Islam
Terpadu
pada
hakekatnya
adalah
sekolah
yang
mengimplementasikan konsep pendidikan Islam berlandaskan AlQuran dan As
Sunnah. Konsep operasional SIT merupakan akumulasi dari proses
pembudayaan, pewarisan dan pengembangan ajaran agama Islam, budaya dan
peradaban Islam dari generasi ke generasi. Istilah Terpadu dalam SIT
dimaksudkan sebagai penguat (taukid) dari Islam itu sendiri. Maksudnya adalah
Islam yang utuh menyeluruh, Integral, bukan parsial, syumuliah bukan juziyah.
Hal ini menjadi semangat utama dalam gerak dawah dibidang pendidikan ini
sebagai perlawanan terhadap pemahaman sekuler, dikotomi, juziyah.
SIT juga memadukan pendidikan aqliyah, ruhiyah, dan jasadiyah. Artinya, SIT
berupaya mendidik peserta didik menjadi anak yang berkembang kemampuan
akal dan intelektualnya,meningkat kualitas keimanan dan ketaqwaannya kepada
Allah SWT, terbina akhlak mulia, dan juga memiliki kesehatan, kebugaran dan
keterampilan dalam kehidupannya sehari hari.
membangun kompetensi dan karakter peserta didik . orang tua dilibatkan secara
aktif untuk memperkaya dan memberi perhatian yang memadai dalam proses
pendidikan putra putri mereka. Sementara itu, kegiatan kunjungan ataupun
interaksi keluar sekolah merupakan upaya untuk mendekatkan peserta didik
terhadap dunia nyata yang ada ditengah masyarakat.
PENDAHULUAN
Format pendidikan nasional yang sudah bergulir puluhan tahun, ternyata belum
juga mampu melahirkan manusia-manusia Indonesia yang bertanggung jawab,
jujur, dan memiliki integritas yang tinggi. Yang terjadi justeru sebaliknya, moral
bangsa semakin terperosok ke dalam kubangan lumpur yang menjijikan.
Indonesia kini telah menjadi bangsa yang dikenal sebagai negara dengan tingkat
korupsi, tingkat kerusakan lingkungan, tingkat kriminalitas, penggunaan narkoba
dan penghutang tinggi di dunia. Semua itu terjadi karena format pendidikan
yang diterapkan di negeri kita telah mengalami ketimpangan kurikulum. Pada
sector pendidikan umum terjadi "sekularisasi pendidikan", yang memisahkan
pendidikan umum dari pendidikan agama yang sesungguhnya sarat dengan
pesan-pesan moral. Sementara di sector pendidikan agama yang banyak
diselenggarakan dalam institusi madrasah atau pesantren terjadi "sakralisasi"
yakni, muatan-muatan agama yang seolah "tidak peduli" dengan apa yang
terjadi dan berkembang di dunia. Jadilah mereka murid-murid yang mengetahui
ilmu agama, tetapi gagap dalam beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari yang
sarat dengan perubahan dan perkembangan ilmu dan teknologi.
Dengan kondisi rapuhnya kualitas SDM (HDI tahun 2002 berada pada peringkat
117), Indonesia kemudian berhadapan dengan global competition yang sangat
ketat. Tahun tahun ke depan, batas-batas negara semakin kabur. Setiap Negara
mau tidak mau harus bekerjasama dan sekaligus bersaing dengan negara lain
dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraannya.
Tahun 2003 ini perjanjian AFTA telah menunjukkan riak dan konsekwensinya.
Indonesia harus bersaing ketat dengan Malaysia, Thailand, Singapura, dan
Negara ASEAN lainnya dalam berbagai hal. Sementara, lima belas tahun ke
depan, Indonesia harus siap pula dalam menghadapi kompetisi dengan negaranegara seluruh dunia dalam perjanjian WTO.
