Anda di halaman 1dari 61

ISSN

1979-6560

Jurnal

Volume 5, Nomor 13, Januari 2009

Kajian Permasalahan Lingkungan dan Sosial Ekonomi


Rencana Penambangan dan Pengolahan Pasir Besi di
Pantai Selatan Kulon Progo, Yogyakarta

Rancangan Proses Pembuatan Briket Batubara


Nonkarbonisasi Skala Kecil dari Batubara Kadar Abu
Tinggi

Blending Batubara untuk Pembangkit Listrik : Studi


Kasus PLTU Suralaya Unit 1-4

Hubungan antara Parameter Karakteristik Limbah


Batubara Kalimantan Timur dan Karakteristik
Pembakarannya

Perubahan Morfologi dan Kimia Batuan Pembawa


Fosfat Akibat Pelindian dengan Aspergillus Niger

Pengembangan buah naga oleh petani dan di pantai


selatan Kabupaten Kulon Progo

Contoh limbah batubara SL dengan pembakar siklon

tek MIRA

PUSLITBANG TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA

ISSN 1979 6560

Jurnal

Teknologi Mineral dan Batubara

Volume 5, Nomor 13, Januari 2009


No Akreditasi : 36/Akred-LIPI/P2MBI/9/2006

Daftar Isi

Daftar Isi ................................................................................................................................................. i

Sekapur Sirih .......................................................................................................................................... ii

Kajian Permasalahan Lingkungan dan Sosial Ekonomi Rencana Penambangan dan Pengolahan
Pasir Besi di Pantai Selatan Kulon Progo, Yogyakarta .................................................................... 1 - 16
Bambang Yunianto

Rancangan Proses Pembuatan Briket Batubara Nonkarbonisasi Skala Kecil dari Batubara
Kadar Abu Tinggi .......................................................................................................................... 17 - 30
Suganal

Blending Batubara untuk Pembangkit Listrik: Studi Kasus PLTU Suralaya Unit 1-4 .................... 31 - 39
Slamet Suprapto

Hubungan antara Parameter Karakteristik Limbah Batubara Kalimantan Timur


dan Karakteristik Pembakarannya................................................................................................ 40 - 46
Stefano Munir dan Ikin Sodikin

Perubahan Morfologi dan Kimia Batuan Pembawa Fosfat Akibat Pelindian


dengan Aspergillus Niger ............................................................................................................. 47 - 56
Tatang Wahyudi

Petunjuk Bagi Penulis .......................................................................................................................... 57

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara terbit pada bulan Januari, Mei, September dan memuat karya ilmiah yang
berkaitan dengan litbang mineral dan batubara mulai dari eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, lingkungan, kebijakan
dan keekonomiannya.
Redaksi menerima sumbangan naskah yang relevan dengan substansi terbitan ini.
Biaya langganan : Rp 105.000,-/tahun di luar ongkos kirim, harga eceran Rp 35.000,-/eksemplar.
EDITOR IN CHIEF

: Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara

PEMIMPIN REDAKSI

: Hadi Nursarya

REDAKTUR PELAKSANA

: Umar Antana

EDITOR

: Binarko Santoso (Ketua), Tatang Wahyudi, Sri Handayani, Datin Fatia Umar, Jafril, Miftahul
Huda, Husaini, I. G. Ngurah Ardha, Siti Rafiah Untung dan Fauzan

STAF REDAKSI

: Umar Antana, Nining Trisnamurni, Mining Emiliastuti, Rusmanto, Bachtiar Effendi dan
Arie Aryansyah

PENERBIT

: Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara

ALAMAT REDAKSI

: Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211


Telpon : (022) 6030483 - 5, Fax : (022) 6003373
e-mail : publikasitekmira@tekmira.esdm.go.id / publikasitekmira@yahoo.com

Keterangan gambar sampul depan : Pengembangan buah naga oleh petani di pantai selatan Kabupaten Kulon Progo (atas); Contoh limbah
batubara SL dengan pembakar siklon (bawah)
i

Sekapur Sirih
Pada awal 2009 ini, Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang pertambangan mineral dan batubara telah
diterbitkan untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 11/1967 yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dan tuntutan zaman. Hal-hal penting yang tertera pada klausul-klausul undang-undang baru
tersebut, terkait erat dengan masalah peningkatan nilai tambah mineral, pendayagunaan dan peningkatan
pemanfaatan potensi sumber daya mineral dan batubara, penciptaan daya tarik investasi dan perlindungan
lingkungan serta konservasi sumber daya mineral dan batubara. Semua hal ini juga sejalan dengan paradigma
baru dalam pengelolaan sumber daya mineral dan batubara yang dikenal dengan istilah praktek-praktek
pertambangan dengan baik dan benar (good mining practices). Apabila hal-hal ini benar-benar dilaksanakan
oleh para pemangku kepentingan pertambangan sesuai dengan semangat baru tersebut, beragam permasalahan
pertambangan yang rentan terhadap konflik kepentingan antarsektor pembangunan dan masyarakat sekitar
operasi penambangan, dapat diantisipasi dan diminimalisasikan sedini mungkin.
Pada nomor terbitan jurnal kali ini, beragam makalah ilmiah yang mendukung paradigma baru bidang
pertambangan tersebut mencakup permasalahan lingkungan sosial-ekonomi dan peningkatan kelitbangan
dalam bidang teknologi mineral dan batubara. Kajian permasalahan lingkungan dan sosial-ekonomi rencana
tambang pasir besi menggambarkan dengan jelas konflik kepentingan dalam penggunaan lahan antarsektor
pertambangan dan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat sekitar lokasi tambang. Permasalahan ini
bersumber dari kurangnya sosialisasi dan koordinasi antarsektor tersebut. Konflik ini dapat memicu pengurangan
minat berinvestasi dalam sektor pertambangan, karena adanya ketidakpastian hukum dan tumpang-tindih
penggunaan lahan. Proses pembuatan briket batubara nonkarbonisasi dari batubara kadar abu tinggi merupakan
usaha pemanfaatan batubara secara nasional sesuai dengan rancangan pengelolaan energi nasional untuk
memenuhi pencapaian energi bauran pada 2025. Batubara berkadar abu tinggi di Indonesia dapat digunakan
untuk pembuatan briket batubara yang memenuhi persyaratan teknis dan lingkungan. Blending batubara
untuk pembangkit listrik dilakukan untuk mengatasi masalah pemasokan batubara untuk PLTU Suralaya.
Sistem blending ini dapat dilakukan dengan mencampurkan antara batubara peringkat rendah dengan peringkat
tinggi sesuai dengan spesifikasi parameter kualitas batubara Indonesia yang terkait dengan nilai kalornya.
Hubungan antara parameter karakteristik limbah batubara dan karakteristik pembakarannya menunjukkan
potensi pemanfaatan limbah batubara yang dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif untuk bahan bakar
langsung dengan menggunakan pembakar siklon. Perubahan morfologi dan kimia batuan pembawa fosfat
dengan pelindian mikroorganisme menyisakan ampas pelindian. Pengujian kimia dan mikroskopis yang telah
dilakukan terhadap ampas tersebut menunjukkan kinerja yang baik dengan melakukan pengaturan pH untuk
mengurangi keikutsertaan unsur-unsur pengotornya dalam proses pelindiannya.
Peningkatan kelitbangan dalam bidang teknologi mineral dan batubara yang tertuang dalam makalah-makalah
tersebut perlu terus ditingkatkan, karena kualitas mineral dan batubara Indonesia harus memenuhi spesifikasi
keteknikannya untuk menghasilkan komoditas yang dapat dimanfaatkan, baik secara langsung oleh para
penggunanya di tanah air maupun sebagai komoditas ekspor. Dengan demikian, optimalisasi pemanfaatan
sumber daya mineral dan batubara tersebut dapat terlaksana, sesuai dengan arahan yang telah tertuang dalam
undang-undang dan paradigma baru dalam mengelola sumber daya mineral dan batubara.
Editor

ii

KAJIAN PERMASALAHAN LINGKUNGAN DAN SOSIAL


EKONOMI RENCANA PENAMBANGAN DAN
PENGOLAHAN PASIR BESI DI PANTAI SELATAN KULON
PROGO, YOGYAKARTA

BAMBANG YUNIANTO
Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara,
Jl. Jenderal Sudirman No. 623, Bandung 40211
Telp. 022 6030483 Ext. 227 e-mail : yunianto@tekmira.esdm.go.id
Naskah masuk : 11 Nopember 2008, revisi pertama : 06 Desember 2008, revisi kedua : 12 Desember 2008,
revisi terakhir : Januari 2009

SARI
Rencana penambangan dan pengolahan pasir besi oleh PT. Jogja Magasa Mining (PT. JMM) untuk menghasilkan
pig iron di Kabupaten Kulon Progo, DIY, ditolak sebagian masyarakat petani yang mengusahakan lahan tersebut,
dengan alasan masalah lingkungan dan sosial ekonomi. Wilayah Kontrak Karya (KK) PT. JMM, termasuk PT.
Krakatau Steel (PT. KS) dan Indo Mines Ltd. berada dalam lahan Pakualaman pada kawasan sepanjang 22
kilometer pesisir Kulon Progo, di wilayah Kecamatan Temon, Wates, Panjatan dan Galur.
Deposit pasir besi sekitar 33,6 juta ton. Produksi direncanakan 500.000 ton per tahun dan umur tambang
diperkirakan sampai 25 tahun. Penambangan menerapkan tambang kering dan proses ekstraksi dilakukan dengan
teknologi Autokumpu seperti yang diterapkan di New Zealand Steel. Reklamasi akan dilakukan sejauh 200
meter ke darat dengan dibuat gumuk artifisial dan ditanami cemara udang. Saat ini kegiatan PT. JMM dan Indo
Mines Ltd. sedang memasuki tahap studi kelayakan dan AMDAL yang dibantu oleh UGM.
Berdasarkan analisis, permasalahan bersumber dari kurangnya sosialisasi dan koordinasi antara sektor pertanian
dengan pertambangan. Secara prosedural perizinan, seluruh tahapan telah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia dan praktek-praktek pertambangan internasional. Menurut Bappeda Kabupaten
Kulon Progo, kegiatan PT. JMM dan Indo Mines Ltd. tidak menyalahi tata ruang kawasan pantai pesisir selatan
dan sudah sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sedangkan secara ekonomi, beberapa keuntungan
yang akan diperoleh pemerintah dan masyarakat, antara lain terbukanya lapangan pekerjaan yang sangat luas
baik pada kegiatan penambangan, pengolahan, maupun industri pendukungnya; peningkatan PAD, meningkatkan
pendapatan masyarakat sekitar lingkar proyek melalui program pengembangan masyarakat, membantu industri
baja nasional (PT. Krakatau Steel), dan merupakan satu-satunya industri pig iron di Asia Tenggara.
Kata kunci:pasir besi, rencana penambangan dan pengolahan, konflik sektoral, isu lingkungan dan sosial ekonomi

Kajian Permasalahan Lingkungan dan Sosial Ekonomi Rencana Penambangan ... Bambang Yunianto

ABSTRACT
The plan of mining and processing of iron sand carried out by PT. Jogja Magasa Mining (PT. JMM) to produce
pig iron in the Kulon Progo Regency-DIY, is rejected by some farmer communities that have used the land due
to the environmental and socio-economic issues. The area of the work-contract of the company, including PT.
Krakatau Steel (PT. KS) and Indo Mines Ltd. is located in the Pakualaman land along 22 km of the Kulon Progo
coast of the Districts of Temon, Wates, Panjatan and Galur.
The iron sand deposit is 33.6 million tons. The production is planned to be 500,000 tons/year, whilst the age
of the mining is assumed 25 years. The mining will apply dry mining method; and the process of extraction
will use autokumpu technology as applied in the New Zealand Steel. Reclamation will be conducted in a 200
m long toward inland by making an artificial dune with plants of cemara udang. Nowadays, the company
activity is reaching the stages of feasibility study and environmental impact study assisted by Gajah Mada
University.
According to the analyses, the issues are caused by the lack of socialisation and coordination between the
sectors of agriculture and mining. Procedurally, all the stages are in accordance with the national prevailing
regulations and the international mining practices. According to the Agency for Regional Development Planning of the regency, the mining activity is in a line with the spatial use of the south coastline. Economically,
some benefits that will be obtained by the regional government and the community consist of wide job
opportunities from the mining operation, processing, supporting industries; increase of the regional revenue,
improvement of the community prosperity around the project through the community empowerment program,
increase the national steel industry (PT. KS), and it will be the sole pig iron industry in the Asean region.
Keywords: iron sand, mining and processing plans, sectoral conflict, environmental and socio-economic issues

Polemik mengenai isu rencana penambangan dan


pengolahan pasir besi untuk menghasilkan pig iron di
Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta terus bergulir.
Permasalahan tersebut masih tetap akan berlanjut
mengingat banyak pemangku kepentingan (stakeholders) yang terlibat, baik di daerah maupun Pusat dan
lokasi kegiatan meliputi wilayah yang luas di 4
Kecamatan di Kabupaten Kulon Progo, yaitu Temon,
Wates, Panjatan dan Galur.

