Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, telah melapangkan penyusunan Laporan Pendahuluan
dalam Kegiatan Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Muna Barat Tahun 2016,
sehingga dapat terselesaikan tepat waktu dengan format yang telah disesuaikan dengan draft
penyusunan dokumen Pendampingan Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Muna
Barat.
Laporan Pendahuluan merupakan bagian dari tahap pelaksanaan pekerjaan yang dilaksanakan
oleh konsultan penyusun sebagai bentuk pelaporan hasil identifikasi dan pengamatan yang telah
dilakukan oleh konsultan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan Penyusunan Rancangan Peraturan
Daerah Bangunan Gedung (PERDA BG) Kabupaten Muna Barat Tahun 2016 ke Pengguna jasa.
Dengan selesainya Laporan Pendahuluan ini, penyusun mengucapkan banyak terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu, baik dari Satker, Tim Adhoc Daerah, dan bantuan
pihak-pihak lainnya sehingga laporan ini selesai tepat pada waktunya.
Bau-Bau,
2016
Tim Penyusun
PT. DIAGRAM DESAIN KONSULTAN
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................1
1.1.
LATAR BELAKANG................................................................1
1.2.
Dasar Hukum......................................................................2
1.3.
1.3.1.
LETAK GEOGRAFIS..........................................................3
1.3.2.
WILAYAH ADMINISTRATIF................................................4
1.3.3.
KAJIAN TEORITIS................................................................12
2.1.1.
2.1.2.
2.1.3.
2.1.4.
2.1.5.
37
2.2.
KAJIAN ASAS/PRINSIP........................................................75
2.3.
PERMASALAHAN........................................................................78
2.4.
INDONESIA.................................................................................83
3.1.2.
3.1.3.
3.2.1.
3.2.2.
94
UU 28/2002.................................................................................94
3.3.
3.3.1.
96
PERUNDANG-UNDANGAN.............................................................96
3.3.2.
HUKUM DAERAH...................................................................100
3.4.
3.4.1.
3.4.2.
LANDASAN FILOSOFIS......................................................103
4.2.
LANDASAN SOSIOLOGIS...................................................104
4.3.
LANDASAN YURIDIS.........................................................106
PROGRAM KERJA..............................................................109
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Peta Wilayah Kabupaten Muna Barat...................................................................................................4
BAB IPENDAHULUAN
1.1.
LAT
A
BELAKANG
Bangunan gedung sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, mempunyai peranan yang
sangat strategis dalam pembentukan watak, perwujudan produktivitas, dan jati diri masyarakat. Karena
itu, penyelenggaraan bangunan gedung perlu diatur dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan
kehidupan serta penghidupan masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan bangunan gedung yang andal,
berjati diri, serta seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya.
Bangunan gedung merupakan salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh karena itu
dalam pengaturan bangunan gedung tetap mengacu pada pengaturan penataan ruang sesuai peraturan
perundangundangan
yang
berlaku.Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung.
Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung, serta
harus diselenggarakan secara tertib.
Pengaturan penyelenggaraan bangunan gedung dilandasi oleh asas kemanfaatan, keselamatan,
keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya, bagi kepentingan masyarakat
yang berperikemanusiaan dan berkeadilan.Peraturan Daerah ini dimaksudkan sebagai pengaturan
lebih lanjut pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, baik dalam pemenuhan
persyaratan yang diperlukan dalam penyelenggaraan bangunan gedung, maupun dalam pemenuhan
tertib penyelenggaraan bangunan gedung.
Peraturan Daerah ini mengatur ketentuan pelaksanaan tentang fungsi bangunan gedung,
penyelenggaraan
bangunan
gedung,
peran
masyarakat
gedung, dan pembinaan dalam penyelenggaraan bangunan gedung.Pengaturan peran masyarakat dalam
Peraturan Daerah ini juga tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang organisasi
kemasyarakatan, sedangkan pengaturan gugatan perwakilan penyelenggaraan bangunan gedung juga
tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan gugatan
perwakilan.Pengaturan dalam Peraturan Daerah ini juga memberikan ketentuan pertimbangan kondisi
sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Kabupaten Muna Barat. Berkaitan dengan hal tersebut,
Pemerintah Kabupaten Muna Barat perlu mendorong, memberdayakan dan meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk dapat memenuhi ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
Peraturan Daerah ini mengatur hal-hal pokok dan normatif mengenai penyelenggaraan
bangunan gedung sedangkan ketentuan pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan peraturan
Bupati dengan tetap mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang lain terkait dengan
pelaksanaan Peraturan Daerah ini.Dengan diberlakukannya Peraturan Daerah ini, maka semua
penyelenggaraan bangunan gedung, baik pembangunan maupun pemanfaatan dalam wilayah
Kabupaten Muna Barat, baik yang dilakukan oleh pemerintah, maupun oleh swasta, dan masyarakat,
wajib mematuhi seluruh ketentuan yang tercantum dalamPeraturan Daerah tentang Bangunan Gedung
ini.
1.2.
Dasar Hukum
Beberapa peraturan perundang-undangan
yang
menjadi landasan
hukumPenyusunan Rancangan
h. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25/PRT/M/2007 tentang Pedoman Sertifikat Laik
Fungsi bangunan Gedung;
i. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2007 tentang Pedoman Tim Ahli Bangunan
Gedung;
j. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2008 tentang Pedoman Pemeliharan dan
Perawatan Bangunan Gedung;
k. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25/PRT/M/2008 tentang Pedoman Teknis Penyusunan
Rencana Induk Sistim Proteksi Kebakaran;
l. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem
Proteksi Kebakaran Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan;
m. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2009 tentang Pedoman Teknis Manajemen
Proteksi Kebakaran Di Perkotaan;
n. Standar dan pedoman teknis tentang Bangunan Gedung lainnya.
1.3.
PROFIL WILAYAH KABUPATEN/KOTA LETAK GEOGRAFIS
1.3.1. LETAK GEOGRAFIS
Kabupaten Muna Barat atau disingkat Mubar merupakan salah satu kabupaten di Provinsi
Sulawesi Tenggara, hasil pemekaran dari Kabupaten Muna pada pertengahan tahun 2014. Ibukota
Kabupaten Muna Barat terletak di Laworo,Kecamatan Sawerigadi. Pemerintahan Kabupaten Muna
Barat berbentuk daerah kabupaten otonom yang dipimpin oleh seorang Bupati danWakil Bupati.
Batas wilayah Kabupaten Muna Barat adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara Berbatasan
: Kabupaten Konawe Selatan
Sebelah Selatan Berbatasan
: Kabupaten Muna
Sebelah Barat Berbatasan
: Kabupaten Bombana
Sebelah Timur Berbatasan
: Kabupaten Muna
hari hujan sekitar 8 hari perbulan dimana bulan Maret, Mei, dan Desember adalah bulan dengan
hari hujan terbanyak yaitu 12 hari hujan. Rata-rata curah hujan mencapai 284 mm dengan curah
hujan terbesar terjadi pada bulan Juni dengan intensitas 816 mm.
Pada Tabel disajikan banyaknya hari hujan di Kabupaten Muna pada Tahun 2012, rata-rata
hari hujan sekitar 7 hari perbulan dimana bulan Maret adalah bulan dengan hari terbanyak hujan
yaitu 12 hari, Rata-rata curah hujan mencapai 81 mm dengan curah hujan terbesar terjadi pada
bulan April dengan intensitas 155 mm.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Hari Hujan
10
9
12
11
11
4
5
4
3
5
8
5
Curah Hujan
87
91
102
155
110
149
42
32
24
48
71
59
Pengaruh langsung curah hujan terhadap kemantapan lereng, adalah air hujan yang meresap
kedalam tanah. Peristiwa ini dapat membesar bobot masa tanah dan menaikan tekanan air pori
sehingga kekuatan geser (shear strenght) tanah menjadi menurun. Selain itu pada daerah aliranaliran sungai lebih-lebih pada musim hujan, aliran sungai dapat mengikis pada bagian tebingnya
sehingga menyebabkan hilangnya tahanan samping (lateral support) atau tahanan bawah akibatnya
tegangan geser bertambah besar dan menjadikan kelongsoran.
Berdasarkan data curah hujan menunjukan bahwa musim penghujan terjadi pada bulan
November hingga Maret dengan curah hujan rata-rata bulanan sebesar 356 mm/bulan, musim
kemarau terjadi terjadi pada bulan April hingga Oktober. Untuk itu pada musim hujan diharapkan
masyarakat meningkatkan kewaspadaan.
1.3.3.4. KONDISI DEMOGRAFI
Jumlah penduduk Kabupaten Muna tahun 2012 sebanyak 279.471 jiwa terdiri dari jumlah
penduduk laki-laki 132.133 jiwa, jumlah perempuan 141.503 jiwa. Pertumbuhan penduduk
Kabupaten Muna selama sepuluh tahun terakhir dari tahun 2000 sampai tahun 2010 rata-rata
sebesar 1,36% pertahun. Pertumbuhan ini lebih kecil dibandingkan laju pertumbuhan penduduk
Sulawesi Tenggara yaitu rata-rata 2,07 persen pertahun serta lebih kecil dibandingkan pertumbuhan
penduduk Indonesia 1,47 persen pertahun pada periode yang sama.
Persebaran penduduk menurut kecamatan tahun 2012, kecamatan katobu merupakan kecamatan
dengan jumlah penduduk terpadat yaitu sebanyak 2.246 jiwa per KM2 diikuti oleh Kecamatan
Duruka 992 jiwa per KM2 dan kecamatan yang paling jarang penduduknya adalah Kecamatan
Tongkuno, Wadaga dan Batukara yaitu rata-rata 33 per KM2.
Tabel 2 : Jumlah Penduduk 2013 dan Proyeksi 5 Tahun
Nama Kecamatan
Tongkuno
Tongkuno Selatan
Parigi
Bone
Marobo
Kabawo
Kabangka
Kontukowuna
Tiworo Kepulauan
Maginti
Tiworo Tengah
Tiworo Selatan
Tiworo Utara
Lawa
Sawerigadi
Barangka
Wadaga
Kusambi
Kontunaga
Watopute
Katobu
Lohia
Duruka
Batalaiworu
Napabalano
Lasalepa
Napano Kusambi
Towea
Wakorsel
Pasir Putih
Pasi Kolaga
Maligano
Batukara
TOTAL
2013
15.080
5.729
11.547
5.840
6.798
12.825
9.756
4.186
6.913
8.586
6.913
5.249
5.243
7.868
6.656
6.341
6.037
11.282
8.070
12.323
29.507
13.942
11.771
13.341
11.319
10.627
5.056
5.110
4.698
4.501
4.280
5.520
2.412
285.28
2
Jumlah Penduduk
2014
2015
2016
15.319
15.557
15.798
5.890
6.050
6.211
11.766
11.986
12.206
6.096
6.353
6.609
7.036
7.274
7.512
13.047
13.270
13.492
9.968
10.177
10.386
4.319
4.470
4.621
7.087
7.262
7.426
8.709
8.831
8.954
7.087
7.262
7.436
5.394
5.538
5.683
5.374
5.505
5.635
8.017
8.167
8.316
6.784
6.911
7.038
6.466
6.590
6.714
6.150
6.263
6.377
11.481
11.680
11.879
8.225
8.379
8.533
12.541
12.759
12.977
29.896
30.285
30.675
14.166
14.391
14.615
11.963
12.156
12.348
13.581
13.820
14.060
11.500
11.682
11.864
10.840
11.053
11.265
5.176
5.296
5.416
5.244
5.377
5.511
4.869
5.040
5.211
4.650
4.800
4.950
4.428
4.576
4.724
5.662
5.804
5.947
2.469
2.527
2.585
291.14 297.011
302.87
7
2017
16.034
6.372
12.426
6.866
7.751
13.715
10.595
4.772
7.611
9.076
7.611
5.828
5.766
8.466
7.165
6.838
6.490
12.077
8.687
13.195
31.064
14.840
12.540
14.299
12.046
11.478
5.536
5.645
5.382
5.099
4.871
6.089
2.642
308.74
2013
3.623
1.455
2.668
1.451
1.397
2.788
2.464
966
1.657
2.051
1.816
1.335
1.189
1.983
1.623
1.616
1.531
2.543
1.945
2.968
7.538
3.079
2.766
2.926
2.682
2.718
1.118
1.137
1.078
994
939
1.270
585
67.45
2014
3.761
1.531
2.721
1.551
1.499
2.855
2.565
1.016
1.703
2.115
1.885
1.394
1.262
2.062
1.684
1.693
1.611
2.611
2.011
3.068
8.142
3.143
2.863
2.994
2.791
2.833
1.163
1.168
1.139
1.036
973
