Anda di halaman 1dari 7

Kasus Ketahanan Nasional (Ambalat, Sengketa

Indonesia Malaysia)
Meskipun peristiwanya sudah berlangsung tiga tahun yang lalu, namun
kasus Ambalat nampaknya belum terselesaikan hingga sekarang. Sudah tiga
tahun dilakukan negosiasi, namun belum terdengar kabar berita tentang
hasilnya. Belajar dari kasus Sipadan Ligitan yang juga dengan Malaysia,
Indonesia tidak boleh terlena dengan janji serta upaya hukum dari Malaysia.
Indonesia telah kalah telak pada persidangan Mahkamah Internasional di
Den Haag serta kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan. Strategi ulur waktu
(buying time) untuk pengumpulan data maupun perolehan dukungan
internasional oleh Malaysia seperti dilakukan dalam menggarap kasus
Sipadan Ligitan sungguh sangat jitu. Oleh karena itu seyogyanya Indonesia
tidak menganggap enteng dalam kasus Ambalat ini.
Konsesi minyak oleh Malaysia di wilayah Indonesia
Pada 16 Februari 2005 Pemerintah Indonesia telah memprotes pemberian
konsesi minyak di Ambalat, Laut Sulawesi (wilayah Indonesia) kepada Shell,
perusahaan minyak Belanda oleh Pemerintah Malaysia melalui perusahaan
minyak nasionalnya, Petronas. Berita tersebut diklarifikasi oleh Departemen
Luar Negeri RI (Deplu) melalui siaran pers tanggal 25 Februari 2005, yang
kemudian menimbulkan reaksi keras dari berbagai lapisan masyarakat
Indonesia. Suatu kejutan spontanitas kemudian terjadi di mana-mana. Tanpa
menunggu komando, masyarakat di berbagai kota berdemonstrasi dan
menghimpun sukarelawan untuk menghadapi Malaysia. Kemarahan tersebut
dipicu oleh berbagai perasaan kecewa terhadap sikap Malaysia antara lain
dalam masalah TKI dan terlepasnya pulau Sipadan Ligitan dari kekuasaan
RI bulan Desember 2002.
RI akan selesaikan dengan cara damai
Belajar dari pengalaman dan menyimak kejadian yang sebenarnya, makna
konflik blok Ambalat bukankah sekedar persoalan benar-salah atau kalahmenang. Namun harus diselesaikan dengan jernih dan proporsional. Langkah
Presiden SBY yang pada 8 Maret 2005 melakukan peninjauan langsung ke
wilayah Ambalat yang disengketakan itu sangat tepat. Peninjauan tersebut
juga melengkapi komunikasi Presiden SBY dengan Perdana Menteri Malaysia,
Abdullah Badawi yang membuahkan kesamaan pendapat bahwa
persengketaan di Ambalat harus dapat diatasi dengan cara damai.

Sebaiknya bagaimana pendirian Indonesia?


Menghadapi Malaysia, Indonesia tidak boleh lengah sedetikpun atau mundur
selangkahpun. Bersamaan dengan itu harus pula dapat dibuktikan bahwa
Blok Ambalat dan Ambalat Timur adalah wilayah Indonesia. Sengketa di
Ambalat tidak akan terlepas dari ekses perebutan pulau Sipadan Ligitan.
Agar tidak terulang nasib kekalahan Indonesia dalam kasus Sipadan
Ligitan, maka untuk menetapkan keabsahan status kawasan Ambalat tidak
diperlukan dialog basa-basi. Secara substansial, posisi Indonesia sudah
cukup kuat. Namun dalam praktik harus tetap pada tingkat kewaspadaan
tinggi, mengingat fakta bahwa sejujurnya Indonesia telah kecolongan atas
lepasnya pulau Sipadan Ligitan sebagai akibat dari suatu kelalaian.
Sehubungan dengan penegasan Presiden SBY bahwa konflik Ambalat
diselesaikan melalui cara damai, kata kuncinya adalah bagaimana Indonesia
berkemampuan dalam berdiplomasi. Faktor ini sangat penting manakala
Indonesia tidak ingin mengulangi pengalaman pahit atas kekalahan dalam
sengketa Sipada Ligitan tersebut.
Indonesia negara kepulauan
Perlu disadari bahwa melalui suatu perjuangan panjang Indonesia telah
resmi menjadi salah satu dari sedikit negara kepulauan (archipelagic state)
di dunia berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional atau UNCLOS (The
United Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982. Sebagai
perwujudannya, maka dibuat UU No.6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk
menggantikan UU Prp No.4/1960. Amanat dalam UNCLOS 1982 antara lain
adalah keharusan Indonesia membuat peta garis batas, yang memuat
kordinat garis dasar sebagai titik ditariknya garis pangkal kepulauan
Indonesia. Namun dalam UU No.6/1996 tidak memuat peta garis batas
Indonesia. Kewajiban ini tidak segera dilakukan oleh Indonesia, namun justru
Malaysia yang berinisiatif membangun fasilitas dan kemudian mengklaim
Sipadan Ligitan sebagai bagian dari wilayahnya. Ini hanya mungkin bisa
terjadi sebagai akibat dari kelalaian dan terbukti, sebagaimana dikatakan
oleh Malaysia, kedua pulau tersebut tidak diurus oleh Indonesia. Apa yang
dilakukan Malaysia dapat diterima dan bahkan memperkuat pertimbangan
Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) untuk
menetapkan Malaysia sebagai negara yang berhak atas pulau Sipadan dan
Ligitan. Kabarnya Malaysia juga berusaha melakukan hal serupa terhadap
Pulau Natuna, dengan cara membangun pulau tersebut sebagai daerah
tujuan wisata.

