Status Epileptikus
Status Epileptikus
KASUS
Seorang wanita, 50 tahun datang dalam keadaan penurunan kesadaran dengan dengan
keluhan kejang sejak kurang lebih 3 hari SMRS. Kejang seluruh badan disertai busa,
setelah kejang pasien tertidur kemudian sadar. Kejang berlangsung tiap 15 menit lamanya
kira-kira 1 menit. Pasien tidak demam, batuk, pilek, mual, muntah disangkal. Pasien
mempunyai riwayat pengobatan untuk epilepsi, namun sejak 1 bulan yang lalu pasien
tidak periksa dan tidak mengkonsumsi obat, 5 hari SMRS pasien mengkonsumsi 1 jenis
obat yang dibeli sendiri. Pasien memiliki riwayat epilepsi sejak 7 tahun yang lalu, riwayat
tumor, hipertensi, diabetes melitus, stroke, trauma kepala disangkal. Pasien pernah
mondok 2 kali dengan keluhan serupa. Riwayat epilepsi dalam keluarga disangkal.
Pemeriksaan fisik pada pasien ini didapat kesadaran somnolen dengan tanda vital tekanan
darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 76 x/menit, frekuensi pernafasan 20 x/menit dan
suhu 36,50C. Pada pemeriksaan saraf kranialis tidak ditemukan adanya kelainan. Untuk
kekuatan otot dengan nilai 5 baik pada ekstrimitas superior maupun inferior. Tidak
ditemukan adanya refleks patologis. Tidak ditemukan adanya kelainan pada pemeriksaan
penunjang berupa darah rutin.
DIAGNOSIS
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang, pasien ini didiagnosis
klinis status epileptikus, dengan diagnosis topik lesi di kortek serebri dan etiologi
idiopatik.
TERAPI
Pada pasien ini diberikan terapi berupa O2 intranasal 3-4 liter/menit, infus
Asering 20 tpm, injeksi Cefotaxime 2x1 gr, injeksi Piracetam 3x1 gr, injeksi
Diazepam tiap kejang, dilantin tablet 2x1, paracetamol 3x500mg dan asam folat tablet
1x1.
DISKUSI
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul
disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan
listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal dengan berbagai
macam etiologi.
Onset epilepsi yang tersering memang pada dekade pertama kehidupan, dekade
selanjutnya akan semakin berkurang, namun epilepsi dengan onset bangkitan pada usia
dewasa bukan merupakan phenomena yang jarang. Paling tidak sekitar 20-25% pasien
epilepsi mempunyai bangkitan pertama pada usia setelah 25 tahun. Hal ini yang disebut
late onset epilepsy.
Pada pasien ini bangkitan pertama dimulai ketika berusia 48 tahun, sehingga pasien
digolongkan dalam late onset epilepsy. Penyebab bangkitan berulang yang dimuali pada
usia 35-60 tahun dipikirkan kemungkinan penyebab seperti trauma, neoplasma, penyakit
vaskuler, withdrawal alkohol atau obat sedatif-hipnotif lainnya. Sedangkan pada usia
lebih dari 60 tahun dipikirkan penyakit vaskuler, tumor penyakit degeneratif, trauma,
oleh karena itu late onset epilepsy memerlukan perhatian khusus serta dievaluasi dan
dicari penyebabnya.
Status epileptikus adalah bangkitan epilepsi yang berlangsung terus menerus selama lebih
dari tiga puluh menit tanpa diselingi oleh masa sadar. Biasanya bila status epileptikus
tidak bisa diatasi dalam satu jam, sudah akan terjadi kerusakan jaringan otak yang
permanen. Oleh karena itu gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi secepat
mungkin. Enampuluh sampai delapanpuluh persen status epileptikus dimulai dengan
gejala-gejala fokal. Kejang menjadi bilateral dan umum akibat penyebaran lepas muatan
listrik yang terus menerus dari fokus pada suatu hemisfer ke hemisfer lain. Kejang tonik
akan diikuti oleh sentakan otot atau kejang klonik. Proses ini berlangsung terus,
sambung-menyambung tanpa diselingi oleh fase sadar. Dalam bentuk klinis seperti ini
penderita berada dalam keadaan status epileptikus.
Pada status epileptikus terjadi kegagalan mekanisme normal untuk mencegah kejang.
Kegagalan ini terjadi bila rangsangan bangkitan kejang (Neurotransmiter eksitatori:
glutamat, aspartat dan acetylcholine) melebihi kemampuan hambatan intrinsik (GABA)
atau mekanisme hambatan intrinsik tidak efektif. Penyebab status epileptikus yang
banyak diketahui adalah infark otak mendadak, anoksia otak, bermacam-macam
gangguan metabolisme, tumor otak, menghentikan kebiasaan minuman keras secara
mendadak, atau berhenti makan obat anti kejang. Jarang status epileptikus disebabkan
oleh penyakit degenerasi sel-sel otak, menghentikan penggunaan penenang dengan
mendadak, pasca anestesi dan cedera perinatal. Kelainan-kelainan ini terutama yang
terdapat pada lobus frontalis, lebih sering menimbulkan status epileptikus, dibandingkan
dengan lokasi lain pada otak.
Pada pasien ini dia mempunyai riwayat menghentikan sendiri obat sekehendak hati dan
makan obat yang dibeli sendiri, maka hal ini dapat menjadi pencetus dari bangkitan
epilepsi yang diderita pasien. Selain pasien telah mengalami bangkitan epilepsi selama
kurang lebih tiga hari. Status epileptikus yang berlangsung lama menimbulkan kelainan
yang sama dengan apa yang terjadi pada hipoglikemia berat atau hipoksi.
Dalam penanganan status epileptikus biasanya dilakukan 3 tahap tindakan yaitu
stabilisasi penderita, menghentikan kejang, menegakkan diagnosis. Stabilisasi meliputi
usaha-usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital yang mungkin terganggu;
membersihkan udara dan jalan pernafasan, serta memberikan oksigen. Menghentikan
kejang harus dilakukan segera sesudah tahap stabilisasi selesai. Tindakan ini dimulai
dengan pemberian bolus diazepam, 2 mg/menit, masing-masing 10 mg. Pemberian bolus
diazepam dilanjutkan sampai jumlah 50 mg, sementara itu pernafasan dimonitor terus.
Biasanya kejang sudah dapat diatasi.
Bila pemberian diazepam yang waktu paruhnya hanya sekitar 15 menit belum berhasil,
diberikan fenitoin yang bekerja lebih lama, mempunyai waktu paruh selama 24 jam.
Fenobarbital juga diberikan perinfus dengan kecepatan maksimum 100 mg/menit.
Apabila tahap pemberian fenobarbital belum berhasil menghentikan kejang, maka ahli
saraf harus memikirkan tindakan resusitasi otak melalui anestesi dengan pemberian
pentobarbital atau amobarbital. Takaran obat yang diberikan disesuaikan sampai tercapai
aktivitas otak yang dikenal dengan outburst suppression pattern pada rekaman EEG.
Dosis ini dipertahankan selama tiga jam, agar otak mempunyai waktu yang cukup untuk
membangkitkan homeostasis dan melawan kejang berkelanjutan. Menegakkan diagnosis,
dalam tahap ini bukan diagnosis epilepsi yang dicari, melainkan upaya untuk mencari apa
yang menjadi latar belakang timbulnya status epileptikus. Tahap ini dilakukan untuk
mencari adanya kemungkinan riwayat epilepsi, penggunaan alkohol, obat penenang,
trauma, radang otak dan penyakit lain yang ada kaitannya dengan status epileptikus.
