NPM 1106035650
MPKP Angkatan XXV Sore B
I. LATAR BELAKANG
Perkara korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan
Agung mencapai 1.600 hingga 1.700 perkara per tahun atau menduduki peringkat kedua dunia
sebagaimana yang diungkapkan oleh Kepala Biro Perencanaan Kejaksaan Agung Feri Wibisono. 3
Kenyataan tersebut belum termasuk fakta bahwa pegawai negeri sipil (PNS) adalah profesi
teratas sebagai tersangka korupsi selama tahun 2011.
Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir hasil survei mengenai tren penegakkan hukum
kasus korupsi, dimana jumlah PNS yang menjadi tersangka korupsi mencapai 239 orang, diikuti
oleh direktur atau pimpinan perusahaan swasta dan anggota DPR/DPRD sebanyak 99 tersangka.
Data tersebut menunjukkan perubahan ketimbang tahun 2010 pada semester pertama tersangka
korupsi didominasi pihak swasta dengan 61 kasus. Pada sementer kedua, pegawai atau staf
pemerintah daerah pada posisi teratas dengan 86 tersangka.4
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia
Tahun 1997-2012
Tahun
IPK
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2.72
2.00
1.70
1.70
1.90
1.90
1.90
2.00
2.20
2.40
2.30
2.60
2.80
2.80
3.00
Peringkat
46 dari 52 negara
80 dari 85 negara
96 dari 95 negara
85 dari 90 negara
88 dari 91 negara
96 dari 122 negara
122 dari 133 negara
134 dari 146 negara
140 dari 159 negara
130 dari 163 negara
145 dari 180 negara
126 dari 180 negara
111 dari 180 negara
110 dari 178 negara
100 dari 182 negara
3 Dewi, Siti Nuraisyah. Korupsi di Indonesia Tertinggi Kedua di Dunia (11 Mei 2013).
http://bisnis.com/korupsi-di-indonesia-tertinggi-kedua-di-dunia (Diakses Pada 30 Mei
2013 19:04)
4 Andreas, Mirza. Tahun 2011: PNS Dominasi Tersangka Korupsi, Bidang Pendidikan
Tertinggi (6 Februari 2012). http://www.srie.org/2012/02/tahun-2011-pns-dominasitersangka.html (Diakses Pada 30 Mei 2013 19:24)
2
2012
32*
Tabel diatas menggambarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dari tahun 1997
sampai dengan 2012. IPK merupakan indeks agregat yang dihasilkan dari penggabungan
beberapa indeks yang dihasilkan berbagai lembaga. Indeks ini mengukur tingkat persepsi korupsi
sektor publik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan politisi.5
Semenjak tahun 1995, dimana Transparansi Internasional mulai menerbitkan Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) guna mengurutkan negara-negara di dunia berdasarkan persepsi publik
terhadap korupsi, Indonesia selalu termasuk kedalam jajaran negara dengan tingkat korupsi
tinggi. Di tingkat regional Asia dan Asia Pasifik, Indonesia selalu menduduki peringkat teratas
sebagai negara paling korup. Political and Economy Risk Consultancy (PERC), sebuah lembaga
konsultan independen yang berbasis di Hongkong, menempatkan Indonesia pada posisi sebagai
negara juara korupsi di Asia selama sepuluh tahun lebih secara berturut-turut.6
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tindak pidana korupsi
digolongkan sebagai kejahatan khusus (extra ordinary crime) yang pemberantasannya harus
dilakukan secara luar biasa. Bahkan pemerintah telah menyusun Peraturan Presiden RI Nomor
55 Tahun 2012 Tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka
Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 sebagai langkah nyata dalam
memerangi korupsi.
