Ketenagakerjaan, Solusi
Masalah Pesepakbola?
OPINI | 10 January 2013 | 12:08 Dibaca: 6418
Komentar: 0
Nihil
Pada tahun 2003 yang lalu, DPR berhasil merumuskan serta mengesahkan sebuah UndangUndang yang berkaitan dengan Ketenagakerjaan. Salah satu pertimbangan dari disahkannya UU
Ketenagakerjaan ini adalah memberi perlindungan terhadap tenaga kerja untuk menjamin hakhak dasar mereka serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang ini:
1. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/ atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan
sendiri maupun untuk masyarakat.
2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain.
3. Pemberi kerja adalah perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan-bdan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4. Pengusaha adalah
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya
5. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha
atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban
para pihak.
6. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan
perintah.
Berdasarkan pengertian diatas, berarti seorang pemain bola merupakan tenaga kerja dalam
industri sepakbola dan juga seorang pekerja/buruh bagi klub, sehingga UU ketenagakerjaan ini
melekat dan dapat diterapkan kepada mereka. Ketika disitu ada pekerjaan yang diberikan
(sebagai pemain klub tsb), ada upah (penghasilan yang diterima tiap bulan) serta ada perintah
(dari manajer klub), maka saat itu sudah terjadi hubungan kerja antara pekerja (pemain bola)
dengan pengusaha (manajer klub). Nah, saat hubungan kerja itu dimulai, manajer lalu membuat
suatu kontrak (dikenal dengan perjanjian kerja) dengan pemain bersangkutan yang memuat hak
dan kewajiban para pihak serta syarat-syarat kerja, termasuk didalamnya tentang upah, durasi
kontrak serta jaminan kesehatan (dibaca Jamsostek). Kontrak kerja ini harus dibuat secara
tertulis menggunakan bahasa Indonesia.
Saat ini, pemain bola yang berlaga di ISL tentunya sudah menandatangani kontrak profesional
mereka dengan klub, biasanya diwakili oleh manajer klub. Begitu juga dengan pemain yang akan
berlaga di IPL akan segera menandatangani kontrak kerja. Namun ada baiknya, sebelum kontrak
kerja ditandatangani, pemain harus betul-betul mengerti dan memahami apa yang terkandung
dalam isi kontrak. Bukan hanya sekedar membaca saja! Pemain bisa meminta saran dari
penasihat hukum atau dari dinas yang membidangi ketenagakerjaan setempat, karena disana ada
pihak yang berkompeten dalam hal ini. Karena biasanya, pemain Indonesia sering menganggap
remeh tentang kontrak kerja ini, berbeda dengan pemain manca dimana mereka selalu meminta
bantuan penasihat hukum agar memiliki pemahaman yang jelas.
Yang sering terjadi dipersepakbolaan nasional, dan sudah menjadi masalah klasik dan turun
temurun, adalah berkaitan dengan pembayaran upah yang tertunggak. Kenapa penulis memakai
istilah upah dan bukan gaji? Dalam pasal 1 UU Ketenagakerjaan disebutkan upah adalah hak
pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari
pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut
suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, atas suatu pekerjaan dan atau/jasa yang telah
atau akan dilakukan. Jadi, yang diterima oleh pemain bola adalah upah dan bukan hanya gaji,
karena gaji merupakan salah satu komponen dari upah. Ketika klub telat dan bahkan menunggak
pembayaran upah pemain, berarti ada unsur kesengajaan dan kelalaian didalamnya. Oleh karena
itu, klub dapat dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh. Ini
diatur dalam Pasal 95 ay. (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam hal terjadi penunggakan upah tersebut, selain meminta jawaban dari pihak klub, pemain
juga dapat melaporkan masalah ini pada dinas yang membidangi ketenagakerjaan setempat,
karena disana ada pegawai pengawas ketenagakerjaan yang ditugasi untuk mengawasi
pelaksanaan UU ini. Seringkali pihak manajemen klub meminta pemain untuk mengerti kondisi
klub dan keuangan, namun pihak klub sendiri tidak pernah melihat dan mengerti kondisi pemain
dan keluarganya. Apakah kita harus melihat pemain bola melakukan demo dulu, seperti yang
dilakukan teman-temannya para pekerja/buruh, agar klub segera melunasi hak pemain bola
tersebut?
Oleh karena itu, setiap pemain bola harus mengerti terkait posisi mereka dalam suatu hubungan
kerja yang tertuang dalam kontrak kerja. Mereka memiliki kekuatan untuk memaksa klub agar
segera melunasi upah sesuai yang tertera dalam kontrak kerja.
Selain masalah upah, UU Ketenagakerjaan ini juga melindungi pemain bola terkait dengan
jaminan kesehatan mereka. Karena pemain mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas
keselamatan dan kesehatan mereka. Ini berkaitan dengan UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang
Jamsostek. Sehingga apa yang terjadi pada kasus Diego Mendieta tidak terulang lagi.
Karena keterlambatan upah yang dibayarkan, sehingga Mendieta tidak bisa berobat dan akhirnya
meregang nyawa. Namun, jika yang bersangkutan sudah memperoleh perlindungan atas
kesehatannya dari Jamsostek, tentu dia tidak perlu menunggu klub atau Pasoepati turun tangan,
dan bisa segera berobat.
Buat pemerintah, setelah Undang-undang SKN tidak diindahkan, apakah UU Ketenagakerjaan
ini, yang berkaitan langsung dengan hidup pemain dan keluarganya, akan tetap tidak diindahkan?
Buat klub ISL dan IPL, segeralah melunasi hutang upah pemain, karena ada istri dan anak
pemain yang bergantung pada upah tersebut. Ada kebutuhan mendasar yang harus mereka
penuhi. Bukankan pihak klub seharusnya sudah siap ketika akan mengarungi kompetisi 1 musim
penuh? Bukankah pihak klub sudah mempersiapkan upah yang harus dibayarkan? Kalo ternyata
terjadi penunggakan, kemana dana yang seharusnya untuk membayar hak pemain tersebut
melayang?
