Anda di halaman 1dari 63

PENATALAKSANAAN STATUS

EPILEPTIKUS PADA PASIEN TAK


TERKONTROL
Dibuat oleh: Dwi Nuria,Modifikasi terakhir pada Mon 15 of Aug, 2011 [05:46 UTC]
ABSTRAK
Status epileptikus adalah bangkitan epilepsi yang berlangsung terus menerus selama lebih
dari tiga puluh menit tanpa diselingi oleh masa sadar. Status epileptikus merupakan
keadaan darurat medis. Studi terbaru telah menunjukkan eksperimental bahwa kerusakan
otak permanen dapat terjadi setelah hanya 60 menit dari kejang yang tidak terkontrol
kegiatan. Pada status epileptikus terjadi kegagalan mekanisme normal untuk mencegah
kejang. Kegagalan ini terjadi bila rangsangan bangkitan kejang (neurotransmiter
eksitatori diantaranya glutamat, aspartat dan acetylcholine) melebihi kemampuan
hambatan intrinsik (GABA) atau mekanisme hambatan intrinsik tidak efektif. Pada kasus
ini pasien perempuan 55 tahun datang dalam keadaan penurunan kesadaran dengan
dengan keluhan kejang tiap 15 menit lamanya 1 menit. Kejang seluruh badan, dan setiap
kejang pasien keluar busa.

KASUS
Seorang wanita, 50 tahun datang dalam keadaan penurunan kesadaran dengan dengan
keluhan kejang sejak kurang lebih 3 hari SMRS. Kejang seluruh badan disertai busa,
setelah kejang pasien tertidur kemudian sadar. Kejang berlangsung tiap 15 menit lamanya
kira-kira 1 menit. Pasien tidak demam, batuk, pilek, mual, muntah disangkal. Pasien
mempunyai riwayat pengobatan untuk epilepsi, namun sejak 1 bulan yang lalu pasien
tidak periksa dan tidak mengkonsumsi obat, 5 hari SMRS pasien mengkonsumsi 1 jenis
obat yang dibeli sendiri. Pasien memiliki riwayat epilepsi sejak 7 tahun yang lalu, riwayat
tumor, hipertensi, diabetes melitus, stroke, trauma kepala disangkal. Pasien pernah
mondok 2 kali dengan keluhan serupa. Riwayat epilepsi dalam keluarga disangkal.
Pemeriksaan fisik pada pasien ini didapat kesadaran somnolen dengan tanda vital tekanan
darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 76 x/menit, frekuensi pernafasan 20 x/menit dan
suhu 36,50C. Pada pemeriksaan saraf kranialis tidak ditemukan adanya kelainan. Untuk
kekuatan otot dengan nilai 5 baik pada ekstrimitas superior maupun inferior. Tidak
ditemukan adanya refleks patologis. Tidak ditemukan adanya kelainan pada pemeriksaan
penunjang berupa darah rutin.
DIAGNOSIS

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang, pasien ini didiagnosis
klinis status epileptikus, dengan diagnosis topik lesi di kortek serebri dan etiologi
idiopatik.

TERAPI
Pada pasien ini diberikan terapi berupa O2 intranasal 3-4 liter/menit, infus
Asering 20 tpm, injeksi Cefotaxime 2x1 gr, injeksi Piracetam 3x1 gr, injeksi
Diazepam tiap kejang, dilantin tablet 2x1, paracetamol 3x500mg dan asam folat tablet
1x1.
DISKUSI
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul
disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan
listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal dengan berbagai
macam etiologi.
Onset epilepsi yang tersering memang pada dekade pertama kehidupan, dekade
selanjutnya akan semakin berkurang, namun epilepsi dengan onset bangkitan pada usia
dewasa bukan merupakan phenomena yang jarang. Paling tidak sekitar 20-25% pasien
epilepsi mempunyai bangkitan pertama pada usia setelah 25 tahun. Hal ini yang disebut
late onset epilepsy.
Pada pasien ini bangkitan pertama dimulai ketika berusia 48 tahun, sehingga pasien
digolongkan dalam late onset epilepsy. Penyebab bangkitan berulang yang dimuali pada
usia 35-60 tahun dipikirkan kemungkinan penyebab seperti trauma, neoplasma, penyakit
vaskuler, withdrawal alkohol atau obat sedatif-hipnotif lainnya. Sedangkan pada usia
lebih dari 60 tahun dipikirkan penyakit vaskuler, tumor penyakit degeneratif, trauma,
oleh karena itu late onset epilepsy memerlukan perhatian khusus serta dievaluasi dan
dicari penyebabnya.
Status epileptikus adalah bangkitan epilepsi yang berlangsung terus menerus selama lebih
dari tiga puluh menit tanpa diselingi oleh masa sadar. Biasanya bila status epileptikus
tidak bisa diatasi dalam satu jam, sudah akan terjadi kerusakan jaringan otak yang
permanen. Oleh karena itu gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi secepat
mungkin. Enampuluh sampai delapanpuluh persen status epileptikus dimulai dengan
gejala-gejala fokal. Kejang menjadi bilateral dan umum akibat penyebaran lepas muatan
listrik yang terus menerus dari fokus pada suatu hemisfer ke hemisfer lain. Kejang tonik
akan diikuti oleh sentakan otot atau kejang klonik. Proses ini berlangsung terus,
sambung-menyambung tanpa diselingi oleh fase sadar. Dalam bentuk klinis seperti ini
penderita berada dalam keadaan status epileptikus.

Pada status epileptikus terjadi kegagalan mekanisme normal untuk mencegah kejang.
Kegagalan ini terjadi bila rangsangan bangkitan kejang (Neurotransmiter eksitatori:
glutamat, aspartat dan acetylcholine) melebihi kemampuan hambatan intrinsik (GABA)
atau mekanisme hambatan intrinsik tidak efektif. Penyebab status epileptikus yang
banyak diketahui adalah infark otak mendadak, anoksia otak, bermacam-macam
gangguan metabolisme, tumor otak, menghentikan kebiasaan minuman keras secara
mendadak, atau berhenti makan obat anti kejang. Jarang status epileptikus disebabkan
oleh penyakit degenerasi sel-sel otak, menghentikan penggunaan penenang dengan
mendadak, pasca anestesi dan cedera perinatal. Kelainan-kelainan ini terutama yang
terdapat pada lobus frontalis, lebih sering menimbulkan status epileptikus, dibandingkan
dengan lokasi lain pada otak.

Pada pasien ini dia mempunyai riwayat menghentikan sendiri obat sekehendak hati dan
makan obat yang dibeli sendiri, maka hal ini dapat menjadi pencetus dari bangkitan
epilepsi yang diderita pasien. Selain pasien telah mengalami bangkitan epilepsi selama
kurang lebih tiga hari. Status epileptikus yang berlangsung lama menimbulkan kelainan
yang sama dengan apa yang terjadi pada hipoglikemia berat atau hipoksi.
Dalam penanganan status epileptikus biasanya dilakukan 3 tahap tindakan yaitu
stabilisasi penderita, menghentikan kejang, menegakkan diagnosis. Stabilisasi meliputi
usaha-usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital yang mungkin terganggu;
membersihkan udara dan jalan pernafasan, serta memberikan oksigen. Menghentikan
kejang harus dilakukan segera sesudah tahap stabilisasi selesai. Tindakan ini dimulai
dengan pemberian bolus diazepam, 2 mg/menit, masing-masing 10 mg. Pemberian bolus
diazepam dilanjutkan sampai jumlah 50 mg, sementara itu pernafasan dimonitor terus.
Biasanya kejang sudah dapat diatasi.
Bila pemberian diazepam yang waktu paruhnya hanya sekitar 15 menit belum berhasil,
diberikan fenitoin yang bekerja lebih lama, mempunyai waktu paruh selama 24 jam.
Fenobarbital juga diberikan perinfus dengan kecepatan maksimum 100 mg/menit.
Apabila tahap pemberian fenobarbital belum berhasil menghentikan kejang, maka ahli
saraf harus memikirkan tindakan resusitasi otak melalui anestesi dengan pemberian
pentobarbital atau amobarbital. Takaran obat yang diberikan disesuaikan sampai tercapai
aktivitas otak yang dikenal dengan outburst suppression pattern pada rekaman EEG.
Dosis ini dipertahankan selama tiga jam, agar otak mempunyai waktu yang cukup untuk
membangkitkan homeostasis dan melawan kejang berkelanjutan. Menegakkan diagnosis,
dalam tahap ini bukan diagnosis epilepsi yang dicari, melainkan upaya untuk mencari apa
yang menjadi latar belakang timbulnya status epileptikus. Tahap ini dilakukan untuk
mencari adanya kemungkinan riwayat epilepsi, penggunaan alkohol, obat penenang,
trauma, radang otak dan penyakit lain yang ada kaitannya dengan status epileptikus.
Tahap ini sangat penting untuk menentukan prognosis di samping keberhasilan tahap
sebelumnya.
KESIMPULAN

Pada kasus late onset epilepsy perlu dipikirkan kemungkinan penyebabnya seperti
trauma, neoplasma, penyakit vaskuler, withdrawal alkohol atau obat sedatif-hipnotif.
Pada status epileptikus yang tidak bisa diatasi dalam satu jam, maka akan terjadi
kerusakan jaringan otak yang permanen. Penanganan status epileptikus dilakukan 3 tahap
tindakan yaitu stabilisasi penderita, menghentikan kejang, menegakkan diagnosis.
http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?
page=PENATALAKSANAAN+STATUS+EPILEPTIKUS+PADA+PASIEN+TAK+TER
KONTROL++
05.26 19-2-12
AAAAAAAAAA

Status Epileptikus
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang


Status Epileptikus merupakan masalah kesehatan umum yang diakui meningkat
akhir-akhir ini terutama di Negara Amerika Serikat. Ini berhubungan dengan mortalitas
yang tinggi dimana pada 152.000 kasus yang terjadi tiap tahunnya di USA menghasilkan
kematian.1 Begitu pula dalam praktek sehari-hari Status Epileptikus merupakan masalah
yang tidak dapat secara cepat dan tepat tertangani untuk mencegah kematian ataupun
akibat yang terjadi kemudian.
Status Epileptikus secara fisiologis didefenisikan sebagai aktivitas epilepsi tanpa
adanya normalisasi lengkap dari neurokimia dan homeostasis fisiologis dan memiliki
spektrum luas dari gejala klinis dengan berbagai patofisiologi, anatomi dan dasar
etiologi.2 Berdasarkan observasi pada pasien yang menjalani monitoring videoelectroencephalography (EEG) selama episode kejang, komponen tonik-klonik terakhir
satu sampai dua menit dan jarang berlangsung lebih dari lima menit. 2 Batas ambang
untuk membuat diagnosis ini oleh karenanya harus turun dari lima sampai sepuluh menit.
Berdasarkan kompleksitas dari penyakit ini, Status Epileptikus tidak hanya penting
untuk menghentikan kejang tetapi identifikasi pengobatan penyakit dasar merupakan
bagian utama pada penatalaksanaan Status Epileptikus.

