Anda di halaman 1dari 94

UU Nomor 13/2003 tentang

Ketenagakerjaan, Solusi
Masalah Pesepakbola?
OPINI | 10 January 2013 | 12:08 Dibaca: 6418

Komentar: 0

Nihil

Pada tahun 2003 yang lalu, DPR berhasil merumuskan serta mengesahkan sebuah UndangUndang yang berkaitan dengan Ketenagakerjaan. Salah satu pertimbangan dari disahkannya UU
Ketenagakerjaan ini adalah memberi perlindungan terhadap tenaga kerja untuk menjamin hakhak dasar mereka serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang ini:

1. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/ atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan
sendiri maupun untuk masyarakat.
2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain.
3. Pemberi kerja adalah perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan-bdan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4. Pengusaha adalah
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya
5. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha
atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban
para pihak.
6. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan
perintah.
Berdasarkan pengertian diatas, berarti seorang pemain bola merupakan tenaga kerja dalam
industri sepakbola dan juga seorang pekerja/buruh bagi klub, sehingga UU ketenagakerjaan ini
melekat dan dapat diterapkan kepada mereka. Ketika disitu ada pekerjaan yang diberikan
(sebagai pemain klub tsb), ada upah (penghasilan yang diterima tiap bulan) serta ada perintah
(dari manajer klub), maka saat itu sudah terjadi hubungan kerja antara pekerja (pemain bola)
dengan pengusaha (manajer klub). Nah, saat hubungan kerja itu dimulai, manajer lalu membuat
suatu kontrak (dikenal dengan perjanjian kerja) dengan pemain bersangkutan yang memuat hak

dan kewajiban para pihak serta syarat-syarat kerja, termasuk didalamnya tentang upah, durasi
kontrak serta jaminan kesehatan (dibaca Jamsostek). Kontrak kerja ini harus dibuat secara
tertulis menggunakan bahasa Indonesia.
Saat ini, pemain bola yang berlaga di ISL tentunya sudah menandatangani kontrak profesional
mereka dengan klub, biasanya diwakili oleh manajer klub. Begitu juga dengan pemain yang akan
berlaga di IPL akan segera menandatangani kontrak kerja. Namun ada baiknya, sebelum kontrak
kerja ditandatangani, pemain harus betul-betul mengerti dan memahami apa yang terkandung
dalam isi kontrak. Bukan hanya sekedar membaca saja! Pemain bisa meminta saran dari
penasihat hukum atau dari dinas yang membidangi ketenagakerjaan setempat, karena disana ada
pihak yang berkompeten dalam hal ini. Karena biasanya, pemain Indonesia sering menganggap
remeh tentang kontrak kerja ini, berbeda dengan pemain manca dimana mereka selalu meminta
bantuan penasihat hukum agar memiliki pemahaman yang jelas.
Yang sering terjadi dipersepakbolaan nasional, dan sudah menjadi masalah klasik dan turun
temurun, adalah berkaitan dengan pembayaran upah yang tertunggak. Kenapa penulis memakai
istilah upah dan bukan gaji? Dalam pasal 1 UU Ketenagakerjaan disebutkan upah adalah hak
pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari
pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut
suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, atas suatu pekerjaan dan atau/jasa yang telah
atau akan dilakukan. Jadi, yang diterima oleh pemain bola adalah upah dan bukan hanya gaji,
karena gaji merupakan salah satu komponen dari upah. Ketika klub telat dan bahkan menunggak
pembayaran upah pemain, berarti ada unsur kesengajaan dan kelalaian didalamnya. Oleh karena
itu, klub dapat dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh. Ini
diatur dalam Pasal 95 ay. (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam hal terjadi penunggakan upah tersebut, selain meminta jawaban dari pihak klub, pemain
juga dapat melaporkan masalah ini pada dinas yang membidangi ketenagakerjaan setempat,
karena disana ada pegawai pengawas ketenagakerjaan yang ditugasi untuk mengawasi
pelaksanaan UU ini. Seringkali pihak manajemen klub meminta pemain untuk mengerti kondisi
klub dan keuangan, namun pihak klub sendiri tidak pernah melihat dan mengerti kondisi pemain
dan keluarganya. Apakah kita harus melihat pemain bola melakukan demo dulu, seperti yang
dilakukan teman-temannya para pekerja/buruh, agar klub segera melunasi hak pemain bola
tersebut?
Oleh karena itu, setiap pemain bola harus mengerti terkait posisi mereka dalam suatu hubungan
kerja yang tertuang dalam kontrak kerja. Mereka memiliki kekuatan untuk memaksa klub agar
segera melunasi upah sesuai yang tertera dalam kontrak kerja.
Selain masalah upah, UU Ketenagakerjaan ini juga melindungi pemain bola terkait dengan
jaminan kesehatan mereka. Karena pemain mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas
keselamatan dan kesehatan mereka. Ini berkaitan dengan UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang
Jamsostek. Sehingga apa yang terjadi pada kasus Diego Mendieta tidak terulang lagi.

Karena keterlambatan upah yang dibayarkan, sehingga Mendieta tidak bisa berobat dan akhirnya
meregang nyawa. Namun, jika yang bersangkutan sudah memperoleh perlindungan atas
kesehatannya dari Jamsostek, tentu dia tidak perlu menunggu klub atau Pasoepati turun tangan,
dan bisa segera berobat.
Buat pemerintah, setelah Undang-undang SKN tidak diindahkan, apakah UU Ketenagakerjaan
ini, yang berkaitan langsung dengan hidup pemain dan keluarganya, akan tetap tidak diindahkan?
Buat klub ISL dan IPL, segeralah melunasi hutang upah pemain, karena ada istri dan anak
pemain yang bergantung pada upah tersebut. Ada kebutuhan mendasar yang harus mereka
penuhi. Bukankan pihak klub seharusnya sudah siap ketika akan mengarungi kompetisi 1 musim
penuh? Bukankah pihak klub sudah mempersiapkan upah yang harus dibayarkan? Kalo ternyata
terjadi penunggakan, kemana dana yang seharusnya untuk membayar hak pemain tersebut
melayang?
Buat pemain, sudah terlalu lama berdiam diri, selalu diminta mengerti tentang kondisi klub dan
keuangan..sedang klub sendiri tidak pernah memikirkan Anda serta keluarga yang berharap
banyak pada upah sebagai pemain. Sampai kapan lagi Anda harus menunggu? Ingat, jikalau
Anda bersatu, Anda memiliki kekuatan agar klub segera melunasi. Ingat dan belajarlah apa yang
terjadi pada La Liga kemarin yang terhambat bergulir, karena ada klub yang belum membayar
upah pemainnya.
Buat federasi, PSSI, belajarlah dari NBA yang sekitar medio 90-an hingga awal 2000-an sempat
terjerambab karena masalah upah ini juga. Jor-joraan menarik dan mengikat pemain dengan
upah yang besar, ternyata berbuah negatif, tidak mampu membayar upah. Akhirnya hingga saat
ini, NBA menerapkan sistem salary cap untuk mengantisipasi agar hal ini tidak terulang.
Bukankah PSSI bisa belajar dari hal ini? Tidak sekedar mendengungkan saja dan sekedar
pemanis, tapi harus segera dilaksanakan dan diterapkan.

Ekonomi Kreatif Solusi Masalah


Ketenagakerjaan
Larto - detikNews

Jakarta - Data yang dikeluarkan oleh Departemen Perdagangan pada


tahun 2006 menyebutkan rata-rata jumlah tenaga kerja yang diserap oleh
industri kreatif untuk periode 2002-2006 mencapai 5,4 juta orang.
Jumlah ini relative besar atau 5,79 persen dari total semua industri. Pada
tahun 2006, industri kreatif mengalami penurunan karena menurunnya
industry kerajinan dan fashion pada waktu itu.
Namun sumbangan tenaga kerja industri kreatif masih sebesar 4,9 juta
pekerja dan merupakan penyumbang tenaga ke-6 terbesar setelah (1)
Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan (40,14 juta pekerja); (2)
Perdagangan, hotel dan restoran (15,97 juta pekerja); (3) Jasa
kemasyarakatan (11,15 Juta Pekerja); (4) Industri pengolahan (10,55 juta
pekerja; (5) Pengangkutan dan komunikasi (5,66 juta pekerja).
Kontribusi industri kreatif pada tahun 2006 saat itu masih lebih besar
dibandingkan dengan Bangunan (4,7 juta pekerja) ; keuangan, real estat
dan jasa perusahaan (1,22 juta pekerja); pertambangan dan penggalian
(928 ribu pekerja); listrik dan Gas (228 ribu pekerja).
Melihat kontribusi yang sedemikian tentunya industri kreatif bukan sektor
yang bisa dipandang sebelah mata. Oleh karena itu perlu penguatan dan
upaya pemerintah untuk mendorong tumbuhnya ekonomi kreatif agar
mampu menjadi mesin penggerah dan pemecah kebuntuan
ketenagakerjaan di Indonesia.
Pemetaan Subsektor

Pemetaan subsektor mana yang paling berkontribusi terhadap industrik


kreatif sangat pentimng untuk melihat subsektor mana yang memiliki
peluang paling strategis untuk mengatasi persoalan ketenagakerjaan atau
pengangganguran.
Melihat data 2006, kontribusi paling besar disumbang oleh subsektor
fashion yang memberikan sumbangan terhadap ketenagakerjaan sebesar
2,6 juta pekerja (53,52 persen) dan kerajinan 1,5 juta pekerja (31,07
persen).
Sementara subsektor lain seperti arsitektur, music, permainan interaktif,
penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, riset &
pengembangan, periklanan, pasar seni barang antik dan film, video dan
fotografi secara keseluruhan hanya menyumbang tidak lebih dari 20
persen.
Pemetaan terhadap masing-masing subsektor agar terjadi peningkatan
penyerapan tenaga kerja perlu dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya
untuk meningkatkan kontribusi sektor industri kreatif di masa depan.
Pemerintah baik pemerintah daerah maupun pusat perlu melakukan
pemetaan terhadap potensi wilayah dan potensi sumber daya manusia
secara berkesinambungan. Saat ini masih terjadi paradoks antara program
yang dijalankan dengan potensi wilayah serta potensi sumber daya
masnusianya.
Masing-masing daerah memiliki potensi produk dan SDM yang berbedabeda sehingga berbeda pula dalam programnya. Pada daerah yang
memiliki industri kerajinan, harus dilakukan pembinaan dari proses
produksi, marketing hingga permodalan.
Pemerintah harus mulai konsen terhadap produk industri kreatif karena
sektor ini merupakan sektor ekonomi yang selalu terbarukan. Pembinaan
sektor produksi sangat penting untuk menjaga serta memperbaiki kualitas

produk yang akan dijual.


Pembinaan pada proses ini dapat dilakukan dengan memberikan mesinmesin baru agar masyarakat industri kreatif lebih mampu meningkatkan
kualitas produknya.
Pemetaan sektor industri kreatif yang dilanjutkan dengan pembinaan pada
keseluruhan aspek yang dibutuhkan di atas harus dilakukan secara serius
bukan hanya sebatas pada gugur kewajiban di atas kertas.
Birokrasi kita yang sudah terbiasa dengan manajemen proyek
menghasilkan kualitas yang rendah pada aspek manajemen dan hanya
berfokus pada penyerapan anggaran. Hal demikian harus dihindari agar
program yang dijalankan benar-benar menyentuh pada aspek pembinaan
masyakarat industri kreatif.
Pembinaan marketing dan permodalan dapat dilakukan oleh pemerintah
bekerjasama dengan elemen masyarakat yang ada tergantung pada basis
potensi wilayahnya. Pembinaan pada subsektor fashion akan berbeda
dengan kerajinan bahkan dengan subsektor layanan komputer dan piranti
lunak.
Mengambil contoh subsektor layanan komputer dan piranti lunak,
pembinaan pemerintah dapat dilakukan bekerjasama membuat program
dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan atau lebih teknis lagi
dengan perguruan tinggi atau kampus-kampus.
Program ini juga dapat diselaraskan dengan sekolah-sekolah menengah
kejuruan yang memiliki program studi computer dan piranti lunak.
Kerjasama program yang terpadu antar departemen di mana Departemen
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjadi motor penggerak menjadi salah
satu alternatif yang bisa dilakukan agar pengembangan subsektor ini
berjalan dengan baik.
Langkah selanjutnya yang bisa dilakukan adalah membuat workshopworkshop pada setiap basis subsektor industri di mana di lokasi tersebut
terdapat potensi produk sekaligus potensi SDM.

Pemuda dan Pengangguran


Pengangguran merupakan masalah klasik yang rumit di setiap negara,
bahkan dalam kajian ilmu ekonomi, masalah ini masuk dalam kajian
ekonomi murni atau ekonomi makro yang menjadi tugas negara untuk
menyelesaikannya.
Di satu sisi masalah pengangguran selalu dikaitkan dengan angkatan kerja
yang baru saja masuk pada usia angkatan kerja. Sehingga pengangguran
selalu tidak bisa lepas dari problematika kepemudaan.
Melihat 14 subsektor ekonomi kreatif yang ada di Indonesia, pemuda
sebagai representasi manusia kreatif seharusnya mampu menangkap
peluang ini menjadi usaha yang sustain di masa depan.
Pusat-pusat orang muda intelektual di kampus-kampus harus mampu
menjadi pusat-pusat pengembangan industri ini. Jika kita bicara tentang
pengembangan subsektor layanan komputer dan piranti lunak dapat
dipastikan bahwa SDM yang akan terlibat dalam industri ini adalah anakanak muda yang ada di kampus.
Namun seharusnya pemuda juga mengambil bagian terhadap
berkembangnya subsektor industri periklanan (advertising); arsitektur;
pasar barang seni; kerajinan; desain (design); pakaian (fashion);
permaianan interaktif (game); music; seni pertunjukan; video, film dan
fotografi; penerbitan dan percetakan; televisi dan radio serta riset dan
pengembangan.
Karena bergerak aktifnya komponen pemuda dalam berkreatifitas
menjamin terkuranginya masalah pengangguran di Indonesia.
*Penulis adalah Direktur Pengembangan Ekonomi Kreatif Koperasi
Pemuda Indonesia (Kopindo) dan Manajer Koperasi Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia.

Kemenkop Tawarkan Solusi untuk Atasi Masalah TKI


Selasa, 28 Juni 2011 , 20:00:00 WIB

Laporan: Ari Purwanto


RMOL.Kementrian Koperasi dan UKM siap membantu pemerintah untuk mencari jalan keluar pasca
moratorium Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Pasalnya moratorium tersebut menyebabkan banyak
calon TKI tidak mendapatkan pekerjaan.
Direktur Utama Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) Kementrian Koperasi dan UKM, Kemas Danial
mengatakan bahwa sebenarnya permasalahan utama banyaknya warga negara Indonesia mencari kerja di luar

IST

negeri karena tidak tersedianya lapangan kerja di tanah air.