Tahap ini sangat penting untuk menentukan prognosis di samping keberhasilan tahap
sebelumnya.
KESIMPULAN
Pada kasus late onset epilepsy perlu dipikirkan kemungkinan penyebabnya seperti
trauma, neoplasma, penyakit vaskuler, withdrawal alkohol atau obat sedatif-hipnotif.
Pada status epileptikus yang tidak bisa diatasi dalam satu jam, maka akan terjadi
kerusakan jaringan otak yang permanen. Penanganan status epileptikus dilakukan 3 tahap
tindakan yaitu stabilisasi penderita, menghentikan kejang, menegakkan diagnosis.
http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?
page=PENATALAKSANAAN+STATUS+EPILEPTIKUS+PADA+PASIEN+TAK+TER
KONTROL++
05.26 19-2-12
AAAAAAAAAA
Status Epileptikus
BAB I
PENDAHULUAN
I.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menyelesaikan tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Syaraf RS. H. Adam Malik Medan. Selain daripada itu makalah ini juga dapat
menambah wawasan kita dalam mengerti apa yang dimaksud dengan Status Epileptikus,
dan bagaimana patofisiologinya serta penatalaksanaanya.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Defenisi
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status
epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian
kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang
mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit
atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.
II.2 Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena
penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya
status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan area tertentu dari
korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)- kategori utama
lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.
Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus.
Satu versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum
(tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial
(sederhana atau kompleks). Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum
(overt atau subtle) dan status epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial
kompleks, absens). Versi ketiga dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan
(batas pada periode neonatus, infan dan anak-anak, anak-anak dan dewasa, hanya
dewasa).
II.3 Epidemiologi
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka
kejadian kira-kira 60.000 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang
terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. 3 Pada sepertiga kasus, status epileptikus
merupakan gejala yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga
kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan
dalam memakan obat antikonvulsan. Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas
kejang sekitar 1-2 persen, tetapi mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang
menyebabkan status epileptikus kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan
suatu distribusi bimodal dengan puncak pada neonatus, anak-anak dan usia tua.
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status Epileptikus dapat
dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua Status Epileptikus kebanyakan
sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada
Negara miskin, epilepsy merupakan kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka
kejadian yang paling tinggi.
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi
maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks
serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus
mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf
maksimal dalam zona Summer. Komplikasi terjadinya status epileptikus dapat dilihat dari
tabel 2.
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan
melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan
pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion
Natrium dan Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.
Tabel 1. Etiologi status epileptikus
Alkohol
Anoksia
Antikonvulsan-withdrawal
Penyakit cerebrovaskular
Epilepsi kronik
Infeksi SSP
Toksisitas obat-obatan
Metabolik
Trauma
tumor
Hipersekresi, hiperpireksia
Jantung
Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme
Metabolik dan Sistemik
Dehidrasi
Asidosis
Hiper/hipoglikemia
Hiperkalemia, hiponatremia
Kegagalan multiorgan
Idiopatik
Fraktur, tromboplebitis, DIC
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran
tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan
gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.
D. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus adalah
menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran. Tipe
dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang
buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi
degeneratif.
E. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau
dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu
keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai slow
motion movie dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada
riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat
aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon
terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.
F. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks,
karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai
dengan stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional, cepat marah,
halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada
beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave
discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.
G. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada
satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi
jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral
dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu menunjukkan
periodic lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED),
dimana sering berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari
status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan
berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
http://onilyna.blogspot.com/2011/10/status-epileptikus.html
05.31 19-2-12
AAAAAAAAA
1. Pengertian
Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang
dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan
listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan
tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena
sensori.
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karakteristik kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang
dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal
sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi.
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri
timbulnya serangan paroksimal dan berkala akibat lepas muatan listrik neron-neron otak
secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.
1. Epidemiologi
Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta
orang, 37 juta orang diantaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara
berkembang. Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang
penyandang epilepsi aktif diantara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per
100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negaranegara berkembang. Hasil penelitian Shackleton dkk (1999) menunjukkan bahwa angka
insidensi kematian di kalangan penyandang epilepsi adalah 6,8 per 1000 orang.
Sementara hasil penelitian Silanpaa dkk (1998) adalah sebesar 6,23 per 1000
penyandang.
1. Etiologi
Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :
o
o
o
o
o
o
o
1. Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang
atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas
kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak
tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik,
sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :
Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun
dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA).
Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama
kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf
motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian
juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS)
selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas
kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik
menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada
faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme
kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka
terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat
mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
1. Klasifikasi
1. Sawan Parsial
1. i.
2. ii.
1.
1. Sawan Umum
Sawan lena
Sawan mioklonik
Sawan klonik
Sawan Tonik
Sawan tonik-klonik
Sawan atonik
1.
1. Sawan tak tergolongkan
1. Manifestasi Klinis
1. Sawan Parsial (lokal, fokal)
Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja
Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar
meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien
mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
1. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).
2. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian
kalimat.
Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,
mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di
masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
-
Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti pada golongan A1A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan
sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali
seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan,
mengembara tak menentu, dll.
Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak
permulaan kesadaran.
Hanya dengan penurunan kesadaran
Dengan automatisme
1. i.
Hanya penurunan kesadaran
2. ii.
Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai
pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
3. iii.
Dengan komponen atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-otot leher, lengan,
tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
4. iv. Dengan komponen klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas,
leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung
ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
5. v. Dengan automatisme
6. vi.
Dengan komponen autonom.
7. vii.
Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
1. Gangguan tonus yang lebih jelas.
2. Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
1. Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah
sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat
dijumpai pada semua umur.
1. Sawan Klonik
Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal
multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
1. Sawan Tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan
bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada
anak.
1. Sawan Tonik-Klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand
mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu
sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku
berlangsung kira-kira menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh.
Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat
lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa
karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah
kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran
yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal,
lelah, nyeri kepala.
1. Sawan atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh.
Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai
pada anak.
1. Sawan Tak Tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik,
mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak
berhenti sederhana.
1. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pungsi Lumbar
Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan
kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan
setelah kejang demam pertama pada bayi.
-
Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda
peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem
saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik
sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi
lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.
1. EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang.
Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi
sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan
bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan
setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan
datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang
demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang
demam atau risiko epilepsi.
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor,
magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama.
Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar
sebagai pemeriksaan rutin.
1. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI
kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk
pertama kalinya.
1. CT Scan
Untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan
degeneratif serebral
1. Magnetik resonance imaging (MRI)
1. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
1. Pemeriksaan fisik
Inspeksi : membran mukosa, konjungtiva, ekimosis, epitaksis, perdarahan pada gusi,
purpura, memar, pembengkakan.
Palpasi
Perkusi
mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan,
pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat
selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang
sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan
program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan
secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana
pencegahan ini.
Hal yang tak boleh dilakukan selama anak mendapat serangan :
Farmakoterapi
Anti konvulsion untuk mengontrol kejang
Pembedahan
Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali vaskuler
Jenis obat yang sering digunakan :
Phenobarbital (luminal).