I.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menyelesaikan tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Syaraf RS. H. Adam Malik Medan. Selain daripada itu makalah ini juga dapat
menambah wawasan kita dalam mengerti apa yang dimaksud dengan Status Epileptikus,
dan bagaimana patofisiologinya serta penatalaksanaanya.

BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Defenisi
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status
epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian
kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang
mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit
atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.

II.2 Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena
penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya
status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan area tertentu dari
korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)- kategori utama
lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.
Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus.
Satu versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum
(tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial
(sederhana atau kompleks). Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum
(overt atau subtle) dan status epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial
kompleks, absens). Versi ketiga dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan
(batas pada periode neonatus, infan dan anak-anak, anak-anak dan dewasa, hanya
dewasa).

II.3 Epidemiologi
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka
kejadian kira-kira 60.000 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang
terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. 3 Pada sepertiga kasus, status epileptikus
merupakan gejala yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga
kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan
dalam memakan obat antikonvulsan. Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas
kejang sekitar 1-2 persen, tetapi mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang
menyebabkan status epileptikus kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan
suatu distribusi bimodal dengan puncak pada neonatus, anak-anak dan usia tua.
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status Epileptikus dapat
dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua Status Epileptikus kebanyakan
sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada
Negara miskin, epilepsy merupakan kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka
kejadian yang paling tinggi.

II.4 Etiologi dan Patofisiologi


Status epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai hal (tabel 1). Secara klinis dan
berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase pertama terjadi
mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac output,
peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat
serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat.
Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase
kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa
serum kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga
aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat),
perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel.
Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika
peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini
diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi
kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.

Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi
maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks
serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus
mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf
maksimal dalam zona Summer. Komplikasi terjadinya status epileptikus dapat dilihat dari
tabel 2.
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan
melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan
pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion
Natrium dan Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.
Tabel 1. Etiologi status epileptikus

Alkohol
Anoksia
Antikonvulsan-withdrawal
Penyakit cerebrovaskular
Epilepsi kronik
Infeksi SSP
Toksisitas obat-obatan
Metabolik
Trauma
tumor

Tabel 2. Komplikasi status epileptikus


Otak

Peningkatan Tekanan Intra Kranial


Oedema serebri
Trombosis arteri dan vena otak
Disfungsi kognitif
Gagal Ginjal
Myoglobinuria, rhabdomiolisis
Gagal Nafas
Apnoe
Pneumonia
Hipoksia, hiperkapni
Gagal nafas
Pelepasan Katekolamin
Hipertensi
Oedema paru
Aritmia
Glikosuria, dilatasi pupil

Hipersekresi, hiperpireksia
Jantung
Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme
Metabolik dan Sistemik
Dehidrasi
Asidosis
Hiper/hipoglikemia
Hiperkalemia, hiponatremia
Kegagalan multiorgan
Idiopatik
Fraktur, tromboplebitis, DIC

II.5 Gambaran klinik


Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic)
merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei
ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.
A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial
dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau
kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik
umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan
kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan
otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis
selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan
tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan
laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik
dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak
tertangani.
B. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase
tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
C. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)

Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran
tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan
gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.
D. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus adalah
menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran. Tipe
dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang
buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi
degeneratif.
E. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau
dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu
keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai slow
motion movie dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada
riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat
aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon
terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.
F. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks,
karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai
dengan stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional, cepat marah,
halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada
beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave
discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.
G. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada
satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi
jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral
dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu menunjukkan
periodic lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED),
dimana sering berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari
status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan
berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
http://onilyna.blogspot.com/2011/10/status-epileptikus.html
05.31 19-2-12
AAAAAAAAA

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN EPILEPSI


A. Konsep Dasar Penyakit

1. Pengertian
Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang
dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan
listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan
tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena
sensori.
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karakteristik kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang
dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal
sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi.
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri
timbulnya serangan paroksimal dan berkala akibat lepas muatan listrik neron-neron otak
secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.
1. Epidemiologi
Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta
orang, 37 juta orang diantaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara
berkembang. Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang
penyandang epilepsi aktif diantara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per
100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negaranegara berkembang. Hasil penelitian Shackleton dkk (1999) menunjukkan bahwa angka
insidensi kematian di kalangan penyandang epilepsi adalah 6,8 per 1000 orang.
Sementara hasil penelitian Silanpaa dkk (1998) adalah sebesar 6,23 per 1000
penyandang.
1. Etiologi
Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :

o
o
o
o
o

Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti


ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami
infeksi, minum alcohol, atau mengalami cidera.
Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang
mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak
Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada
anak-anak.
Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak
Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak

o
o

Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (fku), sclerosis tuberose dan


neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
Kecendrungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan
karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal
diturunkan pada anak

1. Epilepsi Primer (Idiopatik)


Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan pada
jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi
dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal. Penyebab pada kejang epilepsi
sebagian besar belum diketahui (Idiopatik). Sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah
(Tarwoto, 2007)
2. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak.
Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut
sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak,
cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme
dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktorfaktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan
neoplasma.
Penyebab step / childhood epilepsi / epilepsi anak-anak:

fever / panas (these are called febrile seizures)


genetic causes
head injury / luka di kepala.
infections of the brain and its coverings
lack of oxygen to the brain/ kekurangan oksigen, terutama saat proses kelahiran.
hydrocephalus/pembesaran ukuran kepala (excess water in the brain cavities)
disorders of brain development / gangguan perkembangan otak.

1. Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang
atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas
kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak
tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik,
sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :

Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun
dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA).
Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama
kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf
motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian
juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS)
selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas
kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik
menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada
faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme
kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka
terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat
mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
1. Klasifikasi
1. Sawan Parsial
1. i.
2. ii.

Sawan parsial sederhana


Sawan parsial kompleks

1.
1. Sawan Umum

Sawan lena

Sawan mioklonik

Sawan klonik

Sawan Tonik

Sawan tonik-klonik

Sawan atonik
1.
1. Sawan tak tergolongkan
1. Manifestasi Klinis
1. Sawan Parsial (lokal, fokal)

Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal


1. Dengan gejala motorik

Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja
Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar
meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien
mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu

1. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi


sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai
vertigo.

Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.


Visual : terlihat cahaya
Auditoris : terdengar sesuatu
Olfaktoris : terhidu sesuatu
Gustatoris : terkecap sesuatu
Disertai vertigo

1. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).
2. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)

Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian
kalimat.
Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,
mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di
masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
-

Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.

Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.

Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.

Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat


suatu fenomena tertentu, dll.
-

Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)


1. Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula
baik kemudian baru menurun.

Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti pada golongan A1A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan
sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali
seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan,
mengembara tak menentu, dll.
Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak
permulaan kesadaran.
Hanya dengan penurunan kesadaran
Dengan automatisme

1. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik,


klonik)
2. Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
3. Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
4. Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu
berkembang menjadi bangkitan umum.
1. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif)
1. Sawan lena (absence)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong,
bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini
berlangsung selama menit dan biasanya dijumpai pada anak.

1. i.
Hanya penurunan kesadaran
2. ii.
Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai
pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
3. iii.
Dengan komponen atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-otot leher, lengan,
tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
4. iv. Dengan komponen klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas,
leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung
ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
5. v. Dengan automatisme
6. vi.
Dengan komponen autonom.
7. vii.
Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
1. Gangguan tonus yang lebih jelas.
2. Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
1. Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah
sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat
dijumpai pada semua umur.
1. Sawan Klonik
Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal
multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
1. Sawan Tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan
bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada
anak.
1. Sawan Tonik-Klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand
mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu
sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku
berlangsung kira-kira menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh.
Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat
lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa
karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah
kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran
yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal,
lelah, nyeri kepala.

1. Sawan atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh.
Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai
pada anak.
1. Sawan Tak Tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik,
mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak
berhenti sederhana.
1. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pungsi Lumbar
Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan
kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan
setelah kejang demam pertama pada bayi.
-

Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)

Mengalami complex partial seizure

Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam


sebelumnya)
-

Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)

Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1


jam setelah kejang demam adalah normal.
-

Kejang pertama setelah usia 3 tahun

Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda
peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem
saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik
sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi
lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.
1. EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang.
Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi
sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan
bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan

setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan
datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang
demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang
demam atau risiko epilepsi.
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor,
magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama.
Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar
sebagai pemeriksaan rutin.
1. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI
kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk
pertama kalinya.
1. CT Scan
Untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan
degeneratif serebral
1. Magnetik resonance imaging (MRI)
1. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
1. Pemeriksaan fisik
Inspeksi : membran mukosa, konjungtiva, ekimosis, epitaksis, perdarahan pada gusi,
purpura, memar, pembengkakan.
Palpasi

: pembesaran hepar dan limpha, nyeri tekan pada abdomen.

Perkusi

: perkusi pada bagian thorak dan abdomen.

Auskultasi : bunyi jantung, suara napas, bising usus.


1. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk
pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat
antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu
penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang
tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi
juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang

mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan,
pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat
selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang
sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan
program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan
secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana
pencegahan ini.
Hal yang tak boleh dilakukan selama anak mendapat serangan :

Meletakkan benda di mulutnya. Jika anak mungkin menggigit lidahnya


selama serangan mendadak, menyisipkan benda di mulutnya kemungkinan tak banyak
membantu. Anda malah mungkin tergigit, atau parahnya, tangan Anda malah
mematahkan gigi si anak.

Mencoba membaringkan anak. Orang, bahkan anak-anak, secara ajaib


memiliki kekuatan otot yang luar biasa selama mendapat serangan mendadak. Mencoba
membaringkan si anak ke lantai bukan hal mudah dan tidak baik juga.

Berupaya menyadarkan si anak dengan bantuan pernapasan mulut ke mulut


selama dia mendapat serangan mendadak, kecuali serangan itu berakhir. Jika serangan
berakhir, segera berikan alat bantu pernapasan dari mulut ke mulut jika si anak tak
bernapas.
1. Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat
antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat
dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum
obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan
gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan
tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah
cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu
harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila
pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika
terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan
keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang
menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya.
Penatalaksanaan

Farmakoterapi
Anti konvulsion untuk mengontrol kejang

Pembedahan

Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali vaskuler
Jenis obat yang sering digunakan :

Phenobarbital (luminal).

Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.

Primidone (mysolin)

Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan phenyletylmalonamid.

Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).

Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH. Berhasiat
terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis.
Tak berhasiat terhadap petit mal.
Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi gingiva dan gangguan
darah.

Carbamazine (tegretol).

Mempunyai khasiat psikotropik yangmungkin disebabkan pengontrolan bangkitan


epilepsi itusendiri atau mungkin juga carbamazine memang mempunyaiefek psikotropik.
Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering disertai
gangguan tingkahlaku.
Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia, depresi
sumsum tulang dan gangguan fungsi hati.

Diazepam.

Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status konvulsi.).


Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya lambat. Sebaiknya
diberikan i.v. atau intra rektal.

Nitrazepam (Inogadon).

Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.

Ethosuximide (zarontine).

Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal

Na-valproat (dopakene)

Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai.


Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak.
Efek samping mual, muntah, anorexia

Acetazolamide (diamox).

Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi.


Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun, influks Na
berkurang akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi.

ACTH

Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil.


Status epileptikus
Adalah serangan kejang kontinu dan berlangsung lebih dari 30 menit atau serangkaian
serangan epilepsi yang menyebabkan anak yang tidak sadar kembali. Terapi awal
diarahkan untuk menunjang dan mempertahankan fungsi-fungsi vital, meliputi
mempertahankan fungsi-fungsi vital, meliputi mempertahankan jalan napas yang adekuat,
pemberian oksigen, dan terapi hidrasi, serta dilanjutkan dengan pemberian diazepam
(Valium) atau fenobarbitol per IV. Diazepam per rektum merupakan preparat yang
sederhana, efektif, dan aman, untuk penatalaksanaan epilepsi sebelum masuk rumah
sakit. Lorazepam (Ativan) dapat menggantikan diazepam IV sebagai obat pilihan.
Preparat ini memiliki masa kerja yang lebih panjang dan lebih sedikit menyebabkan
gawat napas pada anak-anak di atas usia 2 tahun. Merupakan keadaan kedaruratan medis
yang memerlukan intervensi segera untuk mencegah cedera permanen pada otak, gagal
napas, dan kematian.
Penatalaksanaan gawat darurat
Kejang tonik-klonik

Selama kejang :
Waktu episode kejang
-

lakukan pendekatan dengan tenang

jika anak berada dalam posisi berdiri atau duduk, baringkan anak

letakkan bantal atau lipatan selimut di bawah kepala anak. Jika tidak tersedia
kepala anak bisa disangga oleh kedua tangannya sendiri.
-

Jangan :
1. i.
Menahan gerakan anak atau menggunakan paksaan
2. ii.
Memasukkan apapun ke dalam mulut anak
3. iii.
Memberikan makanan atau minuman

Longgarkan pakaian yang ketat

Lepaskan kacamata

Singkirkan benda-benda keras atau berbahaya

Biarkan serangan kejang berakhir tanpa gangguan

Jika anak muntah miringkan tubuh anak sebagai satu kesatuan ke salah satu sisi

Setelah kejang :
-

Hitung lamanya periode postiktal (pasca kejang)

Periksa pernapasan anak. Periksa posisi kepala dan lidah.

Reposisikan jika kepala anak hiperekstensi. Jika anak tidak bernapas, lakukan
pernapasan buatan dan hubungi pelayanan medis darurat.
Periksa sekitar mulut anak untuk menemukan gejala luka bakar/kimia atau
kecurigaan zat yang mengindikasikan keracunan
-

Pertahankan posisi tubuh anak berbaring miring

Tetap dampingi anak sampai pulih sepenuhnya

Jangan memberi makanan atau minuman sampai anak benar-benar sadar dan
refleks menelan pulih

Hubungi pelayanan kedaruratan medis jika diperlukan

Kaji faktor-faktor pemicu awitan kejang (kolaborasi)


1. Prognosis

Perjalanan dan prognosis penyakit untuk anak-anak yang mengalami kejang bergantung
pada etiologi, tipe kejang, usia pada awitan, dan riwayat keluarga serta riwayat penyakit.
Pasien epilepsi yang berobat teratur, sepertiga akan bebas serangan 2 tahun, dan bila lebih
dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan, pasien tidak mengalami sawan
lagi, dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30% pasien tidak akan mengalami
remisi. Meskipun minum obat dengan teratur. Sesudah remisi, kemungkinan munculnya
serangan ulang paling sering didapat pada sawan tonik klonik dan sawan parsial
kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah relaps sesudah remisi.
Faktor resiko yang berhubungan dengan kekambuhan epilepsi antara lain usia 16 tahun
atau lebih, minum lebih dari satu macam obat antiepilepsi, mengalami kejang setelah
pengobatan dimulai, memiliki riwayat kejang tonik-klonik generalisata primer atau
sekunder atau hasil EEG menunjukkan kejang mioklonik dan memiliki EEG yang
abnormal. Resiko kekambuhan kejang menurun bila terjadi pemanjangan periode tanpa
kejang.
Prognosis setelah dilakukan terapi status epileptikus lebih baik daripada dilaporkan
sebelumnya. Mayoritas anak kemungkinan tidak mengalami gangguan intelektual.
Kemungkinan besar anak yang menderita gangguan kognitif atau meninggal dunia sudah
memiliki riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan, abnormalitas
neurologik, atau menderita penyakit serius yang berulang.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien ditanyakan
tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan alkohol dicatat.
Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh
gangguan kejang? Apakah pasien mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah
pengalaman kerja? Mekanisme koping apa yang digunakan?
1. 1. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat, tanggal
masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
1. 2. Keluhan utama

Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita leukimia untuk masuk RS. keluhan
utama pada penderita leukemia yaitu perasaan lemah, nafsu makan turun, demam,
perasaan tidak enak badan, nyeri pada ektremitas.
1. 3. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya keluhan, mulai
timbul. Biasanya ditandai dengan anak mulai rewel, kelihatan pucat, demam, anemia,
terjadi pendarahan ( ptekia, ekimosis, pitaksis, pendarah gusi dan memar tanpa sebab),
kelemahan tedapat pembesaran hati, limpa, dan kelenjar limpe, kelemahan. nyeri tulang
atau sendi dengan atau tanpa pembengkakan.
1. 4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan penyakit
sekarang perlu ditanyakan.
1. 5. Riwayat kehamilan dan kelahiran.
Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal. Dalam riwayat
prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh ibu. Riwayat natal
perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm atau tidak karena
mempengaruhi sistem kekebalan terhadap penyakit pada anak. Trauma persalinan juga
mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post
natal diperlukan untuk mengetahui keadaan anak setelah
1. 6. Riwayat penyakit keluarga
Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan penyakit yang
dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu diketahui, apakah ada yang
menderita gangguan hematologi, adanya faktor hereditas misalnya kembar monozigot.
Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam
mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.
1. Selama serangan :
-

Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.

Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.

Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.

Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik, kejang
tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.

Apakah pasien menggigit lidah.

Apakah mulut berbuih.

Apakah ada inkontinen urin.

Apakah bibir atau muka berubah warna.

Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.

Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu sisi
atau keduanya.
2. Sesudah serangan
-

Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan bicara

Apakah ada perubahan dalam gerakan.

Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum, selama dan
sesudah serangan.
Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi denyut
jantung.
-

Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.

3. Riwayat sebelum serangan


-

Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi.

Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.

Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik, olfaktorik
maupun visual.
4. Riwayat Penyakit
-

Sejak kapan serangan terjadi.

Pada usia berapa serangan pertama.

Frekuensi serangan.

Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang tidur,
keadaan emosional.

Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan
gangguan kesadaran, kejang-kejang.
-

Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak

Apakah makan obat-obat tertentu

Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

Pemeriksaan fisik
a. Aktivitas
Gejala : kelelahan, malaise, kelemahan.
Tanda : kelemahan otot, somnolen.
b. Sirkulasi
Gejala : palpitasi.
Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat.
c. Eliminasi
Gejala : diare, nyeri, feses hitam, darah pada urin, penurunan haluaran urine.
d. Makanan / cairan
Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.
Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, hipertropi gusi (infiltrasi gusi
mengindikasikan leukemia monositik akut).
e. Integritas ego
Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.
Tanda : depresi, ansietas, marah.
f. Neurosensori
Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi, pusing,
kesemutan.
Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang.

g. Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot.
Tanda : gelisah, distraksi.
h. Pernafasan
Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal.
Tanda : dispnea, takipnea, batuk.
i. Keamanan
Gejala : riwayat infeksi saat ini / dahulu, jatuh, gangguan penglihatan, perdarahan
spontan, tak terkontrol dengan trauma minimal.
Tanda : demam, infeksi, purpura, pembesaran nodus limfe, limpa atau hati.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan
2. Perfusi jaringan serebral tidak efektif
3. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran,
kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri.
1. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien
secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang
dialami,menangis wajah meringis
1. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan
dengan keterbatasan kognitif, kurang pemajanan, atau kesalahan interpretasi
informasi.
2. Termoregulasi tidak efektif
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas
4. Defisit perawatan diri
5. Gangguan persepsi sensori auditori
C. Intervensi
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama pasien tidak mengalami
gangguan pola napas dengan kriteria hasil :
-

RR dalam batas normal sesuai umur

Nadi dalam batas normal sesuai umur

Intervensi
Rasional
1. Tanggalkan pakaian pada daerah
1. Memfasilitasi usaha
leher/dada, abdomen
bernapas/ekspansi dada
2. Masukkan spatel lidah/jalan napas
2. Dapat mencegah tergigitnya
buatan
lidah, dan memfasilitasi saat
3. Lakukan penghisapan sesuai sesuai
melakukan penghisapan
indikasi
lendir, atau memberi
sokongan pernapasan jika
diperlukan
Kolaborasi
3. Menurunkan risiko aspirasi
atau asfiksia
1. Berikan tambahan O2
Kolaborasi
1. Dapat menurunkan hipoksia
serebral
1. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien
secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang
dialami,menangis wajah meringis
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawtan selama nyeri klien berkurang dengan
kriteria hasil:
1. Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili penurunan rasa
nyeri yang dialami
2. Klien tidak menangis lagi
3. Wajah klien tampak ceria
Intervensi
Rasional
1. Kaji PQRST dengan menggunakan
media gambar
2. Berikan posisi yang nyaman sesuai
kebutuhan
3. Berikan lingkungan yang nyaman
bagi klien
4. Libatkan keluarga untuk
mendampingi klien
5. Kolaborasi untuk pemberian obat
analgesic
6. Pengkajian yang benar akan
membantu dalam menentukan
tindakan keperawtan selanjutnya
7. Posisi yang nyaman dapat

memberikan efek malsimal untuk


relaksasi otot
8. Kehadiran keluarga memberikan
efek psikologis pada anak untuk
mengurangi nyeri
9. Rangsang yang berlebihan dari
lingkungan dapat memperberat rasa
nyeri
10. Obat analgesic dapat meminimalkan
rasa nyeri
1. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran,
kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri.
Kriteria hasil :

Dapat mengurangi risiko cidera pada pasien

Kriteria pengkajian fokus makna klinis

Riwayat kejang
Tingkatan kejangnya

Intervensi
1. Kaji karakteristik kejang

1.
1.

