Anda di halaman 1dari 13

Tata Cara Pemeriksaan Pajak

Sejak 1 Februari 2013 berlaku peraturan baru tentang tata cara pemeriksaan pajak yakni
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013. Tata cara adalah aturan formal
pemeriksaan pajak. Atau bisa juga disebut prosedur standar. Berikut catatan saya terkait
PMK ini.
Tujuan Pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan ada dua:
Pertama,
menguji kepatuhan, yaitu pemeriksaan yang akan berujung pada penetapan pajak
terutang. Hasilnya berupa: SKPKB, SKPLB, SKPN, atau STP.
Kedua,
tujuan lain, yaitu pemeriksaan yang berujung rekomemdasi atau pendapat pemeriksa.
Bagaimana Wajib Pajak tahu tujuan pemeriksaan pajak? Wajib Pajak dapat mengetahui
tujuan pemeriksaan dari surat pemberitahuan yang wajib disampaikan oleh pemeriksa. Di
surat pemberitahuan tertulis tujuan pemeriksaan. Atau bisa juga dari SP2 (surat perintah
pemeriksaan). Setiap pemeriksaan harus memperlihatkan SP2 kepada Wajib Pajak. Disitu
tercantum kode pemeriksaan dan kriteria pemeriksaan.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup pemeriksaan bisa juga disebut audit scope. Hanya saja, ruang lingkup
pemeriksaan pajak terkait dengan kewajiban SPT yang disampaikan Wajib Pajak.
Sedangkan kewajiban SPT tersebut terkait dengan periode tertentu. Ruang lingkup
pemeriksaan:
Pertama:
Satu atau beberapa bulan (masa), yaitu ruang lingkup untuk menguji kewajiban
pemungutan dan pemotongan. Termasuk kewajiban pemotongan dan pemungutan adalan
PPN, PPnBM, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan PPh Pasal 4
(2).
Kedua:
Bagian tahun pajak atau tahun pajak, yaitu ruang lingkup untuk menguji kewajiban PPh
Badan atau PPh OP. Bagian tahun pajak artinya tidak 12 bulan penuh. Bisa 1 sampai
dengan 11 bulan. Saat terutang PPh Badan dan PPh OP adalah pada akhir tahun. Dan
periode pajak yang dihitung tahunan. Sehingga ruang lingkup pemeriksaan juga satu
tahun atau bagian tahun. Contoh bagian tahun pajak adalah bulan April sebuah
perusahaan dibubarkan dan dilikuidasi bulan Agustus. Maka pemeriksaan tahun tersebut
disebut bagian tahun pajak karena periode yang dihitung adalah Januari sampai dengan
Agustus.
Kriteria Pemeriksaan

