Anda di halaman 1dari 92

KATA PENGANTAR

Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, telah melapangkan penyusunan Laporan Pendahuluan
dalam Kegiatan Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Muna Barat Tahun 2016,
sehingga dapat terselesaikan tepat waktu dengan format yang telah disesuaikan dengan draft
penyusunan dokumen Pendampingan Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Muna
Barat.
Laporan Pendahuluan merupakan bagian dari tahap pelaksanaan pekerjaan yang dilaksanakan
oleh konsultan penyusun sebagai bentuk pelaporan hasil identifikasi dan pengamatan yang telah
dilakukan oleh konsultan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan Penyusunan Rancangan Peraturan
Daerah Bangunan Gedung (PERDA BG) Kabupaten Muna Barat Tahun 2016 ke Pengguna jasa.
Dengan selesainya Laporan Pendahuluan ini, penyusun mengucapkan banyak terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu, baik dari Satker, Tim Adhoc Daerah, dan bantuan
pihak-pihak lainnya sehingga laporan ini selesai tepat pada waktunya.
Bau-Bau,

2016

Tim Penyusun
PT. DIAGRAM DESAIN KONSULTAN

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................1
1.1.

LATAR BELAKANG................................................................1

1.2.

Dasar Hukum......................................................................2

1.3.

PROFIL WILAYAH KABUPATEN/KOTA LETAK GEOGRAFIS..........3

1.3.1.

LETAK GEOGRAFIS..........................................................3

1.3.2.

WILAYAH ADMINISTRATIF................................................4

1.3.3.

KONDISI FISIK DASAR.....................................................5

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS..................................12


2.1.

KAJIAN TEORITIS................................................................12

2.1.1.

TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN..............................12

2.1.2.

ARSITEKTUR BANGUNAN GEDUNG.................................22

2.1.3.

PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN..........................34

2.1.4.

RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN (RTBL). . . .35

2.1.5.

PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG DI ATAS DAN/ATAU DI

37

BAWAH TANAH, AIR DAN/ATAU PRASARANA/SARANA UMUM............37


2.1.6.

PERSYARATAN KEANDALAN BANGUNAN GEDUNG............38

2.2.

KAJIAN ASAS/PRINSIP........................................................75

2.3.

KAJIAN PRAKTEK PENYELENGGARAAN, KONDISI EKSISTING DAN

PERMASALAHAN........................................................................78
2.4.

KAJIAN IMPLIKASI PENERAPAN SISTEM BARU......................81

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT


...................................................................................................83
3.1.
3.1.1.

YANG BERSIFAT ATRIBUSI...................................................83


PASAL 18 AYAT (6) UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIK. .83

INDONESIA.................................................................................83
3.1.2.

UU NO. 32 TAHUN 2004 PEMERINTAHAN DAERAH...........84

3.1.3.

UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 1959 TENTANG.... .87

PEMBENTUKAN DAERAH-DAERAH TINGKAT II DI SULAWESI............87


3.2.

YANG BERSIFAT DELEGASI..................................................89

3.2.1.

UU NO. 28 TAHUN 2002 TENTANG BANGUNAN GEDUNG...89

3.2.2.

PP NO. 36 TAHUN 2005 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN

94

UU 28/2002.................................................................................94
3.3.

TEKNIS PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANGAN..............96

3.3.1.

UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN

96

PERUNDANG-UNDANGAN.............................................................96
3.3.2.

PERMENDAGRI 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK

HUKUM DAERAH...................................................................100
3.4.

TEKNIS SUBSTANSI PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG101

3.4.1.

PERPRES PEMBANGUNAN BG NEGARA.........................101

3.4.2.

PERMEN PU DALAM BIDANG PBL.................................101

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS dan YURIDIS..................103


4.1.

LANDASAN FILOSOFIS......................................................103

4.2.

LANDASAN SOSIOLOGIS...................................................104

4.3.

LANDASAN YURIDIS.........................................................106

BAB V RENCANA KERJA...................................................................109


5.1.

PROGRAM KERJA..............................................................109

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Data Curah Hujan Kabupaten Muna Tahun 2012......................................................................................7


Tabel 2 : Jumlah Penduduk 2013 dan Proyeksi 5 Tahun.........................................................................................8
Tabel 3 : Jumlah Penduduk Kabupaten Muna Tahun 2008-2012..........................................................................10
Tabel 4 : Permen PU dalam Bidang PBL.............................................................................................................101

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Peta Wilayah Kabupaten Muna Barat...................................................................................................4

BAB IPENDAHULUAN
1.1.

LAT
A

BELAKANG
Bangunan gedung sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, mempunyai peranan yang
sangat strategis dalam pembentukan watak, perwujudan produktivitas, dan jati diri masyarakat. Karena
itu, penyelenggaraan bangunan gedung perlu diatur dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan
kehidupan serta penghidupan masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan bangunan gedung yang andal,
berjati diri, serta seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya.
Bangunan gedung merupakan salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh karena itu
dalam pengaturan bangunan gedung tetap mengacu pada pengaturan penataan ruang sesuai peraturan
perundangundangan
yang

berlaku.Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung.
Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung, serta
harus diselenggarakan secara tertib.
Pengaturan penyelenggaraan bangunan gedung dilandasi oleh asas kemanfaatan, keselamatan,
keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya, bagi kepentingan masyarakat
yang berperikemanusiaan dan berkeadilan.Peraturan Daerah ini dimaksudkan sebagai pengaturan
lebih lanjut pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, baik dalam pemenuhan
persyaratan yang diperlukan dalam penyelenggaraan bangunan gedung, maupun dalam pemenuhan
tertib penyelenggaraan bangunan gedung.

Peraturan Daerah ini mengatur ketentuan pelaksanaan tentang fungsi bangunan gedung,
penyelenggaraan

bangunan

gedung,

peran

masyarakat

dalam penyelenggaraan bangunan

gedung, dan pembinaan dalam penyelenggaraan bangunan gedung.Pengaturan peran masyarakat dalam
Peraturan Daerah ini juga tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang organisasi
kemasyarakatan, sedangkan pengaturan gugatan perwakilan penyelenggaraan bangunan gedung juga
tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan gugatan
perwakilan.Pengaturan dalam Peraturan Daerah ini juga memberikan ketentuan pertimbangan kondisi
sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Kabupaten Muna Barat. Berkaitan dengan hal tersebut,
Pemerintah Kabupaten Muna Barat perlu mendorong, memberdayakan dan meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk dapat memenuhi ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
Peraturan Daerah ini mengatur hal-hal pokok dan normatif mengenai penyelenggaraan
bangunan gedung sedangkan ketentuan pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan peraturan
Bupati dengan tetap mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang lain terkait dengan
pelaksanaan Peraturan Daerah ini.Dengan diberlakukannya Peraturan Daerah ini, maka semua
penyelenggaraan bangunan gedung, baik pembangunan maupun pemanfaatan dalam wilayah
Kabupaten Muna Barat, baik yang dilakukan oleh pemerintah, maupun oleh swasta, dan masyarakat,
wajib mematuhi seluruh ketentuan yang tercantum dalamPeraturan Daerah tentang Bangunan Gedung
ini.
1.2.
Dasar Hukum
Beberapa peraturan perundang-undangan

yang

menjadi landasan

hukumPenyusunan Rancangan

Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung ini yaitu:


a. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
b. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
c. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 28
tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
d. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis
Bangunan Gedung;
e. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan
Aksebilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan;
f. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang PedomanTeknis
Pembangunan Bangunan Gedung Negara;
g. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Izin
Mendirikan Bangunan;

h. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25/PRT/M/2007 tentang Pedoman Sertifikat Laik
Fungsi bangunan Gedung;
i. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2007 tentang Pedoman Tim Ahli Bangunan
Gedung;
j. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2008 tentang Pedoman Pemeliharan dan
Perawatan Bangunan Gedung;
k. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25/PRT/M/2008 tentang Pedoman Teknis Penyusunan
Rencana Induk Sistim Proteksi Kebakaran;
l. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem
Proteksi Kebakaran Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan;
m. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2009 tentang Pedoman Teknis Manajemen
Proteksi Kebakaran Di Perkotaan;
n. Standar dan pedoman teknis tentang Bangunan Gedung lainnya.
1.3.
PROFIL WILAYAH KABUPATEN/KOTA LETAK GEOGRAFIS
1.3.1. LETAK GEOGRAFIS
Kabupaten Muna Barat atau disingkat Mubar merupakan salah satu kabupaten di Provinsi
Sulawesi Tenggara, hasil pemekaran dari Kabupaten Muna pada pertengahan tahun 2014. Ibukota
Kabupaten Muna Barat terletak di Laworo,Kecamatan Sawerigadi. Pemerintahan Kabupaten Muna
Barat berbentuk daerah kabupaten otonom yang dipimpin oleh seorang Bupati danWakil Bupati.
Batas wilayah Kabupaten Muna Barat adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara Berbatasan
: Kabupaten Konawe Selatan
Sebelah Selatan Berbatasan
: Kabupaten Muna
Sebelah Barat Berbatasan
: Kabupaten Bombana
Sebelah Timur Berbatasan
: Kabupaten Muna

Gambar 1 : Peta Wilayah Kabupaten Muna Barat

1.3.2. WILAYAH ADMINISTRATIF


Kabupaten Muna yang mempunyai luas wilayah 2.963,97 Km2 dengan jumlah penduduk pada
Tahun 2012 berjumlah 321.595 jiwa terdiri atas 33 (tiga puluh tiga) kecamatan dan 236 (dua ratus tiga
puluh enam) desa/kelurahan. Kabupaten ini memiliki potensi yangdapat dikembangkan untuk
mendukung peningkatan penyelenggaraan pemerintahan.
Kabupaten Muna Barat dengan ibukotanya Laworo secara administratif terdiri atas 11
kecamatan definitif yang selanjutnya terdiri atas 86 unit desa dan 5 Unit Pemukiman Transimigrasi
(UPT). Berikut adalah kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Muna Barat.
1. Kecamatan Lawa
2. Kecamatan Tiworo Kepulauan
3. Kecamatan Sawerigadi
4. Kecamatan Maginti
5. Kecamatan Barangka
6. Kecamatan Kusambi
7. Kecamatan Wadaga
8. Kecamatan Tiworo Tengah
9. Kecamatan Tiworo Utara
10. Kecamatan Tiworo Selatan
11. Kecamatan Napano Kusambi

1.3.3. KONDISI FISIK DASAR


1.3.3.1. KONDISI TOPOGRAFI
1.3.3.2. JENIS TANAH
Sebagian besar Kabupaten Muna Barat merupakan dataran rendah. Kabupaten Muna
merupakan daerah kepulauan yang terletak di jazirah Sulawesi Tenggara meliputi bagian utara
Pulau Buton dan Pulau Muna serta pulau-pulau kecil yang tersebar disekitarnya yang berjumlah
237 buah dengan kategori 22 buah pulau berpenghuni, 10 buah pulau berpenghuni sementara dan
205 buah pulau tidak berpenghuni. Secara geografis Kabupaten Muna terletak di bagian Selatan
Khatulistiwa pada garis lintang 4006 sampai 5015 Lintang Selatan dan 12208 Bujur Timur
sampai dengan 123015 Bujur Timur.
Sifat fisik tanah dan batuan dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tanah berbutir/sedikit
halus butiran kasar dan tanah berbutir halus mengandung butiran kasar. Dari pengamatan lapangan
dan hasil pengujian mekanika tanah terhadap beberapa contoh tanah pelapukan di daerah stidi
menunjukan bahwa :
1. Tanah berbutir halus tanpa/sedikit butiran kasa, merupakan hasil lapukan dari batuan dasar
yang berbutir sangat halus seperti batu lempung dan Formasi Bongka (Tmpd).
2. Tanah berbutir halus mengandung butiran kasar, merupakan hasil lapukan batuan dasar
berbutir kasar, seperti konglomerat dari Formasi Kintom (Tmpk), batu gamping dari teumbu
koral (QI).
Adanya perbedaan sifat fisik tanah ini tentunya akan berpengaruh terhadap sifat tanah untuk
meluluskan air. Apabila tanah bersifat meluluskan air terletak di atas tanah/batuan kedap air, dan
kemudian terjadi resapan air permukaan, maka keadaan demikian dapat mengakibatkan terjadinya
gerakan tanah.
1.3.3.3. HIDROLOGI
Kabupaten Muna mempunyai iklim tropis dengan suhu rara-rata sekitar 25-27C.Demikian
juga dengan musim, di Kabupaten Muna terdapat dua musim, yaitu musim hujan dan musim
kemarau.Musim hujan pada umumnya terjadi pada Bulan November sampai dengan Juni, dimana
angin yang mengandung banyak uap air bertiup dari Benua Asia dan Samudra-Pasifik sehingga
menyebabkan hujan. Sedangkan musim kemarau terjadi antara bulan Juli dan bulan Oktober, pada
bulan ini angin bertiup dari Benua Australia yang sifatnya kering dan sedikit mengandung uap air.
Khusus pada bulan April di Kabupaten Muna seperti halnya daerah Sulawesi Tenggara pada
umumnya angin bertiup dengan arah yang tidak menentu, yang berakibat pada curah hujan yang
tidak menentu pula dan keadaan ini dikenal sebagai musim pancaroba. Pada Tahun 2009, rata-rata

hari hujan sekitar 8 hari perbulan dimana bulan Maret, Mei, dan Desember adalah bulan dengan
hari hujan terbanyak yaitu 12 hari hujan. Rata-rata curah hujan mencapai 284 mm dengan curah
hujan terbesar terjadi pada bulan Juni dengan intensitas 816 mm.
Pada Tabel disajikan banyaknya hari hujan di Kabupaten Muna pada Tahun 2012, rata-rata
hari hujan sekitar 7 hari perbulan dimana bulan Maret adalah bulan dengan hari terbanyak hujan
yaitu 12 hari, Rata-rata curah hujan mencapai 81 mm dengan curah hujan terbesar terjadi pada
bulan April dengan intensitas 155 mm.

Tabel 1 : Data Curah Hujan Kabupaten Muna Tahun 2012

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Bulan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember

Hari Hujan
10
9
12
11
11
4
5
4
3
5
8
5

Curah Hujan
87
91
102
155
110
149
42
32
24
48
71
59

Pengaruh langsung curah hujan terhadap kemantapan lereng, adalah air hujan yang meresap
kedalam tanah. Peristiwa ini dapat membesar bobot masa tanah dan menaikan tekanan air pori
sehingga kekuatan geser (shear strenght) tanah menjadi menurun. Selain itu pada daerah aliranaliran sungai lebih-lebih pada musim hujan, aliran sungai dapat mengikis pada bagian tebingnya
sehingga menyebabkan hilangnya tahanan samping (lateral support) atau tahanan bawah akibatnya
tegangan geser bertambah besar dan menjadikan kelongsoran.
Berdasarkan data curah hujan menunjukan bahwa musim penghujan terjadi pada bulan
November hingga Maret dengan curah hujan rata-rata bulanan sebesar 356 mm/bulan, musim
kemarau terjadi terjadi pada bulan April hingga Oktober. Untuk itu pada musim hujan diharapkan
masyarakat meningkatkan kewaspadaan.
1.3.3.4. KONDISI DEMOGRAFI
Jumlah penduduk Kabupaten Muna tahun 2012 sebanyak 279.471 jiwa terdiri dari jumlah
penduduk laki-laki 132.133 jiwa, jumlah perempuan 141.503 jiwa. Pertumbuhan penduduk

Kabupaten Muna selama sepuluh tahun terakhir dari tahun 2000 sampai tahun 2010 rata-rata
sebesar 1,36% pertahun. Pertumbuhan ini lebih kecil dibandingkan laju pertumbuhan penduduk
Sulawesi Tenggara yaitu rata-rata 2,07 persen pertahun serta lebih kecil dibandingkan pertumbuhan
penduduk Indonesia 1,47 persen pertahun pada periode yang sama.
Persebaran penduduk menurut kecamatan tahun 2012, kecamatan katobu merupakan kecamatan
dengan jumlah penduduk terpadat yaitu sebanyak 2.246 jiwa per KM2 diikuti oleh Kecamatan
Duruka 992 jiwa per KM2 dan kecamatan yang paling jarang penduduknya adalah Kecamatan
Tongkuno, Wadaga dan Batukara yaitu rata-rata 33 per KM2.
Tabel 2 : Jumlah Penduduk 2013 dan Proyeksi 5 Tahun

Nama Kecamatan
Tongkuno
Tongkuno Selatan
Parigi
Bone
Marobo
Kabawo
Kabangka
Kontukowuna
Tiworo Kepulauan
Maginti
Tiworo Tengah
Tiworo Selatan
Tiworo Utara
Lawa
Sawerigadi
Barangka
Wadaga
Kusambi
Kontunaga
Watopute
Katobu
Lohia
Duruka
Batalaiworu
Napabalano
Lasalepa
Napano Kusambi
Towea
Wakorsel
Pasir Putih
Pasi Kolaga
Maligano
Batukara
TOTAL

2013
15.080
5.729
11.547
5.840
6.798
12.825
9.756
4.186
6.913
8.586
6.913
5.249
5.243
7.868
6.656
6.341
6.037
11.282
8.070
12.323
29.507
13.942
11.771
13.341
11.319
10.627
5.056
5.110
4.698
4.501
4.280
5.520
2.412
285.28
2

Jumlah Penduduk
2014
2015
2016
15.319
15.557
15.798
5.890
6.050
6.211
11.766
11.986
12.206
6.096
6.353
6.609
7.036
7.274
7.512
13.047
13.270
13.492
9.968
10.177
10.386
4.319
4.470
4.621
7.087
7.262
7.426
8.709
8.831
8.954
7.087
7.262
7.436
5.394
5.538
5.683
5.374
5.505
5.635
8.017
8.167
8.316
6.784
6.911
7.038
6.466
6.590
6.714
6.150
6.263
6.377
11.481
11.680
11.879
8.225
8.379
8.533
12.541
12.759
12.977
29.896
30.285
30.675
14.166
14.391
14.615
11.963
12.156
12.348
13.581
13.820
14.060
11.500
11.682
11.864
10.840
11.053
11.265
5.176
5.296
5.416
5.244
5.377
5.511
4.869
5.040
5.211
4.650
4.800
4.950
4.428
4.576
4.724
5.662
5.804
5.947
2.469
2.527
2.585
291.14 297.011
302.87
7

2017
16.034
6.372
12.426
6.866
7.751
13.715
10.595
4.772
7.611
9.076
7.611
5.828
5.766
8.466
7.165
6.838
6.490
12.077
8.687
13.195
31.064
14.840
12.540
14.299
12.046
11.478
5.536
5.645
5.382
5.099
4.871
6.089
2.642
308.74

2013
3.623
1.455
2.668
1.451
1.397
2.788
2.464
966
1.657
2.051
1.816
1.335
1.189
1.983
1.623
1.616
1.531
2.543
1.945
2.968
7.538
3.079
2.766
2.926
2.682
2.718
1.118
1.137
1.078
994
939
1.270
585
67.45

2014
3.761
1.531
2.721
1.551
1.499
2.855
2.565
1.016
1.703
2.115
1.885
1.394
1.262
2.062
1.684
1.693
1.611
2.611
2.011
3.068
8.142
3.143
2.863
2.994
2.791
2.833
1.163
1.168
1.139
1.036
973
1.328
612
70.69

Jumlah KK
2015
2016
3.899
4.038
1.607
1.683
2.775
2.828
1.651
1.750
1.602
1.704
2.922
2.990
2.665
2.765
1.067
1.117
1.748
1.794
2.179
2.242
1.955
2.025
1.454
1.513
1.336
1.409
2.142
2.222
1.745
1.806
1.771
1.848
1.690
1.769
2.680
2.748
2.076
2.142
3.167
3.267
8.745
9.349
3.207
3.217
2.961
3.059
3.062
3.130
2.899
3.008
2.947
3.062
1.207
1.252
1.200
1.232
1.201
1.263
1.078
1.120
1.007
1.040
1.385
1.443
638
664
73.53
76.380
8

2017
4.178
1.759
2.882
1.850
1.807
3.057
2.866
1.168
1.839
2.306
2.094
1.573
1.483
2.301
1.867
1.926
1.849
2.817
2.208
3.366
9952
3.336
3.156
3.198
3.116
3.177
1.296
1.264
1.324
1.161
1.074
1.500
6.90
79.222

Tabel 3 : Jumlah Penduduk Kabupaten Muna Tahun 2008-2012


Nama Kecamatan

Jumlah Penduduk

Jumlah KK

Laju Pertumbuhan
pertahun (%)

Tongkuno
Tongkuno Selatan
Parigi
Bone
Marobo
Kabawo
Kabangka
Kontukowuna
Tiworo Kepulauan
Maginti
Tiworo Tengah
Tiworo Selatan
Tiworo Utara
Lawa
Sawerigadi
Barangka
Wadaga
Kusambi
Kontunaga
Watopute
Katobu
Lohia
Duruka
Batalaiworu
Napabalano
Lasalepa
Napano Kusambi
Towea
Wakarumba Selatan
Pasir Putih
Pasi Kolaga
Maligano
Batukara
TOTAL

2008
14.035
5.031
10.572
4.845
5.899
11.973
8.983
3.527
6.217
8.042
6.214
4.562
4.529
7.169
5.942
5.841
5.474
10.404
7.375
11.352
27.920
13.053
11.040
12.402
10.428
9.721
4.507
4.515
2.018
3.862
3.701
4.932
2.024
257.104

2009
14.174
5.103
10.747
5.084
6.083
12.072
9.063
3.640
6.361
8.126
6.318
4.732
4.731
7.336
6.104
5.739
5.612
10.529
7.524
11.538
28.331
13.115
11.131
12.524
10.652
9.892
4.629
4.613
2.151
3.941
3.853
5.057
2.172
262.677

2010
14.380
5.264
10.904
5.113
6.116
12.172
9.148
3.736
6.406
8.226
6.406
4.830
4.863
7.430
6.284
5.978
5.706
10.699
7.619
11.684
28.360
13.282
11.207
12.640
10.785
10.005
4.707
4.722
4.209
4.071
3.856
5.108
2.244
268.277

2011
14.667
5.369
11.112
5.325
6.237
12.414
9.330
3.810
6.533
8.390
6.632
4.926
4.960
7.578
6.409
6.097
5.819
10.912
7.771
11.917
28.925
13.546
11.430
12.891
11.000
10.204
4.801
4.816
4.293
4.152
3.933
5.209
2.288
273.616

2012
14.842
5.568
11.327
5.583
6.560
12.602
9.549
4.017
6.792
8.464
6.738
5.104
5.112
7.718
6.529
6.217
5.924
11.083
7.916
12.105
29.118
13.717
11.579
13.102
11.137
10.414
4.936
4.976
4.527
4.351
4.132
5.378
2.354
279.471

2008
3.036
1.062
2.231
992
950
2.321
2.101
713
1.364
1.582
1.411
1.013
812
1.525
1.225
1.149
1.105
2.162
1.518
2.257
5.640
2.648
2.180
2.361
2.086
2.193
893
901
802
792
688
989
407
53.109

2009
3.103
1.117
2.418
1.072
1.021
2.474
2.142
792
1.466
1.743
1.502
1.079
853
1.683
1.326
1.261
1.282
2.203
1.624
2.401
5.725
2.721
2.273
2.451
2.156
2.204
901
993
843
810
752
1.059
482
55.932

2010
3.229
1.242
2.511
1.177
1.117
2.593
2.179
824
1.526
1.867
1.617
1.166
985
1.756
1.449
1.397
1.309
2.344
1.756
2.683
5.907
2.892
2.486
2.728
2.374
2.392
992
1.045
906
875
842
1.108
511
59.845

2011
3.371
1.268
2.566
1.204
1.201
2.641
2.225
839
1.558
1.908
1.649
1.190
1.004
1.793
1.480
1.427
1.337
2.387
1.794
2.741
6.020
2.945
2.533
2.778
2.417
2.442
1.012
1.064
923
892
857
1.128
522
61.116

2012
3.485
1.379
2.614
1.351
1.294
2.721
2.364
915
1.612
1.987
1.746
1.275
1.115
1.903
1.562
1.538
1.452
2.474
1.879
2.869
6.935
3.015
2.668
2.858
2.574
2.603
1.074
1.105
1.016
1.134
905
1.793
559
65.774

3.21
2,89
1.94
2.60
3.63
1.77
2.19
2.76
2.59
1.45
2.59
2.84
2.56
1.94
1.95
2.00
1.91
1.79
1.95
1.80
1.34
1.64
1.66
1.83
1.63
2.04
2.43
2.69
2.78
2.44
2.58
2.64
2.45
2.10

BAB IIKAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS


2.1.

