Anda di halaman 1dari 23

Makalah Pelayanan Publik Pemerintah Daerah

Makalah Pelayanan Publik Pemerintah


Daerah
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan
bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang
diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan atau pun pelayananpelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan,
kesehatan, utlilitas, dan lainnya. Berbagai gerakan reformasi publik (public reform) yang dialami
negara-negara maju pada awal tahun 1990-an banyak diilhami oleh tekanan masyarakat akan
perlunya peningkatan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah.
Di Indonesia, upaya memperbaiki pelayanan sebenarnya juga telah sejak lama dilaksanakan oleh
pemerintah, antara lain melalui Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan
Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha. Upaya ini dilanjutkan dengan Surat Keputusan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan
Umum. Untuk lebih mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan mutu
pelayanan, maka telah diterbitkan pula Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan
Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. Pada perkembangan
terakhir telah diterbitkan pula Keputusan Menpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman
Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.Oleh karena saya membuat makalah ini dengan judul
Pelayanan Publik Pemerintahan Daerah ,dan diharapkan agar kita lebih memahami tentang
Pelayanan Publik Daerah tersebut.
1.2 Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis memiliki tujuan sebagai berikut.
1. Mengetahui tentang peranan dan kebijakan pelayanan publik dalam desentralisasi pemerintah.
2. Mengetahui tentang paradigma pelayanan publik pemerintah daerah.
3. Mengetahui tentang perubahan kualitas pelayanan publik pemerintah daerah.
1.3

Rumusan Masalah
Penulis mengambil masalah ini dengan rumusan masalah sebagai berikut.

1.

Bagaimana peranan dan kebijakan pelayanan publik dalam desentralisasi pemerintah daerah?

2.

Bagaimanakah paradigma pelayanan publik pemerintah daerah?

3.

Bagaimanakah kualitas pelayanan publik pemerintah daerah?


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas dan juga
merupakan salah satu unsur yang mendorong perubahan kualitas Pemerintahan Daerah.
Bagaimanapun kecilnya suatu negara, negara tarsebut tetap akan membagibagi pemerintahan
menjadi sistem yang lebih kecil (Pemerintahan Daerah) untuk memudahkan pelimpahan tugas dan
wewenang. Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undangundang, dengan memandang dan mengingati dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hakhak asalusul dalam daerah yang
bersifat istimewa. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan
berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk
pengaturan atau pun pelayananpelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat
dalam bidang pendidikan, kesehatan, utilitas dan lainnya.
Sejak diberlakukan penerapan UU No. 22 Tahun 1999 telah terjadi pergeseran model
pemerintahan daerah dari yang semula menganut model efesiensi struktural ke arah model
demokrasi. Penerapan model demokrasi mengandung arti bahwa penyelenggaraan desentralisasi
dan otonomi daerah menuntut adanya partisipasi dan kemandirian masyarakat daerah (lokal) tanpa
mengabaikan prinsip persatuan Negara bangsa. Desentralisasi (devolusi) dan dekonsentrasi
merupakan keniscayaan dalam oraganisasi negara bangsa yang hubungannya bersifat kontinum,
artinya dianutnya desentralisasi tidak perlu meninggalkan sentralisasi
Dengan demikian, pemerintah daerah dalam menjalankan monopoli pelayanan publik, sebagai
regulator (rule government) harus mengubah pola pikir dan kerjanya dan disesuaikan dengan
tujuan pemberian otonomi daerah, yaitu memberikan dan meningkatkan pelayanan yang
memuaskan masyarakat. Untuk terwujudnya good governance, dalam menjalankan pelayanan
publik, Pemerintah Daerah juga harus memberikan kesempatan luas kepada warga dan
masyarakat, untuk mendapatkan akses pelayanan publik, berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan,
transparansi, akuntabilitas dan keadilan. Konsepsi Pelayanan Publik, berhubungan dengan
bagaimana meningkatkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dan/atau pemerintahan daerah
menjalankan fungsi pelayanan, dalam kontek pendekatan ekonomi, menyediakan kebutuhan
pokok (dasar) bagi seluruh masyarakat.

Bersamaan dengan arus globalisasi yang memberikan peluang sekaligus tantangan bagi perbaikan
ekonomi, mendorong pemerintah untuk kembali memahami arti pentingnya suatu kualitas
pelayanan serta pentingnya dilakukan perbaikan mutu pelayanan. Penyediaan pelayanan
pemerintah yang berkualitas, akan memacu potensi sosial ekonomi masyarakat yang merupakan
bagian dari demokratisasi ekonomi. Penyediaan pelayanan publik yang bermutu merupakan salah
satu alat untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang semakin
berkurang, akibat krisis ekonomi yang terus menerus berkelanjutan pada saat ini. Hal tersebut
menjadikan pemberian pelayanan publik yang berkualitas kepada masayarakat menjadi semakin
penting untuk dilaksanakan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Permasalahan Pelayanan Publik
Permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya adalah berkaitan dengan peningkatan
kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek,
yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan sumber daya manusia, dan
kelembagaan.
Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan
antara lain:
a. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada
tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi.
Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau
bahkan diabaikan sama sekali.
b. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat
atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
c. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat,
sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.
d. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang
berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara
satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
e. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui
proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang
terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan
(front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan dilain pihak kemungkinan
masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan
masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah
pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.
f. Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan
kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/ aspirasi dari masyarakat. Akibatnya,
pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu
g. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali
tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.
Dilihat dari sisi sumber daya manusianya, kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan
profesionalisme, kompetensi, empathy dan etika. Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah
satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem kompensasi yang tepat.