Mengejar kualitas pendidikan merupakan salah satu syarat dalam mengatasi
permasalahan-permasalahan di atas. Pemerintah dan masyarakat hendaknya
berusaha memberdayakan warga negara untuk menjadi manusia yang
berkualitas. Manusia yang berkualitas adalah manusia yang menerapkan nilainilai moral dan demokratis dalam kehidupan masyarakatnya, yang sadar akan
hak dan kewajibannya sebagai seorang warga negara. Pendidikan berkualitas
bukan hanya menghasilkan kader pemimpin bangsa tetapi juga menghasilkan
kader pemimpin yang menguasai ilmu pengetahuan dan mengembangkannya.
Dalam konteks itulah format Sekolah Islam Terpadu mencoba meretas jalan
membangun pendidikan berkualitas dengan berupaya mengintegrasikan
berbagai komponen dan kekuatan yang diharapkan mampu membentuk
bangunan pendidikan yang kokoh dan efektif.
1. Learning ti live together: belajar untuk memahami dan menghargai orang lain,
sejarah mereka dan nilai-nilai agamanya.
2. Learning to know: penguasaan yang dalam dan luas akan bidang ilmu
tertentu, termasuk di dalamnya learning to how
3. Learning to do: belajar untuk mengaplikasi ilmu, bekerjasama dalam team,
belajar memecahkan masalah dalam berbagai situasi.
4. Learning to be: belajar untuk dapat mandiri, menjadi orang yang bertanggung
jawab untuk mewujudkan tujuan bersama.
yang
kuat,
dan
kebanggaan
terhadap
sejarah
1. Integratif (Terpadu)
Sekolah yang baik hendaknya menjadikan sistem dan pola penyelenggaraannya
terpadu dalam aspek:
* Kurikulum, yakni mengintegrasikan kurikulum pendidikan umum dan agama,
baik dalam pengertian kuantitatif maupun kualitatif. Pengertian kuantitatif berarti
memberikan porsi pendidikan umum dan agama secara seimbang. Sementara
pengertian kualitatif berarti menjadikan pendidikan umum diperkaya dengan
perspektif agama, dan pendidikan agama diperkaya dengan pendidikan umum.
Dengan memadukan kurikulum umum dan agama dalam suatu jalinan kegiatan
belajar mengajar, maka diharapkan peserta didik dapat memahami esensi ilmu
dalam perspektif yang utuh. Mengetahui sesuatu untuk tujuan manfaat dan
maslahat, dan mengamalkan keimanan dengan ilmu dan pengetahuan yang
luas.
* Kegiatan belajar mengajar, yakni memadukan secara utuh ranah kognitif,
afektif dan konatif dalam seluruh aktivitas belajar. Konsekwensinya, seluruh
kegiatan belajar harus menstimulasi ketiga ranah tersebut dengan menggunakan
berbagai pendekatan (metode dan sarana) belajar. Belajar tidak boleh lagi hanya
terpaku pada pembahasan-pembahasan konsep dan teori belaka. Setiap pokok
bahasan harus berupaya menarik minat anak terhadap pokok bahasan serta
membimbing mereka untuk masuk pada dunia aplikasinya. Belajar melalui
pengalaman (experential learning) menjadi suatu pendekatan yang sangat perlu
mendapat perhatian dari pengelola sekolah. Dengan pendekatan langsung pada
praktek yang memberikan pengalaman nyata kepada anak didik tentang pokok
bahasan, experential learning juga akan menumbuhkan semangat dan motivasi
belajar yang tinggi, karena suasana menyenangkan dan menantang akan selalu
mereka dapatkan. Proses pembelajaran juga semestinya melibatkan semua
inteligensi (multiple intelligences).
Oleh karena itu pendekatan yang dilakukan dalam mengoptimalkan pendekatan
belajar mestilah berbasis student active learning. Siswa mesti dirangsang untuk
aktif terlibat dalam setiaaktivitas dan guru lebih kepada fungsi fasilitator dan
motivator. Beberapa pendekatan yang dapat dikembangkan untuk memacu
seluruh sisi inteligensi antara lain dengan menggunakan model: case study,
project, service learning, thematic learning, dan performance learning.