1.328
612
70.69
Jumlah KK
2015
2016
3.899
4.038
1.607
1.683
2.775
2.828
1.651
1.750
1.602
1.704
2.922
2.990
2.665
2.765
1.067
1.117
1.748
1.794
2.179
2.242
1.955
2.025
1.454
1.513
1.336
1.409
2.142
2.222
1.745
1.806
1.771
1.848
1.690
1.769
2.680
2.748
2.076
2.142
3.167
3.267
8.745
9.349
3.207
3.217
2.961
3.059
3.062
3.130
2.899
3.008
2.947
3.062
1.207
1.252
1.200
1.232
1.201
1.263
1.078
1.120
1.007
1.040
1.385
1.443
638
664
73.53
76.380
8
2017
4.178
1.759
2.882
1.850
1.807
3.057
2.866
1.168
1.839
2.306
2.094
1.573
1.483
2.301
1.867
1.926
1.849
2.817
2.208
3.366
9952
3.336
3.156
3.198
3.116
3.177
1.296
1.264
1.324
1.161
1.074
1.500
6.90
79.222
Jumlah Penduduk
Jumlah KK
Laju Pertumbuhan
pertahun (%)
Tongkuno
Tongkuno Selatan
Parigi
Bone
Marobo
Kabawo
Kabangka
Kontukowuna
Tiworo Kepulauan
Maginti
Tiworo Tengah
Tiworo Selatan
Tiworo Utara
Lawa
Sawerigadi
Barangka
Wadaga
Kusambi
Kontunaga
Watopute
Katobu
Lohia
Duruka
Batalaiworu
Napabalano
Lasalepa
Napano Kusambi
Towea
Wakarumba Selatan
Pasir Putih
Pasi Kolaga
Maligano
Batukara
TOTAL
2008
14.035
5.031
10.572
4.845
5.899
11.973
8.983
3.527
6.217
8.042
6.214
4.562
4.529
7.169
5.942
5.841
5.474
10.404
7.375
11.352
27.920
13.053
11.040
12.402
10.428
9.721
4.507
4.515
2.018
3.862
3.701
4.932
2.024
257.104
2009
14.174
5.103
10.747
5.084
6.083
12.072
9.063
3.640
6.361
8.126
6.318
4.732
4.731
7.336
6.104
5.739
5.612
10.529
7.524
11.538
28.331
13.115
11.131
12.524
10.652
9.892
4.629
4.613
2.151
3.941
3.853
5.057
2.172
262.677
2010
14.380
5.264
10.904
5.113
6.116
12.172
9.148
3.736
6.406
8.226
6.406
4.830
4.863
7.430
6.284
5.978
5.706
10.699
7.619
11.684
28.360
13.282
11.207
12.640
10.785
10.005
4.707
4.722
4.209
4.071
3.856
5.108
2.244
268.277
2011
14.667
5.369
11.112
5.325
6.237
12.414
9.330
3.810
6.533
8.390
6.632
4.926
4.960
7.578
6.409
6.097
5.819
10.912
7.771
11.917
28.925
13.546
11.430
12.891
11.000
10.204
4.801
4.816
4.293
4.152
3.933
5.209
2.288
273.616
2012
14.842
5.568
11.327
5.583
6.560
12.602
9.549
4.017
6.792
8.464
6.738
5.104
5.112
7.718
6.529
6.217
5.924
11.083
7.916
12.105
29.118
13.717
11.579
13.102
11.137
10.414
4.936
4.976
4.527
4.351
4.132
5.378
2.354
279.471
2008
3.036
1.062
2.231
992
950
2.321
2.101
713
1.364
1.582
1.411
1.013
812
1.525
1.225
1.149
1.105
2.162
1.518
2.257
5.640
2.648
2.180
2.361
2.086
2.193
893
901
802
792
688
989
407
53.109
2009
3.103
1.117
2.418
1.072
1.021
2.474
2.142
792
1.466
1.743
1.502
1.079
853
1.683
1.326
1.261
1.282
2.203
1.624
2.401
5.725
2.721
2.273
2.451
2.156
2.204
901
993
843
810
752
1.059
482
55.932
2010
3.229
1.242
2.511
1.177
1.117
2.593
2.179
824
1.526
1.867
1.617
1.166
985
1.756
1.449
1.397
1.309
2.344
1.756
2.683
5.907
2.892
2.486
2.728
2.374
2.392
992
1.045
906
875
842
1.108
511
59.845
2011
3.371
1.268
2.566
1.204
1.201
2.641
2.225
839
1.558
1.908
1.649
1.190
1.004
1.793
1.480
1.427
1.337
2.387
1.794
2.741
6.020
2.945
2.533
2.778
2.417
2.442
1.012
1.064
923
892
857
1.128
522
61.116
2012
3.485
1.379
2.614
1.351
1.294
2.721
2.364
915
1.612
1.987
1.746
1.275
1.115
1.903
1.562
1.538
1.452
2.474
1.879
2.869
6.935
3.015
2.668
2.858
2.574
2.603
1.074
1.105
1.016
1.134
905
1.793
559
65.774
3.21
2,89
1.94
2.60
3.63
1.77
2.19
2.76
2.59
1.45
2.59
2.84
2.56
1.94
1.95
2.00
1.91
1.79
1.95
1.80
1.34
1.64
1.66
1.83
1.63
2.04
2.43
2.69
2.78
2.44
2.58
2.64
2.45
2.10
KAJI
A
TEORITIS
2.1.1. TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN
2.1.1.1.
PERUNTUKAN LOKASI
1. Peruntukan Lokasi
a. Bangunan gedung harus diselenggarakan sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur
dalam ketentuan tata ruang dan tata bangunan dari lokasi yang bersangkutan.
b. Ketentuan tata ruang dan tata bangunan ditetapkan melalui:
i.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Daerah;
ii.
Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR); dan
iii.
Peraturan bangunan setempat dan Rencana Tata Bangunan danLingkungan (RTBL).
c. Peruntukan lokasi merupakan peruntukan utama sedangkan peruntukan penunjangnya
sebagaimana ditetapkan di dalam ketentuan tata bangunan yang ada di daerah setempat atau
berdasarkan pertimbangan teknis dinas yang menangani bangunan gedung.
d. Setiap pihak yang memerlukan keterangan atau ketentuan tata ruang dan tata bangunan dapat
memperolehnya secara terbuka melalui dinas yang terkait.
e. Keterangan atau ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir d meliputi keterangan tentang
peruntukan lokasi dan intensitas bangunan, seperti kepadatan bangunan, ketinggian bangunan,
dan garis sempadan bangunan.
f. Dalam hal rencana-rencana tata ruang dan tata bangunan belum ada, Kepala Daerah dapat
memberikan pertimbangan atas ketentuan
yang
peninjauan seperlunya terhadap rencana tata ruang dan tata bangunan yang ada di daerah.
g. Bagi daerah yang belum memiliki RTRW, RRTR, ataupun peraturan bangunan
setempat dan RTBL, maka Kepala Daerah dapat memberikan persetujuan membangun
bangunan gedung dengan pertimbangan.
h. Pembangunan bangunan gedung diatas jalan umum, saluran, atau sarana lain perlu
mendapatkan persetujuan Kepala Daerah dengan pertimbangan sebagai berikut:
i.
Tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan daerah;
ii.
Tidak mengganggu kelancaran arus lalu lintas kendaraan, orang, maupun barang;
iii.
Tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana yang berada dibawah dan/atau
bangunan.
j. Pembangunan bangunan gedung dibawah atau diatas air perlu mendapatkan persetujuan Kepala
Daerah dengan pertimbangan sebagai berikut:
i.
Tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan daerah;
ii.
Tidak mengganggu keseimbangan lingkungan, dan fungsi lindung kawasan;
iii.
Tidak menimbulkan perubahan arus air yang dapat merusak lingkungan;
iv. Tidak menimbulkan pencemaran; dan
v. Telah mempertimbangkan faktor keamanan, kenyamanan, kesehatan, dan aksesibilitas bagi
pengguna bangunan.
k. Pembangunan bangunan gedung pada daerah hantaran udara (transmisi) tegangan
tinggi
i.
ii.
iii.
terluar;
Letak bangunan tidak boleh melebihi atau melampaui garis sudut 45o (empat puluh
iv.
2.1.1.2.
INTENSITAS BANGUNAN GEDUNG
2. INTENSITAS BANGUNAN GEDUNG
a. Kepadatan dan Ketinggian Bangunan Gedung
i.
Bangunan gedung yang didirikan harus
ketinggian bangunan gedung berdasarkan rencana tata ruang wilayah daerah yang
bersangkutan, rencana tata bangunan dan lingkungan yang ditetapkan, dan peraturan
ii.
bangunan setempat.
Kepadatan bangunan, meliputi ketentuan
tentang
iii.
iv.
ditentukan oleh:
(1) kemampuannya
dalam menjaga
keseimbangan
dalam
menjamin
kesehatan
iii.
berdasarkan
berbagai
pertimbangan
iv.
(3) Untuk persil-persil sudut bilamana sudut persil tersebut dilengkungkan atau disikukan,
untuk memudahkan lalu lintas, maka lebar dan panjang persil tersebut diukur dari
titik pertemuan garis perpanjangan pada sudut tersebut dan luas
persil
dukung
v.
vi.
perpetakan tanah yang memberikan sebagian luas tanahnya untuk kepentingan umum.
Penetapan besarnya KDB, JLB/KLB untuk pembangunan bangunan gedung di atas
fasilitas umum adalah setelah mempertimbangkan keserasian,
keseimbangan
dan
iii.
iv.
10% dari luas denah yang diperhitungkan sesuai dengan KDB yang ditetapkan;
Overstek atap yang melebihi lebar 1,50 m maka luas mendatar kelebihannya
v.
vi.
dari
KLB
yang
ditetapkan,
vii.
viii.
ix.
Batasan perhitungan luas ruang bawah tanah (besmen) ditetapkan oleh Kepala
Daerah dengan pertimbangan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan pendapat teknis para
x.
ahli terkait;
Untuk pembangunan yang berskala kawasan (superblock), perhitungan KDB dan KLB
adalah dihitung terhadap total seluruh lantai dasar bangunan, dan total keseluruhan luas
xi.
lantai bangunan dalam kawasan tersebut terhadap total keseluruhan luas kawasan;
Dalam perhitungan ketinggian bangunan, apabila jarak vertikal dari lantai penuh
ke lantai penuh berikutnya lebih dari 5 m, maka ketinggian bangunan tersebut dianggap
iv.
v.
vi.
sempadan untuk pantai, sungai, danau, jaringan umum dan lapangan umum.
Pada suatu kawasan/lingkungan yang diperkenankan adanya beberapa klas
bangunan dan di dalam kawasan peruntukan campuran, untuk tiap-tiap klas bangunan dapat
vii.
viii.
dengan nol), maka bagian muka bangunan harus ditempatkan pada garis tersebut.
Daerah berwenang untuk memberikan pembebasan dari ketentuan dalam butir g,
ix.
jalan
bangunan sekitarnya.
Ketentuan besarnya
GSB
dapat
diperbarui
dan
penataan
kota, kepentingan umum, keserasian dengan lingkungan, maupun pertimbangan lain dengan
mendengarkan pendapat teknis para ahli terkait.
e. Garis Sempadan (Samping Dan Belakang) Bangunan Gedung
i.
Kepala
Daerah
dengan
pertimbangan
kiri
kanan,
serta
belakang
bangunan terhadap batas persil, yang diatur di dalam rencana tata ruang, rencana tata
ii.
iii.
iv.
dalam butir i.
Pada daerah intensitas bangunan padat/rapat, maka garis sempadan
samping
dan
bebas samping
dan belakang
bangunan harus memenuhi persyaratan:
(1) jarak bebas samping dan jarak bebas belakang ditetapkan minimum 4 m pada lantai
dasar, dan pada setiap penambahan
lantai/tingkat
bangunan,
ditambah 0,50 m dari jarak bebas lantai di bawahnya sampai mencapai jarak
bebas terjauh 12,5 m, kecuali untuk bangunan rumah tinggal, dan sedangkan untuk
bangunan gudang serta industri dapat diatur tersendiri;
(2) sisi bangunan yang didirikan harus mempunyai jarak bebas yang tidak dibangun
pada kedua sisi samping kiri dan kanan serta bagian belakang yang berbatasan dengan
ii.
pekarangan.
Pada dinding batas pekarangan tidak boleh dibuat bukaan dalam bentuk apapun.
iii.
Jarak bebas antara dua bangunan dalam suatu tapak diatur sebagai berikut:
(1) dalam hal kedua-duanya memiliki bidang bukaan yang saling berhadapan, maka
jarak antara dinding atau bidang tersebut minimal dua kali jarak bebas yang ditetapkan;
(2) dalam hal salah satu dinding yang berhadapan merupakan dinding tembok
tertutup dan yang lain merupakan bidang terbuka dan/atau berlubang, maka jarak
antara dinding tersebut minimal satu kali jarak bebas yang ditetapkan;
(3) dalam hal kedua-duanya memiliki bidang tertutup yang saling berhadapan, maka
jarak dinding terluar minimal setengah kali jarak bebas yang ditetapkan.
g. Pemisah di Sepanjang Halaman Depan/Samping/Belakang Gedung
i.
Halaman muka dari suatu bangunan harus dipisahkan dari jalan menurut cara yang
ditetapkan oleh Kepala Daerah, dengan memperhatikan
keamanan,kenyamanan,serta
ii.
iii.
keserasian lingkungan.
Kepala Daerah menetapkan ketinggian maksimum pemisah halaman muka.
Untuk sepanjang jalan atau kawasan tertentu, Kepala Daerah dapat menerapkan
iv.
v.
ketentuan dalam butir i dan ii, dengan setelah mempertimbangkan hal teknis terkait.
Dalam hal pemisah berbentuk pagar, maka tinggi pagar pada GSJ dan antara GSJ
dengan GSB pada bangunan rumah tinggal maksimal 1,50 m di atas permukaan tanah, dan
untuk bangunan bukan rumah tinggal termasuk untuk bangunan industri maksimal 2 m di
vi.
vii.
pekarangan.
Untuk bangunan-bangunan tertentu, Kepala Daerah dapat menetapkan
viii.
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam butir v dan vi.
Penggunaan kawat berduri sebagai pemisah disepanjang jalan-jalan umum tidak
ix.
diperkenankan.
Tinggi pagar batas
pekarangan
sepanjang
lain
terhadap
xi.
Kepala Daerah berwenang untuk menetapkan syarat-syarat lebih lanjut yang berkaitan
dengan desain dan spesifikasi teknis pemisah di sepanjang halaman depan, samping, dan
belakang bangunan.
Kepala Daerah dapat menetapkan tanpa adanya pagar pemisah halaman
xii.
samping
maupun
dengan pertimbangan
(aksesibilitas),
depan,
yangdiharapkan.
2.1.2. ARSITEKTUR BANGUNAN GEDUNG
2.1.2.1.
PERSYARATAN PENAMPILAN BANGUNAN GEDUNG
a. Ketentuan Umum
i.