Kriteria pemeriksaan merupakan alasan atau dasar dilakukannya. Ada dua kriteria
pemeriksaan pajak, yaitu kriteria rutin dan kriteria khusus. Jenis-jenis kriteria rutin lebih
lanjut diatur dalam surat edaran. Tetapi kriteria pemeriksaan khusus sudah pasti
pemeriksaan yang berdasarkan analisis risiko, baik analisis tersebut secara komputerisasi
(massal) maupun analisis manual (individual). Kriteria pemeriksaan khusus lebih sering
disingkat pemsus.Tetapi jika mengacu ke Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013, maka kriteria pemeriksaan rutin diatur di Pasal 4 yang terdiri:
[a.] Pemeriksaan SPT LB dengan permohonan (mengacu ke Pasal 17B UU KUP);
[b.] Pemeriksaan SPT LB tetapi tidak ada permohonan (mengacu ke Pasal 17 (1) UU
KUP)
[c.] Pemeriksaan atas Wajib Pajak yang telah diberikan pendahuluan kelebih pembayaran
pajak
[d.] Pemeriksaan SPT yang menyatakan rugi (dulu disebut RTLB)
[e.] Pemeriksaan karena Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran,
likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya
[f.] Pemeriksaan karena Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode
pembukuan atau karena dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap
Jenis Pemeriksaan
Jenis pemeriksaan pajak ada dua: yaitu pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan kantor.
Pemeriksaan Lapangan adalah Pemeriksaan yang dilakukan di tempat tinggal atau tempat
kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak,
dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak. Pemeriksaan Kantor
adalah Pemeriksaan yang dilakukan di kantor DJP. Sesuai namanya, seharusnya hanya
pemeriksaan kantor yang dilakukan di kantor DJP. Tetapi prakteknya, dari definisi tadi
pemeriksa pajak "mengartikan" tempat lain sebagai kantor DJP. Sehingga (praktenya)
sebagian besar pemeriksaan lapangan tetap dilakukan di kantor pajak.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 menentukan (sebagian)
pemeriksaan kantor. Pasal 5 ayat (2) mengharuskan bahwa pemeriksaan restitusi (Pasal
17B) dilakukan dengan jenis pemeriksaan kantor dengan syarat:
Pertama, laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak yang diperiksa diaudit oleh
akuntan publik atau laporan keuangan salah satu Tahun Pajak dari 2 (dua) Tahun Pajak
sebelum Tahun Pajak yang diperiksa telah diaudit oleh akuntan publik, dengan pendapat
wajar tanpa pengecualian; dan
Kedua, Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan,
atau penuntutan tindak pidana perpajakan, dan/atau Wajib Pajak dalam 5 (lima) tahun
terakhir tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Berdasarkan persyarat diatas, jika tahun pajak 2011 diaudit oleh akuntan publik maka
DJP akan melakukan pemeriksaan dengan jenis pemeriksaan kantor jika tahun 2013 ini
Wajib Pajak memohon restitusi. Baik restitusi PPh Badan, maupun restitusi PPN. Apa
untungnya dengan pemeriksaan kantor? Ada kebijakan baru mulai 2013 bahwa
pemeriksaan restitusi pajak dilakukan dengan satu jenis pajak saja (yaitu jenis pajak yang
memohon restitusi saja) dan "disederhanakan" jika pemeriksa tidak mendapatkan risiko

audit tinggi.
Jangka Waktu Pemeriksaan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 membagi jangka waktu
pemeriksaan menjadi dua:
a. jangka waktu pengujian, dan
b. jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (closing conference) dan
pelaporan.
Sebelumnya, jangka waktu pemeriksaan itu hanya satu. Termasuk pengujian dan
pembahasan. Akibatnya ada kerancuan di Pasal 5 dengan Pasal 5A ayat (4) dan Pasal 23
ayat (11) PMK tata cara pemeriksaan. Pasal 5A ayat (4) mengatur bahwa SPHP harus
diselesaikan dan disampaikan terlebih dahulu dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh)
hari sejak berakhirnya perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Kantor atau
perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Lapangan. Pasal 23 ayat (11) mengatur bahwa
SPHP sampai LHP harus diselesaikan paling lama 1 (satu bulan). Dengan demikian, total
jangka waktu pemeriksaan lapangan menjadi 4 bulan + 4 bulan perpanjangan + 7 hari + 1
bulan pembahasan, total 9 bulan lebih. Sedangkan di Pasal 5 mengatur bahwa jangka
waktu pemeriksa paling lama 8 bulan.
Dengan dipecahnya menjadi dua jangka waktu, maka jangka waktu pengujian menjadi
konsisten. Pasal 19 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 mengatur
bahwa SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak apabila:
a. pemeriksaan kantor --- akhir bulan ke 4 atau ke 6 jika ada perpanjangan
b. pemeriksaan lapangan --- akhir bulan ke 6 atau 8 jika ada perpanjangan
Karena kecenderungan pemeriksaan pajak diperpanjang, maka anggap saja bahwa
pemeriksaan kantor itu 6 bulan, dan pemeriksaan lapangan 8 bulan. Ditambah dengan
jangka waktu pembahasan 2 bulan. Sehingga total jangka waktu pemeriksa akan menjadi
8 bulan untuk pemeriksaan kantor atau 10 bulan untuk pemeriksaan lapangan.
Tetapi jangka waktu perpanjangan diatas ada pengecualian. Untuk Wajib Pajak berikut
total jangka waktu pengujian dapat 24 bulan ditambah jangka waktu pembahasan
sehingga total jangka waktu pemeriksaan menjadi 26 bulan, yaitu berlaku untuk
pemeriksaan atas:
[a.] Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi
[b.] Wajib Pajak dalam satu grup
[c.] Wajib Pajak yang terindikasi melakukan transaksi transfer pricing dan/atau transaksi
khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan.
Jangka Waktu Restitusi Pajak
Restitusi pajak adalah pengembalian pajak (refund). Dilihat dari sisi pemeriksaan,
pengembalian pajak ada yang dimohonkan kepada DJP dan tidak dimohonkan.
Pengembalian pajak yang dimohonkan diatur di Pasal 17B UU KUP, sehingga kadang
disebut pemeriksaan Pasal 17B. Sedangkan kelebihan pajak yang tidak dimohonkan
mengacu ke Pasal 17 ayat (1) UU KUP.

