Tentang :
Toleransi Agama
Oleh :
manapun. Maka kata toleransi (tasamuh) dalam Islam bukanlah hal baru, tetapi sudah
diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam lahir.
Kerja sama yang baik antara muslim dan non muslim telah dibuktikan dan ditulis di dalam
sejarah agama Islam dengan jelas. Nabi Muhammad saw. dan para sahabat melakukan
interaksi sosial mereka (muamalah) dengan non muslim seperti Waraqah bin Naufal yang
beragama Nasrani, Abdullah bin Salam yang sebelumnya beragam Yahudi, bahkan nabi
sendiri pernah meminta suaka politik (perlindungan politik) dengan memerintahkan para
sahabat untuk berhijrah meminta perlindungan kepada raja Najasy (Nigos) dari Habsyah
(sekarang Ethiopia) yang beragama Nasrani.
Imam Bukhori meriwayatkan dari Anas bin Malik bhawa ketika Nabi wafat, baju beliau masih
digadaikan pada orang Yahudi guna membiayai keluarganya, padahal sebenarnya beliau bisa
meminjam dari para sahabatnya. Akan tetapi, hal itu dilakukan dengan maksud untuk
mengajarkan kepada umatnya bahwa kerja sama denga orang-orang non muslim merupakan
sikap dan pandangan Islam.
Diriwayatkan bahwa suatu ketika Asma binti Abu Bakar didatangi ibunya, Qotilah, yang
masih kafir. Ia pun bertanya kepada Rasulullah saw: "Bolehkah saya berbuat baik
kepadanya?" Rasulullah saw. menjawab: "Boleh". Kemudian turunlah ayat ke-8 Surat AlMumtahanah, yaitu:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S. al-Mumtahanah: 8)
Ayat itu menegaskan bahwa Allah swt. tidak melarang berbuat baik kepada orang yang tidak
memusuhi agama Allah. Demikian yang diterangkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Qotilah (bekas isteri Abu Bakar yang telah
diceraikannya pada zaman jahiliyah) datang kepada anaknya yang bernama Asma binti Abu
Bakar, dengan membawakannya hadiah, Asma menolak pemberian itu bahkan tidak
memperkenankan ibunya masuk ke dalam rumah. Setelah itu ia mengutus seseorang kepada
Aisyah (saudaranya) untuk bertanya tentang hal ini kepada Rasulullah saw. dan kemudian
Rasul pun memerintahkan untuk menerimanya dengan baik serta menerima pula hadiahnya.
(HR. Ahmad, Al-Bazzar, Al-Hakim dari Abdullah bin Zubair)
Asma Binti Abu Bakar pernah berkata bahwa ketika Nabi saw. masih hidup, ibuku pernah
mengunjungiku dalam keadaan sangat mengharap kebaikanku kepadanya dan takut kalau aku
menolaknya dan merasa kecewa. Kemudian aku pun bertanya kepada Nabi saw: Apakah
boleh aku menyambung hubungan silaturrahmi dengannya?. Beliau menjawab: Ya.
Ibnu Uyainah menambahkan keterangan bahwa kemudian Allah swt. menurunkan ayat ke-8
surat Al-Mumtahanah tersebut.
Ibnu Umar berkata bahwa ayahnya ,Umar RA, pernah melihat sehelai sutra yang sedang
dijual, lalu ia berkata: Ya Rasulullah! Belilah sutra ini dan pakailah pada hari jumat, dan
jika anda dikunjungi utusan-utusan. Beliau menjawab: Hanya saja orang mengenakan sutra
ini adalah orang yang tidak akan mendapat bagian sedikitpun diakhirat. Kemudian suatu hari
Nabi saw. pernah diberi beberapa helai pakaian sutra, kemudian beliau mengirimkan sebagian
kepada Umar, lalu Umar berkata: Bagaimana mungkin saya akan mengenakannya sedangkan
anda telah mengatakan sutra itu seperti itu? Beliau berkata: Sesungguhnya saya tidak
bermaksud memberikannya kepadamu untuk kau pakai, akan tetapi supaya kau menjualnya
atau memakainkannya kepada yang lain. Kemudian Umar mengirimkannya kepada salah
seorang saudaranya yang ada di Makkah, sebelum saudaranya itu masuk Islam.
Dan Mujahid pernah berkata: Saya pernah berada disisi Abdullah bin Amr dan pada saat itu
pelayannya sedang menguliti seeokr kambing. Kemudian Abdullah berkata: Hai pelayan!
Kalau engkau sudah selesai maka dahulukanlah tetangga kita si yahudi itu. Tiba-tiba salah
seorang berkata: (Kau dahulukan) orang yahudi? Semoga Allah memperbaiki anda.
Abdullah berkata: Saya pernah mendengar Nabi saw. berwasiat tentang tetangga, sampaisampai kami takut atau bahkan kami menganggap bahwa beliau akan menggolongkan
tetangga itu sebagai ahli waris.
Toleransi yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah Islam dan masuk dalam
kerangka sistem teologi Islam sejatinya harus dikaji secara mendalam dan
diaplikasikan dalam kehidupan beragama.
Toleransi beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak
mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut
agama-agama lain.
Toleransi yang positif adalah toleransi yang ditumbuhkan oleh kesadaran yang bebas
dari segala macam tekanan atau pengaruh, serta terhindar dari sikap munafik
(hipokrasi).
Penyebab terbesar konflik antar umat beragama muncul disebabkan oleh sikap merasa
paling benar (truth claim) dengan cara mengeliminasi kebenaran dari orang lain.
Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dapat
dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama
lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan
(ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah
maupun tidak beribadah, dari satu pihak ke pihak lain.
Orang-orang mumin itu bersaudara, dan mereka memerintahkan untuk melakukan
ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara dua
orang atau kelompok kaum muslim.
Orang mumin dianjurkan untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari
kesalahan orang lain.
Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan
menyadari adanya perbedaan.
Mungkin hanya ini yang dapat penulis jelaskan tentang toleransi, baik antar umat
beragama maupun antar sesame muslim sendiri. Harapan penulis, semoga makalh ini
dapt memberikan kontribusi yang nyata dalam memperkaya khasanah keilmuan Islam.
Penulis sadari bahwa sangat berlebihan kiranya jikalau makalah ini dikatakan
sempurna karena di dalamnya masih banyak terdapat berbagai kesalahan. Oleh karena
itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif guna penulisan
selanjutnya agar lebih bagus lagi.