Jadi, lanjutnya, hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana menciptakan dan memperbanyak lapangan
kerja di Indonesia.
"Untuk mencegah TKI kerja ke luar negeri harus dengan menggalakkan program kewirausahaan. Karena

dengan kewirausahaan, kita mendapatkan dua hal sekaligus. Pertama masyarakat bisa menjadi wirausahawan
dan yang kedua wirausahawan itu bisa memperkerjakan orang. Jadi tujuannnya kan tercapai, menekan
pengangguransehingga meningkatkan kesejahteraan," kata Kemas kepada Rakyat Merdeka Online di Gedung
Smesco, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta, kemarin.
Untuk mengaktualisasikan itu, LPDB, imbuh Kemas, memiliki program dalam bentuk frenchise, koperasi,
pengembangan Usaha Kecil dan Menengah serta beberapa paket usaha lainnya.
"Bahkan untuk program frenchise, kita menggandeng 156 franchise yang ada di Indonesia untuk menciptakan
wirausaha dan lapangan kerja baru," lanjut Kemas.
Dengan terciptanya lapangan pekerjaan di Indonesia, dipastikan para calon TKI tidak akan berniat untuk
mencari kerja di negeri orang. "Contoh, frenchise bakso. Dalam satu bulan bisa didapat keuntungan Rp 2 juta.
Saya kira akan banyak orang membuka usaha ini, ketimbang mencari uang di luar negeri," sambungnya.
Namun sayang, visi misi yang begitu bagus tidak didukung oleh dana yang besar dari pemerintrah. Dan itu jadi
masalah serius. Dana yang LPDB punyai sekitar Rp 800 miliar untuk semua program. Dengan dana seperti itu,
imbuhnya, LPDB tidak akan maksimal mengentaskan pengangguran.
Padahal, dengan dana Rp 1 triliun kita bisa mendapatkan 372 ribu lapangan pekerjaan. Dengan angka
pengangguran kita 8,1 juta orang maka sebenarnya dana yang dibutuhkan sekitar Rp 24 triliun.
"Nah kalau kita dikasih dana sekian, maka pengangguran bisa hilang. Sederhana saja kan.Pada dasarnya
masalah pengangguran tidak hanya diselesaikan pemerintah. Ini tugas kita semua. Kami memiliki kesempatan
membantu pemerintah, kita punya fasilitas dan infrastruktur, tapi kita tidak punya modal. Jadi kami berharap
modal untuk lembaga kita ditambah," tegasnya.[dem]

Tenaga Kerja Asing Di Indonesia: Kebijakan dan


Implementasi
Ditulis oleh SyahmardanSenin, 05 September 2011 16:29

Perkembangan globalisasi mendorong terjadinya


pergerakan aliran modal dan investasi ke berbagai penjuru dunia, terjadi pula
migrasi penduduk atau pergerakan tenaga kerja antar negara. Pergerakan
tenaga kerja tersebut berlangsung karena investasi yang dilakukan di negara lain
pada umumnya membutuhkan pengawasan secara langsung oleh
pemilik/investor. Sejalan dengan itu, demi menjaga kelangsungan usaha dan
investasinya. Untuk menghindari terjadinya permasalahan hukum serta
penggunaan tenaga kerja asing yang berlebihan, maka Pemerintah harus cermat
menentukan policy yang akan di ambil guna menjaga keseimbangan antara
tenaga kerja asing (modal asing) dengan tenaga kerja dalam negeri.

A. PENDAHULUAN
Menyadari kenyataan sejauh ini Indonesia masih memerlukan investor asing,
demikian juga dengan pengaruh globalisasi peradaban dimana Indonesia
sebagai negara anggota WTO harus membuka kesempatan masuknya tenaga
kerja asing. Untuk mengantisipasi hal tersebut diharapkan ada kelengkapan
peraturan yang mengatur persyaratan tenaga kerja asing, serta pengamanan
penggunaan tenaga kerja asing. Peraturan tersebut harus mengatur aspek-aspek
dasar dan bentuk peraturan yang mengatur tidak hanya di tingkat Menteri,
dengan tujuan penggunaan tenaga kerja asing secara selektif dengan tetap
memprioritaskan TKI.
Oleh karenanya dalam mempekerjakan tenaga kerja asing, dilakukan melalui
mekanisme dan prosedur yang sangat ketat, terutama dengan cara mewajibkan
bagi perusaahan atau korporasi yang mempergunakan tenaga kerja asing
bekerja di Indonesia dengan membuat rencana penggunaan tenaga kerja asing

(RPTKA)
sebagaimana
diatur
dalam
Peraturan
Menteri
Nomor
PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
B. PENGATURAN NASIONAL MENGENAI TENAGA KERJA ASING
1. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 Tentang Penggunaan Tenaga
Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP)
Berbeda dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menggunakan istilah
tenaga kerja asing terhadap warga negara asing pemegang visa dengan maksud
bekerja di wilayah Negara Kesatuan Republik Indoensia (NKRI), dalam
Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja
Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP), menggunakan istilah tenaga warga
negara asing pendatang, yaitu tenaga kerja warga negara asing yang memiliki
visa tingal terbatas atau izin tinggal terbatas atau izin tetap untuk maksud bekerja
(melakukan pekerjaan) dari dalam wilayah Republik Indonesia (Pasal 1 angka 1).
Istilah TKWNAP ini dianggap kurang tepat, karena seorang tenaga kerja asing
bukan saja datang (sebagai pendatang) dari luar wilayah Republik Idnonesia,
akan tetapi ada kemungkinan seorang tenaga kerja asing lahir dan bertempat
tinggal di Indonesia karena status keimigrasian orang tuanya (berdasarkan
asas ius soli atau ius sanguinis).
Pada prinsipnya, Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tentang
penggunaan tenaga kerja warga negara asing pendatang adalah mewajibkan
pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia di bidang dan jenis pekerjaan
yang tersedia kecuali jika ada bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia belum
atau tidak sepenuhnya diisi oleh tenaga kerja Indonesia, maka penggunaan
tenaga kerja warga negara asing pendatang diperbolehkan sampai batas waktu
tertentu (Pasal 2). Ketentuan ini mengharapkan agar tenaga kerja Indonesia
kelak mampu mengadop skill tenaga kerja asing yang bersangkutan dan
melaksanakan sendiri tanpa harus melibatkan tenaga kerja asing. Dengan
demikian penggunaan tenaga kerja asing dilaksanakan secara slektif dalam
rangka pendayagunaan tenaga kerja Indonesia secara optimal.
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (UUK), penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia diatur
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Kerja
Asing (UUPTKA). Dalam perjalanannya, pengaturan mengenai penggunaan
tenaga kerja asing tidak lagi diatur dalam undang-undang tersendiri, namun
sudah merupakan bagian dari kompilasi dalam UU Ketenagakerjaan yang baru.
Dalam UUK, pengaturan Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) dimuat pada
Bab VIII, Pasal 42 sampai dengan Pasal 49. Pengaturan tersebut dimulai dari
kewajiban pemberi kerja yang menggunakan TKA untuk memperoleh izin tertulis;
memiliki rencana penggunaan TKA yang memuat alasan, jenis jabatan dan
jangka waktu penggunaan TKA; kewajiban penunjukan tenaga kerja WNI
sebagai pendamping TKA; hingga kewajiban memulangkan TKA ke negara asal
setelah berakhirnya hubungan kerja.
UUK menegaskan bahwa setiap pengusaha dilarang mempekerjakan orangorang asing tanpa izin tertulis dari Menteri. Pengertian Tenaga Kerja Asing juga
dipersempit yaitu warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di
wilayah Indonesia. Di dalam ketentuan tersebut ditegaskan kembali bahwa setiap
pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis
dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Untuk memberikan kesempatan kerja
yang lebih luas kepada tenaga kerja Indonesia (TKI), pemerintah membatasi
penggunaan tenaga kerja asing dan melakukan pengawasan. Dalam rangka itu,
Pemerintah mengeluarkan sejumlah perangkat hukum mulai dari perizinan,
jaminan perlindungan kesehatan sampai pada pengawasan. Sejumlah peraturan
yang diperintahkan oleh UUK antara lain :
1) Keputusan Menteri tentang Jabatan Tertentu dan Waktu Tertentu (Pasal 42
ayat (5));
2) Keputusan Menteri tentang Tata Cata Pengesahan Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing (Pasal 43 ayat (4));
3) Keputusan Menteri tentang Jabatan dan Standar Kompetensi (Pasal 44 ayat
(2));

4) Keputusan Menteri tentang Jabatan-jabatan Tertentu yang Dilarang di Jabat


oleh Tenaga Kerja Asing (Pasal 46 ayat (2));
5) Keputusan Menteri tentang Jabatan-jabatan Tertentu di Lembaga Pendidikan
yang Dibebaskan dari Pembayaran Kompensasi (Pasal 47 ayat (3)).
6) Peraturan Pemerintah tentang Besarnya Kompensasi dan Penggunaannya
(Pasal 47 ayat 4).
7) Keputusan Presiden tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing serta
Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping (Pasal 49).
Sejak UUK diundangkan pada tanggal 25 Maret 2003, telah dilahirkan beberapa
peraturan pelaksana undang-undang tersebut[1], antara lain :
1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 223/MEN/2003
Tentang Jabatan-jabatan di Lembaga Pendidikan yang Dikecualikan dari
Kewajiban Membayar Kompensasi.
2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 67/MEN/IV/2004
tentang Pelaksanaan Program JAMSOSTEK bagi Tenaga Kerja Asing.
3) Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008
Penggunaan Tenaga Kerja Asing.

Tentang

Tata

Cara

Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja nasional


terutama dalam mengisi kekosongan keahlian dan kompetensi di bidang tertentu
yang tidak dapat ter-cover oleh tenaga kerja Indonesia, maka tenaga kerja asing
dapat dipekerjakan di Indonesia sepanjang dalam hubungan kerja untuk jabatan
tertentu dan waktu tertentu. Mempekerjakan tenaga kerja asing dapat dilakukan
oleh pihak manapun sesuai dengan ketentuan kecuali pemberi kerja orang
perseorangan. Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing
wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk kecuali
terhadap perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing
sebagai pegawai diplomatik dan konsuler. Ketentuan mengenai jabatan tertentu
dan waktu tertentu bagi tenaga kerja asing ditetapkan dengan keputusan Menteri,

yaitu Keputusan Menteri Nomor : KEP-173/MEN/2000 tentang Jangka Waktu Izin


Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang.
Terhadap setiap pengajuan/rencana penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia
harus dibatasi baik dalam jumlah maupun bidang-bidang yang dapat diduduki
oleh tenaga kerja asing. Hal itu bertujuan agar kehadiran tenaga kerja asing di
Indoesia bukanlah dianggap sebagai ancaman yang cukup serius bagi tenaga
kerja Indonesia, justru kehadiran mereka sebagai pemicu bagi tenaga kerja
Indonesia untuk lebih professional dan selalu menambah kemampuan dirinya
agar dapat bersaing baik antara sesama tenaga kerja Indonesia maupun dengan
tenaga kerja asing. Oleh karenanya UUK, membatasi jabatan-jabatan yang dapat
diduduki oleh tenaga kerja asing. Terhadap tenaga kerja asing dilarang
menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu
yang selanjutnya diatur dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 223 Tahun 2003 tentang Jabatan-jabatan di Lembaga
Pendidikan yang Dikecualikan dari Kewajiban Membayar Kompensasi.
Jabatan-jabatan yang dilarang (closed list) ini harus diperhatikan oleh si pemberi
kerja sebelum mengajukan penggunaan tenaga kerja asing. Selain harus
mentaati ketentuan tentang jabatan, juga harus memperhatikan standar
kompetansi yang berlaku. Ketentuan tentang jabatan dan standar kompetensi
didelegasikan ke dalam bentuk Keputusan Menteri. Namun dalam prakteknya,
kewenangan delegatif maupun atributif ini belum menggunakan aturan yang
sesuai dengan UUK.
Kahadiran tenaga kerja asing dapat dikatakan sebagai salah satu pembawa
devisa bagi negara dimana adanya pembayaran kompensasi atas setiap tenaga
kerja asing yang dipekerjakan. Pembayaran kompensasi ini dikecualikan pada
pemberi kerja tenaga kerja asing merupakan instansi pemerintah, perwakilan
negara asing, badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan,
dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan[2]. Besanya dana
kompensasi untuk tenaga kerja Indonesia di luar negeri sebesar US$15,
sedangkan kompensasi untuk tenaga kerja asing di Indonesia sebesar
US$100[3]. Dalam rangka pelaksanaan Transfer of Knowledge dari tenaga kerja
asing kepada tenaga kerja Indonesia, kepada pemberi kerja diwajibkan untuk

mengadakan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja pendamping (Pasal 49


UUK). Mengenai hal ini diatur dengan Keputusan Presiden yang sampai saat ini
belum ditetapkan.
3. Peraturan Menteri Nomor
Penggunaan Tenaga Kerja Asing

PER.02/MEN/III/2008

Tentang

Tata

Cara

Peraturan Menteri ini dikelurakan dalam rangka pelaksanaan Pasal 42 ayat (1)
UUK. Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008
Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing ini maka beberapa
peraturan sebelumnya terkait dengan pelaksanaan Pasal 42 ayat (1) UUK ini
yakni : Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.228/MEN/2003 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing; Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.20/MEN/III/2004 tentang Tata Cara Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga
Kerja Asing; Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.21/MEN/III/2004 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing Sebagai
Pemandu Nyanyi/Karaoke; Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor PER.07/MEN/III/2006 tentang Penyederhanaan Prosedur Memperoleh Ijin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA); Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor PER.15/MEN/IV/2006 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.07/MEN/III/2006 tentang
Penyederhanaan Prosedur Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing
(IMTA); Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.34/MEN/III/2006 tentang Ketentuan Pemberian Ijin Mempekerjakan Tenaga
Kerja Asing (IMTA) Kepada Pengusaha Yang Mempekerjakan Tenaga Kerja
Asing Pada Jabatan Direksi atau Komisaris; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
(Pasal 44).
1)Tata Cara Permohonan Pengesahan RPTKA
Selain harus memiliki izin mempekerjakan tenaga kerja asing, sebelumnya
pemberi kerja harus memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing
(RPTKA) yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 3
menyebutkan bahwa pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA harus

memiliki RPTKA yang digunakan sebagai dasar untuk mendapatkan Izin


Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Untuk mendapatkan pengesahan
RPTKA, pemberi kerja TKA harus mengajukan permohonan secara tertulis yang
dilengkapi alasan penggunaan TKA dengan melampirkan :
1. formulir RPTKA yang sudah dilengkapi;
2. surat ijin usaha dari instansi yang berwenang;
3. akte pendirian sebagai badan hukum yang sudah disahkan oleh pejabat
yang berwenang;
4. keterangan domisili perusahaan dari pemerintah daerah setempat;
5. bagan struktur organisasi perusahaan;
6. surat penunjukan TKI sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan;
7. copy bukti wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku berdasarkan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan di perusahaan; dan
8. rekomendasi jabatan yang akan diduduki oleh TKA dari instansi tertentu
apabila diperlukan.
Formulir RPTKA sebagaimana dimaksud pada huruf a memuat :
1. Identitas pemberi kerja TKA;
2. Jabatan dan/atau kedudukan TKA dalam struktur bagan organisasi
perusahaan yang bersangkutan;
3. Besarnya upah TKA yang akan dibayarkan;
4. Jumlah TKA;
5. Lokasi kerja TKA;

6. Jangka waktu penggunaan TKA;


7. Penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping
TKA yang dipekerjakan[4]; dan
8. Rencana program pendidikan dan pelatihan tenaga kerja Indonesia.
2) Pengesahan RPTKA
Dalam hal hasil penilaian kelayakan permohonan RPTKA telah sesuai prosedur
yang ditetapkan, Dirjen atau Direktur harus menerbitkan keputusan pengesahan
RPTKA. Penerbitan keputusan pengesahan RPTKA dilakukan oleh Dirjen untuk
permohonan penggunaan TKA sebanyak 50 (lima puluh) orang atau lebih; serta
Direktur untuk permohonan penggunaan TKA yang kurang dari 50 (lima puluh)
orang. Keputusan pengesahan RPTKA ini memuat :
1. Alasan penggunaan TKA;
2. Jabatan dan/atau kedudukan TKA dalam struktur organisasi perusahaan
yang bersangkutan;
3. Besarnya upah TKA;
4. Jumlah TKA;
5. Lokasi kerja TKA;
6. Jangka waktu penggunaan TKA;
7. Jumlah TKI yang ditunjuk sebagai pendamping TKA[5]; dan
8. Jumlah TKI yang dipekerjakan.
3) Perubahan RPTKA
Pemberi kerja TKA dapat mengajukan permohonan perubahan RPTKA sebelum
berakhirnya jangka waktu RPTKA. Perubahan RPTKA tersebut meliputi :

a. penambahan, pengurangan jabatan beserta jumlah TKA;


b. perubahan jabatan; dan/atau
c. perubahan lokasi kerja.
4) Persyaratan TKA
Bagi Tenaga Kerja Asing yang dipekerjakan oleh pemberi kerja wajib memenuhi
persyaratan yakni: memiliki pendidikan dan/atau pengalaman kerja sekurangkurangnya 5 (lima) tahun yang sesuai dengan jabatan yang akan didudukinya;
bersedia membuat pernyataan untuk mengalihkan keahliannya kepada tenaga
kerja warga negara Indonesia khususnya Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
pendamping; dan dapat berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia.
5) Perijinan
Ijin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) diberikan oleh Direktur Pengadaan
dan Penggunaan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga kerja dan Transmigrasi
kepada pemberi kerja tenaga kerja asing[6], dengan terlebih dahulu mengajukan
permohonan untuk mendapatkan rekomendasi visa (TA-01) dengan melampirkan
(Pasal 23) :
1. Copy Surat Keputusan Pengesahan RPTKA;
2. Copy paspor TKA yang akan dipekerjakan;
3. Daftar riwayat hidup TKA yang akan dipekerjakan;
4. Copy ijasah dan/atau keterangan pengalaman kerja TKA yang akan
dipekerjakan;
5. Copy surat penunjukan tenaga kerja pendamping; dan
6. Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 1 (satu) lembar.