* Peran serta, yakni melibatkan fihak orangtua dan kalangan eksternal
(masyarakat) sekolah untuk berperan serta menjadi fasilitator pendidikan para
peserta didik. Orangtua harus ikut secara aktif memberikan dorongan dan
bantuan baik secara individual kepada putera-puterinya maupun kesertaan
mereka terlibat di dalam sekolah dalam serangkaian program yang sistematis.
Keterlibatan orangtua memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam
meningkatkan performance sekolah. Berdasarkan survey riset yang dilakukan
oleh ISREP , hubungan yang kuat antara sekolah dan orangtua merupakan salah
satu cirri dari sekolah-sekolah efektif di dunia. Beberapa program kerjasama
dengan orangtua yang dapat dikembangkan antara lain dalam hal
pengembangan kurikulum, pengayaan program kelas, peningkatan sumber daya
pendanaan, pemantauan bersama kinerja siswa, proyek ekshibisi, perayaan,
peningkatan kesejahteraan guru , pengembangan organisasi dan manajemen.
2. Stimulatif
Kegiatan belajar yang efektif haruslah mampu memberikan stimulasi yang
optimal kepada peserta didik. Memberikan stimulasi yang optimal sebaiknya
menyesuaikan diri dengan bagaimana sifat-sifat dan gaya kognitif bekerja.
Dalam hal ini psikologi kognitif dapat memberikan sumbangan yang berarti
dalam upaya mengoptimalkan kemampuan daya serap anak dalam konteks
belajar. Riding (2002) memaparkan bahwa strategi belajar hendaknya
mempertimbangkan bagaimana memory bekerja (working memory) dan
bagaimana gaya kognitif seseorang (cognitive style). Working memory sangat
mempengaruhi performance seorang anak dalam menyelesaikan tugas-tugas
yang melibatkan kemampuan problem solving, reasoning, penyerapan
perbendaharaan kata baru, dan reading comprehension . Sweller (1998)
melakukan riset yang mendalam bagaimana sebaiknya proses belajar
(instructional process) memperhatikan masalah cognitive load dengan rekayasa
media belajar yang efektif. Ia menyimpulkan bahwa belajar akan mendapatkan
hasilnya yang optimal apabila proses instruksional memperhatikan split attention
effect, redundancy effect, worked examples, dan penggunaan multimedia.
Sementara itu, gaya kognitif setiap orang berbeda. Riding dan Cheema (1991)
dan Riding dan Rayner (1998) menyimpulkan bahwa gaya setiap orang berfikir
terbagi atas dua gaya fundamental yaitu: the wholist-analytic yaitu dimensi gaya
berfikir yang cenderung mengelola sesuatu dalam keseluruhan atau dalam
bagian-bagian, dan the verbal-imagery; dimensi gaya berfikir yang cenderung
menampilkan proses berfikirnya secara verbal atau dalam bentu mental pictures.
Dengan dua dimensi cognitive-style tersebut muncullah berbagai kombinasi
gaya kognitif siswa, seperti:analytic verbaliser, analytic bimodal, analytic imager,
intermediate verbaliser, intermediate bimodal, intermediate imager, wholist
verbaliser, wholoist bimodal, wholist imager. Sementara itu Lauren Bradway &
Barbara Albers Hill (1993) mengemukakan tiga jenis gaya anak dalam konteks
bagaimana ia menyerap pelajaran, yaitu: Litsener, Looker dan Mover.
Kiwari, pendekatan quantum learning mencoba menerapkan prinsip-prinsip
psikologi pendidikan ke dalam ruang kelas sedemikian rupa sehingga kegiatan
belajar diarahkan untuk dapat menstimulasi seluruh indria anak melalui
serangkaian kegiatan yang menggunakan multimedia. Inti dari quantum learning
adalah bagaimana menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan,
memompa motivasi belajar dan efektif.