Buat pemain, sudah terlalu lama berdiam diri, selalu diminta mengerti tentang kondisi klub dan
keuangan..sedang klub sendiri tidak pernah memikirkan Anda serta keluarga yang berharap
banyak pada upah sebagai pemain. Sampai kapan lagi Anda harus menunggu? Ingat, jikalau
Anda bersatu, Anda memiliki kekuatan agar klub segera melunasi. Ingat dan belajarlah apa yang
terjadi pada La Liga kemarin yang terhambat bergulir, karena ada klub yang belum membayar
upah pemainnya.
Buat federasi, PSSI, belajarlah dari NBA yang sekitar medio 90-an hingga awal 2000-an sempat
terjerambab karena masalah upah ini juga. Jor-joraan menarik dan mengikat pemain dengan
upah yang besar, ternyata berbuah negatif, tidak mampu membayar upah. Akhirnya hingga saat
ini, NBA menerapkan sistem salary cap untuk mengantisipasi agar hal ini tidak terulang.
Bukankah PSSI bisa belajar dari hal ini? Tidak sekedar mendengungkan saja dan sekedar
pemanis, tapi harus segera dilaksanakan dan diterapkan.
IST
dengan kewirausahaan, kita mendapatkan dua hal sekaligus. Pertama masyarakat bisa menjadi wirausahawan
dan yang kedua wirausahawan itu bisa memperkerjakan orang. Jadi tujuannnya kan tercapai, menekan
pengangguransehingga meningkatkan kesejahteraan," kata Kemas kepada Rakyat Merdeka Online di Gedung
Smesco, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta, kemarin.
Untuk mengaktualisasikan itu, LPDB, imbuh Kemas, memiliki program dalam bentuk frenchise, koperasi,
pengembangan Usaha Kecil dan Menengah serta beberapa paket usaha lainnya.
"Bahkan untuk program frenchise, kita menggandeng 156 franchise yang ada di Indonesia untuk menciptakan
wirausaha dan lapangan kerja baru," lanjut Kemas.
Dengan terciptanya lapangan pekerjaan di Indonesia, dipastikan para calon TKI tidak akan berniat untuk
mencari kerja di negeri orang. "Contoh, frenchise bakso. Dalam satu bulan bisa didapat keuntungan Rp 2 juta.
Saya kira akan banyak orang membuka usaha ini, ketimbang mencari uang di luar negeri," sambungnya.
Namun sayang, visi misi yang begitu bagus tidak didukung oleh dana yang besar dari pemerintrah. Dan itu jadi
masalah serius. Dana yang LPDB punyai sekitar Rp 800 miliar untuk semua program. Dengan dana seperti itu,
imbuhnya, LPDB tidak akan maksimal mengentaskan pengangguran.
Padahal, dengan dana Rp 1 triliun kita bisa mendapatkan 372 ribu lapangan pekerjaan. Dengan angka
pengangguran kita 8,1 juta orang maka sebenarnya dana yang dibutuhkan sekitar Rp 24 triliun.
"Nah kalau kita dikasih dana sekian, maka pengangguran bisa hilang. Sederhana saja kan.Pada dasarnya
masalah pengangguran tidak hanya diselesaikan pemerintah. Ini tugas kita semua. Kami memiliki kesempatan
membantu pemerintah, kita punya fasilitas dan infrastruktur, tapi kita tidak punya modal. Jadi kami berharap
modal untuk lembaga kita ditambah," tegasnya.[dem]
A. PENDAHULUAN
Menyadari kenyataan sejauh ini Indonesia masih memerlukan investor asing,
demikian juga dengan pengaruh globalisasi peradaban dimana Indonesia
sebagai negara anggota WTO harus membuka kesempatan masuknya tenaga
kerja asing. Untuk mengantisipasi hal tersebut diharapkan ada kelengkapan
peraturan yang mengatur persyaratan tenaga kerja asing, serta pengamanan
penggunaan tenaga kerja asing. Peraturan tersebut harus mengatur aspek-aspek
dasar dan bentuk peraturan yang mengatur tidak hanya di tingkat Menteri,
dengan tujuan penggunaan tenaga kerja asing secara selektif dengan tetap
memprioritaskan TKI.
Oleh karenanya dalam mempekerjakan tenaga kerja asing, dilakukan melalui
mekanisme dan prosedur yang sangat ketat, terutama dengan cara mewajibkan
bagi perusaahan atau korporasi yang mempergunakan tenaga kerja asing
bekerja di Indonesia dengan membuat rencana penggunaan tenaga kerja asing
(RPTKA)
sebagaimana
diatur
dalam
Peraturan
Menteri
Nomor
PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
B. PENGATURAN NASIONAL MENGENAI TENAGA KERJA ASING
1. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 Tentang Penggunaan Tenaga
Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP)
Berbeda dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menggunakan istilah
tenaga kerja asing terhadap warga negara asing pemegang visa dengan maksud
bekerja di wilayah Negara Kesatuan Republik Indoensia (NKRI), dalam
Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja
Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP), menggunakan istilah tenaga warga
negara asing pendatang, yaitu tenaga kerja warga negara asing yang memiliki
visa tingal terbatas atau izin tinggal terbatas atau izin tetap untuk maksud bekerja
(melakukan pekerjaan) dari dalam wilayah Republik Indonesia (Pasal 1 angka 1).
Istilah TKWNAP ini dianggap kurang tepat, karena seorang tenaga kerja asing
bukan saja datang (sebagai pendatang) dari luar wilayah Republik Idnonesia,
akan tetapi ada kemungkinan seorang tenaga kerja asing lahir dan bertempat
tinggal di Indonesia karena status keimigrasian orang tuanya (berdasarkan
asas ius soli atau ius sanguinis).