Kenapa harus dibedakan? Karena jatuh tempo pengembalian pengembalian diatas


berbeda. Pasal 17B mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan
pemeriksaan harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan
sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Ini kadang disebut jatuh tempo restitusi.
Jangka waktu 12 bulan ini saya sebut saja jangka waktu restitusi. Jangka waktu ini
berbeda dengan jangka waktu pemeriksaan. Tetapi berlaku prinsip mana yang lebih dulu!
a. berlaku jangka waktu pemeriksaan jika jangka waktu restitusi pajak lebih lama
b. berlaku jangka waktu restitusi pajak jika jangka waktu restitusi lebih dulu.
Contoh jangka waktu restitusi lebih dulu:
SPT LB dengan permohonan restitusi diterima DJP tanggal 4 Juni 2012. Berdasarkan
peraturan Pasal 17B UU KUP, DJP harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama
3 Juni 2013. Jika pemeriksaan pajak baru dimulai 7 Januari 2013 maka pemeriksa harus
mengatur waktu sebelum 3 Juni 2013. Artinya harus ada 2 bulan jangka waktu
pembahasan. Awal April 2013 pemeriksa pajak harus menerbitkan SPHP karena
pemeriksa harus mengalokasikan jangka waktu pembahasan 2 bulan. Padahal dari 7
Januari 2013 sampai akhir Maret 2013 jangka waktu pemeriksaan baru 3 bulan saja.
Kecuali jika pemeriksa yakin bahwa pembahasan (closing conference) hanya dilakukan
satu atau dua hari dan Wajib Pajak setuju! Pada kasus ini, jangka waktu pembahasan
tidak berlaku.
Sedangkan pengembalian pajak yang tidak dimohonkan tidak ada jangka waktu restitusi
12 bulan. Jatuh tempo DJP harus menerbitkan surat ketetapan pajak adalah sebelum
daluwarsa penetapan, alias 5 (lima) tahun. Pengembalian pajak ini mengacu ke Pasal 17
ayat (1) UU KUP. Contoh yang seperti ini adalah lebih bayar PPN tetapi dikompensasi ke
masa pajak berikutnya, atau kelebihan PPh Badan dengan mencontreng "diperhitungkan
dengan utang pajak" di Formulir 1771, atau lebih bayar PPh karena edit penelitian SPT di
KPP (Wajib Pajak salah hitung).
Penyelesaian Pemeriksaan
Setiap SP2 akan diselesaikan dengan membuat LHP (laporan hasil pemeriksaan) atau
LHP Sumir. Kecuali jika atas SP2 tersebut dibatalkan. Ciri penyelesaian dengan membuat
LHP adalah pemeriksa pajak menyampaikan SPHP. Tetapi jika pemeriksa pajak sampai
dengan jangka waktu pemeriksaan habis tidak menyampaikan SPHP berarti penyelesaian
pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir. Tidak ada ketentuan bahwa WP harus
diberitahu jika penyelesaian pemeriksan dengan membuat LHP Sumir. Kenapa? Karena
awalnya LHP Sumir itu hanya untuk WP tidak ditemukan!
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 mengatur bahwa LHP Sumir tidak
hanya untuk WP tidak ditemukan. Berikut alasan LHP Sumir yang saya ringkas dari Pasal
21 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013:
a. Wajib Pajak tidak ditemukan (kecuali pemeriksaan restitusi Pasal 17B);
b. Pemeriksaan terus di-Buper dan Buper-nya diselesaikan dengan Pasal 8 (3), Pasal 13A,
Pasal 44B KUP
c. Pemeriksaan ulang tetapi pemeriksa pajak tidak menemukan novum

d. Pertimbangan Dirjen Pajak.


