1.
2.
3.
4.
5.
14. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
15. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasioanl percepatan
penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun dan pemberantasan
buta aksara
16. Surat Keputusan Bersama antara Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri
Agama Nomor 1/U/KB/2000 dan Nomor MA/86/2000 tentang Pondok pesantren
salafiyah sebagai pola wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun
17. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 036/U/1995 tentang
Pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar
18. Keputusan Menteri Pendidikan Nasioan Nomor 044/U/2002 tentang Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah
19. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 060/U/2002 tentang Pedoman
Pendirian sekolah
20. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks
Pelajaran
21. Surat Edaran Dirjen Pajak Departemen Keuangan RI Nomor SE-02/PJ./2006,
tentang Pedoman Pelaksanaan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Sehubungan
dengan penggunaan Dana Bantuan Operasional (BOS)oleh Bendaharawan atau
Penanggungjawab Pengelolaan Penggunaan Dana BOS di masing-masing Unit
Penerima BOS.
E. Sekolah Penerima BOS
Semua Sekolah Negeri dan Swasta berhak memperoleh BOS. Khusus sekolah
swasta harus memiliki ijin operasional (program penyelenggaraan pendidikan).
Sekolah yang bersedia menerima B0S harus menandatangani Surat Perjanjian
pemberian bantuan dan bersedia mengikuti ketentuan yang tertuang dalam buku
petunjuk pelaksanaan.
Sekolah kaya/ mapan yang mampu secara ekonomi yang saat ini memiliki
penerimaan lebih besar dari dana BOS mempunyai hak untuk menolak BOS tersehut.
Sehingga tidak wajib untuk melaksanakan ketentuan yang tertuang dalam buku
petunjuk pelaksanan. Keputusan atas penolakan BOS harus melalui persetujuan orang
tua siswa dan komite sekolah, bilamana di sekolah terdapat siswa miskin, sekolah
harus dapat menjamin kelangsungan siswa tersebut.
F. Penggunaan Dana BOS
Penggunaan dana BOS di sekolah umum atau madrasah harus pada
kesepakatan dan keputusan antara Kepala Sekolah/ Dewan Guru dan Komite Sekolah
Madrasah, yang harus didaftar sebagai salah satu sumber penerimaan dalam RAPBS,
disamping dana yang diperoleh dan Pemda atau sumber lain (block grant, hasil unit
produksi, sumbangan lain, dan sebagainya.
Khusus untuk Pesantren Saiflyah, penggunaan dana BOS didasarkan pada
kesepakatan dan keputusan bersama antara Penanggungawab Program dengan
pengasuh Pondok Pesantren dan disetujui oleh Kasi PEKA PONTREN (Pendidikan
Keagamaan dan Pondok Pesantren) Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
Bagi sekolah agama non Islam, dalam penggunaan dana BOS Kepala Sekolah/
Penanggungjawab Program harus meminta persetujuan dari Kasi PEMBIMAS
(Pembimbing Masyarakat) Departemen Agama Kabupaten/ Kota.
d.
e.
f.
g.
sekolah untuk mengelola secara baik dan transparan. BOS diberikan kepada semua
siswa dari tingkatan SD/MI/SDLB, dan SMPT/MTs/SMPLB,Salafiyah setara SMP
negeri ataupun swasta. Sedangkan untuk tingkat SMA/SMK/MA, diberikan dana
BKM bagi siswa dari kalangan tidak mampu.sedangkan distribusi diberikan melalui
PT Pos/Bank,yang ditransfer ke rekening kepala sekolah.
Sedangkan dana BKM diberikan dalam bentuk cash (tunai) kepada pihak
sekolah atau siswa. Pengucurun dana ini kesekolah diragukan karena kemampuan dan
pengalaman sekolah mengelola dana bantuan yang belum matang.Sekolah yang tidak
berpengalaman disinyalir perencanaan atau perubahan terhadap APBS penuh
rekayasa.Mengingat pencairan dana BOSmensyaratkan, bila APBS sekolah di bawah
jumlah dana BOS,maka sekolah harus menggratiskan semua biaya pendidikan.
Sebaliknya, bila APBS sekolah diatas sana BOS, sekolah diperbolehkan mencari dana
tambahan lain dari masyarakat. Hasil studi ini adalah BOS sudah diketahui
masyarakat tetapi belum sebagaimana yang dimaksudkan dalam petunjuk. Pertemuan,
tetapi pemahaman yang benar dari warga sekolah belum benar. Isu tentang BOS
banyak dimuat di media massa tetapi pada dasarnya hanya menguraikan kasus-kasus
pelaksanaan BOS. Hanya sekolah sebaga pengelola BOS belum cukup terbuka, belum
melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan.
Agar pelaksanaan program pelaksanaan PKPS-BBM dan masyarakat
memahami program BOS dengan benar, maka akan diuraikan definisi tentang Biaya
Pendidikan dan terminologi program B0S. Biaya Satuan Pendidikan (BSP) adalah
besarnya biaya yang diperlukan rata-rata tiap tahun, sehingga mampu menunjang
proses belajar mengajar sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan. Dari
cara penggunaannya, BPS dibedakan menjadi BSP Inventasi dan BSP Operasional.
BSP Inventasi adalah biaya yang dikeluarkan per-siswa per-tahun untuk
menyediakan sumber daya yang tidak habis pakai yang digunakan dalam waktu lebih
dari satu tahun, misalnya untuk pengadaan tanah, bangunan, buku, alat peraga, media,
perabot dan alat kantor. Sedangkan BSP Operasional adalah biaya yang dikeluarkan
per-siswa per-tahun untuk menyediakan sumber daya pendidikan yang habis pakai
yang digunakan satu tahun atau kurang. BSP Opersional mencangkup biaya personil
dan biaya non personil.
Biaya personil meliputi biaya untuk kesejahteraan (honor Kelebihan Jam
Mengajar (KJM), Guru Tidak Tetap (GTT) Pegawai Tidak Tetap (PTT), uang lembur
dan pengembangan profesi guru (pendidikan dan latihan diklat guru), Musyawarah
Guru Mata Pelajaran (MGMP) Musyawarah Kerja Kepela Sckolah (MKKS),
Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS), Kelompok Kerja Guru (KKG), dan lainlain. Biaya non personil adalah biaya untuk penunjang Kegiatan Belajar Mengajar
(KBM). Evaluasi penelitian, perawatan atau pemeliharaan, daya dan jasa, pembinaan
kesiswaan, rumah tagga sekolah dan supervisi.
Bantuan Operasioanal Sekolah (BOS) yang dimaksud dalam PKPS-BBM
Bidang Pendidikan secara konsep rnencankup komponen untuk biaya operasional non
personil hasil studi Badan Penelitian dan Pengembangan Departernen Pendidikan
Nasional (BALITBANG DEPDIKNAS ). Namun karena Biya satuan yang digunakan
adalah rata-rata nasional, maka penggunaan BOS dimungkinkan untuk membiayai
beberapa kegiatan lain yang tergolong dalam biaya personil dan biaya investasi. Perlu
ditegaskan hahwa prioritas utama BOS adalah untuk biaya operasional non personil
bagi sekolah, bukan biaya kesejahteraan guru dan bukan biaya untuk investasi.