Bentuk denah bangunan gedung sedapat mungkin simetris dan sederhana, guna mengantisipasi
ii.
iii.
tanah.
Denah bangunan gedung berbentuk sentris (bujursangkar, segibanyak, atau lingkaran)
lebih baik daripada denah bangunan yang berbentuk memanjang dalam mengantisipasi
iv.
v.
vi.
vii.
viii.
Kepala
Daerah
ditetapkan pelaksanaaannya oleh Kepala Daerah dengan membentuk suatu panitia khusus
ix.
yang bertugas memberi nasehat teknis mengenai ketentuan tata bangunan dan lingkungan.
Bentuk bangunan gedung harus dirancang dengan memperhatikan bentuk dan
karakteristik arsitektur lingkungan yang ada di sekitarnya, atau yang mampu sebagai pedoman
x.
xi.
Bangunan yang didirikan sampai pada batas samping persil, tampak bangunannya harus
bersambungan secara serasi dengan tampak bangunan atau dinding yang telah ada di
xii.
sebelahnya.
Bentuk bangunan gedung harus dirancang dengan mempertimbangkan terciptanya ruang luar
xiii.
xiv.
xv.
berdasarkan ketentuan- ketentuan dalam rencana tata ruang, dan/atau rencana tata bangunan
dan lingkungan yang ditetapkan untuk daerah/lokasi tersebut.
b. Tapak Bangunan
i.
Tinggi rendah (peil) pekarangan harus dibuat dengan tetap menjaga keserasian lingkungan
ii.
iii.
iv.
lingkungan.
Penambahan lantai/tingkat harus memenuhi persyaratan keamanan struktur.
Pada daerah/lingkungan tertentu dapat ditetapkan:
(1) ketentuan khusus tentang pemagaran suatu pekarangan kosong atau sedang dibangun,
pemasangan nama proyek dan
sejenisnya
dengan
memperhatikan keamanan,
iii.
iv.
Untuk bangunan dengan lantai banyak, kulit atau selubung bangunan harus memenuhi
v.
vi.
harus
iii.
iv.
ke permukaan lantai.
Ruangan dalam bangunan harus mempunyai tinggi yang cukup untuk fungsi yang
v.
diharapkan.
Ketinggian ruang pada lantai dasar disesuaikan dengan fungsi ruang dan arsitektur
vi.
bangunannya.
Dalam hal tidak ada langit-langit, tinggi ruang diukur dari permukaan atas lantai sampai
vii.
permukaan bawah dari lantai di atasnya atau sampai permukaan bawah kaso-kaso.
Bangunan atau bagian bangunan yang mengalami perubahan perbaikan, perluasan,
penambahan, tidak boleh menyebabkan berubahnya
arsitektur bangunan dan bagian-bagian bangunan serta tidak boleh mengurangi atau
viii.
penggunaan
ix.
x.
xi.
Tata
ruang-dalam
untuk
bangunan
tempat
raga,
iii.
iv.
v.
kamar mandi dan kakus, ruang ganti pakaian karyawan, ruang makan, ruang istirahat, serta
vi.
vii.
viii.
ix.
ruang
lobby, atau
x.
xi.
yang memadai.
Ruang rongga atap dilarang dipergunakan sebagai dapur atau kegiatan lain yang
xii.
xiii.
xiv.
bangunannya.
Pada ruang yang penggunaannya menghasilkan asap dan/atau gas, harus disediakan lobang
xv.
xvi.
hawa dan/atau cerobong hawa secukupnya, kecuali menggunakan alat bantu mekanis.
Cerobong asap dan/atau gas harus dirancang memenuhi persyaratan pencegahan kebakaran.
Tinggi ruang-dalam bangunan tidak boleh kurang dari ketentuan minimum yang
ditetapkan.
xvii.
Tinggi lantai dasar suatu bangunan diperkenankan mencapai maksimal 1,20 m di atas tinggi
rata-rata tanah pekarangan atau tinggi rata-rata jalan, dengan memperhatikan keserasian
lingkungan.
Apabila tinggi tanah pekarangan berada di bawah titik ketinggian (peil) bebas banjir
xviii.
atau terdapat kemiringan yang curam atau perbedaan tinggi yang besar pada tanah asli suatu
perpetakan, maka tinggi maksimal lantai dasar ditetapkan tersendiri.
Tinggi Lantai Denah:Permukaan atas dari lantai denah (dasar) harus:
(1) Sekurang-kurangnya 15 cm di atas titik tertinggi dari pekarangan yang sudah
xix.
dipersiapkan;
(2) Sekurang-kurangnya 25 cm di atas titik tertinggi dari sumbu jalan yang
berbatasan.Dalam hal-hal yang luar biasa, ketentuan dalam butir (1) tersebut, tidak
berlaku jika letak lantai-lantai itu lebih tinggi dari60 cm di atas tanah yang ada di
sekelilingnya, atau untuk tanah-tanah yang miring.
Lantai tanah atau tanah dibawah lantai panggung harus ditempatkan sekurang-
xx.
adalah
iii.
pada persil yang sama disebut Ruang Terbuka Hijau Pekarangan (RTHP).
RTHP berfungsi sebagai tempat tumbuhnya tanaman, peresapan air, sirkulasi,
iv.
unsur-unsur estetik, baik sebagai ruang kegiatan dan maupun sebagai ruang amenity.
Sebagai ruang transisi, RTHP merupakan bagian integral dari penataan bangunan gedung
v.
vi.
RTHP yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang dan tata bangunan tidak boleh dilanggar
vii.
viii.
ix.
lingkungan.
Setiap perencanaan bangunan baru harus memperhatikan potensi unsur-unsur alami yang
x.
ada dalam tapak seperti danau, sungai, pohon-pohon menahun, tanah dan permukaan tanah.
Dalam hal terdapat makro lansekap yang dominan seperti laut, sungai besar, gunung dan
sebagainya, terhadap suatu kawasan/daerah dapat diterapkan pengaturan khusus untuk orientasi
xi.
tata letak bangunan yang mempertimbangkan potensi arsitektural lansekap yang ada.
Sebagai perlindungan atas sumber-sumber daya alam yang ada, dapat ditetapkan
persyaratan khusus bagi permohonan IMB dengan
xii.
mempertimbangkanhal-halpencagaran
pagar, jalur pejalan kaki, jalur kendaraan dan jalur hijau median jalan berikut utilitas jalan
iii.
lainnya seperti tiang listrik, tiang telepon di kedua sisi jalan/ruas jalan yang dimaksud.
Koefisien Dasar Hijau (KDH) ditetapkan sesuai dengan peruntukan dalam rencana tata
ruang wilayah yang telah ditetapkan. KDH minimal 10% pada daerah sangat padat/ padat. KDH
ditetapkan meningkat setara dengan naiknya ketinggian bangunan dan berkurangnya kepadatan
wilayah.
iv.
v.
ditanam di
kawasan bangunan, dimana terdapat beberapa klas bangunan dan kawasan campuran.
d. Persyaratan Tapak Besmen Terhadap Lingkungan
I.
Kebutuhan besmen dan besaran koefisien tapak besmen (KTB) ditetapkan berdasarkan
II.
II.
menyediakan RTHP.
Luas DHB diperhitungkan sebagai luas RTHP namun tidak lebih dari 25% luas RTHP
f. Tata Tanaman
i.
Pemilihan dan penggunaan tanaman harus memperhitungkan karakter tanaman sampai
pertumbuhannya optimal yang berkaitan dengan bahaya yang mungkin ditimbulkan. Potensi
bahaya terdapat pada jenis-jenis tertentu yang sistem perakarannya destruktif, batang dan
cabangnya rapuh, mudah terbakar serta bagian- bagian lain yang berbahaya bagi kesehatan
ii.
manusia.
Penempatan
iii.
iv.
tanaman
harus
membentuk tim penasehat untuk mengkaji rencana pemanfaatan jenis-jenis tanaman yang layak
tanam di RTHP berikut standar perlakuannya yang memenuhi syarat keselamatan pemakai.
g. Sirkulasi dan Fasilitas Parkir
i.
Sistem
sirkulasi
yang
direncanakan
harus
eksternal dengan internal bangunan, serta antara individu pemakai bangunan dengan sarana
transportasinya.
Sirkulasi
harus
ii.
iii.
pejalan kaki.
Sirkulasi harus memungkinkan adanya ruang gerak vertikal (clearance) dan lebar jalan
yang sesuai untuk pencapaian darurat oleh kendaraan pemadam kebakaran, dan
iv.
(dapat
berupa
elemen
perkerasanmaupun tanaman), guna mendukung sistem sirkulasi yang jelas dan efisien serta
v.
vi.
vii.
dll.
Pemilihan bahan pelapis jalan dapat mendukung pembentukan identitas lingkungan yang
viii.
ix.
x.
xi.
xii.
xiii.
sesuai dengan jumlah area parkir yang proporsional dengan jumlah luas lantai bangunan.
Penyediaan parkir di pekarangan tidak boleh mengurangi daerah penghijauan yang telah
xiv.
ditetapkan.
Prasarana parkir untuk suatu rumah atau bangunan tidak diperkenankan mengganggu
xv.
xvi.
Penataan parkir
harus
xvii.
xviii.
penghijauan.
h. Pertandaan (Signage)
i.
Penempatan
pertandaan
(signage),
termasuk
memudahkan
ruang publik.
Untuk penataan bangunan dan lingkungan yang baik untuk lingkungan/kawasan tertentu,
Kepala Daerah dapat mengatur pembatasan-pembatasan ukuran, bahan, motif, dan lokasi dari
signage.
i. Pencahayaan Ruang Luar Bangunan Gedung
i.
Pencahayaan ruang luar bangunan harus disediakan dengan memperhatikan karakter
ii.
lingkungan, fungsi dan arsitektur bangunan, estetika amenity, dan komponen promosi.
Pencahayaan yang dihasilkan harus memenuhi keserasian dengan pencahayaan dari
iii.
dampak
penting
sifat-sifat fisik
ii.
menyebabkan
iii.
iv.
perubahan
menurut
mendasar
v.
pada
dan
sebagainya)
yang
telah
ditetapkan
vi.
vii.
pemerintah.
d. Kegiatan yang dimaksud pada butir c merupakan kegiatan yang berdasarkan pengalaman
dan tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai potensi menimbulkan
dampak penting terhadap lingkungan hidup.
2. Ketentuan Pengelolaan Dampak Lingkungan
Jenis-jenis kegiatan pada pembangunan bangunan gedung dan/atau lingkungannya yang
wajib AMDAL, adalah sesuai ketentuan pengelolaan dampak lingkungan yang berlaku.
3. Ketentuan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan UpayaPemantauan Lingkungan
(UPL)
Jenis-jenis kegiatan pada pembangunan bangunan gedung dan/atau lingkungannya yang
harus melakukan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL) adalah sesuaiketentuan yang berlaku.
2.1.4. RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN (RTBL)
1. Tindak Lanjut RTRW dan/atau Rencana Teknik Ruang Kabupaten/Kota a. RTBL menindaklanjuti
rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana teknik ruang kabupaten/kota, dan sebagai
panduan rancangan kawasan, dalam rangka perwujudan kesatuan karakter, kualitas bangunan
gedung dan lingkungan yang berkelanjutan. Selainitu, RTBL merupakan instrumen guna
meningkatkan:
i.
Perwujudan Kesatuan karakter;
ii.
Kualitas Bangunan Gedung; dan
iii.
Lingkungan yang Berkelanjutan
a. RTBL digunakan sebagai
suatu lingkungan/kawasan.
2. Muatan Materi RTBL
panduan
dalam
memuat
jangka
menengah, dan jangka panjang, yang disertai estimasi biaya investasi baik penataan bangunan
lama maupun rencana pembangunan baru dan pengembangannya serta pola pendanaannya.
d. Ketentuan Pengendalian Rencana dan Pedoman Pengendalian Pelaksanaan
Ketentuan pengendalian rencana dan pedoman pengendalian pelaksanaan merupakan
persyaratan-persyaratan tata bangunan dan lingkungan yang ditetapkan untuk kawasan yang
bersangkutan, prosedur perizinan, dan
pengendalian pelaksanaan.
3. Penyusunan RTBL
a. RTBL dapat disusun berdasarkan kemitraan pemerintah daerah, swasta, dan/atau
masyarakat
sesuai
bersangkutan.
b. Penyusunan
RTBL
dengan
dilakukan
dengan
pendapat publik.
c. Penyusunan RTBL didasarkan pada pola penanganan penataan bangunan gedung dan
lingkungan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
d. Pola penanganan penataan bangunan dan lingkungan meliputi: perbaikan, pengembangan
kembali, pembangunan baru, dan/atau pelestarian, yang diterapkan pada:
i.
kawasan yang sudah terbangun;
ii.
kawasan yang dilestarikan dan dilindungi;
iii.
kawasan baru yang potensial berkembang; dan/atau
iv.
bangunan.
3. Pembangunan bangunan gedung di bawah dan/atau di atas air harus:
a. sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana teknik ruang
b.
c.
d.
e.
pengguna bangunan.
4. Pembangunan bangunan gedung pada daerah hantaran udara (transmisi)tegangan
tinggi,
faktor
keselamatan,
layanan
yang
iii.
iv.
v.
vi.
keandalan
struktur
viii.
ix.
Pembongkaran bangunan gedung dilakukan apabila bangunan gedung sudah tidak laik
fungsi, dan setiap pembongkaran bangunan gedung harus dilaksanakan secara tertib
x.
xi.
bangunan, dan harus dilakukan atau didampingi oleh ahli yang memiliki sertifikasi sesuai.
Untuk mencegah terjadinya keruntuhan struktur yang tidak diharapkan, pemeriksaan
keandalan bangunan harus dilakukan secara berkala sesuai dengan pedoman/ petunjuk
perencanaan
dinding struktur
pasangan
blok
beton berongga bertulang untuk bangunan rumah dan gedung, atau edisi terbaru;
(4) SNI 03-3976-1995 atau edisi terbaru; Tata cara pengadukan pengecoran beton.