Dilihat dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak
dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki
yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi.
Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi
penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan
pelayanan publik menjadi tidak efisien.
3.2. Pemecahan Masalah
Tuntutan masyarakat pada era desentralisasi terhadap pelayanan publik yang berkualitas akan
semakin menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh kemampuannya
mengatasi berbagai permasalahan di atas sehingga mampu menyediakan pelayanan publik yang
memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dari sisi mikro, hal-hal yang
dapat diajukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. Penetapan Standar Pelayanan. Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting dalam
pelayanan publik. Standar pelayanan merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk
menyediakan pelayanan dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan
harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan standar
pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan, identifikasi pelanggan,
identifikasi harapan pelanggan, perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan prosedur,
sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan
informasi mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai
kelembagaan yang mampu mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan
pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan adalah
informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan
serta distribusinya beban tugas pelayanan yang akan ditanganinya.
2. Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP). Untuk memastikan bahwa proses
pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan adanya Standard Operating Procedures.
Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit
pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara
konsisten. Disamping itu SOP juga bermanfaat dalam hal:
Untuk memastikan bahwa proses dapat berjalan uninterupted. Jika terjadi hal-hal tertentu, misalkan
petugas yang diberi tugas menangani satu proses tertentu berhalangan hadir, maka petugas lain
dapat menggantikannya.Oleh karena itu proses pelayanan dapat berjalan terus;
Untuk memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku;
Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap kesalahan prosedur jika
terjadi penyimpangan dalam pelayanan;
Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan perubahan-perubahan tertentu dalam
prosedur pelayanan;
Memberikan informasi yang akurat dalam rangka pengendalian pelayanan;
Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan yang akan diserahkan kepada
petugas tertentu yang akan menangani satu proses pelayanan tertentu. Atau dengan kata lain,
bahwa semua petugas yang terlibat dalam proses pelayanan memiliki uraian tugas dan
tangungjawab yang jelas;
3. Pengembangan Survey Kepuasan Pelanggan. Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu
dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah
diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan
pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan
memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survey kepuasan pelanggan
memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik;
4. Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan. Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber
informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten menjaga
pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu

didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara dapat efektif dan efisien mengolah
berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan;
Sedangkan dari sisi makro, peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui
pengembangan model-model pelayanan publik. Dalam hal-hal tertentu, memang terdapat
pelayanan publik yang pengelolaannya dapat dilakukan secara private untuk menghasilkan
kualitas yang baik. Beberapa model yang sudah banyak diperkenalkan antara lain: contracting out,
dalam hal ini pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang, pemerintah
memegang peran sebagai pengatur; franchising, dalam hal ini pemerintah menunjuk pihak swasta
untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti dengan price regularity untuk
mengatur harga maksimum. Dalam banyak hal pemerintah juga dapat melakukan privatisasi.
Disamping itu, peningkatan kualitas pelayanan publik juga perlu didukung adanya restrukturisasi
birokrasi, yang akan memangkas berbagai kompleksitas pelayanan publik menjadi lebih
sederhana. Birokrasi yang kompleks menjadi ladang bagi tumbuhnya KKN dalam
penyelenggaraan pelayanan.
3.3. Desentralisasi
Kasus - Kasus Federalisme yang Bertentangan dengan Desentralisasi

Di Kanada, pemerintah Federal dapat membatalkan Undang-Undang yang dibuat oleh


pemerintah propinsi, dan bahkan menginstruksikan Letnan Gubernur untuk menundanya.

Konstitusi di bekas negara Uni Soviet menentukan bahwa satu-satunya yang berhak
melakukan amandemen terhadap konstitusi adalah Pemerintah Pusat. Bahkan kekuasaan
Pemerintah Pusat sangat besar dibandingkan dengan yang dimiliki atau yang menjadi
haknya pemerintah Negara Bagian di negara itu.
KESIMPULAN

Penerapan model demokrasi dalam sistem Pemerintahan Daerah yang sekarang diterapkan belum
mencapai hasil yang diharapkan. Perilaku birokrasi dan kinerja Pemerintah Daerah belum dapat
mewujudkan keinginan dan pilihan publik untuk memperoleh jasa pelayanan yang memuaskan
untuk meningkatkan kesejahteraan.
Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini dapat
dilakukan dengan berbagai strategi, diantaranya : perluasan institusional dan mekanisme pasar,
penerapan manejemen publik modern, dan perluasan makna demokrasi.
Upaya ini dapat terwujud apabila terdapat konsistensi dari sikap Pemerintah Daerah bahwa
keberadaannya adalah semata-mata mewakili kepentingan masyarakat di daerahnya, otonomi
adalah diberikan kepada masyarakat. Sehingga keberadannya harus memberikan pelayanan yang
berkualitas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang memiliki otonomi tersebut.
Perangkat birokrasi yang ada baru dapat memberikan pelayanan publik yang berkualitas apabila
kinerjanya selalu didasarkan pada nilai-nilai etika pelayanan publik. Kualitas pelayanan publik

secara umum ditentukan oleh beberapa aspek, yaitu : sistem, kelembagaan, sumber daya manusia,
dan keuangan. Dalam hal ini pemerintah harus benar-benar memenuhi keempat aspek tersebut,
karena dengan begitu, masyarakat akan ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan
publik.

DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto, Agus. 2003. Reformasi Pelayanan Publik: Apa yang harus dilakukan?, Policy Brief. Pusat
Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.
Atep Adya Brata. 2003. Dasar-dasar Pelayanan Prima. Jakarta: Gramedia.
Lembaga Administrasi Negara. 2003. Jakarta: Penyusunan Standar Pelayanan Publik. LA

MENTAL KORUPSI DI KALANGAN PEJABAT PEMERINTAHAN SULIT


DIBERANTAS
Disusun oleh :
Drs. Nanang Nugraha, SH.MSi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Sejarah Pemberantasan Korupsi
- Orde Lama
Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemerikasaan
Tindak Pidana Korupsi.
- Orde Baru
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Orde Reformasi
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001.
B. Definisi dan Jenis Korupsi
1. Definisi Korupsi
Disimak dari terminologi korupsi yang berasal dari kata latin corruption atau corruptus yang
berasal dari kata corrumpere suatu kata lain. Dalam beberapa bahasa di Eropa seperti bahasa
Inggris corruption, corrupt, bahasa Perancis dengan kata corruption dan bahasa Belanda
menggunakan kata corruptie yang selanjutnya menjadi korupsi dalam bahasa Indonesia.
Sedangkan di Malaysia ditemukan istilah resuah yang berasal dari bahasa Arab (riswah) yang
artinya sama dengan korupsi dalam bahasa Indonesia.
Secara sempit korupsi adalah penyalahgunaan jabatan public untuk kepentingan pribadi atau
kelompok.
2. Jenis Korupsi
a) Tarnstactive Corruption
: (Suap)
b) Extortive Corruption : (Pungli)
c) Insentive Corruption : (Gratifikasi)
d) Nepotistic Corruption : (Nepotisme)
e) Autogenic Corruption : (Pemberian Informasi)
f) Supportive Corruption
: (Melindungi Kelompok)
C.
1.
2.
3.
4.