Dalam hal Ditjen Imigrasi telah mengabulkan permohonan visa untuk dapat
bekerja atas nama TKA yang bersangkutan dan menerbitkan surat
pemberitahuan tentang persetujuan pemberian visa, maka pemberi kerja TKA
mengajukan permohonan IMTA dengan melampirkan (Pasal 24):
1. copy draft perjanjian kerja;
2. bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang
ditunjuk oleh Menteri;
3. copy polis asuransi;
4. copy surat pemberitahuan tentang persetujuan pemberian visa; dan
5. foto berwarna ukuran 4x6 sebanyak 2 (dua) lembar[7].
6) Perpanjangan IMTA
Mengenai perpanjangan Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) diatur
dalam Pasal 27 dan Pasal 28. IMTA dapat diperpanjang paling lama 1 (satu)
tahun, bila masa berlaku IMTA belum berakhir. Oleh karena itu permohonan
perpanjangan IMTA selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum
jangka waktu berlakunya IMTA berakhir. Permohonan perpanjangan IMTA
dilakukan dengan mengisi formulir perpanjangan IMTA dengan melampirkan :
1. Copy IMTA yang masih berlaku;
2. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang
ditunjuk oleh Menteri;
3. Copy polis asuransi;
4. Pelatihan kepada TKI pendamping;
5. Copy keputusan RPTKA yang masih berlaku; dan
6. Foto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar.

Perpanjangan IMTA diterbitkan oleh :


1. Direktur untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah
propinsi;
2. Gubernur atau pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
di provinsi untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas Kabupaten/Kota dalam 1
(satu) provinsi;
3. Bupati/Walikota atau pejabat yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam
1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota;
7) IMTA Untuk Pekerjaan Darurat
Pekerjaan yang bersifat darurat atau pekerjaan-pekerjaan yang apabila tidak
ditangani secara langsung mengakibatkan kerugian fatal bagi masyarakat umum
dan jangka waktunya tidak lebih dari 30 (tiga puluh) hari, yang mana jenis
pekerjaan mendesak itu ditetapkan oleh instansi pemerintah yang membidangi
sektor usaha yang bersangkutan. Permohonan pengajuan IMTA yang bersifat
mendesak ini disampaikan kepada Direktur dengan melampirkan :
1. Rekomendasi dari instansi pemerintah yang berwenang;
2. Copy polis asuransi;
3. Fotocopy paspor TKA yang bersangkutan;
4. Pasfoto TKA ukuran 4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar;
5. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui bank yang
ditunjuk oleh Menteri; dan
6. Bukti ijin keimigrasian yang masih berlaku.
8) IMTA Untuk Kawasan Ekonomi Khusus

Untuk memperoleh IMTA bagi TKA yang bekerja di kawasan ekonomi khusus,
pemberi kerja TKA harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Pejabat yang ditunjuk di kawasan ekonomi khusus. Tata cara memperoleh IMTA
di kawasan ekonomi khusus mengikuti ketentuan dalam poin 5 (lima).
9) IMTA Untuk Pemegang Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP)
Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA pemegang ijin tinggal tetap wajib
mengajukan permohonan kepada Direktur dengan melampirkan :
1. Copy RPTKA yang masih berlaku;
2. Copy izin tinggal tetap yang masih berlaku;
3. Daftar riwayat hidup TKA yang akan dipekerjakan;
4. Copy ijasah atau pengalaman kerja;
5. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang
ditunjuk oleh Menteri;
6. Copy polis asuransi; dan
7. Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar.
10) IMTA Untuk Pemandu Nyanyi/Karaoke
Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA sebagai pemandu nyanyi/karaoke
wajib memiliki ijin tertulis dari Direktur. Jangka waktu penggunaan TKA sebagai
pemandu nyanyi/karaoke diberikan paling lama 6 (enam) bulan dan tidak dapat
diperpanjang. Untuk menjapatkan ijin pemberi kerja TKA harus mengajukan
permohonan IMTA dengan melampirkan :
1. Copy ijin tempat usaha yang memiliki fasilitas karaoke;
2. RPTKA yang telas disahkan oleh direktur;

3. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang


ditunjuk oleh Menteri;
4. Copy polis asuransi; dan
5. Perjanjian kerja TKA dengan pemberi kerja.
11) Alih Status
Pemberi kerja TKA instansi pemerintah atau lembaga pemerintah atau badan
internasional yang akan memindahkan TKA yang dipekerjakannya ke instansi
pemerintah atau lembaga pemerintah atau badan internasional lainnya harus
mengajukan permohonan rekomendasi alih status kepada Direktur. Rekomendasi
disampaikan kepada Direktur Jenderal Imigrasi untuk perubahan KITAS/KITAP
yang digunakan sebagai dasar perubahan IMTA atau penerbitan IMTA baru.
12) Perubahan Nama Pemberi Kerja
Dalam hal pemberi kerja TKA berganti nama, pemberi kerja harus mengajukan
permohonan perubahan RPTKA kepada Direktur Penyediaan dan Penggunaan
Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Setelah RPTKA
disetujui, Direktur Penyediaan dan penggunaan Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi menerbitkan rekomendasi kepada Direktur Jenderal Imigrasi untuk
mengubah KITAS/KITAP sebagai dasar perubahan IMTA, dengan terlebih dahulu
menyampaikan permohonan dengan melampirkan :
1. Copy RPTKA yang masih berlaku;
2. Copy KITAS/KITAP yang masih berlaku;
3. Copy IMTA yang masih berlaku;
4. Copy bukti perubahan nama perusahaan yang telah disahkan oleh instansi
yang berwenang.
13) Perubahan lokasi Kerja

Dalam hal pemberi kerja melakukan perubahan lokasi kerja TKA, pemberi kerja
wajib mengajukan permohonan perubahan lokasi kerja TKA kepada Direktur
Penyediaan dan Penggunaan tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dengan melampirkan copy RPTKA dan IMTA yang masih berlaku.
14) Pelaporan
Pemberi kerja TKA wajib melaporkan penggunaan TKA dan pendamping TKA di
perusahaan secara periodik 6 (enam) bulan sekali kepada Direktur atau
Gubernur atau Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Dirjen. Direktur atau
Gubernur atau Bupati/Walikota melaporkan IMTA yang diterbitkan secara
periodik setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri dengan tembusan kepada Dirjen.
15) Pengawasan
Pengawasan terhadap pemberi kerja yang mempekerjakan TKA dilakukan oleh
pegawai pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundangundangan
16) Pencabutan Ijin
Dalam hal pemberi kerja mempekerjakan TKA tidak sesuai dengan IMTA,
Direktur atau Gubernur atau Bupati/Walikota berwenang mencabut IMTA.
C. IMPLEMENTASI
Sejak amandemen UUD 1945, asas otonomi daerah mendapatkan posisinya
dalam Pasal 18 tentang pemerintah daerah dan dikembangkannya sistem
pemerintahan yang desentralistis melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Lima hal pokok yang menjadi kewenangan Pusat
Menyusul diberlakukannya otonomi daerah ini adalah luar negeri, pertahanan
dan keamanan, moneter, kehakiman, dan fiskal. Masalah ketenagakerjaan pun
menjadi lingkup kewenangan pemerintah daerah, dengan menempatkannya
dalam struktur organisasi dan tata kerja dalam struktur dinas.

Berdasarkan Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara


Penggunaan Tenaga Kerja Asing, pengajuan mempergunakan tenaga kerja asing
untuk pertama kalinya diajukan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
selanjutnya untuk perpanjangan diajukan dan diberikan oleh Direktur atau
Gubernur/Walikota. Kondisi ini telah melahirkan masalah baru di daerah. Sebagai
contoh kasus yang terjadi di Kota Batam, Sebelum diberlakukannya UUK,
Pemerintah Daerah melalui seksi penempatan kerja dan tenaga kerja asing
memiliki tugas dan wewenang dalam proses pemberian izin tenaga kerja asing di
Kota Batam. Akan tetapi setelah diberlakukannya UUK, tugas dan kewenangan
seksi tereliminir. Para pengusaha yang akan mempekerjakan tenaga kerja asing
pun harus menyeberang pulau menenuju Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi di Jakarta. Tentu saja dengan mekanisme baru ini membutuhkan
waktu dan biaya yang tidak sedikit. Apa lagi birokrasi di Kementerian kita masih
dinilai negatif; urusan yang mudah justru dipersulit. Kerumitan yang dipandang
oleh para pengusaha yang akan meminta izin mempekerjakan tenaga kerja asing
ini menjadi sorotan terutama bagi kementerian yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan untuk dapat meningkatkan kinerjanya dalam
memberikan pelayanan khususnya pemberian izin mempekerjakan tenaga kerja
asing[8].
Selanjutnya Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menerbitkan Surat
Keputusan Nomor B.388/MEN/TKDN/VI/2005 tanggal 21 Juli 2005 yang telah
disosialisasikan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Batam. SK ini pun mendapat
tanggapan keras dari kalangan pengusaha di Batam untuk dapat meninjau
kembali tentang pengesahan RPTKA. Keberatan lain yang menjadi point penting
adalah biaya yang cukup besar untuk mengurus pengajuan dan izin penggunaan
tenaga kerja asing. Pengurusan izin penempatan tenaga kerja asing juga muncul
sehubungan dengan pendapatan asli daerah (PAD) karena di dalam kaitannya
dengan dana kompensasi di Provinsi Jawa Timur terdapat sedikitnya 1400
tenaga kerja asing yang tersebar di wilayah Kabupaten/Kota[9]. Berkaitan dengan
keberadaan tenaga kerja asing tersebut maka Pemerintah Provinsi Jawa Timur
membuat Perda Nomor 2 Tahun 2002 tentang Izin Kerja Perpanjangan
Sementara dan Mendesak Bagi tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang;
yang substansinya memberikan pembebanan kepada pengguna tenaga kerja

asing di Jawa Timur untuk membayar dana kompensasi kepada pemerintah


daerah provinsi dan hasil dana kompensasi tersebut dibagi secara proporsional
kepada setiap Kabupaten/Kota yang terdapat di wilayah Provinsi Jawa Timur.
Contoh lain terdapat di Kabupaten Bekasi yang sebagian ruang wilayah
diperuntukkan bagi kawasan industri, maka dengan didirikannya berbagai
perusahaan industri, dampaknya terdapat tenaga kerja asing yang bekerja di
perusahaan-perusahaan industri di wilayah Bekasi. Di Kabupaten Bekasi
sedikitnya terdapat 1500 tenaga kerja asing, dari jumlah tersebut sebagian besar
tenaga kerja asing tersebut berasal dari Korea dan Jepang[10]. Terkait TKA di
Kabupaten Bekasi diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2001 tentang
Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja Asing, salah satu substansi pengaturannya
berkaitan dengan kewajiban sertiap warga negara asing yang bekerja di wilayah
Kabupaten Bekasi untuk menyetor uang sebesar US$100 per bulan kepada
Pemerintah Kabupaten Bekasi. Secara ekonomis ketentuan tersebut
menghasilkan dana untuk pemerintah Kabupaten, karena dimasukkan ke dalam
Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bekasi dan
secara tidak langsung Mekanisme tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk
dari pengawasan tidak langsung, karena setiap bulan akan diketahui berapa
jumlah tenaga kerja asing yang ada di Kabupaten Bekasi. Hal tersebut dapat
dilihat dari jumlah dana yang Disetor setiap bulan dari para pengusaha kawasan
industri di Kabupaten bekasi ke Kas Pemda Bekasi.
Namun demikian menurut Pemda Bekasi keberadaan tenaga kerja asing di
Bekasi belum memberikan keuntungan bagi pembangunan di wilayahnya, Salah
satu alasannya pemasukan pajak tenaga kerja asing sebesar Rp 23 milyar wajib
disetor ke Pemerintah Pusat, karena berdasarkan audit Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) Tahun 2005 dana tersebut merupakan pendapatan non pajak
dan hak pemerintah pusat. BPK mengatakan dana tersebut bersumber dari dana
pengembangan ketrampilan kerja (DPKK), padahal dana tersebut merupakan
uang hasil pungutan dari seluruh tenaga kerja asing yang bekerja di wilayah
Bekasi. Perda Nomor 19 Tahun 2001 mempertimbangkan Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999, Dalam undang-undang tersebut disebutkan daerah
memiliki kewenangan mengatur keberadaan tenaga kerja asing demi
pembangunan daerah, hal ini berarti pungutan yang berasal dari tenaga kerja

asing seharusnya juga menjadi sumber pendapatan asli daerah. Sedangkan


pemerintah Pusat melalui Kementerian Keuangan menyatakan pungutan
terhadap tenaga kerja asing sebagai pendapatan non pajak Kementerian
Keuangan menyatakan pungutan tersebut harus di setor kepada Pemerintah
Pusat.
Dengan demikian terjadi perbedaan pemahaman antara Pusat dan Daerah soal
tenaga kerja asing yang dapat menimbulkan permasalahan dan ketidakpastian
hukum. Hal tersebut tidak perlu terjadi karena dengan tuntutan instansi/lembaga
pemerintah di daerah untuk menjalankan otonomi di daerahnya, dalam rangka
ketenagakerjaan telah dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 13067 Tahun 2002 tentang Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan Kota. Pada
Lampairan Keputusan Mendagri, khususnya Pada Bidang Ketenagakerjaan
angka romawi I huruf A: Penempatan dan pendayagunaan, angka 7 : Perizinan
dan Pengawasan, perpanjangan izin penggunaan tenaga Kerja asing, disebutkan
bahwa kewenangan yang dilimpahkan kepada Kabupaten/Kota adalah :
1. Penelitian pelengkapan persyaratan perizinan (IKTA);
2. Analisis jabatan yang akan diisi oleh tenaga kerja asing
3. Pengecekan kesesuaian jabatan dengan Positif List tenbaga kerja asing
yang akan dikeluarkan oleh DEPNAKER;
4. Pemberian perpanjangan izin (Perpanjangan IMTA);
5. Pemantauan pelaksanaan kerja tenaga kerja asing; dan
6. Pemberian rekomendasi IMTA.
Terkait permohonan IKTA dalam rangka penenaman modal asing, didasarkan
pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor KEP105/MEN/1977 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Kerja Bagi
tenaga Kerja Asing yang akan bekerja dalam rangka Koordinasi penanaman
modal, diatur bahwa IKTA dikeluarkan oleh Ketua Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM). Namun berdasarkan Kepmenaker Nomor KEP-03/MEN/1990

bahwa permohonan IKTA yang diajukan oleh pemohon yang merupakan


perusahaan dalam rangka PMA dan PMDN, disampaikan kepada Ketua BKPM
(Pasal 9 ayat 2). Kemudian Ketua BKPM atas nama Menteri Tenaga Kerja
mengeluarkan IKTA dengan tembusan disampaikan kepada instansi teknis
(Pasal 10 ayat 2 dan 3).
Selanjutnya pengaturan secara teknis tentang tata cara permohonan
penyelesaian IKTA bagi perusahaan dalam rangka PMA dan PMDN, wajib
menyesuaikan dan mengikuti ketentuan dalam Kepmenaker Nomor KEP416/MEN/1990 (Pasal 21). Namun berdasarkan Kepmenaker Nomor KEP169/MEN/2000 tentang Pencabutan Kepmenaker Nomor KEP-105/MEN/1977
Tentang pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Kerja bagi Tenaga Kerja Asing
yang akan bekerja dalam rangka Koordinasi Penanaman Modal dan Kepmenaker
Nomor KEP-105/MEN/1985 tentang Penunjukan Ketua BKPM untuk mensahkan
(RPTKA) dalam rangka penanaman modal, mencabut wewenang pemberian izin
kerja (IKTA) oleh Ketua BKPM dalam rangka penanaman modal (sejak tanggal 1
Juli 2000). Selanjutnya pemberian IKTA dilaksanakan oleh Menteri Tenaga Kerja
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
D. PENUTUP
Berdasarkan uraian terdahulu, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. ketentuan mengenai tenaga kerja asing di Indonesia dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, tidak diatur lagi dalam suatu peraturan perundangundangan tersendiri seperti dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1958
tentang penempatan tenaga kerja asing, tetapi merupakan bagian dari
kompilasi dalam UUK yang baru tersebut. Ketentuan mengenai
penggunaan tenaga kerja asing dimuat pada Bab VIII Pasal 42 sampai
dengan Pasal 49. Namun demikian untuk dapat melaksanakan undangundang yang baru masih banyak kendala terutama dalam menggalakkan
investasi karena sejumlah peraturan yang melengkapi kelancaran program
penggunaan tenaga kerja asing belum siap, sejauh ini baru Peraturan

Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan


Tenaga Kerja Asing yang sudah ada disamping 3 Permenaker yang lain
untuk mengisi kekosongan hukum dengan belum terbitnya peraturanperaturan yang diperlukan maka peraturan yang lama sementara masih
diberlakukan.
2. Penempatan tenaga kerja asing dapat dilakukan setelah pengajuan
rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) disetujui oleh
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan mengeluarkan izin
penggunaan tenaga kerja asing. Untuk dapat bekerja di Indonesia, tenaga
kerja asing tersebut harus mempunyai izin tinggal terbatas (KITAS) yang
terlebih dahulu harus mempunyai visa untuk bekerja di Indonesia atas
nama tenaga kerja asing yang bersangkutan untuk dikeluarkan izinnya
oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
3. Tenaga ahli yang didatangkan dari luar negeri oleh perusahaan
pemerintah/swasta hendaknya benar-benar tenaga ahli yang terampil
sehingga dapat membatu proses pembangunan ekonomi dan teknologi di
Indonesia. Untuk itu proses alih teknologinya kepada TKI baik dalam jalur
menajerial maupun profesionalnya harus mendapat pengawasan yang
ketat dengan memberikan sertifikasi kepada tenaga ahli tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Laporan, Survey Nasional Tenaga Kerja Asing di Indonesia, Bank Indonesia,
Tahun 2009.
Laporan Akhir Penelitian: Permasalahan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia,
BPHN, Tahun 2005.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja
Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP)

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.HT.04.02 Tahun


1997 Penggunaan Ahli Hukum Warga Negara Asing oleh Kantor Konsultan
Hukum Indonesia
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigarasi Nomor 223 Tahun 2003
Tentang Jabatan-jabatan di Lembaga Pendidikan yang Dikecualikan dari
Kewajiban Membayar Kompensasi.
Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.09-Pr.07.10 Tahun 2007
Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Hukum dan HAM RI
Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan
Tenaga Kerja Asing
Kompas.com, Dilema Indonesia dalam ACFTA, diakses tanggal 11 Mei 2011
http://www.tempointeraktif.com, diakses tanggal 22 Mei 2011.

[1] Keputusan Menteri yang diprakarsai Kementerian Tenaga Kerja dan


Transmigrasi ini merupakan implementasi UUK. Namun pelaksanaan undangundang oleh Keputusan Menteri tidak sesuai dengan hierarki peraturan
perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[2] Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigarasi Nomor 223
Tahun 2003 Tentang Jabatan-jabatan di Lembaga Pendidikan yang Dikecualikan
dari Kewajiban Membayar Kompensasi.
[3] Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008
Penggunaan Tenaga Kerja Asing

Tentang

Tata

Cara

[4] Untuk tercapainya alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing ke
tenaga kerja warga negara Indonesia, maka diadakan pendidikan dan pelatihan

kerja bagi tenaga kerja Indonesia sesuai dengan kualifikasi jabatan yang
diduduki oleh tenaga kerja asing kecuali bagi tenaga kerja asing yang menduduki
jabatan direksi dan/atau komisaris.
[5] Untuk tercapainya alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing ke
tenaga kerja warga negara Indonesia, maka diadakan pendidikan dan pelatihan
kerja bagi tenaga kerja Indonesia sesuai dengan kualifikasi jabatan yang
diduduki oleh tenaga kerja asing kecuali bagi tenaga kerja asing yang menduduki
jabatan direksi dan/atau komisaris.
[6] Apabila permohonan telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Direktur harus menerbitkan rekomendasi (TA-01) dan menyampaikan
kepada Direktur Lalu Lintas Keimigrasian (Lantaskim), Direktorat Jenderal
Imigrasi dalam waktu selambat-lambatnya pada hari berikutnya dengan
ditembuskan kepada pemberi kerja TKA (Pasal 23 ayat (2))
[7] Dalam hal persyaratan telah dipenuhi, Direktur menerbitkan IMTA selambatlambatnya 3 (tiga) hari kerja (Pasal 24 ayat (2))
[8] Laporan Akhir Penelitian: Permasalahan
Indonesia, BPHN, Tahun 2005.

Hukum

Ketenagakerjaan

[9] Ibid.
[10] http://www.tempointeraktif.com, diakses tanggal 22 Mei 2011.

perlindungan hukum TKI Illegal di luar negeri


berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 Ttg
Ketenagakkerjaan
BAB I
PENDAHULUAN

di

A. Latar Belakang
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah warga negara
Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja dalam jangka
waktu tertentu dengan menerima upah atau penghasilan tertentu.
Mereka bekerja di Luar Negeri berdasarkan perjanjian kerja
melalui prosedur penempatan TKI. Namun demikian, istilah TKI
seringkali dikonotasikan tidak tepat, sebagai pekerja kasar dan
tidak terdidik. Padahal dalam kenyataannya banyak TKI yang
bekerja di Luar Negeri sebagai Tenaga Profesional dalam
berbagai bidang kehidupan dan profesi, termasuk mereka yang
bekerja dalam lingkungan rumah tangga, sebagai Pembantu
Rumah Tangga yang profesional.
Kesan

negatif

yang

muncul

kepermukaan,

karena

banyaknya kasus-kasus kekerasan dan ketidak-adilan terhadap


TKI yang disebabkan oleh lemahnya sistem rekruitmen dan
praktek percaloan sehingga menghadirkan TKI illegal disamping
tidak ada Perjanjian yang dapat melindungi kepentingan TKI
dimaksud. Secara kasat mata, fakta permasalahan TKI, lebih

khusus Tenaga Kerja Wanita (TKW) tersebut sangat mudah


dihadirkan, khususnya di negara negara Timur Tengah. Ketika
kami

menghadiri

beberapa

pertemuan

forum

Parlemen

Internasional yang diselenggarakan di beberapa negara di Timur


Tengah,

selalu

ada

TKW

yang

bermasalah

di

tempat

penampungan yang disediakan oleh Kedutaan Besar Indonesia di


negara

tersebut

dengan

berbagai

persoalan

sebagai

penyebabnya.
Dampak dari semua itu adalah muncul kesan / citra
negatif terhadap TKI kita, sehingga pengaruh pandangan bangsa
lain terhadap bangsa kita juga turut menjadi negatif. Lebih
memprihatinkan lagi, permasalahan TKI ini, sangat sering
dibicarakan dalam tataran politis, selalu menjadi alat politik dalam
perjuangan Partai Politik, khususnya menjelang Pemilu, tetapi
persoalannya tetap nampak seperti benang kusut, karena tidak
semuanya mau dan mampu bekerja secara serius dan nyata
mencarikan solusi agar permasalahan TKI tersebut dapat
diselesaikan dengan baik dan bermartabat.

Tercatat di BNP2TKI, tahun 2008 saja, terdapat 45.626


kasus yang menimpa 4,3 juta TKI kita di Luar Negeri. Jumlah
kasus terbesar terjadi di Arab Saudi, 22.035 kasus, dan beberapa
Negara Timur Tengah lainnya, seperti UEA 3.866 kasus, dan
Qatar 1.516 kasus. Menurut data pemerintah, jumlah TKI di luar
negeri saat ini sekitar 3,27 juta orang. Sementara menurut
Lembaga Migrant Care, jumlah TKI kita diperkirakan mencapai
4,5 juta orang. Sebagian besar di antaranya atau sekitar 70%
adalah TKW yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Dilihat dari tingkat pendidikan, sebagian besar TKI berpendidikan
Sekolah Dasar, bekerja di sektor informal, sementara 30%
sisanya adalah TKI terdidik dan terampil yang mayoritas bekerja
di sektor formal. TKI yang bekerja di Malaysia merupakan jumlah
TKI terbesar, yaitu sekitar 2 juta orang.
Pasar TKI kita sesungguhnya memiliki potensi besar bagi
perekonomian Indonesia dalam memperoleh cadangan devisa.
Berdasarkan data yang dikompilasi Bank Indonesia, jumlah
remittance yang diperoleh dari TKI pada tahun 2008 sebesar US$
6,6 miliar, tahun 2009 sebesar US$ 6,617 miliar, dan sampai

September 2010 mencapai US$ 5,03 miliar. Begitu juga


kontribusinya terhadap Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) yang
pada tahun 2008 tercatat 1,3%, 2009 sebesar 1,2%, dan pada
Kuartal II-2010 sebesar 1%. Jika melihat data tersebut tidak
berlebihan kalau dikatakan bahwa TKI yang dikenal sebagai
pahlawan devisa memberikan kontribusi yang besar bagi negara,
di

lain

pihak

permasalahan

yang

muncul

tidak

segera

mendalam

sesuai

diselesaikan, seolah hanya merupakan beban.


Namun

apabila

kita

melihat

lebih

sektornya, sebenarnya remitansi yang dihasilkan oleh para TKI


tidak berbanding lurus dengan perimbangan jumlah TKI di luar
negeri. Sekitar 80% TKI kita yang bekerja di sektor informal,
hanya

menghasilkan

20%

dari

keseluruhan

devisa

yang

dihasilkan. Sebaliknya, 20% TKI kita yang terampil dan terdidik,


justru menghasilkan 80% dari total devisa negara. Dan ironisnya,
kasus-kasus yang muncul pada TKI kita, sebagian besar terjadi
pada TKI di sektor informal yang jumlahnya 80% dari total TKI
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa faktor keterampilan dan
pendidikan amat mempengaruhi kinerja TKI yang memungkinkan

terjadinya

kasus

kekerasan

ketika

mereka

menjalankan

pekerjaan.
Sesungguhnya, kisah TKI-TKW bukanlah suatu hal yang
baru dalam kisah duka para tenaga kerja (dulu disebut buruh atau
babu migran) asal negeri ini. Munculnya fenomena berbondongbondongnya tenaga kerja asal Indonesiauntuk pergi menjemput
rezeki ke luar negeri, tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi
di dalam negeri. Kemiskinan yang terstruktur dan semakin
mencekik leher masyarakat di negeri ini telah pasti membuat
hidup semakin susah. Sementara akibat kemiskian itu, otomatis
tidak ada jaminan untuk hidup sejahtera bagi masyarakat.
Kondisi itu ditambah lagi dengan sempitnya lapangan
pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah hingga menyebabkan
jumlah pengangguran kian bertumpuk dari masa ke masa. Kalau
pun ada lapangan kerja, upahnya juga sangat murah dan tak
sesuai harapan. Itulah beberapa faktor yang telah memicu
banyak orang berhijrah ke negara lain untuk mengadu nasib
mencari pekerjaan demi mendapatkan rezeki untuk menyambung
hidup. Mungkin dalam bahasa para TKI, dari pada harus tetap

bertahan di dalam negeri, namun berada dalam kelaparan dan


kemiskinan, lebih baik menjadi TKI saja. Menjadi TKI adalah
solusi bagi mereka untuk bertahan hidup.
Namun, ironisnya, maksud hati ingin mencari pekerjaan
yang nyaman, tapi ternyata justru penganiayaan yang mereka
peroleh di luar negeri, seperti yang dialami oleh sebagian TKI;
Sumiati dan kawan-kawan. Selain hal di atas, nasib buruk para
TKI juga disebabkan oleh kelemahan birokrasi dalam pengiriman
TKI dengan sistem yang buruk pula. Banyak perusahaan ilegal
yang mengirim para TKI dengan iming-iming akan dipekerjakan di
tempat

ini-itu.

mendapatkan

Setelah
apa

yang

sampai,

mereka

terkadang

tidak

sudah

dijanjikan,

padahal

untuk

berangkat saja mereka sudah membayar mahal. Sehingga,


ibaratnya, para TKI dijadikan sebagai sapi perahan oleh oknumoknum tak bertanggung jawab, yang terlibat dalam bisnis TKI.
Mereka

justru

mencari

keuntungan

di

tengah

himpitan

penderitaan orang lain.


Kalau pun ada perusahaan yang resmi untuk mengirim
tenaga kerja, namun tak bisa diingkari, banyak pula dokumen

yang dipalsukan seperti soal umur, dan lain-lain. Lokasi


pengiriman TKI juga sering tidak sesuai tujuan yang dijanjikan.
Akibatnya, ini pula yang menjadi faktor tersendiri akan pemicu
semakin panjangnya daftar penderitaan para TKI. Sebenarnya,
boleh jadi, rakyat negeri ini tidak akan begitu tergiur untuk
menjadi TKI, jika kemiskinan terstruktur yang diciptakan negara
tidak demikian kejam melanda masyarakat.
Tidak akan terjadi kelaparan dan kemiskinan di dalam negeri
sendiri jika tersedia lapangan kerja yang memungkinkan setiap
orang untuk mencari nafkah hingga pengangguran tidak terus
bertambah. Masalah TKI ini juga tidak akan terjadi jika saja
kesejahteraan hidup terjamin di dalam negeri. Sayangnya, semua
ini seakan masih di awang-awang dan sulit dijangkau oleh
masyarakat. Atas berbagai faktor itulah, maka peran pemerintah
sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk menangani
urusan rakyat, sangat dituntut keseriusannya. Yang dimaksud
adalah tanggung jawab yang maksimal dalam mengurus berbagai
problematika masyarakat, terutama mengatasi pengangguran.
Juga dibutuhkan keseriusan pemerintah dalam menangani

penderitaan yang dialami oleh para TKI yang ada di berbagai


negara. Setelah ada masalah yang terkait dengan TKI, yang
menjadi

tanggung

jawab

dan

tugas

pemerintah

adalah

menyelesaikan termasuk mendampingi korban dalam proses


hukum.
TKI

juga

Warga

Negara Indonesia yang

berhak

mendapatkan pelayanan negara secara memuaskan, apa pun


statusnya. Mereka adalah warga negeri ini yang berjuang
mendulang devisa. Dengan metode pertumbuhan ekonomi, maka
kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah bukannya memerangi
kemiskinan dan pengangguran tetapi memerangi orang miskin
dan

pengangguran.

Sebab

untuk

mencapai

pertumbuhan

ekonomi yang tinggi dalam sistem ekonomi ini (Kapitalisme),


pemerintah harus menarik investor dari dalam dan luar negeri dan
menciptakan kepercayaan pasar dengan berbagai kebijakan yang
menguntungkan para investor dan merugikan masyarakat.
Akibatnya tidak jarang rumah dan tanah orang-orang miskin
digusur untuk kepentingan investor. Kekayaan Indonesia yang
seharusnya menjadi hak rakyat sebagai milik umum diserahkan

kepada swasta dan investor luar negeri. Sementara energi


pemerintah untuk memperhatikan dan memperbaiki kondisi
rakyatnya habis tersedot untuk melayani kepentingan para
investor (pemilik modal).
Di satu sisi pemerintah mengharapkan devisa 2-3 milyar
dollar dari TKI/TKW, di sisi lain pemerintah menghamburhamburkan uang untuk kepentingan yang tidak berfaedah selain
untuk kepentingan asing. Selama orde baru berbagai proyek
pembangunan yang dibiayai pinjaman Bank Dunia senilai 30
milyar dollar, 10 milyar di antaranya bocor dan habis dikorupsi.
Pemerintah melalui sistem ekonomi yang diterapkan telah dengan
sengaja menciptakan ketidakadilan, kesenjangan, kesengsaraan
bagi rakyatnya.
Masih menjadi topik pembicaran yang hangat baik di tingkat
lokal maupun nasional terkait dengan persoalan yang melilit para
TKI di luar negeri, karena ada deretan panjang para TKI di luar
negeri yang saat ini sedang menghadapi proses hukum. Ruyati
binti

Sapubi,

bukanlah

satu-satunya

TKI

yang

dipenggal

kepalanya oleh algojo kerajaan Arab Saudi. Sebelum Ruyati, ada

Yanti Irianti binti Jono Sukandi asal Cianjur, Jawa Barat yang
dipancung pada 12 Januari 2008. Ia juga dipancung tanpa
sepengetahuan

keluarganya.