(5) SNI 03-2834-2000 Tata cara pembuatan rencana campuran beton normal, atau
edisi terbaru; dan
(6) SNI 03-3449-2002 Tata cara
rencana
(1) Tata Cara Perencanaan dan Pelaksanaan KonstruksiBeton Pracetak dan Prategang untuk
Bangunan Gedung;
(2) Metoda Pengujian dan Penentuan Parameter Perencanaan Tahan Gempa Konstruksi Beton
Pracetak dan Prategang untuk Bangunan Gedung; dan
(3) SpesifikasiSistemdanMaterialKonstruksiBetonPracetak dan Prategang untuk Bangunan Gedung.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai SNI,
digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
ii.
Konstruksi Baja
Perencanaan konstruksi baja harus mengikuti:
(1) SNI 03-1729-2002 Tata cara perencanaan bangunan baja untuk gedung, atau edisi
terbaru;
(2) Tata Cara dan/atau pedoman lain yang masih terkait dalam perencanaan konstruksi
baja;
(3) Tata Cara Pembuatan atau Perakitan Konstruksi Baja;
(4) Tata Cara Pemeliharaan Konstruksi Baja SelamaPelaksanaan Konstruksi.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai SNI,
digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
iii.
Konstruksi Kayu
Perencanaan konstruksi kayu harus mengikuti:
(1) SNI 03-2407-1994 Tata cara pengecatan kayu untuk rumah dan gedung, atau
edisi terbaru;
(2) Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu untukBangunan Gedung; dan
(3) Tata Cara Pembuatan dan Perakitan Konstruksi Kayu;
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai SNI,
digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
iv. Konstruksi Bambu
Perencanaan konstruksi bambu harus memenuhi kaidah- kaidah perencanaan konstruksi
v.
dilaksanakan
oleh ahli struktur yang terkait dalam bidang bahan dan teknologi khusus tersebut;
(2) Perencanaankonstruksidenganmemperhatikan standar-standar teknis padanan untuk
spesifikasi teknis, tata cara, dan metoda uji bahan dan teknologi khusus tersebut.
Pedoman Spesifik Untuk Tiap Jenis Konstruksi
vi.
Selain pedoman yang spesifik untuk masing-masing jenis konstruksi, standar teknis lainnya
yang terkait dalam perencanaan suatu bangunan yang harus mengikuti:
(1) SNI 03-1736-1989 Tata cara perencanaan struktur bangunan untuk pencegahan
bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung, atau edisi terbaru;
(2) SNI 03-1745-1989 Tata cara pemasangan sistem hidran untuk pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan rumah dan gedung, atau edisi terbaru;
(3) SNI 03-1977-1990 Tata cara dasar koordinasi modular untuk perancangan bangunan
rumah dan gedung, atau edisi terbaru;
(4) SNI 032394-1991 Tata cara perencanaan dan perancangan
bangunan
ii.
sesuai.
(4) Pondasi langsung dapat dibuat dari pasangan batu atau konstruksi beton bertulang.
Pondasi Dalam
(1) Pondasi dalam pada umumnya digunakan dalam hal lapisan tanah dengan daya
dukung yang cukup terletak jauh di bawah permukaan tanah, sehingga penggunaan
daya
dukung
dan
penurunan
mekanika tanah yang baku dan lazim dalam praktek, berdasarkan parameter tanah
yang ditemukan dari penyelidikan tanah dengan memperhatikan nilai tipikal dan
korelasi tipikal dengan parameter tanah yang lain.
(3) Umumnya daya dukung rencana pondasi dalam harus diverifikasi dengan percobaan
pembebanan, kecuali jika jumlah pondasi dalam direncanakan dengan faktor
keamanan yang jauh lebih besar dari faktor keamanan yang lazim.
(4) Percobaan pembebanan pada pondasi dalam harus dilakukan dengan berdasarkan
tata cara yang lazim dan hasilnya harus dievaluasi oleh perencana ahli yang memiliki
sertifikasi sesuai.
(5) Jumlah percobaan pembebanan pada pondasi dalam adalah 1% dari jumlah titik
pondasi yang akan dilaksanakan dengan penentuan titik secara random,
kecualiditentukan lainolehperencanaahliserta disetujui oleh Dinas Bangunan.
(6) Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung harus memperhatikan gangguan yang
mungkin ditimbulkan terhadap lingkungan pada masa pelaksanaan konstruksi.
(7) Dalam hal lokasi pemasangan tiang pancang terletak di daerah tepi laut yang
dapat mengakibatkan korosif harus memperhatikan pengamanan baja terhadap
korosi.
(8) Dalam hal perencanaan atau metode pelaksanaan menggunakan pondasi yang belum
diatur dalam SNI dan/atau mempunyai paten dengan metode konstruksi yang belum
dikenal, harus mempunyai sertifikat yang dikeluarkan instansi yang berwenang.
(9) Apabilaperhitungan struktur menggunakan perangkat lunak, harus menggunakan
perangkat lunak yang diakui oleh asosiasi terkait.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
e. Keandalan Bangunan Gedung
i.
Keselamatan Struktur
(1) Untukmenentukantingkatkeandalanstruktur bangunan, harus dilakukan pemeriksaan
keandalan bangunansecaraberkalasesuai denganketentuan dalamPedoman/Petunjuk
TeknisTataCara Pemeriksaan Keandalan Bangunan Gedung.
(2) Perbaikanatauperkuatanstrukturbangunanharus segeradilakukan sesuai rekomendasi
hasil pemeriksaan keandalan bangunan gedung, sehingga bangunan gedung selalu
memenuhi persyaratan keselamatan struktur.
ii.
keandalan bangunan harus dilakukan secara berkala sesuai dengan pedoman/ petunjuk
iii.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
b. Sistem Proteksi Aktif
Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret sederhana,
harus dilindungi terhadap bahaya kebakaran dengan proteksi aktif.Penerapan
proteksi
aktif
didasarkan
sistem
dilengkapi
sarana
alat
pengendali,
panel
(iii)
kebakaran;
tidak digunakan bagi keperluan lain, selain:
(a) kegiatan pengendalian kebakaran; dan
(b) kegiatan lain yang berkaitan dengan unsur keselamatan atau keamanan bagi
penghuni bangunan.
Konstruksi
Ruang Pusat Pengendali Kebakaran pada bangunan gedung yang tinggi efektifnya
lebih dari 50 meter harus merupakan ruang terpisah, dimana:
(a) konstruksi penutupnya dari beton, dinding atau sejenisnya mempunyai
kekokohan yang cukup terhadap keruntuhan akibat kebakaran dan dengan nilai
TKA tidak kurang dari 120/120/120;
(b) bahan lapis penutup, pembungkus atau sejenisnya harus memenuhi persyaratan
terhadap kebakaran;
(c) peralatan utilitas,
pipa,
saluran
udara
diperlukan untuk berfungsinya ruang pengendali, tidak boleh lewat ruang tersebut;
(d) bukaan pada dinding, lantai atau langit-langit yang memisahkan ruang pengendali
dengan ruang- dalam bangunan dibatasi hanya untuk pintu, ventilasi dan lubang
perawatan lainnya, yang khusus untuk melayani fungsi ruang pengendali tersebut.
(iv)
pengendali
dan dinding dalam, untuk jendela, pintu, ventilasi, saluran, dan sejenisnya harus
(v)
dalam bangunan
tidak
menghalangi
atau menutupi
pengamanan
kebakaran
bangunan;
telepon sambungan langsung;
sebuah papan tulis dan sebuah papan tempel (pin- up board) berukuran cukup;
sebuah
meja
berukuran
cukup
untuk menggelar gambar dan
waktu
dan
tidak
diproteksi
berada
di
dalam
ruang
(vii)
(viii)
pusat pengendali, dan tingkat iluminasi diatas meja kerja tak kurang dari 400Lux.
Beberapa peralatan seperti motor bakar, pompa pengendali springkler,
pemipaan dan sambungan- sambungan pipa tidak boleh dipasang dalam ruang
pengendali, tetapi boleh dipasang di ruangan-ruangan yang dapat dicapai dari ruang
(ix)
pengendali tersebut.
Tingkat suara (ambient) dalam
ruang
tidak
melebihi
(1) SNI
03-1745-2000
Tata
cara
perencanaan
diamankan
dan
dilakukan.
Instalasi Telepon
(1) Saluran masuk sistem telepon harus memenuhi persyaratan:
(i)
Tempat pemberhentian ujung kabel harus terang, tidak ada genangan air,
(ii)
jalan besar.
(2) Penempatan kabel telepon yang sejajar dengan kabel listrik, minimal berjarak
0,10 m atau sesuai ketentuan yang berlaku.
(3) Ruang PABX/TRO sistem telepon harus memenuhi persyaratan:
(i)
Ruang yang bersih, terang, kedap debu, sirkulasi udaranya cukup dan tidak boleh
kena sinar matahari langsung, serta memenuhi persyaratan untuk tempat
(ii)
peralatan;
Tidak boleh digunakan cat dinding yang mudah mengelupas;
(iii)
Tersedia ruangan untuk petugas sentral dan operator telepon.
(4) Ruang batere sistem telepon harus bersih, terang, mempunyai dinding dan lantai
tahan asam, sirkulasi udara cukup dan udara buangnya harus dibuang ke udara
iii.
terbuka dan tidak ke ruang publik, serta tidak boleh kena sinar matahari langsung.
Instalasi Tata Suara
(1) Setiap bangunan dengan ketinggian 4 lantai atau 14 m keatas, harus dipasang sistem
tata suara yang dapat digunakan untuk menyampaikan pengumuman dan instruksi
apabila terjadi kebakaran atau keadaan darurat lainnya.
(2) Sistem peralatan komunikasi darurat sebagaimana dimaksud pada butir a diatas
harus menggunakan sistem khusus, sehingga apabila sistem tata suara umum rusak,
maka sistem telepon darurat tetap dapat bekerja.
(3) Kabel instalasi komunikasi darurat harus terpisah dari instalasi lainnya, dan
dilindungin terhadap bahaya kebakaran, atau terdiri dari kabel tahan api.
(4) Harus dilengkapi dengan sumber/pasokan daya listrik untuk kondisi normal
maupun pada kondisi daya listrik utama mengalami gangguan, dengan kapasitas dan
dapat melayani dalam waktu yang cukup sesuai ketentuan yang berlaku.
(5) Persyaratan sistem komunikasi dalam gedung harus memenuhi:
(i)
Undang-Undang R.I. Nomor 32 Tahun 1999, tentang Telekomunikasi;
dan
Peraturan Pemerintah Nomor
(ii)
52 Tahun
Indonesia;
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
f. Persyaratan Instalasi Bahan Bakar Gas
i. Jenis bahan bakar gas yang dimaksud meliputi:
(1) Gas Kota.
Gas kota yang dipakai umumnya berupa gas alam (natural gas), yang terdiri dari
kandungan methane (CH4) dan ethane (C2H6). Ketentuan teknis dari gas ini
mengikuti standar yang dileluarkan oleh pemasok gas tersebut.
(2) Gas elpiji
(LPG = Liquefied Petroleum Gasses).Gas elpiji, terdiri dari propane
dan
(C3H8)
butane (C4H10). Ketentuan teknis dari gas ini mengikuti standar yang
regulator)
meter-gas
iii.
mengikuti peraturan yang berlaku dari instansi yang berwenang, atau ketentuan
lainnya sepanjang tidak bertentangan.
(2) Instalasi pemipaan untuk rumah tangga (domestik) dan gedung (komersial)
mengikuti peraturan yang berlaku dari instansi yang berwenang, atau ketentuan
lainnya sepanjang tidak bertentangan.
(3) Bila pasokan dari beberapa tabung silinder digabung ke dalam satu manipol
(manifold atau header), maka harus mengikuti peraturan yang berlaku dari instansi
yang berwenang, atau ketentuan lainnya sepanjang tidak bertentangan. Tabung-tabung
silinder yang digabung harus ditempatkan di luar bangunan. Dalam hal tabungtabung tersebut harus ditempatkan dalam bangunan, maka harus diletakkan di lantai
dasar dan salah satu dinding ruangan gas tersebut merupakan dinding luar dari
bangunan dan dinding lainnya harus memiliki TKA120/120/120.Tabung-tabung
tersebut dapat pula diletakkan di lantai teratas bangunan gedung.
(4) Pada instalasi untuk pembakaran, harus dilengkapi dengan peralatan khusus
untuk mendeteksi kebocoran gas yang secara otomatis mematikan aliran gas, dan
iv.
Setiap bangunan gedung dengan fungsi, klasifikasi, luas, jumlah lantai, dan/atau
dengan jumlah penghuni tertentu harus memiliki unit manajemen pengamanan kebakaran.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
4. Persyaratan Kemampuan Bangunan Gedung Terhadap Bahaya Petir dan Bahaya Kelistrikan
a. Persyaratan Instalasi Proteksi Petir
Persyaratan proteksi petir ini memberikan petunjuk untuk perancangan, instalasi, dan
pemeliharaan instalasi sistem proteksi petir terhadap bangunan gedung secara efektif
untuk proteksi terhadap petir serta inspeksi, dalam upaya untuk mengurangi secara nyata
risiko kerusakan yang disebabkan oleh petir terhadap bangunan
gedung
yang
gedung yang terjamin terhadap aspek keselamatan manusia dari bahaya listrik, keamanan
instalasi listrik beserta perlengkapannya, keamanan gedung serta isinya dari bahaya
kebakaran akibat listrik, dan perlindungan lingkungan.
Persyaratan sistem kelistrikan harus memperhatikan:
i. Perencanaan instalasi listrik;
ii. Jaringan distribusi listrik;
iii.