Ciri ciri Korupsi


Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia.
Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
Mereka yang terlibat langsung adalah yang meginginkan keputusan yang tegas dan mereka yang
mampu mempengaruhi keputusan itu.
5. Tindakan korupsi mengandung penipuan baik pada badan publik atau masyarakat umum.
6. Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggung jawaban dalam tahanan
masyarakat.

D. Sebab sebab Korupsi di Indonesia


1. Kerawanan kondisi social ekonomi.
2. Kerusakan moral

3. Kelemahan sistem
4. Birokrasi administrasi yang kacau
5. Adm. Pemerintah tidak The Right Man In The Right Place/Nepotisme
6. Memanfaatkan kelemahan UU/Peraturan
7. Wewenang yang kurang kendali
8. Sistem manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien
9. Faktor sosial budaya malu
10. Aji mumpung
11. Gaya hidup

BAB II
A. Pendekatan (Cara Pandang)
1. Melihat korupsi sebagai suatu tindak pidana saja akan membatasi pendekatan kita terhadap
korupsi.
2. Pada kenyataannya korupsi lebih merupakan sebuah attitude/perilaku atau hasil dari sistem yang
lemah / buruk.
3. Korupsi tidak hanya berbicara tentang bad people, tetapi juga merupakan gambaran dari bad
systems.
4. Dilihat dari sebabnya, korusi dapat dibagi 2 :
a. Corruption by need
Perbaikan penggajian dan sistem penggajian yang perlu upaya sistematis dan melibatkan berbagai
instansi.
b. Corruption by greed
Penegakkan hukum diyakini sebagai upaya yang lebih efektif agar tidak lagi terjadi kejahatankejahatan yang sama.
B.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
C.
1.
2.
3.

Politik (Kebijakan) Hukum Pemberantasan Korupsi


Kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)
Penguatan sanksi untuk menimbulkan efek jera (hukuman minimum)
Pencegahan di samping penindakan
Penindakan pada kasus-kasus besar
Lembaga khusus (extra ordinary body)
Partisipasi masyarakat
Kerjasama internasional
Korupsi Sebagai Produk Sistem yang Buruk
Sistem Hukum
: Peraturan, Peradilan, dan Pelayanan Hukum
Sistem Politik
: Pemilu, Kepartaian, Pemerintahan, dll
Sistem Sosial
: Status sosial (appearance lebih utama ketimbang
performance)
4. Sistem Budaya
: Upeti, Hadiah, Gratifikasi
5. Sistem Birokrasi
: Struktur, Kinerja, Loyalitas, dll
(Adm. pemerintahan)

D. Modus Operandi Korupsi


Dari berbagai kasus yang ditanda tangani Kejaksaan dan instansi penegak hukum lainnya
ditemukan bentuk-bentuk cara melakukan korupsi menggunakan modus :

1.

Pemalsuan dokumen, dilakukan dengan cara membuat surat palsu, dokumen palsu atau berita
acara palsu, ini sering terjadi dalam pembangunan proyek fisik seperti gedung, jalan, lahan,
reboisasi, pengerukan sungai dan berbagai pekerjaan yang memerlukan adanya berita acara pada
saat pencairan dana proyek. Dalam dunia perbankan pun sering terjadi dengan membuat suratsurat palsu yang berkaitan dengan agunan kredit yang disebut dengan mark up dan juga yang
berkaitan dengan proses pencairan dana dalam kegiatan perbankan.
2. Pemalsuan kwitansi, ini biasanya terjadi pada tanda terima sejumlah uang yang diisikan berbeda
dengan besar jumlah fisik dana yang sebenarnya.
3. Menggelapkan uang/barang milik negara atau kekayaan negara; umumnya dilakukan oleh para
bendaharawan proyek dimana ia seharusnya menyimpan uang tersebut secara baik sesuai
ketentuan yang ada, tetapi malah memakai uang tersebut untuk keperluan pribadi.
4. Penyogokan atau penyuapan biasanya terjadi antara seseorang memberikan hadiah kepada
seorang pegawai negeri dengan maksud agar pegawai negeri itu berbuat atau mengalpakan sesuatu
yang bertentangan dengan kewajibannya.
E. Pengaturan Tindak Pidana Korupsi
1. Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara negara yang bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
2. Tap MPR RI Nomor VIII/MPR/2001
Rekomendasi arah kebijakan korupsi, kolusi dan nepotisme.
3. Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
F. Rumusan Delik Korupsi
1. Pasal 2 (1)
Setiap orang yang secara melawan hukum telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp 200.000.000,(Dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 1.000.000.000,- (Satu milyar rupiah).
Dalam Undang-undang ini tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana
formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut
dalam Undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku
tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana.
2. Pasal 2 (2)
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan
tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
3. Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,- (Lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak
Rp 1.000.000.000,- (Satu milyar rupiah).
4. Pasal 4
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan
dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
5. Pasal 7 (1)

6.

7.
(1)
a.
b.
(2)

8.

a.
b.

9.
(1)
(2)

G.
1.
2.
3.
4.
5.

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau
pidana denda sebesar Rp 100.000.000,- (Seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,- (Tiga
ratus juta rupiah) :
a. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau
penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang
yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan
perang; b. Setiap orang yang mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja
membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau
pidana denda sebesar Rp 50.000.000,- (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,(Dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah
atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang
yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya.
Pasal 12 B
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap,
apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
dengan ketentuan sebagai berikut :
Yang nilainya Rp 10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah) pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling sedikit Rp 200.000000,- (Dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,- (Satu milyar rupiah).
Pasal 26 A
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga
dapat diperoleh dari :
Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara
elektronik denganalat optik atau yang seruap dengan itu; dan
Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar
yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,
benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Pasal 37
Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi.
Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka
pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa
dakwaan tidak terbukti.
Tantangan
Rumusan Tindak Pidana Korupsi yang masih kabur (Vague norm)
Sinkronisasi nilai-nilai moral dan hukum
Pendekatan yang terlalulegalistik akan menimbulkan bias keadilan
Persamaan di depan hukkum (equality before the law)
Lahirnya korupsi/kejahatan baru (Markus)

BAB III
PEMECAHAN MASALAH
1. Mewujudkan secara transparansi prinsip Reward and Punishment.
2. Mengoptimalkan Penegakkan Hukum.
3. Membenahi Kesadaran Hukum Masyarakat.