1.

1.

Rasional
Untuk mngetahui seberapa besar
tingkatan kejang yang dialami
pasien sehingga pemberian
intervensi berjalan lebih baik
Jauhkan pasien dari benda benda
Benda tajam dapat melukai dan
tajam / membahayakan bagi pasien mencederai fisik pasien
Segera letakkan sendok di mulut
Dengan meletakkan sendok diantara
pasien yaitu diantara rahang pasien rahang atas dan rahang bawah,
maka resiko pasien menggigit
lidahnya tidak terjadi dan jalan
nafas pasien menjadi lebih lancer
Kolaborasi dalam pemberian obat Obat anti kejang dapat mengurangi
anti kejang
derajat kejang yang dialami pasien,
sehingga resiko untuk cidera pun
berkurang
Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi

Tujuan :
1. pengetahuan keluarga meningkat
2. keluarga mengerti dengan proses penyakit epilepsi

3. keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien.
Intervensi
Kriteria pengkajian focus
Makna klinis
1. Kaji tingkat pendidikan
1 . pendidikan merupakan salah satu
keluarga klien.
faktor penentu tingkat pengetahuan
2. Kaji tingkat pengetahuan
seseorang
keluarga klien.
1. untuk mengetahui seberapa
3. Jelaskan pada keluarga klien
jauh informasi yang telah
tentang penyakit kejang
mereka ketahui,sehingga
demam melalui penkes.
pengetahuan yang nantinya
4. Beri kesempatan pada keluarga
akan diberikan dapat sesuai
untuk menanyakan hal yang
dengan kebutuhan keluarga
belum dimengerti.
2. untuk meningkatkan
pengetahuan
3. untuk mengetahui seberapa
5. Libatkan keluarga dalam setiap
jauh informasi yang sudah
tindakan pada klien.
dipahami
4. agar keluarga dapat
memberikan penanngan yang
tepat jika suatu-waktu klien
mengalami kejang
berikutnnya.
D. Evaluasi
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan
RR dalam batas normal sesuai umur
Nadi dalam batas normal sesuai umur
1. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien
secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang
dialami,menangis wajah meringis
Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili penurunan rasa nyeri yang
dialami
Klien tidak menangis lagi
Wajah klien tampak ceria

1. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran,


kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri.
Dapat mengurangi risiko cidera pada pasien
Kriteria pengkajian fokus makna klinis
1. i.
2. ii.
4.

Riwayat kejang
Tingkatan kejangnya

Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi

Pengetahuan keluarga meningkat


Keluarga mengerti dengan proses penyakit epilepsi
Keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien.
http://rastirainia.wordpress.com/2010/02/08/laporan-asuhan-keperawatan-anak-denganepilepsi/
05.43 19-2-12
AAAAAA

Archive for the keperawatan gawat darurat Category


MULTIPEL TRAUMA
Saturday, January 8th, 2011

PENDAHULUAN
Dengan semakin pesatnya kemajuan lalu lintas di Indonesia, baik dari segi jumlah,
pemakai jalan, jumlah pemakai jalan jasa angkutan dan bertambahnya jaringan jalan serta
kecepatan kendaraan akan meningkatkan angka kejadian trauma.
Kecelakaan lalu lintas sering mengakibatkan trauma dan kita harus waspada
kemungkinan multiple trauma yang akan mengakibatkan multiple fraktur dan trauma
organ lain seperti kepala, thoraks,organ indra dan pembuluh darah besar.
Kecelakan dapat terjadi tanpa diketahui oleh seseorang kapan ada dan dimana berada.
Pada kasus dengan cidera berat, sering menimbulkan kematian dan kecacatan, baik akibat
pertolongan yang kurang cepat atau kurang benar. Penderita cedera berat harus
mendapatkan pertolongan yang secara cepat dan benar, secepatnya dibawa kerumah sakit
yang mempunyai prasarana dan pasilitas yang memadai.
Sekitar 80% dari penderita trauma mengenai sistem muskulo skeletal. 50% pasein gawat
darurat meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit dan di rumah sakit.

Pada pasien trauma:


v
50% meninggal pada saat kejadian atau beberapa menit setelah kejadian kerna
distruksi otak dan CNS,jantung aorta dan pembuluh besar lainnya
v 35% meninggal 1-2 jam setelah trauma (the golden hour). Data kematian disebabkan
karena:

trauma kepla berat (hemtoma subdural dan epidural)

trauma toraks (hematoma toraks danpeneumotoraks)

trauma abdomen (ruptur limpha dan laserasi hati )

fraktur femur dan pelvis karena pendarahan masif

trauma multiple dan pendarahan.

v Pencegahan kematian dilakukan pada 1-2 jam dini, dimana harus tidak agresif.
Angka kematian trauma di tentukan pada fase ini, 15% meninggal akibat:

mati otak

gagal organ

sepsis

Jadi pada umumnya suvival pasien ditentukan oleh:

Siapa yang pertama kali menolong pasien

Kuaalitas ambulans dan personal ambulans

Pasien dibawa ke IGD yang mampu menanggulangi beratnya kasus yang


bersangkutan
Kalau IGD bersangkutan tidak mampu, maka stabilitas yang cepat dan segera dirujuk
ke RS dengan fasilitas IGD yang lebih canggih akan dapat menyelamatkan nyawa pasien.
PRINSIP PENANGGULANGAN
Penanggulangan pasien trauma harus di lihat bahwa:

Tergantungnya jalan nafas dapat menyebabkan kematian lebih cepat dari pada
ketidak mampuan bernafas.

Ketidak mampuan bernafas dapat menyebabkan kematian lebih cepat dari pada
kehilangan darah
Pendarahan intrakranial adalah keadaan letal yang berikutnya.

Seorang dokter yang menangani kasus trauma harus:

Mengerti prinsip dan mampu melakukan primary survey dan secondary


survey.
Mampu melakukan resusitasi dan terapi difinitif yang perlu dalam 1-2 jam
pertama setelah trauma.
Mampu mengidentifikasi pasien, mana harus dirujuk dan melakukan rujukan.
Mengenal dan mampu bekerja sesuai protokol bencana pada keadan bencana
Selain itu harus mengerti dan mampu melakukan intubasi oro dan nasotrakheal
pada orang dewasa maupaun anak kecil/bayi.
Mampu menentukan dan melakukan cricotiorodotomi
Memberikan infus cairan intra vena yang adekuat.
Memasang infus dan CVP dan memonitornya
venous Cutdwon
memasang infasi,deflasi (mengempiskan) dan melepas MAST.
Mampu torakosentesis dan memasang WSD serta memonotor / evaluasinya.
Mampu perikordienesis .
Mampu laase peritoneal.
Mampu mengidentifikasi eidera vertebra sevikal pada pemeriksaan maupun X-ray
Mampu imobilisasi vertebra servikal dan torako lumbal dan imobilisasi tungkai.

Karena penanggulangan pasien trauma sangat tergantung kepada waktu kecepatan


bekerja, maka harus dapat bekerja sesuai urutan tindakan yang berlaku, yaitu :

Kesiap-siagaan

Triage

Primary survey

Resusitasi

Secondary survey dari kepala sampai ujung kaki

Memonitor dan evaluasi yang berkelanjutan.

KESIAP-SIAGAAN:
Pada fase ini dibagi menjadi pra rumah sakit dan fase rumah sakit

Fase pra rumah sakit(R.S)

Koordinatir antara ambulans 119 dengan rumah sakit dapat memperbaiki kualitas
penanggulangan pasien gawat darurat. Idealnya ambulans 119 dapat memberi tahu R.S
yang dituju mengenai triage dan biomekanik kecelakaan pasien sebelum meninggalkan
tempat kejadian atau waktu perjalanan. Tindakan awak ambulans hanya imobilisasi dan
transportasi pasien ke IGD yang sesuai dengan triange pasien, yaitu IGD level 1, 2 dan
level 3.

Fase rumah sakit

Desain ruangan dan penyediaan alat atau obat harus di persiapkan untuk menanggulangi
pasien gawat darurat terkait secara efesien.
TRIAGE
Triage adalah seleksi klien sesuai dengan kebutuhan terapi. Terapi yang dilakukan sesuai
dengan prioritas A, B, C (A airway dengan kontrol vertebra sevikal, B breathing dan C
circulation dengan kontrol pendarahan)
Triage dapat di lakukan dengan di rumah sakit maupun dilapangan supaya tidak
melakukan kesalahan adalah memilih rumah sakit yang dituju ,dua tipe trage yaitu;
Bila jumlah klien tidak melebihi kapasitas rumah sakit/fasilitas kesehatan. Dalam
keadaan ini pasien dengan keadaan paling gawat atau cedera multiple didahulukan
menanggulanginya (selection of problem)
Bila jumlah pasien melebihi kapasitas rumah sakit/fasilitas kesehatan dalam keadaan
ini klien yang mempunyai kemungkinan hidup didahulukan penanggulangannya, disini
dilakukan adalah selection of pasients
PRIMARY SURVEY
Disini dilakukan identifikasi keadaan yang membahayakan klien dan segera
ditanggulangi.

Airway

Menjamin kelancaran jalan nafas dan kontrol vertebrae servikalis. Jalan nafas
dipertahankan dengan melakukan chin lift atau jaw thrust dapat juga dengan
memasang guedel pada klien dengan multiple trauma dan trauma tumpul di atas
klavikula kita harus mengagap dan memperlakukan seakan ada fraktur dari vertebra
servikalis dengan memasang neck collar sampai dibuktikan negatif. Hasil pemeriksaan
neurologi yang negatif tidak menyingkirkan ada cedera servikal. Karena itu sebaiknya
dibuat X-ray crosstable lateral cervical spino atau swimmer view dan menilai ketujuh
vetebra servikal.
Yang sering dilupakan atau tidak disadari:

adanya benda asing pada jalan nafas

adanya fraktur mandibula atau maksilofasial

adanya disrupsi fraktur trakheal atau laringeal

cedera vetebra servical

Breathing dan Ventilasi

Sebaiknya thoraks harus dapat dilihat semuanya untuk melihat ventilasi. Jalan nafas yang
bebas tidak menjamin ventilasi yang cukup, pertukaran udara yang cukup diperlukan
untuk oksigenisasi yang cukup. Bila ada gangguan instabilitas kardiovaskuler, respirasi
atau kelainan neurologis. Maka kita harus melakukan ventilasi dengan alat bag valve
yang disambungkan pada masker atau pipa endrokeal. Oksigenisasi atau ventilasi yang
cukup pada klien trauma termasuk memberikan volume dan konsentrasi oksigen (12 liter
per menit) yang cukup.
Ventilasi akan terganggu terutama pada tiga keadaan :

tension peneummothoraks

open peneumothoraks

flail chest dengan kontusi paru

pernafasaan yang melebihi 20 kali / menit menandakan gangguan respirasi.