Peta Malaysia tahun 1979


Taktik/strategi coba-coba yang membuat Malaysia berhasil dalam perebutan
Sipadan Ligitan sekali lagi sedang dilakukan untuk meraup Blok ND 6 (Y)
dan ND 7 (Z) sebagai bagian wilayahnya. Malaysia hanya merubah sebutan
tempat tersebut untuk membuat kesan beda dengan wilayah garapan
Indonesia, yaitu Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Manuver Malaysia tidak
saja dengan memberikan konsesi minyak di blok tersebut kepada Shell,
namun juga tindakan provokasi di batas perairan wilayah kedua negara
sekaligus mengganggu pembangunan mercu suar di Karang Unarang milik
Indonesia. Keberanian Malaysia dalam hal ini berbekal asumsi atas
rumus yang dibuatnya sendiri dengan menarik garis pantai dari wilayah
teritorial laut pulau Sipadan Ligitan. Padahal berdasarkan UNCLOS Malaysia
adalah bukan negara kepulauan dan tidak berhak menarik garis pangkal dari
titik-titik terluar pulau-pulau terluar sebagaimana dimiliki negara kepulauan
seperti Indonesia.
Ulah Malaysia mengklaim Sipadan Ligitan kemudian Blok Ambalat dan East
Ambalat, semata-mata berdasarkan peta 1979 yang diterbitkan secara
sepihak dan sudah diprotes oleh Indonesia serta beberapa negara Asia
Tenggara lainnya. Adanya protes tersebut dan setelah diberlakukannya
Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, seharusnya Malaysia sudah tidak
lagi menggunakan peta tersebut. Namun setelah berhasil merebut pulau
Sipadan dan Ligitan maka Malaysia berani mencoba melangkah maju lagi.
Target yang dituju adalah kepemilikan Blok ND 6 dan ND 7 yang kaya dengan
kandungan minyak tersebut. Spekulasi Malaysia selanjutnya adalah mencari
celah-celah agar Indonesia mau diajak berunding dan bilamana perlu hingga
ke Mahkamah Internasional. Di Den Haag nanti, Malaysia punya bargaining
position atas peran Shell, perusahaan minyak Belanda. Sebagai perusahaan
transnasional, pasti dibalik Shell terdapat kekuatan lain yang cukup berbobot
dan berpengaruh. Sedangkan Indonesia hanya sendirian dan tidak
mempunyai bargaining position yang menjanjikan.
Tumpang tindih lahan penjualan
Indonesia sebetulnya tidak harus bersusah payah menghadapi kasus
Ambalat, seandainya sejak awal secara konsisten tetap mengawasi dan
mengikuti perkembangan terhadap konsesi yang telah diberikan kepada
beberapa perusahaan minyak asing di Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Di

kawasan tersebut sejak tahun 1967 Indonesia telah membuka peluang bisnis
kepada perusahaan minyak seperti Total Indonesie PSC, British Petroleum,
Hadson Bunyu BV, ENI Bukat Ltd. dan Unocal, yang selama ini tidak ada
reaksi apapun dari Malaysia. Jelasnya kegiatan Indonesia telah berlangsung
jauh sebelum rekayasa Malaysia yang secara unilateral membuat peta tahun
1979.
Ada semacam kejanggalan bahwa pada tahun 1967 Pertamina memberikan
konsesi minyak kepada Shell, namun oleh Shell kemudian diberikan lagi
kepada perusahaan minyak ENI (Italia). Petunjuk ini perlu untuk diketahui,
mengingat ada nuansa kesamaan dengan pemberian konsesi minyak oleh
Petronas kepada Shell yang sekarang sedang diributkan itu. Pada saat ini
Blok Ambalat dikelola ENI sejak tahun 1999 dan East Ambalat oleh Unocal
(AS) tahun 2004 (Desember). Timbul pertanyaan, mengapa sampai terjadi
tumpang tindih bahwa Malaysia dapat menjual asset negara lain yang
adalah sebagai pemilik yang sah? Lagipula yang menjadi obyek masih
sedang aktif dikelola. Sekali lagi Indonesia telah kecolongan akibat
kelalaian juga.
Memenangkan perundingan
Dari catatan tersebut di atas, inti persoalan timbulnya konflik adalah akibat
akal-akalan Malaysia yang bersikukuh dengan peta tahun 1979 dan
berbuntut perolehan hak atas Sipadan Ligitan. Malaysia juga tidak jujur
dalam memaknai secara utuh Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 yang
juga telah ikut ditandatanganinya.
Menanggapi protes Indonesia, Malaysia menjawab (25 Februari 2005) bahwa
yang sedang disengketakan itu adalah perairan Malaysia. Meskipun
menyatakan ingin menghindarkan konfrontasi dengan Indonesia, namun
dalam berbagai kesempatan Menlu Malaysia, Syed Hamid Albar mengatakan
bahwa Malaysia tidak akan berkompromi soal kepentingan teritorial dan
kedaulatan.
Posisi Malaysia cukup jelas, yaitu tidak konfrontasi dengan Indonesia namun
mengajak berunding dan harus melindungi keutuhan teritorial. Sedangkan
Indonesia berkewajiban untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Tibalah saatnya sekarang kedua negara bertetangga dan
serumpun ini saling berhadapan untuk mempertahankan kepentingan