MAKALAH SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH


Malang ,08 Januari 2012
MAKALAH SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang

Pemerintah selaku pemegang kekuasaan eksekutif dibedakan dalam dua pengertian


yuridis, yakni:
1. Selaku alat kelengkapan negara yang bertindak untuk dan atas nama negara yang
kekuasaannya melekat pada kedudukan seorang kepala negara.
2. Selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas penyelenggaraan pemerintahan atau
selaku administrator negara (pejabat atau badan atas usaha negara)
Pemerintahan adalah berkenaan dengan sistem, fungsi, cara, perbuatan, kegiatan,
urusan, atau tindakan memerintah yang dilakukan atau diselenggarakan atau
dilaksanakan oleh pemerintah. Eksekutif adalah cabang kekuasaan dalam negara
yang melaksanakan kebijakan publik (kenegaraan dan atau pemerintahan) melalui
peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif
maupun atas inisiatif sendiri.
Administrasi (negara) adalah badan atau jabatan dalam lapangan kekuasaan
eksekutif yang mempunyai kekuasaan mandiri berdasarkan hukum untuk melakukan
tindakan-tindakan, baik di lapangan pengaturan maupun penyelenggaraan
administrasi (negara).
Berkaitan hubungan antara pemerintahan dan administrasi negara, maka didalam
organisasi modern sebagaimana negara dan perangkatnya, Max Weber
mengintroduksi terminologi birokrasi dengan mengatakan sebagai berikut: (Dahl,
1994: 13)
Pemerintah tidak lain adalah yang berhasil menopang klaim bahwa perintahlah yang
secara eksklusif berhak menggunakan kekuatan fisik untuk memaksakan aturanaturannya dalam suatu batas wilayah tertentu. Sedangkan dalam pelaksanaan
organisasi pemerintahan dibentuk birokrasi.
Tugas pokok pemerintahan adalah pelayanan yang membuahkan kemandirian,
pembangunan menciptakan kemakmuran. Sedangkan Birokrasi itu sendiri dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Birokrasi patrimonial yang berfungsi berdasarkan nilai-nilai tradisional yang tidak
memisahkan antara tugas, wewenang, dan tanggung jawab dinas dengan urusan
pribadi pejabat.
2. Birokrasi modern (rasional) dicirikan dengan adanya spesialisasi, hukum,
pemisahan tugas dinas dan urusan pribadi.
Lebih jauh berkaitan dengan birokrasi publik di Indonesia, Miftah Thoha (Miftah
Thoha, 2000: 4-5) memberikan catatan tentang restrukturisasi dan reposisi birokrasi
publik. Sekurangnya terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan, yaitu aspek
penegakan demokrasi, aspek perubahan sistem politik, dan aspek perkembangan
teknologi informasi.
1. Aspek Penegakan Demokrasi: Prinsip demokrasi yang paling urgen adalah
meletakkan kekuasaan pada rakyat dan bukan pada penguasa. Oleh karena itu
struktur kelembagaan pemerintah yang disebut birokrasi tidak dapat lepas dari
kontrol rakyat. Wujud kekuasaan dan peran rakyat ialah bahwa pada setiap
penyusunan birokrasi harus berdasarkan undang-undang. Berdasarkan undangundang, rakyat terlibat dalam mendesain dan menetapkan lembaga-lembaga
pemerintahan atau birokrasi di pusat maupun di daerah.
2. Aspek Perubahan Sistem Politik: Era reformasi saat ini sungguh menghadapi
persoalan kondisi mental, sikap dan perilaku politik warisan rezim terdahulu terutama

dalam kerangka single majority Golongan Karya. Pada masa orde baru semua posisi
jabatan dalam organisasi publik ditempati oleh kader-kader Golkar. Oleh karena itu
tidak dapat dibedakan manakah yang birokrat tulen dan manakah birokrat
partisan Struktur organisasi publik berkembang antara pejabat birokrasi dan pejabat
politik. Semua organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier dan nonkarier,
antara jabatan birokrasi dan jabatan politik.
3. Aspek Perkembangan Teknologi Informasi: Kemajuan jaman dan perubahan global
telah menjadikan cara kerja suatu birokrasi dengan menggunakan teknologi
informasi. Cara demikian telah menciptakan birokrasi tanpa batas dan tanpa kertas
Berdasarkan kondisi demikian, maka tatanan organisasi akan berubah menjadi lebih
pendek dan ramping. Sesuai dengan asas demokrasi, kewenangan birokrasi menjadi
tidak hanya berada pada tataran penguasa melainkan tersebar dimana-mana
(decentralized). Birokrasi tanpa batas dan tanpa kertas telah menjadikan birokrasi
tidak lagi secara tegas mengikuti garis hirarki. Struktur organisasi bersifat ad-hoc,
komite, dan matrik akan menjadi model organisasi mendatang, yang sering disebut
sebagai organisasi struktur logis (logical structure).
Menurut Max Weber (Dahl, 1994:13),
pemerintah tidak lain adalah yang berhasil menopang klaim bahwa perintahlah yang
secara eksklusif berhak menggunakan kekuatan fisik untuk memaksakan aturanaturannya dalam suatu batas wilayah tertentu. Sedangkan dalam pelaksanaan
organisasi pemerintahan dibentuk birokrasi.
Sedangkan tugas pokok pemerintahan adalah pelayanan yang membuahkan
kemandirian, pembangunan menciptakan kemakmuran
Pada suatu pemerintahan terdapat fungsi legislasi. Fungsi legislasi secara umum
adalah fungsi untuk membuat peraturan perundang-undangan atau pembuatan
kebijakan. Mengacu pada pengertian ini, kewenangan legislasi sebenarnya tidak
hanya dimiliki oleh parlemen (DPR/DPRD), tetapi juga oleh institusi-institusi lain
seperti eksekutif serta yudikatif. Akan tetapi kajian modul ini hanya akan berfokus
pada peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam proses penyusunan
Peraturan Daerah (Perda).
Sesuai dengan UU nomor 22 tahun 2003 (tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), DPRD merupakan sebuah lembaga perwakilan
rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah
provinsi/kabupaten/kota. Dalam UU nomor 32 tahun 2004 (tentang Pemerintahan
Daerah) menyebutkan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di daerah. Sebagai sebuah lembaga
pemerintahan di daerah atau unsur penyelenggara pemerintahan di daerah, DPRD
mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.
Untuk fungsi legislasi sendiri, terdapat beberapa peraturan perundangan yang
mengatur pelaksanaan fungsi ini, antara lain:
1. Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
2. Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata
Tertib DPRD
Fungsi legislasi dari DPRD adalah bersama-sama dengan Kepala Daerah membuat

dan menetapkan Perda, yang berfungsi sebagai:


1. Perda sebagai arah pembangunan
Sebagai kebijakan publik tertinggi di daerah, Perda harus menjadi acuan seluruh
kebijakan publik yang dibuat termasuk didalamnya sebagai acuan daerah dalam
menyusun program pembangunan daerah. Contoh konkritnya adalah Perda tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) atau Rencana Strategik Daerah (RENSTRADA).
2. Perda sebagai Arah Pemerintahan di Daerah
Sesuai dengan Tap MPR Nomor XI tahun 1998 serta UU Nomor 28 tahun 1999
tentang Penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, maka ditetapkan
asas-asas umum penyelenggaraan negara yang baik (good governance). Dalam
penerapan asas tersebut untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersih
dan bebas dari KKN, maka asas-asas tersebut merupakan acuan dalam penyusunan
Perda sebagai peraturan pelaksanaannya di daerah.
Fungsi penganggaran merupakan salah satu fungsi DPRD yang diwujudkan dengan
menyusun dan menetapkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)
bersama-sama pemerintah daerah. Dalam melaksanakan fungsi penganggaran
tersebut DPRD harus terlibat secara aktif, proaktif, bukan reaktif, dan bukan hanya
sebagai lembaga legitimasi usulan APBD yang diajukan pemerintah daerah.
Fungsi penganggaran memegang peranan yang sangat penting dalam mewujudkan
kesejahteraan rakyat, karena APBD yang dihasilkan oleh fungsi penganggaran DPRD
memiliki fungsi sebagai berikut:
1. APBD sebagai fungsi kebijakan fiskal
Sebagai cerminan kebijakan fiskal, APBD memiliki 3 (tiga) fungsi utama, yaitu:
a. Fungsi alokasi
Fungsi alokasi mengandung arti bahwa APBD harus diarahkan untuk menciptakan
lapangan kerja/mengurangi pengangguran, mengurangi pemborosan sumber daya,
serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. APBD harus dialokasikan
sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan.
b. Fungsi distribusi
Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan APBD harus memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan. Jika fungsi distribusi APBD berjalan dengan baik, maka APBD
dapat mengurangi ketimpangan dan kesenjangan dalam berbagai hal.
c. Fungsi stabilisasi
Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa APBD merupakan alat untuk memelihara
dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.
2. APBD sebagai fungsi investasi daerah
Dalam pandangan manajemen keuangan daerah, APBD merupakan rencana investasi
daerah yang dapat meningkatkan daya saing daerah dan kesejahteraan rakyat. Oleh
karena itu, APBD harus disusun sebaik mungkin agar dapat menghasilkan efek ganda
(multiplier effect) bagi peningkatan daya saing daerah yang pada akhirnya akan
meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkesinambungan.
3. APBD sebagai fungsi manajemen pemerintahan daerah
Sebagai fungsi manajemen pemerintahan daerah, APBD mempunyai fungsi sebagai
pedoman kerja, alat pengendalian (control), dan alat ukur kinerja bagi pemerintah
daerah. Dengan kata lain, dipandang dari sudut fungsi manajemen pemerintah
daerah, APBD memiliki fungsi perencanaan, otorisasi, dan pengawasan. Dalam
penjelasan PP Nomor 58/2005, fungsi perencanaan, otorisasi, dan pengawasan

didefinisikan sebagai berikut:


a. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman
bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
b. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk
melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
c. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman
untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Uraian di atas memberikan gambaran jelas bahwa fungsi penganggaran memiliki
peranan yang sangat penting dalam pembangunan daerah. Selain itu, fungsi
penganggaran yang baik mendorong terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik
(good governance). Pengawasan adalah mutlak diperlukan, sebab pengawasan
merupakan salah satu kegiatan dalam rangka upaya pencegahan. Jadi norma
pengawasan harus benar-benar diatur secara rinci, sistematis, dan jelas, baik
menyangkut instansi/pajabat pangawas, obyek pengawasan, prosedur (tata cara),
koordinasi, persyaratan, dan akibat pengawasan.
Pengawasan terhadap kegiatan usaha ini sekurang-kurangnya meliputi 3 (tiga)
aspek, yaitu:
1. Pemantauan penaatan (compliance monitoring).
2. Pengamatan dan pemantauan lapangan.
3. Evaluasi.
Paling tidak ada empat faktor yang menentukan hubungan pusat dan daerah dalam
otonomi daerah menurut Bagir Manan (2002) yaitu hubungan kewenangan,
hubungan keuangan, hubungan pengawasan dan hubungan yang timbul dari
susunan organisasi pemerintahan di daerah. Dikaitan dengan topik kajian ini yang,
maka uraian berikut akan lebih menitik beratkan pada hal-hal yang berkaitan dengan
pengawasan.
Hubungan kewenangan, antara lain bertalian dengan cara pembagian urusan
penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tangga
daerah. Cara penentuan ini akan mencerminkan suatu bentuk otonomi terbatas atau
otonomi luas. Dapat digolongkan sebagai otonomi terbatas apabila:
Pertama, urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan secara kategoris dan
pengembangannya diatur dengan cara tertentu pula.
Kedua, sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa, sehingga
daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara
mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.
Ketiga, sistem hubungan keuangan antara pusat dan daerah dilakukan sepihak oleh
Pusat, sehingga dapat menimbulkan pengaruh pada keuangan daerah.
UU Nomor 22 Tahun 1999 sangat mengendorkan sistem pengawasan. Dalam
Penjelasan Umum angka 10 menyatakan:
sedangkan pengawasan lebih ditekankan pada pengawasan represif untuk lebih
memberi kebebasan kepada daerah otonom dalam mengambil keputusan serta
memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan
pengawas terhadap pelaksanaan otonomi daerah.
Karena itu peraturan daerah yang ditetapkan daerah otonom tidak memerlukan
pengesahan terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang. Meniadakan syarat
pengesahan (preventief toezicht) dapat menimbulkan masalah hukum yang rumit