Circulation

Salah satu penyebab kematian di rumah sakit adalah pendarahan yang segera tidak
diatasi, ditandai dengan hipotensi yaitu:

kesadaran menurun

warna kulit pucat,kelabu menandakan kehilangan darah lebih dari 30%

nadi cepat dan lemah,ireguler merupakan pertanda hipovolume

Pendarahan bagian luar diatasi dengan balit tekan, jangan peke torniket karena akan
mengakibatkan metabolisme anaerobe.sedangkan pada pendarahan tungkai atau
abdomend diatasi dengan memakai MAST.
Masalah yang sering dilupakan atau tidak disadari:

cedera intra abdoment dan intratoraks

fraktur femur atau pelvis

luka tusuk yang mengenai arteri-vena

pendarahan eksternal

Disability

Pada akhir primary survey dilakukan pemeriksaan neurologis untuk menentukan:

kesadaran

pupil

reaksi reflek

Kesadaran ditentukan dengan metode AVPU:

A-Alert

V-bereaksi pada vokal stimuli

P-bereaksi pada pain stimuli

U-unresponsive

Glascow Coma Scale (GCS) dilakukan pada primary survey atau seconder survey.
Perubahan pada neurologis atau kesadaran klien menunjukkan kelainan intrakranial,
dengan demikian kita harus menilai ulang :

Oksigenisasi

Ventilasi

Perfusi

Kehilangan kesadaran dapat disebabkan oleh A-I-U-E-O

A-alkohol

I-injury atau infeksi

U-uremia

E- epilepsi

O- opium atau other drag

Dapat juga dont forget them

D diabetes

F fever

T trauma

Masalah yang sering muncul tapi terlupakan oleh kita adalah :

Menurunnya oksigenesasi

Syok

Trauma kepala

Terganggunya kesadaran karena alkohol atau obat lain

Eksposure

Klien harus ditelanjangi untuk pemeriksaan lebih lengkap dan harus diselimuti untuk
menghindari hipotermi.
RESUSITASI
Airway pada setiap pasien harus dilihat dan amankan terutama pada pasien yang
ventilasinya tidak cukup. Ini dapat dilakukan dengan:

chin lift

jaw thrust

naso/oropharyngeneal airway

intubasi naso/oropharyngeal sebagai tindakan definitif dengan memperhatikan


vertebra servikal. Bila ini tidak dapat dilakukan maka dibuat surgical airway
(cricothiroidotomy/trakheostomy)

Breathing/ventilasi/ oksigenasi

Tension pneuthoraks dapat menggangu ventilasi dan harus segera dilakukan dekompresi
dan semua pasien trauma harus mendapat suplement oksigen.

Syok

dalam penanggulangan syok karena trauma ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan:

Minimum diperlukan 2 buah slang infus dengan jarum no.16 atau lebih besar.

Kecepatan cairan yang masuk ditentukan oleh diameter lubang jarum dan
panjangnya selang bukan oleh besarnya vena.
Infus dimulai pada vena perifer tungkai atas kalau semua gagal dapat dipasang
venaseksi pada kaki dengan memotong selang infus yang langsung dimasukan kedalam
vena. Dapat juga dipasangpada vena central seperti CVP sesuai dengan kemampuan
dokter yang bersangkutan.

Pada waktu memsang infus harus sekalian diambil darah untuk pemeriksaan
golongan darah cross match dan pemeriksaan darah dasar.

Infus dimulai dengan NaCl atau coloid.

Keadaan syok pada trauma pada umumnya disebabkan karena hipovolemi.

Kalau setelah diberikan 2-3 lt.NaCl,/ koloid, masih syok maka sebaiknya diberikan
darah.sebaiknya jangan diberikan lama karna sudah tidak ada trombosit / faktor-faktor
pembekuan darahnya.kalau tidak ada yang cocok bisa diberikan darah golongan O.

Syok hipovolemi tidak dapat diatasi dengan vasopresor, steriod NaCl, bikarbonat.

Hipotermi dapat terjadi bila kita memberikan infus/ tranfusi cepat tanpa di panaskan

Kalau ada MAST dapat digunakan pada penanggulangan syok .dan MAST
dilepaskan setelah dicapai tekanan darah yang diharapkan tercapai.

Monitor dengan ECG harus dilakukan pada pasien dengan trauma dan diperhatikan:

disritmia, termasuk taekardia yang tidak dapat dijelaskan,atrialvibrilasi,kontrasi


ventrikel yang prematur dan perubahan segment ST menunjukan adanya kontusi jantung.
Hipotermi dapat juga menyebabkan terjadinya distrimia
disosiasi elektromekanik (EMD) menunjukan kemungkinan adanya tamponade
jantungtension peneumothhoraks/ hipovelemi lanjut.
Bila ada brakiardi,kondusi aberand dan nadi prematur dicurigai adanya hipoksia dan
prefusi jaringan yang rendah.

Kateter urine

Adanya produksi urine merupakan indikator penting tentang volume cairan tubuh.
Resisutasi dianggap berhasil jika mulai terdapat produksi urine bila terdapat :

darah pada meatus

hematom pada skrotum

prostat tidak teraba / letak tinggi

maka kateter tidak dipasang sebelum dilakukan uretrogram.

Sonde lambung

Sonde lambung dapat menghindari terjadinya distensi lambung dan aspirasi paru. Pada
trauma tumpul kepala, terutama bila ada darah tidak beku pada mulut, hidung atau
telinga, pemasangan sonde lambung dapat masuk ke dalam tengkorak (fraktur cribrifron
plate) Dalam keadan demikian sebelum dipasang sonde lambung sebaiknya dilakukan
test halo (ekimosi periobital) atau doble ring (cairan tersebut ditempatkan pada kertas
filter, bila ini cairan cerebrospinal maka akan terbentuk dua lingkaran)

Monitor

Hasil resusitasi dapat dinilai dengan memperhatikan nilai perbaikan kualitatif dari
parameter fisiologis seperti pernafasan (ventilasi), nilai tekanan darah, tekanan nadi, gas
darah, arteri dan produksi urine.
Jumlah ventilasi dan gas darah arteri dapat dipakai untuk memonitor jalan nafas dan
pernafasan.
end tidal carbon dioksida dapat dipakai untuk menilai kalau ETT terlepas waktu
memindahkan atau transportasi pasien.
pulse oxymetery sangat penting untuk memonitor pasien dengan trauma pulse
oxymeter dapat mengukur saturasi oksigen dari hemaglobin tetapi tidak memberi nilai
PaO2 oksigenasi yang cukup menunjukan adanya jalan nafas. Pernafasan dan sirkulasi
yang baik.
Tekanan darah dapat diukur, tetapi harus diingat bahwa ini tidak menunjukan adanya
perfusi yang baik.

Rujukan

Perlu di ingat bahwa pada primary survey kelainan pada jalan nafas, pernafasan dan
sirkulasi harus segera ditanggulangi tanpa menunggu selesainya primary survey setelah
primary survey kita mendapat cukup imformasi untuk menentukan apakah pasien perlu
dirujuk atau tidak. Proses rujuk dilakukan oleh personalia dari administrasi dan dokter
yang akan menerima pasien harus diberi tahu mengenai keadaan, kedatangan dan cara
evakuasi (darat, laut atau udara)

X-ray

Pembuatan X-ray tidak boleh menghambat resusitasi. 3 macam X-ray yang boleh
dilakukan:

Lateral dari vetebra spinalis

AP thoraks

AP pelvis

Ketika X-ray tersebut harus dilakukan druang resusitasi dengan alat X-ray protabel. Pada
fase Primary survey dapat dilakukan X-ray dari open mouth odontoid dan AP
thorakolumbal jika di curigai
SECONDARY SURVEY
Secondary survey tidak dimulai bila primery survey belum selesai. Resusitasi sudah
dilakukan dari evaluasi ABC direvaluasi. Yang dilakukan dalam secondary survey adalah
anamnese yang lengkap termasuk biomekanik kecelakaan dan pemeriksaan fisik dari
kepala sampai ke ujung kaki.
Trauma tumpul
Penyebab terbanyak dari trauma tumpul adalah kecelakaan lalu lintas. Disini kita
mendapat memprediksikan cedera yang dierita korban KLL.
Pada saat terbanyak terjadi kecelakaan dari depan maka pada:
Fase 1 : pengemudi bergeser ditempat duduknya dan lutut mengenai dasbord dan
dapat terjadi fraktur patela, femur dan dislokasi sendi panggul
Fase II : pengemudi dilempar ke atas depan dan kepala/dahi mengenai frame kaca
dan dapat terjadi fraktur frontalis/cedera kepala dan vetebra sevikalis.
Fase III : pengemudi dilempar ke depan dan thoraks mengenai stir dan dapat terjadi
fraktum sternum, iga traumatic wat lung pneumotoraks atau hematotoraks.
Fase IV : pengemudi dilempar ke depan dan muka mengenai kaca dan dapat terjadi
segala macam cedera

Fase V : pengemudi dilempar lagi ke belakang dan leher mengenai sandaran


kursi.bila tidak ada head rest maka akan terjadi hiperektensi sevikal lagi dan dapat
terjadi fraktur.