Namun, sampai dengan saat ini, hukum di Indonesia belum memberikan efek jera bagi
koruptor. Hukum penjara yang ringan, bahkan jauh dibawah tuntutan jaksa membuat hukum
korupsi di Indonesia termasuk yang paling ringan dibandingkan dengan negara lain. Pasalnya,
masa tahanan koruptor sudah dihitung semenjak menjadi tahanan di dalam penjara. Dan bila ada
peringatan hari raya besar, tahanan mendapat remisi yang bisa membuat para koruptor cepat atau
lambat akan menghirup udara bebas.7
Ditinjau dari lama hukuman penjara, rata-rata lama penjara yang dijatuhkan Mahkamah
Agung kepada koruptor adalah 58,8% dari lama penjara yang dituntut. Koruptor gurem
(merugikan negara kurang dari Rp.10 juta), kecil (antara Rp.10 juta dan Rp.100 juta), sedang
(antara Rp.100 juta sampai kurang dari Rp. 1 miliar) rata-rata dituntut penjara berturut-turut 1
tahun 10 bulan, 1 tahun 9 bulan, dan 4 tahun 5 bulan. Ketika kasus mencapai Mahkamah Agung,
hukuman penjara yang dijatuhkan kepada koruptor adalah 1 tahun 2 bulan untuk koruptor gurem,
1 tahun 3 bulan untuk koruptor kecil dan 2 tahun 9 bulan untuk koruptor sedang.
Selanjutnya untuk koruptor besar (merugikan negara antara Rp. 1 miliar sampai kurang
dari Rp.25 miliar) dan kakap (nilai diatas Rp. 25 miliar) rata-rata dituntut penjara masing-masing
6 tahun 7 bulan dan 9 tahun 8 bulan. Meski demikian, rata-rata lama penjara yang dijatuhkan
Mahkamah Agung adalah 3 tahun 8 bulan untuk koruptor besar dan 4 tahun 10 bulan untuk
koruptor kakap. Dengan keringanan hukuman yang diberikan pemerintah setiap tahun, biasanya
hukuman penjara yang dijalani koruptor 50-65 % dari lama penjara yang dijatuhkan Mahkamah
Agung.
Sebagai pelaku kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), terpidana korupsi justru
mendapat hukuman yang ekstra berat. Tidak hanya lamanya masa hukuman, tetapi juga dalam
bentuk hukuman sosial dan ekonomi yang sangat keras. Hal ini guna menimbulkan efek jera baik
bagi sang pelaku maupun calon-calon pelaku tindak pidana korupsi.
Wacana waris pidana hadir sebagai terobosan dalam upaya penanggulangan serta
pencegahan tindak pidana korupsi dimana pidana diwariskan kepada ahli waris narapidana
korupsi untuk membayar uang pengganti ketika narapidana tersebut meninggal dunia.
Diharapkan dengan adanya waris pidana, keluarga dari calon pelaku koruptor dapat diingatkan
secara dini konsekuensi bilamana keluarganya ada yang melakukan korupsi.
Pendapat lain dikemukakan oleh Gurbenur Lemhanas, Prof. Muladi, bahwa pada prinsipnya
suatu pidana tidak dapat diwariskan. Namun, waris pidana dapat saja diterapkan apabila memang
ada dugaan keras dan kemudian dapat dibuktikan ada anggota keluarga yang turut menikmati
hasil korupsi. Mengingat aturan mengenai waris pada dasarnya menjadi domain hukum perdata,
maka dalam penerapan waris pidana berlaku asas-asas hukum perdata, salah satunya si ahli waris
dapat menolah apa yang diwariskan kepadanya.
Menanggapi hal tersebut, Achyar Salmi berpendapat mengingat tindak pidana korupsi
adalah tindak pidana khusus, maka dapat dikatakan wajar apabila penerapan undang-undang
korupsi menyimpang dari asas yang berlaku umum.
III.KAJIAN EKONOMI
Penelitian terkait dampak korupsi terhadap perekonomian sudah banyak dilakukan.
Tindak pidana korupsi dapat dipastikan memperbesar angka kemiskinan, mengurangi nilai
investasi, mengurangi pengeluaran di bidang pendidikan, kesehatan maupun pembangunan
infrastruktur. Hukuman finansial yang diberikan pada koruptor dirasa belum cukup setimpal
dengan dampak yang diakibatkan perilaku korupsi.
Sampai dengan tahun 2009, tercatat 122 koruptor besar dan 30 koruptor kakap yang
dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung. Total kerugian negara/perekonomian negara yang
diakibatkan koruptor besar dan kakap berturut-turut adalah Rp 735,5 miliar dan Rp 72,2 triliun
(harga konstan tahun 2009). Dari nilai kerugian tersebut, kedua kelompok hanya dituntut
membayar hukuman finansial sebesar 65,6 persen untuk koruptor besar dan 44 persen untuk
koruptor kakap. Putusan Mahkamah Agung mengganjar mereka dengan hukuman finansial
12http://books.google.co.id/books?
id=_7aDeFss5wAC&pg=PA133&lpg=PA133&dq=Konsep+waris+pidana+diperkuat+
salah+satu+fatwa+Mahkamah+Agung&source= (Diakses Pada 30 Mei 2013 10:55)
7
masing-masing 49,4 persen (koruptor besar) dan 6,7 persen (koruptor kakap) dari kerugian
negara yang mereka akibatkan.
