Anda di halaman 1dari 6

Mal Administrasi negara

Published Desember 5, 2012 by gayatriamrah


Istilah maladministrasi (baca: mal-administrasi) diambil dari bahasa Inggris maladministration
yang diartikan: Tata usaha buruk; Pemerintahan buruk.
Kata administrasi berasal dari bahasa latin administrare yang berarti to mange, devirasinya
antara lain menjadi administratio yang mengandung makna bersturing atau Pemerintah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, administrasi diartikan:
1. Usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta penetapan cara-cara
penyelenggaraan pembinaan organisasi;
2. Usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijakan untuk mencapai tujuan;
3. Kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan; dan
4. Kegiatan kantor dan tata usaha.
Dalam hukum administrasi Negara, administrasi adalah aparatur penyelenggara dan aktivitasaktivitas penyelenggaraan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan, tugas-tugas, kehendak-kehendak
dan tujuan-tujuan pemerintah atau negara.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, maladministrasi tidak hanya diartikan sekedar
penyimpangan terhadap hal tulis menulis, tata buku, prosedural dan sebagainya. Namun
maladministarasi diartikan lebih luas dan mencangkup pada penyimpangan yang terjadi terhadap
fungsi-fungsi pelayanan publik atau pelayanan pemerintah yang dilakukan oleh setiap pejabat
pemerintahan. Dengan kata lain, tindakan maladministrasi pejabat pemerintah dapat merupakan
perbuatan, sikap maupun prosedur dan tidak terbatas pada hal-hal administrasi atau tata usaha
belaka.
Pengertian maladministrasi secara umum adalah perilaku yang tidak wajar, termasuk penundaan
pemberian pelayanan; tidak sopan dan kurang peduli terhadap masalah yang menimpa seseorang
yang disebabkan oleh perbuatan penyalahgunaan kekuasaan; penggunaan kekuasaan secara
semena-mena atau kekuasaan yang digunakan untuk perbuatan yang tidak wajar, tidak adil,
intimidatif atau diskriminatif dan tidak patut didasarkan seluruhnya atau sebagian atas ketentuan
undang-undang atau fakta, tidak masuk akal atau berdasarkan tindakan yang tidak baralasan
(unreasonable), tidak adil (unjust), menekan (oppressive), improrer dan diskriminatif.
Sadjijono mengartikan maladministrasi adalah suatu tindakan atau perilaku administrasi oleh
penyelenggara administrasi negara (pejabat publik) dalam proses pemberian pelayanan umum
yang menyimpang dan bertentangan dengan kaidah atau norma hukum yang berlaku atau
melakukan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) yang atas tindakan tersebut
menimbulkan kerugian dan ketidakadilan bagi masyarakat, dengan kata lain melakukan
kesalahan dalam penyelenggaraan administrasi.

Didalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik
Indonesia, dijelaskan mengenai pengertian maladministrasi, yaitu: maladministrasi adalah
perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk
tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian
kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara
Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian meteriil dan/atau immateriil bagi
masyarakat dan orang perseorangan.
Berdasarkan pengertian dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tersebut,
maka unsur-unsur dari pemenuhan suatu tindakan maladministrasi adalah:
1). Perilaku atau perbuatan melawan hukum;
2). Yang melampaui wewenang, atau menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang
menjadi tujuan wewenang tersebut, atau termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum
dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
3). Yang dilakukan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan;
4). Yang menimbulkan kerugian meteriil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang
perseorangan.
Dengan demikian, tindakan pejabat pubik yang dapat dikategorikan telah memenuhi tindakan
maladministrasi, adalah:
1). Meliputi semua tindakan yang dirasakan janggal (inappropriate) karena melakukan tidak
sebagaimana mestinya;
2). Meliputi tindakan pejabat publik yang menyimpang (deviate);
3). Meliputi tindakan pejabat publik yang melanggar ketentuan (irregular/illegitimate);
4). Penyalahgunaan wewenang (abuse of power); dan
5). Keterlambatan yang tidak perlu karena penundaan berlarut atas suatu kewajiban pemberian
pelayanan publik (undue delay).
Komisi Ombudsman Nasional memberikan indikator bentuk-bentuk maladministrasi, antara lain:
melakukan tindakan yang janggal (inappropriate), menyimpang (deviate), sewenang-wenang
(arbitrary), melanggar ketentuan (irregular/illegimate), penyalahgunaan wewenang (abuse of
power), atau keterlambatan yang tidak perlu (undue delay) dan pelanggaran kepatutan (equity).
Berikut ini 20 (dua puluh) subtansi permasalahan yang menjadi kompetensi Ombudsman, yang
dapat diklasifikasikan sebagai suatu tindakan maladministrasi, yaitu:
1. Penundaan Berlarut
Secara berkali-kali menunda atau mengulur-ulur waktu dengan alasan yang tidak dapat
dipertanggung-jawabkan, sehingga proses administrasi yang sedang dikerjakan menjadi tidak
tepat waktu sebagaimana ditentukan (secara patut) dan mengakibatkan tidak adanya kepastian
dalam pemberian pelayanan umum.
2. Tidak Menangani
Sama sekali tidak melakukan tindakan yang semestinya wajib dilakukan (menjadi kewajibannya)
dalam rangka memberikan pelayanan umum kepada masyarakat.
3. Persekongkolan
Beberapa pejabat publik yang bersekutu dan turut serta melakukan kejahatan, kecurangan,
melawan hukum dalam memberikan pelayanan umum kepada masyarakat.