Bahkan

sampai

sekarang

jenazahnya belum dipulangkan ke tanah air. Kemudian juga ada


Kikim Komalasari yang dibunuh dan lantas jenazahnya dibuang
begitu saja di tong sampah.
Sedangkan data dari Migrant Care menyebutkan bahwa TKI
yang menunggu proses sidang dengan ancaman hukuman
pancung antara lain Suwarni asal Jatim, Hafidz bin Kholil Sulam
asal Tulungagung, Eti Thoyib Anwar asal Majalengka, Karsih binti
Ocim asal Karawang, Sun asal Subang. Kemudian Emi binti
Katma Mumu asal Sukabumi, Sulaimah asal Kalimantan Barat,
Muhammad Zaini asal Madura, Jamilah binti Abidin Rifii asal
Cianjur.Selain terancam pancungan, tidak sedikit TKI yang
mendapat siksaan di luar batas kemanusiaan. Kita tentu masih
ingat dengan SUMIATI asal NTB. PRT yang bekerja di Madinah
ini mulutnya ditusuk dengan besi, dipukul dan kepalanya dibakar
oleh majikannya. Sumiati harus menjalani operasi berkali-kali
untuk menyembuhkan luka di sekujur tubuhnya.

Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat, dalam


dua tahun terakhir kasus penganiayaan terhadap TKI di luar
negeri meningkat 39%. Kasus kekerasan seksual terhadap TKI
meningkat 33%, sedangkan kasus kecelakaan kerja yang
menimpa TKI meningkat 61%, dan kasus TKI yang dikirim ke luar
negeri dalam kondisi sakit meningkat 107%. Sementara itu,
kematian TKI di Malaysia misalnya, 87% adalah TKI legal. Selain
itu,

data

perdagangan

orang

tahun

2005

sampai

2009

menunjukan bahwa 67% kasus perdagangan orang, korbannya


dikirim secara resmi oleh perusahaan jasa pengerah tenaga kerja
(PJTKI).
Secara hukum sebenarnya dalam UU 39/2004 yang
mengatur tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar
negeri sudah sangat jelas sebenarnya

peran Negara yaitu

bertanggung jawab secara penuh terhadap keberadaan para TKI


yang ada luar negri, Tanggung jawab tersebut harus dilaksanakan
oleh KBRI, Kementrian luar negeri, Menakertrans dan agen
diplomatik yang berada di negara tempat TKI itu bekerja (Arab
Saudi, Malaysia, Brunai Darussalam dan lain-lain).

Namun kenyataan yang ada pada saat ini,lembaga-lembaga


yang dibentuk untuk melindungi para TKI ini ternyata tidak
melaksanakan tugasnya dengan baik bahkan ketika terjadi kasuskasus hukum yang menimpa para pahlawan devisa tersebut
mereka cenderung saling lempar tanggung jawab. Presiden SBY
sendiri menyikapi persoalan TKI tersebut hanya ditindak lanjuti
dengan retorika dan instruksi-instruksi gombal kepada jajaran
kementriannya yang tak kunjung terealisir. Salah satu contoh
adalah ketika kasus yang menimpa sumiati dan kikim komala sari,
SBY buru-buru membuat janji yaitu akan memberikan HP kepada
para TKW khususnya agar mudah dikontrol tapi sampai detik ini
janji tersebut hanya menjadi ilusi dan narasi kosong.
Dari data yang terhimpun dapat diketahui bahwa perdagang
an tenaga
kerjaperempuan dan anak secara kuantitas terjadi dengan modu
s menjanjikan pekerjaandi luar negeri sebagai TKW/buruh migran
dan kenyataannya kemudian merekadieksploitasi baik sebagai
pekerja di
sektor formal (manufaktur, pertanian,perkebunan dan sebagainy

a) maupun informal (pembantu rumah tangga) namuntidak sediki


t di antaranya yang dijerumuskan sebagai pekerja seks(prostitu
si/pelacuran).
Menjadi TKW/buruh migran memang masih menjadi hara
pan banyakperempuan dan anak-anak Indonesia karena
mengharap upah tinggi gunamemperbaiki
kondisi kehidupan keluarganya. Faktor pemicunya antara lain
kondisipasar tenaga
kerja dalam negeri dewasa ini di mana tingginya tingkat pengang
guranyang umumnya dialami kaum muda, serta di sisi lain perem
puan masih menjadi

pekerjakelas dua utamanya di se

ktor pekerjaan bergaji,perempuan masih belum terwakili (hany


a 29,3%) sebaliknya perempuan lebihbanyak di sector kerja par
uh waktu (56,4%) yang tidak menjanjikan kesejahteraansebagaim
ana diharapkan.
Kemiskinan

juga memainkan peran besar terjadinya p

erdagangantenaga kerja Indonesia yang timbul dari proses


pengiriman TKI ke l u a r

n e g e r i . Beberapa aspek sosial pemicu timbulnya perdagangan t


enaga kerja yangdilatar belakangi kemiskinan adalah:
a. Pekerja kontrak di luar negeri berasal dari daerah pedes
aan dandiantaranya dari wilayah-wilayah paling miskin;
b. Tidak memiliki keterampilan;
c. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan memicu maraknya ten
aga kerja illegal;
d. Pelatihan dan bekal keterampilan belum menjadi hal penting;
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di L
uar Negeridiatur dalam UU No. 39 Tahun 2004, Penulisngnya
UU ini masih belummemberi

cukup perlindungan.

Hal ini terjadi karena substansi dalam UUtersebut masih mengan


dung
ketidak jelasan, dan ketidak tegasan yangsangat berpengaruh ter
hadap penegakan dan penerapan sanksi. Berikut initabel yang m
enjelaskan beberapa kelemahan yang terdapat dalam UU 39Tah
un 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Neg
eri.

Penulis menganalogikan bahwa TKI non prosedural/illegal


ibarat penyeberang jalan yang tidak mau menggunakan jembatan
penyeberangan dan ketika terjadi kecelakaan menyalahkan polisi
yang sedang bertugas mengatur lalu lintas di dekat jembatan
tersebut.

Berkaitan

dengan

pertanyaan

atas

kasus-kasus

WNI/TKI yang terancam hukuman mati, penulis menjawab bahwa


hal ini harus dilihat secara kontekstual dan tidak emosional. Dari
data 216 WNI/TKI yang terancam hukuman mati, sekitar 80%
terlibat tindak pidana narkoba, 18% terlibat tindak pidana
pembunuhan dan 2% lain-lain seperti tuduhan sihir. Di Arab Saudi
terdapat sistem pemaafan dari ahli waris korban diantaranya
dengan menetapkan uang diyat (tebusan darah) yang jumlah
bervariasi.
Setelah pemerintah berhasil membebaskan Darsem dengan
membayar uang diyat Rp 4,7 miliar, saat ini masih ada beberapa
yang telah mendapat pemaafan dan diminta membayar uang
diyat, antara lain terdapat 5 WNI laki-laki membunuh seorang WN
Pakistan secara sadis dan mayatnya ditanam dengan semen.
Atas upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah melalui

lembaga pemaafan, ahli waris korban memberi maaf dengan


syarat masing-masing harus membayar SR 1 juta.
Artinya jika ada tuntutan pemerintah harus membayar uang
diyat tersebut, maka pemerintah harus menyediakan uang
sejumlah Rp 12,5 miliar yang notabene adalah uang rakyat untuk
menebus pelaku tindak pidana berat tersebut. Hal ini harus
disampaikan kepada masyarakat secara kontekstual dan apabila
mereka tahu duduk perkara sebenarnya apakah rakyat akan rela
uangnya dipergunakan untuk membiayai hal tersebut. Untuk itu
menjadi tugas kita bersama menyampaikan fakta-fakta ini kepada
masyarakat secara utuh, agar setiap permasalahan disikapi
secara proposional.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut penulis tertarik mengkaji
dan menelaah Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Indonesia
Illegal di Luar Negeri Berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka yang menjadi


fokus permasalahan penulis adalah Bagaimana perlindungan
hukum Tenaga Kerja Indonesia Illegal di Luar Negeri berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka yang menjadi
tujuan proposal ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum
Tenaga Kerja Indonesia Illegal di Luar Negeri berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan.

D. Manfaat
Manfaat

yang

penulis dapatkan

penelitian ini adalahsebagai berikut:


1. Manfaat Akademis

dan harapkan

melalui

a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam lingkup ilmu hukum


terutama yang berkaitan dengan perlindungan hukum Tenaga
Kerja Indonesia Illegal di Luar Negeri;
b. Penelitian yang dilakukan oleh penulis dapat dijadikan bahan
rujukan atau referensi terhadap penelitian selanjutnya yang
relevan dengan penelitian ini.

2. Manfaat Praktis
a. Membantu mengembangkan dan memperdalam wawasan
penulis

mengenai

hukum

terutama

dalam

bidang Ketenagakerjaan;
b. Untuk mendapatkan jawaban terhadap permasalahan yang
diteliti.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Indikator Perlindungan Hukum


Kehadiran

hukum

mengintegrasikan

dalam

masyarakat

adalah

dan mengkoordinasikan

untuk

kepentingan-

kepentingan yang bisa bertentangan satu sama lain. Berkaitan


dengan itu, hukum harus mampu mengintegrasikannya sehingga
benturan-benturan kepentingan itu dapat ditekan sekecil-kecilnya.
Dimana perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu,
dalam suatu lalu lintas kepentingan, hanya dapat dilakukan
dengan

cara

membatasi kepentingan

pihak

lain.

Menurut

pendapat Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta tentang fungsi hukum


untuk

memberi

perlindungan

adalah

bahwa

hukum

itu

ditumbuhkan dan dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk


penilaian manusia untuk menciptakan kondisi yang melindungi
dan memajukan martabat manusia serta untuk memungkinkan

manusia menjalani kehidupan yang wajar sesuai dengan


martabatnya.[1]
Perlindungan

terhadap

masyarakat

mempunyai

banyak

dimensi yang salah satunya adalah perlindungan hukum.


Perlindungan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa
terkecuali, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), untuk itu setiap
produk yang dihasilkan oleh legislatif harus senantiasa mampu
memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua orang,
bahkan harus mampu menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan
keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut, dapat
dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan
kedudukan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa
terkecuali.
Ada beberapa pendapat yang dapat dikutip sebagai suatu
patokan mengenai perlindungan hukum, yaitu :
a. Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah adanya
upaya

melindungi

kepentingan

seseorang

dengan

cara

mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak


dalam rangka kepentingannya tersebut.[2]
b. Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau
upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenangwenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum,
untuk

mewujudkan

ketertiban

dan

ketentraman

sehingga

memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai


manusia.[3]
c. Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan
untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilainilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan
dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup
antar sesama manusia.[4]
d. Menurut Hetty Hasanah, perlindungan hukum yaitu merupakan
segala upaya yang dapat menjamin adanya kepastian hukum,
sehingga dapat memberikan perlindungan hukum kepada pihakpihak yang bersangkutan atau yang melakukan tindakan hukum.
[5]

Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi


subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu
sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
[6]

a. Perlindungan Hukum Preventif


Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan
untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat
dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk
mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu
atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban.
b. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir
berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan
yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah
dilakukan suatu pelanggaran.
Salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum
adalah

memberikan

perlindungan

(pengayoman)

kepada

masyarakat. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap


masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk adanya
kepastian hukum.[7] Sehingga dalam penulisan ini, perlindungan
hukum diberi batasan sebagai suatu upaya yang dilakukan di
bidang hukum dengan maksud dan tujuan memberikan jaminan
perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual hasil karya cipta
khususnya

di

bidang

kesenian

tradisional/folklore demi

mewujudkan kepastian hukum.


Perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) pada dasarnya
mempunyai urgensi tersendiri. Urgensinya, bahwa seluruh hasil
karya intelektual akan dapat dilindungi. Arti kata dilindungi disini
akan

berkorelasi

pada

tiga

tujuan

hukum,

yakni;Pertama, kepastian hukum artinya dengan dilindunginya


HKI akan sangat jelas siapa sesungguhnya pemilik atas hasil
karya intelektual (HKI); Kedua,kemanfaatan, mengadung arti
bahwa dengan HKI dilindungi maka akan ada manfaat yang akan
diperoleh terutama bagi pihak yang melakukan perlindungan itu
sendiri, semisal; dapat memberikan lisensi bagi pihak yang
memegang hak atas HKI dengan manfaat berupa pembayaran

royalti (royalty payment); dan Ketiga,keadilan, adalah dapat


memberikan kesejahteraan bagi pihak pemegang khususnya
dalam wujud peningkatan pendapatan dan bagi negara dapat
menaikan devisa negara.
Terkait dengan masalah perlindungan terhadap hasil karya seni
termasuk karya tradisional, negara memberikan perlindungan
secara eksklusif melalui Undang-undang Hak Cipta. Undangundang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyebutkan, hak
cipta

sebagai

mengumumkan

hak

eksklusif

atau

bagi

para

memperbanyak

pencipta
suatu

untuk
ciptaan

atau memberikan izin pada pihak lain untuk melakukan hal


tersebut sesuai batasan hukum yang berlaku. Selain itu hak cipta
memberikan izin kepada pemegang Hak Cipta untuk mencegah
pihak lain untuk memperbanyak sebuah ciptaan tanpa izin.

B. Konsep Tenaga Kerja Indonesia


1. Definisi Tenaga Kerja Indonesia

Tenaga kerja (manpower) adalah seluruh penduduk dalam usia


kerja (berusia 15 tahun atau lebih) yang potensial dapat
memproduksi barang dan jasa. Sebelum tahun 2000, Indonesia
menggunakan patokan seluruh penduduk berusia 10 tahun ke
atas (lihat hasil Sensus Penduduk 1971, 1980 dan 1990). Namun
sejak Sensus Penduduk 2000 dan sesuai dengan ketentuan
internasional, tenaga kerja adalah penduduk yang berusia 15
tahun atau lebihTenaga Kerja Indonesia (disingkat TKI) adalah
sebutan bagi warga negaraIndonesia yang bekerja di luar negeri
(seperti Malaysia, Timur

Tengah, Taiwan,Australia dan Amerika

Serikat) dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu


dengan menerima upah. Namun demikian, istilah TKI seringkali
dikonotasikan dengan pekerja kasar. TKI perempuan seringkali
disebut Tenaga Kerja Wanita (TKW).
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan
guna menghasilkan barangdan/atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Tenaga kerja menurut
kamus besar bahasa Indonesia adalah orang yang bekerja atau
mengerjakansesuatu, orang yang mampu melakukan pekerjaan, baik di

dalam maupun di luar hubungan kerja. Menurut Payaman J.S, sumber


daya manusia atau human resources mengandung dua pengertian.
Pertama sumber daya manusia (SDM) mengandung pengertian usaha
kerja atau jasa yang dapat diberikan dalam proses produksi. Dalam hal
ini SDM mencerninkan kualitas usaha yang diberikan oleh seseorang
dalam waktu tertentu untuk menghasilkan barang dan jasa. Pengertian
kedua dari SDM menyangkut manusia yang mampu bekerja untuk
memberikan jasaatau usaha kerja tersebut. Mampu bekerja berarti
mampu melakukan kegiatan yang bernilai ekonomis,yaitu bahwa
kegiatan tersebut menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat.secara fisik, kemampuan bekerja diukur dengan
usia. dengan kata lain, orang dalam usia kerja dianggap mampu bekerja.
kelompok penduduk dalam usia kerja tersebut dinamakan tenaga kerja
atau manpower.
Secara singkat, tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk dalam
usia kerja (working-age population). Kedua pengertian tersebut
mengandung; (1) aspek kuantitas dalam arti jumlah penduduk
yangmampu bekerja, dan (2) aspek kualitas dalam arti jasa kerja yang
tersedia dan diberikan untuk produksi. Pengertian di atas juga

menegaskan bahwa SDM mempunyai peranan sebagai faktor produksi.