nasionalnya. Perhitungan Malaysia tentu merujuk pengalaman masa lalunya


untuk kembali memenangkan perundingan dengan Indonesia.
Mengantisipasi bilamana terjadi perundingan, diperkirakan akan terdapat
tiga kemungkinan. Yaitu pertama, Indonesia tetap dapat mempertahankan
haknya; kedua, Malaysia berhasil merebut Ambalat; atau ketiga, berunding
dengan difasilitasi oleh pihak ketiga. Apabila gagal semuanya, bukan tidak
mungkin bisa terjadi perang. Namun yang terakhir ini tentu sulit karena
keduaanya terikat kepada kesepakatan Asean. Dalam hal mengundang pihak
ketiga, dari pengalaman Sipadan Ligitan kemungkinan Indonesia akan
dirugikan. Pertemuan bilateral antara Menlu RI dan Menlu Malaysia pada Mei
2005 hasilnya belum banyak diketahui oleh publik.
Indonesia masih harus dapat memilih secara tepat beberapa alternatif
apakah perundingan bilateral saja, melalui jasa High Counsel Asean, Tribunal
UNCLOS atau ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice).
Pemerintah juga harus melengkapinya dengan berbagai peraturan yang
memperkuat posisi Indonesia di arena perundingan nanti. Seperti dimaklumi,
Peraturan Pemerintah (PP) No.38 Tahun 2002 tentang Daftar Kordinat
Geografi Titik-titik Pangkal Kepulauan Indonesia juga disiapkan saat
menghadapi persidangan kasus Sipadan Ligitan di Mahkamah
Internasional, namun kurang manfaat karena kalah berpacu dengan waktu.
Sekarang PP tersebut harus segera diubah karena di dalamnya masih ada
Sipadan dan Ligitan.
Belajar dari kasus
Mengambil pelajaran dari proses perebutan Sipadan Ligitan, maka dalam
kasus Ambalat ini Indonesia harus lebih berhati-hati dan menjaga agar tidak
terjebak. Dalam kasus Sipadan Ligitan ternyata Mahkamah Internasional di
Den Haag tidak mau melihat argumentasi hukum dan sejarah, namun lebih
menekankan kepada keseriusan negara pihak dalam mengurus asset. Oleh
karena itu dalam adu argumentasi nanti harus lebih diperkuat hingga dapat
memerinci saat-saat paling mutakhir. Harus dikaji pula secara lebih
mendalam sejauh mana peran dan keterlibatan Shell dalam kasus ini.
Sebagai negara yang jauh lebih besar dibandingkan Malaysia, Indonesia
harus bersikap tegas dan konsisten. Pada kasus Sipadan Ligitan, awalnya
Indonesia terkesan sangat percaya diri. Namun setelah persidangan
berlangsung, belakangan diketahui bahwa tim perunding Indonesia ternyata
kurang persiapan dan kurang kordinasi. Oleh karenanya untuk ke depan
Indonesia harus lebih siap lagi. Tentunya tidak hanya yang substansial,

namun juga yang non-substansial termasuk jiwa patriotisme harus juga


dikedepankan. Tim perunding Indonesia harus mampu menandingi semangat
kebangsaan Malaysia. Sebelum memperoleh penegasan sikap Indonesia
yang jelas, Malaysia sudah menyatakan tekadnya untuk mempertahankan
teritorial dan kedaulatan. Padahal yang dimaksud teritorial dan kedaulatan
tersebut masih dalam status sengketa dan masuk wilayah Indonesia. Dengan
kata lain Malaysia bermaksud merebut teritorial negara lain. Sikap tegas
Malaysia tersebut dapat diartikan bahwa Malaysia sudah siap untuk
menantang Indonesia. Tinggal sekarang yang perlu dipikirkan adalah
strategi Indonesia untuk menghadapi tantangan tersebut. Akhirnya dari
semua itu, kemampuan Indonesia dalam berdiplomasi akan diuji kembali.
Pekerjaan rumah bagi Deplu untuk mengukir sejarah kebesaran bangsa
Indonesia.

CONTOH HUKUM INTERNASIONAL INDONESIA


DENGAN MALAYSIA
Kasus Ketahanan Nasional
(Ambalat, Sengketa Indonesia Malaysia)

D
I
S

U
S
U
N
OLEH

Luh Putu Intan Paramitha sari.


XI IPA 1/22

Anda mungkin juga menyukai