Pertemuan dengan Wajib Pajak
Pemeriksa pajak wajib bertemu dengan Wajib Pajak yang diperiksa, baik untuk
pemeriksaa lapangan maupun pemeriksaan kantor. Ada perbedaan antara pemeriksaan
lapangan dengan pemeriksaan kantor, yaitu jika pemeriksaan lapangan maka pemeriksa
pajak wajib datang ke tempat Wajib Pajak (aktif) dan menyampaikan Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan. Sedangkan pemeriksaan kantor, Wajib Pajak
diundang ke kantor pajak dengan mengirim Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan
Kantor.
Pada saat pertama kali bertemu dengan Wajib Pajak, pemeriksa pajak wajib memberikan
penjelasan mengenai:
[a.] alasan dan tujuan Pemeriksaan;
[b.] hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;
[c.] hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim
Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang belum
disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil
Pemeriksaan; dan
[d.] kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau
dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya, yang
dipinjam dari Wajib Pajak.
Kemudian penjelasan terkait 4 hal diatas wajib dibuatkan berita acara pertemuan dengan
Wajib Pajak.
Peminjaman Dokumen dan Penyegelan
Pemeriksa pajak memiliki kewenangan untuk melakukan penyegelan. Kewenangan
penyegelan ini berdasarkan Pasal 30 UU KUP. Apa objek penyegelan dalam pemeriksaan
pajak? Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 benda yang
disegel adalah buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara
elektronik, dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas Wajib Pajak. Artinya semua bendayang menurut pemeriksa pajak
akan memberikan petunjuk tentang kegiatan usaha Wajib Pajak.
Penyegelan dilakukan manakala:
[a.] Wajib Pajak tidak memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk memasuki
tempat atau ruang serta memeriksa barang yang diduga atau patut diduga digunakan
untuk menyimpan buku atau catatan, dan/atau dokumen, termasuk hasil pengolahan data
dari pembukuan yang dikelola secara elektronik;
[b.] Wajib Pajak menolak memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
[c.] Wajib Pajak tidak berada di tempat
Penyegelan hanya ada dalam pemeriksaan lapangan. Sehingga jika pemeriksa pajak
datang ke tempat Wajib Pajak dengan membawa Surat Pemberitahuan Pemeriksaan
Lapangan maka hal yang pertama kali dilakukan adalah memberikan penjelasan
mengenai 4 hal diatas kemudian membuat berita acara. Selanjutnya, pemeriksa pajak

memeriksa tempat Wajib Pajak (tanpa pengecualian). Jika menolak, maka pemeriksa
pajak berwenang untuk melakukan penyegelan. Setelah melakukan pemeriksaan tempat
Wajib Pajak, maka pemeriksa pajak saat itu juga meminjam dokumen. Kemudian
dibuatkan bukti peminjaman dokumen. Inilah yang diatur di Pasal 28 ayat (1) huruf a
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013.
Dalam hal (artinya kondisi tertentu saja) pemeriksa pajak ternyata tidak menemukan
dokumen yang terkait kegiatan usaha di tempat Wajib Pajak tetapi pemeriksa pajak yakin
bahwa dokumen tersebut ada maka pemeriksa pajak akan membuat Surat Permintaan
Peminjaman Dokumen. Silakan cek ketentuan Pasal 28 ayat (1) huruf b Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 yang diawali dengan kata "dalam hal".
Artinya, Surat Permintaan Peminjaman Dokumen sebenarnya tidak boleh dijadikan
standar yang harus dibawa oleh pemeriksa pajak saat datang ke tempat Wajib Pajak.
Kalaupun dibuat surat permintaan peminjaman tersebut maka daftar dokumen yang
menjadi lampiran dari surat permintaan peminjaman tersebut harus persis sama dengan
yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Jika pemeriksa pajak membuat daftar dokumen secara
umum dan tidak dimiliki oleh Wajib Pajak maka Wajib Pajak tidak wajib memenuhinya.
Peminjaman dokumen melalui surat permintaan peminjaman juga memiliki kelemahan,
yaitu Wajib Pajak dapat menunda pemenuhannya sampai 1 (satu) bulan sejak sejak surat
permintaan peminjaman buku, catatan, dan dokumen disampaikan. Ketentuan satu bulan
diatur di Pasal 29 ayat (3a) UU KUP dan ditegaskan kembali di Pasal 28 ayat (3)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013. Artinya, pemeriksa pajak pasti
buang-buang waktu (wasting time) selama sebulan. Ketentuan satu bulan ini berlaku
untuk setiap surat permintaan peminjaman dokumen disampaikan!
Permintaan Keterangan
Pemeriksaan pajak membagi dua keterangan, yaitu:
[a.] keterangan yang berasal dari Wajib Pajak atau pegawai Wajib Pajak, wakil, kuasa,
atau anggota keluarga; dan
[b.] keterangan yang berasal dari pihak ketiga.
Terhadap pihak Wajib Pajak seperti [a.] diatas maka pemeriksa pajak dapat meminta
keterangan langsung. Pemeriksa Pajak dapat memanggil, dan membuat berita acara
pemberian keterangan. Tetapi untuk keterangan yang berasal dari pihak ketiga hanya
dapat diminta dengan surat konfirmasi yang ditandatangan oleh kepala UP2.
SPHP dan Closing Conference
Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) merupakan batas awal penghitungan
jangka waktu pembahasan. Jangka waktu pengujian telah berakhir. SPHP wajib
disampaikan oleh pemeriksa pajak. SPHP diberikan hanya sekali saja. Konsep
pemeriksaan pajak: satu SP2 satu SPHP satu LHP.
SPHP merupakan materi pemeriksaan pokok yang harus diatur di Peraturan Menteri
Keuangan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (2) UU KUP yang berbunyi:

Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur
tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir
dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.
Materi penting tata cara pemeriksaan menurut Pasal 31 (2) UU KUP terdiri dari:
[a.] pemeriksaan ulang,
[b.] jangka waktu pemeriksaan,
[c.] kewajiban menyampaikan SPHP, dan
[d.] hak WP untuk hadir dalam pembahasan (closing conference)
Selain itu SPHP dan Closing Conference juga salah satu rukun (meminjam istilah santri)
pemeriksaan yang harus ditunaikan. Jika SPHP tidak ada maka hasil pemeriksaan
menjadi batal, dan pembatalan tersebut bisa dengan permohonan Wajib Pajak atau inisitif
DJP sendiri. Ketentuan "rukun" pemeriksaan ini diatur di Pasal 36 ayat (1) huruf d UU
KUP:
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat
membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan
yang dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak
Karena UU KUP mengamanatkan hak Wajib Pajak untuk hadi dalam closing
conferencemaka di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 diatur lebih
detil masalah penyampaian SPHP, undangan pembahasan, dan pembahasan (closing
conference). Setidaknya ada 16 pasal di Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013 yang mengatur SPHP dan closing conference, yaitu mulai Pasal 41
sampai dengan Pasal 57 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013.
SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak, baik secara langsung melalui kurir maupun
dikirim melalui faksimili. Tidak diatur pengiriman melalui email karena tidak ada dasar
hukumnya di UU KUP. Padahal sekarang era email (surel).
Wajib Pajak diharapkan memberikan tanggapan. Jika setuju, sudah disediakan formulir
persetujuan. Jika tidak setuju sebagian atau seluruhnya maka harus dijelaskan apa dan
kenapa tidak setuju. Poin ketidaksetujuan inilah sebenarnya yang menjadi pokok
pembahasan di closing conference. Sehingga jika Wajib Pajak menuangkan
ketidaksetujuan secara tertulis, maka akan membantu pemeriksa pajak untuk membuat
risalah pembahasan.
Apakah jika tidak ada tanggapan maka tidak ada closing conference? Era sebelum UU
KUP 2007 ada pendapat seperti itu. Tetapi karena ada rukun pemeriksaan diatas, dan UU
KUP mengamanatkan pengaturan pemberian hak kepada Wajib Pajak maka ada atau tidak
ada tanggapan SPHP, tetap wajib dibuat undangan pembahasan!