Beban listrik;
iv. Sumber daya listrik;
v. Transformator distribusi;
vi. Pemeriksaan dan pengujian; dan
vii. Pemeliharaan
Persyaratan sistem kelistrikan harus mengikuti:
(1) SNI 04-0227-1994 Tegangan standar, atau edisi terbaru;
(2) SNI 04-0225-2000 Persyaratan umum instalasi listrik (PUIL2000), atau edisi
terbaru;
(3) SNI 04-7018-2004 Sistem pasokan daya listrik darurat dan siaga, atau edisi
terbaru;
(4) SNI 04-7019-2004 Sistem pasokan daya listrik darurat menggunakan energi
tersimpan, atau edisi terbaru.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya
yang
bangunan
khususnya ruang perawatan, bangunan gedung pendidikan khususnya ruang kelas, dan
bangunan pelayanan umum lainnya harus mempunyai bukaan permanen, kisi-kisi pada
pintu dan jendela dan/atau bukaan permanen yang dapat dibuka untuk kepentingan
iii.
ventilasi alami.
Persyaratan Umum
Jika ventilasi alami tidak mungkin dilaksanakan, maka diperlukan ventilasi mekanis seperti
pada bangunan fasilitas tertentu yang memerlukan perlindungan dari udara luar dan
pencemaran.
Persyaratan teknis sistem ventilasi, kebutuhan ventilasi, harus mengikuti:
(a) SNI 03-6390-2000 Konservasi energi sistem tata udara pada bangunan gedung;
(b) SNI 03-6572-2001 Tata cara perancangan sistem ventilasi dan
pengkondisian udara pada bangunan gedung, atau edisi terbaru;
(c) Standar tentang tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem
ventilasi;
(d) Standar tentang tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem ventilasi
mekanis.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
ii.
Bangunan
gedung
tempat
tinggal,
pelayanan
iii.
iv.
v.
yang
digunakan
untuk
bangunan gedung dengan fungsi tertentu, serta dapat bekerja secara otomatis dan
mempunyai tingkat pencahayaan yang cukup untuk evakuasi yang aman.
Semua sistem pencahayaan buatan, kecuali yang diperlukan untuk pencahayaan
vi.
darurat, harus dilengkapi dengan pengendali manual, dan/atau otomatis, serta ditempatkan
pada tempat yang mudah dicapai/dibaca oleh pengguna ruang.
Pencahayaan alami dan buatan diterapkan pada ruangan baik di dalam bangunan maupun di
vii.
sumber air minum, kualitas air bersih, sistem distribusi, dan penampungannya.
Sumber air minum dapat diperoleh dari sumber air berlangganan dan/atau
sumber air lainnya yang memenuhi persyaratan kesehatan sesuai pedoman dan standar
iii.
iv.
v.
Penampungan
air
minum harus
gedung.
Persyaratan plambing dalam bangunan gedung harus mengikuti:
(1) Kualitas air minum mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang
Pengembangan sistem Air
peralatan yang
dibutuhkan.
(3) Pertimbangan tingkat bahaya air limbah dan/atau air kotor diwujudkan dalam
bentuk sistem pengolahan dan pembuangannya.
(4) Airlimbahyangmengandungbahanberacundan berbahaya tidak boleh digabung
dengan air limbah domestik.
(5) Air limbah yang berisi bahan beracun dan berbahaya(B3) harus diproses sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
(6) Air limbah domestik sebelum dibuang ke saluran terbukaharus diproses sesuai dengan
pedoman dan standar teknis yang berlaku.
Persyaratan teknis air limbah harus mengikuti:
(1) SNI 03-6481-2000 Sistem plambing 2000, atau edisi terbaru;
(2) SNI03-2398-2002Tata cara perencanaan tangki septik dengan sistem resapan,
atau edisi terbaru;
(3) SNI03-6379-2000Spesifikasidanpemasangan perangkap bau, atau edisi terbaru;
(4) Tatacaraperencanaan,pemasangan,dan pemeliharaan sistem pembuangan air
limbah dan air kotor pada bangunan gedung mengikuti standar baku serta
ketentuan teknis yang berlaku
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
b. Persyaratan Instalasi Gas Medik
i. Umum
(1) Persyaratan ini berlaku wajib untuk fasilitas pelayanan kesehatan di rumah sakit,
rumah perawatan, fasilitas hiperbarik, klinik bersalin. dan fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya.
(2) Bila terdapat istilah gas medik atau vakum, ketentuan tersebut berlaku wajib
bagi semua sistem perpipaan untuk
oksigen,
nitrous
oksida,
udara
tekan
sudah
ada
yang
tidak
boleh tetap digunakan sepanjang pihak yang berwenang telah memastikan bahwa
penggunaannya tidak membahayakan jiwa.
(4) Potensi bahaya kebakaran dan ledakan yang berkaitan dengan sistem perpipaan
sentral gas medik dan sistem vakum medik
ii.
harus
dipertimbangkan
dalam
iii.
dimodifikasi.
Pengoperasian sistem pasokan sentral.
(1) Harus dilarang penggunaan adaptor atau fiting konversi untuk menyesuaikan fiting
khusus suatu gas ke fiting gas lainnya.
(2) Hanya silinder gas medik dan perlengkapannya yang boleh disimpan dalam
ruangan tempat sistem pasokan sentral atau silinder gas medik.
(3) Harus dilarang penyimpanan bahan mudah menyala, silinder berisi as mudah
menyala atau yang bertisi cairan mudah menyala, di dalam ruangan bersama
silinder gas medik.
(4) Diperbolehkan pemasangan rak kayu untuk menyimpan silinder gas medik.
(5) Bila silinder terbungkus pada saat diterima, pembungkus tersebut harus dibuang
sebelum disimpan.
(6) Tutup
pelindung
katup
harus
dipasang
fasilitas
harus
ke
penyimpan cairan.
iv. Perancangan dan pelaksanaan.
Lokasi untuk sistem pasokan sentral dan penyimpanan gas-gas medik harus memenuhi
persyaratan berikut:
(1) Dibangun dengan akses ke luar dan masuk lokasi untuk memindahkan silinder,
peralatan, dan sebagainya.
(2) Dijaga keamanannya dengan pintu atau gerbang yang dapat dikunci, atau
diamankan dengan cara lain.
(3) Jika di luar ruangan/bangunan, harus dilindungi dengan dinding atau pagar dari
bahan yang tidak dapat terbakar.
(4) Jika di dalam ruangan/bangunan, harus dibangun dengan menggunakan bahan interior
yang tidak dapat terbakar atau sulit terbakar, sehingga semua dinding, lantai, langitlangit dan pintu sekurang-kurangnya mempunya tingkat ketahanan api 1 jam.
(5) Dilengkapi dengan rak, rantai, atau pengikat lainnya untuk mengamankan masingmasing silinder, baik yang terhubung maupun tidak terhubung, penuh atau kosong,
agar tidak roboh.
(6) Dipasok dengan daya listrik yang memenuhi persyaratan sistem kelistrikan
esensial.
(7) Apabila disediakan rak, lemari, dan penyangga, harus dibuat dari bahan tidak dapat
terbakar atau bahan sulit terbakar.
Persyaratan instalasi gas medik harus mengikuti SNI 03-70112004 Keselamatan
pada bangunan fasilitas pelayanan kesehatan.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya
yang
yang belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
c. Persyaratan Penyaluran Air Hujan
i.
Umum
(1) Sistem penyaluran air hujan harus direncanakan dan dipasang dengan
mempertimbangkan
tanah,
permeabilitas
tanah,
dan
(3) Kecuali untuk daerah tertentu, air hujan harus diresapkan ke dalam tanah pekarangan
dan/atau dialirkan ke sumur resapan sebelum dialirkan ke jaringan drainase
lingkungan/kota sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(4) Pemanfaatan air hujan diperbolehkan dengan mengikuti ketentuan yang berlaku.
(5) Bila belum tersedia jaringan drainase kota ataupun sebab lain yang dapat diterima,
maka penyaluran air hujan harus dilakukan dengan cara lain yang dibenarkan oleh
instansi yang berwenang.
(6) Sistem penyaluran air hujan harus dipelihara untuk mencegah terjadinya endapan
dan penyumbatan pada saluran.
Persyaratan penyaluran air hujan harus mengikuti:
(1) SNI 03-4681-2000 Sistem plambing 2000, atau edisi terbaru;
(2) SNI 03-2453-2002 Tata cara perencanaan sumur resapan air hujan untuk
lahan pekarangan, atau edisi terbaru;
(3) SNI 03-2459-2002 Spesifikasi sumur resapan air hujan untuk lahan pekarangan,
atau edisi terbaru;
(4) Standar tentang tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem
penyaluran air hujan pada bangunan gedung;
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
d. Persyaratan Fasilitasi Sanitasi Dalam Bangunan Gedung (Saluran Pembuangan Air Kotor,
Tempat Sampah, Penampungan Sampah, dan/atau Pengolahan Sampah)
i.
Sistem pembuangan sampah padat direncanakan dan dipasang dengan
ii.
penampungan
kotoran
yang diperhitungkan berdasarkan fungsi bangunan, jumlah penghuni, dan volume kotoran
iii.
dan sampah.
Pertimbangan jenis sampah padat diwujudkan dalam bentuk penempatan pewadahan dan/atau
pengolahannya yang tidak mengganggu kesehatan penghuni, masyarakat dan
iv.
lingkungannya.
Ketentuan pengelolaan sampah padat
(1) Sumber sampah padat permukiman berasal dari: perumahan, toko, ruko, pasar, sekolah,
tempat ibadah, jalan, hotel, rumah makan dan fasilitas umum lainnya.
(2) Setiap bangunan baru dan/atau perluasan bangunan dilengkapi dengan fasilitas
pewadahan yang memadai, sehingga tidak
mengganggu
kesehatan
dan kenyamanan
(3) Bagi
pengembang
perumahan
wajib
dan
pembuangan
akhir
sampah bergabung dengan sistem yang sudah ada.
(4) Potensi reduksi sampah padat dapat dilakukan dengan mendaur ulang, memanfaatkan
kembali beberapa jenis sampahsepertibotolbekas,
kertas,kertaskoran,kardus,aluminium,kaleng,wadah plastic dansebagainya.
(5) Sampah padat kecualisampahBahanBeracundanBerbahaya (B3) yang
darirumah
berasal
pelayanankesehatan
harus dibakar
dengan insinerator yang tidakmengganggu lingkungan.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang
belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
5. Persyaratan Penggunaan Bahan Bangunan Gedung
i.
Bahan bangunan gedung yang digunakan harus aman bagi kesehatan pengguna
ii.
iii.
berbahaya/
beracun
bagi
kesehatan,
efek
silau
dan
pantulan
ii.
yang belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
4. Persyaratan Kenyamanan Pandangan
a. Persyaratan Kenyamanan Pandangan (Visual)
i. Untuk mendapatkan kenyamanan pandangan (visual) harus mempertimbangkan
kenyamanan pandangan dari dalam bangunan ke luar dan dari luar bangunan ke ruangii.
(1) gubahan
massa bangunan,
rancangan
bukaan,
iii.
mempertimbangkan:
(1) rancangan bukaan, tata ruang-dalam dan luar bangunan, dan rancangan bentuk luar
bangunan gedung;
(2) keberadaan bangunan gedung yang ada dan/atau yang akan ada di sekitarnya;
iv.
dan
(3) pencegahan terhadap gangguan silau dan pantulan sinar.
Untuk kenyamanan pandangan (visual) pada bangunan gedung harus dipenuhi
persyaratan teknis, yaitu Standar kenyamanan pandangan (visual) pada bangunan gedung.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
5. Persyaratan Kenyamanan Terhadap Tingkat Getaran danKebisingan
a. Persyaratan Getaran
i. Umum
(1) Persyaratan ini menyangkut paparan manusia terhadap getaran dan kejut dari seluruh
badan pada bangunan gedung berkenaan dengan kenyamanan dan gangguan terhadap
penghuninya.
(2) Respon dasar
manusia
terhadap
getaran
keluhan.
(3) Kenyamanan terhadap getaran adalah suatu keadaan dengan
getaran
yang
tidak
tingkat
seseorang dalam melakukan kegiatannya. Getaran dapat berupa getaran kejut, getaran
mekanik atau seismik baik yang berasal dari dalam bangunan maupun dari luar
bangunan.
ii. Sifat getaran
Respon subyektif juga merupakan fungsi dari sifat getaran. Sifatnya dapat ditentukan
sesuai dengan sifat getaran yang diukur:
(1) Getaran dapat menerus, denan magnituda yang berubah, atau tetap terhadap waktu;
(2) Getaran dapat terputus-putus, dengan magnituda tiap kejadian yang berubah
maupun tetap terhadap waktu.
(3) Getaran dapat bersifat impulsif, seperti dalam kejut.
iii.
Waktu paparan
Waktu paparan pada penghuni yang terpengaruh mungkin juga perlu dievaluasi. Waktu
penghunian bangunan gedung harus dicatat.
iv.
gedung
harus
pada
v.
lainnya baik yang berada pada bangunan gedung maupun di luar bangunan gedung.
Setiap bangunan gedung dan/atau kegiatan yang karena fungsinya menimbulkan
dampak
kebisingan
yang telah ada, harus meminimalkan kebisingan yang ditimbulkan sampai dengan
vi.
Dalam hal
masih
ada
persyaratan lainnya
yang
gedung,
akses
iii.
iv.
v.
koridor
yang
memadai untuk
vi.
vii.
ram,
lif,
tangga
berjalan/travelator.
Jumlah, ukuran, dan konstruksi sarana hubungan vertikal harus berdasarkan fungsi
bangunan gedung, luas bangunan, dan jumlah pengguna ruang, serta keselamatan
iii.
iv.