KAJI
A

TEORITIS
2.1.1. TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN
2.1.1.1.
PERUNTUKAN LOKASI
1. Peruntukan Lokasi
a. Bangunan gedung harus diselenggarakan sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur
dalam ketentuan tata ruang dan tata bangunan dari lokasi yang bersangkutan.
b. Ketentuan tata ruang dan tata bangunan ditetapkan melalui:
i.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Daerah;
ii.
Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR); dan
iii.
Peraturan bangunan setempat dan Rencana Tata Bangunan danLingkungan (RTBL).
c. Peruntukan lokasi merupakan peruntukan utama sedangkan peruntukan penunjangnya
sebagaimana ditetapkan di dalam ketentuan tata bangunan yang ada di daerah setempat atau
berdasarkan pertimbangan teknis dinas yang menangani bangunan gedung.
d. Setiap pihak yang memerlukan keterangan atau ketentuan tata ruang dan tata bangunan dapat
memperolehnya secara terbuka melalui dinas yang terkait.
e. Keterangan atau ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir d meliputi keterangan tentang
peruntukan lokasi dan intensitas bangunan, seperti kepadatan bangunan, ketinggian bangunan,
dan garis sempadan bangunan.
f. Dalam hal rencana-rencana tata ruang dan tata bangunan belum ada, Kepala Daerah dapat
memberikan pertimbangan atas ketentuan

yang

diperlukan, dengan tetap mengadakan

peninjauan seperlunya terhadap rencana tata ruang dan tata bangunan yang ada di daerah.
g. Bagi daerah yang belum memiliki RTRW, RRTR, ataupun peraturan bangunan
setempat dan RTBL, maka Kepala Daerah dapat memberikan persetujuan membangun
bangunan gedung dengan pertimbangan.
h. Pembangunan bangunan gedung diatas jalan umum, saluran, atau sarana lain perlu
mendapatkan persetujuan Kepala Daerah dengan pertimbangan sebagai berikut:
i.
Tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan daerah;
ii.
Tidak mengganggu kelancaran arus lalu lintas kendaraan, orang, maupun barang;

iii.

Tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana yang berada dibawah dan/atau

diatas tanah; dan


iv. Tetap memperhatikan keserasian bangunan terhadap lingkungannya.
i. Pembangunan bangunan gedung dibawah tanah yang melintasi sarana dan prasarana
jaringan kota perlu mendapatkan persetujuan Kepala Daerah dengan pertimbangan
sebagai berikut:
i.
Tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan Daerah;
ii.
Tidak untuk fungsi hunian atau tempat tinggal;
iii.
Tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana yang berada dibawah tanah;
iv. Penghawaan dan pencahayaan bangunan telah memenuhi persyaratan kesehatan sesuai
v.

fungsi bangunan; dan


Memiliki sarana khusus untuk kepentingan keamanan dan keselamatan bagi pengguna

bangunan.
j. Pembangunan bangunan gedung dibawah atau diatas air perlu mendapatkan persetujuan Kepala
Daerah dengan pertimbangan sebagai berikut:
i.
Tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan daerah;
ii.
Tidak mengganggu keseimbangan lingkungan, dan fungsi lindung kawasan;
iii.
Tidak menimbulkan perubahan arus air yang dapat merusak lingkungan;
iv. Tidak menimbulkan pencemaran; dan
v. Telah mempertimbangkan faktor keamanan, kenyamanan, kesehatan, dan aksesibilitas bagi
pengguna bangunan.
k. Pembangunan bangunan gedung pada daerah hantaran udara (transmisi) tegangan

tinggi

perlu mendapatkan persetujuan Kepala Daerah dengan pertimbangan sebagai berikut:


Tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan daerah;
Letak bangunan minimal 10 (sepuluh) meter diukur dari as (proyeksi) jalur tegangan tinggi

i.
ii.
iii.

terluar;
Letak bangunan tidak boleh melebihi atau melampaui garis sudut 45o (empat puluh

iv.

lima derajat) diukur dari as (proyeksi) jalur tegangan tinggi terluar;


Setelah mendapat pertimbangan teknis dari para ahli terkait.

2.1.1.2.
INTENSITAS BANGUNAN GEDUNG
2. INTENSITAS BANGUNAN GEDUNG
a. Kepadatan dan Ketinggian Bangunan Gedung
i.
Bangunan gedung yang didirikan harus

memenuhi persyaratan kepadatan dan

ketinggian bangunan gedung berdasarkan rencana tata ruang wilayah daerah yang
bersangkutan, rencana tata bangunan dan lingkungan yang ditetapkan, dan peraturan
ii.

bangunan setempat.
Kepadatan bangunan, meliputi ketentuan

tentang

Koefisien Dasar Bangunan (KDB),

yang dibedakan dalam tingkatan KDB padat, sedang, dan renggang.

iii.

Ketinggian bangunan sebagaimana dimaksud dalam butir i, meliputi ketentuan tentang


Jumlah Lantai Bangunan (JLB), dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) yang dibedakan

iv.

dalam tingkatan KLB tinggi, sedang, dan rendah.


Persyaratan kinerja dari ketentuan kepadatan

dan ketinggian bangunan

ditentukan oleh:
(1) kemampuannya

daya dukung lahan dan

dalam menjaga

keseimbangan

optimalnya intensitas pembangunan;


(2) kemampuannya
dalam
mencerminkan
lingkungan;
(3) kemampuannya
v.

dalam

menjamin

keserasian bangunan dengan

kesehatan

dan kenyamanan pengguna serta

masyarakat pada umumnya.


Untuk suatu kawasan atau lingkungan tertentu, seperti kawasan wisata, pelestarian
dan lain lain, dengan pertimbangan kepentingan umum dan dengan persetujuan Kepala
Daerah, dapat diberikan kelonggaran atau pembatasan terhadap ketentuan kepadatan,
ketinggian bangunan dan ketentuan tata bangunan lainnya dengan tetap memperhatikan

keserasian dan kelestarian lingkungan.


vi.
Ketinggian bangunan tidak diperkenankan mengganggu lalu- lintas udara.
b. Penetapan KDB dan Jumlah Lantai / KLB
i.
Penetapan besarnya kepadatan dan ketinggian bangunan gedung ditetapkan dengan
mempertimbangkan perkembangan kota, kebijaksanaan intensitas pembangunan, daya
ii.

dukung lahan/ lingkungan, serta keseimbangan dan keserasian lingkungan.


Apabila KDB dan JLB/KLB belum ditetapkan dalam rencana tata
ruang, rencana
tata bangunan dan lingkungan, peraturan bangunan setempat, maka Kepala Daerah
dapat menetapkan

iii.

berdasarkan

berbagai

pertimbangan

dan setelah mendengarkan

pendapat teknis para ahli terkait.


Ketentuan besarnya KDB dan JLB/KLB dapat diperbarui sejalan dengan
pertimbangan perkembangan kota, kebijaksanaan intensitas pembangunan, daya dukung

iv.

lahan/lingkungan, dan setelah mendengarkan pendapat teknis para ahli terkait.


Dengan pertimbangan kepentingan umum dan ketertiban pembangunan, Kepala Daerah
dapat menetapkan rencana perpetakan dalam suatu kawasan/lingkungan dengan
persyaratan:
(1) Setiap bangunan yang didirikan harus sesuai dengan rencana perpetakan yang telah
diatur di dalam rencana tata ruang;
(2) Apabila perpetakan tidak ditetapkan, maka KDB dan KLB diperhitungkan berdasarkan
luas tanah di belakang garis sempadan jalan (GSJ) yang dimiliki;

(3) Untuk persil-persil sudut bilamana sudut persil tersebut dilengkungkan atau disikukan,
untuk memudahkan lalu lintas, maka lebar dan panjang persil tersebut diukur dari
titik pertemuan garis perpanjangan pada sudut tersebut dan luas

persil

diperhitungkan berdasarkan lebar dan panjangnya;


(4) Penggabungan atau pemecahan perpetakan dimungkinkan dengan ketentuan KDB dan
KLB tidak dilampaui, dan dengan memperhitungkan keadaan lapangan, keserasian
dan keamanan lingkungan serta memenuhi persyaratan teknis yang telah ditetapkan;
(5) Dimungkinkan adanya pemberian dan penerimaan besaran KDB/KLB diantara
perpetakan yang berdekatan, dengan tetap

menjaga keseimbangan daya

dukung

v.

lahan dan keserasian lingkungan.


Dimungkinkan adanya kompensasi berupa penambahan besarnya KDB. JLB/KLB bagi

vi.

perpetakan tanah yang memberikan sebagian luas tanahnya untuk kepentingan umum.
Penetapan besarnya KDB, JLB/KLB untuk pembangunan bangunan gedung di atas
fasilitas umum adalah setelah mempertimbangkan keserasian,

keseimbangan

dan

persyaratan teknis serta mendengarkan pendapat teknis para ahli terkait.


c. Perhitungan KDB dan KLB
Perhitungan KDB maupun KLB ditentukan dengan pertimbangan sebagai berikut:
i.
Perhitungan luas lantai bangunan adalah jumlah luas lantai yang diperhitungkan sampai
ii.

batas dinding terluar;


Luas lantai ruangan beratap yang sisi-sisinya dibatasi oleh dinding yang tingginya lebih

iii.

dari 1,20 m di atas lantai ruangan tersebut dihitung penuh 100%;


Luas lantai ruangan beratap yang bersifat terbuka atau yang sisi-sisinya dibatasi oleh
dinding tidak lebih dari 1,20 m di atas lantai ruangan dihitung 50%, selama tidak melebihi

iv.

10% dari luas denah yang diperhitungkan sesuai dengan KDB yang ditetapkan;
Overstek atap yang melebihi lebar 1,50 m maka luas mendatar kelebihannya

v.

tersebut dianggap sebagai luas lantai denah;


Teras tidak beratap yang mempunyai tinggi dinding tidak lebih dari 1,20 m di atas

vi.

lantai teras tidak diperhitungkan sebagai luas lantai;


Luas lantai bangunan yang diperhitungkan untuk parkir tidak diperhitungkan dalam
perhitungan KLB, asal tidak melebihi 50%

dari

KLB

yang

ditetapkan,

vii.

selebihnya diperhitungkan 50% terhadap KLB;


Ram dan tangga terbuka dihitung 50%, selama tidak melebihi 10% dari luas lantai

viii.

dasar yang diperkenankan;


Dalam perhitungan KDB dan KLB, luas tapak yang diperhitungkan adalah yang
dibelakang GSJ;

ix.

Batasan perhitungan luas ruang bawah tanah (besmen) ditetapkan oleh Kepala
Daerah dengan pertimbangan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan pendapat teknis para

x.

ahli terkait;
Untuk pembangunan yang berskala kawasan (superblock), perhitungan KDB dan KLB
adalah dihitung terhadap total seluruh lantai dasar bangunan, dan total keseluruhan luas

xi.

lantai bangunan dalam kawasan tersebut terhadap total keseluruhan luas kawasan;
Dalam perhitungan ketinggian bangunan, apabila jarak vertikal dari lantai penuh
ke lantai penuh berikutnya lebih dari 5 m, maka ketinggian bangunan tersebut dianggap

sebagai dua lantai;


xii.
Mezanin yang luasnya melebihi 50% dari luas lantai dasar dianggap sebagai lantai penuh.
d. Garis Sempadan (Muka) Bangunan Gedung
i.
Garis Sempadan Bangunan ditetapkan dalam rencana tata ruang, rencana tata bangunan
ii.

dan lingkungan, serta peraturan bangunan setempat.


Dalam mendirikan atau memperbarui seluruhnya

atau sebagian dari suatu

bangunan, Garis Sempadan Bangunan yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud


iii.

dalam butir a. tidak boleh dilanggar.


Apabila Garis Sempadan Bangunan sebagaimana dimaksud pada butir a. tersebut belum
ditetapkan, maka Kepala Daerah dapat menetapkan GSB yang bersifat sementara

iv.

untuk lokasi tersebut pada setiap permohonan perizinan mendirikan bangunan.


Penetapan Garis Sempadan Bangunan didasarkan pada pertimbangan keamanan, kesehatan,

v.

kenyamanan, dan keserasian dengan lingkungan serta ketinggian bangunan.


Daerah menentukan garis-garis sempadan pagar, garis sempadan muka bangunan, garis
sempadan loteng, garis sempadan podium, garis sempadan menara, begitu pula garis- garis

vi.

sempadan untuk pantai, sungai, danau, jaringan umum dan lapangan umum.
Pada suatu kawasan/lingkungan yang diperkenankan adanya beberapa klas
bangunan dan di dalam kawasan peruntukan campuran, untuk tiap-tiap klas bangunan dapat

vii.

ditetapkan garis-garis sempadannya masing-masing.


Dalam hal garis sempadan pagar dan garis sempadan muka bangunan berimpit (GSB sama

viii.

dengan nol), maka bagian muka bangunan harus ditempatkan pada garis tersebut.
Daerah berwenang untuk memberikan pembebasan dari ketentuan dalam butir g,

ix.

sepanjang penempatan bangunan tidak mengganggu

jalan

bangunan sekitarnya.
Ketentuan besarnya

dengan pertimbangan perkembangan

GSB

dapat

diperbarui

dan

penataan

kota, kepentingan umum, keserasian dengan lingkungan, maupun pertimbangan lain dengan
mendengarkan pendapat teknis para ahli terkait.
e. Garis Sempadan (Samping Dan Belakang) Bangunan Gedung

i.

Kepala

Daerah

dengan

pertimbangan

juga menetapkan garis sempadan samping

kiri

keselamatan, kesehatan, dan kenyamanan,


dan

kanan,

serta

belakang

bangunan terhadap batas persil, yang diatur di dalam rencana tata ruang, rencana tata
ii.

bangunan dan lingkungan, dan peraturan bangunan setempat.


Sepanjang tidak ada jarak bebas samping maupun belakang bangunan yang ditetapkan,
maka Kepala Daerah menetapkan besarnya garis
mempertimbangkan keamanan,

iii.

sempadan tersebut dengan setelah

kesehatan dan kenyamanan, yang ditetapkan pada setiap

permohonan perizinan mendirikan bangunan.


Untuk bangunan yang digunakan sebagai tempat penyimpanan bahan-bahan/benda-benda
yang mudah terbakar dan/atau bahan berbahaya, maka Kepala Daerah dapat menetapkan
syarat-syarat lebih lanjut mengenai jarak-jarak yang harus dipatuhi, diluar yang diatur

iv.

dalam butir i.
Pada daerah intensitas bangunan padat/rapat, maka garis sempadan

samping

dan

belakang bangunan harus memenuhi persyaratan:


(1) bidang dinding terluar tidak boleh melampaui batas pekarangan;
(2) struktur dan pondasi bangunan terluar harus berjarak sekurang-kurangnya 10 cm kearah
dalam dari batas pekarangan, kecuali untuk bangunan rumah tinggal;
(3) untuk perbaikan atau perombakan bangunan yang semula menggunakan
bangunan dinding batas bersama dengan bangunan di sebelahnya, disyaratkan untuk
membuat dinding batas tersendiri disamping dinding batas terdahulu;
(4) pada bangunan rumah tinggal rapat tidak terdapat jarak bebas samping, sedangkan
jarak bebas belakang ditentukan minimal setengah

dari besarnya garis

sempadan muka bangunan.


f. Jarak Bebas Bangunan Gedung
i.
Pada daerah intensitas bangunan rendah / renggang, maka jarak

bebas samping

dan belakang
bangunan harus memenuhi persyaratan:
(1) jarak bebas samping dan jarak bebas belakang ditetapkan minimum 4 m pada lantai
dasar, dan pada setiap penambahan

lantai/tingkat

bangunan,

jarak bebas di atasnya

ditambah 0,50 m dari jarak bebas lantai di bawahnya sampai mencapai jarak
bebas terjauh 12,5 m, kecuali untuk bangunan rumah tinggal, dan sedangkan untuk
bangunan gudang serta industri dapat diatur tersendiri;
(2) sisi bangunan yang didirikan harus mempunyai jarak bebas yang tidak dibangun
pada kedua sisi samping kiri dan kanan serta bagian belakang yang berbatasan dengan
ii.

pekarangan.
Pada dinding batas pekarangan tidak boleh dibuat bukaan dalam bentuk apapun.

iii.

Jarak bebas antara dua bangunan dalam suatu tapak diatur sebagai berikut:
(1) dalam hal kedua-duanya memiliki bidang bukaan yang saling berhadapan, maka
jarak antara dinding atau bidang tersebut minimal dua kali jarak bebas yang ditetapkan;
(2) dalam hal salah satu dinding yang berhadapan merupakan dinding tembok
tertutup dan yang lain merupakan bidang terbuka dan/atau berlubang, maka jarak
antara dinding tersebut minimal satu kali jarak bebas yang ditetapkan;
(3) dalam hal kedua-duanya memiliki bidang tertutup yang saling berhadapan, maka

jarak dinding terluar minimal setengah kali jarak bebas yang ditetapkan.
g. Pemisah di Sepanjang Halaman Depan/Samping/Belakang Gedung
i.
Halaman muka dari suatu bangunan harus dipisahkan dari jalan menurut cara yang
ditetapkan oleh Kepala Daerah, dengan memperhatikan

keamanan,kenyamanan,serta

ii.
iii.

keserasian lingkungan.
Kepala Daerah menetapkan ketinggian maksimum pemisah halaman muka.
Untuk sepanjang jalan atau kawasan tertentu, Kepala Daerah dapat menerapkan

iv.

desain standar pemisah halaman yang dimaksudkan dalam butir i.


Dalam hal yang khusus Kepala Daerah dapat memberikan pembebasan dari ketentuan-

v.

ketentuan dalam butir i dan ii, dengan setelah mempertimbangkan hal teknis terkait.
Dalam hal pemisah berbentuk pagar, maka tinggi pagar pada GSJ dan antara GSJ
dengan GSB pada bangunan rumah tinggal maksimal 1,50 m di atas permukaan tanah, dan
untuk bangunan bukan rumah tinggal termasuk untuk bangunan industri maksimal 2 m di

vi.

atas permukaan tanah pekarangan.


Pagar sebagaimana dimaksud pada butir e harus tembus pandang, dengan bagian
bawahnya dapat tidak tembus pandang maksimal setinggi 1 m di atas permukaan tanah

vii.

pekarangan.
Untuk bangunan-bangunan tertentu, Kepala Daerah dapat menetapkan

viii.

ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam butir v dan vi.
Penggunaan kawat berduri sebagai pemisah disepanjang jalan-jalan umum tidak

ix.

diperkenankan.
Tinggi pagar batas

pekarangan

sepanjang

lain

terhadap

pekarangan samping dan belakang untuk

bangunan renggang maksimal 3 m di atas permukaan tanah pekarangan, dan apabila


pagar tersebut merupakan dinding bangunan rumah tinggal bertingkat tembok maksimal 7
m dari permukaan tanah pekarangan, atau ditetapkan lebih rendah setelah
x.

mempertimbangkan kenyamanan dan kesehatan lingkungan.


Antara halaman belakang dan jalur-jalur jaringan umum kota harus diadakan
pemagaran. Pada pemagaran ini tidak boleh diadakan pintu-pintu masuk, kecuali jika
jalur-jalur jaringan umum kota direncanakan sebagai jalur jalan belakang untuk umum.

xi.

Kepala Daerah berwenang untuk menetapkan syarat-syarat lebih lanjut yang berkaitan
dengan desain dan spesifikasi teknis pemisah di sepanjang halaman depan, samping, dan
belakang bangunan.
Kepala Daerah dapat menetapkan tanpa adanya pagar pemisah halaman

xii.

samping

maupun

dengan pertimbangan
(aksesibilitas),

depan,

belakang bangunan pada ruas-ruas jalan atau kawasan tertentu,


kepentingan

kenyamanan, kemudahan hubungan

keserasian lingkungan, dan penataan bangunan dan lingkungan

yangdiharapkan.
2.1.2. ARSITEKTUR BANGUNAN GEDUNG
2.1.2.1.
PERSYARATAN PENAMPILAN BANGUNAN GEDUNG
a. Ketentuan Umum
i.
Bentuk denah bangunan gedung sedapat mungkin simetris dan sederhana, guna mengantisipasi
ii.

kerusakan yang diakibatkan oleh gempa.


Dalam hal denah bangunan gedung berbentuk T, L, atau U, maka harus dilakukan pemisahan
struktur atau dilatasi untuk mencegah terjadinya kerusakan akibat gempa atau penurunan

iii.

tanah.
Denah bangunan gedung berbentuk sentris (bujursangkar, segibanyak, atau lingkaran)
lebih baik daripada denah bangunan yang berbentuk memanjang dalam mengantisipasi

iv.

terjadinya kerusakan akibat gempa.


Atap bangunan gedung harus dibuat dari konstruksi dan bahan yang ringan untuk

v.

mengurangi intensitas kerusakan akibat gempa.


Penempatan bangunan gedung tidak boleh

mengganggu fungsi prasarana kota, lalu

vi.

lintas dan ketertiban umum.


Pada
lokasi-lokasi
tertentu

vii.

arahan rencana tata bangunan dan lingkungan.


Pada jalan-jalan tertentu, perlu ditetapkan penampang- penampang (profil) bangunan untuk

viii.

memperoleh pemandangan jalan yang memenuhi syarat keindahan dan keserasian.


Bilamana dianggap perlu, persyaratan lebih lanjut dari ketentuan-ketentuan ini dapat

Kepala

Daerah

dapat menetapkan secara khusus

ditetapkan pelaksanaaannya oleh Kepala Daerah dengan membentuk suatu panitia khusus
ix.

yang bertugas memberi nasehat teknis mengenai ketentuan tata bangunan dan lingkungan.
Bentuk bangunan gedung harus dirancang dengan memperhatikan bentuk dan
karakteristik arsitektur lingkungan yang ada di sekitarnya, atau yang mampu sebagai pedoman

x.

arsitektur atau panutan bagi lingkungannya.


Setiap bangunan gedung yang didirikan berdampingan dengan bangunan yang dilestarikan,
harus serasi dengan bangunan yang dilestarikan tersebut.

xi.

Bangunan yang didirikan sampai pada batas samping persil, tampak bangunannya harus
bersambungan secara serasi dengan tampak bangunan atau dinding yang telah ada di

xii.

sebelahnya.
Bentuk bangunan gedung harus dirancang dengan mempertimbangkan terciptanya ruang luar

xiii.

bangunan yang nyaman dan serasi terhadap lingkungannya.


Bentuk, tampak, profil, detail, material maupun warna bangunan harus dirancang memenuhi
syarat keindahan dan keserasian lingkungan yang telah ada dan/atau yang direncanakan

xiv.

kemudian, dengan tidak menyimpang dari persyaratan fungsinya.


Bentuk bangunan gedung sesuai kondisi daerahnya harus dirancang dengan mempertimbangkan

xv.

kestabilan struktur dan ketahanannya terhadap gempa.


Syarat-syarat lebih lanjut mengenai tinggi/tingkat

dan segala sesuatunya ditetapkan

berdasarkan ketentuan- ketentuan dalam rencana tata ruang, dan/atau rencana tata bangunan
dan lingkungan yang ditetapkan untuk daerah/lokasi tersebut.
b. Tapak Bangunan
i.
Tinggi rendah (peil) pekarangan harus dibuat dengan tetap menjaga keserasian lingkungan
ii.

serta tidak merugikan pihak lain.


Penambahan lantai atau tingkat suatu bangunan gedung diperkenankan apabila masih
memenuhi batas ketinggian yang ditetapkan dalam rencana tata ruang kota, dengan ketentuan
tidak melebihi KLB, harus memenuhi persyaratan teknis yang berlaku dan keserasian

iii.
iv.

lingkungan.
Penambahan lantai/tingkat harus memenuhi persyaratan keamanan struktur.
Pada daerah/lingkungan tertentu dapat ditetapkan:
(1) ketentuan khusus tentang pemagaran suatu pekarangan kosong atau sedang dibangun,
pemasangan nama proyek dan

sejenisnya

dengan

memperhatikan keamanan,

keselamatan, keindahan dan keserasian lingkungan;


(2) larangan membuat batas fisik atau pagar pekarangan;
(3) ketentuan penataan bangunan yang harus diikuti dengan memperhatikan
keamanan, keselamatan, keindahan dan keserasian lingkungan;
(4) perkecualian kelonggaran terhadap ketentuan butir (2) di atas dapat diberikan untuk
bangunan perumahan dan bangunan sosial dengan memperhatikan keserasian dan arsitektur
lingkungan.
c. Bentuk Bangunan
i.
Bentuk bangunan gedung harus dirancang sedemikian rupa sehingga setiap ruang-dalam
ii.

dimungkinkan menggunakan pencahayaan dan penghawaan alami.


Ketentuan sebagaimana dimaksudkan pada butir i di atas tidak berlaku apabila sesuai

iii.

fungsi bangunan diperlukan sistem pencahayaan dan penghawaan buatan.


Ketentuan pada butir ii harus tetap mengacu pada prinsip- prinsip konservasi energi.

iv.

Untuk bangunan dengan lantai banyak, kulit atau selubung bangunan harus memenuhi

v.

persyaratan konservasi energi.


Aksesibilitas
bangunan

vi.

harus

mempertimbangkan kemudahan bagi semua

orang, termasuk para penyandang cacat dan lansia.