Pada prinsipnya, Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tentang
penggunaan tenaga kerja warga negara asing pendatang adalah mewajibkan
pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia di bidang dan jenis pekerjaan
yang tersedia kecuali jika ada bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia belum
atau tidak sepenuhnya diisi oleh tenaga kerja Indonesia, maka penggunaan
tenaga kerja warga negara asing pendatang diperbolehkan sampai batas waktu
tertentu (Pasal 2). Ketentuan ini mengharapkan agar tenaga kerja Indonesia
kelak mampu mengadop skill tenaga kerja asing yang bersangkutan dan
melaksanakan sendiri tanpa harus melibatkan tenaga kerja asing. Dengan
demikian penggunaan tenaga kerja asing dilaksanakan secara slektif dalam
rangka pendayagunaan tenaga kerja Indonesia secara optimal.
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Tentang
Tata
Cara
PER.02/MEN/III/2008
Tentang
Tata
Cara
Peraturan Menteri ini dikelurakan dalam rangka pelaksanaan Pasal 42 ayat (1)
UUK. Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008
Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing ini maka beberapa
peraturan sebelumnya terkait dengan pelaksanaan Pasal 42 ayat (1) UUK ini
yakni : Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.228/MEN/2003 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing; Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.20/MEN/III/2004 tentang Tata Cara Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga
Kerja Asing; Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.21/MEN/III/2004 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing Sebagai
Pemandu Nyanyi/Karaoke; Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor PER.07/MEN/III/2006 tentang Penyederhanaan Prosedur Memperoleh Ijin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA); Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor PER.15/MEN/IV/2006 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.07/MEN/III/2006 tentang
Penyederhanaan Prosedur Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing
(IMTA); Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.34/MEN/III/2006 tentang Ketentuan Pemberian Ijin Mempekerjakan Tenaga
Kerja Asing (IMTA) Kepada Pengusaha Yang Mempekerjakan Tenaga Kerja
Asing Pada Jabatan Direksi atau Komisaris; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
(Pasal 44).
1)Tata Cara Permohonan Pengesahan RPTKA
Selain harus memiliki izin mempekerjakan tenaga kerja asing, sebelumnya
pemberi kerja harus memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing
(RPTKA) yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 3
menyebutkan bahwa pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA harus
Dalam hal Ditjen Imigrasi telah mengabulkan permohonan visa untuk dapat
bekerja atas nama TKA yang bersangkutan dan menerbitkan surat
pemberitahuan tentang persetujuan pemberian visa, maka pemberi kerja TKA
mengajukan permohonan IMTA dengan melampirkan (Pasal 24):
1. copy draft perjanjian kerja;
2. bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang
ditunjuk oleh Menteri;
3. copy polis asuransi;
4. copy surat pemberitahuan tentang persetujuan pemberian visa; dan
5. foto berwarna ukuran 4x6 sebanyak 2 (dua) lembar[7].
6) Perpanjangan IMTA
Mengenai perpanjangan Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) diatur
dalam Pasal 27 dan Pasal 28. IMTA dapat diperpanjang paling lama 1 (satu)
tahun, bila masa berlaku IMTA belum berakhir. Oleh karena itu permohonan
perpanjangan IMTA selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum
jangka waktu berlakunya IMTA berakhir. Permohonan perpanjangan IMTA
dilakukan dengan mengisi formulir perpanjangan IMTA dengan melampirkan :
1. Copy IMTA yang masih berlaku;
2. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang
ditunjuk oleh Menteri;
3. Copy polis asuransi;
4. Pelatihan kepada TKI pendamping;
5. Copy keputusan RPTKA yang masih berlaku; dan
6. Foto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
Untuk memperoleh IMTA bagi TKA yang bekerja di kawasan ekonomi khusus,
pemberi kerja TKA harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Pejabat yang ditunjuk di kawasan ekonomi khusus. Tata cara memperoleh IMTA
di kawasan ekonomi khusus mengikuti ketentuan dalam poin 5 (lima).
9) IMTA Untuk Pemegang Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP)
Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA pemegang ijin tinggal tetap wajib
mengajukan permohonan kepada Direktur dengan melampirkan :
1. Copy RPTKA yang masih berlaku;
2. Copy izin tinggal tetap yang masih berlaku;
3. Daftar riwayat hidup TKA yang akan dipekerjakan;
4. Copy ijasah atau pengalaman kerja;
5. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang
ditunjuk oleh Menteri;
6. Copy polis asuransi; dan
7. Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar.
10) IMTA Untuk Pemandu Nyanyi/Karaoke
Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA sebagai pemandu nyanyi/karaoke
wajib memiliki ijin tertulis dari Direktur. Jangka waktu penggunaan TKA sebagai
pemandu nyanyi/karaoke diberikan paling lama 6 (enam) bulan dan tidak dapat
diperpanjang. Untuk menjapatkan ijin pemberi kerja TKA harus mengajukan
permohonan IMTA dengan melampirkan :
1. Copy ijin tempat usaha yang memiliki fasilitas karaoke;
2. RPTKA yang telas disahkan oleh direktur;
Dalam hal pemberi kerja melakukan perubahan lokasi kerja TKA, pemberi kerja
wajib mengajukan permohonan perubahan lokasi kerja TKA kepada Direktur
Penyediaan dan Penggunaan tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dengan melampirkan copy RPTKA dan IMTA yang masih berlaku.
14) Pelaporan
Pemberi kerja TKA wajib melaporkan penggunaan TKA dan pendamping TKA di
perusahaan secara periodik 6 (enam) bulan sekali kepada Direktur atau
Gubernur atau Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Dirjen. Direktur atau
Gubernur atau Bupati/Walikota melaporkan IMTA yang diterbitkan secara
periodik setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri dengan tembusan kepada Dirjen.
15) Pengawasan
Pengawasan terhadap pemberi kerja yang mempekerjakan TKA dilakukan oleh
pegawai pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundangundangan
16) Pencabutan Ijin
Dalam hal pemberi kerja mempekerjakan TKA tidak sesuai dengan IMTA,
Direktur atau Gubernur atau Bupati/Walikota berwenang mencabut IMTA.