Bangunan gedung umum yang fungsinya untuk kepentingan publik, baik berupa
fungsi keagamaan, fungsi usaha, maupun fungsi sosial dan budaya harus menyediakan
fasilitas dan kelengkapan sarana hubungan vertikal bagi semua orang, termasuk
v.
vi.
vii.
sederhana, harus
menyediakan sarana evakuasi bagi semua orang termasuk penyandang cacat dan lansia yang
meliputi sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu keluar darurat, dan jalur evakuasi yang
dapat menjamin pengguna bangunan gedung untuk melakukan evakuasi dari dalam
bangunan gedung secara aman apabila terjadi bencana atau keadaan darurat.Pada rumah
tinggal tunggal dan rumah deret sederhana dapat disediakan sistem peringatan bahaya bagi
pengguna, pintu keluar darurat, dan jalur evakuasi bagi semua orang termasuk penyandang
cacat dan lansia.
d. Persyaratan Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat dan Lansia
i.
Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret sederhana,
harus menyediakan fasilitas dan aksesibilitas untuk menjamin terwujudnya kemudahan bagi
penyandang cacat dan lansia masuk dan keluar, ke, dan dari bangunan gedung serta
ii.
beraktivitas dalam bangunan gedung secara mudah, aman, nyaman dan mandiri.
Fasilitas dan aksesibilitas meliputi toilet, tempat parkir, telepon umum, jalur
iii.
pemandu, rambu dan marka, pintu, ram, tangga, dan lif bagi penyandang cacat dan lansia.
Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas disesuaikan dengan fungsi, luas, dan ketinggian
bangunan gedung
3. Persyaratan Kelengkapan Prasarana dan Sarana Pemanfaatan BangunanGedung
a. Guna memberikan kemudahan bagi pengguna bangunan gedung untuk beraktivitas di
dalamnya, setiap bangunan gedung untuk kepentingan umum harus menyediakan kelengkapan
prasarana dan sarana pemanfaatan bangunan gedung, meliputi: ruang ibadah, ruang ganti, ruang
bayi, toilet, tempat parkir, tempat sampah, serta fasilitas komunikasi dan informasi.
b. Penyediaan prasarana dan sarana disesuaikan dengan fungsi dan luas bangunan gedung, serta
jumlah pengguna bangunan gedung
Persyaratan kelengkapan prasarana dan sarana pemanfaatan bangunan gedung harus
mengikuti:
i. SNI 03-1735-2000 Tata cara perencanaan akses bangunan dan akses lingkungan untuk
ii.
iii.
terbaru;
SNI 03-6573-2001 Tata cara perancangan sistem transportasivertikal dalam gedung
(lif), atau edisi terbaru;
2.2.
KAJIAN ASAS/PRINSIP
Dalam perspektif struktur normatifnya, azas mempunyai kedudukan di atas norma, atau nilainilai yang terkandung dalam azas-azas tersebut sudah seharusnya menjadi penuntun dalam penetapan
norma. Dengan kata lain, penetapan norma wajib merujuk pada azas-azas yang telah diterapkan.
Sehubungan dengan itu, maka ruang lingkup, substansi, dan arah peraturan perundang-undangan tidak
dapat dilepaskan dari azas-azas yang melandasinya. Penyusunan rancangan peraturan daerah
tentang bangunan gedung harus juga didasarkan pada azas-azas yang relevan. Relevansi azas-azas yang
hendak diletakkan sebagai dasar tersebut tentunya berkaitan dengan substansi pengaturan yang
berhubungan dengan aktivitas penyelenggaraan bangunan gedung yang bermuara pada keinginan
mewujudkan hak masyarakat atas suatu tempat tinggal yang layak, sehat, dan aman. Jadi persoalannya
adalah, dalam konteks penyelenggaraan bangunan gedung, prinsip- prinsip dasar apa yang harus
diperhatikan dan dijadikan landasan, agar penyelenggaraan bangunan gedung tersebut dapat
mewujudkan hak masyarakat sebagaimana telah disebutkan tadi, sehingga derajat kesejahteraan
masyarakat dapat dicapai secara optimal.
Bangunan gedung yang fungsinya begitu penting sebagai wadah kegiatan manusia, tidak hanya
dimaksudkan bagi terselenggaranya kegiatan tersebut, untuk memenuhi kebutuhan fisik manusia, tetapi
secara mendasar dimaksudkan pula bagi tercapainya nilai-nilai kemanusiaan baik secara individual
maupun kolektif demi pembentukan watak, perwujudan produktivitas, dan jati diri manusia.
Sehubungan dengan itu, pengaturan pembangunan gedung seharusnya memberikan manfaat kepada
setiap individu untuk dapat merasakan kemudahan terselenggaranya aktivitas yang dilakukannya, dan
merasakan dampak keberadaan bangunan gedung bagi pembentukan watak, perwujudan
produktivitas, dan jati dirinya. Uraian ini memberikan penegasan bahwa pengaturan
penyelenggaraan bangunan gedung seharusnya didasarkan pada azas manfaat.
Berdasarkan pasal 2 Undang-Undang Bangunan Gedung, dijelaskan bahwa Azas
Penyelenggaraan Bangunan Gedung adalah: kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, serta
keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya. Bangunan gedung sebagai tempat manusia
melakukan kegiatannya, mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak,
perwujudan produktivitas, dan jati diri manusia. Oleh karena itu, penyelenggaraan bangunan gedung
perlu diatur dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta penghidupan masyarakat,
sekaligus untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, andal, berjati diri, serta seimbang,
serasi, dan selaras dengan lingkungannya. Bangunan gedung merupakan salah satu wujud fisik
pemanfaatan ruang. Oleh karena itu dalam pengaturan bangunan gedung tetap mengacu pada
pengaturan penataan ruang sesuai peraturan daerah tentang penataan ruang dan peraturan
perundang- undangan lain yang berlaku.
Keseluruhan maksud dan tujuan serta substansi pengaturan tersebut dilandasi oleh azas
kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya,
bagi kepentingan masyarakat yang berperikemanusiaan dan berkeadilan. Pengaturan dalam Peraturan
Daerah ini juga ditujukan sebagai alat pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang terutama
perkembangan fisik di seluruh wilayah kabupaten agar senantiasa selaras dengan pemanfaatan ruang
yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang yang ditujukan untuk mewujudkan ruang yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Penjelasan masing-masing azas dalam penyelenggaraan
bangunan gedung diuraikan dalam UU bangunan gedung dengan petikan sebagai berikut:
1) Azas kemanfaatan
Azas kemanfaatan dipergunakan sebagai landasan agar bangunan gedung dapat diwujudkan dan
diselenggarakan sesuai fungsi yang ditetapkan, serta sebagai wadah kegiatan manusia yang
memenuhi nilai-nilai kemanusiaan yang berkeadilan, termasuk aspek kepatutan dan kepantasan.
2) Azas Keselamatan
Azas keselamatan dipergunakan sebagai landasan agar bangunan gedung memenuhi persyaratan
bangunan gedung, yaitu persyaratan keandalan teknis untuk menjamin keselamatan pemilik dan
pengguna bangunan gedung, serta masyarakat dan lingkungan di sekitarnya, di samping
persyaratan yang bersifat administratif.
3) Azas Keseimbangan
Azas keseimbangan dipergunakan sebagai landasan agar keberadaan bangunan gedung berkelanjutan
tidak mengganggu keseimbangan ekosistem dan lingkungan di sekitar bangunan gedung.
4) Azas Keserasian
Azas keserasian dipergunakan sebagai landasan agar penyelenggaraan bangunan gedung dapat
mewujudkan keserasian dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungan di sekitarnya.
2.3.
PERMASALAHAN
Praktek penyelenggaraan Bangunan Gedung di Kabupaten Muna Barat tergambar sebagai berikut :
Kegiatan pembangunan dalam konteks bangunan rumah kayu atau rumah panggung yang
merupakan salah satu ciri khas rumah lokal Sulawesi Tenggara para pekerja ahli kontruksi kayu
telah menguasai struktur utama dan pelengkap bangunan rumah kayu yang akan dibuat, dengan
desain atau rancangan yang digunakan hampir prototipe dengan bangunan yang telah mereka buat
sebelumnya. Untuk bangunan semi permanen dan permanen kegiatan pembangunan telah diawali
dengan perencanaan teknis untuk memenuhi persyaratan administrasi perijinan pembangunan atau
renovasi rumah. Setelah terbit ijin bangunan, langsung masuk pada tahap pelaksanaan konstruksi,
dengan pengawasan dilakukan oleh pemilik bangunan dan dinas terkait yang membidangi masalah
bangunan.
Untuk kegiatan perawatan yang merombak baik menambah atau merubah bentuk aslinya,
membutuhkan pelaporan dan ijin dari dinas yang tata ruang kabupaten Muna Barat. Untuk
kegiatan pemeriksaan secara berkala baik bangunan gedung milik pribadi ataupun bangunan
gedung milik negara masih jarang di lakukan di Sulawesi Tenggara ataupun di wilayah Kabupaten
Muna Barat, pemeriksaan yang dilakukan sifatnya insidentil atau setelah ada kejadian luar biasa
seperti tanah longsor atau banjir. Untuk bangunan-bangunan yang memiliki fungsi khusus dan vital
sifatnya, pemeriksaan dan kontrol fungsi dan kondisinya dilakukan secara rutin oleh instansi atau
badan pengelolanya. Bagian kegiatan pemanfaatan bangunan gedung lainnya adalah pengawasan
pemanfaatan. Pengawasan terhadap pemfaatan bangunan gedung pasca pembangunan sangat
penting untuk penyesuaian antara izin pembangunan dengan penggunaan bangunan, kondisi yang
berkembang saat ini baik di Sulawesi Tengah secara makro ataupun di wilayah Muna Barat
pemanfaatan bangunan masih sering bercampur baik sebagai hunian ataupun tempat usaha, hal
baik dengan menggunakan jasa perusahaan yang bergerak dibidang penghapusan bangunan,
umumnya tidak melalui prosedur seperti yang diatur oleh UUBG ataupun PP yang menjadi
pedoman pelaksanaannya, seperti di wilayah Kabupaten Muna Barat, pembongkaran bangunan
milik pribadi hanya melakukan koordinasi dengan pihak tetangga yang kemungkinan
merasakan dampak dari kegiatan pembongkaran, begitupula bangunan negara yang akan diputihkan
terkadang tidak ada perhitungan nilai bangunan ataupun lelang pembongkaran yang dilakukan
secara transparan. Terbatasnya kapasitas kapasitas aparat yang mengatur peyelenggaran
bangunan di tingkat Kabupaten Muna Barat serta belum adanya penetapan atau belum
berfungsinya secara maksimal Tenaga Ahli Bangunan Gedung (TABG) di masing Kabupaten Muna
Barat, sehingga kegiatan pembongkaran bangunan gedung belum tertangani secara baik.
Permasalahan secara umum bidang Bangunan Gedung di Kabupaten Muna Barat yang ada pada saat ini
adalah sebagai berikut:
a. Sistem Penyelenggaraan Bangunan Gedung, Secara umum sistem penyelenggaraan di
bidang Bangunan Gedung masih belum mantap baik di tingkat pusat, wilayah, maupun lokal,
ditinjau dari segi sumber daya manusia, organisasi, tata laksana, dan dukungan prasarana serta
sarananya.
b. Akses Terhadap Tanah, belum mantapnya pelayanan dan akses terhadap hak atas tanah untuk
perumahan, khususnya bagi kelompok masyarakat miskin dan berpendapatan rendah (MBR).
Kapasitas pemerintah daerah juga masih relatif terbatas untuk dapat melaksanakan secara efektif
penyelenggaraan administrasi pertanahan yang memadai, yang dapat menjamin kecukupan
persediaan lahan, yang dapat mengembangkan pasar lahan secara efisien dan pemanfaatan lahan
yang berkelanjutan, yang dapat mengurangi hambatan hukum dan sosial terhadap akses yang adil
dan seimbang kepada lahan, terutama bagi penduduk yang difabel, perempuan, dan
kelompok yang rentan, dan yang mampu memfasilitasi akses kepada lahan dan keamanan
status kepemilikan bagi seluruh kelompok masyarakat.
c. Pasar Perumahan, belum efisiennya pasar perumahan, seperti ditunjukkan melalui kondisi dan
proses perijinan pembangunan perumahan dan sertifikasi hak atas tanah yang masih
memprihatinkan, relatif mahal dan kurang transparan, belum adanya standarisasi dokumen KPR,
seleksi nasabah, penilaian kredit, dan dokumen terkait lainnya; dan proses sita jaminan yang masih
berlarut-larut. Kondisi ini ikut mempengaruhi ketidakpastian pasar perumahan, serta sistem dan
mekanisme pembiayaan perumahan. Untuk lebih menjamin pasar perumahan yang efisien, perlu
dihindari intervensi yang mengganggu penyediaan dan menyebabkan distorsi permintaan akan
perumahan, dan membuat instrumen yang fleksibel untuk regulasi perumahan, termasuk pasar sewa
perumahan dengan mengingat kebutuhan khusus dari kelompok masyarakat yang rentan.
d. Kemampuan Ekonomi Warga MBR, ketidakmampuan masyarakat miskin dan berpenghasilan
rendah untuk mendapatkan rumah yang layak dan terjangkau serta memenuhi standar lingkungan
permukiman yang responsif (sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan). Hal ini disebabkan karena
terbatasnya akses terhadap sumber daya kunci termasuk informasi, terutama yang berkaitan dengan
pertanahan dan pembiayaan perumahan.
e. Pembiayaan Pengadaan Perumahan, belum tersedianya dana jangka panjang bagi pembiayaan
perumahan yang menyebabkan terjadinya mismatch pendanaan dalam pengadaan perumahan. Di
samping itu, sistem dan mekanisme subsidi perumahan bagi kelompok masyarakat miskin dan
berpengahasilan rendah masih perlu dimantapkan, baik melalui mekanisme pasar formal
maupun melalui mekanisme perumahan yang bertumpu pada keswadayaan masyarakat. Mobilisasi
sumber- sumber pembiayaan perumahan masih harus diefektifkan dengan mengintegrasikan
pembiayaan perumahan ke dalam sistem pembiayaan yang lebih luas dan memanfaatkan instrumen
yang ada sekarang atau mengembangkan instrumen baru untuk lebih memperhatikan kebutuhan
pembiayaan bagi penduduk yang mempunyai keterbatasan akses kepada kredit.
f. Prasarana Permukiman, sebagian besar kualitas Bangunan Gedung masih terbatas dan belum
memenuhi standar pelayanan yang memadai sesuai skala kawasan yang ditetapkan, baik sebagai
kawasan perumahan maupun sebagai kawasan permukiman yang berkelanjutan. Masih
terdapat banyak kawasan yang tidak dilengkapi dengan berbagai prasarana dan sarana pendukung,
seperti terbatasnya ruang terbuka hijau, lapangan olah raga, tempat usaha dan perdagangan secara
terbatas, fasilitas sosial dan fasilitas umum, disamping masih adanya keterbatasan di bidang
prasarana dasar Bangunan Gedung, seperti air bersih, sanitasi dan pengelolaan limbah.
g. Kondisi Fisik Lingkungan, terdapat kecenderungan yang kurang positif bahwa sebagian kawasan
perumah an dan permukiman telah mulai bergeser menjadi lebih tidak teratur, kurang berjati diri,
dan kurang memperhatikan nilai-nilai kontekstual sesuai sosial budaya setempat serta nilai-nilai
arsitektural yang baik dan benar. Selain itu, kawasan yang baru dibangun juga tidak secara
berlanjut dijaga penataannya sehingga secara potensial dapat menjadi kawasan kumuh yang baru.