3. Fasilitatif
Kegiatan belajar mengajar harus mampu menyediakan seluas-luasnya sumber
dan media belajar. Belajar tidak hanya terpaku pada ruang kelas dan sumber
belajar tradisional. Sumber dan media belajar haruslah diperluas tidak hanya di
lingkungan sekolah, namun juga di lingkungan alam sekitar, masyarakat,
instansi/lembaga, keluarga, mesjid, pasar, tokoh dan lain sebagainya. Berbagai
kegiatan informal juga dapat dijadikan media bagi proses belajar mereka,
seperti: dalam hal berpakaian, aktivitas makan dan jajan, aktivitas ibadah,
aktivitas kebersihan, aktivitas sosial. Dengan memperluas sumber dan media
belajar, maka peserta didik akan mendapatkan pengalaman yang membentuk
kepribadian.
4. Motivatif
Kegiatan belajar mengajar harus mampu membangkitkan motivasi berprestasi
pada peserta didik. Dengan tumbuhnya need of achievement pada setiap siswa,
maka ia akan selalu menjadikan seluruh aktivitasnya untuk meraih prestasi.
Untuk dapat membangkitkan kebutuhan untuk selalu meraih prestasi, maka
setiap pengalaman belajar anak haruslah dirasakan sebagai sesuatu
pengalaman yang menyenangkan dan sekaligus menantang.
Kegiatan belajar mengajar harus dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi
proses yang interaktif antara peserta didik dengan sumber dan media belajar. Di
sinilah pentingnya kemampuan guru untuk membuat suasana dan cara belajar
dengan menggunakan berbagai pendekatan yang atraktif, yang pada dasarnya
adalah merangsang seluruh indera peserta didik dan memanipulasi ranah
kognitif, afektif serta konatif sekaligus.
Berbagai pendekatan yang atraktif antara lain: simulasi, role playing,
eksperimen, eksplorasi, observasi, kompetisi, kooperasi (team work), proyek,
brainstorming, diskusi dan seminar, lokakarya. Semuan metode dapat diterapkan
dengan menggunakan problem solving based learning, research based learning,
dan small group based leraning, . Sebaliknya, kegiatan belajar mengajar yang
hanya mengandalkan stimulasi kognitif cenderung akan membosankan, dan
potensial mengancam runtuhnya need of achievement pada peserta didik.
Apalagi bila muatan kurikulum terasa berat, sehingga belajar menjadi suatu
beban yang melelahkan dan menjemukan.
Lingkungan belajar yang motivatif juga harus memunculkan iklim sekolah yang
sehat yang ditandai dengan pola interaksi dan pergaulan yang hangat
bersahabat diantara seluruh tenaga pendidikan dengan anak didik tanpa
kehilangan ketegasan dan kewibawaan mereka.
PENUTUP
Sesungguhnya sekolah terpadu adalah sekolah yang berupaya mewujudkan
suatu institusi pendidikan yang berbasiskan pada pandangan manusia secara
holistic. Manusia yang menjadi subyek didik adalah makhluk yang kompleks,
yang di dalamnya tersusun sejumlah aspek yang kemudian bermuara pada satu
eksistensi. Oleh karena itu, proses pembelajaran hendaknya menyesuaikan diri
dengan sifat-sifat dan kecenderungan manusia baik sebagai individu mapun
sebagai makhluk social.
Pada sisi lain, sekolah terpadu adalah upaya untuk memunculkan solusi (jalan
keluar) dari keterpurukan model dan pola pendidikan yang selama ini diterapkan
di tengah-tengah kita, yang terbukti tidak mampu melahirkan manusia-manusia
Indonesia yang kompetitif dan sekaligus memiliki integritas dan moralitas yang
tinggi.