4. Pemalsuan
Perbuatan meniru suatu secara tidak sah atau melawan hukum untuk kepentingan
menguntungkan diri sendiri, orang lain dan/atau kelompok.
5. Diluar Kompetensi : Memutuskan sesuatu yang bukan menjadi wewenangnya.
6. Tidak Kompeten :Tidak mampu atau tidak cakap dalam memutuskan sesuatu.
7. Penyalahgunaan Wewenang : Menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak)
untuk keperluan yang tidak sepatutnya.
8. Bertindak Sewenang-wenang : Menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak)
melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan
ketentuan.
9. Permintaan Imbalan Uang/Korupsi
9a. Meminta imbalan uang dan sebagainya atas pekerjaan yang sudah semestinya dilakukan
(secara cuma-cuma) karena merupakan tanggung jawabnya.
9b. Menggelapkan uang negara, perusahaan (negara), dan sebagainya untuk kepentingan pribadi
atau orang lain.
10. Kolusi dan Nepotisme
Melakukan tindakan tertentu untuk mengutamakan sanak famili sendiri tanpa kreteria objektif
dan tidak dapat dipertanggung jawabkan (tidak akuntable), baik dalam memperoleh pelayanan
maupun untuk dapat duduk dalam jabatan atau posisi di lingkungan pemerintahan.
11. Penyimpangan Prosedur : Tidak mematuhi tahapan kegiatan yang telah ditentukan dan secara
patut.
12. Melalaikan Kewajiban : Tindakan kurang hati-hati dan tidak mengindahkan apa yang
semestinya menjadi tanggungjawabnya.
13. Bertindak Tidak Layak / Tidak Patut
Melakukan sesuatu yang tidak wajar, tidak patut, dan tidak pantas sehingga masyarakat tidak
mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya.
14. Penggelapan Barang Bukti
Menggunakan barang, uang dan sebagainya secara tidak sah yang merupakan alat bukti suatu
perkara.
15. Penguasaan Tanpa Hak : Memiliki sesuatu yang bukan milik atau kepunyaannya secara
melawan hak.
16. Bertindak Tidak Adil
Melakukan tindakan memihak, melebihi atau mengurangi dari yang sewajarnya.
17. Intervensi
Melakukan campur tangan terhadap kegiatan yang bukan menjadi tugas dan kewenangannya.
18. Nyata-nyata Berpihak
Bertindak berat sebelah dan lebih mementingkan salah satu pihak tanpa memperhatikan
ketentuan perundangan yang berlaku.
19. Pelanggaran Undang-Undang
Melakukan tindakan menyalahi atau tidak mematuhi ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
20. Perbuatan Melawan Hukum
Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan kepatutan.

Termasuk tindakan maladministrasi adalah tindakan- tindakan yang dilakukan aparatur