Primidone (mysolin)
Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH. Berhasiat
terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis.
Tak berhasiat terhadap petit mal.
Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi gingiva dan gangguan
darah.
Carbamazine (tegretol).
Diazepam.
Nitrazepam (Inogadon).
Ethosuximide (zarontine).
Na-valproat (dopakene)
Acetazolamide (diamox).
ACTH
Selama kejang :
Waktu episode kejang
-
jika anak berada dalam posisi berdiri atau duduk, baringkan anak
letakkan bantal atau lipatan selimut di bawah kepala anak. Jika tidak tersedia
kepala anak bisa disangga oleh kedua tangannya sendiri.
-
Jangan :
1. i.
Menahan gerakan anak atau menggunakan paksaan
2. ii.
Memasukkan apapun ke dalam mulut anak
3. iii.
Memberikan makanan atau minuman
Lepaskan kacamata
Jika anak muntah miringkan tubuh anak sebagai satu kesatuan ke salah satu sisi
Setelah kejang :
-
Reposisikan jika kepala anak hiperekstensi. Jika anak tidak bernapas, lakukan
pernapasan buatan dan hubungi pelayanan medis darurat.
Periksa sekitar mulut anak untuk menemukan gejala luka bakar/kimia atau
kecurigaan zat yang mengindikasikan keracunan
-
Jangan memberi makanan atau minuman sampai anak benar-benar sadar dan
refleks menelan pulih
Perjalanan dan prognosis penyakit untuk anak-anak yang mengalami kejang bergantung
pada etiologi, tipe kejang, usia pada awitan, dan riwayat keluarga serta riwayat penyakit.
Pasien epilepsi yang berobat teratur, sepertiga akan bebas serangan 2 tahun, dan bila lebih
dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan, pasien tidak mengalami sawan
lagi, dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30% pasien tidak akan mengalami
remisi. Meskipun minum obat dengan teratur. Sesudah remisi, kemungkinan munculnya
serangan ulang paling sering didapat pada sawan tonik klonik dan sawan parsial
kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah relaps sesudah remisi.
Faktor resiko yang berhubungan dengan kekambuhan epilepsi antara lain usia 16 tahun
atau lebih, minum lebih dari satu macam obat antiepilepsi, mengalami kejang setelah
pengobatan dimulai, memiliki riwayat kejang tonik-klonik generalisata primer atau
sekunder atau hasil EEG menunjukkan kejang mioklonik dan memiliki EEG yang
abnormal. Resiko kekambuhan kejang menurun bila terjadi pemanjangan periode tanpa
kejang.
Prognosis setelah dilakukan terapi status epileptikus lebih baik daripada dilaporkan
sebelumnya. Mayoritas anak kemungkinan tidak mengalami gangguan intelektual.
Kemungkinan besar anak yang menderita gangguan kognitif atau meninggal dunia sudah
memiliki riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan, abnormalitas
neurologik, atau menderita penyakit serius yang berulang.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien ditanyakan
tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan alkohol dicatat.
Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh
gangguan kejang? Apakah pasien mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah
pengalaman kerja? Mekanisme koping apa yang digunakan?
1. 1. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat, tanggal
masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
1. 2. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita leukimia untuk masuk RS. keluhan
utama pada penderita leukemia yaitu perasaan lemah, nafsu makan turun, demam,
perasaan tidak enak badan, nyeri pada ektremitas.
1. 3. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya keluhan, mulai
timbul. Biasanya ditandai dengan anak mulai rewel, kelihatan pucat, demam, anemia,
terjadi pendarahan ( ptekia, ekimosis, pitaksis, pendarah gusi dan memar tanpa sebab),
kelemahan tedapat pembesaran hati, limpa, dan kelenjar limpe, kelemahan. nyeri tulang
atau sendi dengan atau tanpa pembengkakan.
1. 4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan penyakit
sekarang perlu ditanyakan.
1. 5. Riwayat kehamilan dan kelahiran.
Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal. Dalam riwayat
prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh ibu. Riwayat natal
perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm atau tidak karena
mempengaruhi sistem kekebalan terhadap penyakit pada anak. Trauma persalinan juga
mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post
natal diperlukan untuk mengetahui keadaan anak setelah
1. 6. Riwayat penyakit keluarga
Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan penyakit yang
dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu diketahui, apakah ada yang
menderita gangguan hematologi, adanya faktor hereditas misalnya kembar monozigot.
Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam
mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.
1. Selama serangan :
-
Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik, kejang
tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.
Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu sisi
atau keduanya.
2. Sesudah serangan
-
Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan bicara
Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum, selama dan
sesudah serangan.
Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi denyut
jantung.
-
Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik, olfaktorik
maupun visual.
4. Riwayat Penyakit
-
Frekuensi serangan.
Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang tidur,
keadaan emosional.
Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan
gangguan kesadaran, kejang-kejang.
-
Pemeriksaan fisik
a. Aktivitas
Gejala : kelelahan, malaise, kelemahan.
Tanda : kelemahan otot, somnolen.
b. Sirkulasi
Gejala : palpitasi.
Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat.
c. Eliminasi
Gejala : diare, nyeri, feses hitam, darah pada urin, penurunan haluaran urine.
d. Makanan / cairan
Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.
Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, hipertropi gusi (infiltrasi gusi
mengindikasikan leukemia monositik akut).
e. Integritas ego
Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.
Tanda : depresi, ansietas, marah.
f. Neurosensori
Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi, pusing,
kesemutan.
Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang.
g. Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot.
Tanda : gelisah, distraksi.
h. Pernafasan
Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal.
Tanda : dispnea, takipnea, batuk.
i. Keamanan
Gejala : riwayat infeksi saat ini / dahulu, jatuh, gangguan penglihatan, perdarahan
spontan, tak terkontrol dengan trauma minimal.
Tanda : demam, infeksi, purpura, pembesaran nodus limfe, limpa atau hati.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan
2. Perfusi jaringan serebral tidak efektif
3. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran,
kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri.
1. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien
secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang
dialami,menangis wajah meringis
1. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan
dengan keterbatasan kognitif, kurang pemajanan, atau kesalahan interpretasi
informasi.
2. Termoregulasi tidak efektif
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas
4. Defisit perawatan diri
5. Gangguan persepsi sensori auditori
C. Intervensi
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama pasien tidak mengalami
gangguan pola napas dengan kriteria hasil :
-
Intervensi
Rasional
1. Tanggalkan pakaian pada daerah
1. Memfasilitasi usaha
leher/dada, abdomen
bernapas/ekspansi dada
2. Masukkan spatel lidah/jalan napas
2. Dapat mencegah tergigitnya
buatan
lidah, dan memfasilitasi saat
3. Lakukan penghisapan sesuai sesuai
melakukan penghisapan
indikasi
lendir, atau memberi
sokongan pernapasan jika
diperlukan
Kolaborasi
3. Menurunkan risiko aspirasi
atau asfiksia
1. Berikan tambahan O2
Kolaborasi
1. Dapat menurunkan hipoksia
serebral
1. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien
secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang
dialami,menangis wajah meringis
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawtan selama nyeri klien berkurang dengan
kriteria hasil:
1. Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili penurunan rasa
nyeri yang dialami
2. Klien tidak menangis lagi
3. Wajah klien tampak ceria
Intervensi
Rasional
1. Kaji PQRST dengan menggunakan
media gambar
2. Berikan posisi yang nyaman sesuai
kebutuhan
3. Berikan lingkungan yang nyaman
bagi klien
4. Libatkan keluarga untuk
mendampingi klien
5. Kolaborasi untuk pemberian obat
analgesic
6. Pengkajian yang benar akan
membantu dalam menentukan
tindakan keperawtan selanjutnya
7. Posisi yang nyaman dapat
Riwayat kejang
Tingkatan kejangnya
Intervensi
1. Kaji karakteristik kejang
1.