Hal yang sama dapat terjadi pada penumpang disamping pengemudi (tanpa trauma
thoraks )
Pada penumpang di belakang pengemudi dapat terjadi proses yang sama terutama
disini dapat terjadi fraktur servikal karena kepala kena sandaran kursi depan dan terjadi
hiperektensi servikal

Pada tabrakan disamping dapat terjadi:

contralateral neck strain


flail chest lateral
pneumothoraks
ruptur hati / limpa
fraktur pelvis /asetabulum

Tabrakan dari belakang dapat menyebabkan fraktur vetebra servikal karena


hiperektensi jika kursi tidak ada head restnya

Kalau penumpang terlempar dari kendaraan akan terjadi cedera multiple

Pada pejalan kaki, pengendara sepeda motor, bila ditabrak mobil, bemper akan
mengenai kaki dan dilempar ke atas mengenai frame kaca/ke samping dan dan dapat
menderita:
cedera kepala
fraktur vertebra servikal
cedera thorakal / abdominal
fraktur tungkai bawah
Khusus pada pengendara sepeda/sepedamotor dapat menderita Hendel Bar Injury,
(jejak setang pada abdomen) dimana setang menjepit usus kiri vertebra
Trauma tembus
Dua faktor menentukan tipe cedera dan penanggulangannya :

daerah badan yang terkena

transfer of energy

Pada luka tusuk, wanita mempunyai kebiasaan ke atas karena kebiasaan cara mengepal.
Pada luka tembak perlu diperhatikan:

jarak tembak

perubahan kecepatan peluru dalm tubuh

berputar peluru

fragmentasi dan deformasi peluru

kecepatan / pelositas peluru

jenis jaringan (padat atau berongga)

Luka bakar
Pada luka bakar perlu diperhatikan

cedera termal

inhalasi asap

cedera panas pada paru-paru

inhalasi CO

pengaruh zat kimia

trauma tumpul dan fraktur seperti pada blast injury, lari dari api dan kejatuhan
benda keras dari tembok.
Hipotermi
Kehilangan panas badan dapat terjadi pada temperatur sedang seperti 15-20oC, jika
korban memakai pakaian yang basah, kurang bergerak dan vasodilatasi karena alkohol
atau ganja.
Zat berbahaya
Zat kimia, toksin dan radiasi dapat menyebabkan kelainan pada kulit, jantung, paru-paru
dan organ internal, keadaan ini berbahya bukan hanya untuk korban tetapi juga untuk
penolong. Karena dokter/UGD harus mempunyai protokolnya atau dapat menghubungi
pusat keracunan di RS

PEMERISAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik kita mencari cedera yang kita duga terjadi sesui dengan
biomekanik.
Kepala
Selain cedera sesuai dengan biomekanik pada pemeriksaan kepala harus diperhatikan
mata :

Besar pupil

Pendarahan dalam pundus

Dislokasi lensa

Pendarahan pada konjungtiva

Luka tembus

Benda asing

Lensa kontak (lepaskan sebelum terjadi cedera)

Periksa visual dengan membaca snelling chart atau tulisan pada botol infus

Yang sering dilupakan pada pemeriksaan kepala :

Hyfema

Cedera n. optikus

Dislokasi lensa atau luka tembus mata

Cedera kepala

Laserasi bagian kepala belakang

Maksilofasial
Cidera maksilofasial yang tidak ada gangguan pernafasan, ditanggulangi setelah pasien
stabil. Dan penanggulangan dapat dilakukan pada hari ke 7 atau 10.
Yang sering dilupakan pada pemeriksaan maksilafasial :

impending gangguan jalan nafas

perubahan jalan nafas

cedera vertebra servikal

pendarahan ( exsanguinating) fraktur midface

laserasi duktus lakrimalis

cedera n. fasialis

Leher
Tiga hal yang penting yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan leher:
Semua pasien dengan trauma tumpul yang menyebabkan cedera pada maksilo fasial
harus dianggap menderita fraktur vertebra servikal dan diperlukan demikian. Tidak ada
kelainan neurologis dan nyeri tidak menyingkirkan kemukinan adanya cedera vertebra
servikal.
Semua pasien kecelakaan yang memakai topi pengaman/Helm posisi kepala dan
leher harus dipegang dari bawah dalam posisi netral waktu melepas topi pengaman
nya.setelah lepas kepala tetap dipertahankan posisinya dengan memegang dari atas
Setiap luka tusuk yang menembus platisma harus dilakukan exsplorasi di kamar
operasi dan pemeriksaan oprasi termasuk arteriografi, bronkhoskopi, esophaguskopi, dan
esophagografi
Yang sering dilupakan pada pemeriksaan leher:

Cedera vertebra servikalis

Cedera esofagus

Cedera trhkeo-laringeal

Cedera arteri carotis

Thoraks
Cedera pada dinding toraks seperti:

sucking chest injury

flail chest

fraktur iga

kontusi dan hematoma dingding toraks

dapat diketahui dekan inspeksi dan palpasi. Cedera pada paru-paru seperti:

pneumothoraks

hemathotoraks

dapat diketahi dengan perkusi dan auskultasi. Bunyi nafas yang lemah sudah merupakan
indikasi yang cukup untuk melakukan punksi pleura pada pneumthoraks tamponade
jantung dapat diketahui sengan adanya :

denyut jantung terdengar jauh

vena di leher melebar.tetapi seing tidak ada melebar bila terjadi hipovelemi

narrow pulse pressure merupakan tanda tamponade jantung yang pasti

Yang sering dilupakan pada pemeriksaan thoraks

tension pneumtoraks

luka toraks terbuka

flall chest

tamponade jantung

ruptua aorta

Abdomen
Setiap cedera abdomen harus ditanggulangi dengan agresiv karena merupakan cedera
yang berbahaya. Pada pemeriksaan fisik abdomen, hasil dapat berbeda beberapa jam
kemudian.karna itu kalau kita tidak mendapatkan hasil yang positif,harus dilakukan
observasi.
Setiap trauma tumpul abdomen dengan tanda tanda yang tidak jelas dan kesadaran yang
menurun karena alkohol,ganja trauma kepala,dan trauma toraks,fraktur pelvis merupakan
indikasi untuk melakukan lavase peritoneal karenapemeriksaan akan sukar dilakukan
Yang sering dilupakan pada pemeriksaan fisik abdomen:

Ruptur hati / limpa

Organ berongga dan vertebra lumbalis

Cedera pankreas

Cedera pembuluh darah besar

Cedera ginjal

Fraktur ginjal

Perineum, rektal, vaginum


Pada perineum dapat terjadi kontusio, hematoma, laserasi dan pendarahan uretra. Colok
dubur merupakan pemeriksaan yang penting untuk menilai :

Darah dalam usus

Letak prostat yang tinggi

Fraktur pelvis

Integritas dinding rektum

Tonus sfinkter

Pada wanita pemeriksaan colok vagina dapat memberikan informasi danya darah dalam
vagina dan laserasi vagina.
Yang sering dilupakan pada pemeriksaan:

cedera uretra

cedera rektum

cedera buli-buli

cedera vagina

Muskulo skeletal
Pemeriksaan pada tungkai dilakukan dengan:

Insfeksi untuk melihat kontusi dan deformitas

Palpasi dengan rotasi atau three point pressure untuk menyertai nyeri, krepitasi
dengan gerakan abnormal

Tahanan antero-posterior dengan telapak tangan pada kedua aterior superior lliaca
spines dan simfisis pubis untuk menilai fraktur pubis
Pasien harus di log rollll 98untuk menilai punggung dan meraba vertebra torakalis
dan lumbalis

Neuro vaskuler distal pada kedua sisi dinilai ada kelainan

Yang sering terlupakan pada pemeriksaan muskuloskeletal :

fraktur vertebra

fraktur dengan gangguan vaskuler

fraktur pelvis

fraktur jari-jari

Neurologis
Pada trauma harus dilakukan penilai mengenai motorik, sensorik, kesadaran dan pupil.
Ini dapat dilakukan secara objektif dengan glascow coma scale setiap tanda-tanda
paresis/paralisis menunjukan adanya cedera pada vertebra dan harus segera difiksasi
dengan short/long board atau semi rigid cervikal collar pendarahan exstra dural
maupun subdural, depresi tengkorak dan cedera intrakranial lainnya harus
dikonsultasikan dengan ahli bedah saraf, perubahan keadaan intrakranial berhubungan
neurologis dapat merubah prioritas penanggulangan oksigenasi dan perfusi otak harus
dinilai ulang. Dan bila tidak ada perubahan maka merupakan indikasi untuk tindakan
bedah atau evakuasi.
Yang sering dilupakan pada pemeriksaan neurologis:

Tekanan intrakranial yang sangat meninggi

Hematom subdural dan exstradural

Depresi tengkorak

Cedera vetebra

REEVALUSI PASIEN
Pada pasien trauma harus direevaluasiterus menerus sehingga tidak ada simptom baru
yang terlewatkan. Penanggulangan rasa sakit merupakan bagian dari penanggulangan
trauma tetapi pemakaian opiat akan mengkaburkan tanda-tanda kelainan neurologis dan
dapat mengakibatkan gangguan pernafasan. Karena itu pemakaiannya harus hati-hati

monitor kesadaran dan produksi urine (0,5-1 cc/kg BB/jam pada orang dewasa dan 1cc
/kg BB/ jam pada anak-anak) adalah yang terpenting, selain tanda-tanda vital lainnya,
karena menunjukkan perfusi jaringan.
PENANGGULANGAN DEFINITIF
Penanggulangan selanjutnya dipakai konsep total care sehingga semua masalah dapat
diprediksi dan ditanggulangi sebelum terjadi.
KESIMPULAN
Pada penanggulangan pasien pada trauma harus diingat urutan kegiatan / tindakan:
KESIAPSIAGAAN
TRIAGE
PRIMARY SURVEY
1.
2.
3.
4.
5.

Airway dan kontrol vertebra sevinalis


breathing
circulation dan kontrol pendarahan
diasbility evaluasi neurologis
Exsposure / endvironment pasien di telanjangi

RESUSITASI

oksigenasi dan ventilasi

penanggulangan syok, infus dan penggantian volume

penangulangan masalah yang mengancam nyawa dilanjutkan (diidentifikasi pada


primary survey)

monitor

gas darah artei dan ventilasi


end tidal CO2
ECG
pulse oxymetry
tekanan darah

SECONDARY SURVEY

Kepala dan tengkorak

Cedera maksilofasial

Leher

Toraks

Abdomen

Perineum /rektum / vagina

Muskuloskeletal / punggung

Neurologi

X-ray, laboratorium, dll

fingers and tubes in Every Office

Reevaluasi
Penanggulangan difinitif dengan konsep total cidera atau evakuasi
http://septian.journalspace.com/keperawatan/keperawatan-gawat-darurat/
05.53 19-2-12
AAAAA

epilepsi
MAKALAH
Asuhan Keperawatan pada Pasien Epilepsi
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah sistem neurobehaviour

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Sistem Neurobehaviour. Dalam makalah
ini kami membahas tentang Asuhan Keperawatan Pada Pasien Epilepsi dan Status

Epileptikus.
Dalam menyusun makalah ini penulis banyak mendapat bimbingan serta motivasi dari
beberapa pihak, oleh karenanya kami mengucapkan Alhamdulillah dan terima kasih
kepada:
1. Bapak Budi Utomo,Amd,Kep,M,Kes, selaku ketua Stikes Muhammadiyah
Lamongan.
2. Ibu Ilkafah,M.Kep. sebagai dosen pembimbing.
3. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis membuka diri untuk
menerima berbagai masukan dan kritikan dari semua pihak.Penulis berharap semoga
makalah ini bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca khususnya.