Biaya eksplisit korupsi dari tahun 2001 hingga 2009 senilai Rp 73,01 triliun. Namun,
total nilai hukuman finansial yang dijatuhkan hanya Rp 5,32 triliun (harga konstan 2009). Selisih
nilai keduanya adalah Rp 67,75 triliun, dan celakanya bukan dibayar oleh koruptor, melainkan
menjadi beban bagi rakyat.
Oleh karena itu, wacana waris pidana hadir sebagai terobosan dalam memberikan efek
jera bagi koruptor dan calon koruptor. Sistem hukuman finansial bagi koruptor seperti waris
pidana menjamin uang negara yang telah dikorupsi dan dinikmati kembali kepada negara,
mengingat jika pelaku korupsi meninggal dunia, pembayaran yang pengganti diteruskan pada
ahli waris.
Selama 2004-2011, sebanyak 1.408 kasus korupsi yang ditangani aparat hukum dengan
nilai kerugian negara mencapai Rp 39,3 triliun. Jika waris pidana bisa diterapkan, anggaran
sebesar itu bisa digunakan untuk membangun 393.000 rumah sederhana, beasiswa kepada
68.000.000 siswa sekolah dasar selama setahun atau memberikan bantuan modal usaha untuk
3.900.000 sarjana baru.
Salah satu kasus korupsi kelas kakap yang sampai dengan saat ini belum tuntas, tindak
pidana korupsi Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI), nilai kerugian negara mencapai
Rp.600 triliun setara dengan tiga kali lipat jumlah subsidi bahan bakar minyak tahun 2012.
Kasus korupsi PT. Aneka Tambang dalam penyerobotan lahan oleh Harita Group yang
merugikan negara sebesar Rp.19 triliun, lebih dari cukup untuk membiayai tiga proyek monorail
Bekasi-Cawang-Kubingan, Bandara Soekarno-Hatta dan Pelabuhan Tanjung Perak senilai
Rp.12,5 triliun. Atau Kasus korupsi dana Corporate Social Responsibilities (CSR) Pertamina
sebesar Rp.600 miliar yang diduga mengalir ke Partai Demokrat (2008-2009), senilai dengan
program Kartu Jakarta Pintar bagi masyarakat Jakarta.
Berdasarkan hal tersebut diatas, memberikan gambaran besarnya kerugian negara yang
semestinya dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat banyak. Penerapan waris pidana bagi
koruptor dapat memberikan angin segar akan kembalinya uang negara yang sebelumnya
disalahgunakan.
Korupsi Yang Meninggal Dunia, menemukan bahwa adanya gugatan kepada ahli waris pelaku
korupsi yang meninggal dunia diperbolehkan dalam hukum Islam karena hal tersebut
dianalogikan dengan hutang yang harus dibayar. Karena pada prinsipnya setiap pelaku tindak
kejahatan tidak hanya diterapkan tanggung jawab pemindanaan tetapi juga tanggung jawab
perdata (masuliyyah madaniyyah) dan bila tanggung jawab perdata belum dipenuhi tetapi
pelaku meninggal dunia hal tersebut akan menjadi hutang dan kewajiban hutang dalam hukum
Islam setelah pelaku meninggal dunia dibebankan pada ahliwarisnya.
V. KAJIAN PSIKOLOGI
Sebagaimana halnya konsep pada hukum waris, dimana ahli waris berhak atas harta
peninggalan, dalam konsep waris pidana ahli waris berkewajiban menanggung pidana pewaris
yang melakukan tindak korupsi jika yang bersangkutan meninggal. Meskipun waris pidana
dalam konteks ini bukan mewariskan hukuman badan kepada keluarga koruptor melainkan
hanya mewariskan uang pengganti kerugian negara, tentunya berdampak pada psikologis
keluarga.