Suatu bangunan gedung tertentu berdasarkan

letak, ketinggian dan

penggunaannya, harus dilengkapi dengan perlengkapan yang berfungsi sebagai pengaman


terhadap lalulintas udara dan/atau lalu lintas laut.
2.1.2.2.
TATA RUANG-DALAM
a. Ketentuan Umum
i.
Penempatan dinding-dinding penyekat dan lubang-lubang pintu/jendela diusahakan
sedapat mungkin simetris terhadap sumbu-sumbu denah bangunan mengantisipasi terjadinya
ii.

kerusakan akibat gempa.


Bidang-bidang dinding sebaiknya membentuk kotak-kotak tertutup untuk

iii.

mengantisipasi terjadinya kerusakan akibat gempa.


Tinggi ruang adalah jarak terpendek dalam ruang diukur dari permukaan bawah langit-langit

iv.

ke permukaan lantai.
Ruangan dalam bangunan harus mempunyai tinggi yang cukup untuk fungsi yang

v.

diharapkan.
Ketinggian ruang pada lantai dasar disesuaikan dengan fungsi ruang dan arsitektur

vi.

bangunannya.
Dalam hal tidak ada langit-langit, tinggi ruang diukur dari permukaan atas lantai sampai

vii.

permukaan bawah dari lantai di atasnya atau sampai permukaan bawah kaso-kaso.
Bangunan atau bagian bangunan yang mengalami perubahan perbaikan, perluasan,
penambahan, tidak boleh menyebabkan berubahnya

fungsi/penggunaan utama, karakter

arsitektur bangunan dan bagian-bagian bangunan serta tidak boleh mengurangi atau
viii.

mengganggu fungsi sarana jalan keluar/masuk.


Perubahan fungsi dan penggunaan ruang suatu bangunan atau bagian bangunan dapat
diizinkan apabila masih memenuhi ketentuan

penggunaan

jenis bangunan dan dapat

ix.

menjamin keamanan dan keselamatan bangunan serta penghuninya.


Ruang penunjang dapat ditambahkan dengan tujuan memenuhi kebutuhan kegiatan bangunan,

x.

sepanjang tidak menyimpang dari penggunaan utama bangunan.


Jenis dan jumlah kebutuhan fasilitas penunjang yang harus disediakan pada setiap jenis
penggunaan bangunan ditetapkan oleh Kepala Daerah.

xi.

Tata

ruang-dalam

untuk

bangunan

tempat

ibadah, bangunan monumental, gedung

serbaguna, gedung pertemuan, gedung pertunjukan, gedung sekolah, gedung olah

raga,

serta gedung sejenis lainnya diatur secara khusus.


b. Perancangan Ruang-dalam
i.
Bangunan tempat tinggal sekurang-kurangnya memiliki ruang-ruang fungsi utama yang
ii.

mewadahi kegiatan pribadi, kegiatan keluarga/bersama dan kegiatan pelayanan.


Bangunan kantor sekurang-kurangnya memiliki ruang-ruang fungsi utama yang mewadahi

iii.

kegiatan kerja, ruang umum dan ruang pelayanan.


Bangunan toko sekurang-kurang memiliki ruang-ruang fungsi utama yang

iv.

mewadahi kegiatan toko, kegiatan umum dan pelayanan.


Suatu
bangunan
gudang
sekurang-kurangnya harus dilengkapi dengan kamar mandi

v.

dan kakus serta ruang kebutuhan karyawan.


Suatu
bangunan
pabrik
sekurang-kurangnya

harus dilengkapi dengan fasilitas

kamar mandi dan kakus, ruang ganti pakaian karyawan, ruang makan, ruang istirahat, serta
vi.

ruang pelayanan kesehatan yang memadai.


Perhitungan ketinggian bangunan, apabila jarak vertikal dari lantai penuh ke lantai penuh
berikutnya lebih dari 5 meter, maka ketinggian bangunan dianggap sebagai dua lantai, kecuali
untuk penggunaan

vii.
viii.
ix.

ruang

lobby, atau

ruang pertemuan dalam bangunan komersial

(antara lain hotel, perkantoran, dan pertokoan).


Mezanin yang luasnya melebihi 50% dari luas lantai dasar, dianggap sebagai lantai penuh.
Penempatan fasilitas kamar mandi dan kakus untuk pria dan wanita harus terpisah.
Ruang rongga atap hanya dapat diizinkan apabila penggunaannya tidak menyimpang dari
fungsi utama bangunan serta memperhatikan segi kesehatan, keamanan dan keselamatan

x.

bangunan dan lingkungan.


Ruang rongga atap untuk rumah tinggal harus mempunyai penghawaan dan pencahayaan alami

xi.

yang memadai.
Ruang rongga atap dilarang dipergunakan sebagai dapur atau kegiatan lain yang

xii.

potensial menimbulkan kecelakaan/ kebakaran.


Setiap penggunaan ruang rongga atap yang luasnya tidak lebih dari 50% dari luas lantai di

xiii.

bawahnya, tidak dianggap sebagai penambahan tingkat bangunan.


Setiap bukaan pada ruang atap, tidak boleh mengubah sifat dan karakter arsitektur

xiv.

bangunannya.
Pada ruang yang penggunaannya menghasilkan asap dan/atau gas, harus disediakan lobang

xv.
xvi.

hawa dan/atau cerobong hawa secukupnya, kecuali menggunakan alat bantu mekanis.
Cerobong asap dan/atau gas harus dirancang memenuhi persyaratan pencegahan kebakaran.
Tinggi ruang-dalam bangunan tidak boleh kurang dari ketentuan minimum yang
ditetapkan.

xvii.

Tinggi lantai dasar suatu bangunan diperkenankan mencapai maksimal 1,20 m di atas tinggi
rata-rata tanah pekarangan atau tinggi rata-rata jalan, dengan memperhatikan keserasian
lingkungan.
Apabila tinggi tanah pekarangan berada di bawah titik ketinggian (peil) bebas banjir

xviii.

atau terdapat kemiringan yang curam atau perbedaan tinggi yang besar pada tanah asli suatu
perpetakan, maka tinggi maksimal lantai dasar ditetapkan tersendiri.
Tinggi Lantai Denah:Permukaan atas dari lantai denah (dasar) harus:
(1) Sekurang-kurangnya 15 cm di atas titik tertinggi dari pekarangan yang sudah

xix.

dipersiapkan;
(2) Sekurang-kurangnya 25 cm di atas titik tertinggi dari sumbu jalan yang
berbatasan.Dalam hal-hal yang luar biasa, ketentuan dalam butir (1) tersebut, tidak
berlaku jika letak lantai-lantai itu lebih tinggi dari60 cm di atas tanah yang ada di
sekelilingnya, atau untuk tanah-tanah yang miring.
Lantai tanah atau tanah dibawah lantai panggung harus ditempatkan sekurang-

xx.

kurangnya15cmdiatastanahpekarangan serta dibuat kemiringan supaya air dapat mengalir.


2.1.2.3.

KESEIMBANGAN, KESERASIAN DAN KESELARASAN DENGAN

LINGKUNGAN BANGUNAN GEDUNG


a. Ketentuan Umum
Keseimbangan, keserasian dan keselarasan dengan lingkungan bangunan gedung

adalah

perlakuan terhadap lingkungan di sekitar bangunan gedung yang menjadi pertimbangan


penyelenggaraan bangunan gedung baik dari segi sosial, budaya, maupun dari segi ekosistem.
b. Persyaratan Ruang Terbuka Hijau Pekarangan (RTHP)
i.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) secara makro berfungsi untuk kepentingan ekologis, sosial,
ekonomi maupun estetika dari suatu kota. Secara ekologis dimaksudkan sebagai upaya
konservasi air tanah, paru-paru kota, dan dapat menjadi tempat hidup dan berkembangnya
ii.

plasma nutfah (flora fauna dan ekosistemnya).


Ruang Terbuka Hijau yang berhubungan langsung dengan bangunan gedung dan terletak

iii.

pada persil yang sama disebut Ruang Terbuka Hijau Pekarangan (RTHP).
RTHP berfungsi sebagai tempat tumbuhnya tanaman, peresapan air, sirkulasi,

iv.

unsur-unsur estetik, baik sebagai ruang kegiatan dan maupun sebagai ruang amenity.
Sebagai ruang transisi, RTHP merupakan bagian integral dari penataan bangunan gedung

v.

dan sub-sistem dari penataan lansekap kota.


Syarat-syarat RTHP ditetapkan dalam rencana tata ruang dan tata bangunan baik langsung
maupun tidak langsung, dalam bentuk ketetapan GSB, KDB, KDH, KLB, parkir dan ketetapan
lainnya.

vi.

RTHP yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang dan tata bangunan tidak boleh dilanggar

vii.

dalam mendirikan atau memperbaharui seluruhnya atau sebagian dari bangunan.


Apabila RTHP sebagaimana dimaksud pada butir v belum ditetapkan dalam rencana tata ruang
dan tata bangunan, maka dapat dibuat ketetapan yang bersifat sementara untuk

viii.

lokasi/lingkungan yang terkait dengan setiap permohonan bangunan.


Ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir v dapat dipertimbangkan dan disesuaikan untuk
bangunan perumahan dan bangunan sosial dengan memperhatikan keserasian dan arsitektur

ix.

lingkungan.
Setiap perencanaan bangunan baru harus memperhatikan potensi unsur-unsur alami yang

x.

ada dalam tapak seperti danau, sungai, pohon-pohon menahun, tanah dan permukaan tanah.
Dalam hal terdapat makro lansekap yang dominan seperti laut, sungai besar, gunung dan
sebagainya, terhadap suatu kawasan/daerah dapat diterapkan pengaturan khusus untuk orientasi

xi.

tata letak bangunan yang mempertimbangkan potensi arsitektural lansekap yang ada.
Sebagai perlindungan atas sumber-sumber daya alam yang ada, dapat ditetapkan
persyaratan khusus bagi permohonan IMB dengan

xii.

mempertimbangkanhal-halpencagaran

sumber daya alam, keselamatan pemakai dan kepentingan umum.


Ketinggian maksimum/minimum lantai dasar bangunan dari muka jalan ditentukan untuk
pengendalian keselamatan bangunan, seperti dari bahaya banjir, pengendalian bentuk estetika
bangunan secara keseluruhan/ kesatuan lingkungan, dan aspek aksesibilitas, serta tergantung

pada kondisi lahan.


c. Persyaratan Ruang Sempadan Bangunan Gedung
i.
Pemanfaatan Ruang Sempadan Depan Bangunan harus mengindahkan keserasian
lansekap pada ruas jalan yang terkait sesuai dengan ketentuan rencana tata ruang dan
tata bangunan yang ada Keserasian tersebut antara lain mencakup pagar dan gerbang,
vegetasi besar/pohon, bangunan penunjang seperti pos jaga, tiang bendera, bak sampah dan
ii.

papan nama bangunan.


Bila diperlukan dapat ditetapkan karakteristik lansekap jalan atau ruas jalan dengan
mempertimbangkan keserasian tampak depan bangunan,

ruang sempadan depan bangunan,

pagar, jalur pejalan kaki, jalur kendaraan dan jalur hijau median jalan berikut utilitas jalan
iii.

lainnya seperti tiang listrik, tiang telepon di kedua sisi jalan/ruas jalan yang dimaksud.
Koefisien Dasar Hijau (KDH) ditetapkan sesuai dengan peruntukan dalam rencana tata
ruang wilayah yang telah ditetapkan. KDH minimal 10% pada daerah sangat padat/ padat. KDH
ditetapkan meningkat setara dengan naiknya ketinggian bangunan dan berkurangnya kepadatan
wilayah.

iv.

Ruang terbuka hijau pekarangan sebanyak mungkin diperuntukkan bagi


penghijauan/penanaman di atas tanah. Dengan demikian area parkir dengan lantai
perkerasan masih tergolong RTHP sejauh ditanami pohon peneduh yang

v.

ditanam di

atas tanah, tidak di dalam wadah/ kontainer yang kedap air.


KDH tersendiri dapat ditetapkan untuk tiap-tiap klas bangunan dalam kawasan-

kawasan bangunan, dimana terdapat beberapa klas bangunan dan kawasan campuran.
d. Persyaratan Tapak Besmen Terhadap Lingkungan
I.
Kebutuhan besmen dan besaran koefisien tapak besmen (KTB) ditetapkan berdasarkan
II.

rencana peruntukan lahan, ketentuan teknis, dan kebijaksanaan daerah setempat.


Untuk keperluan penyediaan RTHP yang memadai, lantai besmen pertama (B-1) tidak
dibenarkan keluar dari tapak bangunan (di atas tanah) dan atap besmen kedua (B-2) yang
di luar tapak bangunan

harusberkedalaman sekurangnya 2 (dua) meter dari permukaan

tanah tempat penanaman.


e. Daerah Hijau pada Bangunan
I.

Daerah Hijau Bangunan (DHB) dapat berupa taman-atap (roof-garden) maupun


penanaman pada sisi-sisi bangunan seperti pada balkon dan cara-cara perletakan

II.

tanaman lainnya pada dinding bangunan


DHB merupakan bagian dari kewajiban pemohon banguna untuk

menyediakan RTHP.

Luas DHB diperhitungkan sebagai luas RTHP namun tidak lebih dari 25% luas RTHP
f. Tata Tanaman
i.
Pemilihan dan penggunaan tanaman harus memperhitungkan karakter tanaman sampai
pertumbuhannya optimal yang berkaitan dengan bahaya yang mungkin ditimbulkan. Potensi
bahaya terdapat pada jenis-jenis tertentu yang sistem perakarannya destruktif, batang dan
cabangnya rapuh, mudah terbakar serta bagian- bagian lain yang berbahaya bagi kesehatan
ii.

manusia.
Penempatan

iii.

tanah/wadah sehingga memenuhi syarat- syarat keselamatan pemakai.


Untuk memenuhi fungsi ekologis khususnya di perkotaan, tanaman dengan struktur daun

iv.

yang rapat besar seperti pohon menahun harus lebih diutamakan.


Untuk pelaksanaan kepentingan tersebut pada butir i dan butir ii, Kepala Daerah dapat

tanaman

harus

memperhitungkan pengaruh angin, air, kestabilan

membentuk tim penasehat untuk mengkaji rencana pemanfaatan jenis-jenis tanaman yang layak
tanam di RTHP berikut standar perlakuannya yang memenuhi syarat keselamatan pemakai.
g. Sirkulasi dan Fasilitas Parkir

i.

Sistem

sirkulasi

yang

direncanakan

harus

saling mendukung, antara sirkulasi

eksternal dengan internal bangunan, serta antara individu pemakai bangunan dengan sarana
transportasinya.

Sirkulasi

harus

memberikan pencapaian yang mudah dan jelas,

ii.

baik yang bersifat pelayanan publik maupun pribadi.


Sistem sirkulasi yang direncanakan haru setelah memperhatikan kepentingan bagi aksesibilitas

iii.

pejalan kaki.
Sirkulasi harus memungkinkan adanya ruang gerak vertikal (clearance) dan lebar jalan
yang sesuai untuk pencapaian darurat oleh kendaraan pemadam kebakaran, dan

iv.

kendaraan pelayanan lainnya.


Sirkulasi perlu diberi perlengkapan seperti tanda penunjuk jalan, rambu-rambu, papan
informasi sirkulasi, elemen pengarah sirkulasi

(dapat

berupa

elemen

perkerasanmaupun tanaman), guna mendukung sistem sirkulasi yang jelas dan efisien serta
v.
vi.

memperhatikan unsur estetika.


Penataan jalan tidak dapat terpisahkan dari penataan pedestrian, penghijauan, dan
ruang terbuka umum.
Penataan ruang jalan dapat sekaligus mencakup ruang- ruang antar bangunan yang tidak
hanya terbatas dalam Rumija, dan termasuk untuk penataan elemen lingkungan, penghijauan,

vii.

dll.
Pemilihan bahan pelapis jalan dapat mendukung pembentukan identitas lingkungan yang

viii.

dikehendaki, dan kejelasan kontinuitas pedestrian.


Jalur utama pedestrian harus telah mempertimbangkan sistem pedestrian secara
keseluruhan, aksesibilitas terhadap subsistem pedestrian dalam lingkungan, dan

ix.

aksesibilitas dengan lingkungan sekitarnya.


Jalur pedestrian harus berhasil menciptakan pergerakan manusia yang tidak terganggu

x.

oleh lalu lintas kendaraan.


Penataan pedestrian harus mampu merangsang terciptanya ruang yang layak

xi.
xii.

digunakan/manusiawi, aman, nyaman, dan memberikan pemandangan yang menarik.


Elemen pedestrian (street furniture) harus berorientasi pada kepentingan pejalan kaki.
Setiap bangunan bukan rumah hunian diwajibkan menyediakan area parkir kendaraan

xiii.

sesuai dengan jumlah area parkir yang proporsional dengan jumlah luas lantai bangunan.
Penyediaan parkir di pekarangan tidak boleh mengurangi daerah penghijauan yang telah

xiv.

ditetapkan.
Prasarana parkir untuk suatu rumah atau bangunan tidak diperkenankan mengganggu

xv.

kelancaran lalu lintas, atau mengganggu lingkungan di sekitarnya.


Jumlah kebutuhan parkir menurut jenis bangunan ditetapkan sesuai dengan standar
teknis yang berlaku.

xvi.

Penataan parkir

harus

xvii.

aksesibilitas, dan tidak terganggu oleh sirkulasi kendaraan.


Luas, distribusi dan perletakan fasilitas parkir diupayakan tidak mengganggu kegiatan

xviii.

bangunan dan lingkungannya, serta disesuaikan dengan daya tampung lahan.


Penataan parkir tidak terpisahkan dengan penataan lainnya seperti untuk jalan, pedestrian dan

penghijauan.
h. Pertandaan (Signage)
i.
Penempatan
pertandaan

berorientasi kepada kepentingan pejalan kaki,

(signage),

termasuk

memudahkan

papan iklan/reklame, harus membantu

orientasi tetapi tidak mengganggu karakter lingkungan yang ingin


diciptakan/dipertahankan, baik yang penempatannya pada bangunan, kaveling, pagar, atau
ii.

ruang publik.
Untuk penataan bangunan dan lingkungan yang baik untuk lingkungan/kawasan tertentu,
Kepala Daerah dapat mengatur pembatasan-pembatasan ukuran, bahan, motif, dan lokasi dari

signage.
i. Pencahayaan Ruang Luar Bangunan Gedung
i.
Pencahayaan ruang luar bangunan harus disediakan dengan memperhatikan karakter
ii.

lingkungan, fungsi dan arsitektur bangunan, estetika amenity, dan komponen promosi.
Pencahayaan yang dihasilkan harus memenuhi keserasian dengan pencahayaan dari

iii.

dalam bangunan dan pencahayaan dari jalan umum.


Pencahayaan yang dihasilkan dengan telah menghindari penerangan ruang luar yang
berlebihan, silau, visual yang tidak menarik, dan telah memperhatikan aspek operasi dan
pemeliharaan.

2.1.3. PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN


1. Dampak Penting
a. Setiap kegiatan dalam bangunan dan/atau lingkungannya yang mengganggu dan
menimbulkan

dampak

penting

terhadap lingkungan harus dilengkapi dengan AMDAL

(Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sesuai ketentuan yang berlaku.


b. Setiap kegiatan dalam bangunan dan/atau lingkungannya yang menimbulkan dampak tidak
penting terhadap lingkungan, atau secara teknologi sudah dapat dikelola dampak pentingnya,
tidak perlu dilengkapi dengan AMDAL, tetapi diharuskan melakukan Upaya Pengelolaan
Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) sesuai ketentuan yang berlaku.
c. Kegiatan yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan adalah bila
rencana kegiatan tersebut akan:
i.
menyebabkan perubahan pada

sifat-sifat fisik

dan/atau hayati lingkungan, yang

melampaui baku mutu lingkungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;

ii.

menyebabkan

iii.

melampaui kriteria yang diakui, berdasarkan pertimbangan ilmiah;


mengakibatkan spesies-spesies yang langka dan/atau endemik, dan/atau
dilindungi

iv.

perubahan

menurut

mendasar

komponen lingkungan yang

peraturan perundang-undangan yang berlaku terancam punah;

atau habitat alaminya mengalami kerusakan;


menimbulkan kerusakan atau gangguan terhadap kawasan lindung (hutan lindung, cagar
alam, taman nasional, suaka margasatwa,

v.

pada

dan

sebagainya)

yang

telah

ditetapkan

menurut peraturan perundang-undangan;


merusak atau memusnahkan benda-benda dan bangunan peninggalan sejarah yang
bernilai tinggi;
mengubah atau memodifikasi areal yang mempunyai nilai keindahan alami yang tinggi;
mengakibatkan/ menimbulkan konflik atau kontroversi dengan masyarakat, dan/atau

vi.
vii.

pemerintah.
d. Kegiatan yang dimaksud pada butir c merupakan kegiatan yang berdasarkan pengalaman
dan tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai potensi menimbulkan
dampak penting terhadap lingkungan hidup.
2. Ketentuan Pengelolaan Dampak Lingkungan
Jenis-jenis kegiatan pada pembangunan bangunan gedung dan/atau lingkungannya yang
wajib AMDAL, adalah sesuai ketentuan pengelolaan dampak lingkungan yang berlaku.
3. Ketentuan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan UpayaPemantauan Lingkungan
(UPL)
Jenis-jenis kegiatan pada pembangunan bangunan gedung dan/atau lingkungannya yang
harus melakukan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL) adalah sesuaiketentuan yang berlaku.
2.1.4. RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN (RTBL)
1. Tindak Lanjut RTRW dan/atau Rencana Teknik Ruang Kabupaten/Kota a. RTBL menindaklanjuti
rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana teknik ruang kabupaten/kota, dan sebagai
panduan rancangan kawasan, dalam rangka perwujudan kesatuan karakter, kualitas bangunan
gedung dan lingkungan yang berkelanjutan. Selainitu, RTBL merupakan instrumen guna
meningkatkan:
i.
Perwujudan Kesatuan karakter;
ii.
Kualitas Bangunan Gedung; dan
iii.
Lingkungan yang Berkelanjutan
a. RTBL digunakan sebagai
suatu lingkungan/kawasan.
2. Muatan Materi RTBL

panduan

dalam

pengendalian pemanfaatan ruang

a. Program Bangunan dan Lingkungan


Program bangunan dan lingkungan merupakan penjabaran lebih lanjut dari peruntukan
lahan yang telah ditetapkan untuk kurun waktu tertentu, yang memuat jenis, jumlah,
besaran, dan luasan bangunan, serta kebutuhan ruang terbuka hijau, fasilitas umum, fasilitas
sosial, prasarana aksesibilitas, sarana pencahayaan, dan sarana penyehatan lingkungan, baik
berupa penataan prasarana dan sarana yang sudah ada maupun baru.
b. Rencana Umum dan Panduan Rancangan
Rencana umum dan panduan rancangan merupakan ketentuan- ketentuan tata bangunan dan
lingkungan yang memuat rencana peruntukan lahan mikro, rencana perpetakan, rencana tapak,
rencana sistem pergerakan, rencana prasarana dan sarana lingkungan, rencana
aksesibilitas lingkungan, dan rencana wujud visual bangunan gedung untuk semua lapisan
sosial yang berkepentingan dalam kawasan tersebut.
c. Rencana Investasi
Rencana investasi merupakan arahan program investasi bangunan gedung dan
lingkungannya berdasarkan program bangunan dan lingkungan serta ketentuan rencana umum
dan panduan rencana, yang

memuat

program investasi jangka pendek,

jangka

menengah, dan jangka panjang, yang disertai estimasi biaya investasi baik penataan bangunan
lama maupun rencana pembangunan baru dan pengembangannya serta pola pendanaannya.
d. Ketentuan Pengendalian Rencana dan Pedoman Pengendalian Pelaksanaan
Ketentuan pengendalian rencana dan pedoman pengendalian pelaksanaan merupakan
persyaratan-persyaratan tata bangunan dan lingkungan yang ditetapkan untuk kawasan yang
bersangkutan, prosedur perizinan, dan

lembaga yang bertanggung jawab dalam

pengendalian pelaksanaan.
3. Penyusunan RTBL
a. RTBL dapat disusun berdasarkan kemitraan pemerintah daerah, swasta, dan/atau
masyarakat

sesuai

bersangkutan.
b. Penyusunan
RTBL

dengan

tingkat permasalahan pada lingkungan/kawasan yang

dilakukan

dengan

mempertimbangkan pendapat tim ahli dan

pendapat publik.
c. Penyusunan RTBL didasarkan pada pola penanganan penataan bangunan gedung dan
lingkungan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
d. Pola penanganan penataan bangunan dan lingkungan meliputi: perbaikan, pengembangan
kembali, pembangunan baru, dan/atau pelestarian, yang diterapkan pada:
i.
kawasan yang sudah terbangun;
ii.
kawasan yang dilestarikan dan dilindungi;
iii.
kawasan baru yang potensial berkembang; dan/atau

iv.

kawasan yang bersifat campuran.