C. IMPLEMENTASI
Sejak amandemen UUD 1945, asas otonomi daerah mendapatkan posisinya
dalam Pasal 18 tentang pemerintah daerah dan dikembangkannya sistem
pemerintahan yang desentralistis melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Lima hal pokok yang menjadi kewenangan Pusat
Menyusul diberlakukannya otonomi daerah ini adalah luar negeri, pertahanan
dan keamanan, moneter, kehakiman, dan fiskal. Masalah ketenagakerjaan pun
menjadi lingkup kewenangan pemerintah daerah, dengan menempatkannya
dalam struktur organisasi dan tata kerja dalam struktur dinas.
DAFTAR PUSTAKA
Laporan, Survey Nasional Tenaga Kerja Asing di Indonesia, Bank Indonesia,
Tahun 2009.
Laporan Akhir Penelitian: Permasalahan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia,
BPHN, Tahun 2005.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja
Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP)
Tentang
Tata
Cara
[4] Untuk tercapainya alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing ke
tenaga kerja warga negara Indonesia, maka diadakan pendidikan dan pelatihan
kerja bagi tenaga kerja Indonesia sesuai dengan kualifikasi jabatan yang
diduduki oleh tenaga kerja asing kecuali bagi tenaga kerja asing yang menduduki
jabatan direksi dan/atau komisaris.
[5] Untuk tercapainya alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing ke
tenaga kerja warga negara Indonesia, maka diadakan pendidikan dan pelatihan
kerja bagi tenaga kerja Indonesia sesuai dengan kualifikasi jabatan yang
diduduki oleh tenaga kerja asing kecuali bagi tenaga kerja asing yang menduduki
jabatan direksi dan/atau komisaris.
[6] Apabila permohonan telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Direktur harus menerbitkan rekomendasi (TA-01) dan menyampaikan
kepada Direktur Lalu Lintas Keimigrasian (Lantaskim), Direktorat Jenderal
Imigrasi dalam waktu selambat-lambatnya pada hari berikutnya dengan
ditembuskan kepada pemberi kerja TKA (Pasal 23 ayat (2))
[7] Dalam hal persyaratan telah dipenuhi, Direktur menerbitkan IMTA selambatlambatnya 3 (tiga) hari kerja (Pasal 24 ayat (2))
[8] Laporan Akhir Penelitian: Permasalahan
Indonesia, BPHN, Tahun 2005.
Hukum
Ketenagakerjaan
[9] Ibid.
[10] http://www.tempointeraktif.com, diakses tanggal 22 Mei 2011.
di
A. Latar Belakang
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah warga negara
Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja dalam jangka
waktu tertentu dengan menerima upah atau penghasilan tertentu.
Mereka bekerja di Luar Negeri berdasarkan perjanjian kerja
melalui prosedur penempatan TKI. Namun demikian, istilah TKI
seringkali dikonotasikan tidak tepat, sebagai pekerja kasar dan
tidak terdidik. Padahal dalam kenyataannya banyak TKI yang
bekerja di Luar Negeri sebagai Tenaga Profesional dalam
berbagai bidang kehidupan dan profesi, termasuk mereka yang
bekerja dalam lingkungan rumah tangga, sebagai Pembantu
Rumah Tangga yang profesional.
Kesan
negatif
yang
muncul
kepermukaan,
karena
menghadiri
beberapa
pertemuan
forum
Parlemen
selalu
ada
TKW
yang
bermasalah
di
tempat
tersebut
dengan
berbagai
persoalan
sebagai
penyebabnya.
Dampak dari semua itu adalah muncul kesan / citra
negatif terhadap TKI kita, sehingga pengaruh pandangan bangsa
lain terhadap bangsa kita juga turut menjadi negatif. Lebih
memprihatinkan lagi, permasalahan TKI ini, sangat sering
dibicarakan dalam tataran politis, selalu menjadi alat politik dalam
perjuangan Partai Politik, khususnya menjelang Pemilu, tetapi
persoalannya tetap nampak seperti benang kusut, karena tidak
semuanya mau dan mampu bekerja secara serius dan nyata
mencarikan solusi agar permasalahan TKI tersebut dapat
diselesaikan dengan baik dan bermartabat.
lain
pihak
permasalahan
yang
muncul
tidak
segera
mendalam
sesuai
apabila
kita
melihat
lebih
menghasilkan
20%
dari
keseluruhan
devisa
yang
terjadinya
kasus
kekerasan
ketika
mereka
menjalankan
pekerjaan.
Sesungguhnya, kisah TKI-TKW bukanlah suatu hal yang
baru dalam kisah duka para tenaga kerja (dulu disebut buruh atau
babu migran) asal negeri ini. Munculnya fenomena berbondongbondongnya tenaga kerja asal Indonesiauntuk pergi menjemput
rezeki ke luar negeri, tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi
di dalam negeri. Kemiskinan yang terstruktur dan semakin
mencekik leher masyarakat di negeri ini telah pasti membuat
hidup semakin susah. Sementara akibat kemiskian itu, otomatis
tidak ada jaminan untuk hidup sejahtera bagi masyarakat.
Kondisi itu ditambah lagi dengan sempitnya lapangan
pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah hingga menyebabkan
jumlah pengangguran kian bertumpuk dari masa ke masa. Kalau
pun ada lapangan kerja, upahnya juga sangat murah dan tak
sesuai harapan. Itulah beberapa faktor yang telah memicu
banyak orang berhijrah ke negara lain untuk mengadu nasib
mencari pekerjaan demi mendapatkan rezeki untuk menyambung
hidup. Mungkin dalam bahasa para TKI, dari pada harus tetap
ini-itu.
mendapatkan
Setelah
apa
yang
sampai,
mereka
terkadang
tidak
sudah
dijanjikan,
padahal
untuk
justru
mencari
keuntungan
di
tengah
himpitan
tanggung
jawab
dan
tugas
pemerintah
adalah
juga
Warga
berhak
pengangguran.