Sebagaimana halnya dengan faktor-faktor lain, SDM sebagai faktor
produksi juga terbatas. Pendayagunaan SDM untuk mengasilkan barang
dan jasa dipengaruhi oleh dua dua kelompok faktor yaitu, pertama, yang
mempengaruhi jumlah dan kualitas tersebut dan, kedua, faktor dan
kondisi yang mempengaruhi pengembangan perekonomian yang
kemudian mempengaruhi pendayagunaan SDM tersebut.Siapa yang
digolongkan tenaga kerja? Di Indonesia, pengertian tenaga kerja
atau manpower mulai sering dipergunakan. tenaga kerja mencakup
penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari
pekerjaan, dan yang melakukan kegiatan lain seperti bersekolah dan
mengurus rumah tangga. tiga golongan yang disebut terakhir, walaupun
sedang bekerja, mereka dianggap secara fisik mampu dan sewaktuwaktu dapat ikut bekerja. Secara praktis pengertian tenagsa kerja dan
bukan tenaga kerja dibedakan oleh hanya batas umur tiap-tiap Negara
memberikan batasan umur yang berbeda. india misalnya memberikan
batasan umur 14 sampai 60 tahun. Jadi tenaga kerja adalah penduduk
yang berumur antara 14 sampai 60 tahun sedangkanorang yang
berumur di bawah 14 tahun atau di atas 60 tahun digolongkan bukan
sebagai tenaga kerja.

Amerika Serikat mula-mula menggunakan batas umur minimum 14


tahun tanpa batas umum maksimum. Kemudian sejak tahun 1967 batas
umur dinaikkan menjadi 16 tahun atau lebih, sedang mereka
yang berumur di bawah 16 tahun digolongkan bukan sebagai tenaga
kerja. Tujuan dari pemilihan batas umur tersebut adalah supaya definisi
yang

diberikan

sedapat

mungkinmenggambarkan

kenyataan

sebenarnya. Tiap Negara memiliki batas umur yang berbeda karena


situasiyang sebenarnya tenaga kerja di masing-masing Negara juga
berbeda.
Di Indonesia, semula dipilih batass umur minimum 10 tahun tanpa
baatas umur maksimum.Dengan demikian tenaga kerja di Indonesia
dimaksudkan sebagai penduduk berumur 10 tahun atau lebih.Penduduk
di bawah umur 10 tahun digolongkan bukan sebagai tenaga kerja.
Pemilihan 10 tahun sebagai batas umur minimum adalah berdasarkan
kenyataan

bahwa

dalam

umur

tersebut

sudah

banyak

penduduk berumur muda terutama di desa-desa sudah bekerja atau


mencari pekerjaan. Misalnya pada tahun 1971, diantara penduduk kota
dalam batas umur 10-14 tahun terdapat 7,1 persen yang tergolong
bekerja ataumencari pekerjaan, sedang diantara penduduk desa

terdapat 18 persen. Dengan kata lain, sekitar 16 persen penduduk desa


dan kota dalam kelompok umur 10-14 tahun ternyata telah bekerja atau
mencari pekerjaan.
Pada tahun 1980, masih terdapat 11,1 persen penduduk berusia 1014 tahun yang telah bekerja ataumencari pekerjaan, yaitu 3,7 persen di
kota dan 13,2 persen di desa. Jumlah dan proporsi pekerja dan pencari
kerja dalam kelompok umur ini diantisipasi akan terus menurun,
walaupun hinngga tahun 1995masih relative tinggi. Pada tahun 1995,
masih terdapat 9 persen penduduk berusia 10-14 tahun yang
telah bekerja atau mencari pekerjaan, terdiri dari 4 persen di kota dan
11,5 persen di desa.Dengan bertambahnya kegiatan pendidikan maka
jumalh penduduk dalam usia sekolah yangmelakukan kegiatan ekonomi
akan berkurang. Bila wajib sekolah 9 tahun diterapkan maka anakanak sampai umur 14 tahun akan berada di sekolah. Dengan kata lain
jumlah penduduk yang bekerja dalam batas umur tersebut akan menjadi
sangat kecil, sehingga batas umur minimum lebih tepat dinaikkanmenjadi
15 tahun.
Atas pertimbangan tersebut, UU No. 25 Th. 1997 tentang ketenaga
kerjaan telahmenetapkan batas usia kerja menjadi 15 tahun. Dengan

kata lain, sesuai dengan mulai berlakunya undang-undang ini, mulai


tanggal 1 Oktober 1998 tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk
berumur 15 tahun atau lebih. Demikian juga Indonesia tidak menganut
batas umur maksimum.
Alasannya adalah bahwa Indonesia belum mempunyai jaminan social
nasional. Hanya sebagian kecil penduduk Indonesia yang menerima
tunjangan hari tua, yaitu pegawai negeri dan sebagian kecil pegawai
perusahaan swasta. Buatgolongan ini pun, pendapatan yang mereka
terima tidak mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Olehsebab itu
mereka yang telah mencapai usia pensiiun masih aktif dalam kegiatan
ekonomi dan oleh sebab itu mereka tetap digolongkan sebagai tenaga
kerja.Tenaga kerja atau manpower terdiri dari angkatan kerja dan bukan
angkatan kerja.
Angkatan kerja atau labour force terdiri dari (1) golongan yang
bekerja, (2) golongan yang menganggur dan mencari pekerjaan.
Kelompok bukan angkatan kerja terdiri dari (1) golongan bersekolah, (2)
golongan yangmengurus rumah tangga, (3) golongan lain atau penerima
pendapatan. Ketiga golongan dalam kelompok angkatan kerja sewaktu-

waktu dapat menawarkan jasanya untuk bekerja. Oleh sebab itu


kelompok inisering juga dinamakan sebagai potential labour force.
TKI sering disebut sebagai pahlawan devisa karena dalam
setahun bisa menghasilkan devisa 60 trilyun rupiah (2006), tetapi
dalam kenyataannya, TKI menjadi ajang pungli bagi para pejabat
dan agen terkait. Bahkan di Bandara Soekarno-Hatta, mereka
disediakan terminal tersendiri (terminal III) yang terpisah dari
terminal penumpang umum. Pemisahan ini beralasan untuk
melindungi TKI tetapi juga menyuburkan pungli, termasuk
pungutan

liar

yang

resmi

seperti

punutan

Rp.25.000,-

berdasarkan Surat Menakertrans No 437.HK.33.2003, bagi TKI


yang pulang melalui Terminal III wajib membayar uang jasa
pelayanan Rp25.000. (saat ini pungutan ini sudah dilarang).
Pada 9 Maret 2007 kegiatan operasional di bidang
Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri dialihkan
menjadi tanggung jawab BNP2TKI. Sebelumnya seluruh kegiatan
operasional di bidang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja

Indonesia

di

luar

negeri

dilaksanakan

oleh

Ditjen

Pembinaan

dan

Penempatan

Tenaga

Kerja

Luar

Negeri

(PPTKLN)Depnakertrans.
2. Pekerja Perempuan dan Pekerja Anak Sebagai Objek Pe
rdagangan Manusia
Perdagangan
manusia dalam hal ini dikhususnya pada perdagangantenaga ker
ja perempuan dan anak tidak dapat dipungkiri masih terus terjadi
meliputi wilayah kejadian dan tujuan di dalam maupun di luar neg
eri. Trafficking
in Person Report yang diterbitkan oleh Deplu AS dan ESCA
P juga telah menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga ata
uterendah dalam upaya penanggulangan trafficking perempuan d
an anak.Indonesia dalam peringkat tersebut dikategorikan
sebagai negara yangmemiliki korban dalam jumlah yang besar d
an pemerintahnya belumsepenuhnya menerapkan standarstandar minimum serta tidak atau belummelakukan usahausaha yang berarti dalam memenuhi standarpencegahan dan pe
nanggulangan trafficking.

Dari sudut pandang Hukum Ketenagakerjaan timbulnya peris


tiwa inimenandakan masih adanya celah dalam UU Ketenagakerj
aan sehingga tidakmampu mendukung pencegahan kejahatan pe
rdagangan tenaga kerja. UUKetenagakerjaan dan Peraturan Pela
ksana yang mengatur
masalahperlindungan hukum pekerja perempuan dan pekerja
anak yang berkaitan dengan hal ini dapat dirinci di antaranya:
a. UU 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
b. UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perli
ndunganTenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
c. UU No. 23 Tahun 1948 Tentang Pengawasan Perburuhan
d. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1999 yang meratifikasi
KonvensiILO Nomor 105 Tahun 1957 Tentang Penghapusan Ker
ja Paksa(Abolition of Forced Labour Convention).
e.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 yaitu UU yang


meratifikasiKonvensi
Usia

ILO

No. 138

1973 Tentang

Minimum untuk diperbolehkan bekerja.

f.

Undang-undang Nomor
1 Tahun 2000 yang meratifikasi Konvensi ILONomor
engenai Pelarangan dan

182

Tindakan Segera untukMenghapus B

entuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Buat Anak.


g. KEP. 224/MEN/2003 Kewajiban Pengusaha yang Mempeker
jakanPekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00 sampai deng
an 07.00
h. KEP. 226 /MEN/2003 Tata cara Perizinan Penyelenggaraan Pr
ogramPemagangan di Luar Wilayah Indonesia
i.

KEP.

235

/MEN/2003 Tentang

Jenis-jenis

ekerjaan Yang
Membahayakan Kesehatan Keselamatan atau MoralAnak
j.

KEP. 01/MEN/VI/2004 Tatacara Perijinan Perusahaan Penyedi


a JasaPekerja/Buruh

k. KEP. 15/MEN/VII/2004 Perlindungan bagi anak yang melakukanp


ekerjaa untuk mengembangkan bakat dan minat.
l.

KEP. 112/MEN/VII/2004

Tentang Perubahan Keputusan

menteriTenaga Dan Transmigrasi RI No : KEP.226/MEN/2003 T

entang Tata
Cara Perizinan Penyelenggaraan Program Pemagangan Di
Luar Wilayah Indonesia dan lain-lain.
Secara normatif perlindungan terhadap tenaga kerja pere
mpuan dananak dipayungi oleh UU 13 Tahun 2003 Tentang Kete
nagakerjaan, dimanadalam rumusannya
secara khusus mengatur tentang pekerja perempuan danpekerja
anak. Dalam Bab X khusus menyangkut perlindungan atas pekerj
aanak, perempuan, dan penyandang cacat:
Pasal 68 jo Pasal 69 UU 13 Tahun 2003 mengatur bahwa anakdi
larang untuk dipekerjakan,
kecuali bagi anak usia 13 sampai 15tahun dapat melakukan peke
rjaan ringan
sepanjang tidakmengganggu perkembangan dan kesehatan fisik,
mental dan social.

Pasal 76 UU 13 Tahun 2003 mengatur tentang perlindunganpeke


rja perempuan di tempat kerja. Selain itu juga ketentuandala

m UU ini memuat larangan diskriminasi bagi pekerja laki-lakidan


perempuan.

Khusus dalam UU 39 tahun 2004 tentang PPTKI diperunt


ukkanbagi pekerja/buruh migran (TKI yang bekerja ke luar negeri
). UU inilah
sesungguhnya yang secara langsung berkenaan dengan penceg
ahan danupaya penanggulangan perdagangan tenaga kerja pere
mpuan dan anak
keluar wilayah negara Indonesia. Sebagaimana dinyatakan dala
m UU 39 tahun2004:
bahwa tenaga kerja Indonesia di luar negeri sering dijadika
nobjek perdagangan manusia termasuk perbudakan dan kerjapa
ksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan
atasharkat dan martabat

manusia, serta perlakuan

lain yangmelanggar hak asasi manusia.


Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 105
Tahun1957 Tentang Penghapusan Kerja Paksa (Abolition of For

ced Labour

Convention), menuangkannya dalam Undang-

undang Nomor 19 Tahun 1999.Konvensi ini mengharuskan

ke

rja paksa dalam bentuk apapun harusdihapus dari perundangan


nasional, selain itu juga Negara wajib menerapkanhukuman pad
a orang-orang yang secara illegal menerapkan kerja
paksa/kerjawajib.
Khusus bagi pekerja anak konvensi ILO No. 138/1973 tenta
ng Usia
Minimum mewajibkan Negara yang meratifikasinya untuk membu
at kebijakannasional yang dirancang untuk menjamin penghapus
an pekerja anak secaraefektif. Kebijakan yang sama harus dituju
kan untuk menaikkan usia minimumuntuk bekerja pada tingkat ya
ng sesuai dengan pertumbuhan
mental dan fisikanak secara penuh. Negara harus merinci usia m
inimum yang diberlakukandan
sebagai pegangan ditentukan tidak lebih rendah dari usia 15 tahu
n atausampai batas usia wajib sekolah. Khusus bagi Negara sed
ang berkembangbatas usia minimum 14 tahun diperbolehkan. Pe

ngecualian yang dimuat dalamkonvensi ini bagi Negara untuk tida


k mengikuti peraturan usia minimum denganpilihan:

Tidak termasuk pekerjaan tertentu yang akan menimbulk

an masalah
substansial
jika peraturan dipaksakan (kecuali untuk pekerjaan yangberbaha
ya),
setelah ada konsultasi dengan organisasi pengusaha danorganis
asi pekerja;

Ijin untuk pekerjaan ringan yang tidak membahayakan kes

ehatan dan
perkembangan anak dan yang tidak menghalangi waktu anak unt
ukbersekolah, ini ditentukan oleh pemerintah, dari usia 13 tahun (
12 tahun jika usia minimumnya 14 tahun);
Ijin untuk anak berpartisipasi dalam pertunjukan kesenian dib
erikan kasus per kasus.
Beragam pendapat muncul
sehubungan dengan pekerja anak. Inimenunjukkan bahwa bukan

hanya pekerja anak sebagai salah satu masalahtersendiri namun


juga dapat dibenarkan atau tidaknya pekerja anak menjadipersoa
lan juga. Setidaknya ada tiga pendekatan dalam memandang ma
salahpekerja anak. Pertama mereka yang berperinsip bahwa pek
erja anak harusdihapuskan (abolition). Pendekatan penghapusan
ini muncul dari asumsi bahwa
seorang anak tidak boleh bekerja, karena di usianya ia haru
s sekolah danbermain. Kedua, mereka yang berpendapat pekerj
a anak harus dilindungi(protection), ini dilatar belakangi oleh pan
dangan bahwa seorang anak

sebagai

individu punya hak ekonomi untuk bekerja, karenanya hakhaknya


sebagai pekerjaharus dijamin melalui peraturan ketenagakerjaan
sebagaimana berlaku terhadappekerja dewasa. Ketiga, mereka
yang berpendapat bahwa pekerja anak harus
Diberdayakan (empowerment),
ini berangkat dari pengakuan terhadap hak-hakanak dan
mendukung upaya penguatan pekerja anak agar mereka mema
hamidan mampu memperjuangkan hak-haknya.

ILO dan banyak Negara menggunakan pendekatan pengha


pusan pekerjaanak (the elimination of child labour). Pendekatan i
ni dianggap tidak realistis
karena sebagian besar pekerja anak muncul akibat kemiskin
an. Bagaimanadengan Indonesia?. Berangkat dari sisi pasar ten
aga kerja terdapat paling tidakdua teori yang mencoba menjelask
an mengapa anak bekerja yaitu ditinjau dari
sisi penawaran dan permintaan. Teori yang mendukung dari teori
penawaranmenyatakan bahwa kemiskinan merupakan sebab
utama pendorong anakbekerja untuk kelangsungan hidup diriny
a dan keluarga. Dorongan bisa berasaldari diri sendiri maupun or
ang tua. Teori yang berpijak dari teori permintaanmenyatakan ba
hwa denngan mempekerjakan anak-anak (dan juga
perempuandewasa) yang dianggap
sebagai pencari nafkah kedua dan mau dibayar murah,majikan d
apat melipat gandakan keuntungannya. Pada kenyataannya k
eduateori ini berlaku secara bersama-sama dan menciptakan
pasar tenaga kerja anak(dan perempuan).

BAB III
METODOLOGI

A. Tipe Penelitian
a. Penelitian Normatif (Undang-Undang)
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian normatif. Penelitian
normatif adalah suatu penelitian hukum yang mengkaji normanorma tertulis dalam produk hukum tertulis dari berbagai aspek
meliputi aspek teori hukum, sejarah hukum, filsafat hukum,
perbandingan hukum, dan asas-asas hukum.
Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif
adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsipprinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum

yang

dihadapi.[8] Senada

dengan

menurut Soerjono
normatif adalahmenelaah terhadap

hal

tersebut,

Soekamto, penelitian
pokok

permasalahan yang

menjadi pembahasan. Lebih lanjut, menurut pendapat Soerjono


Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian hukum normatif mencakup :
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;
b. Penelitian terhadap sistematik hukum;
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vetikal dan horizontal;
d. Penelitian perbandingan hukum;
e. Penelitian sejarah hukum.[9]
Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum terhadap
sistematik hukum. Penelitian terhadap sistematik hukum dilandasi
dengan pengertian-pengertian dasar sistem hukum, yakni :
masyarakat hukum, subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa
hukum, dan obyek hukum.