2.1.5. PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG DI ATAS DAN/ATAU DIBAWAH TANAH,


AIR DAN/ATAU PRASARANA/SARANA UMUM
1. Pembangunan bangunan gedung di atas prasarana dan/atau sarana umum harus:
a. sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana teknik ruang
kabupaten/kota, dan/atau RTBL;
b. tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana yang berada di bawahnya dan/atau di
sekitarnya; dan
c. tetap memperhatikan keserasian bangunan terhadap lingkungannya.
2. Pembangunan bangunan gedung di bawah tanah yang melintasi prasarana dan/atau sarana
umum harus:
a. sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana teknik ruang
b.
c.
d.
e.

kabupaten/kota, dan/atau RTBL;


tidak untuk fungsi hunian atau tempat tinggal;
tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana yang berada di bawah tanah;
memenuhi persyaratan kesehatan sesuai fungsi bangunan; dan
memiliki sarana khusus untuk kepentingan keamanan dan keselamatan bagi pengguna

bangunan.
3. Pembangunan bangunan gedung di bawah dan/atau di atas air harus:
a. sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana teknik ruang
b.
c.
d.
e.

kabupaten/kota, dan/atau RTBL;


tidak mengganggu keseimbangan lingkungan, dan fungsi lindung kawasan;
tidak menimbulkan perubahan arus air yang dapat merusak lingkungan;
tidak menimbulkan pencemaran; dan
telahmempertimbangkanfaktorkeselamatan,kenyamanan, kesehatan, dan kemudahan bagi

pengguna bangunan.
4. Pembangunan bangunan gedung pada daerah hantaran udara (transmisi)tegangan

tinggi,

dan/atau menara telekomunikasi, dan/atau menara air, harus:


a. sesuai rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana teknik ruang kabupaten/kota, dan/atau
RTBL;
b. telah mempertimbangkan

faktor

keselamatan,

kenyamanan, kesehatan, dan kemudahan

bagi pengguna bangunan; dan


c. khusus untuk daerah hantaran udara (transmisi) tegangan tinggi, harus mengikuti
pedoman dan/atau standar teknis yang berlaku tentang ruang bebas saluran udara tegangan
tinggi dan saluran udara tegangan ekstra tinggi.
5. Pembangunan bangunan gedung pada butir 1, 2, 3, dan 4 harus mendapat persetujuan dari
Bupati/Walikota setelah mempertimbangkan pendapat dari tim ahli bangunan gedung dan pendapat
publik.

2.1.6. PERSYARATAN KEANDALAN BANGUNAN GEDUNG


2.1.6.1.
PERSYARATAN KESELAMATAN BANGUNAN GEDUNG
1. Umum
Persyaratan keselamatan bangunan gedung meliputi persyaratan kemampuan bangunan gedung
terhadap beban muatan, persyaratan kemampuan bangunan gedung terhadap bahaya kebakaran,
dan persyaratan kemampuan bangunan gedung terhadap bahaya petir dan bahaya kelistrikan.
2. Persyaratan Struktur Bangunan Gedung
a. Struktur Bangunan Gedung
i.
Setiap bangunan gedung, strukturnya harus direncanakan dan dilaksanakan agar kuat,
kokoh, dan stabil dalam memikul beban/kombinasi beban dan memenuhi persyaratan
keselamatan (safety), serta memenuhi persyaratan kelayanan (serviceability) selama
umur
ii.

layanan

yang

direncanakandengan mempertimbangkan fungsi bangunan

gedung, lokasi, keawetan, dan kemungkinan pelaksanaan konstruksinya.


Kemampuan memikul beban diperhitungkan terhadap pengaruh-pengaruh aksi
sebagai akibat dari beban-beban yang mungkin bekerja selama umur layanan struktur,
baik beban muatan tetap maupun beban muatan sementara yang timbul akibat gempa,

iii.

angin, pengaruh korosi, jamur, dan serangga perusak.


Dalam perencanaan struktur bangunan gedung terhadap pengaruh gempa, semua unsur
struktur bangunan gedung, baik bagian dari sub struktur maupun struktur gedung, harus

iv.

diperhitungkan memikul pengaruh gempa rencana sesuai dengan zona gempanya.


Struktur bangunan gedung harus direncanakan secara daktail sehingga pada kondisi
pembebanan maksimum yang direncanakan, apabila terjadi keruntuhan kondisi

v.

strukturnya masih dapat memungkinkan pengguna bangunan gedung menyelamatkan diri.


Apabila bangunan gedung terletak pada lokasi tanah yang dapat terjadi likuifaksi,
maka struktur bawah bangunan gedung harus direncanakan mampu menahan gaya

vi.

likuifaksi tanah tersebut.


Untuk menentukan tingkat

keandalan

struktur

bangunan, harus dilakukan

pemeriksaan keandalan bangunan secara berkala sesuai dengan ketentuan dalam


vii.

Pedoman/Petunjuk Teknis Tata Cara Pemeriksaan Keandalan Bangunan Gedung.


Perbaikan atau perkuatan struktur bangunan harus segeradilakukan sesuai
rekomendasi hasil pemeriksaan keandalan bangunan gedung, sehingga bangunan gedung

viii.

selalu memenuhi persyaratan keselamatan struktur.


Perencanaan dan pelaksanaan perawatan struktur bangunan gedung seperti halnya
penambahan struktur dan/atau penggantian struktur, harus mempertimbangkan persyaratan
keselamatan struktur sesuai dengan pedoman dan standar teknis yang berlaku.

ix.

Pembongkaran bangunan gedung dilakukan apabila bangunan gedung sudah tidak laik
fungsi, dan setiap pembongkaran bangunan gedung harus dilaksanakan secara tertib

x.

dengan mempertimbangkan keselamatanmasyarakatdan lingkungannya.


Pemeriksaan keandalan bangunan gedung dilaksanakan secara berkala sesuai klasifikasi

xi.

bangunan, dan harus dilakukan atau didampingi oleh ahli yang memiliki sertifikasi sesuai.
Untuk mencegah terjadinya keruntuhan struktur yang tidak diharapkan, pemeriksaan
keandalan bangunan harus dilakukan secara berkala sesuai dengan pedoman/ petunjuk

teknis yang berlaku.


b. Pembebanan pada Bangunan Gedung
i.
Analisis struktur harus dilakukan untuk memeriksa respon struktur terhadap beban-beban
yang mungkin bekerja selama umur kelayanan struktur, termasuk beban tetap, beban
ii.

sementara (angin, gempa) dan beban khusus.


Penentuan mengenai jenis, intensitas dan cara bekerjanya beban harus mengikuti:
(1) SNI 03-1726-2002 Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk rumah dan
gedung, atau edisi terbaru; dan
(2) SNI 03-1727-1989 Tata cara perencanaan pembebanan untuk rumah dan
gedung, atau edisi terbaru.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum

mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.


c. Struktur Atas Bangunan Gedung
i.
Konstruksi beton
Perencanaan konstruksi beton harus mengikuti:
(1) SNI 03-1734-1989 Tata cara perencanaan beton dan struktur dinding bertulang
untuk rumah dan gedung, atau edisi terbaru;
(2) SNI 03-2847-1992 Tata cara penghitungan struktur beton untuk bangunan
gedung, atau edisi terbaru;
(3) SNI 03-3430-1994 Tata cara

perencanaan

dinding struktur

pasangan

blok

beton berongga bertulang untuk bangunan rumah dan gedung, atau edisi terbaru;
(4) SNI 03-3976-1995 atau edisi terbaru; Tata cara pengadukan pengecoran beton.
(5) SNI 03-2834-2000 Tata cara pembuatan rencana campuran beton normal, atau
edisi terbaru; dan
(6) SNI 03-3449-2002 Tata cara

rencana

pembuatan campuran beton ringan

dengan agregat ringan, atau edisi terbaru.


Sedangkan untuk perencanaan dan pelaksanaan konstruksi beton pracetak dan prategang harus mengikuti:

(1) Tata Cara Perencanaan dan Pelaksanaan KonstruksiBeton Pracetak dan Prategang untuk
Bangunan Gedung;
(2) Metoda Pengujian dan Penentuan Parameter Perencanaan Tahan Gempa Konstruksi Beton
Pracetak dan Prategang untuk Bangunan Gedung; dan
(3) SpesifikasiSistemdanMaterialKonstruksiBetonPracetak dan Prategang untuk Bangunan Gedung.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai SNI,
digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
ii.
Konstruksi Baja
Perencanaan konstruksi baja harus mengikuti:
(1) SNI 03-1729-2002 Tata cara perencanaan bangunan baja untuk gedung, atau edisi
terbaru;
(2) Tata Cara dan/atau pedoman lain yang masih terkait dalam perencanaan konstruksi
baja;
(3) Tata Cara Pembuatan atau Perakitan Konstruksi Baja;
(4) Tata Cara Pemeliharaan Konstruksi Baja SelamaPelaksanaan Konstruksi.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai SNI,
digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
iii.

Konstruksi Kayu
Perencanaan konstruksi kayu harus mengikuti:
(1) SNI 03-2407-1994 Tata cara pengecatan kayu untuk rumah dan gedung, atau
edisi terbaru;
(2) Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu untukBangunan Gedung; dan
(3) Tata Cara Pembuatan dan Perakitan Konstruksi Kayu;

Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai SNI,
digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
iv. Konstruksi Bambu
Perencanaan konstruksi bambu harus memenuhi kaidah- kaidah perencanaan konstruksi
v.

berdasarkan pedoman dan standar teknis yang berlaku.


Konstruksi dengan Bahan dan Teknologi Khusus
(1) Perencanaan konstruksidengan bahan dan teknologi khusus harus

dilaksanakan

oleh ahli struktur yang terkait dalam bidang bahan dan teknologi khusus tersebut;
(2) Perencanaankonstruksidenganmemperhatikan standar-standar teknis padanan untuk
spesifikasi teknis, tata cara, dan metoda uji bahan dan teknologi khusus tersebut.
Pedoman Spesifik Untuk Tiap Jenis Konstruksi

vi.

Selain pedoman yang spesifik untuk masing-masing jenis konstruksi, standar teknis lainnya
yang terkait dalam perencanaan suatu bangunan yang harus mengikuti:

(1) SNI 03-1736-1989 Tata cara perencanaan struktur bangunan untuk pencegahan
bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung, atau edisi terbaru;
(2) SNI 03-1745-1989 Tata cara pemasangan sistem hidran untuk pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan rumah dan gedung, atau edisi terbaru;
(3) SNI 03-1977-1990 Tata cara dasar koordinasi modular untuk perancangan bangunan
rumah dan gedung, atau edisi terbaru;
(4) SNI 032394-1991 Tata cara perencanaan dan perancangan

bangunan

kedokteran nuklir di rumah sakit, atau edisi terbaru;


(5) SNI 032395-1991 Tata cara perencanaan dan perancangan bangunan radiologi di
rumah sakit, atau edisi terbaru;
(6) SNI 032397-1991 Tata cara perancangan bangunan sederhana tahan angin, atau edisi
terbaru;
(7) SNI 032404-1991 Tata cara pencegahan rayap pada pembuatan bangunan rumah dan
gedung, atau edisi terbaru;
(8) SNI 032405-1991 Tata cara penanggulangan rayap pada bangunan rumah dan
gedung dengan termitisida, atau edisi terbaru;
(9) SNI 03-1735-2000 Tata cara perencanaan bangunan dan lingkungan untuk
pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung, atau edisi terbaru;
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
d. Struktur Bawah Bangunan Gedung
i.
Pondasi Langsung
(1) Kedalaman pondasi langsung harus direncanakan sedemikian rupa sehingga dasarnya
terletak di atas lapisan tanah yang mantap dengan daya dukung tanah yang cukup kuat
dan selama berfungsinya bangunan tidak mengalami penurunan yang melampaui batas.
(2) Perhitungan daya dukung dan penurunan pondasi dilakukan sesuai teori
mekanika tanah yang baku dan lazim dalam praktek, berdasarkan parameter tanah
yang ditemukan dari penyelidikan tanah dengan memperhatikan nilai tipikal dan
korelasi tipikal dengan parameter tanah yang lain.
(3) Pelaksanaan pondasi langsung tidak boleh menyimpang dari rencana dan spesifikasi
teknik yang berlaku atau ditentukan oleh perencana ahli yang memiiki sertifikasi

ii.

sesuai.
(4) Pondasi langsung dapat dibuat dari pasangan batu atau konstruksi beton bertulang.
Pondasi Dalam
(1) Pondasi dalam pada umumnya digunakan dalam hal lapisan tanah dengan daya
dukung yang cukup terletak jauh di bawah permukaan tanah, sehingga penggunaan

pondasi langsung dapat menyebabkan penurunan yang berlebihan atau ketidakstabilan


konstruksi.
(2) Perhitungan

daya

dukung

dan

penurunan

pondasi dilakukan sesuai teori

mekanika tanah yang baku dan lazim dalam praktek, berdasarkan parameter tanah
yang ditemukan dari penyelidikan tanah dengan memperhatikan nilai tipikal dan
korelasi tipikal dengan parameter tanah yang lain.
(3) Umumnya daya dukung rencana pondasi dalam harus diverifikasi dengan percobaan
pembebanan, kecuali jika jumlah pondasi dalam direncanakan dengan faktor
keamanan yang jauh lebih besar dari faktor keamanan yang lazim.
(4) Percobaan pembebanan pada pondasi dalam harus dilakukan dengan berdasarkan
tata cara yang lazim dan hasilnya harus dievaluasi oleh perencana ahli yang memiliki
sertifikasi sesuai.
(5) Jumlah percobaan pembebanan pada pondasi dalam adalah 1% dari jumlah titik
pondasi yang akan dilaksanakan dengan penentuan titik secara random,
kecualiditentukan lainolehperencanaahliserta disetujui oleh Dinas Bangunan.
(6) Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung harus memperhatikan gangguan yang
mungkin ditimbulkan terhadap lingkungan pada masa pelaksanaan konstruksi.
(7) Dalam hal lokasi pemasangan tiang pancang terletak di daerah tepi laut yang
dapat mengakibatkan korosif harus memperhatikan pengamanan baja terhadap
korosi.
(8) Dalam hal perencanaan atau metode pelaksanaan menggunakan pondasi yang belum
diatur dalam SNI dan/atau mempunyai paten dengan metode konstruksi yang belum
dikenal, harus mempunyai sertifikat yang dikeluarkan instansi yang berwenang.
(9) Apabilaperhitungan struktur menggunakan perangkat lunak, harus menggunakan
perangkat lunak yang diakui oleh asosiasi terkait.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
e. Keandalan Bangunan Gedung
i.
Keselamatan Struktur
(1) Untukmenentukantingkatkeandalanstruktur bangunan, harus dilakukan pemeriksaan
keandalan bangunansecaraberkalasesuai denganketentuan dalamPedoman/Petunjuk
TeknisTataCara Pemeriksaan Keandalan Bangunan Gedung.
(2) Perbaikanatauperkuatanstrukturbangunanharus segeradilakukan sesuai rekomendasi
hasil pemeriksaan keandalan bangunan gedung, sehingga bangunan gedung selalu
memenuhi persyaratan keselamatan struktur.

(3) Pemeriksaan keandalan bangunan gedung dilaksanakan secara berkala sesuai


klasifikasi bangunan, dan harus dilakukan atau didampingi oleh ahli yang memiliki
sertifikasi sesuai.
Keruntuhan Struktur
Untuk mencegah terjadinya keruntuhan struktur yang tidak diharapkan, pemeriksaan

ii.

keandalan bangunan harus dilakukan secara berkala sesuai dengan pedoman/ petunjuk
iii.

teknis yang berlaku.


Persyaratan Bahan
(1) Bahan struktur yang digunakan harus sudah memenuhi semua persyaratan
keamanan, termasuk keselamatan terhadap lingkungan dan pengguna bangunan, serta
sesuai standar teknis (SNI) yang terkait.
(2) Bahan yang dibuat atau dicampurkan di lapangan, harus diproses sesuai dengan
standar tata cara yang baku untuk keperluan yang dimaksud.
(3) Bahan bangunan prefabrikasi harus dirancang sehingga memiliki sistem hubungan yang
baik dan mampu mengembangkan kekuatan bahan-bahan yang dihubungkan, serta
mampu bertahan terhadap gaya angkat pada saat pemasangan/pelaksanaan.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.

3. Persyaratan Kemampuan Bangunan Gedung Terhadap BahayaKebakaran


a. Sistem Proteksi Pasif
Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret sederhana,
harus mempunyai sistem proteksi pasif terhadap bahaya kebakaran yang memproteksi
harta milik berbasis pada desain atau pengaturan terhadap komponen arsitektur dan struktur
bangunan gedung sehingga dapat melindungi penghuni dan benda dari kerusakan fisik saat
terjadi kebakaran.
Penerapan sistem proteksi pasif didasarkan pada fungsi/klasifikasi resiko kebakaran,
geometri ruang, bahan bangunan terpasang, dan/atau jumlah dan kondisi penghuni dalam
bangunan gedung.Pada sistem proteksi pasif yang perlu diperhatikan meliputi: persyaratan
kinerja, ketahanan api dan stabilitas, tipe konstruksi tahan api, tipe konstruksi yang
diwajibkan, kompartemenisasi dan pemisahan, dan perlindungan pada bukaan.
Sistem proteksi pasif tersebut harus mengikuti:
(1) SNI 03-1736-2000 Tata cara perencanaan sistem proteksi pasif untuk pencegahan
bahaya kebakaran pada bangunan gedung; dan
(2) SNI 03-1746-2000 Tata cara perencanaan dan pemasangan sarana jalan ke luar untuk
penyelamatan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung.

Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
b. Sistem Proteksi Aktif
Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret sederhana,
harus dilindungi terhadap bahaya kebakaran dengan proteksi aktif.Penerapan
proteksi

aktif

didasarkan

sistem

pada fungsi, klasifikasi, luas, ketinggian, volume bangunan,

dan/atau jumlah dan kondisi penghuni dalam bangunan gedung.


Pada sistem proteksi aktif yang perlu diperhatikan meliputi:
Sistem Pemadam Kebakaran;
Sistem Deteksi & Alarm Kebakaran;
Sistem Pengendalian Asap Kebakaran; dan
Pusat Pengendali Kebakaran
(1) Pusat Pengendali Kebakaran
Pusat Pengendali Kebakaran adalah sebuah ruang untuk pengendalian dan pengarahan selama
berlangsungnya operasi penanggulangan kebakaran atau penanganan kondisi darurat
lainnya, dengan persyaratan sebagai berikut:
(i)

dilengkapi

sarana

alat

pengendali,

panel

kontrol, telepon, mebel,

peralatan dan sarana lainnya yang diperlukan dalam penanganan kondisi


(ii)

(iii)

kebakaran;
tidak digunakan bagi keperluan lain, selain:
(a) kegiatan pengendalian kebakaran; dan
(b) kegiatan lain yang berkaitan dengan unsur keselamatan atau keamanan bagi
penghuni bangunan.
Konstruksi
Ruang Pusat Pengendali Kebakaran pada bangunan gedung yang tinggi efektifnya
lebih dari 50 meter harus merupakan ruang terpisah, dimana:
(a) konstruksi penutupnya dari beton, dinding atau sejenisnya mempunyai
kekokohan yang cukup terhadap keruntuhan akibat kebakaran dan dengan nilai
TKA tidak kurang dari 120/120/120;
(b) bahan lapis penutup, pembungkus atau sejenisnya harus memenuhi persyaratan
terhadap kebakaran;
(c) peralatan utilitas,

pipa,

saluran

udara

dan sejenisnya, yang tidak

diperlukan untuk berfungsinya ruang pengendali, tidak boleh lewat ruang tersebut;
(d) bukaan pada dinding, lantai atau langit-langit yang memisahkan ruang pengendali
dengan ruang- dalam bangunan dibatasi hanya untuk pintu, ventilasi dan lubang
perawatan lainnya, yang khusus untuk melayani fungsi ruang pengendali tersebut.

(iv)

Proteksi pada bukaan


Setiap bukaan pada ruang

pengendali

kebakaran, seperti pada lantai, langit-langit

dan dinding dalam, untuk jendela, pintu, ventilasi, saluran, dan sejenisnya harus
(v)

mengikuti persyaratan teknis proteksi bukaan.


Pintu Keluar
(a) Pintuyangmenujuruangpengendaliharus membuka ke arah dalam ruang tersebut,
dapat dikunci danditempatkansedemikianrupa sehingga orang yang menggunakan
rute evakuasi dari

dalam bangunan

tidak

menghalangi

atau menutupi

jalan masuk keruang pengendali tersebut.


(b) Ruang pengendali haruslah dapat dimasuki dari dua arah, yaitu:
arah pintu masuk di depan bangunan; dan
arah langsung dari tempat umum atau melalui jalan terusan yangdilindungi
terhadap api, yang menujuketempat
(vi)

umumdanmempunyai nilai TKA tidak

kurang dari 120/30.


Ukuran dan sarana
(a) Ruang pengendali kebakaran harus dilengkapi dengan sekurang-kurangnya:
Panel indikator kebakaran, sakelar kontrol dan indikator visual yang
diperlukan untuk semua pompa kebakaran, kipas pengendali asap, dan
peralatan

pengamanan

kebakaran

lainnya yang dipasang di dalam

bangunan;
telepon sambungan langsung;
sebuah papan tulis dan sebuah papan tempel (pin- up board) berukuran cukup;
sebuah
meja
berukuran
cukup
untuk menggelar gambar dan

rencana taktis, dan


rencana taktis penanggulangan kebakaran.
(b) Sebagai tambahan, di ruang pengendali dapat disediakan:
Panel pengendali utama, panel indikator lif, sakelar pengendali jarak jauh

untuk gas atau catu daya listrik, genset darurat; dan


Sistemkeamananbangunan,sistem pengamatan, dan sistem manajemen, jika

dikehendaki terpisah total dari sistem lainnya.


(c) Ruang pengendali harus:
mempunyai luas lantai tidak kurang dari 10 m2, dan salah satu panjangnya

dari sisi bagian dalam tidak kurang dari 2,50 m;


jika hanya menampung peralatan minimum, luas lantai bersih tidak kurang
dari 8 m2 dan luas ruang bebas di depan panel indikator tidak kurang dari1,50
m2;

jika dipasang peralatan tambahan, luas lantai bersih daerah tambahan


adalah 2 m2 untuk setiap penambahan alat, ruang bebas di depan panel indikator
tidak kurang dari 1,50 m2

dan ruang untuk tiap rute evakuasi penyelamatan

dari ruang pengendali ke ruang lainnya harus disediakan sebagai tambahan


persyaratan (2) dan (3) di atas.
(d) Ventilasi dan pemasok daya
Ruang pengendali harus diberi ventilasi dengan cara:
ventilasi alami dari jendela atau pintu pada dinding

luarbangunanyangmembuka langsung ke ruang pengendali; atau


Sistem udara bertekanan yang hanya melayani ruang pengendali, dan:
a) Dipasangsesuaiketentuan yang berlaku seperti untuk tangga kebakaran
yang dilindungi;
b) Beroperasiotomatis melalui aktivitas sistem alarm atau sistem springkler
yang dipasang pada bangunan;
c) Mengalirkanudara segar ke ruangan tidak kurang dari 30 kali pertukaran
udara per- jamnya pada

waktu

sistemberoperasi dengan dan salah satu

pintu ruangan terbuka;


d) Mempunyaikipas, motor dan pipa-pipa saluran udara yang membentuk
bagian dari sistem , tetapi
pengendali

dan

tidak

diproteksi

berada

di

dalam

ruang

olehdinding yang mempunyai TKA tidak

lebih kecil dari 120/120/120;


e) mempunyai catu daya listrik

ke ruang pengendali atau peralatan

(vii)

penting bagi beroperasinya ruang pengendali.


Pencahayaan darurat sesuai ketentuan yang berlaku harus dipasang dalam ruang

(viii)

pusat pengendali, dan tingkat iluminasi diatas meja kerja tak kurang dari 400Lux.
Beberapa peralatan seperti motor bakar, pompa pengendali springkler,
pemipaan dan sambungan- sambungan pipa tidak boleh dipasang dalam ruang
pengendali, tetapi boleh dipasang di ruangan-ruangan yang dapat dicapai dari ruang

(ix)

pengendali tersebut.
Tingkat suara (ambient) dalam

ruang

pengendali kebakaran yang diukur pada

saat semua peralatan penanggulangan kebakaran beroperasi ketika kondisi darurat


berlangsung

tidak

melebihi

65dbA bila ditentukan berdasarkan ketentuan

tingkat kebisingan didalam bangunan.