1.
1.
1.
Rasional
Untuk mngetahui seberapa besar
tingkatan kejang yang dialami
pasien sehingga pemberian
intervensi berjalan lebih baik
Jauhkan pasien dari benda benda
Benda tajam dapat melukai dan
tajam / membahayakan bagi pasien mencederai fisik pasien
Segera letakkan sendok di mulut
Dengan meletakkan sendok diantara
pasien yaitu diantara rahang pasien rahang atas dan rahang bawah,
maka resiko pasien menggigit
lidahnya tidak terjadi dan jalan
nafas pasien menjadi lebih lancer
Kolaborasi dalam pemberian obat Obat anti kejang dapat mengurangi
anti kejang
derajat kejang yang dialami pasien,
sehingga resiko untuk cidera pun
berkurang
Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi
Tujuan :
1. pengetahuan keluarga meningkat
2. keluarga mengerti dengan proses penyakit epilepsi
3. keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien.
Intervensi
Kriteria pengkajian focus
Makna klinis
1. Kaji tingkat pendidikan
1 . pendidikan merupakan salah satu
keluarga klien.
faktor penentu tingkat pengetahuan
2. Kaji tingkat pengetahuan
seseorang
keluarga klien.
1. untuk mengetahui seberapa
3. Jelaskan pada keluarga klien
jauh informasi yang telah
tentang penyakit kejang
mereka ketahui,sehingga
demam melalui penkes.
pengetahuan yang nantinya
4. Beri kesempatan pada keluarga
akan diberikan dapat sesuai
untuk menanyakan hal yang
dengan kebutuhan keluarga
belum dimengerti.
2. untuk meningkatkan
pengetahuan
3. untuk mengetahui seberapa
5. Libatkan keluarga dalam setiap
jauh informasi yang sudah
tindakan pada klien.
dipahami
4. agar keluarga dapat
memberikan penanngan yang
tepat jika suatu-waktu klien
mengalami kejang
berikutnnya.
D. Evaluasi
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan
RR dalam batas normal sesuai umur
Nadi dalam batas normal sesuai umur
1. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien
secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang
dialami,menangis wajah meringis
Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili penurunan rasa nyeri yang
dialami
Klien tidak menangis lagi
Wajah klien tampak ceria
Riwayat kejang
Tingkatan kejangnya
PENDAHULUAN
Dengan semakin pesatnya kemajuan lalu lintas di Indonesia, baik dari segi jumlah,
pemakai jalan, jumlah pemakai jalan jasa angkutan dan bertambahnya jaringan jalan serta
kecepatan kendaraan akan meningkatkan angka kejadian trauma.
Kecelakaan lalu lintas sering mengakibatkan trauma dan kita harus waspada
kemungkinan multiple trauma yang akan mengakibatkan multiple fraktur dan trauma
organ lain seperti kepala, thoraks,organ indra dan pembuluh darah besar.
Kecelakan dapat terjadi tanpa diketahui oleh seseorang kapan ada dan dimana berada.
Pada kasus dengan cidera berat, sering menimbulkan kematian dan kecacatan, baik akibat
pertolongan yang kurang cepat atau kurang benar. Penderita cedera berat harus
mendapatkan pertolongan yang secara cepat dan benar, secepatnya dibawa kerumah sakit
yang mempunyai prasarana dan pasilitas yang memadai.
Sekitar 80% dari penderita trauma mengenai sistem muskulo skeletal. 50% pasein gawat
darurat meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit dan di rumah sakit.
v Pencegahan kematian dilakukan pada 1-2 jam dini, dimana harus tidak agresif.
Angka kematian trauma di tentukan pada fase ini, 15% meninggal akibat:
mati otak
gagal organ
sepsis
Tergantungnya jalan nafas dapat menyebabkan kematian lebih cepat dari pada
ketidak mampuan bernafas.
Ketidak mampuan bernafas dapat menyebabkan kematian lebih cepat dari pada
kehilangan darah
Pendarahan intrakranial adalah keadaan letal yang berikutnya.
Kesiap-siagaan
Triage
Primary survey
Resusitasi
KESIAP-SIAGAAN:
Pada fase ini dibagi menjadi pra rumah sakit dan fase rumah sakit
Koordinatir antara ambulans 119 dengan rumah sakit dapat memperbaiki kualitas
penanggulangan pasien gawat darurat. Idealnya ambulans 119 dapat memberi tahu R.S
yang dituju mengenai triage dan biomekanik kecelakaan pasien sebelum meninggalkan
tempat kejadian atau waktu perjalanan. Tindakan awak ambulans hanya imobilisasi dan
transportasi pasien ke IGD yang sesuai dengan triange pasien, yaitu IGD level 1, 2 dan
level 3.
Desain ruangan dan penyediaan alat atau obat harus di persiapkan untuk menanggulangi
pasien gawat darurat terkait secara efesien.
TRIAGE
Triage adalah seleksi klien sesuai dengan kebutuhan terapi. Terapi yang dilakukan sesuai
dengan prioritas A, B, C (A airway dengan kontrol vertebra sevikal, B breathing dan C
circulation dengan kontrol pendarahan)
Triage dapat di lakukan dengan di rumah sakit maupun dilapangan supaya tidak
melakukan kesalahan adalah memilih rumah sakit yang dituju ,dua tipe trage yaitu;
Bila jumlah klien tidak melebihi kapasitas rumah sakit/fasilitas kesehatan. Dalam
keadaan ini pasien dengan keadaan paling gawat atau cedera multiple didahulukan
menanggulanginya (selection of problem)
Bila jumlah pasien melebihi kapasitas rumah sakit/fasilitas kesehatan dalam keadaan
ini klien yang mempunyai kemungkinan hidup didahulukan penanggulangannya, disini
dilakukan adalah selection of pasients
PRIMARY SURVEY
Disini dilakukan identifikasi keadaan yang membahayakan klien dan segera
ditanggulangi.
Airway
Menjamin kelancaran jalan nafas dan kontrol vertebrae servikalis. Jalan nafas
dipertahankan dengan melakukan chin lift atau jaw thrust dapat juga dengan
memasang guedel pada klien dengan multiple trauma dan trauma tumpul di atas
klavikula kita harus mengagap dan memperlakukan seakan ada fraktur dari vertebra
servikalis dengan memasang neck collar sampai dibuktikan negatif. Hasil pemeriksaan
neurologi yang negatif tidak menyingkirkan ada cedera servikal. Karena itu sebaiknya
dibuat X-ray crosstable lateral cervical spino atau swimmer view dan menilai ketujuh
vetebra servikal.