Bangunan Gedung yang spesifik, unik, tradisional, dan bersejarah juga semakin rawan
keberlanjutannya, padahal merupakan asset budaya bangsa yang perlu dijaga kelestariannya.
2.4.
YAN
G
BERSIFAT ATRIBUSI
3.1.1. PASAL 18 AYAT (6) UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIKINDONESIA
Peraturan Daerah (Perda) merupakan sarana legislasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Dalam sistem ketatanegaraan RI, pemerintahan daerah merupakan bentuk
negara (de staatsvorm). Pemerintahan Daerah menurut konstitusi, diadakan dalam kaitan
desentralisasi. Desentralisasi merupakan bagian bentuk Negara (de staatsvorm RI). Pasal 1 ayat (1)
UUD 1945 berbunyi: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.
Negara Kesatuan (eenheidsstaat) menurut UUD 1945 adalah desentralisasi, bukan sentralisasi.
Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undangundang. Menurut Pasal 18 ayat (5) UUD1945, Pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah Pusat. Dapat disimpulkan, bentuk negara Indonesia adalah Negara kesatuan
berbentuk republik, yang dijalankan berdasarkan desentralisasi (Pemerintahan Daerah), dengan
otonomi yang seluasluasnya.
Bentuk negara (de staatvorm), mengamati negara dari luar (outward looking). Negara
dilihat dalam wujud yang utuh. Der Staats als Ganzheit, kata Djokosutono (1960:15).Manakala
negara RI diamati secara outward looking, dari sudut pandang bentuk negara, maka negara terdiri
dari dua lapisan, membujur secara horizontal. Lapisan atas adalah Pemerintah Pusat di bawah
Presiden RI sedangkan pada lapisan bawah, terdapat Pemerintahan Daerah, terdiri atas daerahdaerah otonom yang tersebar sepanjang wilayah nusantara.
Lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, seperti halnya MPR, DPR, BPK, MA, MK tidak
nampak, baharu terjelma manakala lembaga-lembaga negara itu diamati dari sudut pandang bentuk
pemerintahan (regeringsvorm, regirungsvorm, the form of government). Pendekatan dari sudut
pandang bentuk pemerintahan, mengamati negara dari dalam (inward looking), menyidiki status,
kewenanganserta hubungan antara suatu alat perlengkapan negara dengan alat perlengkapan negara
lainnya. Kedudukan otonomi daerah amat penting dalam penyelenggaraan pemerintahandaerah
(desentralisasi).
3.1.2. UU NO. 32 TAHUN 2004 PEMERINTAHAN DAERAH
Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Pasal 43 (2) Pemerintah
Daerah melaksanakan pembinaan penyelenggaraan bangunan gedung di daerah.
Kabupaten Muna Barat sebagai daerah otonomi yang memiliki pemerintahan tersendiri di level
pemerintahan daerah, memiliki kewajiban dan kewenangan mengatur penyelenggaraan
bangunan gedung di daerahnya, melalui instrumen pengaturan penyelenggaraan bangunan gedung
melalui perda atau peraturan bupati.
Terkait dengan Kewenangan daerah Kabupaten Morowali Utara dalam urusan
Pemerintahan yang berhubungan dengan bangunan gedung. Disain otonomi sebagaimana diformat
dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kewenangan otonomi
kepada daerah secara luas, nyata, dan bertanggungjawab. Pasal 10 undang-undang tersebut
menegaskan bahwa Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya. Terhadap urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, menurut Pasal
14 dibagi ke dalam urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan urusan pemerintahan yang bersifat
pilihan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota
merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:
Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
Penyediaan sarana dan prasarana umum;
Penanganan bidang kesehatan;
Penyelenggaraan pendidikan;
Penanggulangan masalah sosial;
Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
Pengendalian lingkungan hidup;
Pelayanan pertanahan;
jenis-jenis kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah kabupaten/Kota, yaitu sebagai berikut:
Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota, mengenai bangunan gedung dan lingkungan
lingkungannya.
Pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan.
Penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan dengan berbasis pemberdayaan masyarakat.
Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset
pemerintah kabupaten/kota.
Penetapan status bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang
berskala lokal.
Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan, pedoman dan standar
gedung.
Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi
KabupatenMorowali Utara)
7. Makassar dibagi menjadi 2 Daerah Tingkat II;
8. Jeneponto-Takalar dibagi menjadi daerah Tingkat II;
9. Bonthain dibagi menjadi 4 Daerah Tingkat II.
Isi rumah-tangga. Mengenai isi rumah-tangga dan kewajiban Daerah diambil sebagai
dasar ialah isi rumah-tangga dan kewajiban-kewajiban yang dimiliki oleh Daerah-daerah lama.
Dalam menentukan isi rumah-tangga Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi ini diambil sebagai
prinsip, bahwa hak-hak otonomi yang dimiliki oleh Daerah-daerah lama yang ada di Sulawesi
itu pada waktu mulai berlakunya Undangundang pembentukan ini, kecuali mengenai urusanurusan yang mempunyai sifat nasional atau kepentingan-kepentingan yang lebih tinggi
sifatnya dari pada sesuatu kepentingan daerah saja, sedapat mungkin tidak dikurangi.
Selanjutnya dalam Undang-undang ini diadakan ketentuan untuk memberikan
penegasan tentang hak-hak otonomi bekas daerah swapraja yang dibentuk sebagai daerah
tingkat II dan dari bekas Daerah-daerah Swapraja dan Swapraja tidak sejati yang termasuk
dalam wilayah daerah Tingkat II yang bersangkutan. Untuk menjelaskan urusan-urusan yang
termasuk rumah-tangga Daerah maka urusan-urusan tersebut dapat dirumuskan dalam
Peraturan Pemerintah. Penentuan isi rumah-tangga dimaksud di atas tidak mengurangi
Fungsi Bangunan : Dalam pasal 5 Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian,
keagamaan, usaha, sosial dan budaya, serta fungsi khusus. Dan dalam pasal 6 fungsi
bangunan gedung diatur sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Peraturan
Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah dan dicantumkan dalam izin mendirikan bangunan, dari pasal tersebut
Undang-undang Bangunan gedung memiliki keterkaitan dan relevansi dengan UndangUndang N0. 26 tahun 2007Tentang Penataan Ruang yang dijabarkan kedalam Rencana
Tata WilayahKabupaten/Kota.
Persyaratan Bangunan : Dalam Pasal 7 Undang-undang Bangunan Gedung Setiap
bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis
sesuai dengan fungsi bangunan gedung. Persyaratan administrasi yang dimaksud meliputi
persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin
mendirikan bangunan. Sedang persyaratan Persyaratan teknis bangunan gedung dalam pasal
7 ayat (1) dalam UUBG meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan
bangunan gedung.
Penyelenggaraan; Penyelenggaraan
bangunan
gedung
meliputi kegiatan
pemanfaatan bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya yang dilakukan menyalahi
ketentuan fungsi dan/atau karakter cagar budaya, harus dikembalikan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pembongkaran bangunan gedung
Kewenangan pembongkaran bangunan gedung diberikan oleh UUBG kepada Pemerintah
Daerah, setelah melalui pengkajian teknis bangunan. Pembongkaran Bangunan gedung
dapat dibongkar apabila: Tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki; Dapat
menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan bangunan gedung dan/atau lingkungannya;
Tidak memiliki izin mendirikan bangunan.
Pembongkaran bangunan gedung yang mempunyai dampak luas terhadap keselamatan
umum dan lingkungan harus dilaksanakan berdasarkan rencana teknis pembongkaran
yang telah disetujui oleh Pemerintah Daerah.
Peran Masyarakat; Masyarakat diupayakan untuk terlibat dan berperan secara aktif
bukan hanya dalam rangka pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung untuk
kepentingan mereka sendiri, tetapi juga dalam meningkatkan pemenuhan persyaratan
bangunan gedung dan tertib penyelenggaraan bangunan gedung pada umumnya. Peran
masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dapat dilakukan melalui :
Memantau dan menjaga ketertiban penyelenggaraan;
Memberi masukan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam
Pengaturan fungsi bangunan gedung dalam Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan agar
bangunan gedung yang didirikan dari awal telah ditetapkan fungsinya sehingga masyarakat
yang akan mendirikan bangunan gedung dapat memenuhi persyaratan baik administratif
maupun teknis bangunan gedungnya dengan efektif dan efisien, sehingga apabila
bermaksud mengubah fungsi yang ditetapkan harus diikuti dengan perubahan persyaratan
administratif dan persyaratan teknisnya. Di samping itu, agar pemenuhan persyaratan teknis
setiap fungsi bangunan gedung lebif efektif dan efisien, fungsi bangunan gedung tersebut
diklasifikasikan berdasarkan tingkat kompleksitas, tingkat permanensi, tingkat risiko
kebakaran, zonasi gempa, lokasi, ketinggian, dan/atau kepemilikan.
Pengaturan persyaratan administratif bangunan gedung dalam Peraturan Pemerintah ini
dimaksudkan agar masyarakat mengetahui lebih rinci persyaratan administratif yang
diperlukan untuk mendirikan bangunan gedung, baik dari segi kejelasan status tanahnya,
kejelasan status kepemilikan bangunan gedungnya, maupun kepastian hukum bahwa
bangunan gedung yang didirikan telah memperoleh persetujuan dari pemerintah daerah dalam
bentuk izin mendirikan bangunan gedung. Pengaturan persyaratan teknis dalam Peraturan
Pemerintah ini mengatur lebih lanjut persyaratan teknis tata bangunan dan keandalan
bangunan gedung, agar masyarakat dalam mendirikan bangunan gedung mengetahui
secara jelas persyaratan-persyaratan teknis yang harus dipenuhi sehingga bangunan
gedungnya dapat menjamin keselamatan pengguna dan lingkungannya, dapat ditempati secara
aman, sehat, nyaman, dan aksesibel, sehinggga secara keseluruhan dapat memberikan jaminan
terwujudnya bangunan gedung yang fungsional, layak huni, berjati diri, dan produktif, serta
serasi dan selaras dengan lingkungannya.
Dengan dipenuhinya persyaratan teknis bangunan gedung sesuai fungsi dan
klasifikasinya, maka diharapkan kegagalan konstruksi maupun kegagalan bangunan gedung
dapat dihindari, sehingga pengguna bangunan dapat hidup lebih tenang dan sehat, rohaniah
dan jasmaniah yang akhirnya dapat lebih baik dalam berkeluarga, bekerja, bermasyarakat dan
bernegara. Pengaturan
bangunan
gedung
dilandasi oleh
asas
kemanfaatan,
sendiri, tetapi juga dalam meningkatkan pemenuhan persyaratan bangunan gedung dan
tertib penyelenggaraan bangunan gedung pada umumnya.
Pelaksanaan peran masyarakat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini juga
tetapmengacu pada peraturan perundang-undangan tentang organisasi kemasyarakatan,
sedangkan pelaksanaan gugatan perwakilan yang merupakan salah satu bentuk peran
masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung juga mengacu pada peraturan perundangundangan yang terkait dengan gugatan perwakilan. Pengaturan peran masyarakat
dimaksudkan untuk mendorong tercapainya tujuan penyelenggaraan bangunan gedung yang
tertib, fungsional, andal, dapat menjamin keselamatan, kesehatan, kenyamanan, kemudahan
bagi pengguna dan masyarakat di sekitarnya, serta serasi dan selaras dengan lingkungannya.
Pengaturan penyelenggaraan pembinaan dimaksudkan sebagai ketentuan dasar
pelaksanaan bagi Pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan embinaan
penyelenggaraan bangunan gedung dengan berlandaskan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang
baik. Pembinaan dilakukan untuk pemilik bangunan gedung, pengguna bangunan gedung,
penyedia jasa konstruksi, maupun masyarakat yang berkepentingan dengan tujuan untuk
mewujudkan tertib penyelenggaraan dan keandalan bangunan gedung yang memenuhi
persyaratan administratif dan teknis, serta yang dilaksanakan dengan penguatankapasitas
penyelenggara bangunan gedung.
3.3.
Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 Perubahan Pertama UUD1945
Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 Perubahan Kedua UUD1945
Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 Perubahan Ketiga UUD1945
Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 Perubahan Keempat UUD1945
Namun pada tahun 2011, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Tap
MPRkembali menjadi Peraturan Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (atau disingkat Perpu) adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi
muatan Undang-Undang.