B. Jenis dan Sumber Hukum


Jenis dan sumber hukum yang diperlukan dalam penelitian ini
adalah bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder yaitu
bahan hukum yang diperoleh melalui studi kepustakaan guna

mendapatkan landasan teoritis terhadap upaya perlindungan hak


cipta atas ciptaan yang penciptanya tidak diketahui apakah telah
sesuai

dengan

Undang-Undang

Nomor 13

Tahun

2003

Tentang Ketenagakerjaan.
Menurut Peter Mahmud Marzuki, untuk memecahkan isu
hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang
seyogiyanya, diperlukan sumber-sumber penelitian. Sumbersumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumbersumber yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahanbahan hukum sekunder.[10]
Bahan-bahan hukum tersebut berupa:
1) Bahan Hukum Primer (primary law materiel), adalah bahan
hukum

yang

mengikat

yaitu

Undang-Undang Republik

Indonesia No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;


2) Bahan hukum sekunder (secondary law materiel), yaitu bahan
hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer
antara lain buku, tulisan ilmiah, makalah, jurnal, skripsi, hasil

penelitian ilmiah, serta laporanhukum media cetak dan media


elektronik.
3)

Bahan hukum tersier (tertiary law materiel), yaitu bahan hukum


yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri atas:

(a) Kamus Hukum.


(b) Bahan yang bersumber dari internet.

C. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan

undang-undang (Statute

Approach) dilakukan

dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang


bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum


1. Kepustakaan (library research)

Bahan hukum kepustakaan diperoleh dari studi dokumen,


maka dalam penelitian ini penulis mencari dan mengumpulkan
bahan-bahan kepustakaan baik berupa Peraturan Perundangundangan, buku, hasil-hasil penelitian hukum, makalah-makalah,
surat

kabar,

artikel, majalah/jurnal-jurnal

hukum

maupun

pendapat para sarjana yang mempunyai relevansi dengan judul


penelitian ini yang dapat menunjang dalam penulisan-penulisan
ini.

E. Analisis Hukum
Bahan-bahan hukum yang berhasil dikumpulkan diolah
secara teratur dan sistematis, selanjutnya dilakukan analisis
secara kualitatif yaitu meneliti, menelaah bahan-bahan hukum
yang ada dalam bentuk uraian secara deskriptif kualitatif untuk
dapat menjawab rumusan masalah.
Metode deskriptif kualitatif yaitu analisis-analisis yang tidak
didasarkan

atas

angka-angka

terhadap

peraturan-peraturan

tetapi
yang

melalui

uraian-uraian

berlaku

dengan

menghubungkan bahan hukum sekunder guna memperoleh


gambaran yang jelas dan lengkap mengenai masalah yang akan
dibahas.

[1] Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi, (Bandung : PT. Remaja Rosda
Karya, 1994), hal. 64.

Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia,


(Jakarta : Kompas, 2003), hal. 121.
[2]

[3] Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), (Surakarta : Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret, 2004), hal. 3
[4] Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, (Surakarta : Magister Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003), hal. 14.
[5] Hetty Hasanah, Perlindungan Konsumen dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen atas Kendaraan
Bermotor dengan Fidusia, (http//jurnal.unikom.ac.id/vol3/perlindungan.html, 2004), hal. 1.
[6]

Agnes Vira Ardian, 2008, hal. 45.

[7] Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Ke-Indonesia-an, Disertasi, (Bandung:
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katholik Parahyangan, 2004), hal. 112.
[8]

Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H.,MS., LL.M. 2010. hal .

35
[9]

Soerjono Soekamto, 1986. Hal. 58.

[10]

Ibid. Hal. 141.

Diposkan oleh THOTO punya semua di Kamis, Januari 05, 2012

Perhitungan Masa Kerja


Pekerja Outsourcing (Alih Daya)
Dear Tim Rubrik Hukum Online, Saya hendak bertanya, apakah pekerja
offsourcing yang tidak pernah putus kontrak (selalu diperpanjang) dan kemudian
langsung diangkat menjadi pegawai tetap dapat menghitung masa kerja
offsourcing-nya sebagai masa bakti ke perusahaan? Karena saya sudah bekerja
sebagai pekerja offsourcing selama 2,5 tahun dan kemudian lanjut menjadi
pekerja tetap selama 2 tahun, apakah masa kerja saya dianggap lebih dari 3
tahun dan berhak uang atas uang penghargaan saat saya mengundurkan diri
karena keinginan saya sendiri? Mohon penjelasannya. Terima kasih.
ANDRIMULYADIS
Share:

Jawaban:
UMAR KASIM

Sebelum menjawab inti permasalahan Saudara, pada bagian awal saya perlu meluruskan dan
menjelaskan

sedikit,

bahwa

Ketenagakerjaan (UU

dalam UU

Nomor 13 Tahun 2003 tentang

No. 13/2003) sebenarnya tidak dikenal istilah outsourcing (yang

Saudara sebut dengan kata offsourcing).

Dalam Pasal 64 UU No. 13/2003, praktik outsourcing seperti maksud Saudara, secara resmi (dalam
undang-undang) disebut dengan istilah penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan (suatu
perusahaan/user) kepada perusahaan lain (service provider/vendor) yang dapat dilakukan
melaluiperjanjian

pemborongan

pekerjaan,

atau perjanjian

penyediaan

jasa

pekerja/buruh (vide Pasal 64 dan Pasal 65 ayat [1] serta Pasal 66 ayat [1] UU No. 13/2003 jo
Pasal 3 dan Pasal 17 Permenakertrans No. 19 Tahun 2012).

Walaupun demikian, sudah menjadi kelaziman dalam masyarakat (khususnya parastakeholder dari
kalangan buruh) menggunakan istilah outsourcing untuk menyebut penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainseperti dimaksud dalam Pasal 64 UU No. 13/2003. Dan
sekarang lebih dipopulerkan dengan istilah alih daya tenaga kerja atau perusahaan alih daya
(Kompas, 17 Nopember 2012 hal. 1).

Sehubungan dengan ketentuan tersebut di atas, dalam peraturan perundang-undangan, ada 2 macam
jenis perusahaan alih daya (perusahaan outsourcing), yakni:
-

perusahaan

penerima

pemborongan sebagaimana

tersebut

dalam Pasal

angka

Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 dan diatur dalam Pasal 65 UU No. 13/2003 serta Bab
II (Pasal 3 s/d Pasal 16) Permenakertrans No. 19 Tahun 2012; dan
-

perusahaan

penyedia

jasa

pekerja/buruh tersebut

dalam Pasal

angka

Permenakertrans. No. 19 Tahun 2012 dan diatur dalam Pasal 66 UU No. 13/2003 serta Bab
III (Pasal 17 s/d Pasal 32) Permenakertrans. No. 19 Tahun 2012.

Berkenaan dengan permasalahan Saudara, dapat kami jelaskan sebagai berikut:


1. Berdasarkan Pasal 65 ayat (7) jo Pasal 59 ayat (1) UU No. 13/2003,hubungan
kerja antara pekerja (buruh) dengan perusahaan lain (dalam hal ini perusahaan penerima
pemborongan), dapat didasarkan PKWTT (perjanjian kerja waktu tidak tertentu), atau -dapat juga
didasarkan- PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu) apabila memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud Pasal 59 UU No. 13/2003.

Artinya, bahwa hubungan kerja antara seseorang pekerja dengan perusahaan outsourcing penerima
pemborongan pada prinsipnya didasarkan/diperjanjikan melalui PKWTT (istilah Saudara: pekerja
tetap atau permanen). Namun, jika memenuhi syarat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis
dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, dapat didasarkan
(diperjanjikan) melalui PKWT (yang Saudara sebut dengan istilah kontrak).

Sebaliknya, berdasarkan Pasal 66 ayat (2) huruf b jo Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU No.
13/2003, hubungan

kerja antara pekerja (buruh)

dengan perusahaan

alih

daya (dalam

hal perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh), adalah PKWT yang (sepanjang) memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 UU No. 13/2003, dan/atau PKWTT yang dibuat
(diperjanjikan) secara tertulis dan ditanda-tangani para pihak.

Maksudnya, bahwa dalam konteks perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh, hubungan kerja antara
seseorang

pekerja

dengan perusahaan

outsourcingpenyedia

jasa

pekerja/buruh,

dapat

diperjanjikan melalui PKWT (sebagaipekerja kontrak) sepanjang memenuhi syarat pekerjaan tertentu
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu.
Sebaliknya, kalau tidak memenuhi syarat tersebut, seharusnya diperjanjikan melalui PKWTT.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dengan demikian, apabila Saudara bekerja pada perusahaan
alih

daya (baik perusahaan

penerima

pemboronganmaupun perusahaan

penyedia

jasa

pekerja/buruh) dan dipekerjakan pada pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, maka sah-sah saja Saudara direkrut (di-hire)
sebagai pekerja kontrak (melalui PKWT). Akan tetapi, apabila Saudara bekerja pada perusahaan alih
daya (perusahaan penerima pemborongan maupunperusahaan penyedia jasa pekerja/buruh) dan
dipekerjakan pada pekerjaan yang bersifat tetap (sebagaimana dimaksud Pasal 59 ayat [2] UU No.
13/2003), maka seharusnya sejak awal Saudara direkrut (di-hire) sebagai pekerja tetap(melalui
PKWTT).

Sayangnya, Saudara tidak menjelaskan jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan perusahaan Saudara,
apakah pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam
waktu tertentu (temporer), atau pekerjaan yang bersifat tetap (berkelanjutan).

2. Terkait dengan perhitungan masa bakti, jika Saudara dipekerjakan pada pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu (temporer),
maka perhitungan masa kerjaSaudara baru mulai dihitung sejak diangkat menjadi pegawai tetap
(videPasal 15 ayat [2] dan ayat [3] Kepmenakertrans No. Kep-100/Men/VI/2004). Dengan
demikian, masa kerja Saudara adalah baru 2 (dua) tahun (yakni sejak pegawai tetap atau PKWTT
tersebut).

Namun, jika Saudara dipekerjakan pada pekerjaan yang memang bersifat tetap (berkelanjutan), maka
perhitungan masa kerja Saudara dihitung sejak (awal) diangkat menjadi pekerja kontrak (vide Pasal
15 ayat [5] Kepmenakertrans No. Kep-100/Men/VI/2004). Dalam hal ini, masa kerja Saudara
adalah 4,5 tahun (atau empat tahun dan enam bulan), komulatif sejak PKWT (kontrak) selama 2,5
tahun (maksudnya, dua tahun dan enam bulan) ditambah saat PKWTT (permanen) 2 (dua) tahun.

3. Berdasarkan Pasal 162 ayat (1) UU No. 13/2003, bahwa bagi pekerja yang (di-PHK dengan
alasan) mengundurkan diri atas kemauan sendiri, haknya adalah (hanya) uang penggantian
hak (UPH) sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU No. 13/2003, yang meliputi:
a) cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b) biaya/ongkos pulang ke tempat di mana pekerja diterima;
c) penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan sebesar 15% dariuang pesangon (UP)
dan uang penghargaan masa kerja (UPMK) jika memenuhi syarat;
d) hal-hal lain yang (telah) diperjanjikan.
Di samping itu, berdasarkan Pasal 162 ayat (2) UU No. 13/2003, bahwa bagi pekerja yang tugas
dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung (non management committe),
selain menerima uang penggantian hak, (juga) diberikan uang pisah yang besarnya dan
pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Dengan demikian, berapapun lamanya masa bakti Saudara (walaupun selalu diperpanjang dan
kemudian diangkat menjadi pegawai tetap) apabila Saudaramengundurkan diri atas kemauan sendiri,
maka Saudara tidak berhak atasuang penghargaan (maksudnya uang penghargaan masa kerja
sebagaimana dimaksud Pasal 156 ayat [3] UU No. 13/2003). Demikian juga, Saudara tidak berhak
atas uang pesangon (sebagaimana dimaksud Pasal 156 ayat [2] UU No. 13/2003). Akan tetapi, hanya
berhak uang

penggantian

hakdan uang

pisah (jika

Saudara

dikatagorikan non-management

commitee).

Terkait dengan itu, apabila uang pisah di perusahaan alih daya di mana Saudara bekerja- didasarkan
pada masa bakti, maka ketentuan (masa kerja) tersebut di atas dapat menjadi dasar penentu besaran
uang pisah yang akan Saudara peroleh.

Demikian penjelasan dan opini kami, semoga dapat dipahami.

Dasar Hukum:
1.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ;

2.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-100/Men/VI/2004 tentang


Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu;

3.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi. Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui
twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Identifikasi dan Analisis Undang-Undang No. 13


Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
NOVEMBER 1, 2011 TINGGALKAN KOMENTAR

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ketenagakerjaan pada awalnya merupakan bidang yang berada dalam ruang
lingkup hukum privat. Namun karena ketenagakerjaan dianggap menjadi bidang
yang penting untuk diatur secara langsung oleh negara. Maka negara turun
tangan

langsung

dengan

membuat

regulasi

yang

mengatur

mengenai

ketenagakerjaan. Sehingga, ketenagakerjaan tidak lagi bagian dari hukum privat


tetapi menjadi bagian dari hukum publik. Alasan lain mengapa langkah ini
dilakukan oleh negara adalah karena banyaknya kasus yang menjadikan Tenaga
Kerja Indonesia dalam maupun luar negeri menjadi korban dan kurang mendapat
perlindungan.

Pembuatan

ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan.

dituangkan

regulasi
dalam

yang
UU

No.

mengatur
13

tahun

secara

khusus

2003

tentang

Hubungan Ketenagakerjaan

Masalah yang sering terangkat ke permukaan dan menjadi berita utama serta
buah bibir dimasyarakat adalah perlakuan diskriminasi. Perlakuan tidak adil
antara sesama pekerja/buruh maupun antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
Dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hal ini
telah diatur agar tidak adanya diskriminasi. Masalah lain yang saat ini juga
sedang menjadi bahan pembicaraan dalam ketenagakerjaan di Indonesia
adalah outsourcing. Dimana praktekoutsourcing ini menyengsarakan pekerja
atau buruh dan menyebabkan kaburnya hubungan kerja serta industrial antara
pekerja dengan pengusaha.
Sebelum terjalinnya hubungan kerja antara pekerja dan orang yang akan
mempekerjakannya terdapat proses dalam ketenagakerjaan yang harus dijalani.
Mulai dari prakerja, hubungan kerja, menjalankan pekerjaan dan pascakerja.
Dalam menjalani proses tersebut tidak akan selalu berjalan dengan mulus. Tentu
akan dijalani berbagai rintangan demi peningkatan kerja yang lebih baik. Dalam
proses tersebut juga akan lahir berbagai masalah.
Dengan berbagai masalah yang timbul dalam ketenagakerjaan baik sebelum dan
sesudah regulasi ketenagakerjaan lahir. Perlu diketahui bagaimana tingkat
penerimaan masyarakat serta pemahaman masyarakat atas lahirnya UU No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain itu juga masih perlu dipertanyakan
bagaimana tingkat perlindungan yang diberikan oleh UU Ketenagakerjaan

kepada pekerja ataupun pengusaha. Tujuan dari regulasi tersebut juga perlu di
identifikasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan tentu dapat terlihat
banyak hal yang peru dibenahi. Maka dapat ditentukan hal-hal yang akan
menjadi rumusan masalah yaitu :
1.

Bagaimanakah pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap UU


No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ?

2.

Apakah tujuan dari disahkan dan diundangkannya UU No. 13 tahun 2003


tentang Ketenagakerjaan ?

3.

Mengapa

setelah

ketenagakerjaan

adanya

masih

tetap

regulasi
saja

yang

ada

mengatur

masalah

mengenai

dalam

bidang

ketenagakerjaan ?
4.