Lamongan, Desember 2011


Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
i
KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1
1.2. Rumusan Masalah
1
1.3. Tujuan Penulisan
2
1.4. Metode Penulisan
2
1.5. Sistematika Penulisan
2
BAB II PEMBAHASAN TEORI
2.1. Definisi Epilepsi
3
2.2. Etiologi
3
2.3. Klasifikasi Epilepsi 4
2.4. Patofisiologi 7
2.5. Pathway Epilepsi dan Status Epileptikus 9
2.6. Manifestasi Klinis 10
2.7. Pencegahandan pengobatan Epilepsi 10
2.8. Status Epileptikus 11
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Pengkajian 13
3.2. Analisa Data 14
3.3. Diagnosa Keperawatan 15
3.4. Rencana Keperawatan 15
BAB IVPENUTUP

4.1. Kesimpulan
4.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Epilepsi merupakan suatu gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang
dikarakteristikkan oleh kejang berulang, hal ini dapat terjadi pada setiap umur angka
kejadiannya juga mengalami peningkatan Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang
epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang diantaranya adalah
epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang. Laporan WHO (2001)
memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif diantara
1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka
prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang. Hasil
penelitian Shackleton dkk (1999) menunjukkan bahwa angka insidensi kematian di
kalangan penyandang epilepsi adalah 6,8 per 1000 orang. Sementara hasil penelitian
Silanpaa dkk (1998) adalah sebesar 6,23 per 1000 penyandang. Dari data diatas penting
bagi perawat dalam mempelajari apa definisi dari epilepsi , penyebab serta klasifikasi,
manifestasi klinis dari epilepsi , status epileptikus dan bagaimana cara pencegahan dan
pengobatan dari epilepsi, begitu juga untuk memberikan asuhan keperawatan yang baik
bagi pasien yang mengalami epilepsi, sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan
yang baik dan dapat memberikan yang terbaik bagi pasien epilepsi, oleh karena itu untuk
bab selanjutnya akan dijelaskan lebih detail tentang teori epilepsi , status epileptikus dan
serta bagaimana memberikan asuhan keperawatan yang baik pada pasien yang
mengalami epilepsi.
1.2. Rumusan masalah
1.2.1. Apa definisi dari epilepsi ?
1.2.2. Apa etiologi dari epilepsi ?
1.2.3. Apa klasifikasi dari epilepsi ?
1.2.4. Apa patofisiologi dari epilepsi ?
1.2.5. Bagaimana pathway dari epilepsi ?
1.2.6. Apa saja manifestasi klinis dari epilepsi ?
1.2.7. Bagaimana pencegahan dan pengobatan dari epilepsi ?
1.2.8. Apa yang dimaksud status epileptikus ?
1.2.9. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien epilepsi ?
1.3. Tujuan penulisan
1.3.1. Untuk mengetahui definisi dari epilepsi
1.3.2. Untuk mengetahui etiologi dari epilepsi
1.3.3. Untuk mengetahui klasifikasi dari epilepsi
1.3.4. Untuk mengetahui patofisiologi dari epilepsi
1.3.5. Untuk mengetahui pathway dari epilepsi
1.3.6. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari epilepsi
1.3.7. Untuk mengetahui pencegahan dan pengobatan dari epilepsi

1.3.8.
1.3.9.

Untuk mengetahui status epileptikus


Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien epilepsi

1.4. Metode penulisan


Makalah ini disusun dengan melakukan studi pustaka dari berbagai referensi melalui
buku referensi dan internet.
1.5. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dari makalah ini adalah Bab 1 Pendahuluan, terdiri dari : latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika
penulisan. Bab 2 Pembahasan teori , dan Bab 3 asuhan Keperawatan dan Bab 4 penutup.

BAB II
PEMBAHASAN TEORI
2.1. Definisi Epilepsi
Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang
dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan
listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan
tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena
sensori.
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karakteristik kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang
dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal
sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi.
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri
timbulnya serangan paroksimal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron
otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.
2.2. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui , tetapi faktor
predisposisi diantaranya :
a. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu
menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum
alcohol, atau mengalami cidera.
b. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke
otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
c. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak
d. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anak-

anak.
e. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak
f. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak
g. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (fku), sclerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
h. Kecendrungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena
ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak
2.3. Klasifikasi Epilepsi
2.3.1. Berdasarkan penyebabnya
a. Epilepsi idiopatik : bila tidak di ketahui penyebabnya
b. Epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya
2.3.2. Berdasarkan letak focus epilepsi atau tipe bangkitan
A. Epilepsi partial (lokal, fokal)
1) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal
dengan gejala motorik yakni :
a. Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja
b. Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar
meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
c. Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh.
d. Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
e. Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau pasien
mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu.Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial
(epilepsi disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan
yang disertai vertigo).
f. Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
g. Visual : terlihat cahaya
h. Auditoris : terdengar sesuatu
i. Olfaktoris : terhidu sesuatu
j. Gustatoris : terkecap sesuatu
k. Disertai vertigo
l. Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian
kalimat.
m. Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,
mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di
masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
n. Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
o. Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
p. Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
q. Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu
fenomena tertentu, dll.
2) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik
kemudian baru menurun.
a. Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4
diikuti dengan menurunnya kesadaran.
b. Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan

sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti
ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu,
dll.
- Hanya dengan penurunan kesadaran
- Dengan automatisme
3) Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik,
klonik).
a. Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
b. Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
c. Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang
menjadi bangkitan umum.
B. Epilepsi umum
1. Petit mal/ Lena (absence)
a. Lena khas (tipical absence).
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong,
bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya epilepsi ini
berlangsung selama menit dan biasanya dijumpai pada anak .
Gejalanya :
- Hanya penurunan kesadaran
- Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada
kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
- Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan,
tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
- Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau
punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan
dapat mengetul atau mengedang.
- Dengan automatisme
- Dengan komponen autonom.
b. Lena tak khas (atipical absence)
- Gangguan tonus yang lebih jelas.
- Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
2. Grand Mal
a. Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah
sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat
dijumpai pada semua umur.
b. Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal
multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
c. Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah
dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi
pada anak.
d. Tonik- klonik

Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand
mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu
epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku
berlangsung kira-kira menit diikuti kejang kejang seluruh tubuh. Bangkitan ini
biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila
pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan
napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti
pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah,
atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
e. Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh.
Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama sekali dijumpai
pada anak.
C.
Epilepsi tak tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik,
mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak
berhenti sederhana.

2.4. Patofisiologi
Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan
fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan
dendrit ke neuron-neuron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh
belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada
keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan
menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat
merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan
menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat
manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel
lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke
intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke
dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah
keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter
inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang
atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas
kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak
tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik,
sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.

2.5. Pathway Epilepsi dan Status Epileptikus

2.6. Manifestasi klinis


a) Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan
penginderaan
b) Kelainan gambaran EEG
c) Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen.
d) Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura dapat
berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak, mendengar
suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)
e) Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
f) Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
g) Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus
atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak normal
seperti pada keadaan normal
h) Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang
individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat
i) Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara
tiba- tiba.
j) Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendangmenendang

k) Gigi geliginya terkancing


l) Hitam bola matanya berputar- putar
m) Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil
2.7. Pencegahan dan pengobatan Epilepsi
2.7.1. Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk
pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat
antikonvulsi (konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu
banyak, disebabkan oleh proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula
kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang
memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya
dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala.
Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar
melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan
dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan
kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan. Program skrining
untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan
kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan
memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.
2.7.2. Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat
antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan.
Pada epilepsi umum sekunder, obat-obat yang menjadi lini pertama pengobatan adalah
karbamazepin dan fenitoin. Gabapentin, lamotrigine, fenobarbital, primidone, tiagabine,
topiramate, dan asam valproat digunakan sebagai pengobatan kedua.
2.8. Status Epileptikus
a. Definisi
Adalah serangan kejang kontinu dan berlangsung lebih dari 30 menit atau serangkaian
serangan epilepsi yang menyebabkan anak yang tidak sadar kembali.
b. Penatalaksanaan gawat darurat
1. Terapi awal diarahkan untuk menunjang dan mempertahankan fungsi-fungsi vital,
meliputi mempertahankan fungsi-fungsi vital, meliputi mempertahankan jalan napas yang
adekuat, pemberian oksigen, dan terapi hidrasi, serta dilanjutkan dengan pemberian
diazepam (Valium) atau fenobarbitol per IV. Diazepam per rektum merupakan preparat
yang sederhana, efektif, dan aman, untuk penatalaksanaan epilepsi sebelum masuk rumah
sakit. Lorazepam (Ativan) dapat menggantikan diazepam IV sebagai obat pilihan.
Preparat ini memiliki masa kerja yang lebih panjang dan lebih sedikit menyebabkan
gawat napas pada anak-anak di atas usia 2 tahun. Merupakan keadaan kedaruratan medis
yang memerlukan intervensi segera untuk mencegah cedera permanen pada otak, gagal
napas, dan kematian.
2. Kejang tonik-klonik
- Selama kejang :
Waktu episode kejang
a. lakukan pendekatan dengan tenang

b. jika anak berada dalam posisi berdiri atau duduk, baringkan anak
c. letakkan bantal atau lipatan selimut di bawah kepala anak. Jika tidak tersedia kepala
anak bisa disangga oleh kedua tangannya sendiri.
d. Longgarkan pakaian yang ketat
e. Lepaskan kacamata
f. Singkirkan benda-benda keras atau berbahaya
g. Biarkan serangan kejang berakhir tanpa gangguan
h. Jika anak muntah miringkan tubuh anak sebagai satu kesatuan ke salah satu sisi
- Setelah kejang :
a. Hitung lamanya periode postiktal (pasca kejang)
b. Periksa pernapasan anak. Periksa posisi kepala dan lidah.
c. Reposisikan jika kepala anak hiperekstensi. Jika anak tidak bernapas, lakukan
pernapasan buatan dan hubungi pelayanan medis darurat.
d. Periksa sekitar mulut anak untuk menemukan gejala luka bakar/kimia atau
kecurigaan zat yang mengindikasikan keracunan
e. Pertahankan posisi tubuh anak berbaring miring
f. Tetap dampingi anak sampai pulih sepenuhnya
g. Jangan memberi makanan atau minuman sampai anak benar-benar sadar dan refleks
menelan pulih
h. Hubungi pelayanan kedaruratan medis jika diperlukan
i. Kaji faktor-faktor pemicu awitan kejang (kolaborasi).