Oleh karena keterhatasan dana BOS dan pemerintah Pusat, maka biaya
investasi sekolah dan kesejahteraan guru harus dibiayai dari sumber lainnya dengan
prioritas utama dari sumber pemerintah daerah.
B. Dana BOS dan Perencanaan Di Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah adalah bentuk alternatif manajemen sekolah dari
program desentralisasi dalam bidang pendidikan. Sekolah memiliki kewenangan
dalam pengelolaan dan pengambilan keputusan secara mandiri yang tidak tergantung
kepada birokrasi sentralistik. Kewenangan tersebut sesuai dengan perannya yang
dilandasi oleh Undang-undang No. 22 tahun 1999 untuk mengatur dan menampung
aspirasi kepentingan masyarakat untuk turut serta melakukan kontrol dan pembinaan
terhadap sekolah. Pada hakikatnya upaya tersebut dilakukan untuk meningkatkan
kinerja sekolah dalam pencapaian tujuan-tujuan pendidikan baik tujuan nasional
maupun lokal institusional.
Untuk melihat keberhasilan pencapaian tersebut akan tampak dari beberapa
faktor sebagai indikator kinerja (key result area) yang berhasil dicapai oleh sekolah.
Dengan kata lain, sekolah dituntut untuk mampu secara maksimal melaksanakan
tugas dan fungsinya dalam faktor-faktor tersebut sebagai bukti terselenggaranya
kegiatan pendidikan. Untuk maksud tersebut, fungsi-fungsi yang dapat
didesentralisasi ke sekolah,antara lain adalah :
1. Perencanaan dan evaluasi program sekolah
2. Pengelolaan kurikulum
3. Pengelolaan proses belajar mangajar
4. Pengelolaan ketenagaan
5. Pengelolaan peralatan dan perlengkapan
6. Pengelolaan keuangan
7. Pelayanan siswa
8. Hubungan dengan masyarakat
9. Pengelolaan lingkungan sekolah
Di dalam MBS kepala sekolah harus menggunakan pendekatan kelompok
dalam pengambilan keputusan. Jika ini dilaksanakan, para guru akan merasakan lebih
positif kepada pemimpin sekolah dan mereka terpanggil untuk mencapai tujuan dan
sasaran yang ingin dicapai. Orang tua dan anggota masyarakat akan lebih banyak
mempunyai pendapat terhadap suatu keputusan. Kepala sekolah memperoleh manfaat
dengan menerima masukan dari stakeholders lainya, dengan demikian guru senantiasa
sadar dan perhatian orangtua semakin besar
Menurut suatu penelitian dampak yang utama MBS adalah pentingnya
penekanan peran dari semua bidang stakeholders pendidikan seperti superintendents,
personil kantor dinas atau departemen agama, komite sekolah atau majelis madrasah,
kepala sekolah, orangtua, anggota masyarakat dan siswa. Kalau hari ini kita hanya
madrasah sebenarnya juga tidak terlalu dalam pendidikan adalah seperti yang disebut
di atas.
Hingga saat ini belum ada penelitian yang menemukan signifikansi MBS
dengan prestasi akademis siswa, yang ada adalah bahwa penggunaan alat (peraga)
lebih maksimal, kehadiran meningkat dan permasalahan displin berkurang. Oleh
karena itu banyak orang berpendapat bahwa meningkatkan prestasi sekolah mungkin
suatu harapan yang tak realitis. MBS hanya memperlihatkan perubahan kekuasaan
dalam sebuah sekolah dengan adanya pembagian kekuasaan sehingga tampak adanya
keseimbangan.
Di sekolah-sekolah atau madrasah saat ini sudah di bentuk Komite Sekolah
dan Majelis Madrasah. Hal ini menggambarkan adanya perubahan manajemen seperti
ini. Perubahan manajemen mereka anggap sering hanya menyetem pameran harus
menggantikan ketrampilan baru,sikap,dan perilaku dari temurun dimana mereka
sudah terbiasa bertumbuh dan berkembang. Mengubah peran tidak dating dengan
mudah; namun manajemen sekolah tidak bisa berhasil tanpa perubahan peran itu.
C. Esensi Pemanfaatan Dana Bos
Siapapun pasti pengen jadi BOS, di samping tugasnya terkadang tidak begitu
bejibun dan bisa ngatur-ngatur sesuai mau, gajinya pun lebih banyak ketimbang orang
yang diatur, belum lagi kalau ada dana siluman yang bisa diaman-amankan untuk
keamanan 7 turunan, maka jangan heran kalau semua pada rebutan jadi bos. Tapi
sayangnya, kebanyakan kita adalah orang miskin. Dari ratusan juta warga Indonesia
saat ini, paling banter hanya 10% yang jadi bos. Mulai dari bos kecil, bos menengah
hingga big boss. Dan kepada mereka hidup ditopangkan agar hidup tetap hidup.
Di tengah begitu beratnya beban hidup yang dihimpit ratusan kebutuhan yang
tak semuanya bisa diwujud, maka muncullah sejumlah program dari big boss
(pemerintah yang bertugas memerintah seperti halnya bos) guna membantu
terpenuhinya hajat orang banyak, terutama kaum miskin seperti kita-kita semua.
Mulai dari program subsidi kesehatan, perumahan, hingga pendidikan.
Khusus untuk pendidikan, salah satu program yang diluncurkan adalah dana
BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang merupakan dana kompensasi dinaikkannya
harga bahan bakar minyak (BBM) yang bergulir sejak Maret 2005 lalu. Prinsip dari
dana BOS ini adalah dibebaskannya siswa miskin dari segala pungutan, dan sebagai
subsidi bagi dana pendidikan murid.
Tapi apa yang terjadi, sebagaimana dilansir Dinas Pendidikan di Daerahdaerah saat menyosialisasikan dana BOS ini di koran-koran atau di media, disebutkan
bahwa penggunaan dana BOS ini diutamakan untuk pembiayaan seluruh kegiatan
dalam rangka penerimaan siswa; biaya pendaftaran, penggandaan formulir,
administrasi pendaftaran, dan pendaftaran ulang. Ini baru point pertama dari 13 point
soal penggunaan dana BOS itu.
Kenyataannya, Realitas terkini saat penerimaan siswa baru (PSB) beberapa
waktu lalu, sekolah justru berlomba-lomba melakukan pungutan kepada calon siswa.
Semakin tinggi pungutan, semakin mempertegas sekolah itu bonafid. Karena yang
jadi siswanya adalah orang-orang yang rela dipungut setinggi-tinginya oleh sekolah,
sementara kalau orang miskin terpaksa mundur teratur.