Sebab
untuk
mencapai
pertumbuhan
Sapubi,
bukanlah
satu-satunya
TKI
yang
dipenggal
Yanti Irianti binti Jono Sukandi asal Cianjur, Jawa Barat yang
dipancung pada 12 Januari 2008. Ia juga dipancung tanpa
sepengetahuan
keluarganya.
Bahkan
sampai
sekarang
data
perdagangan
orang
tahun
2005
sampai
2009
cukup perlindungan.
Berkaitan
dengan
pertanyaan
atas
kasus-kasus
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka yang menjadi
tujuan proposal ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum
Tenaga Kerja Indonesia Illegal di Luar Negeri berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan.
D. Manfaat
Manfaat
yang
penulis dapatkan
dan harapkan
melalui
2. Manfaat Praktis
a. Membantu mengembangkan dan memperdalam wawasan
penulis
mengenai
hukum
terutama
dalam
bidang Ketenagakerjaan;
b. Untuk mendapatkan jawaban terhadap permasalahan yang
diteliti.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
hukum
mengintegrasikan
dalam
masyarakat
adalah
dan mengkoordinasikan
untuk
kepentingan-
cara
membatasi kepentingan
pihak
lain.
Menurut
memberi
perlindungan
adalah
bahwa
hukum
itu
terhadap
masyarakat
mempunyai
banyak
melindungi
kepentingan
seseorang
dengan
cara
mewujudkan
ketertiban
dan
ketentraman
sehingga
memberikan
perlindungan
(pengayoman)
kepada
di
bidang
kesenian
tradisional/folklore demi
berkorelasi
pada
tiga
tujuan
hukum,
sebagai
mengumumkan
hak
eksklusif
atau
bagi
para
memperbanyak
pencipta
suatu
untuk
ciptaan
diberikan
sedapat
mungkinmenggambarkan
kenyataan
bahwa
dalam
umur
tersebut
sudah
banyak
liar
yang
resmi
seperti
punutan
Rp.25.000,-
Indonesia
di
luar
negeri
dilaksanakan
oleh
Ditjen
Pembinaan
dan
Penempatan
Tenaga
Kerja
Luar
Negeri
(PPTKLN)Depnakertrans.
2. Pekerja Perempuan dan Pekerja Anak Sebagai Objek Pe
rdagangan Manusia
Perdagangan
manusia dalam hal ini dikhususnya pada perdagangantenaga ker
ja perempuan dan anak tidak dapat dipungkiri masih terus terjadi
meliputi wilayah kejadian dan tujuan di dalam maupun di luar neg
eri. Trafficking
in Person Report yang diterbitkan oleh Deplu AS dan ESCA
P juga telah menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga ata
uterendah dalam upaya penanggulangan trafficking perempuan d
an anak.Indonesia dalam peringkat tersebut dikategorikan
sebagai negara yangmemiliki korban dalam jumlah yang besar d
an pemerintahnya belumsepenuhnya menerapkan standarstandar minimum serta tidak atau belummelakukan usahausaha yang berarti dalam memenuhi standarpencegahan dan pe
nanggulangan trafficking.
ILO
No. 138
1973 Tentang
f.
Undang-undang Nomor
1 Tahun 2000 yang meratifikasi Konvensi ILONomor
engenai Pelarangan dan
182
KEP.
235
/MEN/2003 Tentang
Jenis-jenis
ekerjaan Yang
Membahayakan Kesehatan Keselamatan atau MoralAnak
j.
KEP. 112/MEN/VII/2004
entang Tata
Cara Perizinan Penyelenggaraan Program Pemagangan Di
Luar Wilayah Indonesia dan lain-lain.
Secara normatif perlindungan terhadap tenaga kerja pere
mpuan dananak dipayungi oleh UU 13 Tahun 2003 Tentang Kete
nagakerjaan, dimanadalam rumusannya
secara khusus mengatur tentang pekerja perempuan danpekerja
anak. Dalam Bab X khusus menyangkut perlindungan atas pekerj
aanak, perempuan, dan penyandang cacat:
Pasal 68 jo Pasal 69 UU 13 Tahun 2003 mengatur bahwa anakdi
larang untuk dipekerjakan,
kecuali bagi anak usia 13 sampai 15tahun dapat melakukan peke
rjaan ringan
sepanjang tidakmengganggu perkembangan dan kesehatan fisik,
mental dan social.
ced Labour
ke
an masalah
substansial
jika peraturan dipaksakan (kecuali untuk pekerjaan yangberbaha
ya),
setelah ada konsultasi dengan organisasi pengusaha danorganis
asi pekerja;
ehatan dan
perkembangan anak dan yang tidak menghalangi waktu anak unt
ukbersekolah, ini ditentukan oleh pemerintah, dari usia 13 tahun (
12 tahun jika usia minimumnya 14 tahun);
Ijin untuk anak berpartisipasi dalam pertunjukan kesenian dib
erikan kasus per kasus.
Beragam pendapat muncul
sehubungan dengan pekerja anak. Inimenunjukkan bahwa bukan
sebagai
BAB III
METODOLOGI
A. Tipe Penelitian
a. Penelitian Normatif (Undang-Undang)
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian normatif. Penelitian
normatif adalah suatu penelitian hukum yang mengkaji normanorma tertulis dalam produk hukum tertulis dari berbagai aspek
meliputi aspek teori hukum, sejarah hukum, filsafat hukum,
perbandingan hukum, dan asas-asas hukum.
Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif
adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsipprinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum
yang
dihadapi.[8] Senada
dengan
menurut Soerjono
normatif adalahmenelaah terhadap
hal
tersebut,
Soekamto, penelitian
pokok
permasalahan yang
dengan
Undang-Undang
Nomor 13
Tahun
2003
Tentang Ketenagakerjaan.