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Pengkajian
3.1.1. Identitas pasien : Nama, umur, alamat, pekerjaan dan penanggung jawabnya.
Umur : bisa menyerang segala umur .
Pekerjaan : seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress dapat
memicu terjadinya epilepsi.
3.1.2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Kejang
b. Riwayat kesehatan sekarang
Keluarga pasien mengatakan pasien tiba-tiba tidak sadarkan diri kemudian kejang-kejang
disertai mulut berbuih.
c. Riwayat kesehatan dahulu
1 tahun yang lalu pasien pernah mengalami kecelakaan yang hebat dan mengalami cidera
kepala .
d. Riwayat kesehatan keluarga.
Keluaraga pasien mengatakan bahwa ada keluarga yang pernah mengalami kejadian
seperti pasien pada saat ini.
3.1.3. Pemeriksaan fisik (ROS)
a. B1 (breath): RR meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea, aspirasi

b. B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis


c. B3 (brain): penurunan kesadaran
d. B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine.
e. B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun, inkontinensia alvi
f. B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan anggota
tubuh, mengeluh meriang.
3.1.4. Pemeriksaan diagnostik
a) CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak,
fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi
simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan
atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi
dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit neurologik yang
jelas.
b) Elektroensefalogram (EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan.
c) Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
- Mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
- Menilai fungsi hati dan ginjal
- Menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya
infeksi).
- Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak
3.2. Analisa data
No Data Etiologi Masalah
1 Ds : Do : Sesak nafas, Sianosis,
Adanya buih berlebih , RR > 20x/mnt Peningkatan sekresi saliva Bersihan jalan
nafas tidak efektif
2 Ds : Do : Nilai AGD tidak Normal (PO2 : < 80-95 mmHg, PCO2 : >35-45 mmHg, HCO-3 : <
21-26mmHg, PH L <7,35-7,45, SO2 : < 90-100 mmHg)
Pasien mengalami penurunan kesadaran, diam, tidak banyak bergerak Hipoksia pada
otak Gangguan perfusi jaringan
3 Ds : Do : Sesak napas
RR meningkat > 20x/mnt
Penggunaan Otot Bantu pernafasan. Bronkopasme sekunder dengan kenjang Pola
nafas tidak efektif
4 Ds : Do : pasien kejang(kaki menendang nendang , ekstermitas fleksi), gigi geligi terkunci,
lidah menjulur
Kejang berulang Resiko cidera
5 Ds : Do : pasien nampak lemah
A : BB turun
B : Hb < 12 -14 g/dl
C : Konjugtiva Anemis

D : Tinggi Kalori dan Protein Spasme mulut sekunder dengan kenjang Nutrisi kurang
dari kebutuhan
6 Ds : pasien mengatakan nyeri kepala
Do :
P : Nyeri pada saat beraktivitas.
Q : nyeri seperti tertusuk
R : nyeri pada kepala
S : 7-8
T : Hilang timbul Respon fisik pasca kejang Gangguan rasa nyaman nyeri
3.3. Diagnosa
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d. peningkatan sekresi saliva.
2. Gangguan perfusi jaringan b.d. hipoksia pada otak.
3. Pola nafas tidak efektif b.d bronkopasme sekunder dengan kejang.
4. Resiko cidera b.d. kejang berulang.
5. Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d Spasme mulut sekunder dengan kejang.
6. Gangguan rasa nyaman nyeri ( Kepala ) b.d. respon fisik pasca bedah.
3.4. Rencana keperawatan
Dx 1: Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
saliva
Tujuan : Setelah dilakukan proses keperawatan selama 1x24 jam diharapkan jalan nafas
kembali efektif dan paten dengan KH :
- TTV normal ( TD: 110 /70 -120/80 ,RR : 16- 20 x/mnt, N : 60 -100x/mnt , S : 36,5
-37,50 C )
- Tidak ada sianosis
- Pasien tidak sesak nafas
Intervensi Rasional
1. Anjurkan pasien untuk mengosongkan mulut dari benda/zat tertentu/gigi palsu atau
alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang
terjadi tanpa ditandai gejala awal.
2. Observasi TTV
3. Letakkan pasien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala selama
serangan kejang.
4. Tanggalkan pakaian pada daerah leher/abdomen.
5. Masukkan spatel lidah atau gulugan benda lunak sesuai dengan indiksi.
6.

Lakukan suction sesuai indikasi

7.

Kolaborasi : pemberian O2

1.

1. Mencegah penutupan jalan nafas.

2. Untuk mengetahui keadaan umum pasien RR Meningkat menunjukan adanya


gangguan pernafasan.
3. Untuk menghindari aspirasi dan penutupan jalan nafas
4. Memfasilitasi usaha bernapas/ ekspansi dada
5. Dapat mencegah tergigitnya lidah, dan memfasilitasi saat melakukan penghisapan
lendir, atau memberi sokongan pernapasan jika diperlukan
6. Menurunkan risiko aspirasi dan membebaskan jalan nafas
7. Dapat menurunkan hipoksia serebral
Dx 2 : Gangguan perfusi jaringan b.d. hipoksia pada otak
Tujuan : setelah dilakukan proses keperawatan selama 1x24 jam diharapkan perfusi
jaringan normal dengan KH :
- Nilai AGD Normal (PO2 : 80-95 mmHg, PCO2 : 35-45 mmHg, HCO-3 : 21-26
mmHg, PH : 7,35-7,45, SO2 : 90-100 mmHg)
- Kesadaran membaik
Intervensi Rasional
1. Kolaborasi
a. Awasi /gambaran seri AGD dan nadi.
b. Berikan oksigen tambahan sesuai degan indikasi hasil AGD dan toleransi pasien
c. Bantu intubasi ,berikan /pertahankan ventilasi mekanik
2.

Kaji status GCS


1.
a. PaCO2 biasanya meningkat dan PaO2 secara umum menurun ,sehingga terjadi
hipoksia.
b. Memperbaiki atau mencegah memburuknya hipoksia.
c. Terjadinya kegagalan nafas yang akan datang memerlukan upaya penyelamatan
hidup.
2. Penurunan kesadaran menunjukan hipoksia atau penurunan oksigen serebral

Dx 3 : Pola nafas tidak efektif b.d bronkopasme sekunder dengan kejang.


Tujuan : setelah dilakukan proses keperawatan selama 1x24 jam diharapkan pola nafas
kembali efektif dan paten. Dengan KH :
- RR normal (12-20 x/mnt)
- Tidak mengguankan otot bantu pernafasan
- Pasien tidak sesak

Intervensi Rasional
1. Kolaborasi :
Berikan tambahan O2
2. Monitor TTV. 1. Dapat memperbaiki atau mencegah memburuknya hipoksia.
2. Untuk mengetahui keadaan umum pasien.
Dx 4 : Resiko cidera b.d. kejang berulang
Tujuan : setelah dilakukan proses keperawatan selama 1x2 jam diharapkan cidera tidak
terjadi dengan KH :
- Tidak ada cidera fisik
- Pasien dalam kondisi aman,
- tidak ada memar dan tidak jatuh
Intervensi Rasional
1. Jauhkan pasien dari benda benda tajam / membahayakan bagi pasien.
2. Segera letakkan sendok di mulut pasien yaitu diantara rahang pasien.
3.

Kaji karakteristik kejang

4. Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan


5. Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan selama
pasien kejang.
6. Kolaborasi dalam pemberian obat anti kejang (diazepam, lorazepam dll). 1.
Benda tajam dapat melukai dan mencederai fisik pasien.
2. Dengan meletakkan sendok diantara rahang atas dan rahang bawah, maka resiko
pasien menggigit lidahnya tidak terjadi dan jalan nafas pasien menjadi lebih lancar.
3. Untuk mngetahui seberapa besar tingkatan kejang yang dialami pasien sehingga
pemberian intervensi berjalan lebih baik
4. untuk mencegah cidera dan jatuh
5.

Melibatkan keluarga untuk mengurangi resiko cedera

6. Obat anti kejang dapat mengurangi derajat kejang yang dialami pasien, sehingga
resiko untuk cidera pun berkurang.
Dx 5 : Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d Spasme mulut sekunder dengan kejang.
Tujuan : setelah dilakukan proses keperawatan selama 5x24 diharapkan nutrisi pasien
tercukupi dengan KH :
- BB Naik
- Pasien tidak lemah
- Hb Normal 12-14 g/dl
Intervensi Rasional

1.

Berikan makanan melalui NGT

2.

Kaji masukan makanan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.

3. Monitoring AGD 1. Metode makan dan kebutuhan kalori di dasarkan pada


situasi/kebutuhan individu untuk memberikan nutrisi maksimal.
2. Pasien distress pernafasan akut sering anoreksia karena dispnea. Apalagi pasien
dengan spasme mulut akan terjadi penurunan nutrisi.
3. Hb normal menunjukkan nutrisi adekuat
Dx 6 : Gangguan rasa nyaman nyeri ( kepala ) b.d. respon fisik pasca kejang.
Tujuan : setelah dilakukan proses keperawatan selama 1x24 jam diharapkan nyeri pasien
berkurang dengan KH :
- TTV Normal (TD : :110/70 120/ 90 mmHg,RR : 16- 20 x/mnt , N : 60-100x/mnt,
S : 36,5- 37,50.C )
- Skala nyeri 1-3
- Wajah tidak meringis kesakitan
- Pasien mampu mengendalikan nyeri dengan teknik relaksasi dan distraksi
- Pasien mengungkapkan rasa nyeri berkurang.
Intervensi Rasional
1. Kaji nyeri secara komprehensif Lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
faktor presipitasi.
2. Berikan lingkungan yang tenang dan posisi yang nyaman.
3.

Observasi TTV

4. Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk mengatasi nyeri.
5. Kolaborasi : berikan obat analgesik sesuai dengan indikasi
1. Untuk mengetahui skala nyeri.

2. Meringankan nyeri dan memberikan rasa nyaman. Posisi yang nyaman dapat
memberikan efek maksimal untuk relaksasi
3. Untuk mengetahui keadaan umum pasien
4. Memberikan rasa nyaman pada saat nyeri.
5.

Obat analgesik dapat meringankan nyeri

BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang
dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan
listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan
tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena
sensori. Ada beberapa macam epilepsi, yaitu:
1. Berdasarkan penyebabnya:
a. Epilepsi idiopatik
b. Epilepsi simtomatik
2. Berdasarkan Letak fokus epilepsi atau tipe bangkitan:
a. Epilepsi partial
b. Epilepsi Umum
Status epileptikus : Adalah serangan kejang kontinu dan berlangsung lebih dari 30 menit
atau serangkaian serangan epilepsi yang menyebabkan anak yang tidak sadar kembali.
Asuhan keperawatan meliputi : pengkajian, pemeriksaan fisik dan diagnostik, analisa data
, diagnosa dan renncana keperawatan.
4.3. Saran
4.3.1. Bagi Mahasiswa
Meningkatkan kualitas belajar dan memperbanyak literatur dalam pembuatan makalah
agar dapat membuat makalah yang baik dan benar.
4.3.2. Bagi Pendidikan
Bagi dosen pembimbing agar dapat memberikan bimbingan yang lebih baik dalam
pembuatan makalah selanjutnya.
4.3.3. Bagi Kesehatan
Memberikan pengetahuan kepada mahasiswa kesehatan khususnya untuk mahasiswa
keperawatan agar mengetahui bagaimana Asuhan keperawatan pada pasien epilepsi dan
status epileptikus.
http://hanifa39.blogspot.com/2012/01/epilepsi.html
06.02 19-2-12
AAAAA

Anda mungkin juga menyukai