Penelitian mengenai dampak perilaku korupsi ditinjau dari psikologis pada keluarga
dilakukan oleh Bagus Aditya Graydison dan Meita Santi Budiana, merupakan akademisi
Universitas Negeri Surabaya. Penelitian dimaksud menggunakan pendekatan penelitian kualitatif
dengan tipe penelitian studi kasus pada keluarga koruptor yang berada di Kabupaten Lombok
Timur Selong Nusa Tenggara Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek memiliki
dampak psikologis berupa stres akibat perilaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
anggota keluarga subjek yang dapat dilihat dari respon fisiologis, respon tingkah laku, respon
emosi dan respon kognitif. Hal ini ditandai dengan kelelahan fisik, lemas, gemetar, pusing,
10
kesulitan tidur, menarik diri dari lingkungan, sedih, gelisah, mudah menangis, kebingungan dan
selalu berfikir negatif.
Meskipun penelitian tersebut tidak menjadikan ahli waris pidana sebagai subjek
penelitian, namun dapat diperoleh gambaran mengenai dampak psikologis ahli waris pidana
terhadap waris pidana yang ditanggungnya. Waris pidana sebagai peristiwa negatif kemungkinan
dimaknai sebagai bahaya, ancaman atau tantangan bagi ahli waris pidana.
Ketika ahli waris pidana tersebut menghadapi masalah dengan kacamata negatif, maka
itu merupakan stressor (faktor yang dapat menimbulkan stres) bagi ahli waris. Jika hal itu
dibiarkan terus-menerus, maka akan dapat menimbulkan stres pada ahli waris dimaksud.15
15 Graydison, Bagus Aditya dan Meita Santi Budiani. Dampak Perilaku Korupsi
Ditinjau Dari Stres Pada Keluarga di Kabupaten Lombok Timur Selong-Nusa
Tenggara Barat. Character Volume 01 Nomor 02 Tahun 2013.
11
VI. REFERENSI
Andreas, Mirza. Tahun 2011: PNS Dominasi Tersangka Korupsi, Bidang Pendidikan Tertinggi (6
Februari 2012). http://www.srie.org/2012/02/tahun-2011-pns-dominasi-tersangka.html (Diakses
Pada 27 Mei 2013 19:24)
Dampak Koruptor Lebih Dahsyat dari Teroris. http://fakta12.com/?p=1261 (Diakses Pada 27 Mei
2013 17:39)
Dampak Dari Buka Rekening a/n Keluarga Untuk Menampung Hasil Korupsi.
http://www.kopertis12.or.id/2013/02/03/dampak-dari-buka-rekening-an-keluarga-untukmenampung-hasil-korupsi.html (Diakses Pada 30 Mei 2013 09:18)
Daniel, Ridhoi. Hukum Korupsi Dunia. http://donzdays.blogspot.com/2013/02/hukum-korupsidunia.html (Diakses Pada 30 Mei 2013 21:51)
Dewi, Siti Nurfitriah Farah. Analisis Pengaruh Korupsi Terhadap Pertumbuhan, Investasi
Domestik dan Foreign Direct Investment. Program Pasca Sarjana Studi Ilmu Ekonomi
Universitas Indonesia. 2002.
Dewi, Siti Nuraisyah. Korupsi di Indonesia Tertinggi Kedua di Dunia (11 Mei 2013).
http://bisnis.com/korupsi-di-indonesia-tertinggi-kedua-di-dunia (Diakses Pada 27 Mei 2013
19:04)
Graydison, Bagus Aditya dan Meita Santi Budiani. Dampak Perilaku Korupsi Ditinjau Dari Stres
Pada Keluarga di Kabupaten Lombok Timur Selong-Nusa Tenggara Barat. Character Volume 01
Nomor 02 Tahun 2013.
http://books.google.co.id/books?
id=_7aDeFss5wAC&pg=PA133&lpg=PA133&dq=Konsep+waris+pidana+diperkuat+salah+satu
+fatwa+Mahkamah+Agung&source= (Diakses Pada 30 Mei 2013 10:55)
Naim, Muhammad Masyuri. Korupsi Dalam Perspektif Islam, Sebuah Upaya Mencari Solusi
Bagi Pemberantasan Korupsi. http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,7269lang,id-c, (Diakses Pada 30 Mei 2013 15:13)
12
13