Menurut Peter Mahmud Marzuki, untuk memecahkan isu
hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang
seyogiyanya, diperlukan sumber-sumber penelitian. Sumbersumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumbersumber yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahanbahan hukum sekunder.[10]
Bahan-bahan hukum tersebut berupa:
1) Bahan Hukum Primer (primary law materiel), adalah bahan
hukum
yang
mengikat
yaitu
Undang-Undang Republik
C. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan
undang-undang (Statute
Approach) dilakukan
kabar,
artikel, majalah/jurnal-jurnal
hukum
maupun
E. Analisis Hukum
Bahan-bahan hukum yang berhasil dikumpulkan diolah
secara teratur dan sistematis, selanjutnya dilakukan analisis
secara kualitatif yaitu meneliti, menelaah bahan-bahan hukum
yang ada dalam bentuk uraian secara deskriptif kualitatif untuk
dapat menjawab rumusan masalah.
Metode deskriptif kualitatif yaitu analisis-analisis yang tidak
didasarkan
atas
angka-angka
terhadap
peraturan-peraturan
tetapi
yang
melalui
uraian-uraian
berlaku
dengan
[1] Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi, (Bandung : PT. Remaja Rosda
Karya, 1994), hal. 64.
[3] Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), (Surakarta : Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret, 2004), hal. 3
[4] Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, (Surakarta : Magister Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003), hal. 14.
[5] Hetty Hasanah, Perlindungan Konsumen dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen atas Kendaraan
Bermotor dengan Fidusia, (http//jurnal.unikom.ac.id/vol3/perlindungan.html, 2004), hal. 1.
[6]
[7] Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Ke-Indonesia-an, Disertasi, (Bandung:
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katholik Parahyangan, 2004), hal. 112.
[8]
35
[9]
[10]
Jawaban:
UMAR KASIM
Sebelum menjawab inti permasalahan Saudara, pada bagian awal saya perlu meluruskan dan
menjelaskan
sedikit,
bahwa
Ketenagakerjaan (UU
dalam UU
Dalam Pasal 64 UU No. 13/2003, praktik outsourcing seperti maksud Saudara, secara resmi (dalam
undang-undang) disebut dengan istilah penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan (suatu
perusahaan/user) kepada perusahaan lain (service provider/vendor) yang dapat dilakukan
melaluiperjanjian
pemborongan
pekerjaan,
atau perjanjian
penyediaan
jasa
pekerja/buruh (vide Pasal 64 dan Pasal 65 ayat [1] serta Pasal 66 ayat [1] UU No. 13/2003 jo
Pasal 3 dan Pasal 17 Permenakertrans No. 19 Tahun 2012).
Walaupun demikian, sudah menjadi kelaziman dalam masyarakat (khususnya parastakeholder dari
kalangan buruh) menggunakan istilah outsourcing untuk menyebut penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainseperti dimaksud dalam Pasal 64 UU No. 13/2003. Dan
sekarang lebih dipopulerkan dengan istilah alih daya tenaga kerja atau perusahaan alih daya
(Kompas, 17 Nopember 2012 hal. 1).
Sehubungan dengan ketentuan tersebut di atas, dalam peraturan perundang-undangan, ada 2 macam
jenis perusahaan alih daya (perusahaan outsourcing), yakni:
-
perusahaan
penerima
pemborongan sebagaimana
tersebut
dalam Pasal
angka
Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 dan diatur dalam Pasal 65 UU No. 13/2003 serta Bab
II (Pasal 3 s/d Pasal 16) Permenakertrans No. 19 Tahun 2012; dan
-
perusahaan
penyedia
jasa
pekerja/buruh tersebut
dalam Pasal
angka
Permenakertrans. No. 19 Tahun 2012 dan diatur dalam Pasal 66 UU No. 13/2003 serta Bab
III (Pasal 17 s/d Pasal 32) Permenakertrans. No. 19 Tahun 2012.
Artinya, bahwa hubungan kerja antara seseorang pekerja dengan perusahaan outsourcing penerima
pemborongan pada prinsipnya didasarkan/diperjanjikan melalui PKWTT (istilah Saudara: pekerja
tetap atau permanen). Namun, jika memenuhi syarat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis
dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, dapat didasarkan
(diperjanjikan) melalui PKWT (yang Saudara sebut dengan istilah kontrak).
Sebaliknya, berdasarkan Pasal 66 ayat (2) huruf b jo Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU No.
13/2003, hubungan
dengan perusahaan
alih
daya (dalam
hal perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh), adalah PKWT yang (sepanjang) memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 UU No. 13/2003, dan/atau PKWTT yang dibuat
(diperjanjikan) secara tertulis dan ditanda-tangani para pihak.
Maksudnya, bahwa dalam konteks perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh, hubungan kerja antara
seseorang
pekerja
dengan perusahaan
outsourcingpenyedia
jasa
pekerja/buruh,
dapat
diperjanjikan melalui PKWT (sebagaipekerja kontrak) sepanjang memenuhi syarat pekerjaan tertentu
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu.
Sebaliknya, kalau tidak memenuhi syarat tersebut, seharusnya diperjanjikan melalui PKWTT.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dengan demikian, apabila Saudara bekerja pada perusahaan
alih
penerima
pemboronganmaupun perusahaan
penyedia
jasa
pekerja/buruh) dan dipekerjakan pada pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, maka sah-sah saja Saudara direkrut (di-hire)
sebagai pekerja kontrak (melalui PKWT). Akan tetapi, apabila Saudara bekerja pada perusahaan alih
daya (perusahaan penerima pemborongan maupunperusahaan penyedia jasa pekerja/buruh) dan
dipekerjakan pada pekerjaan yang bersifat tetap (sebagaimana dimaksud Pasal 59 ayat [2] UU No.