Sistem proteksi aktif tersebut harus mengikuti:

(1) SNI

03-1745-2000

Tata

cara

perencanaan

dan pemasangan sistem pipa tegak

dan slang untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung;


(2) SNI 03-3985-2000 Tata cara perencanaan, pemasangan dan pengujian sistem deteksi dan
alarm kebakaran untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung;
(3) SNI 03-3989-2000 Tata cara perencanaan dan pemasangan sistem springkler
otomatik untuk untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung;
(4) SNI 03-6571-2001 Sistem pengendalian asap kebakaran pada bangunan gedung; dan
(5) SNI 03-0712-2004 Sistem manajemen asap dalam mal, atrium, dan ruangan bervolume
besar.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
c. Persyaratan Jalan Keluar dan Aksesibilitas untuk PemadamanKebakaran
Persyaratan jalan keluar dan aksesibilitas untuk pemadaman kebakaran meliputi
perencanaan akses bangunan dan lingkungan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada
bangunan gedung, dan perencanaan dan pemasangan sarana jalan keluar untuk
penyelamatan terhadap bahaya kebakaran.
Persyaratan jalan keluar dan aksesibilitas untuk pemadaman kebakaran tersebut harus mengikuti:
(1) SNI 03-1735-2000 Tata cara perencanaan akses bangunan dan akses lingkungan untuk
pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung; dan
(2) SNI 03-1736-2000 Tata cara perencanaan dan pemasangan sarana jalan keluar untuk
penyelamatan terhadap bahaya kebakaran pada gedung.
Dalamhalmasihadapersyaratanlainnyayangbelum tertampung, atau yang belum
mempunyaiSNI,digunakanstandar baku dan/atau pedoman teknis.
d. Persyaratan Pencahayaan Darurat, Tanda Arah Keluar/Eksit, danSistem Peringatan Bahaya
Persyaratan pencahayaan darurat, tanda arah keluar/eksit, dan sistem peringatan
bahaya dimaksudkan untuk memberikan arahan yang jelas bagi pengguna bangunan gedung
dalam keadaan darurat untuk dapat menyelamatkan diri, yang meliputi:
i. Sistem pencahayaan darurat;
ii. Tanda arah keluar/eksit; dan iii. Sistem Peringatan Bahaya.
Pencahayaan darurat, tanda arah keluar, dan sistem peringatan bahaya dalam gedung
harus mengikuti SNI 03-6573-2001 Tata cara perancangan pencahayaan darurat,
tanda arah dan sistem peringatan bahaya pada bangunan gedung.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang
belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
e. Persyaratan Komunikasi Dalam Bangunan Gedung

Persyaratan komunikasi dalam bangunan gedung dimaksudkan sebagai penyediaan


sistem komunikasi baik untuk keperluan internal bangunan maupun untuk hubungan ke luar,
pada saat terjadi kebakaran dan/atau kondisi darurat lainnya. Termasuk antara lain: sistem
telepon, sistem tata suara, sistem voice evacuation, dll.
Penggunaan instalasi tata suara pada waktu keadaan darurat dimungkinkan asal memenuhi
pedoman dan standar teknis yang berlaku.
i. Perencanaan Komunikasi dalam Gedung
(1) Sistem instalasi komunikasi telepon dan sistem tata komunikasi gedung dan
lain-lainnya, penempatannya harus mudah diamati, dioperasikan, dipelihara, tidak
membahayakan, mengganggu dan merugikan lingkungan dan bagian bangunan serta
sistem instalasi lainnya, serta direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan standar,
normalisasi teknik dan peraturan yang berlaku.
(2) Peralatan dan instalasi sistem komunikasi harus tidak memberi dampak,
harus

diamankan

dan

terhadap gangguan seperti interferensi gelombang elektro

magnetik, dan lain-lain.


(3) Secara berkala dilakukan pengukuran/pengujian terhadap EMC (Electro Magnetic
Campatibility). Apabila hasil pengukuran terhadap EMC melampaui ambang
batas yang ditentukan, maka langkah penanggulangan dan pengamanan harus
ii.

dilakukan.
Instalasi Telepon
(1) Saluran masuk sistem telepon harus memenuhi persyaratan:
(i)
Tempat pemberhentian ujung kabel harus terang, tidak ada genangan air,
(ii)

aman dan mudah dikerjakan.


Ukuran lubang orang (manhole) yang

melayani saluran masuk ke

dalam gedung untuk instalasi telepon minimal berukuran 1,50 m x 0,80 m


dan harus diamankan agar tidak
(iii)

menjadi jalan air masuk ke bangunan gedung

pada saat hujan dll.


Diupayakan dekat dengan kabel catu dari kantor telepon dan dekat dengan

jalan besar.
(2) Penempatan kabel telepon yang sejajar dengan kabel listrik, minimal berjarak
0,10 m atau sesuai ketentuan yang berlaku.
(3) Ruang PABX/TRO sistem telepon harus memenuhi persyaratan:
(i)
Ruang yang bersih, terang, kedap debu, sirkulasi udaranya cukup dan tidak boleh
kena sinar matahari langsung, serta memenuhi persyaratan untuk tempat
(ii)

peralatan;
Tidak boleh digunakan cat dinding yang mudah mengelupas;

(iii)
Tersedia ruangan untuk petugas sentral dan operator telepon.
(4) Ruang batere sistem telepon harus bersih, terang, mempunyai dinding dan lantai
tahan asam, sirkulasi udara cukup dan udara buangnya harus dibuang ke udara
iii.

terbuka dan tidak ke ruang publik, serta tidak boleh kena sinar matahari langsung.
Instalasi Tata Suara
(1) Setiap bangunan dengan ketinggian 4 lantai atau 14 m keatas, harus dipasang sistem
tata suara yang dapat digunakan untuk menyampaikan pengumuman dan instruksi
apabila terjadi kebakaran atau keadaan darurat lainnya.
(2) Sistem peralatan komunikasi darurat sebagaimana dimaksud pada butir a diatas
harus menggunakan sistem khusus, sehingga apabila sistem tata suara umum rusak,
maka sistem telepon darurat tetap dapat bekerja.
(3) Kabel instalasi komunikasi darurat harus terpisah dari instalasi lainnya, dan
dilindungin terhadap bahaya kebakaran, atau terdiri dari kabel tahan api.
(4) Harus dilengkapi dengan sumber/pasokan daya listrik untuk kondisi normal
maupun pada kondisi daya listrik utama mengalami gangguan, dengan kapasitas dan
dapat melayani dalam waktu yang cukup sesuai ketentuan yang berlaku.
(5) Persyaratan sistem komunikasi dalam gedung harus memenuhi:
(i)
Undang-Undang R.I. Nomor 32 Tahun 1999, tentang Telekomunikasi;
dan
Peraturan Pemerintah Nomor

(ii)

52 Tahun

2000, tentang Telekomunikasi

Indonesia;
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
f. Persyaratan Instalasi Bahan Bakar Gas
i. Jenis bahan bakar gas yang dimaksud meliputi:
(1) Gas Kota.
Gas kota yang dipakai umumnya berupa gas alam (natural gas), yang terdiri dari
kandungan methane (CH4) dan ethane (C2H6). Ketentuan teknis dari gas ini
mengikuti standar yang dileluarkan oleh pemasok gas tersebut.
(2) Gas elpiji
(LPG = Liquefied Petroleum Gasses).Gas elpiji, terdiri dari propane
dan

(C3H8)

butane (C4H10). Ketentuan teknis dari gas ini mengikuti standar yang

dileluarkan oleh pemasok gas tersebut.


Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
ii.

mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.


Instalasi Gas Kota

(1) Rancangan sistem distribusi gas pembakaran, pemilihan bahan dan


konstruksinya mengikuti peraturan yang berlaku dari instansi yang
berwenang, atau ketentuan lainnya sepanjang tidak bertentangan.
(2) Instalasi pemipaan untuk rumah dan gedung (mulai dari katup penutup,
atau

regulator)

meter-gas

mengikuti peraturan yang berlaku dari instansi yang

berwenang, atauketentuan lainnya sepanjang tidak bertentangan. Katup penutup,


meter-gas atau regulator harus ditempatkan di luar bangunan.
(3) Pada instalasi untuk pembakaran, harus dilengkapi dengan peralatan khusus untuk
mendeteksi kebocoran gas yang secara otomatis mematikan aliran gas.
Instalasi gas elpji (LPG).
(1) Rancangan sistem distribusi gas pembakaran, pemilihan bahan dan konstruksinya

iii.

mengikuti peraturan yang berlaku dari instansi yang berwenang, atau ketentuan
lainnya sepanjang tidak bertentangan.
(2) Instalasi pemipaan untuk rumah tangga (domestik) dan gedung (komersial)
mengikuti peraturan yang berlaku dari instansi yang berwenang, atau ketentuan
lainnya sepanjang tidak bertentangan.
(3) Bila pasokan dari beberapa tabung silinder digabung ke dalam satu manipol
(manifold atau header), maka harus mengikuti peraturan yang berlaku dari instansi
yang berwenang, atau ketentuan lainnya sepanjang tidak bertentangan. Tabung-tabung
silinder yang digabung harus ditempatkan di luar bangunan. Dalam hal tabungtabung tersebut harus ditempatkan dalam bangunan, maka harus diletakkan di lantai
dasar dan salah satu dinding ruangan gas tersebut merupakan dinding luar dari
bangunan dan dinding lainnya harus memiliki TKA120/120/120.Tabung-tabung
tersebut dapat pula diletakkan di lantai teratas bangunan gedung.
(4) Pada instalasi untuk pembakaran, harus dilengkapi dengan peralatan khusus
untuk mendeteksi kebocoran gas yang secara otomatis mematikan aliran gas, dan
iv.

tanda DILARANG MEROKOK.


Pemeriksaan dan pengujian.
Instalasi gas beserta kelengkapannya harus diperiksa dan diuji sebelum
digunakan dan diperiksa secara berkala oleh instansi yang berwenang sesuai

ketentuan yang berlaku, serta merupakan bagian pertimbangan keandalan bangunan.


Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
g. Manajemen Penanggulangan Kebakaran

Setiap bangunan gedung dengan fungsi, klasifikasi, luas, jumlah lantai, dan/atau
dengan jumlah penghuni tertentu harus memiliki unit manajemen pengamanan kebakaran.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
4. Persyaratan Kemampuan Bangunan Gedung Terhadap Bahaya Petir dan Bahaya Kelistrikan
a. Persyaratan Instalasi Proteksi Petir
Persyaratan proteksi petir ini memberikan petunjuk untuk perancangan, instalasi, dan
pemeliharaan instalasi sistem proteksi petir terhadap bangunan gedung secara efektif
untuk proteksi terhadap petir serta inspeksi, dalam upaya untuk mengurangi secara nyata
risiko kerusakan yang disebabkan oleh petir terhadap bangunan

gedung

yang

diproteksi, termasuk di dalamnya manusia serta perlengkapan bangunan lainnya.


Persyaratan proteksi petir harus memperhatikan sebagai berikut:
i. Perencanaan sistem proteksi petir;
ii. Instalasi Proteksi Petir; dan
iii.
Pemeriksaan dan Pemeliharaan
Persyaratan sistem proteksi petir harus memenuhi SNI 03-7015-2004 Sistem proteksi
petir pada bangunan gedung.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
b. Persyaratan Sistem Kelistrikan
Persyaratan sistem kelistrikan meliputi sumber daya listrik, panel hubung bagi, jaringan
distribusi

listrik, perlengkapan serta instalasi listrik untuk memenuhi kebutuhan bangunan

gedung yang terjamin terhadap aspek keselamatan manusia dari bahaya listrik, keamanan
instalasi listrik beserta perlengkapannya, keamanan gedung serta isinya dari bahaya
kebakaran akibat listrik, dan perlindungan lingkungan.
Persyaratan sistem kelistrikan harus memperhatikan:
i. Perencanaan instalasi listrik;
ii. Jaringan distribusi listrik;
iii.
Beban listrik;
iv. Sumber daya listrik;
v. Transformator distribusi;
vi. Pemeriksaan dan pengujian; dan
vii. Pemeliharaan
Persyaratan sistem kelistrikan harus mengikuti:
(1) SNI 04-0227-1994 Tegangan standar, atau edisi terbaru;
(2) SNI 04-0225-2000 Persyaratan umum instalasi listrik (PUIL2000), atau edisi
terbaru;
(3) SNI 04-7018-2004 Sistem pasokan daya listrik darurat dan siaga, atau edisi
terbaru;

(4) SNI 04-7019-2004 Sistem pasokan daya listrik darurat menggunakan energi
tersimpan, atau edisi terbaru.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya

yang

belum tertampung, atau

yang belum mempunyai SNI, digunakan standarbaku dan/atau pedoman teknis.


2.1.6.2.
PERSYARATAN KESEHATAN BANGUNAN GEDUNG
1. Umum
Persyaratan kesehatan bangunan gedung meliputi persyaratan sistem penghawaan,
pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan gedung.
2. Persyaratan Sistem Penghawaan
a. Persyaratan Ventilasi
i. Setiap bangunan gedung harus mempunyai ventilasi alami dan/atau ventilasi
ii.

mekanik/buatan sesuai dengan fungsinya.


Bangunan gedung tempat tinggal,

bangunan

gedung pelayanan kesehatan

khususnya ruang perawatan, bangunan gedung pendidikan khususnya ruang kelas, dan
bangunan pelayanan umum lainnya harus mempunyai bukaan permanen, kisi-kisi pada
pintu dan jendela dan/atau bukaan permanen yang dapat dibuka untuk kepentingan
iii.

ventilasi alami.
Persyaratan Umum
Jika ventilasi alami tidak mungkin dilaksanakan, maka diperlukan ventilasi mekanis seperti
pada bangunan fasilitas tertentu yang memerlukan perlindungan dari udara luar dan
pencemaran.
Persyaratan teknis sistem ventilasi, kebutuhan ventilasi, harus mengikuti:
(a) SNI 03-6390-2000 Konservasi energi sistem tata udara pada bangunan gedung;
(b) SNI 03-6572-2001 Tata cara perancangan sistem ventilasi dan
pengkondisian udara pada bangunan gedung, atau edisi terbaru;
(c) Standar tentang tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem
ventilasi;
(d) Standar tentang tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem ventilasi
mekanis.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum

mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.


3. Persyaratan Sistem Pencahayaan
Persyaratan sistem pencahayaan pada bangunan gedung meliputi:
i.
Setiap bangunan gedung untuk memenuhi persyaratan sistem pencahayaan harus
mempunyai pencahayaan alami dan/atau pencahayaan buatan, termasuk pencahayaan
darurat sesuai dengan fungsinya.

ii.

Bangunan

gedung

tempat

tinggal,

pelayanan

kesehatan, pendidikan, dan bangunan

iii.

pelayanan umum harus mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami.


Pencahayaan alami harus optimal, disesuaikan dengan fungsi bangunan gedung dan fungsi

iv.

masing-masing ruang di dalam bangunan gedung.


Pencahayaan buatan harus direncanakan berdasarkan tingkat iluminasi yang
dipersyaratkan sesuai fungsi ruang-dalam bangunan gedung dengan mempertimbangkan
efisiensi, penghematan energy yangdigunakan,danpenempatannya tidak menimbulkan efek

v.

silau atau pantulan.


Pencahayaan buatan

yang

digunakan

untuk

pencahayaan darurat harus dipasang pada

bangunan gedung dengan fungsi tertentu, serta dapat bekerja secara otomatis dan
mempunyai tingkat pencahayaan yang cukup untuk evakuasi yang aman.
Semua sistem pencahayaan buatan, kecuali yang diperlukan untuk pencahayaan

vi.

darurat, harus dilengkapi dengan pengendali manual, dan/atau otomatis, serta ditempatkan
pada tempat yang mudah dicapai/dibaca oleh pengguna ruang.
Pencahayaan alami dan buatan diterapkan pada ruangan baik di dalam bangunan maupun di

vii.

luar bangunan gedung.


Persyaratan pencahayaan harus mengikuti:
(1) SNI 03-6197-2000 Konservasi energi sistem pencahayaan buatan pada bangunan
gedung, atau edisi terbaru;
(2) SNI 03-2396-2001 Tata cara perancangan sistem pencahayaan alami pada bangunan
gedung, atau edisi terbaru;
(3) SNI 03-6575-2001 Tata cara perancangan sistem pencahayaan buatan pada bangunan
gedung, atau edisi terbaru.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai
SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
4. Persyaratan Sanitasi
a. Persyaratan Plambing Dalam Bangunan Gedung
i. Sistem air minum harus direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan
ii.

sumber air minum, kualitas air bersih, sistem distribusi, dan penampungannya.
Sumber air minum dapat diperoleh dari sumber air berlangganan dan/atau
sumber air lainnya yang memenuhi persyaratan kesehatan sesuai pedoman dan standar

iii.

teknis yang berlaku.


Perencanaan sistem distribusi air minum dalam bangunan gedung harus memenuhi

iv.

debit air dan tekanan minimal yang disyaratkan.


Penampungan air minum dalam bangunan gedung diupayakan sedemikian
rupa agar menjamin kualitas air.

v.

Penampungan

air

minum harus

memenuhi persyaratan kelaikan fungsi bangunan

gedung.
Persyaratan plambing dalam bangunan gedung harus mengikuti:
(1) Kualitas air minum mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang
Pengembangan sistem Air

Minum dan Permenkes 907/2002, sedangkan

instalasi perpipaannya mengikuti Pedoman Plambing;


(2) SNI 03-6481-2000 Sistem Plambing 2000, atau edisi terbaru.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
vi.

Sistem Pengolahan dan Pembuangan Air Limbah/Kotor


(1) Sistem pembuangan air limbah dan/atau air kotor harus direncanakan dan dipasang
dengan mempertimbangkan jenis dan tingkat bahayanya.
(2) Pertimbanganjenis air limbah dan/atau air kotor diwujudkan
dalambentukpemilihansistem pengaliran/pembuangandanpenggunaan

peralatan yang

dibutuhkan.
(3) Pertimbangan tingkat bahaya air limbah dan/atau air kotor diwujudkan dalam
bentuk sistem pengolahan dan pembuangannya.
(4) Airlimbahyangmengandungbahanberacundan berbahaya tidak boleh digabung
dengan air limbah domestik.
(5) Air limbah yang berisi bahan beracun dan berbahaya(B3) harus diproses sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
(6) Air limbah domestik sebelum dibuang ke saluran terbukaharus diproses sesuai dengan
pedoman dan standar teknis yang berlaku.
Persyaratan teknis air limbah harus mengikuti:
(1) SNI 03-6481-2000 Sistem plambing 2000, atau edisi terbaru;
(2) SNI03-2398-2002Tata cara perencanaan tangki septik dengan sistem resapan,
atau edisi terbaru;
(3) SNI03-6379-2000Spesifikasidanpemasangan perangkap bau, atau edisi terbaru;
(4) Tatacaraperencanaan,pemasangan,dan pemeliharaan sistem pembuangan air
limbah dan air kotor pada bangunan gedung mengikuti standar baku serta
ketentuan teknis yang berlaku
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
b. Persyaratan Instalasi Gas Medik
i. Umum

(1) Persyaratan ini berlaku wajib untuk fasilitas pelayanan kesehatan di rumah sakit,
rumah perawatan, fasilitas hiperbarik, klinik bersalin. dan fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya.
(2) Bila terdapat istilah gas medik atau vakum, ketentuan tersebut berlaku wajib
bagi semua sistem perpipaan untuk

oksigen,

nitrous

oksida,

udara

tekan

medik, karbon dioksida, helium, nitrogen, vakum medik untuk pembedahan,


pembuangan sisa gas anestesi, dan campuran dari gas-gas tersebut. Bila terdapat
nama layanan gas khusus atau vakum, maka ketentuan tersebut hanya berlaku bagi
gas tersebut.
(3) Sistem yang

sudah

ada

yang

tidak

sepenuhnya memenuhi ketentuan ini

boleh tetap digunakan sepanjang pihak yang berwenang telah memastikan bahwa
penggunaannya tidak membahayakan jiwa.
(4) Potensi bahaya kebakaran dan ledakan yang berkaitan dengan sistem perpipaan
sentral gas medik dan sistem vakum medik
ii.

harus

dipertimbangkan

dalam

perancangan, pemasangan, pengujian, pengoperasian dan pemeliharaan sistem ini.


Identifikasi dan pelabelan sistem pasokan terpusat (sentral).
(1) Silinder dan kontainer yang boleh digunakan harus yang telah dibuat, diuji, dan
dipelihara sesuai spesifikasi dan ketentuan dari pihak berwenang.
(2) Isi silinder harus diidentifikasi dengan suatu label atau cetakan yang ditempelkan
yang menyebutkan isi atau pemberian warna pada silnder/tabung sesuai ketentuan
yang berlaku.
(3) Sebelum digunakan harus dipastikan isi silinder atau kontainer.
(4) Label tidak boleh dirusak, diubah atau dilepas, dan fiting penyambung tidak boleh

iii.

dimodifikasi.
Pengoperasian sistem pasokan sentral.
(1) Harus dilarang penggunaan adaptor atau fiting konversi untuk menyesuaikan fiting
khusus suatu gas ke fiting gas lainnya.
(2) Hanya silinder gas medik dan perlengkapannya yang boleh disimpan dalam
ruangan tempat sistem pasokan sentral atau silinder gas medik.
(3) Harus dilarang penyimpanan bahan mudah menyala, silinder berisi as mudah
menyala atau yang bertisi cairan mudah menyala, di dalam ruangan bersama
silinder gas medik.
(4) Diperbolehkan pemasangan rak kayu untuk menyimpan silinder gas medik.
(5) Bila silinder terbungkus pada saat diterima, pembungkus tersebut harus dibuang
sebelum disimpan.

(6) Tutup

pelindung

katup

harus

dipasang

erat pada tempatnya bila silinder

sedang tidak digunakan.


(7) Penggunaan silinder tanpa penandaan yang benar, atau yang tanda dan fiting untuk
gas spesifik yang tidak sesuai harus dilarang.
(8) Unit penyimpan cairan kriogenik yang
dalam

fasilitas

harus

dimakudkan memasok gas

ke

dilarang digunakan untuk mengisi ulang bejana lain

penyimpan cairan.
iv. Perancangan dan pelaksanaan.
Lokasi untuk sistem pasokan sentral dan penyimpanan gas-gas medik harus memenuhi
persyaratan berikut:
(1) Dibangun dengan akses ke luar dan masuk lokasi untuk memindahkan silinder,
peralatan, dan sebagainya.
(2) Dijaga keamanannya dengan pintu atau gerbang yang dapat dikunci, atau
diamankan dengan cara lain.
(3) Jika di luar ruangan/bangunan, harus dilindungi dengan dinding atau pagar dari
bahan yang tidak dapat terbakar.
(4) Jika di dalam ruangan/bangunan, harus dibangun dengan menggunakan bahan interior
yang tidak dapat terbakar atau sulit terbakar, sehingga semua dinding, lantai, langitlangit dan pintu sekurang-kurangnya mempunya tingkat ketahanan api 1 jam.
(5) Dilengkapi dengan rak, rantai, atau pengikat lainnya untuk mengamankan masingmasing silinder, baik yang terhubung maupun tidak terhubung, penuh atau kosong,
agar tidak roboh.
(6) Dipasok dengan daya listrik yang memenuhi persyaratan sistem kelistrikan
esensial.
(7) Apabila disediakan rak, lemari, dan penyangga, harus dibuat dari bahan tidak dapat
terbakar atau bahan sulit terbakar.
Persyaratan instalasi gas medik harus mengikuti SNI 03-70112004 Keselamatan
pada bangunan fasilitas pelayanan kesehatan.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya

yang

belum tertampung, atau

yang belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
c. Persyaratan Penyaluran Air Hujan
i.
Umum
(1) Sistem penyaluran air hujan harus direncanakan dan dipasang dengan
mempertimbangkan

ketinggian permukaan air

ketersediaan jaringan drainase lingkungan/kota.


(2) Setiap bangunan gedung dan pekarangannya
penyaluran air hujan.

tanah,

permeabilitas

tanah,

harus dilengkapi dengan sistem

dan

(3) Kecuali untuk daerah tertentu, air hujan harus diresapkan ke dalam tanah pekarangan
dan/atau dialirkan ke sumur resapan sebelum dialirkan ke jaringan drainase
lingkungan/kota sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(4) Pemanfaatan air hujan diperbolehkan dengan mengikuti ketentuan yang berlaku.
(5) Bila belum tersedia jaringan drainase kota ataupun sebab lain yang dapat diterima,
maka penyaluran air hujan harus dilakukan dengan cara lain yang dibenarkan oleh
instansi yang berwenang.
(6) Sistem penyaluran air hujan harus dipelihara untuk mencegah terjadinya endapan
dan penyumbatan pada saluran.
Persyaratan penyaluran air hujan harus mengikuti:
(1) SNI 03-4681-2000 Sistem plambing 2000, atau edisi terbaru;
(2) SNI 03-2453-2002 Tata cara perencanaan sumur resapan air hujan untuk
lahan pekarangan, atau edisi terbaru;
(3) SNI 03-2459-2002 Spesifikasi sumur resapan air hujan untuk lahan pekarangan,
atau edisi terbaru;
(4) Standar tentang tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem
penyaluran air hujan pada bangunan gedung;
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
d. Persyaratan Fasilitasi Sanitasi Dalam Bangunan Gedung (Saluran Pembuangan Air Kotor,
Tempat Sampah, Penampungan Sampah, dan/atau Pengolahan Sampah)
i.
Sistem pembuangan sampah padat direncanakan dan dipasang dengan
ii.

mempertimbangkan fasilitas penampungan dan jenisnya.