Perpu ditandatangani oleh Presiden. Setelah diundangkan, Perpu harus diajukan ke DPR
dalam persidangan yang berikut, dalam bentuk pengajuan RUU tentang Penetapan Perpu Menjadi
Undang-Undang. Pembahasan RUU tentang penetapan Perpu menjadi Undang- Undang
dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan RUU. DPR hanya dapat
menerima atau menolak Perpu.Jika Perpu ditolak DPR, maka Perpu tersebut tidak berlaku, dan
Presiden mengajukan RUU tentang Pencabutan Perpu tersebut, yang dapat pula mengatur segala
akibat dari penolakan tersebut.
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang ditetapkan
oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan
Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Peraturan
Pemerintah ditandatangani oleh Presiden.
Peraturan Presiden
Peraturan Presiden disingkat Perpres adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat
oleh Presiden. Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh UndangUndang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Perpres merupakan jenis Peraturan Perundangundangan yang baru di Indonesia, yakni sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004.
Peraturan Daerah Provinsi
Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Kepala Daerah
(gubernur).Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi berisi materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah
dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/kota tersebut. dibentuk oleh
DPRD Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota tidaksubordinatterhadap
Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan
tugas pembantuan serta menampung kondisi khususdaerah dan/atau penjabaran lebih lanjut
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
3.3.2. PERMENDAGRI 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKANPRODUK HUKUM
DAERAH
Dalam rangka tertib administrasi pembentukan produk hukum daerah perlu dilakukan
penyeragaman prosedur penyusunan produk hukum daerah secara terencana, terpadu dan
terkoordinasi sehingga dibuatlah peraturan menteri dalam negeri yang mengatur tatanan tentang
produk hukum daerah termasuk muatan teknis peraturan daerah.
Perda merupakan produk legislasi pemerintahan daerah, yakni Kepala Daerah dan DPRD.
Sesuai Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Perda merupakan hak legislasi konstitusional Pemda dan
DPRD.Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/ Walikota (Pasal 140 ayat
(1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Rancangan Perda harus mendapat
persetujuan bersama DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Tanpa persetujuan bersama,
rancangan Perda tidak dibahas lebih lanjut.
Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau
Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk
ditetapkan sebagaiPerda. Penyampaian rancangan Perda dilakukan dalam jangka waktu paling lama
7 hari, terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Rancangan Perda ditetapkan oleh Gubernur
atau Bupati/Walikota paling lama 30 hari sejak rancangan tersebut disetujui bersama (Pasal144 ayat
(1), (2) dan (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
Dalam hal rancangan Perda tidak ditetapkan Gubernur atau Bupati/Walikota dalam waktu
paling lama 30 hari maka rancangan Perda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan
dengan memuatnya dalam Lembaran Daerah. Dalam hal keabsahan rancangan Perda
No.
1.
2.
Peraturan Menteri
Pedoman Persyaratan teknis Bangunan Gedung
Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada
Nomor
29/PRT/M/2006
30/PRT/M/2006
3.
Bangunan Gedung
Pedoman Teknis Rumah Susun Sederhana
05/PRT/M/2007
4.
Bertingkat Tinggi
Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan Dan
06/PRT/M/2007
5.
Lingkungan
Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi Rumah
19/PRT/M/2007
6.
24/PRT/M/2007
7.
Gedung
Pedoman Sertifikat Laik Fungsi Bangunan
25/PRT/M/2007
8.
9.
Gedung
Pedoman Tim Ahli Bangunan Gedung
Pedoman Teknis Pengadaan, Pendaftaran,
26/PRT/M/2007
22/PRT/M/2008
Negara
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Tentang
24/PRT/M/2008
11.
Pedoman Pemeliharaan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Tentang
25/PRT/M/2008
12.
Pedoman Teknis
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Tentang
26/PRT/M/2008
Lingkungan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Tentang
20/PRT/M/2009
Kebakaran Di Perkotaan
Pedoman Teknis Pemeriksan Berkala Bangunan
16/PRT/M/2010
15.
16.
Gedung
Pedoman Teknis Pendataan Bangunan Gedung
Pedoman Revitalisasi Kawasan
17/PRT/M/2010
18/PRT/M/2010
LANDASAN FILOSOFIS
Penyusunan Rancangan Perda Bangunan Gedung Kabupaten Muna Barat bila dilihat dari aspek
filosofis merupakan alat untuk mengendalikan penyelenggaraan bangunan gedung diwilayah
Kabupaten Muna Barat. Melalui Ranperda Bangunan Gedung Kabupaten Muna Barat dilakukan
pengaturan dan pengendalian penyelenggaraan bangunan gedung sehigga dapat diwujudkan tertib
penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin keandalan teknis bangunan gedung dari segi
keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan; dan mewujudkan kepastian hukum dalam
penyelenggaraan bangunan gedung.
Berdasarkan uraian tentang pencapaian dan tantangan yang masih dihadapi dalam
penyelenggaraan Bangunan Gedung serta peraturan perundang-undangan terkait, dapat ditarik
kesimpulan bahwa saat ini terdapat kebutuhan yang mendesak akan peraturan daerah tentang bangunan
gedung di Kabupaten Muna Barat yang mampu meningkatkan pencapaian yang bernilai positif
sekaligus mampu menjawab berbagai tantangan yang ada dalam penyelenggaraan bangunan gedung.
Kebutuhan yang mendesak ini diharapkan dapat dipenuhi melalui penyusunan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Bangunan Gedung Kabupaten Muna Barat.
Penyelenggaraan Bangunan Gedung sangat terkait dengan upaya penataan bangunan gedung
dalam rangka perbaikan dan peningkatan kualitas lingkiungan hunian masyarakat dan kualitas
lingkungan hidup. Dengan demikian rancangan peraturan daerah tentang Bangunan Gedung di
Kabupaten Muna Barat ini harus memenuhi asas efektifitas dalam penerapannya agar dapat secara
efektif mendorong terwujudnya ruang kehidupan yang nyaman, produktif dan berkelanjutan yang pada
gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk meningkatkan efektifitas dalam
Rancangan Perda Kabupaten Muna Barat ini dipandang semakin mendesak sejalan peningkatan
berbagai permasalahan yang dihadapi.
Apabila Ranperda Bangunan Gedung di Kabupaten Muna Barat tidak dapat mengatasi
berbagai permasalahan yang terkait dengan penurunan kualitas lingkungan hunian, bangunan
perumahan dan gedung lainnya, kelembagaan, inkonsistensi dalam penerapan perijinan yang tekah ada,
maupun permasalahan yang terkait dengan upaya penegakan hukum, kualitas lingkungan hunian
dikhawatirkan akan semakin menurun dan semakin menjauh dari cita-cita terwujudnya ruang yang
nyaman, produktif dan berkelanjutan. Hal ini dipandang akan menghambat upaya pencapaian
masyarakat yang sejahtera, yang merupakan tujuan besar daripembangunan nasional.
4.2.
LANDASAN SOSIOLOGIS
Secara faktual setiap warga masyarakat yang beradab mengharapkan adanya suasana
lingkungan yang dinamis, aman, dan nyaman dalam berbagai tata kehidupannya, di sisi lain suasana
kehidupan yang semakin kompleks sejalan dengan dinamika masyarakat itu sendiri yang semakin
berkembang dalam berbagai tata kehidupannya, tentu diperlukan keselarasan, harmonisasi agar tidak
menimbulkan dampak yang saling bertentangan atau kontraproduktif. Kehidupan masyarakat dalam
berbagai bentuk kegiatan atau pencaharian dan kepentingan semakin dirasakan kompleksitasnya
apalagi pada lingkungan kehidupan yang padat atau perkotaan, tentu faktor bagaimana menemukan
peluang yang kompetitif semakin terasa di sisi lain faktor fungsi pelayanan umum serta pengendalian
dan pengawasan atas kewenangan Pemerintah Daerah sering kali belum efektif. Sehingga tidak sedikit
persoalan atau masalah yang timbul di lingkungan masyarakat seharusnya tidak terjadi, bila hal ini dari
awal diatur dan dikelndalikan secara matang dan terkoordinasi dengan baik oleh pemerintah daerah
melalui instansi terkait dan peran serta masyarakat dan pihak berkompoten lainnya.
Berbagai implikasi positif berkenaan esensi penyelenggaraan bangunan gedung dan bila hal ini
telah menjadi komitmen bersama untuk menyikapi dan menaati secara konsekuen, maka berbagai
masalah yang sering kali terjadi seperti kebakaran, bencana banjir, ketidaknyamanan lingkungan
hunian, pemanasan global, pencemaran, pemanfaatan lain atas lahan resapan air, pembuangan sampah
di saluran air, dan berbagai dampak lainnya seperti itu seharusnya tidak terjadi lagi, atau dapat
dieliminir secara bertahap. Disinilah peranan faktor sosial budaya dibutuhkan mengilhami secara
positif terhadap berbagai aktivitas kehidupan masyarakat yang lebih berkualitas sejalan dengan esensi
reformasi untuk membangun demokrasi, hak asasi manusia, pemerataan dan keadilan itu sendiri.
Dalam kaitan itu bahwa dari berbagai realitas yang perlu disikapi secara terencana dan
kelembagaan, maka sejalan dengan perlunya diperjelas ketentuan yang akan diatur sebagai substansi
dari Ranperda Bangunan Gedung Kabupaten Muna Barat, dilakukan berdasarkan pertimbangan antara
lain:
a) Faktor Internal
1) Eksistensi kawasan lindung yang mengacu kepada Keputusan Presiden RI No. 32
Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung dimana potensi-potensi yang terdapat
dalam kawasan tersebut dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat
dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup;
2) Kegiatan-kegiatan utama dengan tingkat kebutuhan ruangnya antara lain kegiatan pariwisata;
kegiatan penangkapan ikan, pelabuhan, dan industri perikanan; kegiatan perkotaan dengan
aktivitas perdagangan dan jasa; kegiatan permukiman dan perumahan; kegiatan budidaya
(pertanian, perkebunan); kegiatan industri; kegiatan transportasi (jalan, pelabuhan laut, bandara
udara);
3) Eksistensi
beberapa
kawasan
andalan
dan
kawasan
strategis
seperti pengembangan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, maka jangka
waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Muna Barat seharusnya dalam kurun waktu
rencana selama 20 tahun;Penetapan fungsi baru dari rencana tata ruang yang statusnya lebih tinggi,
antara lain; Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP), dan RTRWN dan atau adanya
ketentuan baru termasuk Undang-undang penataan ruang yang harus menjadi rujukan dalam
proses perencanaan; dan
Dalam rangka mendukung pelaksanaan Rencana Tata Ruang Pulau Sulawesi yang akan
diatur dengan Peraturan Presiden yang tertuang dalam RTRW Propinsi Sulawesi Tenggara.
4.3.
LANDASAN YURIDIS
Implikasi dari reformasi dalam bernegara dan berbangsa pada kurun waktu satu dasawarsa
terakhir berpengaruh prinsip pada tata penyelenggaraan pemerintahan, baik menyangkut proses dan
bentuk kebijakan regulasi yang harus responsif dan berkeadilan serta keterbukaan akses peran
partisipasi aktif dari stake holder/pihak berkepentingan. Penyelenggaraan bangunan gedung cenderung
tidak terkendali dengan baik, khususnya diwilayah kawasan perkotaan seperti di Pasarwajo, terjadi
pembangunan bangunan gedung yang dilakukan secara ilegal atau tanpa izin atau dalam bentuk
pelanggaran izin, disisi lain juga kegiatan penertiban yang dilakukan oleh dinas terkait, tidak
berhasil memberi efek jera pada masyarakat yang melakukan pelanggaraan dalam penyelenggaraan
bangunan gedung.
Hal ini menandakan bahwa koordinasi dan instrumen perizinan tidak optimal
kabupaten/kota baik di provinsi Sulawesi Tenggara atau secara umum, maka pengaturan
penyelenggaraan bangunan gedung harus didasarkan pada pendekatan sistem termasuk dalam
memaknai esensi dari sistem hukum itu yang terdiri dari 3 (tiga) sub sistem sebagai berikut:
a) Struktur hukum, yaitu berkenaan dengan aspek kelembagaan penegakan hukum(termasuk peraturan
daerah);
b) Subtansi hukum, yaitu berkenaan dengan aspek materi hukum yang dimuat dalam suatu peraturan
(termasuk peraturan daerah); dan
c) Budaya hukum, yaitu bagaimana kondisi adat budaya masyarakat setempat berpengaruh pada
tatanan penegakan hukum.
PROGRAM KERJA
a) Tahapan Persiapan, yang terdiri dari kegiatan:
Pembentukan Tim Ad Hoc
Penyusunan Metodologi & Rencana Kerja
Penyusunan Ruang Lingkup Pengaturan RANPERDA
Penyusunan & Pembahasan Laporan Pendahuluan
b) Tahapan Survei, yang terdiri dari kegiatan:Pengumpulan Data dan Informasi
c) Tahapan Penyusunan Naskah Akademik, yang terdiri dari kegiatan:
Penyusunan Naskah Akademik
Penyusunan Kerangka Umum RANPERDA
Penyusunan & Pembahasan Laporan Antara
d) Tahapan Perumusan RANPERDA-BG, yang terdiri dari kegiatan:
Perumusan RANPERDA BG
e) Tahapan Pembahasan RANPERDA-BG, yang terdiri dari kegiatan:
Pembahasan Draf RANPERDA Awal
Rapat Pra Konsensus
f) Tahapan Konsensus, yang terdiri dari kegiatan:
Rapat Konsensus
Penyempurnaan Naskah Akademik
Penyusunan & Pembahasan Laporan Akhir Sementara
g) Tahapan Finalisasi, yang terdiri dari kegiatan:
Pembahasan Draf RANPERDA Final
Penyempurnaan Laporan Akhir