Undangan pembahasan 10 hari kerja setelah SPHP diterima atau dikirim. Kira-kira dua
minggu kalender. Tetapi bisa kurang dari 10 hari kerja jika Wajib Pajak sudah
memberikan tanggapan SPHP. Misal pada hari kerja ke 2 tanggapan SPHP sudah diterima
pemeriksa pajak maka pada hari kerja ke 3 dapat dikirim undangan closing conference.
Pasal 43 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 mengatakan bahwa hak
hadir diberikan melalui penyampaian undangan secara tertulis kepada Wajib Pajak
dengan mencantumkan hari dan tanggal dilaksanakannya Pembahasan Akhir Hasil
Pemeriksaan.
Pada tanggal sesuai tertera di undangan, Pemeriksa Pajak membuat risalah pembahasan
dengan mendasarkan pada lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan dan
membuat berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri dengan
ikhtisar hasil pembahasan akhir, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak dan Wajib
Pajak. Ini jika Wajib Pajak hadir. Jika tidak hadir maka dibuatkan berita acara
ketidakhadiran Wajib Pajak. Pembahasan tidak harus dilakukan sehari sesuai tanggal
undangan. Jika memang belum selesai, maka pembahasan bisa dilakukan hari berikutnya
sesuai yang disepakati oleh Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak asalkan dalam periode
jangka waktu pembahasan dua bulan.
Tetapi jika Wajib Pajak sudah berniat mengajukan pembahasan ke Tim Quality Assurance
Pemeriksaan (Tim QA) maka tidak perlu lama-lama pembahasan dengan Wajib Pajak.
Diskusi atau pembahasan dengan pemeriksa pajak sebenarnya bisa dilakukan pada
periode jangka waktu pengujian. Sehingga ada waktu 6 bulan atau 8 bulan diskusi
masalah pemeriksaan antara Wajib Pajak dengan pemeriksa pajak. Lebih baik memberi
ruang waktu pembahasan lebih banyak kepada Tim QA supaya lebih independen. Perlu
dipertimbangkan "jeda" waktu permohonan pembahasan dengan Tim QA, yaitu 3 hari,
kemudian "jeda" waktu pembuatan undangan pembahasan oleh Tim QA. Dan
pembahasan dengan Tim QA tetap harus dalam periode jangka waktu pembahasan dua
bulan sejak SPHP diterima oleh Wajib Pajak.
Menurut Pasal 49 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Tim QA
memiliki tugas:
[a.] membahas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak pada saat
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;
[b.] memberikan simpulan dan keputusan atas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak
dengan Pemeriksa Pajak; dan
[c.] membuat risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan yang berisi simpulan dan
keputusan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada huruf b dan bersifat mengikat.
Pembahasan dengan Tim QA bukan berarti pemeriksaan selesai. Proses closing
conference baru berakhir jika telah dibuat berita acara Pembahasan Akhir Hasil
Pemeriksaan yang dilampiri dengan ihtisar hasil pembahasan akhir. Artinya, Setelah
pembahasan dengan Tim QA, Wajib Pajak harus menandatangani risalah pembahasan
Tim QA, dan berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. Tetapi jika Wajib Pajak
tidak meminta pembahasan dengan Tim QA maka saat pembahasan dengan pemeriksa
pajak, langsung saja dibuatkan berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaanyang

dilampiri ihtisar hasil pembahasan akhir. Pastikan bahwa angka yang masuk ke ihtisar
hasil pembahasan akhir adalah angka terakhir yang dibahas atau angka sesuai keputusan
Tim QA yang dituangkan dalam risalah Tim QA.
Pengungkapan Ketidakbenaran Pengisian SPT Selama Pemeriksaan
Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai
ketidakbenaran pengisian SPT yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) UU KUP dan Pasal 8 Peraturan
Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011, sepanjang Pemeriksa Pajak belum menyampaikan
SPHP. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT disampaikan ke KPP tempat Wajib
Pajak terdaftar. Laporan tersendiri secara tertulis harus ditandatangani oleh Wajib Pajak
dan dilampiri dengan:
[a.] penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya
dalam format SPT;
[b.] SSP atas pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan
[c.] SSP atas pembayaran sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50%.
Kalau melihat sanksi administrasi Pasal 8 ayat (5) UU KUP diatas (yaitu 50%) maka
sanksi ini akan lebih tinggi 2% dibandingkan sanksi bunga di surat ketetapan pajak.
Sanksi bunga di surat ketetapan pajak paling banyak (maksimal) 48% saja. Tetapi
beberapa Wajib Pajak ternyata tidak peduli dengan besarnya sanksi ini. Mereka bersedia
bayar lebih besar. Salah satu motif melakukan pengungkapan ini adalah menghindari
koreksi pajak yang besar. Jadi lebih kepada pencitraan. Karena kalo pengungkapannya
benar, maka nanti di surat ketetapan pajak tidak ada lagi koreksi fiskal. Produk
pemeriksaan pun SKPN. Karena hasil pemeriksaan menjadi nihil, maka citra manajemen
Wajib Pajak dianggap lebih baik. Padahal, sebelum pemeriksaan selesai mereka telah
bayar lebih dulu!
Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan
Bukti Permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
Pemeriksaan Bukti Permulaan setara dengan penyelidikan menurut istilah di KUHAP.
Dalam hal pemeriksa pajak menemukan indikasi tindak pidana pajak pada saat
pemeriksaan, maka pemeriksa harus mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Wajib Pajak tentu saja tidak pernah tahu apakah pemeriksa pajak mengusulkan
Pemeriksaan Bukti Permulaan atau tidak sampai dengan adanya surat pemberitahuan
Pemeriksaan Bukti Permulaan dari pemeriksa Bukti Permulaan. Jika pemeriksaan pajak
kemudian menjadi pemeriksaan Bukti Permulaan, maka Wajib Pajak akan menerima:
1. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari pemeriksa Bukti Permulaan,
dan
2. Surat Pemberitahuan Penangguhan Pemeriksaan dari pemeriksa.
Ya, semua pemeriksaan yang "ditingkatkan" menjadi pemeriksaan Bukti Permulaan maka
pemeriksaan pajaknya tertangguh. Tergangguh jangka waktunya, dan penyelesaiannya.
Setelah dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan, "nasib" pemeriksaan kemungkinannya