B.Keuangan Daerah
Keuangan daerah merupakan bagian integral dari keuangan negara dalam
pengalokasian sumber-sumber ekonomi, pemerataan hasil-hasil pembangunan dan
menciptakan stabilitas ekonomi guna stabilitas sosial politik. Peranan keuangan
daerah menjadi semakin penting karena adanya keterbatasan dana yang dapat
dialihkan ke daerah berupa subsidi dan bantuan. Selain itu juga karena semakin
kompleksnya persoalan yang dihadapi daerah yang pemecahannya membutuhkan
partisipasi aktif dari masyarakat di daerah. Peranan keuangan daerah akan dapat
meningkatkan kesiapan daerah untuk mendorong terwujudnya otonomi daerah yang
lebih nyata dan bertanggungjawab.
Mamesah (1995: 16) mengemukakan bahwa keuangan negara ialah semua hak dan
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa
uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan negara berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Kekayaan daerah ini sepanjang belum
dimiliki atau dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi, serta pihak-pihak
lain sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku.
Pemerintah daerah sebagai sebuah institusi publik dalam kegiatan pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan memerlukan sumber dana atau modal untuk
dapat membiayai pengeluaran pemerintah tersebut (goverment expenditure)
terhadap barang-barang publik (public goods) dan jasa pelayanan. Tugas ini
berkaitan erat dengan kebijakan anggaran pemerintah yang meliputi penerimaan
dan pengeluaran.
Pemerintah dalam melaksanakan otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggungjawab memerlukan dana yang cukup dan terus meningkat sesuai
dengan meningkatnya tuntutan masyarakat, kegiatan pemerintahan dan
pembangunan. Dana tersebut diperoleh melalui kemampuan menggali sumbersumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan pusat dan
daerah sebagai sumber pembiayaan. Oleh karena itu, keuangan daerah merupakan
tolak ukur bagi penentuan kapasitas dalam menyelenggarakan tugas-tugas otonomi,
di samping tolak ukur lain seperti kemampuan sumber daya alam, kondisi demografi,
potensi daerah, serta partisipasi masyarakat.
Tujuan utama pengelolaan keuangan daerah, yaitu (1) tanggung jawab, (2)
memenuhi kewajiban keuangan, (3) kejujuran, (4) hasil guna, dan (5) pengendalian
(Binder, 1984: 279). Dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah saat ini, maka
perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan
anggaran daerah adalah sebagai berikut (Mardiasmo, 2000: 3) :
1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public
oriented). Hal tersebut tidak hanya terlihat dari besarnya pengalokasian anggaran
untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat dari besarnya partisipasi masyarakat
(DPRD) dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan daerah.
2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan
anggaran daerah pada khususnya.
3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran serta dari partisipasi
yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, Kepala Daerah, Sekda dan
perangkat daerah lainnya.
4. Kerangka hukum dan administrasi atas pembiayaan, investasi dan pengelolaan
keuangan daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money,
transparansi dan akuntabilitas.

5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, Kepala Daerah, dan PNS, baik rasio
maupun dasar pertimbangannya.
6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja dan anggaran
multi tahunan.
7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang-barang daerah yang lebih profesional.
8. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, peran
akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran,
serta transparansi informasi anggaran kepada publik.
9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran
asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat
pemerintah daerah.
10. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan informasi
anggaran yang akurat dan komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan
informasi, sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian, serta mempermudah
mendapatkan informasi.

BAB II
OTONOMI DAERAH
A.Arti Otonomi Daerah
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu outus yang berarti sendiri dan
nomos berarti undang-undang. Menurut perkembangan sejarah pemerintahan di
Indonesia, otonomi selain mengandung arti perundang-undangan juga mengandung
arti pemerintahan atau perundang-undangan sendiri (Pamudji, 1982: 45).
Sesuai dengan Pasal 1 butir (h) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, menyebutkan bahwa
otonomi daerah adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri atau aspirasi masyarakat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang
bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dalam rangka
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan bagi

pelayanan masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Untuk melaksanakan tujuan


itu, maka kepada daerah diberikan wewenang untuk melaksanakan urusan
pemerintahan.
Untuk pemerintah Propinsi hanya diberikan otonomi terbatas yang meliputi
kewenangan lintas kabupaten dan kota. Selain itu, kewenangan yang tidak atau
belum dilaksanakan oleh daerah kabupaten atau kota, serta kewenangan bidang
pemerintahan tertentu lainnya (Pasal 9 ayat 1 dan 2 UU No. 32 Tahun 2004).
Hal tersebut menunjukkan bahwa otonomi daerah merupakan hak, wewenang dan
kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Ini berguna
untuk peningkatan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan di daerah
dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pemerintahan dan
pembangunan. Untuk dapat mencapainya, maka titik berat otonomi diletakkan di
daerah kabupaten dan daerah kota dengan pertimbangan bahwa daerah kabupaten
atau kota langsung berhubungan dengan masyarakat.
Menurut Utomo (2000), seluruh khasanah politik dan pemerintahan di Indonesia,
termasuk manajemem pemerintahan daerah, membicarakan mengenai otonomi,
desentralisasi atau demokrasi lokal yang harus menitik beratkan adanya
kewenangan. Dengan kewenangan yang dimiliki, akan memotivasi daerah untuk
menumbuhkan inisiatif dan kreativitas tidak saja untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat tetapi juga untuk tercapainya kemandirian daerah.
Meskipun tidak dapat ditolak bahwa penyelenggaraan manajemen pemerintahan
daerah diperlukan adanya keuangan yang cukup memadai. Hal ini dapat terjadi suatu
polemik apa artinya kewenangan apabila tidak ada uang atau sebaliknya apa
artinya memiliki uang kalau tidak memiliki kewenangan.
Kewenangan menjadi central issues dalam pelaksanaan otonomi karena untuk
mengembalikan kekuasaan dari tangan penguasa kepada kedaulatan rakyat. Di
samping itu, untuk menumbuhkan kemandirian dan pemberdayaan daerah dan
masyarakat daerah. Selama beberapa tahun yang lalu, kewenangan belum pernah
dirasakan dan dipegang oleh daerah, sehingga tidaklah mengherankan apabila di era
reformasi sering terjadi adanya euphoria yang berlebihan ataupun juga defence
mechanism yang terlalu ketat padahal kewenangan belum secara nyata dilimpahkan.
Pada prinsipnya, hakekat otonomi daerah ialah mempunyai sumber keuangan
sendiri, mengelola dan menggunakannya untuk melaksanakan tugas otonomi, serta
mempunyai anggaran belanja yang ditetapkan sendiri. Dalam pelaksanaan otonomi
daerah, ada tiga faktor yang menentukan, yaitu perangkat, personalia, dan
pembiayaan atau pendanaan daerah
B.Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah
Agar dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang menitik beratkan pada Daerah
sesuai dengan tujuannya, seperti yang dijelaskan dalam Penjelasan Umum UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa penyelenggaraan pemerintah daerah
mempunyai prinsip sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan, potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab.
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah
kabupaten dan kota, sedangkan untuk propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga

tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah, serta antar daerah.
5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah
otonom dan karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada bagi
wilayah administrasi.
6. Pelaksanaanh otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi
anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administratif untuk melaksanakan kewenangan
pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil
pemerintah.
Berdasarkan prinsip tersebut di atas, maka dapat diartikan bahwa peranan
pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di
daerah cukup besar. Terutama dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat,
akan tetapi masih tetap dalam kerangka memperkokoh negara kesatuan sesuai
dengan konstitusi yang berlaku. Prinsip-prinsip tersebut perlu dipahami oleh setiap
aparatur pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat dan
pemerintah pusat sebagai perumus kebijaksanaan.
C.Keberhasilan Otonomi Daerah
Untuk mengetahui apakah suatu daerah otonom mampu mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri, Syamsi (1986: 199) menegaskan beberapa ukuran sebagai
berikut:
1. Kemampuan struktural organisasi
Struktur organisasi pemerintah daerah harus mampu menampung segala aktivitas
dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya, jumlah dan ragam
unit cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang dan tanggung
jawab yang cukup jelas.
2. Kemampuan aparatur pemerintah daerah
Aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur dan
mengurus rumah tangga daerah. Keahlian, moral, disiplin dan kejujuran saling
menunjang tercapainya tujuan yang diinginkan.
3. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat
Pemerintah daerah harus mampu mendorong masyarakat agar memiliki kemauan
untuk berperan serta dalam kegiatan pembangunan.
4. Kemampuan keuangan daerah
Pemerintah daerah harus mampu membiayai kegiatan pemerintahan, pembangunan
dan kemasyarakatan secara keseluruhan sebagai wujud pelaksanaan, pengaturan
dan pengurusan rumah tangganya sendiri. Sumber-sumber dana antara lain berasal
dari PAD atau sebagian dari subsidi pemerintah pusat.
Keberhasilan suatu daerah menjadi daerah otonomi dapat dilihat dari beberapa hal
yang mempengaruhi (Kaho, 1998), yaitu faktor manusia, faktor keuangan, faktor
peralatan, serta faktor organisasi dan manajerial. Pertama, manusia adalah faktor
yang esensial dalam penyelenggaraan pemerintah daerah karena merupakan subyek
dalam setiap aktivitas pemerintahan, serta sebagai pelaku dan penggerak proses
mekanisme dalam sistem pemerintahan. Kedua, keuangan yang merupakan bahasan
pada lingkup penulisan ini sebagai faktor penting dalam melihat derajat kemandirian
suatu daerah otonom untuk dapat mengukur, mengurus dan membiayai urusan

rumah tangganya. Ketiga, peralatan adalah setiap benda atau alat yang
dipergunakan untuk memperlancar kegiatan pemerintah daerah. Keempat, untuk
melaksanakan otonomi daerah dengan baik maka diperlukan organisasi dan pola
manajemen yang baik.
Kaho (1998) menegaskan bahwa faktor yang sangat berpengaruh dalam
pelaksanaan otonomi daerah ialah manusia sebagai pelaksana yang baik. Manusia
ialah faktor yang paling esensial dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,
sebagai pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Agar
mekanisme pemerintahan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan yang
diharapkan, maka manusia atau subyek harus baik pula. Atau dengan kata lain,
mekanisme pemerintahan baik daerah maupun pusat hanya dapat berjalan dengan
baik dan dapat mencapai tujuan seperti yang diinginkan apabila manusia sebagai
subyek sudah baik pula.
Selanjutnya, faktor yang kedua ialah kemampuan keuangan daerah yang dapat
mendukung pembiayaan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan. Mamesah mengutip pendapat Manulang (1995: 23) yang
menyebutkan bahwa dalam kehidupan suatu negara, masalah keuangan negara
sangat penting. Semakin baik keuangan suatu negara, maka semakin stabil pula
kedudukan pemerintah dalam negara tersebut. Sebaliknya kalau kondisi keuangan
negara buruk, maka pemerintah akan menghadapi berbagai kesulitan dan rintangan
dalam menyelenggarakan segala kewajiban yang telah diberikan kepadanya.
Faktor ketiga ialah anggaran, sebagai alat utama pada pengendalian keuangan
daerah, sehingga rencana anggaran yang dihadapkan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) harus tepat dalam bentuk dan susunannya. Anggaran berisi
rancangan yang dibuat berdasarkan keahlian dengan pandangan ke muka yang
bijaksana, karena itu untuk menciptakan pemerintah daerah yang baik untuk
melaksanakan otonomi daerah, maka mutlak diperlukan anggaran yang baik pula.
Faktor peralatan yang cukup dan memadai, yaitu setiap alat yang dapat digunakan
untuk memperlancar pekerjaan atau kegiatan pemerintah daerah. Peralatan yang
baik akan mempengaruhi kegiatan pemerintah daerah untuk mencapai tujuannya,
seperti alat-alat kantor, transportasi, alat komunikasi dan lain-lain. Namun demikian,
peralatan yang memadai tersebut tergantung pula pada kondisi keuangan yang
dimiliki daerah, serta kecakapan dari aparat yang menggunakannya.
Faktor organisasi dan manajemen baik, yaitu organisasi yang tergambar dalam
struktur organisasi yang jelas berupa susunan satuan organisasi beserta pejabat,
tugas dan wewenang, serta hubungan satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan
tertentu. Manajemen merupakan proses manusia yang menggerakkan tindakan
dalam usaha kerjasama, sehingga tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai.
Mengenai arti penting dari manajemen terhadap penciptaan suatu pemerintahan
yang baik, mamesah (1995 : 34) mengatakan bahwa baik atau tidaknya manajemen
pemerintah daerah tergantung dari pimpinan daerah yang bersangkutan, khususnya
tergantung kepada Kepala Daerah yang bertindak sebagai manajer daerah.