Pertimbangan fasilitas penampungan diwujudkan
tempat

penampungan

kotoran

dalam bentuk penyediaan

dan sampah pada masing-masing bangunan gedung,

yang diperhitungkan berdasarkan fungsi bangunan, jumlah penghuni, dan volume kotoran
iii.

dan sampah.
Pertimbangan jenis sampah padat diwujudkan dalam bentuk penempatan pewadahan dan/atau
pengolahannya yang tidak mengganggu kesehatan penghuni, masyarakat dan

iv.

lingkungannya.
Ketentuan pengelolaan sampah padat
(1) Sumber sampah padat permukiman berasal dari: perumahan, toko, ruko, pasar, sekolah,
tempat ibadah, jalan, hotel, rumah makan dan fasilitas umum lainnya.
(2) Setiap bangunan baru dan/atau perluasan bangunan dilengkapi dengan fasilitas
pewadahan yang memadai, sehingga tidak

mengganggu

bagi penghuni, masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

kesehatan

dan kenyamanan

(3) Bagi

pengembang

perumahan

wajib

menyediakan wadah sampah, alat

pengumpul dan tempat pembuangan sampah sementara, sedangkan pengangkutan

dan

pembuangan
akhir
sampah bergabung dengan sistem yang sudah ada.
(4) Potensi reduksi sampah padat dapat dilakukan dengan mendaur ulang, memanfaatkan
kembali beberapa jenis sampahsepertibotolbekas,
kertas,kertaskoran,kardus,aluminium,kaleng,wadah plastic dansebagainya.
(5) Sampah padat kecualisampahBahanBeracundanBerbahaya (B3) yang
darirumah

sakit,laboratorium penelitian, atau fasilitas

berasal

pelayanankesehatan

harus dibakar
dengan insinerator yang tidakmengganggu lingkungan.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang
belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
5. Persyaratan Penggunaan Bahan Bangunan Gedung
i.
Bahan bangunan gedung yang digunakan harus aman bagi kesehatan pengguna
ii.

bangunan gedung dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.


Penggunaan bahan bangunan yang aman bagi kesehatan pengguna bangunan gedung
harus tidak mengandung bahan- bahan

iii.

berbahaya/

beracun

bagi

kesehatan,

aman bagi pengguna bangunan gedung.


Penggunaan bahan bangunan yang tidak berdampak negatif terhadap lingkungan
harus:
(1) menghindari timbulnya

efek

silau

dan

pantulan

bagi pengguna bangunan

gedung lain, masyarakat, dan lingkungan sekitarnya;


(2) menghindari timbulnya efek peningkatan temperatur lingkungan di sekitarnya;
(3) mempertimbangkan prinsip-prinsip konservasi energi; dan
(4) Menggunakan bahan-bahan bangunan yang ramah lingkungan.
iv. Harus menggunakan bahan bangunan yang menunjang pelestarian lingkungan.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
2.1.6.3.
PERSYARATAN KENYAMANAN BANGUNAN GEDUNG
1. Umum
Persyaratan kenyamanan bangunan gedung meliputi kenyamanan ruang gerak dan hubungan
antarruang, kenyamanan termal dalam ruang, kenyamanan pandangan (visual), serta kenyamanan
terhadap tingkat getaran dan kebisingan.
2. Persyaratan Kenyamanan Ruang Gerak dalam Bangunan Gedung
a. Persyaratan Kenyamanan Ruang Gerak dan Hubungan Antar ruang
i. Untuk mendapatkan kenyamanan ruang gerak dalam bangunan gedung, harus
mempertimbangkan:

(1) fungsi ruang, jumlah

ii.

pengguna, perabot/peralatan, aksesibilitas ruang, di dalam

bangunan gedung; dan


(2) persyaratan keselamatan dan kesehatan.
Untuk mendapatkan kenyamanan hubungan antarruang harus mempertimbangkan:
(1) fungsi ruang, aksesibilitas ruang, dan jumlah pengguna dan perabot/peralatan di dalam
bangunan gedung;
(2) sirkulasi antarruang horizontal dan vertikal; dan
(3) persyaratan keselamatan dan kesehatan.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum

mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.


3. Persyaratan Kenyamanan Kondisi Udara Dalam Ruang
a. Persyaratan Kenyamanan Termal Dalam Ruang
i. Untuk kenyamanan termal dalam ruang di dalam bangunan gedung harus
ii.

mempertimbangkan temperatur dan kelembaban udara.


Untuk mendapatkan tingkat temperatur dan kelembaban udara di dalam
ruangan dapat dilakukan dengan alat pengkondisian udara yang mempertimbangkan:
(1) fungsi bangunan gedung/ruang, jumlah pengguna, letak geografis, orientasi bangunan,
volume ruang, jenis peralatan, dan penggunaan bahan bangunan;
(2) kemudahan pemeliharaan dan perawatan; dan
(3) prinsip-prinsippenghematan energy danramah lingkungan
Persyaratan kenyamanan termal dalam ruang harus mengikuti:
(1) SNI 03-6389-2000 Konservasi energi selubung bangunan pada bangunan
gedung, atau edisi terbaru;
(2) SNI 03-6390-2000 Konservasi energi sistem tata udara pada bangunan
gedung, atau edisi terbaru;
(3) SNI 03-6196-2000 Prosedur audit energi pada bangunan gedung, atau edisi
terbaru;
(4) SNI 03-6572-2001 Tata cara perancangan sistem ventilasi dan pengkondisian
udara pada bangunan gedung, atau edisi terbaru.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang

belum tertampung, atau

yang belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
4. Persyaratan Kenyamanan Pandangan
a. Persyaratan Kenyamanan Pandangan (Visual)
i. Untuk mendapatkan kenyamanan pandangan (visual) harus mempertimbangkan
kenyamanan pandangan dari dalam bangunan ke luar dan dari luar bangunan ke ruangii.

ruang tertentu dalam bangunan gedung.


Kenyamanan pandangan (visual) dari dalam bangunan ke luar harus
mempertimbangkan:

(1) gubahan

massa bangunan,

rancangan

bukaan,

tata ruang-dalam dan luar

bangunan, dan rancangan bentuk luar bangunan;


(2) pemanfaatan potensi ruang luar bangunan gedung dan penyediaan RTH;
Kenyamanan pandangan (visual) dari luar ke dalam bangunan harus

iii.

mempertimbangkan:
(1) rancangan bukaan, tata ruang-dalam dan luar bangunan, dan rancangan bentuk luar
bangunan gedung;
(2) keberadaan bangunan gedung yang ada dan/atau yang akan ada di sekitarnya;

iv.

dan
(3) pencegahan terhadap gangguan silau dan pantulan sinar.
Untuk kenyamanan pandangan (visual) pada bangunan gedung harus dipenuhi

persyaratan teknis, yaitu Standar kenyamanan pandangan (visual) pada bangunan gedung.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum
mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
5. Persyaratan Kenyamanan Terhadap Tingkat Getaran danKebisingan
a. Persyaratan Getaran
i. Umum
(1) Persyaratan ini menyangkut paparan manusia terhadap getaran dan kejut dari seluruh
badan pada bangunan gedung berkenaan dengan kenyamanan dan gangguan terhadap
penghuninya.
(2) Respon dasar

manusia

terhadap

getaran

dalam bangunan gedung adalah

keluhan.
(3) Kenyamanan terhadap getaran adalah suatu keadaan dengan
getaran

yang

tidak

tingkat

menimbulkan gangguan bagi kesehatan dan kenyamanan

seseorang dalam melakukan kegiatannya. Getaran dapat berupa getaran kejut, getaran
mekanik atau seismik baik yang berasal dari dalam bangunan maupun dari luar
bangunan.
ii. Sifat getaran
Respon subyektif juga merupakan fungsi dari sifat getaran. Sifatnya dapat ditentukan
sesuai dengan sifat getaran yang diukur:
(1) Getaran dapat menerus, denan magnituda yang berubah, atau tetap terhadap waktu;
(2) Getaran dapat terputus-putus, dengan magnituda tiap kejadian yang berubah
maupun tetap terhadap waktu.
(3) Getaran dapat bersifat impulsif, seperti dalam kejut.
iii.
Waktu paparan
Waktu paparan pada penghuni yang terpengaruh mungkin juga perlu dievaluasi. Waktu
penghunian bangunan gedung harus dicatat.

iv.

Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap kebisingan dan getaran


bangunan

gedung

harus

pada

mengikuti persyaratan teknis, yaitu Standar tata cara

perencanaankenyamanan terhadap getaran pada bangunan gedung.


Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang
belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.
b. Persyaratan Kebisingan
i. Umum
Kenyamanan terhadap kebisingan adalah keadaan dengan tingkat kebisingan yang tidak
menimbulkan gangguan pendengaran, kesehatan, dankenyamananbagiseseorang dalam
melakukan kegiatan.
Gangguan kebisinganpadabangunan gedung dapat berisiko cacat pendengaran. Untuk
memproteksi gangguan tersebut perlu dirancang lingkungan akustik di tempat kegiatan
dalam bangunan yang sudah ada dan bangunan baru.
ii. Pertimbangan
Pertimbangan perancangan harus memasukkan seleksi dan penilaian terhadap:
(1) Bahan bangunan dan pelayanan yang digunakan di tempat ini;
(2) Komponen bangunan yang dapat menahan kebisingan eksternal ke dalam
bangunan;
(3) Komponen bangunan yang dapat mencegah kebisingan di dalam bangunan;
(4) Tingkat bunyi perancangan dan kualitas yag diharapkan.
(5) Tingkat bunyi yang diharapkan tidak selalu cocok dalam semua keadaan. Secara
khusus, tingkat kebisingan yang lebih rendah diperlukan dalam lingkungan yang sunyi
atau ketika kualitas yang dituntut adalah tinggi.
iii.
Waktu reverberasi perancangan untuk berbagai kegiatan di dalam bangunan.
Waktu reverberasi optimum untuk ruang tertentu tergantung pada volume ruang tersebut.
Waktu reverberasi yang direkomendasikan mengacu ke frekuensi medium (misalnya500
Hz atau 1000 Hz). Untuk ruang dengan volume besar biasanya dapat diterima bila
iv.

dilakukan penambahan waktu reverberasi pada frekuensi rendah.


Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap kebisingan pada bangunan gedung
harus mempertimbangkan jenis kegiatan, penggunaan peralatan, dan/atau sumber bising

v.

lainnya baik yang berada pada bangunan gedung maupun di luar bangunan gedung.
Setiap bangunan gedung dan/atau kegiatan yang karena fungsinya menimbulkan
dampak

kebisingan

terhadap lingkungannya dan/atau terhadap bangunan gedung

yang telah ada, harus meminimalkan kebisingan yang ditimbulkan sampai dengan
vi.

tingkat yang diizinkan.


Untuk kenyamanan terhadap kebisingan pada bangunan gedung harus dipenuhi standar
tata cara perencanaan kenyamanan terhadap kebisingan pada bangunan gedung.

Dalam hal

masih

ada

persyaratan lainnya

yang

belum tertampung, atau yang

belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.


2.1.6.4.
PERSYARATAN KEMUDAHAN BANGUNAN GEDUNG
1. Umum
Persyaratan kemudahan meliputi kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung,
serta kelengkapan fasilitas prasarana dan sarana dalam pemanfaatan bangunan gedung.
2. Persyaratan Hubungan Ke, Dari, dan di Dalam Bangunan Gedung
a. Persyaratan Kemudahan Hubungan Horisontal dalam BangunanGedung
i. Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung meliputi
tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman bagi semua
ii.

orang, termasuk penyandang cacat dan lansia.


Penyediaanfasilitasdanaksesibilitasharus mempertimbangkan tersedianya hubungan
horizontal antarruang- dalambangunan

gedung,

akses

evakuasi, termasuk bagi

iii.

semua orang, termasuk penyandang cacat dan lansia.


Kelengkapan prasarana dan sarana disesuaikan dengan fungsi bangunan gedung dan

iv.

persyaratan lingkungan lokasi bangunan gedung.


Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan kemudahan hubungan
horizontal berupa tersedianya pintu dan/atau

v.

koridor

yang

memadai untuk

terselenggaranya fungsi bangunan gedung tersebut.


Jumlah, ukuran, dan jenis pintu, dalam suatu ruangan dipertimbangkan

vi.

berdasarkan besaran ruang, fungsi ruang, dan jumlah pengguna ruang.


Arah bukaan daun pintu dalam suatu ruangan dipertimbangkan

vii.

berdasarkan fungsi ruang dan aspek keselamatan.


Ukurankoridorsebagaiakseshorizontalantarruang dipertimbangkan berdasarkan fungsi

koridor, fungsi ruang, dan jumlah pengguna.


b. Persyaratan Kemudahan Hubungan Vertikal dalam BangunanGedung
i. Setiap bangunan gedung bertingkat harus menyediakan sarana hubungan vertical
antarlantai yang memadai untuk terselenggaranya fungsi bangunan gedung tersebut
berupa tersedianya tangga,
ii.

ram,

lif,

tangga

berjalan/eskalator, dan/atau lantai

berjalan/travelator.
Jumlah, ukuran, dan konstruksi sarana hubungan vertikal harus berdasarkan fungsi
bangunan gedung, luas bangunan, dan jumlah pengguna ruang, serta keselamatan

iii.

pengguna bangunan gedung.


Setiap bangunan gedung dengan ketinggian di atas lima lantai harus menyediakan sarana
hubungan vertikal berupa lif.

iv.

Bangunan gedung umum yang fungsinya untuk kepentingan publik, baik berupa
fungsi keagamaan, fungsi usaha, maupun fungsi sosial dan budaya harus menyediakan
fasilitas dan kelengkapan sarana hubungan vertikal bagi semua orang, termasuk

v.

penyandang cacat dan lansia.


Jumlah, kapasitas, dan spesifikasi lif sebagai sarana hubungan vertikal dalam bangunan
gedung harus mampu melakukan pelayanan yang optimal untuk sirkulasi vertikal pada

vi.

bangunan, sesuai dengan fungsi dan jumlah pengguna bangunan gedung.


Setiap bangunan gedung yang menggunakan lif harus tersedia lif kebakaran

vii.

yang dimulai dari lantai dasar bangunan (ground floor).


Lif kebakaran dapat berupa lif khusus kebakaran atau lif penumpang biasa atau
lif barang yang dapat diatur pengoperasiannya sehingga dalam keadaan darurat dapat

digunakan secara khusus oleh petugas kebakaran.


c. Persyaratan Sarana Evakuasi
Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret

sederhana, harus

menyediakan sarana evakuasi bagi semua orang termasuk penyandang cacat dan lansia yang
meliputi sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu keluar darurat, dan jalur evakuasi yang
dapat menjamin pengguna bangunan gedung untuk melakukan evakuasi dari dalam
bangunan gedung secara aman apabila terjadi bencana atau keadaan darurat.Pada rumah
tinggal tunggal dan rumah deret sederhana dapat disediakan sistem peringatan bahaya bagi
pengguna, pintu keluar darurat, dan jalur evakuasi bagi semua orang termasuk penyandang
cacat dan lansia.
d. Persyaratan Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat dan Lansia
i.
Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret sederhana,
harus menyediakan fasilitas dan aksesibilitas untuk menjamin terwujudnya kemudahan bagi
penyandang cacat dan lansia masuk dan keluar, ke, dan dari bangunan gedung serta
ii.

beraktivitas dalam bangunan gedung secara mudah, aman, nyaman dan mandiri.
Fasilitas dan aksesibilitas meliputi toilet, tempat parkir, telepon umum, jalur

iii.

pemandu, rambu dan marka, pintu, ram, tangga, dan lif bagi penyandang cacat dan lansia.
Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas disesuaikan dengan fungsi, luas, dan ketinggian

bangunan gedung
3. Persyaratan Kelengkapan Prasarana dan Sarana Pemanfaatan BangunanGedung
a. Guna memberikan kemudahan bagi pengguna bangunan gedung untuk beraktivitas di
dalamnya, setiap bangunan gedung untuk kepentingan umum harus menyediakan kelengkapan
prasarana dan sarana pemanfaatan bangunan gedung, meliputi: ruang ibadah, ruang ganti, ruang
bayi, toilet, tempat parkir, tempat sampah, serta fasilitas komunikasi dan informasi.

b. Penyediaan prasarana dan sarana disesuaikan dengan fungsi dan luas bangunan gedung, serta
jumlah pengguna bangunan gedung
Persyaratan kelengkapan prasarana dan sarana pemanfaatan bangunan gedung harus
mengikuti:
i. SNI 03-1735-2000 Tata cara perencanaan akses bangunan dan akses lingkungan untuk
ii.

pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung, atau edisi terbaru;


SNI 03-1746-2000 Tata cara perencanaan dan pemasangan sarana jalan keluar
untuk penyelamatan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung, atau edisi

iii.

terbaru;
SNI 03-6573-2001 Tata cara perancangan sistem transportasivertikal dalam gedung
(lif), atau edisi terbaru;

2.2.

KAJIAN ASAS/PRINSIP
Dalam perspektif struktur normatifnya, azas mempunyai kedudukan di atas norma, atau nilainilai yang terkandung dalam azas-azas tersebut sudah seharusnya menjadi penuntun dalam penetapan
norma. Dengan kata lain, penetapan norma wajib merujuk pada azas-azas yang telah diterapkan.
Sehubungan dengan itu, maka ruang lingkup, substansi, dan arah peraturan perundang-undangan tidak
dapat dilepaskan dari azas-azas yang melandasinya. Penyusunan rancangan peraturan daerah
tentang bangunan gedung harus juga didasarkan pada azas-azas yang relevan. Relevansi azas-azas yang
hendak diletakkan sebagai dasar tersebut tentunya berkaitan dengan substansi pengaturan yang
berhubungan dengan aktivitas penyelenggaraan bangunan gedung yang bermuara pada keinginan
mewujudkan hak masyarakat atas suatu tempat tinggal yang layak, sehat, dan aman. Jadi persoalannya
adalah, dalam konteks penyelenggaraan bangunan gedung, prinsip- prinsip dasar apa yang harus
diperhatikan dan dijadikan landasan, agar penyelenggaraan bangunan gedung tersebut dapat
mewujudkan hak masyarakat sebagaimana telah disebutkan tadi, sehingga derajat kesejahteraan
masyarakat dapat dicapai secara optimal.
Bangunan gedung yang fungsinya begitu penting sebagai wadah kegiatan manusia, tidak hanya
dimaksudkan bagi terselenggaranya kegiatan tersebut, untuk memenuhi kebutuhan fisik manusia, tetapi
secara mendasar dimaksudkan pula bagi tercapainya nilai-nilai kemanusiaan baik secara individual
maupun kolektif demi pembentukan watak, perwujudan produktivitas, dan jati diri manusia.
Sehubungan dengan itu, pengaturan pembangunan gedung seharusnya memberikan manfaat kepada
setiap individu untuk dapat merasakan kemudahan terselenggaranya aktivitas yang dilakukannya, dan
merasakan dampak keberadaan bangunan gedung bagi pembentukan watak, perwujudan

produktivitas, dan jati dirinya. Uraian ini memberikan penegasan bahwa pengaturan
penyelenggaraan bangunan gedung seharusnya didasarkan pada azas manfaat.
Berdasarkan pasal 2 Undang-Undang Bangunan Gedung, dijelaskan bahwa Azas
Penyelenggaraan Bangunan Gedung adalah: kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, serta
keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya. Bangunan gedung sebagai tempat manusia
melakukan kegiatannya, mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak,
perwujudan produktivitas, dan jati diri manusia. Oleh karena itu, penyelenggaraan bangunan gedung
perlu diatur dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta penghidupan masyarakat,
sekaligus untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, andal, berjati diri, serta seimbang,
serasi, dan selaras dengan lingkungannya. Bangunan gedung merupakan salah satu wujud fisik
pemanfaatan ruang. Oleh karena itu dalam pengaturan bangunan gedung tetap mengacu pada
pengaturan penataan ruang sesuai peraturan daerah tentang penataan ruang dan peraturan
perundang- undangan lain yang berlaku.
Keseluruhan maksud dan tujuan serta substansi pengaturan tersebut dilandasi oleh azas
kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya,
bagi kepentingan masyarakat yang berperikemanusiaan dan berkeadilan. Pengaturan dalam Peraturan
Daerah ini juga ditujukan sebagai alat pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang terutama
perkembangan fisik di seluruh wilayah kabupaten agar senantiasa selaras dengan pemanfaatan ruang
yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang yang ditujukan untuk mewujudkan ruang yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Penjelasan masing-masing azas dalam penyelenggaraan
bangunan gedung diuraikan dalam UU bangunan gedung dengan petikan sebagai berikut:
1) Azas kemanfaatan
Azas kemanfaatan dipergunakan sebagai landasan agar bangunan gedung dapat diwujudkan dan
diselenggarakan sesuai fungsi yang ditetapkan, serta sebagai wadah kegiatan manusia yang
memenuhi nilai-nilai kemanusiaan yang berkeadilan, termasuk aspek kepatutan dan kepantasan.
2) Azas Keselamatan
Azas keselamatan dipergunakan sebagai landasan agar bangunan gedung memenuhi persyaratan
bangunan gedung, yaitu persyaratan keandalan teknis untuk menjamin keselamatan pemilik dan
pengguna bangunan gedung, serta masyarakat dan lingkungan di sekitarnya, di samping
persyaratan yang bersifat administratif.
3) Azas Keseimbangan
Azas keseimbangan dipergunakan sebagai landasan agar keberadaan bangunan gedung berkelanjutan
tidak mengganggu keseimbangan ekosistem dan lingkungan di sekitar bangunan gedung.
4) Azas Keserasian

Azas keserasian dipergunakan sebagai landasan agar penyelenggaraan bangunan gedung dapat
mewujudkan keserasian dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungan di sekitarnya.
2.3.

KAJIAN PRAKTEK PENYELENGGARAAN, KONDISI EKSISTING DAN

PERMASALAHAN
Praktek penyelenggaraan Bangunan Gedung di Kabupaten Muna Barat tergambar sebagai berikut :
Kegiatan pembangunan dalam konteks bangunan rumah kayu atau rumah panggung yang
merupakan salah satu ciri khas rumah lokal Sulawesi Tenggara para pekerja ahli kontruksi kayu
telah menguasai struktur utama dan pelengkap bangunan rumah kayu yang akan dibuat, dengan
desain atau rancangan yang digunakan hampir prototipe dengan bangunan yang telah mereka buat
sebelumnya. Untuk bangunan semi permanen dan permanen kegiatan pembangunan telah diawali
dengan perencanaan teknis untuk memenuhi persyaratan administrasi perijinan pembangunan atau
renovasi rumah. Setelah terbit ijin bangunan, langsung masuk pada tahap pelaksanaan konstruksi,
dengan pengawasan dilakukan oleh pemilik bangunan dan dinas terkait yang membidangi masalah

bangunan.
Untuk kegiatan perawatan yang merombak baik menambah atau merubah bentuk aslinya,
membutuhkan pelaporan dan ijin dari dinas yang tata ruang kabupaten Muna Barat. Untuk
kegiatan pemeriksaan secara berkala baik bangunan gedung milik pribadi ataupun bangunan
gedung milik negara masih jarang di lakukan di Sulawesi Tenggara ataupun di wilayah Kabupaten
Muna Barat, pemeriksaan yang dilakukan sifatnya insidentil atau setelah ada kejadian luar biasa
seperti tanah longsor atau banjir. Untuk bangunan-bangunan yang memiliki fungsi khusus dan vital
sifatnya, pemeriksaan dan kontrol fungsi dan kondisinya dilakukan secara rutin oleh instansi atau
badan pengelolanya. Bagian kegiatan pemanfaatan bangunan gedung lainnya adalah pengawasan
pemanfaatan. Pengawasan terhadap pemfaatan bangunan gedung pasca pembangunan sangat
penting untuk penyesuaian antara izin pembangunan dengan penggunaan bangunan, kondisi yang
berkembang saat ini baik di Sulawesi Tengah secara makro ataupun di wilayah Muna Barat
pemanfaatan bangunan masih sering bercampur baik sebagai hunian ataupun tempat usaha, hal

ini sangat jamak terjadi dan lumrah dalam masyarakat.


Kegiatan pelestarian bangunan dewasa ini banyak dilakukan oleh dinas pariwisata dan budaya,
badan pengelola museum ataupun lembaga-lembaga pemerhati bangunan yang memiliki nilai

bersejarah dan cukup langkah.


Dalam konteks sekarang baik di Kota-kota Besar ataupun kota sedang yang ada di Provinsi
Sulawesi Tenggara kegiatan pembongkaran dilakukan sendiri oleh pemilik atau pengguna gedung

baik dengan menggunakan jasa perusahaan yang bergerak dibidang penghapusan bangunan,
umumnya tidak melalui prosedur seperti yang diatur oleh UUBG ataupun PP yang menjadi
pedoman pelaksanaannya, seperti di wilayah Kabupaten Muna Barat, pembongkaran bangunan
milik pribadi hanya melakukan koordinasi dengan pihak tetangga yang kemungkinan
merasakan dampak dari kegiatan pembongkaran, begitupula bangunan negara yang akan diputihkan
terkadang tidak ada perhitungan nilai bangunan ataupun lelang pembongkaran yang dilakukan
secara transparan. Terbatasnya kapasitas kapasitas aparat yang mengatur peyelenggaran
bangunan di tingkat Kabupaten Muna Barat serta belum adanya penetapan atau belum
berfungsinya secara maksimal Tenaga Ahli Bangunan Gedung (TABG) di masing Kabupaten Muna
Barat, sehingga kegiatan pembongkaran bangunan gedung belum tertangani secara baik.
Permasalahan secara umum bidang Bangunan Gedung di Kabupaten Muna Barat yang ada pada saat ini
adalah sebagai berikut:
a. Sistem Penyelenggaraan Bangunan Gedung, Secara umum sistem penyelenggaraan di
bidang Bangunan Gedung masih belum mantap baik di tingkat pusat, wilayah, maupun lokal,
ditinjau dari segi sumber daya manusia, organisasi, tata laksana, dan dukungan prasarana serta
sarananya.
b. Akses Terhadap Tanah, belum mantapnya pelayanan dan akses terhadap hak atas tanah untuk
perumahan, khususnya bagi kelompok masyarakat miskin dan berpendapatan rendah (MBR).
Kapasitas pemerintah daerah juga masih relatif terbatas untuk dapat melaksanakan secara efektif
penyelenggaraan administrasi pertanahan yang memadai, yang dapat menjamin kecukupan
persediaan lahan, yang dapat mengembangkan pasar lahan secara efisien dan pemanfaatan lahan
yang berkelanjutan, yang dapat mengurangi hambatan hukum dan sosial terhadap akses yang adil
dan seimbang kepada lahan, terutama bagi penduduk yang difabel, perempuan, dan
kelompok yang rentan, dan yang mampu memfasilitasi akses kepada lahan dan keamanan
status kepemilikan bagi seluruh kelompok masyarakat.
c. Pasar Perumahan, belum efisiennya pasar perumahan, seperti ditunjukkan melalui kondisi dan
proses perijinan pembangunan perumahan dan sertifikasi hak atas tanah yang masih
memprihatinkan, relatif mahal dan kurang transparan, belum adanya standarisasi dokumen KPR,
seleksi nasabah, penilaian kredit, dan dokumen terkait lainnya; dan proses sita jaminan yang masih
berlarut-larut. Kondisi ini ikut mempengaruhi ketidakpastian pasar perumahan, serta sistem dan
mekanisme pembiayaan perumahan. Untuk lebih menjamin pasar perumahan yang efisien, perlu

dihindari intervensi yang mengganggu penyediaan dan menyebabkan distorsi permintaan akan
perumahan, dan membuat instrumen yang fleksibel untuk regulasi perumahan, termasuk pasar sewa
perumahan dengan mengingat kebutuhan khusus dari kelompok masyarakat yang rentan.
d. Kemampuan Ekonomi Warga MBR, ketidakmampuan masyarakat miskin dan berpenghasilan
rendah untuk mendapatkan rumah yang layak dan terjangkau serta memenuhi standar lingkungan
permukiman yang responsif (sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan). Hal ini disebabkan karena
terbatasnya akses terhadap sumber daya kunci termasuk informasi, terutama yang berkaitan dengan
pertanahan dan pembiayaan perumahan.
e. Pembiayaan Pengadaan Perumahan, belum tersedianya dana jangka panjang bagi pembiayaan
perumahan yang menyebabkan terjadinya mismatch pendanaan dalam pengadaan perumahan. Di
samping itu, sistem dan mekanisme subsidi perumahan bagi kelompok masyarakat miskin dan
berpengahasilan rendah masih perlu dimantapkan, baik melalui mekanisme pasar formal
maupun melalui mekanisme perumahan yang bertumpu pada keswadayaan masyarakat. Mobilisasi
sumber- sumber pembiayaan perumahan masih harus diefektifkan dengan mengintegrasikan
pembiayaan perumahan ke dalam sistem pembiayaan yang lebih luas dan memanfaatkan instrumen
yang ada sekarang atau mengembangkan instrumen baru untuk lebih memperhatikan kebutuhan
pembiayaan bagi penduduk yang mempunyai keterbatasan akses kepada kredit.
f. Prasarana Permukiman, sebagian besar kualitas Bangunan Gedung masih terbatas dan belum
memenuhi standar pelayanan yang memadai sesuai skala kawasan yang ditetapkan, baik sebagai
kawasan perumahan maupun sebagai kawasan permukiman yang berkelanjutan. Masih
terdapat banyak kawasan yang tidak dilengkapi dengan berbagai prasarana dan sarana pendukung,
seperti terbatasnya ruang terbuka hijau, lapangan olah raga, tempat usaha dan perdagangan secara
terbatas, fasilitas sosial dan fasilitas umum, disamping masih adanya keterbatasan di bidang
prasarana dasar Bangunan Gedung, seperti air bersih, sanitasi dan pengelolaan limbah.
g. Kondisi Fisik Lingkungan, terdapat kecenderungan yang kurang positif bahwa sebagian kawasan
perumah an dan permukiman telah mulai bergeser menjadi lebih tidak teratur, kurang berjati diri,
dan kurang memperhatikan nilai-nilai kontekstual sesuai sosial budaya setempat serta nilai-nilai
arsitektural yang baik dan benar. Selain itu, kawasan yang baru dibangun juga tidak secara
berlanjut dijaga penataannya sehingga secara potensial dapat menjadi kawasan kumuh yang baru.
Bangunan Gedung yang spesifik, unik, tradisional, dan bersejarah juga semakin rawan
keberlanjutannya, padahal merupakan asset budaya bangsa yang perlu dijaga kelestariannya.
2.4.

KAJIAN IMPLIKASI PENERAPAN SISTEM BARU

Penerapan sistem baru belum diagendakan, keseluruhan penyelenggaraan diharapkan mampu


mengadopsi sistem penyelenggaraan bangunan gedung yang sesuai dengan peraturan yang berlaku
sehingga mampu mencapai tujuan :
1. mewujudkan Bangunan Gedung yang fungsional dan sesuai dengan tataBangunan Gedung
yang serasi dan selaras dengan lingkungannya;
2. mewujudkan tertib penyelenggaraan Bangunan Gedung yang menjamin keandalan teknis
Bangunan Gedung dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan;
3. mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan Bangunan Gedung.

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN TERKAIT


3.1.

YAN
G

BERSIFAT ATRIBUSI
3.1.1. PASAL 18 AYAT (6) UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIKINDONESIA
Peraturan Daerah (Perda) merupakan sarana legislasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Dalam sistem ketatanegaraan RI, pemerintahan daerah merupakan bentuk
negara (de staatsvorm). Pemerintahan Daerah menurut konstitusi, diadakan dalam kaitan
desentralisasi. Desentralisasi merupakan bagian bentuk Negara (de staatsvorm RI). Pasal 1 ayat (1)
UUD 1945 berbunyi: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.
Negara Kesatuan (eenheidsstaat) menurut UUD 1945 adalah desentralisasi, bukan sentralisasi.
Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undangundang. Menurut Pasal 18 ayat (5) UUD1945, Pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah Pusat. Dapat disimpulkan, bentuk negara Indonesia adalah Negara kesatuan
berbentuk republik, yang dijalankan berdasarkan desentralisasi (Pemerintahan Daerah), dengan
otonomi yang seluasluasnya.
Bentuk negara (de staatvorm), mengamati negara dari luar (outward looking). Negara
dilihat dalam wujud yang utuh. Der Staats als Ganzheit, kata Djokosutono (1960:15).Manakala
negara RI diamati secara outward looking, dari sudut pandang bentuk negara, maka negara terdiri
dari dua lapisan, membujur secara horizontal. Lapisan atas adalah Pemerintah Pusat di bawah
Presiden RI sedangkan pada lapisan bawah, terdapat Pemerintahan Daerah, terdiri atas daerahdaerah otonom yang tersebar sepanjang wilayah nusantara.

Lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, seperti halnya MPR, DPR, BPK, MA, MK tidak
nampak, baharu terjelma manakala lembaga-lembaga negara itu diamati dari sudut pandang bentuk
pemerintahan (regeringsvorm, regirungsvorm, the form of government). Pendekatan dari sudut
pandang bentuk pemerintahan, mengamati negara dari dalam (inward looking), menyidiki status,
kewenanganserta hubungan antara suatu alat perlengkapan negara dengan alat perlengkapan negara
lainnya. Kedudukan otonomi daerah amat penting dalam penyelenggaraan pemerintahandaerah
(desentralisasi).
3.1.2. UU NO. 32 TAHUN 2004 PEMERINTAHAN DAERAH
Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Pasal 43 (2) Pemerintah
Daerah melaksanakan pembinaan penyelenggaraan bangunan gedung di daerah.
Kabupaten Muna Barat sebagai daerah otonomi yang memiliki pemerintahan tersendiri di level
pemerintahan daerah, memiliki kewajiban dan kewenangan mengatur penyelenggaraan
bangunan gedung di daerahnya, melalui instrumen pengaturan penyelenggaraan bangunan gedung
melalui perda atau peraturan bupati.
Terkait dengan Kewenangan daerah Kabupaten Morowali Utara dalam urusan
Pemerintahan yang berhubungan dengan bangunan gedung. Disain otonomi sebagaimana diformat
dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kewenangan otonomi
kepada daerah secara luas, nyata, dan bertanggungjawab. Pasal 10 undang-undang tersebut
menegaskan bahwa Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya. Terhadap urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, menurut Pasal
14 dibagi ke dalam urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan urusan pemerintahan yang bersifat
pilihan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota
merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:
Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
Penyediaan sarana dan prasarana umum;
Penanganan bidang kesehatan;
Penyelenggaraan pendidikan;
Penanggulangan masalah sosial;
Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
Pengendalian lingkungan hidup;
Pelayanan pertanahan;

Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;


Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
Pelayanan administrasi penanaman modal;
Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang undangan. Sementara itu,
urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang
secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Terkait dengan
bangunan gedung, Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun2007 tentang Pembagian Kewenangan
antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, merinci lebih jauh

jenis-jenis kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah kabupaten/Kota, yaitu sebagai berikut:
Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota, mengenai bangunan gedung dan lingkungan

mengacu pada norma, standar, prosedur dan kriteria nasional.


Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota mengenai bangunan gedung dan lingkungan.
Penetapan kelembagaan bangunan gedung di kabupaten/kota.
Penyelenggaraan IMB gedung.
Pendataan bangunan gedung.
Penetapan persyaratan administrasi dan teknis untuk bangunan gedung adat, semi permanen,

darurat, dan bangunan gedung yang dibangun di lokasi bencana.


Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).
Pemberdayaan kepada masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan

lingkungannya.
Pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan.
Penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan dengan berbasis pemberdayaan masyarakat.
Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset

pemerintah kabupaten/kota.
Penetapan status bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang

berskala lokal.
Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan, pedoman dan standar

teknis dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungannya.


Pengawasan dan penertiban pembangunan, pemanfaatan, dan pembongkaran bangunan

gedung.
Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi

dan dilestarikan yang berskala lokal.


Dari berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di atas dapat disimpulkan bahwa
Pemerintah Daerah Kabupaten Muna Barat memiliki kewenangan menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang bangunan gedung, dan berdasarkan kewenangan tersebut, Pemerintah


Daerah berwenang pula menetapkan Perda bangunan gedung yang akan mengatur aktivitas
penyelenggaraan bangunan gedung yang menjadi kewenangannya.
Penyelenggaraan bangunan gedung secara jelas adalah pekerjaan konstruksi, dengan demikian
maka proses pembangunan sebuah bangunan gedung harus tunduk juga pada pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jasa konstruksiyaitu Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
3.1.3. UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 1959 TENTANG PEMBENTUKAN
DAERAH-DAERAH TINGKAT II DI SULAWESI
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang No. 1 tahun 1957 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah yang berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia, maka di daerah
Propinsi administratif Sulawesi terdapat 20 Daerah-daerah yang berhak mengurus rumahtangganya sendiri sebagai berikut:
a. Daerah-daerah yang berasal dari bentukan Pemerintah Negara Indonesia Timur dahulu yaitu
Daerah Sangihe-Talaud dan Minahasa dimaksud Undangundang Negara Indonesia
Timur No. 40 tahun 1950 dan Kota Makassar yang dibentuk dengan peraturan dimaksud
dalam Saatsblad 1947 No. 21 yo. Peraturan Presiden Negara Indonesia Timur 1949 No. 3;
b. Daerah-daerah yang dibentuk setelah berdirinya Negara kesatuan Pemerintah Republik
Indonesia Negara Kesatuan berdasarkan Undang-undang pokok Negara Indonesia Timur
No. 44 tahun 1950, yaitu: Manado, Bolaang-Mongondow, Sulawesi-Utara, Donggala, Poso,
Mandar, Pare-Pare, Bonthain, Makassar, Gowa, Jeneponto Takalar, Bone, Wajo, Soppeng,
Luwu, Tana Toraja dan Sulawesi Tenggara.
Nampaknya pembagian Sulawesi dalam 20 Daerah-daerah itu kurang memuaskan dan
belum memenuhi keinginan rakyat berbagai daerah yang menuntut supaya jumlah tersebut
ditambah lagi agar dengan demikian itu berhubung kesukaran-kesukaran perhubungan dan
masih belum terjaminnya keamanan, pemerintahan daerah dapat dilakukan secara lebih efisien.
Dalam menilai tuntutan-tuntutan dari rakyat di Daerah-daerah, pemerintah harus
memperhitungkan faktor kemampuan keuangan Negara pada dewasa ini.
Dalam menentukan banyaknya jumlah daerah-daerah otonom yang akan dibentuk telah
dipelajari pula pendapat dari Panitia NegaraPembagian Daerah dan faktor-faktor obyektif lain
begitu pula telah diperhitungkan usul-usul dan pendapat-pendapat dalam kalangan masyarakat

daerah. Setelahmeneliti serta mempertimbangkan segala faktor-faktor politis, sosial-ekonomis,


geografis, historis, ethnologis, kebudayaan dan lain-lain yang harus diperhitungkan dalam
usaha-usaha melakukan pembentukan sesuatu daerah otonom, maka sebagai hasil peninjauan
obyektif dalam hal ini, Pemerintah menarik kesimpulan, bahwa pembentukan sejumlah 37
Daerah- daerah Tingkat II di Sulawesi masih dapat dipertanggungjawabkan serta cukup
memberi jaminan dapat terselenggaranya pemerintahan secara yang lebih intensif dan efektif
yang masih dapat dipikul dalam batas-batas kemampuan keuangan Negara pada waktu sekarang
ini. Dalam pelaksanaannya beberapa daripada 20 Daerah-daerah yang kini ada di Sulawesi itu
dibagi dalam beberapa Daerah Tingkat II baru, yaitu:
1. Dari Daerah Sulawesi Utara dan Daerah Donggala dikeluarkan wilayah SwaprajaSwapraja Buol dan Toli-Toli, yang dibentuk menjadi Daerah Tingkat II tersendiri;
2. Dari Daerah Sulawesi Utara dikeluarkan pula sebagai wilayahnya yang dibentuk
3.
4.
5.
6.

menjadi Kotapraja Gorontalo;


Daerah Poso dibagi menjadi 2 Daerah Tingkat II;
Pare-Pare dibagi menjadi 5 Daerah Tingkat II;
Mandar dibagi menjadi 3 Daerah Tingkat II;
Sulawesi Tengah dibagi menjadi 4 Daerah Tingkat II; (Diantaranya adalah

KabupatenMorowali Utara)
7. Makassar dibagi menjadi 2 Daerah Tingkat II;
8. Jeneponto-Takalar dibagi menjadi daerah Tingkat II;
9. Bonthain dibagi menjadi 4 Daerah Tingkat II.
Isi rumah-tangga. Mengenai isi rumah-tangga dan kewajiban Daerah diambil sebagai
dasar ialah isi rumah-tangga dan kewajiban-kewajiban yang dimiliki oleh Daerah-daerah lama.
Dalam menentukan isi rumah-tangga Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi ini diambil sebagai
prinsip, bahwa hak-hak otonomi yang dimiliki oleh Daerah-daerah lama yang ada di Sulawesi
itu pada waktu mulai berlakunya Undangundang pembentukan ini, kecuali mengenai urusanurusan yang mempunyai sifat nasional atau kepentingan-kepentingan yang lebih tinggi
sifatnya dari pada sesuatu kepentingan daerah saja, sedapat mungkin tidak dikurangi.
Selanjutnya dalam Undang-undang ini diadakan ketentuan untuk memberikan
penegasan tentang hak-hak otonomi bekas daerah swapraja yang dibentuk sebagai daerah
tingkat II dan dari bekas Daerah-daerah Swapraja dan Swapraja tidak sejati yang termasuk
dalam wilayah daerah Tingkat II yang bersangkutan. Untuk menjelaskan urusan-urusan yang
termasuk rumah-tangga Daerah maka urusan-urusan tersebut dapat dirumuskan dalam
Peraturan Pemerintah. Penentuan isi rumah-tangga dimaksud di atas tidak mengurangi

kemungkinan-kemungkinan penambahan dengan urusan-urusan lain sesuai dengan ketentuan


yang termaktub dalam pasal 31 ayat (3) Undang-undang No. 1 tahun1957.
3.2.

YANG BERSIFAT DELEGASI


3.2.1. UU NO. 28 TAHUN 2002 TENTANG BANGUNAN GEDUNG
Bangunan gedung sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, mempunyai peranan
yang sangat strategis dalam pembentukan watak, perwujudan produktivitas, dan jati diri manusia.
Oleh karena itu, penyelenggaraan bangunan gedung perlu diatur dan dibina demi kelangsungan dan
peningkatan kehidupan serta penghidupan masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan bangunan
gedung yang fungsional, andal, berjati diri, serta seimbang, serasi, dan selaras dengan
lingkungannya.
1. Asas Pengaturan Bangunan
GedungBangunan gedung diselenggarakan berlandaskan asas kemanfaatan, keselamatan,
keseimbangan, serta keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya.
2. Tujuan Pengaturan Bangunan Gedung
Mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tatabangunan gedung yang

serasi dan selaras dengan lingkungannya;


untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjaminkeandalan

teknis bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan,kenyamanan, dan kemudahan;


Mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung.
3. Substansi Materi
Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung, setiap
bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung, serta
harus diselenggarakan secara tertib. Undang-undang tentang Bangunan Gedung mengatur
fungsi bangunan gedung, persyaratan bangunan gedung, penyelenggaraan bangunan gedung,
termasuk hak dan kewajiban pemilik dan pengguna bangunan gedung pada setiap tahap
penyelenggaraan bangunan gedung, ketentuan tentang peran masyarakat dan pembinaan oleh
pemerintah,sanksi, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.

Fungsi Bangunan : Dalam pasal 5 Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian,
keagamaan, usaha, sosial dan budaya, serta fungsi khusus. Dan dalam pasal 6 fungsi
bangunan gedung diatur sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Peraturan
Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah dan dicantumkan dalam izin mendirikan bangunan, dari pasal tersebut

Undang-undang Bangunan gedung memiliki keterkaitan dan relevansi dengan UndangUndang N0. 26 tahun 2007Tentang Penataan Ruang yang dijabarkan kedalam Rencana

Tata WilayahKabupaten/Kota.
Persyaratan Bangunan : Dalam Pasal 7 Undang-undang Bangunan Gedung Setiap
bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis
sesuai dengan fungsi bangunan gedung. Persyaratan administrasi yang dimaksud meliputi
persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin
mendirikan bangunan. Sedang persyaratan Persyaratan teknis bangunan gedung dalam pasal
7 ayat (1) dalam UUBG meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan

bangunan gedung.
Penyelenggaraan; Penyelenggaraan

bangunan

gedung

meliputi kegiatan

pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. Dalam penyelenggaraan


bangunan gedung berkewajiban memenuhi persyaratan bangunan gedung seperti dalam
pembahasan di atas. Penyelenggara bangunan gedung terdiri atas pemilik bangunan gedung,
penyedia jasa konstruksi, dan pengguna bangunan gedung.
Pembangunan bangunan gedung
Pembangunan bangunan gedung dilaksanakan melalui beberapa tahapan antara lain
tahapan perencanaan dan pelaksanaan beserta pengawasannya. Pembangunan bangunan
gedung dapat dilaksanakan setelah rencana teknis bangunan gedung disetujui oleh
Pemerintah Daerah dalam bentuk izin mendirikan bangunan, kecuali bangunan
gedung fungsi khusus
Pemanfaatan bangunan gedung
Pemanfaatan bangunan gedung dilakukan oleh pemilik atau pengguna bangunan gedung
setelah bangunan gedung tersebut dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi, atau
telah dinyatakan memenuhi persyaratan teknis. Dalam pemanfaatan bangunan gedung
wajib dilaksanakan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala pada
bangunan gedung agar tetap memenuhi persyaratan laik fungsi. Sehingga azas manfaat,
dan keselamatan bangunan gedung dapat dipertahankan.
Pelestarian bangunan gedung
Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan. Penetapan
bangunan gedung dan lingkungannya yang dilindungi dan dilestarikan dilakukan oleh
Pemerintah Daerah dan/atau Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan perundang-

undangan. Pelaksanaan perbaikan, pemugaran, perlindungan, serta pemeliharaan atas


bangunan gedung dan lingkungannya hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah
nilai dan/atau karakter cagar budaya yang dikandungnya.

Perbaikan, pemugaran, dan

pemanfaatan bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya yang dilakukan menyalahi
ketentuan fungsi dan/atau karakter cagar budaya, harus dikembalikan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pembongkaran bangunan gedung
Kewenangan pembongkaran bangunan gedung diberikan oleh UUBG kepada Pemerintah
Daerah, setelah melalui pengkajian teknis bangunan. Pembongkaran Bangunan gedung
dapat dibongkar apabila: Tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki; Dapat
menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan bangunan gedung dan/atau lingkungannya;
Tidak memiliki izin mendirikan bangunan.
Pembongkaran bangunan gedung yang mempunyai dampak luas terhadap keselamatan
umum dan lingkungan harus dilaksanakan berdasarkan rencana teknis pembongkaran
yang telah disetujui oleh Pemerintah Daerah.
Peran Masyarakat; Masyarakat diupayakan untuk terlibat dan berperan secara aktif
bukan hanya dalam rangka pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung untuk
kepentingan mereka sendiri, tetapi juga dalam meningkatkan pemenuhan persyaratan
bangunan gedung dan tertib penyelenggaraan bangunan gedung pada umumnya. Peran
masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dapat dilakukan melalui :
Memantau dan menjaga ketertiban penyelenggaraan;
Memberi masukan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam

penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis di bidang bangunan gedung;


Menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada instansi yang berwenang
terhadap penyusunan rencana tata bangunan dan lingkungan, rencana teknis
bangunan gedung tertentu, dan kegiatan penyelenggaraan yang menimbulkan

dampak penting terhadap lingkungan;


Melaksanakan gugatan perwakilan terhadap bangunan gedung yang

mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum.


Pembinaan; Pemerintah, Baik di tingkat pusat ataupun di daerah (Kabupaten/Kota) sebagai
penyelenggara pembinaan bangunan gedung secara nasional, untuk meningkatkan
pemenuhan persyaratan dan tertib penyelenggaraan bangunan gedung. Dalam melakukan
pembinaan bangunan gedung sebagian penyelenggaraan dan pelaksanaan pembinaan

bangunan gedung dilakukan bersama-sama dengan masyarakat yang terkait dengan


bangunan gedung.
Sesuai Pasal 40 Ayat 1 UU 28/2002, dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik
bangunan gedung mempunyai hak-hak sebagai berikut:
1. Mendapatkan pengesahan dari pemerintah daerah atas rencana teknis bangunan
gedung yang telah memenuhi persyaratan;
2. Melaksanakan pembangunan bangunan gedung sesuai dengan perijinan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah daerah;
3. Mendapat surat ketetapan bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan
dilestarikan dari pemerintah daerah;
4. Mendapatkan intensif sesuai dengan peraturan perundang-undangan dari pemerintah
daerah karena bangunannya ditetapkan sebagai bangunan yang harus dilindungi dan
dilestarikan;
5. Mengubah fungsi bangunan setelah mendapat izin tertulis dari pemerintah daerah;
6. Mendapatkan ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang-undangan apabila
bangunannya dibongkar oleh pemerintah daerah atau pihak lain yang bukan diakibatkan
oleh kesalahannya.

3.2.2. PP NO. 36 TAHUN 2005 TENTANG PERATURAN PELAKSANAANUU 28/2002


Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan sebagai pengaturan lebih lanjut pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, baik dalam pemenuhan
persyaratan yang diperlukan dalam penyelenggaraan bangunan gedung, maupun dalam
pemenuhan tertib penyelenggaraan bangunan gedung. bertujuan untuk mewujudkan
penyelenggaraan bangunan gedung yang tertib, baik secara administratif maupun secara teknis,
agar terwujud bangunan gedung yang fungsional, andal, yang menjamin keselamatan,
kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan pengguna, serta serasi dan selaras dengan
lingkungannya.
Peraturan Pemerintah ini mengatur ketentuan pelaksanaan tentang fungsi bangunan
gedung, persyaratan bangunan gedung, penyelenggaraan bangunan gedung, peran masyarakat
dalam penyelenggaraan bangunan gedung, dan pembinaan dalam penyelengaraan bangunan
gedung.

Pengaturan fungsi bangunan gedung dalam Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan agar
bangunan gedung yang didirikan dari awal telah ditetapkan fungsinya sehingga masyarakat
yang akan mendirikan bangunan gedung dapat memenuhi persyaratan baik administratif
maupun teknis bangunan gedungnya dengan efektif dan efisien, sehingga apabila
bermaksud mengubah fungsi yang ditetapkan harus diikuti dengan perubahan persyaratan
administratif dan persyaratan teknisnya. Di samping itu, agar pemenuhan persyaratan teknis
setiap fungsi bangunan gedung lebif efektif dan efisien, fungsi bangunan gedung tersebut
diklasifikasikan berdasarkan tingkat kompleksitas, tingkat permanensi, tingkat risiko
kebakaran, zonasi gempa, lokasi, ketinggian, dan/atau kepemilikan.
Pengaturan persyaratan administratif bangunan gedung dalam Peraturan Pemerintah ini
dimaksudkan agar masyarakat mengetahui lebih rinci persyaratan administratif yang
diperlukan untuk mendirikan bangunan gedung, baik dari segi kejelasan status tanahnya,
kejelasan status kepemilikan bangunan gedungnya, maupun kepastian hukum bahwa
bangunan gedung yang didirikan telah memperoleh persetujuan dari pemerintah daerah dalam
bentuk izin mendirikan bangunan gedung. Pengaturan persyaratan teknis dalam Peraturan
Pemerintah ini mengatur lebih lanjut persyaratan teknis tata bangunan dan keandalan
bangunan gedung, agar masyarakat dalam mendirikan bangunan gedung mengetahui
secara jelas persyaratan-persyaratan teknis yang harus dipenuhi sehingga bangunan
gedungnya dapat menjamin keselamatan pengguna dan lingkungannya, dapat ditempati secara
aman, sehat, nyaman, dan aksesibel, sehinggga secara keseluruhan dapat memberikan jaminan
terwujudnya bangunan gedung yang fungsional, layak huni, berjati diri, dan produktif, serta
serasi dan selaras dengan lingkungannya.
Dengan dipenuhinya persyaratan teknis bangunan gedung sesuai fungsi dan
klasifikasinya, maka diharapkan kegagalan konstruksi maupun kegagalan bangunan gedung
dapat dihindari, sehingga pengguna bangunan dapat hidup lebih tenang dan sehat, rohaniah
dan jasmaniah yang akhirnya dapat lebih baik dalam berkeluarga, bekerja, bermasyarakat dan
bernegara. Pengaturan

bangunan

gedung

dilandasi oleh

asas

kemanfaatan,

keselamatan, keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung dan lingkungannya bagi


masyarakat yang berperikemanusiaan dan berkeadilan. Oleh karena itu, masyarakat diupayakan
untuk terlibat dan berperan aktif, positif, konstruktif dan bersinergi bukan hanya dalam
rangka pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung untuk kepentingan mereka

sendiri, tetapi juga dalam meningkatkan pemenuhan persyaratan bangunan gedung dan
tertib penyelenggaraan bangunan gedung pada umumnya.
Pelaksanaan peran masyarakat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini juga
tetapmengacu pada peraturan perundang-undangan tentang organisasi kemasyarakatan,
sedangkan pelaksanaan gugatan perwakilan yang merupakan salah satu bentuk peran
masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung juga mengacu pada peraturan perundangundangan yang terkait dengan gugatan perwakilan. Pengaturan peran masyarakat
dimaksudkan untuk mendorong tercapainya tujuan penyelenggaraan bangunan gedung yang
tertib, fungsional, andal, dapat menjamin keselamatan, kesehatan, kenyamanan, kemudahan
bagi pengguna dan masyarakat di sekitarnya, serta serasi dan selaras dengan lingkungannya.
Pengaturan penyelenggaraan pembinaan dimaksudkan sebagai ketentuan dasar
pelaksanaan bagi Pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan embinaan
penyelenggaraan bangunan gedung dengan berlandaskan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang
baik. Pembinaan dilakukan untuk pemilik bangunan gedung, pengguna bangunan gedung,
penyedia jasa konstruksi, maupun masyarakat yang berkepentingan dengan tujuan untuk
mewujudkan tertib penyelenggaraan dan keandalan bangunan gedung yang memenuhi
persyaratan administratif dan teknis, serta yang dilaksanakan dengan penguatankapasitas
penyelenggara bangunan gedung.
3.3.

TEKNIS PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANGAN


3.3.1. UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN
Dalam UU No.12 Tahun 2011 pasal 7 ayat 1disebutkan Jenis dan hierarki
PeraturanPerundang-undangan terdiri atas:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945


Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dan kekuatan hukumnya ditegaskan pada pasal 7 ayat 2 :

Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud


pada ayat (1). Jenis Peraturan Perundang-undangan ini mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank
Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UndangUndang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat.
Suatu undang-undang yang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, maka pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Sedangkan, suatu
Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan UndangUndang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah AgungUndang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD 1945
atau UUD '45, adalah hukum dasar tertulis, konstitusi pemerintahan negara Republik Indonesia saat
ini. UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus
1945. Sejak tanggal 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS, dan sejak tanggal 17
Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali
memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli
1959. Pada kurun waktu tahun 1999-2002, UUD1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen),
yang mengubah susunan lembaga- lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 Perubahan Pertama UUD1945
Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 Perubahan Kedua UUD1945
Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 Perubahan Ketiga UUD1945
Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 Perubahan Keempat UUD1945

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat


Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, atau disingkat Ketetapan MPR atau TAP
MPR, adalah bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berisi hal-hal yang bersifat
penetapan. Pada masa sebelum Perubahan (Amandemen) UUD 1945, Ketetapan MPR merupakan
Peraturan Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas UndangUndang. Pada masa awal reformasi, ketetapan MPR tidak lagi termasuk urutan hierarki Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia.

Namun pada tahun 2011, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Tap
MPRkembali menjadi Peraturan Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (atau disingkat Perpu) adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi
muatan Undang-Undang.
Perpu ditandatangani oleh Presiden. Setelah diundangkan, Perpu harus diajukan ke DPR
dalam persidangan yang berikut, dalam bentuk pengajuan RUU tentang Penetapan Perpu Menjadi
Undang-Undang. Pembahasan RUU tentang penetapan Perpu menjadi Undang- Undang
dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan RUU. DPR hanya dapat
menerima atau menolak Perpu.Jika Perpu ditolak DPR, maka Perpu tersebut tidak berlaku, dan
Presiden mengajukan RUU tentang Pencabutan Perpu tersebut, yang dapat pula mengatur segala
akibat dari penolakan tersebut.
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang ditetapkan
oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan
Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Peraturan
Pemerintah ditandatangani oleh Presiden.
Peraturan Presiden
Peraturan Presiden disingkat Perpres adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat
oleh Presiden. Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh UndangUndang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Perpres merupakan jenis Peraturan Perundangundangan yang baru di Indonesia, yakni sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004.
Peraturan Daerah Provinsi
Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Kepala Daerah
(gubernur).Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi berisi materi muatan dalam rangka

penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah
dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/kota tersebut. dibentuk oleh
DPRD Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota tidaksubordinatterhadap

PeraturanDaerahProvinsi. Materi muatan Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan
tugas pembantuan serta menampung kondisi khususdaerah dan/atau penjabaran lebih lanjut
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
3.3.2. PERMENDAGRI 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKANPRODUK HUKUM
DAERAH
Dalam rangka tertib administrasi pembentukan produk hukum daerah perlu dilakukan
penyeragaman prosedur penyusunan produk hukum daerah secara terencana, terpadu dan
terkoordinasi sehingga dibuatlah peraturan menteri dalam negeri yang mengatur tatanan tentang
produk hukum daerah termasuk muatan teknis peraturan daerah.
Perda merupakan produk legislasi pemerintahan daerah, yakni Kepala Daerah dan DPRD.
Sesuai Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Perda merupakan hak legislasi konstitusional Pemda dan
DPRD.Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/ Walikota (Pasal 140 ayat
(1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Rancangan Perda harus mendapat
persetujuan bersama DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Tanpa persetujuan bersama,
rancangan Perda tidak dibahas lebih lanjut.
Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau
Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk
ditetapkan sebagaiPerda. Penyampaian rancangan Perda dilakukan dalam jangka waktu paling lama
7 hari, terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Rancangan Perda ditetapkan oleh Gubernur
atau Bupati/Walikota paling lama 30 hari sejak rancangan tersebut disetujui bersama (Pasal144 ayat
(1), (2) dan (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
Dalam hal rancangan Perda tidak ditetapkan Gubernur atau Bupati/Walikota dalam waktu
paling lama 30 hari maka rancangan Perda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan
dengan memuatnya dalam Lembaran Daerah. Dalam hal keabsahan rancangan Perda

dimaksud, rumusan kalimat pengesahannya berbunyi Perda dinyatakan sah, dengan


mencantumkan tanggal sahnya (Pasal 144 ayat (4), (5) UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah).Perda disampaikan kepada pemerintah pusat paling lama 7 hari setelah
ditetapkan (Pasal145 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
3.4.

TEKNIS SUBSTANSI PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG


3.4.1. PERPRES PEMBANGUNAN BG NEGARA
Bangunan gedung negara merupakan barang milik negara/daerah untuk keperluan dinas
sebagai tempat berlangsungnya kegiatan aparatur pemerintah sehingga harus fungsional dan
memenuhi keselamatan bangunan. Pembangunan bangunan gedung negara sebagai bagian dari
proses penyelenggaraan bangunan gedung negara harus dilaksanakan secara tertib, efektif, efisien,
hemat, tidak berlebihan, dan ramah lingkungan. Atas dasar tersebut maka dibuatlah peraturan
presiden yang termuat dalam PERPRES No. 73 Tahun 2011 tentang Pembangunan Bangunan
Gedung Negara.
Substansi materi adalah untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam
penyelenggaraan bangunan gedung negara, setiap bangunan gedung negara harus memenuhi
persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung, serta harus diselenggarakan secara tertib.
Undang-undang tentang Bangunan Gedung mengatur fungsi bangunan gedung, persyaratan
bangunan gedung, penyelenggaraan bangunan gedung, termasuk hak dan kewajiban pemilik dan
pengguna bangunan gedung pada setiap tahappenyelenggaraan bangunan gedung negara.
3.4.2. PERMEN PU DALAM BIDANG PBL
Tabel 4 : Permen PU dalam Bidang PBL

No.
1.
2.

Peraturan Menteri
Pedoman Persyaratan teknis Bangunan Gedung
Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada

Nomor
29/PRT/M/2006
30/PRT/M/2006

3.

Bangunan Gedung
Pedoman Teknis Rumah Susun Sederhana

05/PRT/M/2007

4.

Bertingkat Tinggi
Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan Dan

06/PRT/M/2007

5.

Lingkungan
Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi Rumah

19/PRT/M/2007

6.

Pasca Gempa Bumi


Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan

24/PRT/M/2007

7.

Gedung
Pedoman Sertifikat Laik Fungsi Bangunan

25/PRT/M/2007

8.
9.

Gedung
Pedoman Tim Ahli Bangunan Gedung
Pedoman Teknis Pengadaan, Pendaftaran,

26/PRT/M/2007
22/PRT/M/2008

Penetapan status, Penghunian, Pengalihan


Status, dan Pengalihan Hak Atas Rumah
10.

Negara
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Tentang

24/PRT/M/2008

11.

Pedoman Pemeliharaan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Tentang

25/PRT/M/2008

12.

Pedoman Teknis
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Tentang

26/PRT/M/2008

Persyaratan Teknis SistemProteksi


Kebakaran Pada Bangunan Gedung Dan
13.

Lingkungan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Tentang

20/PRT/M/2009

Pedoman Teknis ManajemenProteksi


14.

Kebakaran Di Perkotaan
Pedoman Teknis Pemeriksan Berkala Bangunan

16/PRT/M/2010

15.
16.

Gedung
Pedoman Teknis Pendataan Bangunan Gedung
Pedoman Revitalisasi Kawasan

17/PRT/M/2010
18/PRT/M/2010

BAB IVLANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS dan YURIDIS


4.1.

LANDASAN FILOSOFIS
Penyusunan Rancangan Perda Bangunan Gedung Kabupaten Muna Barat bila dilihat dari aspek
filosofis merupakan alat untuk mengendalikan penyelenggaraan bangunan gedung diwilayah
Kabupaten Muna Barat. Melalui Ranperda Bangunan Gedung Kabupaten Muna Barat dilakukan
pengaturan dan pengendalian penyelenggaraan bangunan gedung sehigga dapat diwujudkan tertib
penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin keandalan teknis bangunan gedung dari segi
keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan; dan mewujudkan kepastian hukum dalam
penyelenggaraan bangunan gedung.
Berdasarkan uraian tentang pencapaian dan tantangan yang masih dihadapi dalam
penyelenggaraan Bangunan Gedung serta peraturan perundang-undangan terkait, dapat ditarik
kesimpulan bahwa saat ini terdapat kebutuhan yang mendesak akan peraturan daerah tentang bangunan
gedung di Kabupaten Muna Barat yang mampu meningkatkan pencapaian yang bernilai positif
sekaligus mampu menjawab berbagai tantangan yang ada dalam penyelenggaraan bangunan gedung.
Kebutuhan yang mendesak ini diharapkan dapat dipenuhi melalui penyusunan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Bangunan Gedung Kabupaten Muna Barat.
Penyelenggaraan Bangunan Gedung sangat terkait dengan upaya penataan bangunan gedung
dalam rangka perbaikan dan peningkatan kualitas lingkiungan hunian masyarakat dan kualitas
lingkungan hidup. Dengan demikian rancangan peraturan daerah tentang Bangunan Gedung di
Kabupaten Muna Barat ini harus memenuhi asas efektifitas dalam penerapannya agar dapat secara
efektif mendorong terwujudnya ruang kehidupan yang nyaman, produktif dan berkelanjutan yang pada
gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk meningkatkan efektifitas dalam

Rancangan Perda Kabupaten Muna Barat ini dipandang semakin mendesak sejalan peningkatan
berbagai permasalahan yang dihadapi.
Apabila Ranperda Bangunan Gedung di Kabupaten Muna Barat tidak dapat mengatasi
berbagai permasalahan yang terkait dengan penurunan kualitas lingkungan hunian, bangunan
perumahan dan gedung lainnya, kelembagaan, inkonsistensi dalam penerapan perijinan yang tekah ada,
maupun permasalahan yang terkait dengan upaya penegakan hukum, kualitas lingkungan hunian
dikhawatirkan akan semakin menurun dan semakin menjauh dari cita-cita terwujudnya ruang yang
nyaman, produktif dan berkelanjutan. Hal ini dipandang akan menghambat upaya pencapaian
masyarakat yang sejahtera, yang merupakan tujuan besar daripembangunan nasional.
4.2.

LANDASAN SOSIOLOGIS
Secara faktual setiap warga masyarakat yang beradab mengharapkan adanya suasana
lingkungan yang dinamis, aman, dan nyaman dalam berbagai tata kehidupannya, di sisi lain suasana
kehidupan yang semakin kompleks sejalan dengan dinamika masyarakat itu sendiri yang semakin
berkembang dalam berbagai tata kehidupannya, tentu diperlukan keselarasan, harmonisasi agar tidak
menimbulkan dampak yang saling bertentangan atau kontraproduktif. Kehidupan masyarakat dalam
berbagai bentuk kegiatan atau pencaharian dan kepentingan semakin dirasakan kompleksitasnya
apalagi pada lingkungan kehidupan yang padat atau perkotaan, tentu faktor bagaimana menemukan
peluang yang kompetitif semakin terasa di sisi lain faktor fungsi pelayanan umum serta pengendalian
dan pengawasan atas kewenangan Pemerintah Daerah sering kali belum efektif. Sehingga tidak sedikit
persoalan atau masalah yang timbul di lingkungan masyarakat seharusnya tidak terjadi, bila hal ini dari
awal diatur dan dikelndalikan secara matang dan terkoordinasi dengan baik oleh pemerintah daerah
melalui instansi terkait dan peran serta masyarakat dan pihak berkompoten lainnya.
Berbagai implikasi positif berkenaan esensi penyelenggaraan bangunan gedung dan bila hal ini
telah menjadi komitmen bersama untuk menyikapi dan menaati secara konsekuen, maka berbagai
masalah yang sering kali terjadi seperti kebakaran, bencana banjir, ketidaknyamanan lingkungan
hunian, pemanasan global, pencemaran, pemanfaatan lain atas lahan resapan air, pembuangan sampah
di saluran air, dan berbagai dampak lainnya seperti itu seharusnya tidak terjadi lagi, atau dapat
dieliminir secara bertahap. Disinilah peranan faktor sosial budaya dibutuhkan mengilhami secara
positif terhadap berbagai aktivitas kehidupan masyarakat yang lebih berkualitas sejalan dengan esensi
reformasi untuk membangun demokrasi, hak asasi manusia, pemerataan dan keadilan itu sendiri.

Dalam kaitan itu bahwa dari berbagai realitas yang perlu disikapi secara terencana dan
kelembagaan, maka sejalan dengan perlunya diperjelas ketentuan yang akan diatur sebagai substansi
dari Ranperda Bangunan Gedung Kabupaten Muna Barat, dilakukan berdasarkan pertimbangan antara
lain:
a) Faktor Internal
1) Eksistensi kawasan lindung yang mengacu kepada Keputusan Presiden RI No. 32
Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung dimana potensi-potensi yang terdapat
dalam kawasan tersebut dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat
dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup;
2) Kegiatan-kegiatan utama dengan tingkat kebutuhan ruangnya antara lain kegiatan pariwisata;
kegiatan penangkapan ikan, pelabuhan, dan industri perikanan; kegiatan perkotaan dengan
aktivitas perdagangan dan jasa; kegiatan permukiman dan perumahan; kegiatan budidaya
(pertanian, perkebunan); kegiatan industri; kegiatan transportasi (jalan, pelabuhan laut, bandara
udara);
3) Eksistensi

beberapa

kawasan

andalan

dan

kawasan

strategis

seperti pengembangan

kawasan perkotaan perkotaan, dan kawasan Pengembangan Ekonomi, yang diharapkan


sebagai pusat pertumbuhan dan dalam rangka peningkatan taraf hidup masyarakat; dan
4) Terjadinya pertambahan penduduk dari waktu ke waktu tentu saja berimplikasi pada dimensi
spasial dan kemampuan daya layanan prasarana wilayahnya yang berimplikasi pada
peningkatan kebutuhan terhadap sarana prasarana.
b) Faktor Eksternal
Selain faktor internal tersebut, pembangunan wilayah Muna Barat juga terpengaruh oleh
dinamika eksternal antara lain:
Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menjadi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang antara lain
mempertegas kewenangan Pemerintah Provinsi (Pasal 13) sebagaimana antara lain dijabarkan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, PemerintahanDaerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;
Terjadinya perubahan Undang-Undang Penataan Ruang nomor 24 tahun 1992 menjadi
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 yang didalamnya terdapat beberapa materi substansi yang
mengharuskan pelaksanaan revisi terhadap produk rencana tata ruang serta perluasan kajian yang
memuat tentang pengendalian pemanfaatan ruang melalui peraturan zonasi (Zoning Regulation),
dan lain sebagainya;

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, maka jangka
waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Muna Barat seharusnya dalam kurun waktu
rencana selama 20 tahun;Penetapan fungsi baru dari rencana tata ruang yang statusnya lebih tinggi,
antara lain; Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP), dan RTRWN dan atau adanya
ketentuan baru termasuk Undang-undang penataan ruang yang harus menjadi rujukan dalam
proses perencanaan; dan
Dalam rangka mendukung pelaksanaan Rencana Tata Ruang Pulau Sulawesi yang akan
diatur dengan Peraturan Presiden yang tertuang dalam RTRW Propinsi Sulawesi Tenggara.
4.3.

LANDASAN YURIDIS
Implikasi dari reformasi dalam bernegara dan berbangsa pada kurun waktu satu dasawarsa
terakhir berpengaruh prinsip pada tata penyelenggaraan pemerintahan, baik menyangkut proses dan
bentuk kebijakan regulasi yang harus responsif dan berkeadilan serta keterbukaan akses peran
partisipasi aktif dari stake holder/pihak berkepentingan. Penyelenggaraan bangunan gedung cenderung
tidak terkendali dengan baik, khususnya diwilayah kawasan perkotaan seperti di Pasarwajo, terjadi
pembangunan bangunan gedung yang dilakukan secara ilegal atau tanpa izin atau dalam bentuk
pelanggaran izin, disisi lain juga kegiatan penertiban yang dilakukan oleh dinas terkait, tidak
berhasil memberi efek jera pada masyarakat yang melakukan pelanggaraan dalam penyelenggaraan
bangunan gedung.

Hal ini menandakan bahwa koordinasi dan instrumen perizinan tidak optimal

serta pengawasannya yang belum efektif bahkan cenderung lemah.


Dampak dari kondisi tersebut, tentu sangat berpengaruh pada kualitas lingkungan hunian atau
kawasan permukiman baik yang ada di kawasan perkotaan ataupun pada kawasan rural yang tidak
terkendali penyelenggaraan bangunan gedungnya. Secara holistik bila hal ini tidak disadari dan tidak
dicermati bersama secepatnya akan mengancam keselamatan masyarakat dari berbagai musibah seperti
kebakaran, kegagalan bangunan atau ketidaknyamanan lingkungan hunian dan bahaya banjir dan
lainnya. Masalah atau musibah seperti itu yang sering terjadi, langsung atau tidak langsung tentu
dipengaruhi oleh berbagai bentuk aktivitas pembangunan dari unsur masyarakat yang semuanya terkait
dengan faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Dampak dari musibah tersebut, tentu berpengaruh buruk
juga kepada kondisi ekonomi atas lahan pertanian, permukiman, dan sanitasi sehingga berpengaruh
pula pada menurunnya produktivitas masyarakat karena rusaknya berbagai infrastruktur yang
memerlukan biaya rehabilitasi yang tidak sedikit.
Dari berbagai pertimbangan dan kepentingan dalam penyelenggaraan bangunan gedung yang
sejalan dengan dinamika masyarakat dan kecenderungan pertumbuhan wilayah yang dilakoni oleh

kabupaten/kota baik di provinsi Sulawesi Tenggara atau secara umum, maka pengaturan
penyelenggaraan bangunan gedung harus didasarkan pada pendekatan sistem termasuk dalam
memaknai esensi dari sistem hukum itu yang terdiri dari 3 (tiga) sub sistem sebagai berikut:
a) Struktur hukum, yaitu berkenaan dengan aspek kelembagaan penegakan hukum(termasuk peraturan
daerah);
b) Subtansi hukum, yaitu berkenaan dengan aspek materi hukum yang dimuat dalam suatu peraturan
(termasuk peraturan daerah); dan
c) Budaya hukum, yaitu bagaimana kondisi adat budaya masyarakat setempat berpengaruh pada
tatanan penegakan hukum.

BAB V RENCANA KERJA


5.1.

PROGRAM KERJA
a) Tahapan Persiapan, yang terdiri dari kegiatan:
Pembentukan Tim Ad Hoc
Penyusunan Metodologi & Rencana Kerja
Penyusunan Ruang Lingkup Pengaturan RANPERDA
Penyusunan & Pembahasan Laporan Pendahuluan
b) Tahapan Survei, yang terdiri dari kegiatan:Pengumpulan Data dan Informasi
c) Tahapan Penyusunan Naskah Akademik, yang terdiri dari kegiatan:
Penyusunan Naskah Akademik
Penyusunan Kerangka Umum RANPERDA
Penyusunan & Pembahasan Laporan Antara
d) Tahapan Perumusan RANPERDA-BG, yang terdiri dari kegiatan:
Perumusan RANPERDA BG
e) Tahapan Pembahasan RANPERDA-BG, yang terdiri dari kegiatan:
Pembahasan Draf RANPERDA Awal
Rapat Pra Konsensus
f) Tahapan Konsensus, yang terdiri dari kegiatan:
Rapat Konsensus
Penyempurnaan Naskah Akademik
Penyusunan & Pembahasan Laporan Akhir Sementara
g) Tahapan Finalisasi, yang terdiri dari kegiatan:
Pembahasan Draf RANPERDA Final
Penyempurnaan Laporan Akhir

Anda mungkin juga menyukai