disumir atau dilanjutkan. Proses pemeriksaan akan dilanjutkan jika:


[a.] Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara
terbuka meninggal dunia;
[b.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dihentikan karena tidak ditemukan
adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
[c.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilanjutkan dengan penyidikan namun
penyidikan dihentikan karena memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44A Undang-Undang KUP, atau
[d.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilanjutkan dengan penyidikan dan
penuntutan serta telah terdapat putusan pengadilan mengenai tindak pidana di bidang
perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan salinan putusan pengadilan
tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
Coba perhatikan keempat syarat diatas! Pada intinya, pemeriksa Bukti Permulaan atau
penyidik tidak mendapatkan cukup bukti tindak pidana. Pertama, pemeriksaan Bukti
Permulaan tidak dapat dilanjutkan karena calon tersangka meninggal. Kedua, secara jelas
menyebutkan tidak ada bukti pidana. Ketiga, penyidikan dihentikan oleh penyidik karena
bukan tindak pidana perpajakan. Sebenarnya Pasal 44 A UU KUP mengatur empat alasan
dihentikannya penyidikan, yaitu tidak cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana di
bidang perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena peristiwanya telah daluwarsa, atau
tersangka meninggal dunia. Hanya saja jika penyidikan saja sudah daluwarsa maka
penetapan pajak pun sudah pasti daluwarsa karena daluwarsa penetapan hanya 5 tahun
saja. Keempat, terbukti di pengadilan bahwa Wajib Pajak telah melakukan tindak pidana
perpajakan. Alasan keempat ini cukup rasional, artinya Wajib Pajak terbukti berbuat
salah. Hanya saja setiap sanksi pidana ada denda 2 kali pajak terutang sampai dengan 4
kali denda pajak terutang. Ini bukan denda administrasi. Sedangkan pemeriksaan akan
menimbulkan pajak terutang yang secara administrasi ditagih oleh negara dan dicatat
sebagai penerimaan pajak. Surat ketetapan pajak akan disetor oleh Wajib Pajak melalui
MPN ke kas negara. Sedangkan sanksi denda pidana akan dieksekusi oleh Kejaksaan.
Oh ya, pemeriksaan yang dilakukan setelah empat kondisi diatas dilakukan dalam jangka
waktu paling lama empat bulan. Ketentuan 4 bulan ini diatur di Pasal 67 ayat (1)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013. Empat bulan ini adalah jangka
waktu pengujian. Ditambah jangka waktu pembahasan maka dalam enam bulan,
pemeriksaan harus selesai dan diterbitkan surat ketetapan pajak. Ketentuan 4 bulan
ditambah 2 bulan ini berlaku baik untuk pemeriksaan lebih bayar maupun bukan
pemeriksaan lebih bayar. Bagaimana jika jangka waktu
Pemeriksaan Ulang
Pemeriksaan ulang didasarkan pada Pasal 15 UU KUP. Berikut ketipan Pasal 15:
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data
baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan
tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