13/2003), maka seharusnya sejak awal Saudara direkrut (di-hire) sebagai pekerja tetap(melalui
PKWTT).
Sayangnya, Saudara tidak menjelaskan jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan perusahaan Saudara,
apakah pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam
waktu tertentu (temporer), atau pekerjaan yang bersifat tetap (berkelanjutan).
2. Terkait dengan perhitungan masa bakti, jika Saudara dipekerjakan pada pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu (temporer),
maka perhitungan masa kerjaSaudara baru mulai dihitung sejak diangkat menjadi pegawai tetap
(videPasal 15 ayat [2] dan ayat [3] Kepmenakertrans No. Kep-100/Men/VI/2004). Dengan
demikian, masa kerja Saudara adalah baru 2 (dua) tahun (yakni sejak pegawai tetap atau PKWTT
tersebut).
Namun, jika Saudara dipekerjakan pada pekerjaan yang memang bersifat tetap (berkelanjutan), maka
perhitungan masa kerja Saudara dihitung sejak (awal) diangkat menjadi pekerja kontrak (vide Pasal
15 ayat [5] Kepmenakertrans No. Kep-100/Men/VI/2004). Dalam hal ini, masa kerja Saudara
adalah 4,5 tahun (atau empat tahun dan enam bulan), komulatif sejak PKWT (kontrak) selama 2,5
tahun (maksudnya, dua tahun dan enam bulan) ditambah saat PKWTT (permanen) 2 (dua) tahun.
3. Berdasarkan Pasal 162 ayat (1) UU No. 13/2003, bahwa bagi pekerja yang (di-PHK dengan
alasan) mengundurkan diri atas kemauan sendiri, haknya adalah (hanya) uang penggantian
hak (UPH) sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU No. 13/2003, yang meliputi:
a) cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b) biaya/ongkos pulang ke tempat di mana pekerja diterima;
c) penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan sebesar 15% dariuang pesangon (UP)
dan uang penghargaan masa kerja (UPMK) jika memenuhi syarat;
d) hal-hal lain yang (telah) diperjanjikan.
Di samping itu, berdasarkan Pasal 162 ayat (2) UU No. 13/2003, bahwa bagi pekerja yang tugas
dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung (non management committe),
selain menerima uang penggantian hak, (juga) diberikan uang pisah yang besarnya dan
pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Dengan demikian, berapapun lamanya masa bakti Saudara (walaupun selalu diperpanjang dan
kemudian diangkat menjadi pegawai tetap) apabila Saudaramengundurkan diri atas kemauan sendiri,
maka Saudara tidak berhak atasuang penghargaan (maksudnya uang penghargaan masa kerja
sebagaimana dimaksud Pasal 156 ayat [3] UU No. 13/2003). Demikian juga, Saudara tidak berhak
atas uang pesangon (sebagaimana dimaksud Pasal 156 ayat [2] UU No. 13/2003). Akan tetapi, hanya
berhak uang
penggantian
hakdan uang
pisah (jika
Saudara
dikatagorikan non-management
commitee).
Terkait dengan itu, apabila uang pisah di perusahaan alih daya di mana Saudara bekerja- didasarkan
pada masa bakti, maka ketentuan (masa kerja) tersebut di atas dapat menjadi dasar penentu besaran
uang pisah yang akan Saudara peroleh.
Dasar Hukum:
1.
2.
3.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi. Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui
twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ketenagakerjaan pada awalnya merupakan bidang yang berada dalam ruang
lingkup hukum privat. Namun karena ketenagakerjaan dianggap menjadi bidang
yang penting untuk diatur secara langsung oleh negara. Maka negara turun
tangan
langsung
dengan
membuat
regulasi
yang
mengatur
mengenai
Pembuatan
ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan.
dituangkan
regulasi
dalam
yang
UU
No.
mengatur
13
tahun
secara
khusus
2003
tentang
Hubungan Ketenagakerjaan
Masalah yang sering terangkat ke permukaan dan menjadi berita utama serta
buah bibir dimasyarakat adalah perlakuan diskriminasi. Perlakuan tidak adil
antara sesama pekerja/buruh maupun antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
Dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hal ini
telah diatur agar tidak adanya diskriminasi. Masalah lain yang saat ini juga
sedang menjadi bahan pembicaraan dalam ketenagakerjaan di Indonesia
adalah outsourcing. Dimana praktekoutsourcing ini menyengsarakan pekerja
atau buruh dan menyebabkan kaburnya hubungan kerja serta industrial antara
pekerja dengan pengusaha.
Sebelum terjalinnya hubungan kerja antara pekerja dan orang yang akan
mempekerjakannya terdapat proses dalam ketenagakerjaan yang harus dijalani.
Mulai dari prakerja, hubungan kerja, menjalankan pekerjaan dan pascakerja.
Dalam menjalani proses tersebut tidak akan selalu berjalan dengan mulus. Tentu
akan dijalani berbagai rintangan demi peningkatan kerja yang lebih baik. Dalam
proses tersebut juga akan lahir berbagai masalah.
Dengan berbagai masalah yang timbul dalam ketenagakerjaan baik sebelum dan
sesudah regulasi ketenagakerjaan lahir. Perlu diketahui bagaimana tingkat
penerimaan masyarakat serta pemahaman masyarakat atas lahirnya UU No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain itu juga masih perlu dipertanyakan
bagaimana tingkat perlindungan yang diberikan oleh UU Ketenagakerjaan
kepada pekerja ataupun pengusaha. Tujuan dari regulasi tersebut juga perlu di
identifikasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan tentu dapat terlihat
banyak hal yang peru dibenahi. Maka dapat ditentukan hal-hal yang akan
menjadi rumusan masalah yaitu :
1.
2.
3.
Mengapa
setelah
ketenagakerjaan
adanya
masih
tetap
regulasi
saja
yang
ada
mengatur
masalah
mengenai
dalam
bidang
ketenagakerjaan ?
4.