BAB III
PENUTUP

Reformasi di segala bidang yang di dukung oleh masyarakat dalam mensikapi


permasalahan yang terjadi, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah
menyebabkan lahirnya otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan reformasi.
Indonesia memasuki Era Otonomi Daerah dengan diterapkannya Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 (kamudian menjadi UU No.32 Tahun 2004) tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 (kemudian menjadi
UU No.33 Tahun 2004 ) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
Dalam UU No.32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa otonomi daerah menggunakan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan di luar urusan pemerintah pusat yang
ditetapkan dalam undang-undang tersebut. Selain itu juga dilaksanakan pula dengan
prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah
suatu prinsip yang menegaskan bahwa urusan pemerintahan dilaksanakan
berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan
berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan
kekhasan daerah. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab
adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannnya harus benar-benar sejalan dengan
tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan
daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai bagian utama dari
tujuan nasional.
Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan kepentingan
dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Untuk itu, otonomi daerah diharapkan
dapat (1) menciptakan efisinesi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah, (2)
meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat, (3)
membudayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisifasi
dalam proses pembangunan (Mardiasmo, 2002).
Dalam otonomi daerah, pimpinan daerah memegang peran sangat srategis dalam
mengelola dan memajukan daerah yang dipimpinnya. Perencanaan strategis sangat
vital, karena disanalah akan terlihat dengan jelas peran kepala daerah dalam
mengoordinasikan semua unit kerjanya. Betapapun besarnya potensi suatu daerah,
tidak akan optimal pemanfaatannya bila bupati/walikota tidak mengetahui
bagaimana mengelolanya. Sebaliknya, meskipun potensi suatu daerah kurang, tetapi
dengan strategis yang tepat untuk memanfaatkan bantuan dari pusat dalam
memberdayakan daerahnya, maka akan semakin meningkatkan kemampuan sumber
daya manusia yang ada. Seagaimana dijelaskan dalam pasal 156 ayat 1 UU Nomor
32 Tahun 2004, kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan
daerah. Untuk itulah, perlu kecakapan yang tinggi bagi pimpinan daerah agar
pengelolaan dan terutama alokasi dari keuangan daerah dilakukan secara efektif dan
efisien guna mencapai tujuan-tujuan pembangunan daerah.
Otonomi daerah harus diikuti dengan serangkaian reformasi sektor publik. Dimensi
reformasi sektor publik tersebut tidak sekadar perubahan format lembaga, akan

tetapi menyangkut pembaruan alat-alat yang digunakan untuk mendukung


berjalannya lembaga-lembaga publik tersebut secara ekonomis, efisien, efektif
transparan, dan akuntabel sesuai dengan cita-cita reformasi yaitu menciptakan good
governace benar-benar tercapai.
Untuk mewujudkan good governace diperlukan reformasi kelembagaan (institutional
reform) dan reformasi manajemen publik (public management reform). Reformasi
kelembagaan menyangkut pembenahan seluruh alat-alat pemerintahan di daerah,
baik struktur maupun infrastrukturnya. Reformasi manajemen sektor publik terkait
dengan perlunya digunakan digunakan model manajemen pemerintahan yang baru
yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, misalnya new public
management yang berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada
kinerja, bukan berorinentasi pada kebijakan. Penggunaan paradigma new public
management tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintah. di
antaranya perubahan pendekatan dalam dalam penganggaran, yakni dari
penganggaran tradisional (traditional budget) menjadi penganggaran berbasis
kinerja (performance budget), tuntutan untuk melakukan efisiensi, pemangkasan
biaya (cost cutting), dan kompetensi tender (compulsory competitive tendering
contract).
Sejalan dengan perlunya dilakukan reformasi sektor publik, diawal periode otonomi
daerah, telah keluar sejumlah peraturan pemerintah (PP) sebagai operasionalisasi
dari Undang-undang Otonomi daerah. Kelemahan perundang-undangan dalam
bidang keuangan daerah selama ini menjadi salah satu penyebab terjadinya
beberapa bentuk penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Dalam upaya
menghilangkan penyimpangan tersebut dan mewujudkan sistem pengelolaan fiskal
yang berkesinambungan (sustainable) sesuai dengan aturan pokok yang telah
ditetapkan dalam undang-undang dasar dan asas-asas umum yang berlaku secara
universal, maka dalam penyelenggaraan pemerintahan negara diperlukan suatu
undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan negara.
Adapun kekuasaan pengelolaan keuangan daerah menurut pasal 6 UU No. 17 Tahun
2003 merupakan bagian dari kekuasaan pengelolaan keuangan negara. Dalam hal ini
presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan
negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, kemudian diserahkan kepada
gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola
keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan
daerah yang dipisahkan. Selanjutnya, kekuasaan pengelolaan keuangan daerah
dilaksanakan oleh masing-masing kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah
selaku pejabat pengelola APBD dan dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat
daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah.
Pengelolaan keuangan daerah harus Transparansi yang mulai dari proses
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan anggaran daerah. Selain itu, Akuntabilitas
dalam pertanggungjawaban publik juga diperlukan, dalam artii bahwa proses
penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan harus benarbenar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat.
Kemudian, Value for money yang berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses

penganggaran yaitu ekonomi, efisiensi dan efektivitas.


Dengan adanya penerapan prinsip-prinsip tersebut, maka akan menghasilkan
pengelolaan keuangan daerah (yang tertuang dalam APBD) yang benar-benar
mencerminkan kepentingan dan pengharapan masyarakat daerah setempat secara
ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Sehingga nantinya
akan melahirkan kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai