff bea materai untuk
dokumen-dokumen yang dimaksud pada angka 1 dan angka 2 di atas ditetapkan sebesar
Rp 2.000,- (dua ribu rupiah).Sedangkan terhadap dokumen sebagaimana dimaksud pada
angka1 huruf d, e, dan f yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 250.000,-(dua ratus
lima puluh ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dikenakan bea
materai dengan tariff Rp 1.000,- (seribu rupiah), dan apabila harga nominalnya tidak lebih
dari Rp 250.000,-(dua ratus lima puluh ribu rupiah) tidak terutang bea materai .
Selain itu khusus untuk cek dan bilyet giro ditetapkan tariff sebesar Rp 1.000,-(seribu
rupiah) tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal. Hal ini dimaksudkan untuk

meringankan nasabah bank guna memperlancar pelaksanaan kliring, sehingga bank cukup
menyediakan 1 (satu) macam bentuk cek dan 1(satu) macam bentuk buku bilyet giro.
Dalam Undang-Undang Bea Materai juga secara jelas disebutkan beberapa dokumen
yang tidak dikenakan bea materai .Dokumen-dokumen dimaksud adalah :
a. Dokumen yang berupa :
1) Surat penyimpanan barang
2) Konosemen
3) Surat angkutan penumpang dan barang
4) Keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen dimaksud dalam angka 1), 2), dan
angka 3).
5) Bukti untuk pengirimandan penerimaan barang.
6) Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim.
7) Surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud
dalam angka (1) sampai dengan angka (6).
b. Segala bentuk ijazah, yaitu : STTB, tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti sesuatu
pendidikan, latihan, kursus, dan penataran.
c. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang
ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk
mendapatkan pembayaran itu.
d. Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara , kas pemerintah daerah, dan bank.
e. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan
dengan itu dari kas negara, kas pemerintah daerah, dan bank.
f. Tanda penerimaan uang yang disebut untuk keperluan intern organisasi.
g. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh
bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut.
h. Surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian.
i. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek , dengan nama dan dalam bentuk
apapun.
Dari uraian jenis dokumen yang telah disebutkan tersebut dapat disimpulkan bahwa ada
2 (dua) jenis dokumen yang diterbitkan, yaitu dokumen yang bersifat perdata dan dokumen
yang bersifat publik . Hanya jenis dokumen yang bersifat perdata yang dikenakan bea

materai , sedangkan jenis dokumen yang bersifat publik secara otomatis tidak akan
dikenakan bea materai , dengan 2 ( dua ) alasan :
1. Bahwa sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan yang baik
kepada masyarakat dan untuk pelayanan tersebut adalah wajar bila pemerintah tidak
melakukan pemungutan bea materai kepada masyarakat.
2. Bahwa surat-surat atau dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah tanpa dibubuhi materai
sudah terjamin keabsahannya.

BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa ternyata dunia bisnis tidak bisa
dilepaskan dari aspek perpajakan.Pajak dan bisnis dikatakan sebagai satu mata uang
dengan dua sisi yang saling berkaitan satu sama lain.Berkembang tidaknya dunia bisnis
tentu akan dipengaruhi oleh aspek perpajakan yang berlaku.Begitupun dengan penerimaan
pajak, akan berhasil bila dunia bisnis berkembang dengan baik.
Setelah berlakunya undang-undang perpajakan sejak tahun 1983, terdapat
bermacam-macam pajak yang berlaku dalam dunia bisnis. Jenis-jenis pajak tersebut sering
menjadi masalah dalam dunia bisnis saat ini, jenis-jenis pajak tersebut antara lain seperti
Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan,Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan, Pajak atas Bea Materai.
B.SARAN
Kegiatan ekonomi merupakan kegiatan yang selalu ada dalam setiap kehidupan
manusia yang mana kegiatan tersebut tidak bisa lepas dari adanya aspek perpajakan, untuk
itu ,kita sebagai mahasiswa ekonomi yang merupakan calon-calon ekonom dan pebisnis
ataupun

enterpreuner

masa

depan, haruslah

mampu

untuk

mendalami

dan

mengerti,bahkan bisa mengaplikasikan aspek pajak yang berkaitan dengan ekonomi yang

menjadi permasalahan dalam kegiatan ekonomi sehari-hari serta diharapkan mampu untuk
berbagi pengetahuan kepada segenap lapisan masyarakat di sekeliling kita.

DAFTAR PUSTAKA

Harton Simatupang, Richard, S.H. .2003.Aspek Hukum Dalam Bisnis .Jakarta:El Grafika

Anda mungkin juga menyukai