A. Sejarah Ketenagakerjaan
Pada awalnya keberadaan Hukum Ketanagakerjaan di Indonesia terdiri dari
beberapa fase pada abad 120 SM. Ketika bangsa Indonesia mengenal adanya
sistem gotong royong diantara sesama anggota masyarakat. Gotong royong
adalah sistem pengerahan tenaga kerja tambahan dari luar kalangan keluarga
dengan tujuan untuk mengisi kekurangan tenaga. Sifat gotong royong memiliki
nilai luhur yang juga diyakini membawa kemaslahatan. Dengan nilai-nilai
kebaikan, kebijakan, dan hikmah untuk masyarakat hingga gotong royong
menjadi sumber terbentuknya Hukum Ketanagakerjaan Adat. Karena bersifat
konvensional regulasi dari Hukum Ketanagakerjaan Adat tidak tertulis. Namun
Hukum Ketanagakerjaan Adat menjadi identitas bangsa yang mencerminkan
kepribadian bangsa Indonesia yang merupakan penjelmaan dari jiwa bangsa
Indonesia dari abad keabad.
PEMBAHASAN
A. Pembahasan Secara Umum
Jika diidentifikasi tujuan dari UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
maka dalam regulasi itu sendiri terdapat 4 (empat) tujuan yang disebutkan pada
Pasal 4 bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :
1.
bagi
tenaga
kerja
Indonesia.
Melalui
pemberdayaan
dan
2.
dalam maupun luar negeri. Salah satu contoh adalah banyak kasus yang masuk
ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) menyangkut penggunaan tenaga kerja
asing. Setiap putusan badan peradilan PHI akan menjadi evaluasi untuk
kepentingan di bidang ketenagakerjaan.
Bagian penting dalam ketenagakerjaan yang banyak mendapat sorotan adalah
hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Hubungan kerja ini
termasuk sebagai Perjanjian. Sesuai dengan Pasal 1313 KUHPerdata yang
berbunyi Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Dalam Pasal 1320
KUHPerdata terdapat syarat-syarat terjadinya suatu perjanjian yang sah adalah :
1.
2.
3.
4.
Dari ketentuan pasal tersebut terlihat jelas bahwa perjanjian kerja yang dilakukan
antara pekerja/buruh dengan pengusaha semuanya tergantung kesepakatan
kedua belah pihak. Namun dengan batasan-batasan yang disebutkan dalam UU
No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perjanjian kerja yang dilakukan
harus menunjukkan adanya kejelasan atas pekerjaan antara pekerja/buruh
dengan pengusaha. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian
yang telah disepakati dan ketentuan yang tercantum dalam UU no.13 thn. 2003
maka terdapat unsur dari hubungan kerja yaitu :
1.
2.
3.
Masyarakat pada umumnya tahu bahwa tidak boleh adanya pemberlakuan tidak
adil (diskrimimasi) antara sesama pekerja atau antara pekerja dengan
pengusaha. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yaitu Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang
sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. dan Pasal 6 UU No. 13
oleh
Menakertrans
Muhaimin
Iskandar
setelah
melakukan
pertemuan
tersebut
dibahas
pasal-pasal
yang
terkait
dengan outsourcing (alih daya), pengupahan, jaminan sosial dan pesangon serta
dan pelaksanan perjanjian kerja waktu tertentu. Disebutkan bahwa dalam
pertemuan tersebut adanya kesepakatan pengkajian mendalam menghenai
penyempurnaan
dan
revisi
UU
No.
13/2003
yang
dilakukan
secara
komprehensif, baik itu revisi UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan itu
sendiri, ataupun terkait dengan revisi UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja dan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Tenaga Kerja.
Adanya wacana bahwa pada tahun 2010 lalu telah beredarnya beberapa draft
yang disebut revisi UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada saat
itu pula Muhaimin selaku Menakertrans menegaskan bahwa draft tersebut bukan
berasal dari Kemenakertans. Maka semua pihak diharapkan tidak percaya begitu
saja dengan isi draf-draft tersebut karena akan memunculkan kekhawatiran dan
sikap saling curiga terutama diantara pekerja dan buruh. Menakertrans juga
menyebutkan bahwa pada tahun 2010 lalu pada tepatnya pada bulan November
proses penyempurnaan UU Ketenagakerjaan masih dibahas di lingkungan
internal Kemenakertrans kemudian akan dibahas lintas kementerian dan pihak
lainnya. Pada tahun 2011 ini akan dilakukan tahap pematangan. Jika materi atas
revisi UU Ketenagakerjaan tersebut sudah matang maka akan diajukan ke DPR
hingga akhirnya akan diratifikasi. Meski sampai saat ini belum terlihat adanya
tanda akan di undangkannya hasil revisi dari UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Namun
langkah
revisi
atas
UU
Ketenagakerjaan
adalah problem solvingatas masalah yang timbul sebelum dan setelah lahirnya
regulasi tersebut. Hal ini juga menjawab permasalahan mengapa masalah terkait
ketenagakerjaan tetap ada meski UU Ketenagakerjaan tersebut sudah lahir.
Masyarakat sudah memahami dengan jelas setiap ketentuan dari UU No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pernyataan tersebut bisa dikeluarkan
karena Menakertrans yang menyebutkan setiap kalangan masyarakat terutama
kalangan pengusaha, serikat pekerja/serikat bisa memberikan sebanyak
mungkin saran, masukan dan kajian terhadap penyempurnaan dan revisi UU No.
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan melalui tiga pihak yaitu, Menakertrans,
LIPI dan LKS Tripartit. Tanggapan masyarakat menunjukkan bahwa menerima
dengan baik UU tersebut ditunjukkan dengan adanya niat untuk perbaikan
regulasi tersebut. LKS Tripartit masih terbilang jarang terdengar ditelinga
masalah
ketenagakerjaan
yang
anggotanya
terdiri
dari
unsur
ketenagakerjaan.
Tetapi
ketika
dalam
penegakannya
dan