pemerintah dikarenakan adanya :
1. Mis Conduct , yaitu melakukan sesuatu di kantor yang bertentangan dengan kepentingan
kantor contoh: menggunakan mobil kantor untuk bisnis pribadi
2. Deceitful practice , praktek-praktek kebohongan, tidak jujur terhadap publik. Masyarakat
disuguhi informasi yang menjebak, informasi yang tidak sebenarnya, untuk kepentingan birokrat.
Misalnya: jumlah korban kecelakaan kereta apai 30 orang, tetapi diberitakan hanya 10 orang.
3. Korupsi, yang terjadi karena penyalahgunaan wewenang yang dimilikinya, termasuk
didalamnya memperguanakan kewenangan untuk tujuan lain dari tujuan pemberian kewenangan,
dan dengan tindakan tersebut untuk kepentiangan memperkaya dirinya, orang lain kelompok
maupun coorperasi yang merugikan keuangan negara.
4. Defective Polecy implementation, Yaitu kebijakan yang tidak berakhir dengan implementasi.
Keputusan-keputusan atau komitmen-komitmen politik hanya berhendti sampai pembahasan
undang-undang atau pengesahan undang-undang, tetapi tidak sampai ditindak lanjuti menjadi
kenyataan.
5. Bureaupathologis , adalah penyakit-penyakit birokrasi. Yang termasuk penyakit-penyakit
birokrasi ini antara lain:
a. Indecision . tidak adanya keputusan yang jelas atas suatu kasus. Jadi suatu kasus yang pernah
terjadi dibiarkan setengah jalan, atau dibiarkan mengambang, tanpa ada keputusan akhir yang
jelas. Biasanya kasus-kasus seperti bila menyangkut sejumlah pejabat tinggi. Banyak kali dalam
praktik muncul kasus-kasus yang di peti es kan.
b. Red Tape, Ini penyakit birokrasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan yang
berbelit-belit, memakan waktu lama, meski sebenarnya bisa diselesaikan secara singkat.
c. Cicumloution , Penyakit para birokrat yang terbiasa menggunakan kata-kata terlalu banyak.
Banyak janji tetapi tidak ditepati. Bnayak kata manis untuk menenangkan gejolak masa. Kadangkadang banyak kata-kata kontroversi antar elit yang sifatnya bisa membingungkan masyarakat.
d. Regidity , adalah penyakit birokrasi yang sifatnya kaku. Ini efek dari model pemisahan dan
impersonality dari karakter birokrasi itu sendiri. Penyakit ini nampak,dalam pelayanan birokrasi
yang kaku, tidak fleksibel, yang pokoknya baku menurut aturan, tanpa melihat kasus-per kasus.
e. Psycophancy, kecenderungan penyakit birokrat untuk menjilat pada atasannya. Ada gejala Asal
Bapak senang. Kecenderungan birokrat melayani individu atasannya, bukan melayani publik dan
hati nurani. Gejala ini bisa juga dikatakan loyalitas pada individu, bukan loyalitas pada lemabga
dan publik.
f. Over staffing, Gejala penyakit dalam birokrasi dalam bentuk pembengkakan staf. Terlalu
banyak staf sehingga mengurangi efisiensi.
g. paperasserie. adalah kecenderungan birokrasi menggunakan banyak kertas, banyak formulirformulir, banayk laporan-laporan, tetapi tidak pernah dipergunakan sebagaimana mestinya
fungsinya.
h. Defective accounting, Pemeriksaan keuangan yang cacat. Artinya pelaporan keuangan tidak
sebagaiamana mestinya, ada pelaporan keuangan ganda untuk kepentingan mengelabuhi.
Biasanya kesalahan dalam keuangan ini adalah mark up proyek keuangan.
Ada pendapat lain mengenai jenis-jenis mal adminitrasi yang dilakukan oleh birokrat. Menurut
Nigro & Nigro ada 8 jenis mal administrasi. yaitu:
1. Ketidak jujuran (dishonesty), Berbagai tindakan ketidak jujuran antara lain: menggunakan
barang publik untuk kepentingan pribadi, menerima uang usap, dan sebagainya.
2. Perilaku yang buruk (unethical behavior), tindakan tidak etis ini adalah tindakan yang

mungkin tidak bersalah secara hukum, tetapi melanggar etika sebagai administrator. Misalnya
menitipkan anaknya pada panitia tes pegawai. meskipun dia tidak pernah menyuruh supaya
anaknya diterima, tetapi karena posisinya sebagai pejabat tindakan titip itu bisa diartikan sebagai
perintah. dengan dmeikian tindakan itu disebut tindakan yang tidak etis.
3. Mengabaikan hukum (disregard of law), Tindakan mengabaikan hukum mencakup juga
tindakan menyepelekan hukum untuk kepentingan dirinya sendiri, atau kepentingan
kelompoknya. Misalnya: menangani proyek negara oleh keluarganya sendiri tanpa melalui tender
terbuka termasuk tindakan mengabaikan hukum.
4. Favoritisme dalam menafsirkan hukum, Tindakan menafsirkan hukum untuk kepentingan
kelompok, dan cenderung memilih penerapan hukum yang menguntungkan kelompoknya.
5. Perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai, tindakan ini cenderung ke perlakuan pimpinan
kepada bawahannya berdasarkan faktor like and dislike. Yaitu orang yang disenangi cenderung
mendapatkan fasilitas lebih, meski prestasinya tidak begus. Sebaliknya untuk orang yang tidak
disenangi cenderung diperlakukan terbatas.
6. Inefisiensi bruto (gross inefficiency), adalah kecenderungan suatu instansi publik
memboroskan keuangan negara.
7. Menutup-nutupi kesalahan, Kecenderungan menutupi kesalahan dirinya, kesalahan
bawahannya, kesalahan instansinya dan menolak di liput kesalahannya.
8. Gagal menunjukkan inisiatif, kecenderungan tidak berinisiatif tetapi menunggu perintah dari
atas, meski secara peraturan memungkinkan dia untuk bertindak atau mengambil inisiatif
kebijakan.
Akibat Hukum Maladministrasi
Memperhatikan bentuk dan jenis maladministrasi diatas, maka dapat dikategorikan menjadi 2
kelompok besar maladministrasi tersebut yaitu :
a. Maladministrasi yang dikarenakan melanggar peraturan perundang-undangan ;
Indikasi dari maladministrasi yang dikarekan melanggar peraturan perundang-undangan adalah
maladministrasi yang terjadi karena adanya penyalahgunaan wewenang ( korupsi ), kolusi dan
nepotisme. Perbuatan ini biasanya akan merugikan keuangan Negara/ daerah untuk kepentingan
pribadinya, kelompok atau golongannya ;
b. Maladministrasi yang dikarenakan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik .
Sedangkan maladministrasi yang melanggar asas- asas umum pemetintahan yang baik biasanya
masuk dalam kategori pelanggaran sumpah jabatan dan atau kode etik seorang pegawai.
Sebagai kasus konkrit yang penulis akan dalami dan telusuri lebih lanjut tentang peran
Ombudsman Republik Indonesia terhadap pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
adalah kasus yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara Padang yaitu kasus
Antara Kurnia Irawan, Siswa Pendidikan Dan Pembentukan Bintara (Diktuba) Kepolisian
Sumatera Barat sebagai Penggugat berlawanan dengan Kepala Kepolisian Sumatera Barat
sebagai Tergugat sehubungan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Kapolda Sumatera Barat
Nomor : SKEP/11/XI/2003 tertanggal 23
November 2003 tentang pemberhentian tidak dengan hormat Penggugat selaku siswa diktuba
Kepolisian Sumatera Barat (objek sengketa), dimana Penggugat telah mangajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara Padang, dalam putusannya dengan Nomor :
20/G.TUN/2003/PTUN.PDG, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Padang telah

mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya yang pada intinya menyatakan batal surat
keputusan yang menjadi objek sengketa, memerintahkan Tergugat untuk mencabut surat
keputusan yang menjadi objek sengketa, menghukum Tergugat untuk merehabilitasi nama baik,
harkat dan martabat Penggugat selaku siswa diktuba Kepolisian Sumatera Barat, pada tingkat
banding Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan menguatkan putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara Padang, serta pada tingkat kasasi Mahkamah Agung menyatakan menolak
permohonan dari pemohon kasasi (Kapolda Sumatera Barat) sehingga putusan ini telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Pada kasus ini Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Padang sebelum putusan akhir juga
telah mengeluarkan penetapan penundaan/schorsing pelaksanaan objek sengketa tetapi tidak
dilaksanakan oleh Tergugat, disamping mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara,
ketika penetapan penundaan tidak dilaksanakan oleh Tergugat Penggugat melaporkan kepada
Komisi Ombudsman Nasional dan kemudian ketika putusan sudah berkekuatan hukum tetap juga
tidak dilaksanakan oleh Kapolda Sumatera Barat selaku Tergugat, Penggugat melaporkan
kembali hal tersebut kepada Ombudsman Republik Indonesia, sehubungan dengan laporan
tersebut Komisi Ombudsman Nasional telah mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Kapolda
Sumatera Barat tertanggal 27 Januari 2004, selanjutnya Ombudsman Republik Indonesia juga
telah mengeluarkan suratnya yang ditujukan kepada Kapolda Sumatera Barat tertanggal 12 Mei
2009, dan juga Ombudsman Republik Indonesia untuk menindak lanjuti laporan ini telah
menugaskan tiga orang asisten ombudsman melalui surat tugasnya tertanggal 15 juni 2009 untuk
melakukan pertemuan dengan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat dan Ketua Pengadilan
Tata Usaha Negara Padang, untuk mengetahui dan mendalami sejauh mana perkembangan di
lapangan sehubungan tidak dilaksanakannya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap (inkracht van gewijsde) oleh pejabat tata usaha negara dalam hal ini Kapolda Sumatera
Barat
Penyelesaian Maladministrasi
Upaya yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan akibat hukum dari maladministrasi adalah
dengan cara menegakkan aturan sebagaimana yang secara tegas ada, yang merupakan
pelanggaran peraturan perundang-undangan ya tentu menegakkan semua aturan yang ada,
sedangkan yang melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik tentu menegakkan kode etik
dan atau sumpah jabatan yang diucapkan ketika pegawai tersebut akan memangku jabatan.
Terhadap oknum pejabat publik yang terbukti bersalah melakukan tindakan maladministrasi
dikenakan tindakan disiplin dan/atau sanksi administrasi (hukuman disiplin), bahkan mungkin
diajukan ke Pengadilan yang berwenang, apabila tindakan maladministrasi tersebut mengandung
aspek yuridis lain.
https://gayatriamrah.wordpress.com

Anda mungkin juga menyukai