Yang sering dilupakan atau tidak disadari:
Sebaiknya thoraks harus dapat dilihat semuanya untuk melihat ventilasi. Jalan nafas yang
bebas tidak menjamin ventilasi yang cukup, pertukaran udara yang cukup diperlukan
untuk oksigenisasi yang cukup. Bila ada gangguan instabilitas kardiovaskuler, respirasi
atau kelainan neurologis. Maka kita harus melakukan ventilasi dengan alat bag valve
yang disambungkan pada masker atau pipa endrokeal. Oksigenisasi atau ventilasi yang
cukup pada klien trauma termasuk memberikan volume dan konsentrasi oksigen (12 liter
per menit) yang cukup.
Ventilasi akan terganggu terutama pada tiga keadaan :
tension peneummothoraks
open peneumothoraks
Circulation
Salah satu penyebab kematian di rumah sakit adalah pendarahan yang segera tidak
diatasi, ditandai dengan hipotensi yaitu:
kesadaran menurun
Pendarahan bagian luar diatasi dengan balit tekan, jangan peke torniket karena akan
mengakibatkan metabolisme anaerobe.sedangkan pada pendarahan tungkai atau
abdomend diatasi dengan memakai MAST.
Masalah yang sering dilupakan atau tidak disadari:
pendarahan eksternal
Disability
kesadaran
pupil
reaksi reflek
A-Alert
U-unresponsive
Glascow Coma Scale (GCS) dilakukan pada primary survey atau seconder survey.
Perubahan pada neurologis atau kesadaran klien menunjukkan kelainan intrakranial,
dengan demikian kita harus menilai ulang :
Oksigenisasi
Ventilasi
Perfusi
A-alkohol
U-uremia
E- epilepsi
D diabetes
F fever
T trauma
Menurunnya oksigenesasi
Syok
Trauma kepala
Eksposure
Klien harus ditelanjangi untuk pemeriksaan lebih lengkap dan harus diselimuti untuk
menghindari hipotermi.
RESUSITASI
Airway pada setiap pasien harus dilihat dan amankan terutama pada pasien yang
ventilasinya tidak cukup. Ini dapat dilakukan dengan:
chin lift
jaw thrust
naso/oropharyngeneal airway
Breathing/ventilasi/ oksigenasi
Tension pneuthoraks dapat menggangu ventilasi dan harus segera dilakukan dekompresi
dan semua pasien trauma harus mendapat suplement oksigen.
Syok
dalam penanggulangan syok karena trauma ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan:
Minimum diperlukan 2 buah slang infus dengan jarum no.16 atau lebih besar.
Kecepatan cairan yang masuk ditentukan oleh diameter lubang jarum dan
panjangnya selang bukan oleh besarnya vena.
Infus dimulai pada vena perifer tungkai atas kalau semua gagal dapat dipasang
venaseksi pada kaki dengan memotong selang infus yang langsung dimasukan kedalam
vena. Dapat juga dipasangpada vena central seperti CVP sesuai dengan kemampuan
dokter yang bersangkutan.
Pada waktu memsang infus harus sekalian diambil darah untuk pemeriksaan
golongan darah cross match dan pemeriksaan darah dasar.
Kalau setelah diberikan 2-3 lt.NaCl,/ koloid, masih syok maka sebaiknya diberikan
darah.sebaiknya jangan diberikan lama karna sudah tidak ada trombosit / faktor-faktor
pembekuan darahnya.kalau tidak ada yang cocok bisa diberikan darah golongan O.
Syok hipovolemi tidak dapat diatasi dengan vasopresor, steriod NaCl, bikarbonat.
Hipotermi dapat terjadi bila kita memberikan infus/ tranfusi cepat tanpa di panaskan
Kalau ada MAST dapat digunakan pada penanggulangan syok .dan MAST
dilepaskan setelah dicapai tekanan darah yang diharapkan tercapai.
Monitor dengan ECG harus dilakukan pada pasien dengan trauma dan diperhatikan:
Kateter urine
Adanya produksi urine merupakan indikator penting tentang volume cairan tubuh.
Resisutasi dianggap berhasil jika mulai terdapat produksi urine bila terdapat :
Sonde lambung
Sonde lambung dapat menghindari terjadinya distensi lambung dan aspirasi paru. Pada
trauma tumpul kepala, terutama bila ada darah tidak beku pada mulut, hidung atau
telinga, pemasangan sonde lambung dapat masuk ke dalam tengkorak (fraktur cribrifron
plate) Dalam keadan demikian sebelum dipasang sonde lambung sebaiknya dilakukan
test halo (ekimosi periobital) atau doble ring (cairan tersebut ditempatkan pada kertas
filter, bila ini cairan cerebrospinal maka akan terbentuk dua lingkaran)
Monitor
Hasil resusitasi dapat dinilai dengan memperhatikan nilai perbaikan kualitatif dari
parameter fisiologis seperti pernafasan (ventilasi), nilai tekanan darah, tekanan nadi, gas
darah, arteri dan produksi urine.
Jumlah ventilasi dan gas darah arteri dapat dipakai untuk memonitor jalan nafas dan
pernafasan.
end tidal carbon dioksida dapat dipakai untuk menilai kalau ETT terlepas waktu
memindahkan atau transportasi pasien.
pulse oxymetery sangat penting untuk memonitor pasien dengan trauma pulse
oxymeter dapat mengukur saturasi oksigen dari hemaglobin tetapi tidak memberi nilai
PaO2 oksigenasi yang cukup menunjukan adanya jalan nafas. Pernafasan dan sirkulasi
yang baik.
Tekanan darah dapat diukur, tetapi harus diingat bahwa ini tidak menunjukan adanya
perfusi yang baik.
Rujukan
Perlu di ingat bahwa pada primary survey kelainan pada jalan nafas, pernafasan dan
sirkulasi harus segera ditanggulangi tanpa menunggu selesainya primary survey setelah
primary survey kita mendapat cukup imformasi untuk menentukan apakah pasien perlu
dirujuk atau tidak. Proses rujuk dilakukan oleh personalia dari administrasi dan dokter
yang akan menerima pasien harus diberi tahu mengenai keadaan, kedatangan dan cara
evakuasi (darat, laut atau udara)
X-ray
Pembuatan X-ray tidak boleh menghambat resusitasi. 3 macam X-ray yang boleh
dilakukan:
AP thoraks
AP pelvis
Ketika X-ray tersebut harus dilakukan druang resusitasi dengan alat X-ray protabel. Pada
fase Primary survey dapat dilakukan X-ray dari open mouth odontoid dan AP
thorakolumbal jika di curigai
SECONDARY SURVEY
Secondary survey tidak dimulai bila primery survey belum selesai. Resusitasi sudah
dilakukan dari evaluasi ABC direvaluasi. Yang dilakukan dalam secondary survey adalah
anamnese yang lengkap termasuk biomekanik kecelakaan dan pemeriksaan fisik dari
kepala sampai ke ujung kaki.
Trauma tumpul
Penyebab terbanyak dari trauma tumpul adalah kecelakaan lalu lintas. Disini kita
mendapat memprediksikan cedera yang dierita korban KLL.
Pada saat terbanyak terjadi kecelakaan dari depan maka pada:
Fase 1 : pengemudi bergeser ditempat duduknya dan lutut mengenai dasbord dan
dapat terjadi fraktur patela, femur dan dislokasi sendi panggul
Fase II : pengemudi dilempar ke atas depan dan kepala/dahi mengenai frame kaca
dan dapat terjadi fraktur frontalis/cedera kepala dan vetebra sevikalis.
Fase III : pengemudi dilempar ke depan dan thoraks mengenai stir dan dapat terjadi
fraktum sternum, iga traumatic wat lung pneumotoraks atau hematotoraks.
Fase IV : pengemudi dilempar ke depan dan muka mengenai kaca dan dapat terjadi
segala macam cedera
Hal yang sama dapat terjadi pada penumpang disamping pengemudi (tanpa trauma
thoraks )
Pada penumpang di belakang pengemudi dapat terjadi proses yang sama terutama
disini dapat terjadi fraktur servikal karena kepala kena sandaran kursi depan dan terjadi
hiperektensi servikal
Pada pejalan kaki, pengendara sepeda motor, bila ditabrak mobil, bemper akan
mengenai kaki dan dilempar ke atas mengenai frame kaca/ke samping dan dan dapat
menderita:
cedera kepala
fraktur vertebra servikal
cedera thorakal / abdominal
fraktur tungkai bawah
Khusus pada pengendara sepeda/sepedamotor dapat menderita Hendel Bar Injury,
(jejak setang pada abdomen) dimana setang menjepit usus kiri vertebra
Trauma tembus
Dua faktor menentukan tipe cedera dan penanggulangannya :
transfer of energy
Pada luka tusuk, wanita mempunyai kebiasaan ke atas karena kebiasaan cara mengepal.
Pada luka tembak perlu diperhatikan:
jarak tembak
berputar peluru
Luka bakar
Pada luka bakar perlu diperhatikan
cedera termal
inhalasi asap
inhalasi CO
trauma tumpul dan fraktur seperti pada blast injury, lari dari api dan kejatuhan
benda keras dari tembok.
Hipotermi
Kehilangan panas badan dapat terjadi pada temperatur sedang seperti 15-20oC, jika
korban memakai pakaian yang basah, kurang bergerak dan vasodilatasi karena alkohol
atau ganja.
Zat berbahaya
Zat kimia, toksin dan radiasi dapat menyebabkan kelainan pada kulit, jantung, paru-paru
dan organ internal, keadaan ini berbahya bukan hanya untuk korban tetapi juga untuk
penolong. Karena dokter/UGD harus mempunyai protokolnya atau dapat menghubungi
pusat keracunan di RS
PEMERISAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik kita mencari cedera yang kita duga terjadi sesui dengan
biomekanik.
Kepala
Selain cedera sesuai dengan biomekanik pada pemeriksaan kepala harus diperhatikan
mata :
Besar pupil
Dislokasi lensa
Luka tembus
Benda asing
Periksa visual dengan membaca snelling chart atau tulisan pada botol infus
Hyfema
Cedera n. optikus
Cedera kepala
Maksilofasial
Cidera maksilofasial yang tidak ada gangguan pernafasan, ditanggulangi setelah pasien
stabil. Dan penanggulangan dapat dilakukan pada hari ke 7 atau 10.
Yang sering dilupakan pada pemeriksaan maksilafasial :
cedera n. fasialis
Leher
Tiga hal yang penting yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan leher:
Semua pasien dengan trauma tumpul yang menyebabkan cedera pada maksilo fasial
harus dianggap menderita fraktur vertebra servikal dan diperlukan demikian. Tidak ada
kelainan neurologis dan nyeri tidak menyingkirkan kemukinan adanya cedera vertebra
servikal.
Semua pasien kecelakaan yang memakai topi pengaman/Helm posisi kepala dan
leher harus dipegang dari bawah dalam posisi netral waktu melepas topi pengaman
nya.setelah lepas kepala tetap dipertahankan posisinya dengan memegang dari atas
Setiap luka tusuk yang menembus platisma harus dilakukan exsplorasi di kamar
operasi dan pemeriksaan oprasi termasuk arteriografi, bronkhoskopi, esophaguskopi, dan
esophagografi
Yang sering dilupakan pada pemeriksaan leher:
Cedera esofagus
Cedera trhkeo-laringeal
Thoraks
Cedera pada dinding toraks seperti:
flail chest
fraktur iga
dapat diketahui dekan inspeksi dan palpasi. Cedera pada paru-paru seperti:
pneumothoraks
hemathotoraks
dapat diketahi dengan perkusi dan auskultasi. Bunyi nafas yang lemah sudah merupakan
indikasi yang cukup untuk melakukan punksi pleura pada pneumthoraks tamponade
jantung dapat diketahui sengan adanya :
vena di leher melebar.tetapi seing tidak ada melebar bila terjadi hipovelemi
tension pneumtoraks
flall chest
tamponade jantung
ruptua aorta
Abdomen
Setiap cedera abdomen harus ditanggulangi dengan agresiv karena merupakan cedera
yang berbahaya. Pada pemeriksaan fisik abdomen, hasil dapat berbeda beberapa jam
kemudian.karna itu kalau kita tidak mendapatkan hasil yang positif,harus dilakukan
observasi.
Setiap trauma tumpul abdomen dengan tanda tanda yang tidak jelas dan kesadaran yang
menurun karena alkohol,ganja trauma kepala,dan trauma toraks,fraktur pelvis merupakan
indikasi untuk melakukan lavase peritoneal karenapemeriksaan akan sukar dilakukan
Yang sering dilupakan pada pemeriksaan fisik abdomen:
Cedera pankreas
Cedera ginjal
Fraktur ginjal
Fraktur pelvis
Tonus sfinkter
Pada wanita pemeriksaan colok vagina dapat memberikan informasi danya darah dalam
vagina dan laserasi vagina.
Yang sering dilupakan pada pemeriksaan:
cedera uretra
cedera rektum
cedera buli-buli
cedera vagina
Muskulo skeletal
Pemeriksaan pada tungkai dilakukan dengan:
Palpasi dengan rotasi atau three point pressure untuk menyertai nyeri, krepitasi
dengan gerakan abnormal
Tahanan antero-posterior dengan telapak tangan pada kedua aterior superior lliaca
spines dan simfisis pubis untuk menilai fraktur pubis
Pasien harus di log rollll 98untuk menilai punggung dan meraba vertebra torakalis
dan lumbalis
fraktur vertebra
fraktur pelvis
fraktur jari-jari
Neurologis
Pada trauma harus dilakukan penilai mengenai motorik, sensorik, kesadaran dan pupil.
Ini dapat dilakukan secara objektif dengan glascow coma scale setiap tanda-tanda
paresis/paralisis menunjukan adanya cedera pada vertebra dan harus segera difiksasi
dengan short/long board atau semi rigid cervikal collar pendarahan exstra dural
maupun subdural, depresi tengkorak dan cedera intrakranial lainnya harus
dikonsultasikan dengan ahli bedah saraf, perubahan keadaan intrakranial berhubungan
neurologis dapat merubah prioritas penanggulangan oksigenasi dan perfusi otak harus
dinilai ulang. Dan bila tidak ada perubahan maka merupakan indikasi untuk tindakan
bedah atau evakuasi.
Yang sering dilupakan pada pemeriksaan neurologis:
Depresi tengkorak
Cedera vetebra
REEVALUSI PASIEN
Pada pasien trauma harus direevaluasiterus menerus sehingga tidak ada simptom baru
yang terlewatkan. Penanggulangan rasa sakit merupakan bagian dari penanggulangan
trauma tetapi pemakaian opiat akan mengkaburkan tanda-tanda kelainan neurologis dan
dapat mengakibatkan gangguan pernafasan. Karena itu pemakaiannya harus hati-hati
monitor kesadaran dan produksi urine (0,5-1 cc/kg BB/jam pada orang dewasa dan 1cc
/kg BB/ jam pada anak-anak) adalah yang terpenting, selain tanda-tanda vital lainnya,
karena menunjukkan perfusi jaringan.
PENANGGULANGAN DEFINITIF
Penanggulangan selanjutnya dipakai konsep total care sehingga semua masalah dapat
diprediksi dan ditanggulangi sebelum terjadi.
KESIMPULAN
Pada penanggulangan pasien pada trauma harus diingat urutan kegiatan / tindakan:
KESIAPSIAGAAN
TRIAGE
PRIMARY SURVEY
1.
2.
3.
4.
5.
RESUSITASI
monitor
SECONDARY SURVEY
Cedera maksilofasial
Leher
Toraks
Abdomen
Muskuloskeletal / punggung
Neurologi
Reevaluasi
Penanggulangan difinitif dengan konsep total cidera atau evakuasi
http://septian.journalspace.com/keperawatan/keperawatan-gawat-darurat/
05.53 19-2-12
AAAAA
epilepsi
MAKALAH
Asuhan Keperawatan pada Pasien Epilepsi
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah sistem neurobehaviour
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Sistem Neurobehaviour. Dalam makalah
ini kami membahas tentang Asuhan Keperawatan Pada Pasien Epilepsi dan Status
Epileptikus.
Dalam menyusun makalah ini penulis banyak mendapat bimbingan serta motivasi dari
beberapa pihak, oleh karenanya kami mengucapkan Alhamdulillah dan terima kasih
kepada:
1. Bapak Budi Utomo,Amd,Kep,M,Kes, selaku ketua Stikes Muhammadiyah
Lamongan.
2. Ibu Ilkafah,M.Kep. sebagai dosen pembimbing.
3. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis membuka diri untuk
menerima berbagai masukan dan kritikan dari semua pihak.Penulis berharap semoga
makalah ini bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca khususnya.
4.1. Kesimpulan
4.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Epilepsi merupakan suatu gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang
dikarakteristikkan oleh kejang berulang, hal ini dapat terjadi pada setiap umur angka
kejadiannya juga mengalami peningkatan Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang
epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang diantaranya adalah
epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang. Laporan WHO (2001)
memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif diantara
1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka
prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang. Hasil
penelitian Shackleton dkk (1999) menunjukkan bahwa angka insidensi kematian di
kalangan penyandang epilepsi adalah 6,8 per 1000 orang. Sementara hasil penelitian
Silanpaa dkk (1998) adalah sebesar 6,23 per 1000 penyandang. Dari data diatas penting
bagi perawat dalam mempelajari apa definisi dari epilepsi , penyebab serta klasifikasi,
manifestasi klinis dari epilepsi , status epileptikus dan bagaimana cara pencegahan dan
pengobatan dari epilepsi, begitu juga untuk memberikan asuhan keperawatan yang baik
bagi pasien yang mengalami epilepsi, sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan
yang baik dan dapat memberikan yang terbaik bagi pasien epilepsi, oleh karena itu untuk
bab selanjutnya akan dijelaskan lebih detail tentang teori epilepsi , status epileptikus dan
serta bagaimana memberikan asuhan keperawatan yang baik pada pasien yang
mengalami epilepsi.
1.2. Rumusan masalah
1.2.1. Apa definisi dari epilepsi ?
1.2.2. Apa etiologi dari epilepsi ?
1.2.3. Apa klasifikasi dari epilepsi ?
1.2.4. Apa patofisiologi dari epilepsi ?
1.2.5. Bagaimana pathway dari epilepsi ?
1.2.6. Apa saja manifestasi klinis dari epilepsi ?
1.2.7. Bagaimana pencegahan dan pengobatan dari epilepsi ?
1.2.8. Apa yang dimaksud status epileptikus ?
1.2.9. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien epilepsi ?
1.3. Tujuan penulisan
1.3.1. Untuk mengetahui definisi dari epilepsi
1.3.2. Untuk mengetahui etiologi dari epilepsi
1.3.3. Untuk mengetahui klasifikasi dari epilepsi
1.3.4. Untuk mengetahui patofisiologi dari epilepsi
1.3.5. Untuk mengetahui pathway dari epilepsi
1.3.6. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari epilepsi
1.3.7. Untuk mengetahui pencegahan dan pengobatan dari epilepsi
1.3.8.
1.3.9.
BAB II
PEMBAHASAN TEORI
2.1. Definisi Epilepsi
Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang
dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan
listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan
tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena
sensori.
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karakteristik kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang
dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal
sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi.
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri
timbulnya serangan paroksimal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron
otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.
2.2. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui , tetapi faktor
predisposisi diantaranya :
a. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu
menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum
alcohol, atau mengalami cidera.
b. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke
otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
c. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak
d. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anak-
anak.
e. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak
f. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak
g. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (fku), sclerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
h. Kecendrungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena
ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak
2.3. Klasifikasi Epilepsi
2.3.1. Berdasarkan penyebabnya
a. Epilepsi idiopatik : bila tidak di ketahui penyebabnya
b. Epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya
2.3.2. Berdasarkan letak focus epilepsi atau tipe bangkitan
A. Epilepsi partial (lokal, fokal)
1) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal
dengan gejala motorik yakni :
a. Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja
b. Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar
meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
c. Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh.
d. Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
e. Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau pasien
mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu.Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial
(epilepsi disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan
yang disertai vertigo).
f. Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
g. Visual : terlihat cahaya
h. Auditoris : terdengar sesuatu
i. Olfaktoris : terhidu sesuatu
j. Gustatoris : terkecap sesuatu
k. Disertai vertigo
l. Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian
kalimat.
m. Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,
mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di
masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
n. Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
o. Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
p. Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
q. Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu
fenomena tertentu, dll.
2) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik
kemudian baru menurun.
a. Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4
diikuti dengan menurunnya kesadaran.
b. Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan
sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti
ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu,
dll.
- Hanya dengan penurunan kesadaran
- Dengan automatisme
3) Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik,
klonik).
a. Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
b. Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
c. Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang
menjadi bangkitan umum.
B. Epilepsi umum
1. Petit mal/ Lena (absence)
a. Lena khas (tipical absence).
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong,
bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya epilepsi ini
berlangsung selama menit dan biasanya dijumpai pada anak .
Gejalanya :
- Hanya penurunan kesadaran
- Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada
kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
- Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan,
tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
- Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau
punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan
dapat mengetul atau mengedang.
- Dengan automatisme
- Dengan komponen autonom.
b. Lena tak khas (atipical absence)
- Gangguan tonus yang lebih jelas.
- Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
2. Grand Mal
a. Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah
sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat
dijumpai pada semua umur.
b. Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal
multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
c. Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah
dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi
pada anak.
d. Tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand
mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu
epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku
berlangsung kira-kira menit diikuti kejang kejang seluruh tubuh. Bangkitan ini
biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila
pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan
napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti
pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah,
atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
e. Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh.
Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama sekali dijumpai
pada anak.
C.
Epilepsi tak tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik,
mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak
berhenti sederhana.
2.4. Patofisiologi
Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan
fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan
dendrit ke neuron-neuron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh
belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada
keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan
menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat
merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan
menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat
manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel
lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke
intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke
dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah
keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter
inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang
atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas
kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak
tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik,
sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
b. jika anak berada dalam posisi berdiri atau duduk, baringkan anak
c. letakkan bantal atau lipatan selimut di bawah kepala anak. Jika tidak tersedia kepala
anak bisa disangga oleh kedua tangannya sendiri.
d. Longgarkan pakaian yang ketat
e. Lepaskan kacamata
f. Singkirkan benda-benda keras atau berbahaya
g. Biarkan serangan kejang berakhir tanpa gangguan
h. Jika anak muntah miringkan tubuh anak sebagai satu kesatuan ke salah satu sisi
- Setelah kejang :
a. Hitung lamanya periode postiktal (pasca kejang)
b. Periksa pernapasan anak. Periksa posisi kepala dan lidah.
c. Reposisikan jika kepala anak hiperekstensi. Jika anak tidak bernapas, lakukan
pernapasan buatan dan hubungi pelayanan medis darurat.
d. Periksa sekitar mulut anak untuk menemukan gejala luka bakar/kimia atau
kecurigaan zat yang mengindikasikan keracunan
e. Pertahankan posisi tubuh anak berbaring miring
f. Tetap dampingi anak sampai pulih sepenuhnya
g. Jangan memberi makanan atau minuman sampai anak benar-benar sadar dan refleks
menelan pulih
h. Hubungi pelayanan kedaruratan medis jika diperlukan
i. Kaji faktor-faktor pemicu awitan kejang (kolaborasi).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Pengkajian
3.1.1. Identitas pasien : Nama, umur, alamat, pekerjaan dan penanggung jawabnya.
Umur : bisa menyerang segala umur .
Pekerjaan : seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress dapat
memicu terjadinya epilepsi.
3.1.2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Kejang
b. Riwayat kesehatan sekarang
Keluarga pasien mengatakan pasien tiba-tiba tidak sadarkan diri kemudian kejang-kejang
disertai mulut berbuih.
c. Riwayat kesehatan dahulu
1 tahun yang lalu pasien pernah mengalami kecelakaan yang hebat dan mengalami cidera
kepala .
d. Riwayat kesehatan keluarga.
Keluaraga pasien mengatakan bahwa ada keluarga yang pernah mengalami kejadian
seperti pasien pada saat ini.
3.1.3. Pemeriksaan fisik (ROS)
a. B1 (breath): RR meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea, aspirasi
D : Tinggi Kalori dan Protein Spasme mulut sekunder dengan kenjang Nutrisi kurang
dari kebutuhan
6 Ds : pasien mengatakan nyeri kepala
Do :
P : Nyeri pada saat beraktivitas.
Q : nyeri seperti tertusuk
R : nyeri pada kepala
S : 7-8
T : Hilang timbul Respon fisik pasca kejang Gangguan rasa nyaman nyeri
3.3. Diagnosa
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d. peningkatan sekresi saliva.
2. Gangguan perfusi jaringan b.d. hipoksia pada otak.
3. Pola nafas tidak efektif b.d bronkopasme sekunder dengan kejang.
4. Resiko cidera b.d. kejang berulang.
5. Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d Spasme mulut sekunder dengan kejang.
6. Gangguan rasa nyaman nyeri ( Kepala ) b.d. respon fisik pasca bedah.
3.4. Rencana keperawatan
Dx 1: Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
saliva
Tujuan : Setelah dilakukan proses keperawatan selama 1x24 jam diharapkan jalan nafas
kembali efektif dan paten dengan KH :
- TTV normal ( TD: 110 /70 -120/80 ,RR : 16- 20 x/mnt, N : 60 -100x/mnt , S : 36,5
-37,50 C )
- Tidak ada sianosis
- Pasien tidak sesak nafas
Intervensi Rasional
1. Anjurkan pasien untuk mengosongkan mulut dari benda/zat tertentu/gigi palsu atau
alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang
terjadi tanpa ditandai gejala awal.
2. Observasi TTV
3. Letakkan pasien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala selama
serangan kejang.
4. Tanggalkan pakaian pada daerah leher/abdomen.
5. Masukkan spatel lidah atau gulugan benda lunak sesuai dengan indiksi.
6.
7.
Kolaborasi : pemberian O2
1.
Intervensi Rasional
1. Kolaborasi :
Berikan tambahan O2
2. Monitor TTV. 1. Dapat memperbaiki atau mencegah memburuknya hipoksia.
2. Untuk mengetahui keadaan umum pasien.
Dx 4 : Resiko cidera b.d. kejang berulang
Tujuan : setelah dilakukan proses keperawatan selama 1x2 jam diharapkan cidera tidak
terjadi dengan KH :
- Tidak ada cidera fisik
- Pasien dalam kondisi aman,
- tidak ada memar dan tidak jatuh
Intervensi Rasional
1. Jauhkan pasien dari benda benda tajam / membahayakan bagi pasien.
2. Segera letakkan sendok di mulut pasien yaitu diantara rahang pasien.
3.
6. Obat anti kejang dapat mengurangi derajat kejang yang dialami pasien, sehingga
resiko untuk cidera pun berkurang.
Dx 5 : Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d Spasme mulut sekunder dengan kejang.
Tujuan : setelah dilakukan proses keperawatan selama 5x24 diharapkan nutrisi pasien
tercukupi dengan KH :
- BB Naik
- Pasien tidak lemah
- Hb Normal 12-14 g/dl
Intervensi Rasional
1.
2.
Observasi TTV
4. Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk mengatasi nyeri.
5. Kolaborasi : berikan obat analgesik sesuai dengan indikasi
1. Untuk mengetahui skala nyeri.
2. Meringankan nyeri dan memberikan rasa nyaman. Posisi yang nyaman dapat
memberikan efek maksimal untuk relaksasi
3. Untuk mengetahui keadaan umum pasien
4. Memberikan rasa nyaman pada saat nyeri.
5.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang
dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan
listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan
tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena
sensori. Ada beberapa macam epilepsi, yaitu:
1. Berdasarkan penyebabnya:
a. Epilepsi idiopatik
b. Epilepsi simtomatik
2. Berdasarkan Letak fokus epilepsi atau tipe bangkitan:
a. Epilepsi partial
b. Epilepsi Umum
Status epileptikus : Adalah serangan kejang kontinu dan berlangsung lebih dari 30 menit
atau serangkaian serangan epilepsi yang menyebabkan anak yang tidak sadar kembali.
Asuhan keperawatan meliputi : pengkajian, pemeriksaan fisik dan diagnostik, analisa data
, diagnosa dan renncana keperawatan.
4.3. Saran
4.3.1. Bagi Mahasiswa
Meningkatkan kualitas belajar dan memperbanyak literatur dalam pembuatan makalah
agar dapat membuat makalah yang baik dan benar.
4.3.2. Bagi Pendidikan
Bagi dosen pembimbing agar dapat memberikan bimbingan yang lebih baik dalam
pembuatan makalah selanjutnya.
4.3.3. Bagi Kesehatan
Memberikan pengetahuan kepada mahasiswa kesehatan khususnya untuk mahasiswa
keperawatan agar mengetahui bagaimana Asuhan keperawatan pada pasien epilepsi dan
status epileptikus.
http://hanifa39.blogspot.com/2012/01/epilepsi.html
06.02 19-2-12
AAAAA