Baru akan bersekolah saja, sudah ada kewajiban untuk membayar uang
pendaftaran, uang seragam, uang bangku, uang pembangunan, uang praktek, uang
komputer dan uang-uang lainnya. Tentu kita bertanya-tanya, dikemanakan dana BOS
yang telah dikucurkan untuk sekolah-sekolah itu. Padahal, uang pendaftaran sudah
ditanggung BOS, Uang pembangunan juga dianggarkan dalam BOS, Apakah tiap
tahun sekolah selalu membangun? Kemudian apa yang dibangun? Paling banter hanya
renovasi kecil-kecilan atau biaya perawatan rutin semacam pengecatan, perbaikan
atap bocor, perbaikan pintu dan jendela, perbaikan mobiler, perbaikan sanitasi
sekolah, dan perawatan fasilitas lainnya yang kesemuanya itu ditanggung BOS. Kalau
pun benar-benar membangun, biasanya sudah ada pula donatur dari pihak alumni dan
hamba Allah yang namanya tak mau disebutkan. Atau kalau pihak sekolah gigih dan
beruntung, masih ada pula dana block grant.
Untuk bukupun ditanggung BOS, tak hanya dari BOS malah adapula buku
gratis yang dianggarkan dalam APBD seperti yang dilakukan Kota Padang. Tapi, kok
masih saja ada guru-guru yang nyuruh beli buku ini-buku itu. Dengan contoh kecil itu
saja, jelas beribu pertanyaan dan dugaan yang bisa dialamatkan atas penggunaan dana
BOS itu. Apakah dana tersebut benar-benar untuk BOS (bantuan operasional sekolah)
atau hanya untuk Si Bos (kepala sekolah dan jajaran-jajarannya yang merasa juga jadi
bos).
Karena penggunaan dana BOS ditentukan oleh kepala sekolah, ada kepala
sekolah yang menggunakannya sebagai setoran bagi kepala dinas pendidikan agar
posisinya sebagai kepala sekolah tak diganggu, lainnya digunakan untuk
pembangunan gedung sekolah, padahal pemerintah daerah dan pusat telah
memberikan anggaran tersendiri, dana ini masih dimintakan pula ke orang tua murid.
D. Transparansi Sekolah Dalam Memanfaatkan Dana BOS
Hal itu dimaksudkan supaya ada mekanisme kontrol yang efektif dalam pemanfatan dana
tersebut. Sedangkan ditingkat yang lebih tinggi akan dilakukan Bawasda (Badan Pengawasan
Daerah), diharapkan dengan adanya bantuan tersebut kegiatan belajar dan mengajar di
masing-masing sekolah akan lebih kondusif untuk mendorong suksesnya pelaksanaan
program wajib belajar 9 tahun.
Namun demikian tentu ada peraturan yang harus diketahui dan dipahami oleh mereka yang
akan mengelola bantuan tersebut, supaya pelaksanaan kegiatan bisa berjalan sesuai dengan
maksud dan tujuannya. Pada prinsipnya, bantuan operasional sekolah harus masuk di dalam
perencanaan dan pengelolaan RAPBS (Rencana Anggaran Biaya Sekolah) bersama dana lain
yang diperoleh pihak Sekolah dan Pemerintah. Terdapat ketentuan-ketentuan yang jelas
tentang pemanfatan dana tersebut, dan terdapat pula petunjuk yang cukup jelas tentang
kegiatan-kegiatan yang tidak didanai oleh program ini. Sebab dana yang dikucurkan melalui
BOS ditunjukan untuk membantu pembiayaan pendidikan bagi siswa yang tidak mampu.
Karena itu besaran biaya operasional Sekolah mengacu kepada kebutuhan biaya pendidikan
per siswa, yang pada pada tahun ini besarannya ditentukan Adapun, dana BOS untuk 2008
ini, senilai total Rp11,2 triliun, meliputi siswa SD, SMP, SMP Terbuka dan juga dana BOS
yang dikucurkan melalui Departemen Agama. Untuk siswa SD besarnya, yakni Rp252
ribu/siswa/tahun, dan untuk siswa SMP dan SMP Terbuka sebesar Rp 352 ribu/siswa/tahun.
Sementara itu dalam petunjuknya yang dikeluarkan dari pusat, bahwa program BOS untuk
membiayai beberapa komponen pembiayaan pendidikan antara lain, untuk uang formulir
pemdaftaran, buku pelajaran pokok dan buku penunjang untuk perpustakaan, biaya
peningkatan mutu guru (MGMP, MKS, pelatihan dll), biaya pemeliharaan, ujian sekolah,
ulangan umum bersama, dan ulangan umum harian, honor guru dan tenaga kependidikan
honorer, dan untuk kegiatan kesiswaaan. Selain itu dalam petujuknya juga disebutkan, bahwa
Sekolah penerima BOS diwajibkan untuk membantu peserta didik kurang mampu yang
mengalami kesulitan transportasi dari dan kesekolah. Sekolah juga dilarang memanupulasi
data dengan tujuan tetap memungut iuran peserta didik, atau untuk memperoleh dana BOS
lebih besar.
FOKUS PERMASALAHAN
b. Apakah dampak yang ditimbulkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kepada sekolah
ANALISIS SWOT
A. Kekuatan (Strenght)
program ini menjadi alternatif bagi pembiayaan pendidikan dan yang terpenting demi
meningkatkan kualitas mutu pendidikan indonesia
Dengan adanya pengurangan subsidi bahan bakar minyak, amanat undang-undang dan
upaya percepatan penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang bermutu,
Pemerintah melanjutkan pemberian Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi SD/MI/SDLB,
SMP/MTs/SMPLB negeri/swasta dan Pesantren Salafiyah serta sekolah keagamaan non islam
setara SD dan SMP yang menyelenggarakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun.
Fungsi komite sekolah sebagai pengontrol (controlling agency) akan mendorong
terciptanya transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan serta keluaran pendidikan di
satuan pendidikan. Karena itu, komite sekolah bukan lagi sebagai stempel (legalisasi) di
tubuh sekolah. Ia memiliki hak penting untuk terlaksananya pendidikan di institusi sekolah
secara bersih dan bebas korupsi
Anggaran pendidikan sebagai konsekuensi dari kebijakan pemerintah untuk
mengalokasikan dana pendidikan sebesra 20 % APBN dan APBD, menjadi tolak ukur untuk
meningkatkan kualitas pendidikan melalui Dana BOS dan BOS Buku
B. Kelemahan (Weakness)
Beberapa hal terutama mengenai penggunaan dana BOS yang tertuang di dalam Juklak
kurang jelas. Hal ini banyak menimbulkan persepsi berbeda dalam menerjemahkannya. Hal
yang menimbulkan perdebatan antara lain penggunaan dana BOS untuk insentif guru,
kelebihan jam mengajar, membeli komputer, biaya pengelolaan sekolah dan rehabilitasi.
Komitmen sebagian pemerintah daerah terhadap pendidikan masih kurang. Hal ini
ditandai dengan berkurangnya dana APBD untuk pendidikan setelah adanya dana BOS.