Bagaimanakah problem solving untuk menyelesaikan masalah dalam


bidang ketenagakerjaan terkait perlindungan tenaga kerja ?
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Ketenagakerjaan
Pada awalnya keberadaan Hukum Ketanagakerjaan di Indonesia terdiri dari
beberapa fase pada abad 120 SM. Ketika bangsa Indonesia mengenal adanya
sistem gotong royong diantara sesama anggota masyarakat. Gotong royong
adalah sistem pengerahan tenaga kerja tambahan dari luar kalangan keluarga
dengan tujuan untuk mengisi kekurangan tenaga. Sifat gotong royong memiliki
nilai luhur yang juga diyakini membawa kemaslahatan. Dengan nilai-nilai
kebaikan, kebijakan, dan hikmah untuk masyarakat hingga gotong royong
menjadi sumber terbentuknya Hukum Ketanagakerjaan Adat. Karena bersifat
konvensional regulasi dari Hukum Ketanagakerjaan Adat tidak tertulis. Namun
Hukum Ketanagakerjaan Adat menjadi identitas bangsa yang mencerminkan
kepribadian bangsa Indonesia yang merupakan penjelmaan dari jiwa bangsa
Indonesia dari abad keabad.

Memasuki abad masehi, saat mulai berdirinya kerajaan di Indonesia hubungan


kerja dilakukan dengan adanya perbudakan. Ketika zaman Kerajaan Hindia
Belanda terdapat sistem pengkastaan dengan 5 perbeadaan kasta antara lain,
brahmana, ksatria, waisya, sudra, dan paria. Kasta paling rendah adalah
golongan sudra sedangkab paria adalah budak dari kasta brahmana, ksatria, dan
waisya, Golongan paria layaknya budak hanya menjalankan kewajiban
sedangkan hak-haknya dikuasai oleh para majikan.
Pada masa Kerajaan Islam meski tidak secara tegas adanya sistem
pengangkatan. Namun pada pokoknya sama saja, pada masa ini kaum
bangsawan (raden ) mempunyai kekuasaan atau hak penuh atas para
tukangnya. Nilai-nilai keislaman tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena
terhalang oleh dinding budaya bangsa yang sudah berlaku sejak 6 abad
sebelumnya.
Ketika Hindia Belanda menduduki Indonesia, masalah perbudakan semakin
meningkat. Terdapat perlakuan sangat keji dan tidak berprikemanusiaan
terhadap budak. Problem solvingnya adalah memberikan kedudukan yang sama
antara budak dengan manusia merdeka secara sosiologis, yuridis dan ekonomis.
Langkah nyata dalam menyelesaikan masalah perbudakan tersebut adalah pada
masa Belanda dengan dikeluarkannya Staatblad 1817 No. 42 yang berisikan
larangan untuk memasukan budak-budak ke Pulau Jawa. Tahun 1818 di
tetapkan pada suatu UUD HB (Regeling Reglement) 1818 berdasarkan pasal
115 RR yang menetapkan bahwa paling lambat pada tanggal 1 Juni 1960
perbudakan dihapuskan.
Berbagai masalah perbudakan dalam ketenagakerjaan terjadi di masa lalu.
Namun selain berbagai kasus pada masa pendudukan Hindia Belanda mengenai
perbudakan yang keji. Terdapat perbudakan lain yang dikenal dengan istilah rodi
yang pada dasarnya sama saja dengan perbudakan lainnya. Rodi pada
dasarnya merupakan kerja paksa yang pada awalnya dilakukan gotong royong
oleh semua penduduk desa-desa tertentu. Dengan keadaan tersebut maka

penjajah memanfaatkannya menjadi suatu kerja paksa untuk kepentingan


pemerintah Hindia Belanda.
B. Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan berasal dari kata tenaga kerja, yang dalam Pasal 1 angka 2 UU
No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu Tenaga kerja adalah setiap
orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau
jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Sedangkan pengertian dari ketenagakerjaan sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UU
No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah Ketenagakerjaan adalah
segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum,
selama, dan sesudah masa kerja.
Demi meningkatkan taraf hidup maka perlu dilakukan pembangunan diberbagai
aspek. Tidak terkecuali dengan pembangunan ketenagakerjaan yang dilakukan
atas asas keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan
daerah. Dalam hal ini maksudnya adalah asas pembangunan ketanagakerjaan
berlandaskan asas pembangunan nasional terkhusus asas demokrasi pancasila,
asas adil, dan merata.
Dalam pelaksanaan proses hubungan kerja terdapat bagian-bagian yang harus
dijalani. Ruang lingkup dari ketenagakerjaan itu senditi adalah pra kerja, masa
dalam hubungan kerja, masa purna kerja (post employment). Cakupan dari
ketenagakerjaan terbilang luas, jangkauan hukum ketenagakerjaan lebih luas
bila dibandingkan dengan hukum perdata yang diatur dalam buku III title 7A.
Terdapat ketentuan yang mengatur penitikberatan pada aktivitas tenaga kerja
dalam hubungan kerja
Berbicara mengenai hubungan kerja Pasal 1 angka 15 UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa : Hubungan kerja adalah hubungan
antara pengusaha dengan pekerja atau buruh berdasarkan perjanjian kerja yang
mempunyai unsure-unsur pekerjaan , upah dan perintah dan Hubungan kerja
adalah suatu hubungan pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian kerja
yang diadakan untuk waktu tertentu namun waktu yang tidak tertentu.

PEMBAHASAN
A. Pembahasan Secara Umum
Jika diidentifikasi tujuan dari UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
maka dalam regulasi itu sendiri terdapat 4 (empat) tujuan yang disebutkan pada
Pasal 4 bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :
1.

Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan


manusiawi;

Penjelasan Pasal 4 huruf a UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


adalah Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu
kegiatan yang terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluasluasnya

bagi

tenaga

kerja

Indonesia.

Melalui

pemberdayaan

dan

pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat berpartisipasi


secara optimal dalam Pembangunan Nasional, namun dengan tetap menjunjung
nilai-nilai kemanusiaannya.
1.

Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja


yang sesuai

dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;


Penjelasan Pasal 4 huruf a UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
adalah Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan
memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh
tenaga kerja Indonesia sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
Demikian pula pemerataan penempatan tenaga kerja perlu diupayakan agar
dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan daerah.
1.

Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan


kesejahteraan; dan

2.

Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

Karena bidang ketenegakerjaan dianggap penting dan menyangkut kepentingan


umum. Maka pemeritah mengaihkannya dari hukum privat menjadi hukum
publik. Alasan lain adalah banyaknya masalah ketenagakerjaan yang terjadi baik

dalam maupun luar negeri. Salah satu contoh adalah banyak kasus yang masuk
ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) menyangkut penggunaan tenaga kerja
asing. Setiap putusan badan peradilan PHI akan menjadi evaluasi untuk
kepentingan di bidang ketenagakerjaan.
Bagian penting dalam ketenagakerjaan yang banyak mendapat sorotan adalah
hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Hubungan kerja ini
termasuk sebagai Perjanjian. Sesuai dengan Pasal 1313 KUHPerdata yang
berbunyi Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Dalam Pasal 1320
KUHPerdata terdapat syarat-syarat terjadinya suatu perjanjian yang sah adalah :
1.

kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2.

kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3.

suatu pokok persoalan tertentu

4.

suatu sebab yang tidak dilarang

Dari ketentuan pasal tersebut terlihat jelas bahwa perjanjian kerja yang dilakukan
antara pekerja/buruh dengan pengusaha semuanya tergantung kesepakatan
kedua belah pihak. Namun dengan batasan-batasan yang disebutkan dalam UU
No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perjanjian kerja yang dilakukan
harus menunjukkan adanya kejelasan atas pekerjaan antara pekerja/buruh
dengan pengusaha. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian
yang telah disepakati dan ketentuan yang tercantum dalam UU no.13 thn. 2003
maka terdapat unsur dari hubungan kerja yaitu :
1.

Adanya unsure service (pelayanan)

2.

Adanya unsure time (waktu )

3.

Adanya unsure pay (upah )

Masyarakat pada umumnya tahu bahwa tidak boleh adanya pemberlakuan tidak
adil (diskrimimasi) antara sesama pekerja atau antara pekerja dengan
pengusaha. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yaitu Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang
sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. dan Pasal 6 UU No. 13

tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu Setiap pekerja/buruh berhak


memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
Masyarakat menerima dan memahami ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan berbagai masalah
yang telah terjadi sebelum lahirnya UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan sebagian bisa teratasi setelah lahirnya regulasi tersebut.
Namun setelah lahirnya UU tersebut tidak menutup kemungkinan lahirnya
masalah baru terkait dengan ketenagakerjaan. Salah satu yang menjadi masalah
adalah masih kurangnya tingkat perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam
hubungan kerjanya dengan pengusaha yang memperkerjakannya. Masalah
tersebut adalah outsourcing yang dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tidak diatur secara khusus dalam penyelesaiannya.
Pemahaman masyarakat atas kurangnya perlindungan hukum terhadap
pekerja/buruh serta masih adanya celah untuk lahirnya masalah baru atas UU
No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Melahirkan niat dari masyarakat
untuk dilakukannya revisi atas UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Adanya niat dari pemerintah untuk melakukan revisi atas UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Membuka pintu solusi kepada masyarakat untuk
mengatasi berbagai permasalahan telah terjadi serta sebagai langkah preventif
untuk masalah baru. Pemerintah memberikan kesempatan kepada Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk melakukan kajian independen dan
penyempurnaan revisi UU Ketenagakerjaan tersebut. Hal ini sebagaimana
disampaikan

oleh

Menakertrans

Muhaimin

Iskandar

setelah

melakukan

pertemuan konsolidasi Lembaga Kerja Sama Tripartit (LKS) Tripartit Nasional, di


Jakarta, tepatnya Senin tanggal 8 November 2010 lalu.
Dalam

pertemuan

tersebut

dibahas

pasal-pasal

yang

terkait

dengan outsourcing (alih daya), pengupahan, jaminan sosial dan pesangon serta
dan pelaksanan perjanjian kerja waktu tertentu. Disebutkan bahwa dalam
pertemuan tersebut adanya kesepakatan pengkajian mendalam menghenai
penyempurnaan

dan

revisi

UU

No.

13/2003

yang

dilakukan

secara

komprehensif, baik itu revisi UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan itu
sendiri, ataupun terkait dengan revisi UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja dan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Tenaga Kerja.
Adanya wacana bahwa pada tahun 2010 lalu telah beredarnya beberapa draft
yang disebut revisi UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada saat
itu pula Muhaimin selaku Menakertrans menegaskan bahwa draft tersebut bukan
berasal dari Kemenakertans. Maka semua pihak diharapkan tidak percaya begitu
saja dengan isi draf-draft tersebut karena akan memunculkan kekhawatiran dan
sikap saling curiga terutama diantara pekerja dan buruh. Menakertrans juga
menyebutkan bahwa pada tahun 2010 lalu pada tepatnya pada bulan November
proses penyempurnaan UU Ketenagakerjaan masih dibahas di lingkungan
internal Kemenakertrans kemudian akan dibahas lintas kementerian dan pihak
lainnya. Pada tahun 2011 ini akan dilakukan tahap pematangan. Jika materi atas
revisi UU Ketenagakerjaan tersebut sudah matang maka akan diajukan ke DPR
hingga akhirnya akan diratifikasi. Meski sampai saat ini belum terlihat adanya
tanda akan di undangkannya hasil revisi dari UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.

Namun

langkah

revisi

atas

UU

Ketenagakerjaan

adalah problem solvingatas masalah yang timbul sebelum dan setelah lahirnya
regulasi tersebut. Hal ini juga menjawab permasalahan mengapa masalah terkait
ketenagakerjaan tetap ada meski UU Ketenagakerjaan tersebut sudah lahir.
Masyarakat sudah memahami dengan jelas setiap ketentuan dari UU No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pernyataan tersebut bisa dikeluarkan
karena Menakertrans yang menyebutkan setiap kalangan masyarakat terutama
kalangan pengusaha, serikat pekerja/serikat bisa memberikan sebanyak
mungkin saran, masukan dan kajian terhadap penyempurnaan dan revisi UU No.
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan melalui tiga pihak yaitu, Menakertrans,
LIPI dan LKS Tripartit. Tanggapan masyarakat menunjukkan bahwa menerima
dengan baik UU tersebut ditunjukkan dengan adanya niat untuk perbaikan
regulasi tersebut. LKS Tripartit masih terbilang jarang terdengar ditelinga

masyarakat yang merupakan forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah


tentang

masalah

ketenagakerjaan

yang

anggotanya

terdiri

dari

unsur

pemerintah, organisasi pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh. Konsolidasi


tersebut dilakukan dengan LKS Tripartit demi memperkuat peranannya dalam
upaya meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, menarik investasi dan
penciptaan industri yang lebih bagus.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Masyarakat memahami dengan jelas UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang terlihat jelas dengan cara masyarakat menanggapi
berbagai ketentuan dan kekurangan dari UU Ketenagakerjaan tersebut.
Masyarakat memahami dengan baik kurangnya perlindungan yang diberikan
terhadap pekerja/buruh dari regulasi tersebut dan masih adanya celah untuk
lahirnya masalah baru dalam ketenagakerjaan. Masyarakat menerima dengan
baik terhadap UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang ditunjukkan
dengan adanya niat masyarakat untuk melakukan perbaikan melalui revisi UU
Ketenagakerjaan tersebut
Akibat lahirnya berbagai masalah di Indonesia terkait ketenagakerjaan. Maka
ketenagakerjaan yang pada awalnya berada dalam ruang lingkup hukum privat
maka pemerintah memandang hukum ketenagakerjaan itu bagian penting untuk
diatur langsung oleh pemerintah sehingga dialihkan menjadi bagian dari hukum
publik. Sedangkan tujuan dari UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
itu sendiri dituangkan dalam Pasal 4 UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Meski awalnya berbagai permasalahan sebelum lahirnnya UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan dapat diselesaikan. Namun ternyata setelah lahir UU
tersebut malah melahirkan masalah baru dalam hal kurangnya perlindungan
terhadap pekerja/buruh dan masih adanya celah lain untuk lahirnya masalah
baru dalam ketenagakerjaan. UU Ketengakerjaan tersebut belum mengatur

dengan jelas perlindungan terhadap pekerja/buruh yang selalu berada dipihak


yang lemah dalam sebuah hubungan kerja.
Problem solving untuk menyelesaikan masalah dalam bidang ketenagakerjaan
saat ini adalah perlunya dilakukan revisi atas UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Karena masih kurangnya perlindungan yang diberikan pada
pekerja/buruh yang menjadi pihak yang lemah dalam sebuah hubungan kerja
dan masih adanya celah yang bisa memberikan masalah baru dalam
ketenagakerjaan terutama dalam hubungan kerja.
B. Saran
Peran serta berbagi kalangan masyarakat dalam penyelesaian masalah
ketenagakerjaan. Karena dalam menyelesaikan masalah ketenagakerjaan
secara nasional tidak hanya menjadi bagian dari pemerintah tetapi juga kalangan
masyarakat pada umumnya. Masyarakat pada umumnya dalam hal ini tidak
hanya kalangan pekerja/buruh atau para pengusaha. Namun juga masyarakat
lain yang berada diluar pekerja/buruh dan pengusaha.
Pemerintah dapat membuat peraturan atau kebijakan dalam menyelesaikan
masalah

ketenagakerjaan.

Tetapi

ketika

dalam

penegakannya

dan

penerapannya dalam masyarakat tidak adanya peran aktif masyarakat dalam


mewujudkan penegakan hukum yang baik dalam ketenagakerjaan. Maka usaha
yang dilakukan pemerintah tentu akan sia-sia. Pemerintah tidak akan dapat
bertepuk sebelah tangan.
DAFTAR PUSTAKA
http://hukumonline.com/ diakses pada hari Jumat pukul 12:38 WIB tanggal 21
Oktober 2011
http://maulabour.wordpress.com/ diakses pada hari Selasa pukul 13:53 WIB
tanggal 25 Oktober 2011
http://studihukum.wordpress.com/ diakses pada hari Selasa pukul 13:53 WIB
tanggal 25 Oktober 2011

http://www.djpp.depkumham.go.id/ diakses hari Kamis tanggal 15 September


2011 pukul 07:44 WIB
http://www.pikiran-rakyat.com/ diakses pada hari Jumat pukul 12:39 WIB tanggal
21 Oktober 2011
Soetami, A. Siti. 2007. Pengantar Tata Hukum Indonesia. PT Refika Aditama.
Bandung
Sutedi, Andrian, 2009. Hukum Perburuhan. Sinar Grafika. Jakarta
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Anda mungkin juga menyukai