Tambahan.
Fungsi pemeriksaan ulang untuk melakukan koreksi atas surat ketetapan pajak lebih
rendah dari yang seharusnya. Koreksi atas surat ketetapan pajak sebenarnya bisa lewat
keberatan, atau pembetulan Pasal 16 UU KUP, atau pembatalan Pasal 36 UU KUP.
Masing-masing memiliki "jalur" atau alasan. Misalnya, keberatan terkait dengan beda
pendapat antara Wajib Pajak dengan fiskus, pembetulan karena ada salah tulis dan salah
hitung, sedangkan pembatalan karena surat ketetapan tidak benar. Sedangkan
pemeriksaan ulang disebabkan karena ditemukan data baru.
Karena itu perlu dipahami apa dan bagaimana data baru. Nah, untuk lebih jelas masalah
data baru sebagaimana dimaksud di Pasal 15 UU KUP, saya copy paste bagian penjelasan
Pasal 15 UU KUP:
Yang dimaksud dengan data baru adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu
yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib
Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat
Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang
diserahkan pada waktu pemeriksaan.
Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap,
yaitu data yang:
a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya
(termasuk laporan keuangan); dan/atau
b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan
data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga
tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau
mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau
mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak
mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah
pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam
pengertian data yang semula belum terungkap.
Contoh:
1. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan
Rp10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas Rp5.000.000,00
biaya iklan di media massa dan Rp5.000.000,00 sisanya adalah sumbangan atau hadiah
yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian
tersebut sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan

atau hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, data
mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut tergolong data yang
semula belum terungkap.
2. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan
harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok
yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib
Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak dapat meneliti
kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam
kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi dikelompokkan ke dalam
kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan pengelompokan harta tersebut tidak dilakukan
koreksi, sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah
itu diketahui adanya data yang menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak
benar, maka data tersebut termasuk data yang semula belum terungkap.
3. Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena
Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan
faktur pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk
kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak
mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak
Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.
Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan rincian
penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas
pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak Pertambahan
Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui
adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan
tersebut merupakan data yang semula belum terungkap.
Ada aturan yang baru di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 terkait
pemeriksaan ulang, yaitu pengaturan bahwa pemeriksaan ulang boleh sumir. Sebelumnya
tidak diatur. Karena tidak diatur boleh berujung LHP Sumir, maka sebelumnya
pemeriksaan ulang selalu ditekankan harus berujung SKPKBT. Harus jelas dulu novumnya apa. Jika novum masing samar-samar maka tidak boleh dilakukan pemeriksaan
ulang. Sejak 1 Februari 2013, novum yang sama-sama pun boleh menjadi pemeriksaan
ulang. Nanti pemeriksa pemeriksaan ulang yang menilai apakah benar-benar sudah ada
novum atau tidak.
Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain
Ada perbedaan mendasar antara pemeriksaan untuk menguji kepatuhan dengan
pemeriksaan untuk tujuan lain, yaitu pemeriksaan untuk tujuan lain tidak menerbitkan
surat ketetapan. Jika pemeriksa pemeriksaan untuk tujuan lain menemukan potensi pajak
yang belum disetor pada saat pemeriksaan untuk tujuan lain maka pemeriksa pajak

tersebut harus mengusulkan pemeriksaan khusus. Sesuai dengan Pasal 69 Peraturan


Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 bahwa ruang lingkup Pemeriksaan untuk
tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dapat meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang
berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.
Contoh pemeriksaan untuk tujuan lain:
[a.] pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan selain yang dilakukan
berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang
mengatur mengenai tata cara Verifikasi;
[b.] penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata
cara Verifikasi;
[c.] pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain yang
dilakukan berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
yang mengatur mengenai tata cara Verifikasi;
[d.] Wajib Pajak mengajukan keberatan;
[e.] pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto;
[f.] pencocokan data dan/atau alat keterangan;
[g.] penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
[h.] penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
[i.] Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
[j.] penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi
kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan; dan/atau
[k.] memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda.
Jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain empat bulan jika jenis pemeriksaannya
pemeriksaan lapangan. Tetapi jika pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan jenis
pemeriksaan kantor maka jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain hanya 14 hari saja.
Di pemeriksaan untuk tujuan lain tidak ada jangka waktu pembahasan karena memang
tidak ada yang dibahas. Juga tidak ada jangka waktu pengujian karena memang bukan
menguji SPT. Intinya, pemeriksaan untuk tujuan lain bersifat pelayanan atau pendapat
kedua (second opinion).

Anda mungkin juga menyukai