Sebagian pemda menganggap, dana BOS adalah pengganti dana yang dialokasikan pemda
kepada sekolah. Beberapa pemkab/pemkot dan pemprov terindikasi, menarik dana yang
selama ini diberikan kepada sekolah.
Pada tataran implementasi di lapangan banyak peyelewengan penggunaan dana BOS
sehingga pada proses penggunaanya banyak yang tidak tepat sasaran bahkan merugikan para
peserta didik
Setelah adanya dana BOS, seharusnya pihak sekolah tindak lagi melakukan pengutan pada
siswa/ walimurid dengan alasan apapu, karena semua operasional sekolah dibiayai oleh dana
BOS
Sosialisasi pengelolaan dana BOS sudah disebutkan dalam buku panduan dan petunjuk
dana BOS bahkan sudah dengan gencar dilakukan baik lewat media massa maupun secara
internal. Tetapi masih banyak sekolah yang tidak tahu petunjuk pelaksana pengelolaan dana
BOS.
C. Peluang (Opoportunity)
Perlunya revitalisasi komite sekolah. Komite sekolah memang dapat dioptimalkan sebagai
pengontrol sekolah. Sebab, hakikatnya komite sekolah merupakan organisasi pendamping
untuk mendorong peran serta masyarakat dalam pengembangan pendidikan. Di sinilah
pentingnya memberdayakan peran dan fungsi komite sekolah seperti Keputusan Mendiknas
No 004/U/2002 tanggal 2 April 2002.
Hendaknya pihak sekolah melibatkan orangtua murid dalam penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS), sehingga dalam proses perumusannya orangtua
murid mengetahui secara jelas program-program sekolah beserta pendanaanya.
Perlunya transparansi kepala sekolah dan sekolah dalam pengelolaan danan BOS,
sehinggga tidak ada lahi guru-guru yang tidak tahu tentang penggunaan dana BOS.
Peran aktif dari berbagai pihah semestinya dilakukan. Seperti dari LSM, komite sekolah
paguyuban walimurid yang tergabung dalam tim pengawas kucuran dana BOS di lapangan
dan mengawasinya dengan ketat. Karena tak bisa dipungkiri, pelaksanaannya di lapangan
sangat rentan penyimpangan.
Peluang yang mungkin timbul dalam mendukung terlaksananya Dana BOS sehingga tetap
sasaran yakni adanya dukungan yang tinggi dari para praktisi pendidikan yang secara tidak
langsung seharusnya beruntung dengan adanya kebijakan pemerintah mengenai Dana BOS
dan BOS Buku, kemudian landasan hukum yang kuat mengingat kebiajakan ini dengan jelas
pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti
pendidikan dasar. Konsekuensi dari amanat undang-undang tersebut maka pemerintah wajib
memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar
(SD/MI dan SMP/MTs serta satuan pendidikan yang sederajat).
Dukungan pemerintah melalui kebijakan dengan mengeluarkan TAP MPR yang akan
meningkatkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen
D. Tantangan (Treat)
Tantangan yang membentang luas justru pada level implematasi di sokolah. Sudah tidak
asing lagi bahwa sekolah sebagai pelaksana kebijakan sangat rentan penyimpangan dan
penyelewengan terhadap penggunaan dana bos apalagi adanya peluang di sekolah yang
terbuka lebar.
Sekolah dalam merumuskan RAPBS seyogianya memasukkan Dana BOS ke dalamnya
sebagai sumber pendapatan sekolah disamping pendapatan yang lain. Kemudian sekolah juga
harus transapran dalam pengelolaan dana BOS.
TEMUAN-TEMUAN DI LAPANGAN
Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) setiap tahun terhadap
penggunaan anggaran negara di institusi pemerintahan, termasuk Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas), selalu memperlihatkan rendahnya kemampuan pengelolaan anggaran
dana pendidikan. Karena itu, sering terjadi kebocoran dan inefisiensi tiap kali akan
melangsungkan subsidi sekolah, terlebih terhadap dana proyek bantuan sekolah dari
pemerintah.
Lihat saja kebocoran yang terjadi pada penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS)
2007. Di sana terdapat banyak penyimpangan, mulai penggelembungan jumlah siswa agar
bisa dapat dana BOS yang banyak, belum memiliki izin operasional sudah mendapatkan dana
bantuan, hingga tidak transparannya sekolah mengelola dana BOS. Belum lagi,
penyelewengan dana bantuan berupa block grant maupun specific grant.
Dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi X (pendidikan) DPR dengan Mendiknas, Bambang
Sudibyo, terungkap hasil audit BPKP yang menunjukkan terjadinya penggelembungan
jumlah siswa sekolah di 29 provinsi. Hanya empat provinsi yang tidak ditemukan kasus
tersebut, yakni Lampung, Jambi, Gorontalo, dan Bali. Tetapi, belum tentu empat provinsi itu
tidak menyelewengkan dana bantuan sekolah dalam bentuk lain, seperti dana pengembangan
fisik sekolah, dana pengadaan buku pelajaran.
Selain itu, di antara dana BOS 2007 sebesar Rp 10,314 triliun, sebanyak 71,6 % atau Rp 7,14
triliun tersalurkan dengan baik. Sisanya tidak jelas rimbanya. Ironisnya, hal tersebut
dibiarkan saja oleh Mendiknas. Malah dengan penuh percaya diri dia mengatakan bahwa
secara umum pelaksanaan BOS 2006 berjalan sukses dan tepat sasaran.
Padahal kalau menyaksikan sendiri di lapangan, hingga sekarang masih banyak sekolah yang
belum menerima dana BOS. Karena itu, para pengelola pendidikan harus pontang-panting
mencari utang, bahkan banyak yang harus mengeluarkan kocek sendiri demi berlangsungnya
proses pendidikan sambil menunggu dana BOS turun.
Fenomena itu memperkuat dugaan bahwa birokrasi pendidikan kita kurang transparan, tidak
profesional mengelola anggaran pendidikan. Yang terpenting, ternyata mental korup masih
melekat di mana-mana, tak terkecuali di dunia pendidikan. Di sisi lain, terdapat indikasi
faktual yang semakin menyadarkan kita bahwa pada prinsipnya masalah utama bobroknya
pendidikan nasional bukan hanya terletak pada minimnya anggaran, kualitas SDM yang
lemah, dan kaburnya visi pendidikan nasional. Lebih dari itu, manajemennya juga hancur,
baik yang menyangkut manajemen pengelolaan keuangan maupun manajemen dalam konteks
administrasi kelembagaan. Lalu, apa gunanya dana bantuan sekolah jika kemudian tidak
menjamin meningkatnya kualitas pendidikan kita.
Serba dilematis memang, artinya peningkatan kualitas pendidikan bukan hanya bergantung
pada besarnya dana yang dimiliki Depdiknas, tetapi juga dipengaruhi sektor-sektor lain.
Termasuk, kejujuran para pengelola pendidikan menggunakan dana bantuan sekolah yang
selama ini menjadi program prioritas Mendiknas. Kita paham, adanya dana bantuan sekolah
punya maksud baik, tetapi di sisi lain hal itu justru bisa menjadi bumerang karena akan
memperparah mental korupsi di lingkungan Depdiknas. Lalu, apa antisipasi kita? Diperlukan
standarisasi penyaluran dana bantuan yang tegas dari pemerintah, termasuk menyeleksi
dengan ketat sekolah-sekolah yang berhak mendapatkan dana bantuan, agar tidak jatuh ke
tangan-tangan oknum pengelola pendidikan yang tidak bertanggung jawab. Bahkan, juga
diperlukan aturan yang ketat terhadap para pelaku korupsi dana bantuan pendidikan. Entah
diberhentikan dengan tidak hormat sebagai pejabat atau diturunkan golongan
kepangkatannya.
Tentu saja butuh komitmen bersama untuk melakukan semua itu. Bahkan, hal tersebut
merupakan pilihan yang sulit karena menyangkut kehormatan dan masa depan mereka.
Tetapi, bukankah menjaga sekolah dari para bandit juga merupakan kehormatan yang harus
dibela, apalagi menyangkut masa depan jutaan anak didik.
Penyaluran Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Dinas Pendidikan Provinsi Jawa
Timur (Jatim) diduga menyimpang atau diselewengkan, dugaan kebocoran dana yang
bersumber dari APBN sebesar Rp3,29 triliun dan APBD Provinsi Jatim sebesar Rp458 miliar
ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Menurut hasil audit BPK pada 2007, bentuk
penyimpangan anggaran pendukung program Wajib Belajar 9 Tahun itu terkait penggunaan
atau penyalurannya. Indikasi awal adalah tidak tercapainya standar pelayanan minimal (SPM)
pendidikan serta ketidaktepatan sasaran, jumlah, dan waktu atas pelaksanaan dana program
BOS untuk seluruh wilayah Jatim dalam tahun 2006 dan 2007.
Temuan BPK ini muncul dengan adanya laporan LSM Graji Massal ke Kejaksaan Tinggi
(Kejati) Jatim. Adanya laporan penyimpangan dana BOS Selain terkait penyimpangan
penyaluran, dana BOS diduga disalurkan tidak sesuai perencanaan untuk mencapai tujuan
berupa peningkatan program Wajib Belajar 9 Tahun dana BOS belum diterima tiap sekolah
penerima sesuai jadwal waktu yang telah ditetapkan.
Dari data BPK, penyaluran dana BOS dilakukan melalui kerja sama antara Dinas P dan K
Provinsi Jatim dan PT Bank Jatim untuk periode JuliDesember 2006 dan tahun anggaran
2007. Setelah dilakukan pemeriksaan atas rekening koran satuan kerja (satker) Program
Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM) Dinas Provinsi Jatim
dari PT Bank Jatim ke wilayah kabupaten untuk ditransfer ke rekening-rekening
sekolah,ternyata masih ditemukan pengiriman dana BOS mengendap.
Disisi pihak ada temuan yang mengherankan pada sebuah institusi pendidikan bahwa Dewan
Pendidikan (DP) di salah satu kabupaten yaitu kabupaten Tabanan, membeberkan sejumlah
temuan yang cukup mengejutkan. Dana bantuan operasional sekolah (BOS) sejumlah
Sekolah Dasar (SD) di Tabanan diduga disunat oknum Unit Pelayanan Teknis Daerah
(UPTD) Dinas Pendidikan dan Persip. Berdalih berwenang mengelola dana BOS, pihak
sekolah diminta menyerahkan sebagian dana itu jika tidak ingin guru atau pihak sekolah kena
sanksi institusi.
Temuan Kelompok Kerja (Pokja) Beberapa temuan kasus seperti penyunatan dana BOS
maupun lemahnya pengawasan Dana Alokasi Khusus (DAK) menyatakan dana BOS yang
semestinya dikelola sekolah justru dalam praktiknya UPTD turut melakukan intervensi. Pihak
UPTD meminta sebagian dana BOS diserahkan kepada mereka dengan dalih untuk dana
pengawasan siswa, besaran dana BOS yang disunat sekitar Rp 1.000 per siswa, karena selama
ini dilaporkan tidak ada masalah dengan dana BOS, kasus penyunatan dana BOS di SD
ditemui pada beberapa kecamatan seperti Baturiti, Kediri, dan Pupuan. Dari upaya turun ke
lapangan yang dilakukannya ditemui banyak sekolah yang tidak tahu ketentuan petunjuk
pelaksana pengelolaan dana BOS. Padahal sosialisasinya sudah dengan gencar baik lewat
media massa maupun secara internal. Juga sudah jelas disebutkan dalam buku panduan dan
petunjuk dana BOS. Sehingga, ketika oknum UPTD menyatakan juga berwenang
mengelolanya mereka tidak dapat berbuat banyak kecuali menerima. Ada alasan lain yang
cukup mencengangkan bahwa para guru terpaksa memberikan sebagian dana BOS karena
takut kena sanksi institusi dari UPTD misalnya kena mutasi dan lainnya.
Seharusnya, dana BOS sepenuhnya dalam pengelolaan sekolah. Karenanya, siapapun atau
institusi seperti UPTD tidak diperkenankan turut campur dalam pengelolaan dana BOS
dengan dalih apa pun. Sebab, hal itu merupakan wewenang sekolah serta mekanisme dan
pertanggungjawabannya dilakukan oleh sekolah. Selaku Ketua DP, Dinas Pendidikan
melakukan pengawasan dan pengecekan kembali atas temuannya itu agar tidak terjadi
manipulasi dan penyimpangan. Selain temuan penyunatan dana BOS, juga diungkap tim
monev adanya keluhan dari sekolah-sekolah terkait lambatnya bantuan dana alokasi khusus
(DAK). Hal itu sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan proyek atau kegiatan perbaikan
sarana dan prasarana sekolah. Pasalnya, dana DAK belum cair, sementara perbaikan gedung
sekolah mesti cepat dilaksanakan. Di pihak lain, banyak guru atau kepala sekolah tidak tahumenahu soal bantuan DAK tersebut baik besaran maupun pemanfaatannya. Akibatnya, kepala
sekolah kesulitan memanfaatkan dengan benar di samping juga lemahnya pengawasan
pelaksanaan proyek perbaikan sarana gedung atau mebel. Lemahnya pengawasan membuat
sejumlah dana yang turun menjadi rawan penyimpangan.
D. Temuan BPK Dalam Penggunaan Dana BOS
Hasil temuan menunjukkan bahwa kampanye dana BOS yang begitu gencar di berbagai
media massa, ternyata hanya tebar pesona saja, kasihan murid sekolah kita yang hanya
dibuat terpesona lewat tayangan-tayangan itu.
Beberapa temuan BPKP tentang penyaluran dana BOS bermasalah, adalah, Pertama,
ditemukan sekolah yang belum punya izin operasional, tetapi mendapat dana BOS. Kedua,
terjadi penggelembungan jumlah siswa di 29 provinsi. Lalu, ketiga, penggunaan dana BOS
tidak seperti apa yang disampaikan Mendiknas di depan Komisi X DPR.
Selain itu, ditemukan pula pengunaan dana BOS yang tidak sesuai aturan, seperti dipakai
untuk insentif guru, beli komputer, kepentingan pribadi, dipinjamkan dan karya siswa. Kalau
kayak gini penggunaannya, tidak pas kalau jumlah siswa yang dijadikan patokan menghitung
jatah BOS per sekolah. Perlud ingat, konsep awal guna BOS itu untuk beli alat praktek siswa,
biaya rapat komite sekolah, alat tulis, pembinaan siswa, perbaikan fasilitas.
Depdiknas akan meluncurkan sembilan program utama tahun 2006. Salah satunya adalah
bantuan operasional sekolah (BOS) untuk buku teks pelajaran (BOS Buku), BOS buku
diberikan kepada siswa-siswa SD dan SMP di daerah-daerah terpencil dan tertinggal yang
ada di 9-12 provinsi di Indonesia.
Depdiknas bersama DPR telah sepakat mengalokasikan dana Rp 800 miliar dari APBN untuk
BOS buku tahun 2006. BOS buku teks ini diberikan kepada siswa-siswa SD dan SMP yang
ada di daerah-daerah terpencil dan tertinggal dalam rangka penuntasan wajib belajar
pendidikan dasar (Wajar Dikdas) 9 tahun. Pola penyaluran BOS buku ini sama dengan pola
penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS), yaitu menggunakan pola block grant.
BOS buku, diberikan untuk buku teks pelajaran saja, tidak termasuk buku pengayaan.
Pada prinsipnya pihak sekolah dan komite sekolah silakan memilih buku teks pelajaran yang
akan digunakan di sekolah. Buku teks pelajaran yang dipilih adalah buku yang sudah
ditetapkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Besar kecilnya dana BOS Buku
ditentukan oleh jumlah siswa dari sekolah yang bersangkutan. Setiap siswa mendapatkan
BOS Buku sebesar Rp20.000,00 per buku.
Indikasi Penyimpangan
Namun, alokasi penggunaan BOS Buku tersebut dinilai sangat rentan terhadap praktik
penyimpangan. Berdasarkan laporan dari berbagai media, aroma tidak sedap mulai terendus
di balik transaksi pengadaan buku teks. Hasil riset Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun
2006 mengenai BOS buku di Jakarta, Garut, Semarang, dan Kupang, menunjukkan adanya
kesalahan dalam proses pengadaan buku setelah muncul Peraturan Mendiknas Nomor
11/2005 tentang Buku Teks Pelajaran. Dalam peraturan itu, sekolah tidak diperkenankan
memaksa atau menjual buku kepada siswa. Namun, aturan itu disiasati sekolah. Caranya,
dengan mengarahkan sekolah atau siswa membeli buku dari penerbit tertentu.
Jika dana berasal dari masyarakat, sekolah (kepala sekolah) yang menjadi aktor, siswa
diharuskan membeli buku dari penerbit yang sudah memiliki perjanjian kerja sama dengan
sekolah. Bila yang digunakan uang negara, biasanya pejabat dinas yang menjadi pelaku,
sekolah diarahkan membeli buku-buku dari rekanan mereka.
Hal senada juga dilaporkan oleh harian Kompas (25/11/2006). Menurut media nasional
tersebut, indikasi penyimpangan penggunaan dana BOS Buku berupa pembelian buku yang
merupakan hasil rekomendasi dinas. Ini berarti, sangat dimungkinkan buku ajar yang
digunakan di tiap-tiap daerah akan seragam. Selain itu, juga dipastikan munculnya persaingan
tidak sehat antar penerbit untuk memperebutkan rekomendasi dari dinas atau sekolah.
Sementara itu, harian Pontianak Post (06/01/2007) melaporkan, banyak guru di Pontianak
yang belum mengetahui cairnya dana BOS Buku akibat tidak transparannya kepala sekolah
dalam pengelolaan BOS buku. Dari beberapa sekolah, ada guru-guru mengaku kecewa sebab
kepala sekolah tak memberi tahu kalau BOS buku sudah cair, dan sudah seharusnya kepala
sekolah memberitahukan guru tentang BOS buku. Sebab, selama ini sosialisasi BOS sangat
gencar dilakukan oleh dinas pendidikan dan departemen agama di seluruh Indonesia.
Peran aktif juga semestinya dilakukan berbagai pihak. Seperti dari LSM yang tergabung
dalam tim pengawas kucuran dana BOS buku di lapangan. Dewan akan mengawasi BOS
buku dengan ketat. Tak bisa dipungkiri, pelaksanaannya di lapangan sangat rentan
penyimpangan. Misalnya saat sekolah menggelar kegiatan, banyak penerbit buku yang
bersedia menawarkan diri sebagai sponsor. Kalau tak ada kepentingan, tak mungkin penerbit
mau membantu tanpa adanya kompensasi tertentu. Mengenai pemberian diskon adalah
kebijakan internal tiap sekolah, tidak perlu dipermasalahkan jika diberikan secara profesional.
Artinya, potongan harga tersebut bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh guru, bukannya
hanya kepala sekolah ataupun dialihkan untuk pembelian berbagai perlengkapan sekolah, di
luar BOS.
BOS buku adalah bantuan dana yang digulirkan kepada sekolah untuk pembelian buku
pelajaran. Program ini mulai digulirkan ke semua propinsi di seluruh Indonesia pada tahun
2006. Tujuannya untuk membantu masyarakat meringankan beban biaya pendidikan dan
meningkatkan mutu pendidikan. Disadari bahwa komponen buku pelajaran merupakan salah
satu beban yang memberatkan masyarakat.
Siswa diberikan pinjaman secara cuma-cuma oleh sekolah untuk digunakan dalam belajar
baik di rumah maupun di sekolah dan dikembalikan lagi pada akhir semester atau akhir tahun
pelajaran sehingga bisa dipakai kembali oleh adik kelasnya. Sayangnya, seiring dengan
bergulirnya BOS buku, pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional pada awal tahun
pelajaran 2006/2007 mengeluarkan Peraturan Mendiknas No. 22, 23, dan 24. Ketiga
peraturan ini mendasari berlakunya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kondisi
daerah dan sekolah yang beragam dan keluwesan penerapan KTSP berdampak pada
pelaksanaan kurikulum pun menjadi beragam. Ada sekolah yang pada tahun pelajaran
2006/2007 ini telah melaksanakan KTSP, ada pula yang belum. Jadi, praktis pada tahun
2006/2007 ini secara nasional berlaku tiga macam kurikulum, yaitu Kurikulum 1994,
Kurikulum 2004, dan kurikulum berdasarkan standar isi (KTSP).
Dengan berlakunya tiga macam kurikulum, panduan BOS buku yang harus dijadikan acuan
para pengelola BOS Buku menjadi kurang sesuai untuk sekolah yang telah menerapkan
KTSP. Dalam panduan itu tercantum pembatasan judul buku yang dibeli dipilih dari daftar
yang tertera dalam lampiran Peraturan Mendiknas No. 26 tahun 2005, hal ini sebenarnya
hanya cocok untuk sekolah yang masih menggunakan kurikulum 1994 dan 2004. Apabila
konsisten dengan isi Permendiknas tentang Buku Pelajaran, sebenarnya buku-buku tersebut
tidak dapat digunakan minimal 5 tahun karena paling lambat tiga tahun yang akan datang
semua sekolah sudah harus melaksanakan kurikulum sesuai standar isi atau KTSP.
Bagi sekolah-sekolah atau dinas pendidikan dikota atau setiap kabupaten yang responsif
menanggapi perubahan kurikulum, pada tahun pelajaran 2006/2007 sekolah-sekolah mulai
SD, SMP, SMA dan SMK telah melaksanakan KTSP. Dengan kondisi yang demikian,
mestinya panduan BOS buku tersebut tidak dapat diberlakukan sama dengan daerah/sekolah
yang masih menerapkan kurikulum 2004 atau kurikulum 1994. Hal inilah yang menimbulkan
kebingungan bagi sebagian pengelola BOS buku dan guru di sekolah. Di satu sisi harus
mempertanggungjawabkan sesuai aturan tetapi disisi lain jika aturan itu diterapkan akan tidak
sesuai dengan kebutuhan lapangan, meskipun sebenarnya dalam KTSP tidak ada pembatasan
buku.
Kondisi yang demikian ini ternyata juga harus disadari oleh Manajer PKPS-BBM setiap kota
atau kabupaten. Namun agar sekolah tetap mematuhi rambu-rambu yang tercantum dalam
buku Panduan. Logikanya, sesuai tujuan pemberian BOS buku itu untuk meringankan
masyarakat. Apabila ketiga buku itu telah dipenuhi oleh Pemda, kemudian dana itu digunakan
untuk mencukupi kebutuhan buku yang lain akan dapat mempercepat pemenuhan buku
sehingga program pemerintah mewujudkan pemenuhan buku bagi siswa akan cepat tercapai.
Setiap siswa satu buku untuk semua mata pelajaran. Jika BOS buku masih digunakan lagi
untuk membeli buku yang sudah ada di sekolah maka target pemenuhan buku justru akan
terhambat. Di satu sisi ada buku tertentu yang berlebih dan di sisi lain masih ada yang belum
ada sama sekali.
Atas dasar pertimbangan itu dan hasil konsultasi dengan Tim Pusat, maka dibuatlah edaran ke
sekolah agar dana Bos Buku diusahakan untuk memenuhi buku yang belum dipenuhi oleh
Pemda. Sekolah bebas memilih buku sesuai kebutuhannya sendiri. Tetapi, ternyata beberapa
saat kemudian oleh oknum yang merasa dirugikan dengan kebijakan itu, surat edaran itu
dianggap menyalahi panduan BOS buku. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan dan agar
tidak merepotkan, akhirnya surat itu diralat kembali untuk tetap sesuai panduan yang ada saja
meskipun akhirnya ada yang dirasakan kurang tepat.
KESIMPULAN
Sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM, dalam bidang pendidikan pemerintah telah
mengeluarkan satu paket kebijakan baru yang disebut biaya operasional sekolah (BOS) dan
Dana BOS Buku. Dana tersebut sepenuhnya diberikan kepada siswa-siswi MI/SD serta
MTs/SMP di seluruh Indonesia. Rinciannya, setiap siswa MI/SD akan mendapatkan
sumbangan 235 ribu per tahun. Sementara itu, setiap siswa MTs/ SMP akan mendapatkan
bantuan sebesar Rp. 324.500 per tahun.
Kemudian utnuk BOS Buku, Buku teks pelajaran yang dipilih adalah buku yang sudah
ditetapkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Besar kecilnya dana BOS Buku
ditentukan oleh jumlah siswa dari sekolah yang bersangkutan. Setiap siswa mendapatkan
BOS Buku sebesar Rp20.000,00 per buku.
Langkah yang dilakukan pemerintah itu perlu diapresiasi agar diawasi pelaksanaannya.
Sebab, di tengah situasi ekonomi yang serbasulit ini, bila tak dikorupsi, dana tersebut
merupakan berkah bagi mereka yang betul-betul membutuhkan, meringankan biaya
pendidikan untuk rakyat merupakan kewajiban negara.
Sasaran dan tujuan BOS itu amat mulia. Pemerintah paling kurang, sudah memiliki setengah
tekad dan kemauan untuk meringankan biaya pendidikan masyarakat miskin. Tanpa uluran
tangan pemerintah, dipastikan akan semakin banyak generasi muda negeri ini yang tak
berkesempatan mengenyam pendidikan. Alih-alih harus memikirkan soal pendidikan, biaya
untuk kebutuhan sehari-hari pun tak ada.
Sayangnya, kalkulasi dan mekanisme distribusi dana BOS yang diimpikan rakyat itu kurang
dipikirkan secara matang. Mengapa? Sebab, meski di atas kertas jumlah dana BOS tersebut
sangat besar dibandingkan dengan anggaran-anggaran sebelumnya, toh nyatanya amat tidak
realistis.
Pada April-Mei 2007, sekolah di jenjang pendidikan dasar negeri dan swasta di seluruh
Indonesia, kembali mendapat kucuran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk
periode Januari-Juni 2007. Sejak digulirkan pada Juli 2005, Program Kompensasi
Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) bidang pendidikan dalam bentuk
BOS ini dirasakan banyak memberikan manfaat bagi peningkatan pelayanan dan mutu
pendidikan. Beban biaya pendidikan yang ditanggung orangtua murid menjadi berkurang. Di
samping itu, sekolah menjadi lebih leluasa mengembangkan program peningkatan mutu
pendidikannya.
Pengalaman pertama pelaksanaan program BOS 2005, meninggalkan catatan tentang
keberhasilan, masalah dan hambatannya. Laporan Depdiknas dalam Buletin Pelangi
Pendidikan edisi Desember 2005 menyebutkan, program BOS telah berjalan dengan lancar.
Hal ini dibuktikan, pada pertengahan November 2005 seluruh dana BOS telah disalurkan ke
rekening sekolah. Total dana secara nasional yang disalurkan sekitar Rp.5 triliun. Selain itu,
berdasarkan hasil monitoring secara sampling, Depdiknas memprediksi lebih 85 persen
SD/MI dapat menggratiskan iuran siswa. SMP/MTs di perdesaan juga banyak yang
membebaskan iuran siswa, namun SMP/MTs di perkotaan masih banyak yang belum
melakukannya.
Sedangkan masalah dan hambatan yang dihadapi program BOS pada periode Juli Desember
2005 antara lain:
1. Karena program BOS relatif baru. Banyak sekolah khususnya tingkat SD/MI yang masih
belum tahu cara menyusun RAPBS dan tatacara pertanggungjawaban keuangan BOS. Selain
itu, umumnya hambatan di tingkat SD/MI tidak memiliki pegawai administrasi/tata usaha.
2. Komitmen sebagian pemerintah daerah terhadap pendidikan masih kurang. Hal ini ditandai
dengan berkurangnya dana APBD untuk pendidikan setelah adanya dana BOS. Sebagian
pemda menganggap, dana BOS adalah pengganti dana yang dialokasikan pemda kepada
sekolah. Beberapa pemkab/pemkot dan pemprov terindikasi, menarik dana yang selama ini
diberikan kepada sekolah.
3. Beberapa hal terutama mengenai penggunaan dana BOS yang tertuang di dalam Juklak
kurang jelas. Hal ini banyak menimbulkan persepsi berbeda dalam menerjemahkannya. Hal
yang menimbulkan perdebatan antara lain penggunaan dana BOS untuk insentif guru,
kelebihan jam mengajar, membeli komputer, biaya pengelolaan sekolah dan rehabilitasi.
Pendidikan adalah amanat Tuhan dan kemanusiaan. Maka, melaksanakan segala sesuatu yang
positif dan berkaitan dengan pendidikan sama dengan menjalankan amanat, yang tentu saja
bernilai ibadah. Termasuk dalam hal melaksanakan program BOS. Oleh karena itu, marilah
kita jaga amanah itu dengan melaksanakan program BOS secara baik dan benar sesuai
ketentuan yang berlaku.
SARAN
Sekolah harus dikelola secara transparan dan akuntabel. Bagaimana semua program sekolah
dan pendanaan (sumber, distribusi, dan pertanggungjawaban) dilakukan secara terbuka.
Dalam hal itu, program-program di sekolah diawali dengan analisis kebutuhan masyarakat,
dirancang menjadi program, diajukan ke komite sekolah, baru diputuskan menjadi program
sekolah. Salah satu kelemahan yang terjadi selama ini adalah kecenderungan kepala sekolah
yang masih berpola kekuasaan, bukan play maker yang demokratis. Maka, tidak jarang dia
dilingkari orang-orang yang ABS (asal bapak senang), brutus, dan ingin memanfaatkan demi
kepentingannya.
Dalam konteks itu, sebaiknya sekolah memiliki sistem komunikasi dengan orang tua,
masyarakat, dan komite sekolah dalam hal program dan pertanggungjawaban keuangan. Jika
mungkin, sekolah dapat membuka website khusus untuk komunikasi dengan stakeholder-nya.
Perlu ada pertanggungjawaban baik sekolah kepada masyarakat (akuntabilitas). Jika itu
dilakukan, kemungkinan korupsi di sekolah (khususnya dana bantuan sekolah) dapat ditekan.
Minimal, mereka berhitung atas apa yang dilakukan dalam keuangan sekolah. Akuntabilitas
sebagai poin pertama harus difasilitasi sistem komunikasi dan keran keterbukaan yang baik.
Masyarakat dapat mempertanyakan bagaimana uang yang disumbangkan kepada sekolah,
dipergunakan untuk apa, dengan cara-cara bagaimana, dan hasil atas finansial yang telah
dikeluarkan.
Perlunya revitalisasi komite sekolah. Komite sekolah memang dapat dioptimalkan sebagai
pengontrol sekolah. Sebab, hakikatnya komite sekolah merupakan organisasi pendamping
untuk mendorong peran serta masyarakat dalam pengembangan pendidikan. Di sinilah
pentingnya memberdayakan peran dan fungsi komite sekolah seperti Keputusan Mendiknas
No 004/U/2002 tanggal 2 April 2002.
Fungsi komite sekolah sebagai pengontrol (controlling agency) akan mendorong terciptanya
transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan serta keluaran pendidikan di satuan
pendidikan. Karena itu, komite sekolah bukan lagi sebagai stempel (legalisasi) di tubuh
sekolah. Ia memiliki hak penting untuk terlaksananya pendidikan di institusi sekolah secara
bersih dan bebas korupsi
Perlunya semacam lembaga independen semacam education watch di daerah, yang secara
khusus akan melakukan kontrol mandiri terhadap lembaga sekolah dan melakukan advokasi
kepada masyarakat yang membutuhkan. Lembaga itu akan menjadi lembaga independen,
yang terlepas dari berbagai kepentingan pihak-pihak tertentu
Fokus utamanya tentu advokasi kepada masyarakat, baik masyarakat sekolah maupun
masyarakat yang secara finansial terkait langsung dengan sekolah. Kita berharap, ada
kesadaran dari berbagai pihak untuk ikut mengawal terbebasnya institusi luhur pembangunan
moral itu agar bersih dari korupsi. Di sinilah dibutuhkan masyarakat yang kuat, cerdas, dan
berani menuntut hak-haknya atas lembaga pendidikan yang tidak memberikan layanan
selayaknya. Apalagi, mengindikasikan tanda-tanda koruptif.
REKOMENDASI
5. Perlu memonitoring proses penyaluran BOS. Sebab, selama ini, dana-dana yang
dikucurkan pemerintah sering kali bocor. Jangan sampai dana yang diambilkan dari
penderitaan rakyat (sebagai ekses kenaikan BBM) tersebut berhenti pada perut buncit pejabat
korup.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas dan Depag. 2006. Buku pedoman Pelaksanaan Bantuan Orpasional Sekolah
http://www.menkokesra.go.id/content/blogsection/1/39/
http://www.dikdasmen.org/?hal=112
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/112006/18/07-pendidikan.htm
http://teknisi.jardiknas.org/forum/
http://pelangi.ditplp.go.id//index.php?option=com_content&task=view&id=30&Itemid=38
http://mediainfokota.jogja.go.id/index.php
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/nusantara/dana-bos-diduga-bocor-3.html
Keppres No. 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Pasal 12 ayat (2) menyatakan belanja atas beban anggaran negara dilakukan
berdasarkan atas hak dan bukti-bukti yang sah untuk memperolehpembayaran.
Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Dana BOS Tahun 2006, tentang tugas dan tanggungj awab
Tim PKPS-BBM Kabupaten/Kota, menyatakan bahwa Tim PKPSBBM berkewajiban untuk
melaporkan setiap kegiatan yang dilakukan kepada Tim PKPS-BBM Provinsi dan instansi
terkait.
Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Dana BOS Tahun 2007, tentang Tim Manajemen BOS
BBM Kabupaten/Kota, menyatakan bahwa laporan monitoring rutin dikirimkan ke Tim
Manajemen BOS Provinsi paling lambat 10 hari setelah pelaksanaan monitoring. Selain itu
dalam tata tertib pengelolaan dana oleh Tim Manajemen BOS Kabupaten/Kota menyatakan
bahwa Tim Manajemen BOS Kabupaten/Kota mengelola dana operasional kabupaten/kota
secara transparan dan bertanggungjawab.