Wilayah konsesi KK PT. JMM (termasuk PT. KS dan


Indo Mines) meliputi kawasan sepanjang 22 kilometer pesisir Kulon Progo, yang berada dalam wilayah
4 kecamatan, yaitu Temon, Wates, Panjatan dan
Galur. Menurut status tanah, kawasan pantai selatan
tersebut terbagi dua, kawasan pantai sebelah timur
Sungai Progo ke arah Kabupaten Bantul merupakan
milik kraton Yogyakarta (Sultan Ground), sedangkan
kawasan pantai sebelah barat Sungai Progo ke arah
Kutoarjo merupakan tanah Pakualaman/ Pakualam
Ground (BPS Kabupaten Kulon Progo, 2007).

Pada awalnya, kegiatan pertambangan pasir besi yang


akan dilakukan PT. Jogja Magasa Mining (PT. JMM)
ini berizin Kuasa Pertambangan (KP) Eksplorasi
Bupati Kulon Progro. Proyek tersebut merupakan
kerja sama antara PT. Krakatau Steel (PT. KS) dan
PT. JMM. PT KS saat ini adalah salah satu perusahaan
baja hilir terbesar di Indonesia. Indo Mines Ltd.
merupakan perusahaan tambang dari Australia, yang
akan membangun pabrik untuk mengolah pasir besi,
dengan nilai investasi 600 juta dolar AS. Oleh karena
ada unsur penanaman modal asing (PMA), maka
Kuasa Pertambangan (KP) Eksplorasi Bupati Kulon
Progo tersebut ditingkatkan menjadi KK pertambangan.

Permasalahan mulai terjadi, meskipun status tanah


merupakan tanah Pakualaman, karena wilayah
tersebut sudah sejak lama dibudidayakan oleh
masyarakat pantai sebagai lahan pertanian, maka
sebagian besar masyarakat menolak untuk dijadikan
lahan pertambangan. Masyarakat daerah ini
mengolah lahan tersebut menjadi lahan pertanian
sejak sebelum tahun 2000, yang mendapat bantuan
dan dukungan proyek pengembangan pertanian
kawasan pantai. Setelah berbagai proyek pertanian
masuk, secara signifikan lahan pertanian tersebut
mampu ditingkatkan produktivitasnya, dan
masyarakat kawasan pantai ini banyak mengalami

1.

PENDAHULUAN

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009 : 1 16

kemajuan, sehingga muncul perlawanan dari


beberapa kelompok tani, seperti Paguyuban Petani
Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo, Kelompok Tani
Ngudi Rejeki, Kelompok Tani Karangwuni, Wates.

pengolahan dan analisis data menggunakan teknik


deskriptif, kompilasi dan eksplanatori.
3.

Dalam proses selanjutnya, sejalan dengan semakin


gencarnya sosialisasi yang dilakukan oleh PT. JMM
(Indo Mines Ltd. dan PT. KS), baik sosialisasi ke
masyarakat langsung, atau melalui orang-orang kunci
(formal dan nonformal) masyarakat pantai, maupun
sosialisasi yang dilakukan melalui dinas dan di
hadapan DPRD Kabupaten Kulon Progo, suara pro
dan kontra terhadap kehadiran proyek tersebut mulai
terpecah. Masyarakat dan kelompok tani Desa
Banaran yang dulunya menolak kini menjadi
mendukung setelah mendapat kepastian mengenai
lahan garapannya dan manfaat yang akan didapat
dari adanya proyek tersebut.
Maksud penulisan ini adalah menginventarisasi
permasalahan mengenai rencana kegiatan
penambangan dan pengolahan pasir besi di pantai
selatan Kabupaten Kulon Progo, DIY untuk mencari
pemecahannya yang terbaik, dan dapat memberi
masukan kepada pihak-pihak yang terkait dalam
penyelesaian permasalahan tersebut.
2.

METODOLOGI

Metodologi yang dilakukan menggunakan


pendekatan multidisiplin ilmu, yaitu digunakannya
berbagai parameter keilmuan dalam membahas
permasalahan utama yang dikaji. Secara umum
penelitian dilakukan dengan survei lapangan ke lokasi
rencana penambangan dan pengolahan pasir besi di
pantai selatan Kabupaten Kulon Progo, DIY, yang
dilakukan pada 28 April 2 Mei 2008. Dalam survei
lapangan, selain dilakukan pendataan pada sumber
data utama juga dilakukan pendataan pada pemilik
kepentingan lainnya.
Metode penelitian yang diterapkan menggabungkan
penelitian kuantitatif dan kualitatif. Teknik penelitian
yang digunakan adalah observasi, inventarisasi data,
dokumentasi, dan wawancara langsung ke sumber
data. Jenis data yang dikumpulkan dan digunakan
dalam kajian berupa data primer dan data sekunder.
Data primer berupa informasi yang langsung berasal
dari responden, sedangkan data sekunder berupa data
dan informasi dari PT. JMM dan dinas terkait, baik
di tingkat kabupaten, provinsi maupun pusat. Teknik

3.1.

RENCANA PENAMBANGAN DAN


PENGOLAHAN PASIR BESI
Lokasi dan Wilayah Konsesi PT. JMM

Lokasi rencana kegiatan pertambangan pasir besi PT.


JMM terletak di pesisir selatan Kabupaten Kulon
Progo, meliputi 4 kecamatan, yaitu Galur, Temon,
Wates dan Panjatan (Gambar 1). Luas konsesi Kuasa
Pertambangan (KP) PT. JMM sesuai Keputusan
Depperindagkoptamb No. KP008/KPTS/KP/EKPL/X/
2005 yang diperbaharui dengan No. 11/KPTS/KP/
EKPL/X/2006 adalah 4.000 ha, meliputi 4
kecamatan dengan desa-desa: Jangkaran, Sindutan,
Palihan, Glagah, Karangwuni, Garongan, Pleret,
Bugel, Karangsewu dan Banaran (Gambar 2).
Selanjutnya, KP PT. JMM tersebut ditingkatkan
menjadi Kontrak Karya (KK) dengan menggandeng
Indo Mines PTY Ltd. dengan luas 3000 ha,
meliputi desa-desa: Karangwuni, Garongan, Pleret,
Bugel, Karangsewu, dan Banaran seperti ditunjukkan
oleh Gambar 3 (PT. JMM, 2006).
3.2.

Kegiatan Eksplorasi

PT. JMM telah menyelesaikan aktivitas eksplorasi


pasir besi di Kulon Progo pada akhir 2006. Eksplorasi
dilakukan pada area sekitar 2 x 22 km, dengan
melakukan pemboran eksplorasi pada 929 titik
dengan kedalaman rata-rata 16 meter. Tidak dijumpai
resistensi dari warga didaerah eksplorasi karena semua
kewajiban yang berupa ganti rugi dan lain-lainnya
diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Hasil
laporan eksplorasi pasir besi Kulon Progo telah
mendapatkan sertifikasi internasional dari JORC
(Joint Ore Reserve Committee) suatu badan
akreditasi cadangan mineral internasional. Dari hasil
eksplorasi diperoleh kesimpulan bahwa total
cadangan pasir besi Kulon Progo adalah sekitar 605
juta ton dengan kandungan Fe sekitar 10.8% dan
proporsi tertinggi cadangan pasir besi pada kedalaman
6-8 meter dari permukaan dengan total cadangan
sekitar 273 juta ton dengan kandungan Fe sekitar
14,2%. (PT. JMM, 2006a).
Kegiatan eksplorasi dilakukan dengan metode Aircore
Drilling sebanyak 929 titik lubang bor. Hasil
pemboran telah dianalisis di Laboratorium Konsultan

Kajian Permasalahan Lingkungan dan Sosial Ekonomi Rencana Penambangan ... Bambang Yunianto

Gambar 1.

Lokasi rencana penambangan pasir besi PT. JMM di pantai selatan


Kabupaten Kulon Progo

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009 : 1 16

Gambar 2.

Gambar 3.

Peta lokasi wilayah KP PT. JMM

Peta lokasi wilayah KK PT. JMM - Indo Mines Ltd.

Kajian Permasalahan Lingkungan dan Sosial Ekonomi Rencana Penambangan ... Bambang Yunianto

minimal 4,5 juta ton Fe, cukup untuk memasok


produksi minimal 300.000 ton pig iron per tahun
selama 15 tahun.

Geologi Mackay & Schnellman Pty Ltd menggunakan


JOCR Standard. Secara garis besar hasil eksplorasi
sebagai berikut:
a)

Di sepanjang 22 km dan lebar 1,8 km wilayah


pantai selatan Kabupaten Kulon Progo terdapat
cadangan mineral pasir besi 240 juta ton,
dengan kadar 14% Fe.

b)

Hasil tes awal dengan menggunakan teknologi


Autokumpu, menunjukkan bahwa pasir besi di
Kulon Progo dapat ditingkatkan perolehannya
(recovery) dari 14% Fe menjadi 50% Fe hanya
dengan menggunakan satu proses/tingkat
konsentrasi gaya berat (gravity concentration).
Apabila dilakukan dengan beberapa tingkat
(multiple stage), yaitu gravity concentration dan
magnetic separation kadar perolehan Fe akan
dapat ditingkatkan sampai 58 - 60%. Teknik
tersebut telah dilakukan selama 30 tahun untuk
operasi pengayaan pasir besi di New Zealand,
dengan produksi 700.000 ton pig iron per tahun.

c)

Cadangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo


(untuk kedalaman sampai dengan 6 meter) setara
dengan 33,6 juta ton Fe, hal ini melebihi dari
kebutuhan minimum Indo Mines Limited, yaitu

d)

3.3.

Dengan jumlah cadangan yang ada di zona


ekonomis wilayah KK, produksi per tahun,
permukaan rata-rata air tanah di wilayah KK dan
juga berdasarkan faktor wind blow, maka lama
penambangan akan berkisar kurang lebih 25
tahun. Produksi akan dilakukan sebesar 500.000
ton/ tahun, atau 41.000 ton/ bulan (PT. JMM,
2006b).
Rencana Penambangan, Pengolahan Pasir
Besi dan Pengelolaan Lingkungan

Areal penambangan berada pada jarak sekitar 200


meter dari garis pantai ke arah darat, dan akan dibuatkan
barrier atau tanggul dan ditanami pohon cemara
udang, sebagai pencegah abrasi. Berdasarkan penelitian
Suhardi (PT. JMM, 2006b), Kepala Laboratorium
Fisiologi Pohon dan Bioteknologi Kehutanan UGM,
tanaman ini sangat efektif untuk pencegahan abrasi,
erosi dan peredam tsunami dan telah terbukti pada
percobaan di sepanjang pantai Samas dan Pandansimo
(Skema rencana penambangan dapat dilihat pada
Gambar 4 dan 5).

PENANAMAN
CEMARA UDANG
(PENCEGAH ABRASI
PEREDAM TSUNAMI)
PRE-CONCENTRATION PLANT

PENAMBANGAN

Tree

Tree

LAUT

PRA KONSENTRAT BIJI BESI

PANTAI
200M

Gambar 4.

(AREA PENAMBANGAN)

Skema rencana penambangan pasir besi PT. JMM di Kabupaten Kulon Progo

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009 : 1 16

Gambar 5.

Skema cara penambangan

Sistem penambangan menggunakan metode


pengupasan (strip mine) secara kering. Hal ini
berbeda dengan yang dilakukan PT Antam Tbk. pada
tambang pasir besi Cilacap dan Kutoarjo yang
menggunakan monitor air dengan menerapkan
metode tambang semprot. Pengolahan dan
peleburannya akan menerapkan teknologi
Outokumpu seperti yang dilakukan di New Zealand
Steel dan menjadi yang pertama di Indonesia.
Penambangan dilakukan per blok, dengan umur
tambang per blok 8-12 bulan. Oleh karena itu,
penambangan dapat berpindah ke blok selanjutnya
apabila blok sebelumnya telah selesai ditambang
dan direklamasi. Kedalaman penggalian kurang lebih
6 m dengan total penurunan lahan maksimal 80 cm
(PT. JMM, 2007).
Untuk mendapatkan produk pig iron sekitar 1 juta
ton per tahun, maka setiap tahun perlu dilakukan
penambangan pada areal sejauh 200-400 m dari bibir
pantai pada batas pasang tertinggi dengan kedalaman
sekitar 6 m.
Pasir besi yang digali akan diangkut dan dimasukkan

dalam proses pencucian dan penyaringan, dengan


menggunakan air laut atau air tawar sebagai bahan
pencuci. Melalui proses penyaringan dan pemisahan
gaya berat (gravity concentration) akan diperoleh
20% pre-konsentrat mineral besi, sedangkan sisanya
sebanyak 80% berupa pasir halus akan dikembalikan
lagi ke lokasi galian tambang sebagai bagian dari proses
reklamasi. Pre-konsentrat mineral besi (20%) akan
diangkut dan kemudian diproses di pabrik konsentrat,
dengan alat pemisah magnetik, menghasilkan mineral besi/logam yang terpisahkan dari pasir halus,
sehingga beratnya menjadi hanya 10% dari total
galian pasir besi dan sisanya akan dikembalikan lagi
ke lokasi galian tambang sebagai bahan reklamasi.
Pada tahun kedua setelah penambangan, daerah
bekas area penambangan akan dapat ditanami
kembali dengan produk agrikultur yang lebih bernilai
ekonomis. Berdasarkan wawancara langsung dengan
Tejoyuwono Notohadiprawiro Dosen Ilmu Tanah
UGM, menyatakan bahwa area lahan pasir besi bukan
lahan yang bernilai pertanian. Dengan dihilangkan
kandungan logamnya, dan ditambah dengan tanah
dan dipupuk, maka daerah reklamasi akan menjadi

Kajian Permasalahan Lingkungan dan Sosial Ekonomi Rencana Penambangan ... Bambang Yunianto

lebih subur dan bernilai pertanian.


Rencana pembangunan pabrik pengolahan pasir besi
terpola dalam kerangka industri baja terpadu, yaitu
industri baja yang dimulai dari proses penambangan

pasir besi sampai dengan proses pembuatan pig iron


sebagai bahan baku utama baja, sebagaimana
ditunjukkan oleh bagan alir pada Gambar 6 dan 7.
Industri baja terpadu ini menganut kriteria berikut:

PENAMBANGAN
PASIR BESI

KONSENTRAT
PASIR BESI

VANADIUM SLAG
(BAHAN BAKU BAJA
TAHAN KARAT)

BATUBARA

PASIR BESI
PABRIK BESI
WANTAH
(PIG IRON)

CONCENTRATOR
(DENGAN MAGNIT)
PENCUCIAN DAN
PENYARINGAN

KONSENTRAT
PASIR BESI

PIG IRON
(BAHAN BAKU BAJA)

PASIR HALUS
BATUKAPUR
PASIR
SLAG (DAPAT DIPAKAI
BAHAN PERKERASAN
KONSTRUKSI JALAN)
REKLAMASI

Gambar 6.

CATATAN : DALAM JANGKA PANJANG


AKAN DIKEMBANGKAN INDUSTRI BILLET BAJA

Bagan alir rencana industri baja terpadu di Kabupaten Kulon Progo

Gambar 7.

Pasir besi dikirim ke pabrik peleburan untuk diolah

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009 : 1 16

a)
b)

c)

d)

Untuk pabrik pengolahan diharapkan tidak jauh


dari lokasi penambangan.
Bahan pendukung untuk konstruksi pabrik dan
proses pengolahan semua tersedia di wilayah
Kulon Progo seperti mangan, andesit,
batugamping, tanah liat.
Ini salah satu alasan pabrik pengolahan ada di
Kulon Progo, supaya bersatu dengan kegiatan
penambangan sebagai sumber bahan bakunya
yang juga terdapat di Kabupaten Kulon Progo.
Metode pengolahan mengacu pada apa yang
dilakukan di New Zealand dengan menggunakan
3 macam alternatif pengolahan (PT. JMM,
2007).

Dalam pengelolaan lingkungan diterapkan teknik


reklamasi/pengembalian fungsi lahan seperti
ditunjukkan pada Gambar 8, dengan tahapan sebagai
berikut:
a) Material bukan pasir besi setelah dipisahkan
langsung dikembalikan.
b) Reklamasi diwajibkan untuk setiap blok dengan
teknik pengembalian perlajur sehingga proses
reklamasi beriringan dengan proses
penambangan/pengolahan.
c) Lahan hasil reklamasi akan dibuat lebih subur
dengan penambahan pupuk organik dan bahan

Gambar 8.

d)

lain yang diperlukan sehingga diharapkan


produksi pertanian meningkat.
Setelah selesai direklamasi, lahan akan
difungsikan kembali sebagai lahan pertanian
atau sesuai peruntukannya.

Pembangunan berbagai sarana pendukung akan


direncanakan sebagai berikut:
a) Sarana transportasi akan menggunakan dan
mengembangkan sarana jalan yang sudah ada
dan membuat sarana jalan yang baru sesuai
dengan kebutuhan industri.
b) Jalur transportasi kereta api dibutuhkan untuk
menghubungkan industri pengolahan dengan
pelabuhan terdekat di Pulau Jawa, untuk keluar
masuk hasil produksi dan bahan pendukung
industri.
c) Pasokan listrik dapat bersumber dari PLN atau
akan dibuat pembangkit tenaga listrik sendiri.
d) Kebutuhan air untuk industri maupun konsumsi
akan memanfaatkan sumber air laut ataupun
air sungai.
e) Untuk konstruksi pabrik, kantor, jalan dan
pemukiman karyawan akan memanfaatkan
sumber daya lokal yang ada di Kabupaten Kulon
Progo (PT. JMM, 2007).

Tahapan reklamasi dan bentuk penampang lahan setelah reklamasi

Kajian Permasalahan Lingkungan dan Sosial Ekonomi Rencana Penambangan ... Bambang Yunianto

4.

PERMASALAHAN DAN ANALISIS


PENYELESAIANNYA

4.1.

teknis dan ilmiah. Djafar Shiddieq ahli tanah


UGM menyatakan bahwa pemerintah kolonial
Belanda pun tidak melakukan penambangan
pasir besi di wilayah itu karena dampaknya yang
dianggap berbahaya terhadap keseimbangan
ekologis di wilayah itu. Di dunia ini hanya ada
tiga gumuk pasir yang bergerak, satu di antaranya
di kawasan pesisir selatan Yogyakarta. Kombinasi
penanaman cemara udang dan gumuk-gumuk
pasir bentukan alam itu merupakan penahan
tsunami alamiah yang paling efektif. Menurut
Sudaryatno dari Fakultas Geografi UGM, lapisan
pasir di bawah permukaan tanah sangat berguna
untuk meredam gempa. Jika pasir diambil, fungsi
itu hilang. Ia juga mengingatkan terjadinya

Permasalahan

Berdasarkan inventarisasi di lapangan terdapat


beberapa permasalahan, yaitu:
a) Permasalahan mulai terjadi, meskipun status tanah
sebagian besar merupakan tanah Pakualam, karena
wilayah tersebut sudah sejak lama dibudidayakan
oleh masyarakat pantai sebagai lahan pertanian,
maka sebagian besar masyarakat menolak untuk
dijadikan lahan pertambangan (contoh pertanian
rakyat lihat Gambar 9 dan contoh infrastruktur
di pantai selatan lihat Gambar 10).

Gambar 9 dan 10. Pengembangan buah naga oleh petani dan infrastruktur di pantai selatan
Kabupaten Kulon Progo

Selain merusak lingkungan, penambangan pasir


besi dianggap akan mengancam kelangsungan
pertanian lahan pasir. Masyarakat daerah ini
mengolah lahan tersebut menjadi lahan pertanian
sejak sebelum tahun 2000, yang mendapat
bantuan dan dukungan proyek pengembangan
pertanian kawasan pantai. Setelah berbagai
proyek pertanian masuk, secara signifikan lahan
pertanian tersebut mampu ditingkatkan
produktivitasnya, dan masyarakat kawasan
pantai ini banyak mengalami kemajuan, sehingga
muncul perlawanan dari beberapa kelompok
tani, seperti Paguyuban Petani Lahan Pantai
(PPLP) Kulon Progo, Kelompok Tani Ngudi
Rejeki, Kelompok Tani Karangwuni-Wates.
b)

10

Berbagai pihak yang memiliki kepentingan


terkait dengan kegiatan di kawasan pantai
tersebut menyampaikan pendapat, dari aspek

eksploitasi lebih jauh dan lebih dalam dari


semula yang direncanakan. Risiko kerusakan
alam yang menyertainya akan lebih hebat (PT.
JMM, 2007). Wilayah eksploitasi lahan di
wilayah itu terbagi atas tiga kepemilikan, yakni
tanah milik bersertifikat, tanah desa dan tanah
milik dinasti Pakualam (Pakualam Ground).
Tanggal 7 Januari 2003, KGPAA Pakualaman
IX mengeluarkan surat kepada Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah
(Bapedalda) Provinsi DIY, bernomor X/PA/
2003. Isinya antara lain bahwa lahan itu dapat
dikembangkan untuk kegiatan pertanian lahan
pasir, tidak diizinkan mengubah sifat fisik dan
hayati, seperti untuk penambangan pasir, dan
ada sanksi terhadap pelanggar.
c)

Dalam proses selanjutnya, sejalan dengan


semakin gencarnya sosialisasi yang dilakukan

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009 : 1 16

oleh PT. JMM (Indo Mines Ltd. dan PT. KS),


baik sosialisasi ke masyarakat langsung, atau
melalui orang-orang kunci (formal dan
nonformal) masyarakat pantai, maupun
sosialisasi yang dilakukan melalui dinas dan di
hadapan DPRD Kabupaten Kulon Progo, maka
suara pro dan kontra terhadap kehadiran proyek
tersebut mulai terpecah. Masyarakat dan
kelompok tani Desa Banaran yang dulunya
menolak, kini menjadi mendukung setelah
mendapat kepastian mengenai lahan garapannya
dan manfaat yang akan didapat dari adanya
proyek tersebut.
4.2.

Analisis Penyelesaian Permasalahan

Dalam pembahasan berikut akan dianalisis beberapa


permasalahan di atas berdasarkan akar masalah yang
dijadikan polemik.
1)

Proses Perizinan Rencana Penambangan dan


Pengolahan Pasir Besi

Rencana penambangan dan pengolahan pasir besi


PT. JMM dan Indo Mines Ltd. telah memenuhi
prosedur perizinan di Sektor ESDM, tahapan tersebut
adalah:
a) Tanggal 6 Oktober 2005 PT. JMM mengajukan
eksplorasi pasir besi.
b) KP Eksplorasi No. 008/KPTS/KP/EKKPL/X/2005
luas 4.076,7 Ha (Wates, Temon, Panjatan, Galur).
c) 30 Juni 2005 Indo Mines, Ltd (Australia)
bergabung karena mempunyai teknologi
Autokumpu pengolahan pasirbesi menjadi pig
iron.
d) Tanggal 25 Maret 2006 PT. JMM melakukan
eksplorasi dengan 929 titik bor, dan telah
melaporkan hasil eksplorasi sebanyak 14 volume.
e) Dalam tahun 2008 akan melakukan Studi
Kelayakan, AMDAL, dan melanjutkan pilot
proyek penambangan pasir besi sebagai model
penambangan nantinya.
Dalam kajian lingkungan yang dijadikan pedoman
adalah:
a) Perusahaan wajib melakukan studi lingkungan
melalui penyusunan dokumen AMDAL.
b) Penyusunan dilakukan oleh konsultan
lingkungan yang mempunyai kompetensi dan
kredibilitas yang diakui secara nasional dan
internasional, dan hasilnya diuji oleh komisi
AMDAL provinsi dan atau pusat.
c) Perusahaan wajib mengikuti Kebijakan
Pemerintah tentang Tata Ruang Wilayah dan

Pengembangan Sektor lain.


Pengawasan dan pembinaan dalam tahapan
penambangan dan pengolahan adalah:
a) Dalam proses penambangan dan pengolahan
perusahaan wajib mengikuti kaidah-kaidah
penambangan dan pengolahan yang baik dan
benar serta sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
b) Perusahaan wajib memberikan laporan
penambangan dan pengolahan secara periodik
sesuai ketentuan yang berlaku.
c) Aktivitas perusahaan di lapangan akan selalu
mendapat pengawasan dan pembinaan dari instansi
yang berwenang dalam sektor pertambangan dan
instansi terkait lainnya sesuai dengan
kewenangannya masing-masing, baik di daerah
maupun pusat.
Sedangkan pada tahap konstruksi, PT. JMM dan Indo
Mines akan menempuh beberapa hal:
a) Tahapan konstruksi dilakukan apabila hasil studi
kelayakan menyatakan bahwa rencana kegiatan
pengolahan dinyatakan layak secara teknis,
ekonomis, lingkungan, sosial kemasyarakatan dan
sesuai dengan peraturan perundang - undangan
yang berlaku.
b) Konstruksi meliputi pabrik, sarana jalan, pemukiman
karyawan, pembangkit listrik, kebutuhan air dan
sarana pendukung lainnya yang menunjang
kegiatan industri.
c) Pembangunan konstruksi diharapkan semaksimal
mungkin memanfaatkan sumber daya lokal (material, kontraktor, tenaga kerja dan lain-lain).
Jadi secara prosedur perizinan seluruhnya telah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia, dan sudah sesuai dengan praktekpraktek pertambangan yang diakui secara
internasional. Namun, hal tersebut perlu terus
menerus disosialisasikan kepada seluruh pemangku
kepentingan yang terkait dengan kegiatan
penambangan dan pengolahan pasir besi tersebut,
terutama pemangku kepentingan di daerah dan
masyarakat yang nantinya akan terkena dampak
langsung adanya kegiatan tersebut.
2)

Keterkaitan Pengolahan Pasir Besi dengan


Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan
Sektor Lain

Kebijakan Penataan Tata Ruang bersifat dinamis dan


dievaluasi setiap 5 tahun. Kegiatan pengolahan pasir
besi dapat disinergikan dengan kegiatan lain dalam
satu kawasan yang dapat diatur melalui RTRW juga

Kajian Permasalahan Lingkungan dan Sosial Ekonomi Rencana Penambangan ... Bambang Yunianto

11

dalam Rencana Detil Tata Ruang Kawasan pantai


selatan Kulon Progo, karena pengolahan pasir besi
bersifat sementara. Berdasarkan koordinasi dengan
Bappeda Kabupaten Kulon Progo, kegiatan PT. JMM
dan Indo Mines Ltd. tidak menyalahi tata ruang
kawasan pantai pesisir selatan dan sudah sesuai
RTRW seperti ditunjukkan oleh Gambar 11 dan
Gambar 12 (Bappeda Kabupaten Kulon Progo,
2005).

a)

Sementara itu, terkait dengan sektor lain, kesuburan


tanah setelah ditambang menurut Tejoyuwono
Notohadiprawiro (UGM), area lahan pasir besi
adalah bukan lahan yang bernilai pertanian. Namun,
setelah dihilangkan kandungan logamnya, dan
ditambah dengan tanah dan dipupuk, maka daerah
reklamasi akan menjadi lahan yang lebih subur dan
bernilai pertanian (PT. JMM, 2007).

d)

3)

Manfaat Proyek bagi Masyarakat Lingkar Proyek


dan yang Terkena Dampak

g)

Penduduk yang terkena dampak penambangan akan


diberi ganti rugi yang layak dan wajar, serta akan
dipekerjakan dalam proses penambangan,
pembibitan dan penanaman cemara udang, proses
reklamasi, perbaikan mutu tanah dan pemupukan.
Pada tahun kedua, setelah reklamasi pada area
penambangan tahun pertama, penduduk/petani dapat
memanfaatkan kembali tanah eks penambangan, dengan
tanaman yang lebih bernilai ekonomis. Berikut
manfaat dari aspek penyerapan tenaga kerja:
a) Pada area pra-penambangan, lahan mungkin
hanya bisa memberi manfaat ekonomis pada
10 petani, tengkulak cabai dan semangka.
b) Pada masa penambangan akan terserap tenaga
kerja minimum 100 tenaga kerja secara langsung
dan sekitar 100 secara tidak langsung (sektor
angkutan, pemasok, komunikasi dan lainnya).
c) Pada masa konstruksi pabrik peleburan pig iron,
yang akan dimulai pada tahun 2008, setidaktidaknya akan terserap secara langsung 500
tenaga kerja.
d) Setelah pabrik peleburan besi wantah mulai
beroperasi, setidak-tidaknya akan dibutuhkan
sekitar 2000 tenaga kerja langsung untuk
memproduksi 1 juta ton pig iron per tahun.

h)

Untuk jangka panjang diharapkan akan berkembang


industri turunan dari industri peleburan pig iron yang
amat luas yang akan memberi manfaat ekonomis
bagi kemajuan masyarakat Kulon Progo dan
sekitarnya (BPS Kabupaten Kulon Progo, 2008).
Berikut manfaat sosial kemasyarakat berdasar hasil
kajian sementara:

12

b)
c)

e)

f)

4)

Aspek pertanian: peningkatan kualitas lahan


pasca tambang dan pengolahan, peningkatan
produksi hasil pertanian, peningkatan nilai
tambah usaha sektor pertanian.
Aspek pendidikan: program beasiswa, program
pengembangan sarana pendidikan, program
pengembangan sumber daya manusia.
Aspek kesehatan: pembangunan saranaprasarana kesehatan, peningkatan mutu
kesehatan masyarakat.
Aspek budaya: pelestarian dan pengembangan
budaya lokal.
Aspek sosial: pengembangan kelompokkelompok sosial kemasyarakatan, pembinaan
generasi muda, pembinaan dan peningkatan
peran perempuan.
Aspek keagamaan: pembangunan saranaprasarana ibadah, pembinaan dan peningkatan
kualitas dalam melaksanakan ibadah.
Aspek ekonomi: pembinaan dan pengembangan
UMKM, penguatan dan pembinaan
kelembagaan ekonomi pedesaan.
Aspek sarana umum: peningkatan infrastruktur
di lingkungan kawasan industri.
Keterkaitan Rencana Kegiatan dengan Kebijakan
Baja Nasional

Indonesia yang dikenal kaya sumber daya alam harus


mengimpor 100 % bahan baku baja dan 60-70 %
scrap baja untuk keperluan industri bajanya. Ini masih
ditambah teknologi pengolahan baja yang tidak
efisien, karena menggunakan sumber energi gas yang
semakin meningkat harganya.
DIY memiliki potensi yang luar biasa sumber daya
alam bahan baku baja yang berupa pasir besi,
khususnya di pantai selatan Kabupaten Kulon Progo.
Jika potensi ini dapat dimanfaatkan dan dikelola
dengan baik akan menghasilkan sekitar 1 juta ton
pig iron, berarti paling tidak akan memenuhi sekitar
50% bahan baku baja nasional yang sampai saat ini
masih diimpor. Saat ini bahan baku baja yang berupa
biji besi terolah 100% masih impor dari Amerika
Selatan, ongkos angkutnya sekitar $60 per ton. Bila
mampu memproduksi sendiri bahan baku baja, dari
ongkos angkut akan bisa menghemat sekitar
$50,000,000 per tahun. Contoh lain, Industri
Pengecoran Logam Klaten, tetangga DIY, hanya 25 km
dari Jogya. Industri ini masih membeli bahan baku
yang berupa pig iron impor dengan harga sekitar Rp
4000-5000/kg berarti sekitar $400-550/ton. Di negara
asal harganya hanya sekitar $300-350/ton. Oleh
karena itu, industri ini sulit berkompetisi di pasaran
ekspor. Kalau PT. JMM bisa memproduksi pig iron,

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009 : 1 16

Gambar 11. Rencana tata ruang kawasan pantai selatan tahun 2005-2015

U
Kajian Permasalahan Lingkungan dan Sosial Ekonomi Rencana Penambangan ... Bambang Yunianto

13

14

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009 : 1 16

Gambar 12. Peta rencana pemanfaatan lahan kawasan pantai selatan Kabupaten Kulon Progo

maka akan sangat membantu, karena harga bahan


baku pasti akan lebih murah 20-30% dari bahan baku
impor (PT. JMM, 2007). DIY khususnya Kabupaten
Kulon Progo memiliki potensi yang amat besar untuk
didirikannya suatu industri baja terpadu, mulai dari
penambangan bahan baku sampai industri
pengolahan bahan baku baja.
Berdasarkan kajian ekonomi sementara, rencana
pembangunan pabrik pengolahan pasir besi di
Kabupaten Kulon Progo adalah:
a) Potensi bahan baku (pasir besi) tersebar di
beberapa wilayah Indonesia tetapi sampai saat
ini Indonesia belum memiliki teknologi untuk
mengolah pasir besi menjadi pig iron.
b) Industri pig iron di Kulon Progo direncanakan
juga akan memanfaatkan bahan baku dari daerah
lain di Indonesia.
c) Industri pig iron direncanakan akan dikembangkan
menjadi industri baja di Kulon Progo.
d) Prospek investasi untuk pengembangan industri
di atas diperkiraan mencapai US$ 600 juta (Rp.
5,4 triliun).
Beberapa keuntungan yang akan diperoleh
pemerintah dan masyarakat antara lain:
a) Terbukanya lapangan pekerjaan yang sangat luas
baik di industri utama maupun industri pendukungnya sehingga mengurangi pengangguran di
Kulon Progo
b) Peningkatan pendapatan pemerintah/Daerah
yang sangat besar dari pajak, royalti, land rent,
retribusi, dan pendapatan lain yang sesuai dengan
peraturan yang berlaku, sehingga akan
mempercepat proses pembangunan yang
berujung pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat di Kabupaten Kulon Progo.
c) Dengan adanya program pengembangan
masyarakat (Community Development) akan
membantu mengembangkan masyarakat
terutama dalam bidang ekonomi, pertanian,
pendidikan, sosial, kesehatan, budaya,
keagamaan dan lainnya.
d) Industri ini akan menjadi satu-satunya industri
yang memproduksi pig iron di Asia Tenggara
dan akan dikembangkan sampai menjadi industri
baja di Kulon Progo.
e) Perusahaan yang telah menyatakan akan
membeli pig iron adalah PT. Krakatau Steel
(sesuai Head of Agreement 22 Januari 2007).
f) Lokasi pabrik dan area eksploitasi akan
disesuaikan dengan Rencana Pengembangan
Wilayah Pemkab Kulon Progo dan Pemprov DIY
termasuk kepemilikan lahan masyarakat dan
Puropakualaman (sesuai surat PT. JMM kpd

KGPA Paku Alam IX No. 055/JMM/IX/2006 tgl


22 September 2006.
5.

PENUTUP

Berdasarkan telaahan dari beberapa sudut pandang


terhadap permasalahan penolakan sebagian
masyarakat petani (isu lingkungan dan sosial ekonomi)
terkait rencana penambangan dan pengolahan pasir
besi oleh PT. JMM di pantai selatan Kabupaten
Kulon Progo tersebut, sebetulnya bersumber dari
kurangnya sosialisasi dan koordinasi di antara
pemangku kepentingan, terutama antara sektor
pertanian dengan sektor pertambangan. Beberapa hal
yang dijadikan dasar adalah:
a) Secara prosedur perizinan di bidang pertambangan, seluruh tahap telah dan akan dipenuhi
oleh PT. JMM dan Indo Mines Ltd.
b) Secara tata ruang pemanfataan lahan, kegiatan
tersebut sudah sesuai dengan RTRW Kabupaten
Kulon Progo.
c) Secara sosial ekonomi masyarakat dan pemda,
kegiatan tersebut akan membuka peluang kerja,
meningkatkan pendapatan masyarakat, dan
PAD, serta pengaruh ekonomi dari sektor-sektor
lain yang terkait.
d) Secara kepentingan nasional dapat memasok
kebutuhan pig iron PT. KS yang masih
mengimpor bahan baku, dan mendukung
kebijakan baja nasional sejalan dengan rencana
pembangunan pabrik baja di Kalimantan
Selatan.
Untuk itu, dalam penyelesaian setiap permasalahan
harus dilakukan kegiatan sosialisasi secara struktural
dan komprehensif terhadap seluruh pemangku kepentingan
yang terkait dengan rencana kegiatan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2005. Peraturan Bupati Kabupaten Kulon
Progo No. 40 Tahun 2005 tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Pantai Selatan Tahun 20052015, Wates.
Bappeda Kabupaten Kulon Progo, 2005. Rencana
Detail Tata Ruang Kawasan Pantai Selatan
Kabupaten Kabupaten Kulon Progo Tahun 2005
2015, Wates.
BPS Kabupaten Kulon Progo, 2008. Kabupaten Kulon
Progo dalam Angka 2006/2007, Wates.

Kajian Permasalahan Lingkungan dan Sosial Ekonomi Rencana Penambangan ... Bambang Yunianto

15

BPS Kabupaten Kulon Progo, 2008. Produk Domestik


Regional Bruto Kabupaten Kulon Progo 20022007, Wates.

PT. Jogja Magasa Mining, 2006b. Ringkasan hasil


eksplorasi pasir besi pada wilayah KK PT. JMM
dan PT. Indo Mines Ltd.

PT. Jogja Magasa Mining, 2006a. Aplikasi Kontrak


Karya untuk Pengembangan Pasir Besi di
Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.

PT. Jogja Magasa Mining, 2007. Bahan sosialisasi


rencana penambangan pasir besi di Kabupaten
Kulon Progo kepada masyarakat.

16

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009 : 1 16

RANCANGAN PROSES PEMBUATAN BRIKET BATUBARA


NONKARBONISASI SKALA KECIL DARI BATUBARA
KADAR ABU TINGGI

SUGANAL
Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA)
Jl. Jenderal Sudirman No. 623, Bandung
email : suganal@tekmira.esdm.go.id
Naskah masuk : 11 November 2008, revisi pertama : 06 Desember 2008, revisi kedua : 12 Desember 2008,
revisi terakhir : Januari 2008

ABSTRAK
Blue print Pengelolaan Energi Nasional 2006 mengarahkan bahwa penggunaan batubara perlu ditingkatan dari
15,34% menjadi 33% dalam energi bauran pada tahun 2025. Salah satu sasaran pemanfaatan batubara adalah
industri kecil dan rumah tangga. Akan tetapi, sistem pembakaran batubara pada rumah tangga dan industri
kecil umumnya menggunakan sistem grate atau kisi, sehingga memerlukan butiran batubara berbutir besar (
4 cm). Oleh karena itu perlu dilakukan pembriketan batubara. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan
penelitian pembuatan briket batubara dari batubara kadar abu tinggi termasuk pembuatan rancangan proses
serta biaya investasi agar dapat diterapkan pada masyarakat.
Hasil menunjukkan bahwa bahan pengikat proses pembriketan adalah molases, ukuran serbuk batubara 3
mm dan tekanan pembriketan 200 kg/cm2. Untuk pembuatan briket batubara skala kecil dengan kapasitas 2,5
ton/jam diperlukan peralatan utama yang terdiri atas jaw crusher, hammer mill, double roll mixer, dan mesin
briket sistem double roll. Kebutuhan dana investasi sebesar Rp 1,58 miliar dengan jumlah karyawan 13 orang.
Kata kunci : briket batubara, kadar abu tinggi, rancangan proses,investasi
ABSTRACT
Blue Print of the 2006 National Energy Management appointed that the use of coal needs to be increased from
15.34% to 33% in the 2025 energy mix. Among the target, the use of coal is for small scale industries and
households. However, coal burning system in households and small scale industries are generally applied
grate system, which needs large coal particles (4 cm). For this reason, coal briquetting is considered necessary. Based on this purpose, research on briquetting by using coal with high ash content was carried out
including the design of process, therefore it can be applied widely.
Result shows that the briquette binder was molasses, size of coal particles was - 3 mm, and pressure of 2.0 kg/
cm2. A small scale coal briquetting with the capacity of 2.5 ton/hour requires main equipments such as jaw
crusher, hammer mill, double roll mixer, and double roll briquetting machine. Investment cost was Rp 1.58
million, with 13 employees.
Keywords : coal briquette, high ash content, design process, investment

Rancangan Proses Pembuatan Briket Batubara Non Karbonisasi Skala Kecil ... Suganal

17

1.

PENDAHULUAN

Blue print Pengelolaan Energi Nasional 2006


mengarahkan bahwa penggunaan batubara perlu
ditingkatkan dari 15,34% pada tahun 2005 menjadi
33% dalam bauran energi pada tahun 2025 (Pusat
Informasi Energi, 2006). Berdasarkan informasi dari
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral,
penggunaan batubara sebagai sumber energi masih
dapat bertahan sampai 146 tahun, sedangkan minyak
bumi hanya dapat bertahan sampai 23 tahun
(Yusgiantoro, 2006). Meskipun cadangan batubara
cukup besar, umumnya sebagian dari batubara
tersebut adalah batubara peringkat rendah dengan
kadar air tinggi dan mudah pecah terkena terpaan
perubahan cuaca. Penggunaan batubara peringkat
rendah akan tepat untuk kegiatan rumah tangga dan
industri kecil padat energi yang tidak memerlukan
panas tinggi. Namun, penggunaan batubara pada
rumah tangga dan industri kecil umumnya
menggunakan sistem grate atau kisi, sehingga
memerlukan butiran batubara berbutir besar ( 4 cm).
Oleh karena itu perlu pembriketan batubara (Suganal,
2004).
Meskipun briket batubara telah disosialisasikan sejak
lama, kuantitas penggunaannya masih sangat kecil,
yaitu hanya 27.000 ton per tahun. Hal ini antara
lain karena sulitnya penyalaan awal mengingat briket
batubara merupakan bahan bakar padat.
Upaya perbaikan cara penyalaan dan memperkecil
biaya produksi dilakukan dengan menggunakan anglo
atau kompor briket batubara yang dilengkapi dengan
blower, agar pasokan udara pembakar cukup lancar,
terus menerus dan memperkecil radiasi panas dari
bagian bawah anglo (Suganal, dkk, 2006 ).
Pemanfaatan batubara dalam bentuk briket batubara
saat ini adalah sangat tepat, terutama untuk
kebutuhan industri kecil dan rumah tangga mengingat
minyak tanah semakin langka. Harga briket batubara
bila disetarakan dengan harga minyak tanah jauh
lebih rendah sehingga cocok digunakan untuk rumah
tangga dan industri kecil (Suganal, dkk, 2008).
Sementara itu, sebagian batubara Indonesia berkadar
abu tinggi dan relatif kurang diminati oleh industri
besar maupun sebagai komoditas ekspor.
Atas dasar beberapa pertimbangan tersebut di atas,
maka dilakukan penelitian pembriketan batubara
sebagai upaya untuk memanfaatkan batubara dengan
kadar abu tinggi tersebut, untuk pengganti minyak
tanah pada industri kecil maupun rumah tangga.

18

Tujuan penelitian ini adalah merancangan proses


pembuatan briket batubara nonkarbonisasi skala kecil
menggunakan batubara dengan kadar abu tinggi
melalui teknologi pembuatan briket batubara
sederhana, untuk memacu peningkatan produksi dan
penggunaan secara nasional.
2.
2.1.

TINJAUAN PUSTAKA
Pembuatan Briket Batubara Nonkarbonisasi

Briket adalah perubahan bentuk material yang pada


awalnya berupa serbuk atau bubuk seukuran pasir
menjadi material yang lebih besar dan mudah dalam
penanganan atau penggunaannya (http://
www.komarindustries.com). Perubahan ukuran material tersebut dilakukan melalui proses
penggumpalan dengan penekanan dan penambahan
atau tanpa penambahan bahan pengikat. Dalam hal
briket batubara, bahan baku batubara yang beraneka
ragam ukuran butirnya, diseragamkan melalui
pemecahan, penggerusan dan pengayakan kemudian
dicetak dengan mesin briket. Ukuran butir briket
batubara sekitar 4 - 12 cm tergantung kebutuhan
penggunaan (Schinzel, 1961 ).
Secara garis besar pembuatan briket batubara
nonkarbonisasi meliputi:
penggerusan batubara,
pencampuran dengan bahan pengikat,
pencetakan, dan
pengeringan.
Bagan alir secara umum terlihat pada Gambar 1.
Batubara dari stockpile digerus menggunakan alat
jaw crusher dan hammer mill. Produk dari jaw crusher
berukuran 2 cm, kemudian dilanjutkan penggerusan
dengan hammer mill sampai berukuran 3 mm.
Perpindahan bahan pada proses penggerusan
dilakukan menggunakan conveyor belt atau pneumatic conveyor.
Serbuk batubara dengan ukuran 3 mm (- 8 mesh)
ditambahkan bahan pengikat berupa tepung tapioka
atau serbuk tanah liat 60 mesh atau molases.
Jumlah bahan pengikat yang optimal adalah
(Suganal, 2004) :
jika menggunakan tepung tapioka maksimum
sekitar 3% berat,
jika menggunakan serbuk tanah liat sekitar 10%,
jika menggunakan molases sekitar 8%.

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009 : 17 30

Biomassa

Gambar 1. Bagan alir pembuatan briket batubara nonkarbonisasi (Maruyama, 2002; Suganal, 2004).

Pencampuran bahan pengikat dilaksanakan dalam


suatu mixer. Umumnya digunakan roll mixer. Untuk
pencampuran bahan pengikat berupa tepung tapioka,
terlebih dahulu tepung tapioka ini dibuat gel. Cara
yang sederhana adalah mencampur tapioka dengan
air dengan kompsisi 1:8, kemudian dipanaskan
sampai membentuk gel. Cara lain adalah
mencampurkan batubara dengan tapioka dalam
kondisi kering kemudian disemprotkan uap basah
dari boiler. Campuran batubara dengan bahan
pengikat disebut adonan yang siap untuk dicetak
dalam mesin briket.

terdapat sedikit perbedaan karena adanya


penambahan biomassa dan acapkali ditambahkan
pula serbuk kapur padam. Serbuk kapur padam
berfungsi sebagai material pengikat senyawa sulfur
agar lebih bersifat ramah lingkungan. Pada
pembuatan briket biobatubara, bahan baku batubara
dan biomassa terlebih dahulu mengalami proses
pengeringan, sehingga produk briket tak perlu
dikeringkan kembali. (Maruyama, T, 2002 ; http:/
www.nedo.go.jp/sekitan). Pencetakan briket
biobatubara dilaksanakan dengan mesin double roll
bertekanan tinggi, yaitu 3 ton/cm.

Untuk bahan pengikat berupa serbuk tanah liat,


pencampuran dapat langsung dilaksanakan dalam
mixer dengan cara menambahkan tepung tanah liat
sebanyak 10% dari berat batubara. Pencampuran
berlangsung pada kondisi kering kemudian
ditambahkan air sampai terbentuk adonan yang
lembab.

2.2.

Pencetakan briket dilakukan dengan mesin briket.


Untuk briket bentuk bantal umumnya dicetak dengan
mesin briket double roll (http:/www.det.csiro.au/
energy center). Tekanan pembriketan adalah 200 kg/
cm2. Untuk briket batubara bentuk sarang tawon
dicetak dengan mesin briket tipe silinder. Briket
batubara nonkarbonisasi tanpa bahan pengikat pada
umumnya menggunakan mesin briket double roll
tetapi bertekanan tinggi (>200 kg/cm2) (Clark, 2005;
http:/www.det.csiro.au/energy center)
Pembuatan briket biobatubara juga merupakan
pembuatan briket batubara nonkarbonisasi, namun

Rancangan Proses Pembuatan Briket


Batubara Nonkarbonisasi

Dalam rangka realisasi suatu produksi diperlukan


rancangan proses yang antara lain meliputi
pembuatan neraca massa dan neraca energi,
penentuan jenis peralatan atau perangkat produksi,
perhitungan dimensi dan kapasitas peralatan dan
perkiraan harga peralatan.
Pada pembuatan briket batubara terdapat beberapa
tahap proses yang relatif sederhana, yaitu
penggerusan batubara, pencampuran bahan pengikat,
pembriketan dan pengeringan. Penggerusan batubara
dapat menggunakan jaw crusher dan dilanjutkan
dengan hammer mill (Perry, 2008). Pencampuran
bahan pengikat dipilih double roll mixer atau pan
muller (Perry, 2008). Alat pencampur tersebut berupa
dua buah roda berputar ber keliling dalam suatu
bejana dan dilengkapi dengan scrapper (penggaru)
untuk mengaduk material obyek pencampuran. Tahap

Rancangan Proses Pembuatan Briket Batubara Non Karbonisasi Skala Kecil ... Suganal

19

pembriketan batubara cukup dilakukan dengan mesin


briket sistem double roll atau double roll press machine (Perry, 2008). Pengeringan briket batubara
umumnya dilakukan dengan cara penjemuran di
udara terbuka, kecuali untuk kapasitas besar sekitar
lebih dari 10 ton per jam. Pengering yang umum
digunakan adalah band dryer.

shatter test. Metode analisis menggunakan ASTM;


untuk VM D-3175 1989; moisture D-3173-1979;
nilai kalor D-5865-04 sedangkan untuk kadar abu
D-3174-04. Kegiatan analisis berlangsung di
Laboratorium Batubara Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara,
Bandung.
3.2. Pembuatan Briket Batubara Nonkarbonisasi

3.

METODOLOGI

Kegiatan rancangan proses pembuatan briket batubara


dari batubara kadar abu tinggi meliputi beberapa
kegiatan, yaitu :

Analisis contoh bahan baku (batubara) dan


produk (briket batubara);

Pembuatan briket batubara nonkarbonisasi; dan

Penyusunan rancangan proses pembuatan briket


batubara nonkarbonisasi.

Penelitian pembuatan briket batubara nonkarbonisasi


dibuat dalam dua jenis, yaitu briket biobatubara dan
briket batubara. Briket biobatubara dibuat dengan
mencetak adonan yang berupa campuran dari
batubara, serbuk kayu sebagai biomassa, serbuk kapur
padam sebagai desulfurization agent dan molases
sebagai bahan pengikat, sedangkan briket batubara
dibuat hanya dari campuran batubara dan bahan
pengikat tepung tapioka atau molases.

3.1.

3.2.1. Pembuatan briket biobatubara

Analisis Contoh Bahan Baku dan Produk

Prosedur pembuatan briket biobatubara dapat dilihat


pada Gambar 2.

Batubara kadar abu tinggi sebagai bahan baku yang


berasal dari Kalimantan Selatan dan batubara hasil
pembriketan sebagai produk dianalisis terhadap
proksimat (kadar air, kadar abu, kadar zat terbang,
karbon padat), nilai kalor dan sulfur total. Selain itu
untuk briket batubara juga dilakukan pengujian drop

Bahan baku terdiri atas :


Batubara, digerus dengan jaw crusher dan hammer mill sampai menghasilkan batubara dengan

serbukgergaji
20 %air

Dryer120oC

Batubara

10 %
air

5%air

Cutter

Crusher
< 3mm,
Kadarair5%

Molases

Bahanimbuh
(kapurpadam)

< 3mm,
Kadarair5 %

Mixer
Adonan
briket

< 3mm,
kadarair10%

MesinBriket
Briketbasah

KeranjangBerkisi

Briketbiobatubara

Gambar 2. Bagan alir pembuatan briket biobatubara

20

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009 : 17 30

ukuran butir 3mm.


Serbuk kayu, sebagai biomassa dikeringkan dan
digerus dengan mesin cutter sampai berukuran
- 3 mm dan kadar air 10%.
Serbuk kapur padam, berukuran 3mm dan
kadar air 5%.
Molases dengan kadar air 32%.

Prosedur pembuatan briket biobatubara :


Semua bahan baku berupa batubara, serbuk kayu,
serbuk kapur padam dan molases dimasukkan ke unit
mixer untuk dilakukan pengadukan agar mendapatkan
campuran bahan yang merata dan disebut adonan.
Komposisi adonan adalah batubara = 90%, serbuk
kayu = 5%, kapur padam = 5%, molases = 5%
dari jumlah berat campuran batubara, serbuk kayu

dan kapur padam. Komposisi tersebut merupakan


komposisi ideal berdasarkan hasil penelitian
pembuatan briket biobatubara di Pilot Plant Briket
Biobatubara, Palimanan (Suganal, 2003; Suganal
2004). Adonan yang diperoleh dicetak dengan mesin
briket double roll tipe kenari pada tekanan
pembriketan 3 ton/cm2. Briket biobatubara yang
terbentuk dimasukkan dalam keranjang berkisi dan
dikeringkan di udara terbuka. Produk briket
biobatubara dianalisis dan dicocokkan dengan
standar baku mutu.
3.2.2. Pembuatan briket batubara
Pembuatan briket batubara dilakukan sesuai dengan
bagan alir seperti terlihat pada Gambar 3.

Kadarair5%
>5cm

Crusher
Batubara
Kadarair5%
~12cm

Mill
Batubara
Kadarair5%
~3mm(8mesh)

Geltapioka

Mixer
Adonanbriket

MesinBriket
Briketbasah

KeranjangBerkisi

BriketBatubara
Gambar 3. Bagan alir pembuatan briket batubara

Rancangan Proses Pembuatan Briket Batubara Non Karbonisasi Skala Kecil ... Suganal

21

Bahan baku terdiri atas :

batubara, digerus dengan jaw crusher dan hammer mill sampai berukuran - 3 mm,

tepung tapioka, dibuat menjadi gel dengan cara


mencampur 5 kg tapioka dengan 100 liter air
panas dan diaduk sampai homogen.

briket batubara yang menghendaki kadar sulfur total


1,0%. Namun kadar abu relatif sangat tinggi dan
nilai kalor relatif rendah sehingga bahan pengikat
yang akan ditambahkan harus serendah mungkin,
misalnya tapioka atau molases. Meskipun nilai kalor
batubara relatif rendah,

Prosedur pembuatan briket batubara :


Batubara serbuk dicampur dengan gel tepung tapioka
dalam roll mixer dengan komposisi 90% batubara
serbuk dan 10 % gel tepung tapioka membentuk
adonan briket batubara. Komposisi adonan tersebut
merupakan komposisi ideal berdasarkan rekaman
catatan pada kegiatan ujicoba produksi briket
batubara nonkarbonisasi di Pilot Plant Briket
Biobatubara Palimanan (Suganal, 2003). Adonan
yang diperoleh dicetak dengan mesin briket double
roll tipe kenari pada tekanan pembriketan 3 ton/cm2.
Briket batubara yang terbentuk dimasukkan dalam
keranjang berkisi dan dikeringkan di udara terbuka.
Produk briket batubara dianalisis dan dicocokkan
dengan standar baku mutu yang tercantum pada
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral
Nomor 047 Tahun 2006 tertanggal 11 September
2006 tentang Pedoman Pembuatan dan Pemanfaatan
Briket Batubara dan Bahan Bakar Padat Berbasis
Batubara.

Tabel 1.

3.3.

Penyusunan Rancangan Proses Pembuatan


Briket Batubara Nonkarbonisasi

Berdasarkan data komposisi adonan briket batubara


dari hasil percobaan pembuatan briket batubara
nonkarbonisasi tersebut dan data parameter proses
lainnya pada penelitian briket batubara terdahulu
(Suganal 2003; Suganal, 2004) segera dibuat neraca
massa untuk menghitung kebutuhan peralatan dan
spesifikasinya yang dilanjutkan dengan penyusunan
tata letak peralatan dan perkiraan harga peralatan.
Perkiraan harga dari tiap peralatan didapat dari
bengkel pembuat peralatan. Sebagai pelengkap
disusun kebutuhan bangunan dan perkiraan biayanya
berdasarkan data yang didapat dari perusahaan yang
bergerak di sektor bangunan sipil pabrik. Kebutuhan
tenaga operator juga disajikan dalam tulisan ini.
4.
4.1.

HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN


Analisis Bahan Baku Batubara

Hasil analisis batubara dapat dilihat pada Tabel 1.


Berdasarkan hasil analisis dalam tabel tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kadar sulfur total cukup rendah,
lebih rendah daripada standar baku mutu bahan baku

22

No
1
2
3
4
5
6
7

Hasil analisis batubara

Parameter
Total kelembaban %
Air lembab, %, adb
Kadar abu, % adb
Kadar zat terbang, % adb
Kadar karbon padat, % adb
Kadar sulfur total, % adb
Nilai kalor, kkal/kg adb

Nilai
5,34
2,55
38,39
28,72
30,34
0,57
4.555

diperkirakan masih memenuhi batas minimal nilai


briket batubara nonkarbonisasi, yaitu 4.400 kkal/kg.
Hal yang menguntungkan pada batubara Kalimantan
Selatan tersebut di atas adalah kadar sulfur total
cukup rendah, yaitu 0,56 %. Berdasarkan standar
baku mutu bahan baku briket batubara adalah
maksimum 1,0 % (Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Nomor 047 tahun 2006,
tertanggal 11 September 2006, tentang Pedoman
Pembuatan dan Pemanfaatan Briket Batubara dan
Bahan Bakar Padat Berbasis Batubara).
4.2. Kualitas Briket Batubara Nonkarbonisasi
4.2.1. Kualitas briket biobatubara
Berdasarkan hasil analisis batubara sebagai bahan
baku pembuatan briket biobatubara diketahui bahwa
kadar air total batubara sangat kecil, yaitu 5,34%
dan kadar air lembab hanya 2,55%, maka pembriketan
batubara dapat langsung dilaksanakan tanpa harus
dikeringkan dengan mesin pengering atau dryer.
Pengamatan selama proses pencetakan briket,
diketahui bahwa rendemen atau perolehan
pembriketan hanya mencapai 80%. Hal ini berarti
sejumlah 20% adonan terdapat tidak tercetak dengan
baik atau 20% briket yang tidak sempurna
pencetakannya. Dengan demikian, briket yang tidak
sempurna harus dilakukan pembriketan ulang.
Hasil analisis fisik briket biobatubara sebagai
berikut:
Kuat tekan rata-rata : 48,2 kg/cm2
Berat /butir
: 17,08 gram

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009 : 17 30

Jenis analisis fisik lainnya adalah drop shatter test yang


hasilnya dibandingkan dengan distribusi ukuran briket
biobatubara sebelum dilaksanakan drop shatter test.
Hasil drop shatter test dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Distribusi ukuran briket biobatubara

No.

1
2
3
4
5
6
7

Bukaan
ayakan,
mm
-50 + 37,5
-37,5 + 25
-25 + 19,0
-19,0 + 12,5
-12,5 + 6,3
-6,3 + 3,35
- 3,35

Fraksi berat Fraksi berat


briket awal, briket setelah
%
drop shatter
test, %
9,33
11,97
85,71
69,57
0,86
4,26
1,19
3,65
0,60
1,62
2,31
8,93

Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa fraksi kumulatif


distribusi ukuran butir briket biobatubara yang
dominan (+ 19 mm) adalah sebesar 95,04%. Setelah
dilakukan pengujian drop shatter test, fraksi butiran
dengan ukuran + 19 mm menjadi 81,54%. Dengan
demikian perubahan ukuran butir yang terjadi relatif
kecil, yaitu 13,5%. Analisis drop shatter test tersebut
memberikan indikasi bahwa dalam transportasi
maupun penyimpanan yang rentan terhadap gesekan
atau jatuh dari suatu ketinggian, perubahan ukuran
(remuk) yang dialami relatif kecil. Spesifikasi briket
biobatubara dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil analisis briket biobatubara

No
1
2
3
4
5
6

Parameter
Air lembab, %, adb
Kadar abu, % adb
Kadar zat terbang, % adb
Kadar karbon padat, % adb
Kadar sulfur total, % adb
Nilai kalor, kkal/kg, adb

Nilai
3,71
36,71
31,65
27,93
0,66
4.289

Dari Tabel 3, dapat dilihat bahwa kadar sulfur sangat


rendah sehingga masih dalam ambang batas yang
diizinkan sesuai spesifikasi standar briket batubara.
Namun nilai kalor juga rendah, bahkan kurang dari
4.400 kkal/kg, yaitu batas terendah persyaratan baku
mutu standar briket batubara nonkarbonisasi.

Rendahnya nilai kalor briket biobatubara disebabkan


oleh penambahan biomassa dan penambahan kapur.
berupa serbuk gergaji yang digunakan mempunyai
nilai kalor sekitar 3.500 kkal/kg dan kadar abu
umumnya kurang dari 5% (Perry, 2008), sehingga
penambahan tersebut akan mengurangi nilai kalor
hasil briket biobatubara. Penambahan serbuk kapur
juga menimbulkan penurunan nilai kalor dan
menambah kadar abu karena kapur bersifat inert dan
tidak mempunyai nilai kalor (bahan anorganik tanpa
unsur karbon). Pada penelitian pembuatan briket
biobatubara sebelumnya (Maruyama, 2002),
diperlukan penambahan serbuk kapur sebagai material pengikat gas SO2 dalam gas buang pembakaran
briket tersebut. Demikian pula penambahan
biomassa bertujuan mempercepat terjadi penyalaan
awal karena biomassa mempunyai kadar zat terbang
lebih besar dibanding batubara (Suganal, 2004).
Hasil percobaan tersebut di atas menunjukkan bahwa
pembuatan briket biobatubara dari batubara kadar
abu tinggi dengan bahan pengikat molases
menghasilkan sifat fisik yang baik tetapi sifat
kimianya sedikit di bawah persyaratan baku mutu
briket batubara. Dengan demikian, untuk pembuatan
briket biobatubara dalam skala komersial tidak perlu
penambahan kapur, agar briket batubara yang
dihasilkan masih mempunyai nilai kalori di atas
persyaratan baku mutu.
4.2.2. Kualitas briket batubara
Pengamatan selama proses pencetakan briket,
diketahui bahwa rendemen atau perolehan
pembriketan mencapai 90%. Hal ini berarti sejumlah
10% adonan tidak tercetak dengan baik atau 10%
briket tidak sempurna pencetakannya. Briket yang
tidak sempurna pada umumnya dilakukan
pembriketan ulang. Jika dibandingkan dengan
pembuatan briket biobatubara tersebut di atas, maka
perolehan pencetakan briket batubara lebih
mendekati sempurna. Pada prinsipnya mencetak
adonan briket tanpa campuran biomassa akan lebih
mudah karena batubara tidak bersifat kenyal saat
ditekan pada pencetakan.
Hasil analisis fisik briket batubara adalah :
Kuat tekan rata-rata : 37,8 kg/cm
Berat /butir
: 11,67 gram
Perbandingan sifat fisik dari briket biobatubara
berbahan pengikat molases dengan briket batubara
berbahan pengikat tepung tapioka menunjukan
bahwa pembriketan dengan bahan pengikat molasses mempunyai sifat fisik lebih tinggi.

Rancangan Proses Pembuatan Briket Batubara Non Karbonisasi Skala Kecil ... Suganal

23

Tabel 4.

Distribusi ukuran briket batubara

No Bukaan ayakan, Fraksi berat


Fraksi berat
mm
briket awal, briket setelah
%
drop shatter
test,%
1
-37,5 + 25
2
-25 + 19,0
59,39
37,80
3 -19,0 + 12,5
27,27
32,52
4
-12,5 + 6,3
5,66
13,41
5
-6,3 + 3,35
1,74
3,66
6
-3,35
5,86
11,99
Berdasarkan Tabel 4, terlihat bahwa fraksi kumulatif
distribusi ukuran butir briket batubara yang dominan
(+19 mm) adalah sebesar 59,39%. Jika dibandingkan
dengan briket biobatubara berbahan pengikat molases
pada Tabel 2, maka terlihat bahwa briket batubara
dengan bahan pengikat kanji kurang kuat. Setelah
dilakukan pengujian drop shatter test, fraksi butiran
dengan ukuran + 19 mm menjadi 37,80%. Hal ini
menunjukkan bahwa sifat fisik briket batubara
dengan bahan pengikat tepung tapioka mempunyai
kecenderungan remuk lebih besar dibandingkan
dengan briket batubara berbahan pengikat molases.
Spesifikasi briket batubara dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5.

No
1
2
3
4
5
6

Hasil analisis briket batubara

Parameter
Air lembab, %, adb
Kadar abu, % adb
Kadar zat terbang, % adb
Kadar karbon padat, % adb
Kadar sulfur total, % adb
Nilai kalor, kkal/kg, adb

Nilai
4,29
35,27
30,81
29,63
0,68
4.412

briket batubara sebelumnya (Suganal, 2003; Suganal,


2004), maka diperoleh hal hal penting sebagai
berikut:
penambahan biomassa dan serbuk kapur padam
akan menurunkan nilai kalor briket batubara dan
menambah kadar abu briket batubara,
penggunaan tepung kanji relatif tidak
memengaruhi nilai kalor, namun sifat fisik
briket batubara kurang kuat,
penggunaan molases relatif tidak menurunkan
nilai kalor, sifat fisik briket batubara relatif baik,
meskipun penambahan biomassa dapat
mempercepat penyalaan awal briket batubara,
namun sifat biomassa yang kenyal acapkali
briket yang dihasilkan menjadi kurang kuat,
tidak diperlukan penambahan serbuk kapur
padam, karena kadar sulfur total bahan baku
batubara cukup rendah, yaitu 0,57 %.
Atas pertimbangan hasil penelitian pembuatan briket
batubara dari batubara kadar abu tinggi dan hasil
penelitian tentang briket batubara sebelumnya, maka
pada penerapan skala komersial dipilih bahan
pengikat molases tanpa penambahan biomassa
maupun serbuk kapur padam agar mutu briket
batubara terjamin sesuai baku mutu yang telah
ditetapkan, yaitu Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Nomor 047 tahun 2006,
tertanggal 11 September 2006, tentang Pedoman
Pembuatan dan Pemanfaatan Briket Batubara dan
Bahan Bakar Padat Berbasis Batubara.
5.

KONSEP RANCANGAN PABRIK BRIKET


BATUBARA NONKARBONISASI SKALA
KECIL

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 5, terlihat


bahwa mutu briket batubara dengan bahan pengikat
tepung tapioka mempunyai sifat kimia yang lebih
baik dibandingkan dengan briket biobatubara
berbahan pengikat molases. Dalam hal nilai kalor,
briket batubara tersebut masih dalam nilai yang
diizinkan (> 4.400 kkal/kg adb).

Kapasitas pabrik briket batubara skala kecil adalah


2,5 ton/jam briket batubara. Berdasarkan hasil analisis
batubara dan briket batubara serta data percobaan
lainnya dibuat neraca massa dan energi secara
sederhana seperti tercantum pada Gambar 4, dan
perhitungan peralatan untuk merealisasikan operasi
dari masing-masing tahap proses (Perry, 2008;
Schinzel, 1961). Peralatan utama tersebut antara lain
jaw crusher, hammer mill, double roll mixer dan
mesin briket. Spesifikasi dari peralatan terlihat pada
Tabel 6.

Berdasarkan hasil analisis bahan baku berupa


batubara kadar abu tinggi, analisis fisik melalui uji
drop shatter test dan uji kuat tekan serta analisis
kimia melalui uji proksimat dan nilai kalor terhadap
produk briket biobatubara dan briket batubara yang
telah diuraikan di atas, dan hasil kegiatan penelitian

Peralatan proses pabrik briket batubara ditempatkan


pada suatu bangunan berdasarkan prinsip ergonomis
agar pelaksanaan produksi berlangsung lancar dan
tidak terjadi duplikasi gerak manusia maupun alat.
Tata letak peralatan terlihat pada Gambar 5.
Rangkaian peralatan disusun menjadi bagan alir

24

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009 : 17 30

Basis : 1 jam operasi


Molases

Entalpi pada 25 C ~ 0 kkal

140 kg
Q = 0 kkal
o
Temp : 25 C

JawCrusher

Batubara
> 50 mm
2.397 kg
Q = 0 kkal
o
Temp : 25 C

HammerMill

MesinBriket

DoubleRoll
Mixer

Adonan briket

Batubara

Batubara
: 3-25 mm
2.397 kg
Q = 0 kkal
o
Temp : 25 C

= ukuran butiran batubara

Molases : 140 kg

< 3 mm 2.397 kg
Q = 0 kkal
o
Temp : 25 C

Batubara : 2.397 kg
3.537 kg
Q = 0 kkal
o
Temp : 25 C

Uap air 37 kg

Briket batubara basah


2.537 kg
Q = 0 kkal
Temp : 25oC

Briket Batubara
2.500 kg
Q = 0 kkal
Temp : 25oC

KeranjangBerkisi

Gambar 4. Neraca massa dan neraca energi

Tabel 6. Kebutuhan peralatan

No. Nama Alat


1
Mesin Briket
Tipe Telur

Spesifikasi
Tipe: double roll
Sistem feeding : gravitasi/vertical feeding
Kapasitas : 2,5 ton/jam
Roll, shaft & bearing :
- Diameter roll : 620 mm
- Cetakan : sistem segmen, 12 segmen
- Bahan cetakan : Baja cor FC 30 tahan tumbukan
- Bentuk briket : telur/jengkol
- Ukuran briket : 52x52x35 mm
- Berat briket : 60 gram per butir
- Main shaft : Baja poros high tensile strength
- Main Bearing : self Aligning spherical
roller bearings
Bahan Konstruksi:
- Rangka, besi profil, 15 cm x 10 cm x 12 cm
- Hooper, transmision cover dan lain-lain:
plat mild steel 5 mm
Daya : motor listrik 10 HP, 220/380 V
Sistem Transmisi:
Elektro Motor - V Belt & Pulley - Gear Box Chain & Sprocket - Gear
- V Belt : 2 baris type B
- Chain & Sprocket : RS 100
- Gearbox: Worm Gear
- Gear: Spur Gear, module 11,5 mm

Rancangan Proses Pembuatan Briket Batubara Non Karbonisasi Skala Kecil ... Suganal

Fungsi
Mencetak adonan
briket batubara
menjadi briket
batubara

Jumlah
1 unit

25

Tabel 6. Kebutuhan peralatan (lanjutan)

No. Nama Alat


2
Double Roll
Mixer

Spesifikasi
Tipe/Jenis : Pan Mixer
dengan Blade pengaduk
Diameter shell = 120 cm, tinggi 120 cm
- Daya : motor listrik 7,5 HP, 220/380 Volt
- Kapasitas : 200 Kg/batch, waktu 1 batch =
15 s/d 20 menit
- Sistem Transmisi : Vertical Gear Box, chain &
sprocket, V belt
- Putaran : 20 s/d 30 RPM
Bahan Konstruksi:
- Shell, plat mild steel 5 mm
- Alas shell, plat mild steel 12 mm
Blade pengaduk, plat mild steel 6 mm
- Kaki penyangga, pipa 4"
- Rangka alas kaki penyangga, besi profil 10 mm
Main Shaft & Bearing :
- Main shaft : Baja poros high tensile strength
2 inc
Main Bearing : Tapered roller Bearings 2 inc

Tipe : Modified Squirel Cage Mill


Menggiling batubara 1 unit
Daya: motor listrik 10 HP, 220/380 Volt (1400 rpm) ukuran sedang

Hammer
Mill

Kapasitas: 1000 s/d 2000 Kg/jam


Besar butir output <3 mm
Feeding System : Screw feeder variable speed
Bahan Konstruksi:
- Rumah Crusher, plat mild steel 10 mm dan 5 mm
- Rotor penghancur, baja dengan pelapis tahan gesek
(sistim las/ manganase steel
- Saringan, plat baja 6 mm
- Rangka, kaki penyangga, besi profil 6 cm x 8 cm x
10 cm
- Cover system transmisi, plat mild steel 2 mm,
3 mm atau 4 mm
- Hooper, plat mild steel 5 mm
Main Shaft & Bearing :
- Main shaft: Baja poros high tensile strength 2"
- Main Bearing ; Self Aligning Spherical Roller
Bearings 2"
4

26

Jaw Crusher

Fungsi
Mencampur bahan
baku berupa
batubara halus
(- 3 mm) dan
molases.

Jumlah
3 unit

(3mm 25 mm)
menjadi
batubara berukuran
3 mm

Tipe: Togle Jaw Crusher


Memecah batubara
Gap & Opening : 175 x 200 mm
ukuran > 50 mm
Daya : motor listrik 3 HP, 220/380 V
menjadi ukuran
Putaran : 450 RPM
sedang
Kapasitas : 1000 s/d 2000 Kg/jam
3 mm 25 mm
Ukuran besar butir output: 3 s/d 25 mm.
Bahan Konstruksi:
- Rumah Crusher, plat mild steel 12 mm atau 14 mm
- Jaw plate, plat baja dengan pelapis tahan gesek
(sistim las)/ manganase 1 steel

1 unit

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009 : 17 30

Tabel 6. Kebutuhan peralatan (lanjutan)

No. Nama Alat

Spesifikasi
- Rangka, kaki penyangga, besi profil 15 cm
- Cover system transmisi, plat mild steel 2 mm 4 mm
- Hooper, plat mild steel 5 mm
Main Shaft & Bearing :
- Main shaft: Baja poros high tensile strength
Bearing : Self Aligning Spherical Roller Bearings
2 3

Fungsi

Jumlah

Conveyor

Tipe : V flat belt Conveyor


Belt: lebar = 40 cm, tebal = 7,5 mm
Panjang : 4 s/d 10 m tergantung keperluan
Kapasitas: 1250 Kg/jam
Daya : motor listrik 2 HP, 220/380 V
System transmisi: V belt, Gear box, Chain & sprocket
Bahan Konstruksi:
- Rangka utama, besi kanal C 15
- Kaki penyangga, besi profil L 7 cm
- Cover system transmisi, plat mild steel 2 mm
3 mm
- Drum, pipa 0 8"
- Roll penyangga belt bagian bawah, pipa 3"
Main Shaft & Bearing :
- Main shaft: Baja poros high tensile strength 1
- Bearing : Pillow Block Bearings 1
- 35 40 cm lebar conveyor

Memindahan
4 unit
material (batubara
atau adonan briket)
dari satu lokasi ke
lokasi lainnya sesuai
posisi yang
diinginkan

Silo

Kotak penampung batubara halus, kapasitas 12,5 m3


Ukuran kotak penampung = 3,6 x 2,4 x 1,2 m
Tinggi Total : 3,55 m
Bahan Konstruksi:
- Body, plat 6 mm
- Kaki penyangga, besi profil kanal 10 cm

Menyimpan
batubara halus
sebelum dicampur
dalam double roll
mixer

2 unit

Tabel 7. Kebutuhan dana peralatan

X Rp 1.000,No Nama alat


1
Mesin Briket
Tipe Telur
2
Double Roll
Mixer
3

Hammer Mill

Jaw Crusher

Conveyor

Fungsi
Mencetak adonan briket batubara
menjadi briket batubara
Mencampur bahan baku berupa
batubara halus (- 3mm) dengan
molases
Menggiling batubara ukuran sedang
(3mm 25 mm) menjadi batubara
berukuran 8 mesh
Memecah batubara ukuran > 50 mm
menjadi ukuran sedang 3 mm 25 mm
Memindahan material (batubara atau
adonan briket) dari satu lokasi ke lokasi
lainnya sesuai posisi yang diinginkan

Jumlah
1 unit

Harga per unit


Rp 134.000,-

Harga total
Rp 134.000,-

3 unit

Rp 33.600,-

Rp 100.800,-

1 unit

Rp 86.000,-

Rp 86.000,-

1 unit

Rp 36.000,-

Rp 36.000,-

4 unit

Rp 22.000,-

Rp 88.000,-

Rancangan Proses Pembuatan Briket Batubara Non Karbonisasi Skala Kecil ... Suganal

27

Tabel 7. Kebutuhan dana peralatan (lanjutan)

X Rp 1.000,No Nama alat


6
Silo

Fungsi
Menyimpan batubara halus sebelum
dicampur dalam mixer

Jumlah
2 unit

Harga per unit


Rp 30.000,-

Harga total
Rp 60.000,-

Catatan : harga tahun 2007


Jumlah

Rp 504.800.000,-

Tabel 8. Kebutuhan dana bangunan

No. Nama Bangunan


1 Bangunan pabrik

luas
450 m2

Harga total
Rp. 737.436.000,-

81 m2

Rp.80.000.000,-

150 m2
90 m2
5.000 m2

Rp.18.937.000,Rp.163.747.000,Rp. 70.000.000,-

3
4
5

Fungsi
Tempat melaksanakan operasi
produksi briket batubara
Gedung pengepakan Tempat pelaksanaan pengepakan
produk briket batubara siap dikirim ke
konsumen.
Stockpile
Tempat penimbunan bahan baku batubara
Mes Karyawan
Tem tinggal karyawan pabrik briket abtubara
Penyiapan lahan
Menyediakan lahan siap bangun

Catatan : harga tahun 2007


Jumlah = RP 1.070.120.000,Jumlah kebutuhan dana = Rp 504.800.000,- + RP 1.070.120.000,- = Rp 1.574.920.000,-

Gambar 5.

28

Tata letak peralatan

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009 : 17 30

Gambar 6. Bagan alir pembuatan briket batubara nonkarbonisasi skala kecil

Tabel 9. Kebutuhan tenaga kerja sebagai operator peralatan

No. Unit Alat


1
Mesin Briket
Tipe Telur
2
Double Roll
Mixer
3
Hammer Mill
4
Jaw Crusher
5
Conveyor
6
Silo

Kualifikasi
Tamatan STM Mesin

Fungsi/jabatan
Mengoperasikan mesin briket/operator

Jumlah
1 orang

Tamatan STM mesin

Mengoperasikan unit double roll mixer/


operator
Mengoperasikan unit hammer mill/operator
Mengoperasikan unit jaw crusher /operator
Mengoperasikan conveyor
Mengatur laju pengeluarn dan penyimpanan
serbuk batubara

2 orang

Tamatan STM Mesin


Tamatan STM Mesin
Tamatan STM Mesin
Tamatan STM Mesin

1 orang
1 orang
1 orang
1 orang

Tabel 10. Kebutuhan tenaga kerja total

No. Unit
1
Mesin pabrik
2
Pengeringan

Spesifikasi
Tamatan STM Mesin
Tamatan SLTP

Pengepakan

Tamatan SLTP

4
5

Administrasi/kantor
Manager

Tamatan SLTA
D3 Teknik Industri

Fungsi/jabatan
Mengoperasikan mesin pabrik /operator
Mengatur proses pengeringan briket secara
manual
Mengepak produk briket batubara siap
dikirim ke konsumen
Mengatur administrasi kegiatan pabrik
Menjalankan operasional pabrik

Jumlah
7 orang
2 orang
2 orang
1 orang
1 orang

proses seperti terlihat pada Gambar 6. Perkiraan harga


pada tahun 2007 dari tiap peralatan dan bangunan
tercantum pada Tabel 7 dan Tabel 8. Pada saat ini
telah cukup banyak bengkel permesinan yang berhasil
membuat peralatan pembuatan briket batubara skala
kecil. Untuk wilayah Jawa, bengkel bengkel tersebut
terdapat di Bekasi, Bandung, Tegal dan lain lain.

6.

KESIMPULAN

Batubara Kalimantan Selatan dengan kadar abu


tinggi, yaitu 38,39 %, nilai kalor 4.555 kkal/kg
dapat digunakan untuk pembuatan briket
batubara dengan bahan pengikat molases atau
tepung tapioka;

Untuk kepentingan operasi pabrik briket tersebut


diperlukan tenaga terampil untuk menjalankan
mesin-mesin maupun perlistrikan lingkungan pabrik.
Kebutuhan tenaga tercantum pada Tabel 9,
sedangkan kebutuhan tenaga secara keseluruhan
tercantum pada Tabel 10.

Mutu briket batubara hasil percobaan masih


memenuhi persyaratan briket batubara dengan
nilai kalor 4.412 kkal/kg;

Bahan baku briket batubara relatif kering, maka


pembuatan briket tidak perlu melalui tahap

Rancangan Proses Pembuatan Briket Batubara Non Karbonisasi Skala Kecil ... Suganal

29

pengeringan.

Seminar nasional III, Jaringan Kerjasama Kimia


Indonesia, Yogyakarta, Agustus 2003.

Untuk menjaga penurunan nilai kalor, tidak


disarankan penambahan bahan pengikat berupa
serbuk tanah liat dan material imbuh lain seperti
serbuk kapur padam dan lainnya, sedangkan
bahan pengikat yang disarankan adalah molases.

Untuk pembuatan briket skala kecil dengan


kapasitas 2,5 ton/jam, diperlukan dana investasi
sebesar Rp 1,58 miliar, jumlah karyawan 13
orang.

Peralatan dan mesin relatif sederhana dan dapat


dirakit di dalam negeri

DAFTAR PUSTAKA
Clark, K., 2005, Evaluation of coal from PT Beraus
coal lati and Bunyu mine for binderless coal
briquetting, Binderless Coal Briquetting company Pty Limited
Maruyama, T., 2002. Bio Coal Plant Project, http:/
www.unire-jp.com/engbicoal.
Perry, R.H., 2008. Chemical Engineers Handbook,
Seventh edition, Mc Graw Hill Book, India.
Pusat Informasi Energi, 2006. Blue print Pengelolaan
Energi Nasional, Departemen Energi Dan
Sumber Daya Mineral.

Suganal, 2004. Penggunaan Serbuk Gergaji Pada Pilot Plant Briket Biobatubara Palimanan,
Prosiding Seminar Kimia Nasional XIV, Jurusan
FMIA UGM, Yogyakarta 6-7 September 2004.
Suganal, dkk., 2006. Modifikasi Kompor Briket
Batubara sebagai Upaya Peningkatan
Penggunaan Briket Batubara dan Batubara Skala
Nasional Pada Industri Kecil Padat Energi dan
Rumah Tangga, Prosiding Seminar Kimia
Nasional XV, Jaringan Kerjasama Kimia Analitik
Indonesia, Yogyakarta, 7 Desember 2006.
Suganal, dkk., 2008. Perangkat Pembakaran Batubara
Pada Industri Kecil dan Rumah Tangga dalam
Rangka Optimalisasi Energi Nasional, Prosiding
Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses
2008, Jurusan Teknik Kimia, Universitas
Diponegoro Semarang.
Yusgiantoro, P, 2006. Peran Strategis Gasifikasi
Batubara Untuk Memperkuat Ketahanan Energi
Nasional, Paparan Seminar Gasifikasi Batubara
Peringkat Rendah, Jakarta, Mei 2006.
.,2005, Binderless Coal Briquetting company, http:/www.coalbriquettes.com/bb activities
., 2007. The Komar Briquetting System,
http:/www.komarindustries.com

Schinzel, W., 1961. Briquetting, dalam Martin


AE(editor), Chemistry of Coal Utilization, John
Wiley&Son, Texas, USA: 609-665.

., 2007. Binderless Briquetting of Coal,


http:/www.det.csiro.au/energy center

Suganal, 2003. Pengembangan Produk Pilot Plant


Briket Biobatubara Di Palimanan, Prosiding

., 2007. Briquette Production Technology,


http:/www.nedo.go.jp/sekitan

30

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009 : 17 30

BLENDING BATUBARA UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK


STUDI KASUS PLTU SURALAYA UNIT 1- 4

SLAMET SUPRAPTO
Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA)
Jl. Jenderal Sudirman No. 623, Bandung
Naskah masuk : 26 Mei 2008, revisi pertama : 12 Desember 2008, revisi kedua : 19 Januari 2009,
revisi terakhir : Januari 2009

SARI
PLTU Suralaya unit 1-4 yang mulai beroperasi pada akhir tahun 80-an didesain sesuai dengan kualitas batubara
Air Laya, Sumatera Selatan yang termasuk batubara subbituminus dengan parameter kualitas tertentu. Penggunaan
batubara lain yang spesifikasinya tidak sesuai dengan kualitas batubara Air Laya tersebut dapat mengganggu
kelancaran pengoperasian ketel uap pembangkit. Dalam rangka melihat kemungkinan penerapan sistem blending batubara untuk pembangkit tersebut, telah diadakan kajian kemungkinan blending batubara Indonesia.
Kajian dilakukan berdasarkan pengumpulan data spesifikasi batubara untuk PLTU Suralaya unit 1-4 dan data
kualitas batubara Indonesia. Hasil kajian menunjukkan bahwa untuk mengatasi masalah pasokan batubara
untuk PLTU Suralaya unit 1-4, sistem blending dapat dilakukan antara batubara peringkat rendah (lignit) dan
batubara peringkat tinggi (bituminus) sesuai dengan spesifikasi parameter kualitas batubara, terutama nilai
kalor. Namun demikian, batubara peringkat tinggi umumnya mempunyai sifat ketergerusan rendah, sehingga
parameter ini perlu diperhatikan mengingat parameter ini cenderung bersifat nonaditif. Pengujian penggerusan
dan pembakaran dalam skala yang mendekati kondisi nyata di lapangan perlu dilakukan untuk mengevaluasi
batubara hasil blending.
Kata Kunci: batubara, pembangkit listrik, blending, peringkat
ABSTRACT
The design of Suralaya Power Plant unit 1-4 that started to operate at the end of nineteen eighties was based on
Air Laya coal, South Sumatera with certain quality parameters. The use of other coal that has different quality
with the Air Laya coal can disturb the operation power plant boiler. In relation to the possibility of development of coal blending for the Suralaya Power Plant, study on the possibility of blending system for Indonesian
coal has been carried out. The study was based on the literature study of coal design parameter of the Suralaya
Power Plant and Indonesia coal data. Results of the study showed that to overcome the problem of coal supply
the Suralaya Power Plant unit 1-4, coal blending system can be carried out between low rank coal (lignite) and
high rank coal (bituminous) based on the coal quality parameter specification, especially calorific value.
However, the high rank coal generally has low grindability index, and therefore this parameter needs to be
considered since it tends to be nonadditive. Tests on coal mill and coal combustion at higher scale that close
to the real practical condition need to be carried out for evaluating the coal blend results.
Keywords: coal, power plant, blending, rank

Blending Batubara untuk Pembangkit Listrik : Studi Kasus PLTU Suralaya Unit 1-4, Slamet Suprapto

31

1.

PENDAHULUAN

Mengingat potensinya yang paling besar di Indonesia, batubara telah ditetapkan sebagai bahan bakar
alternatif utama pengganti bahan bakar minyak. Pada
tahun 2025, sumbangan batubara dalam bauran
energi (energy mix) nasional diproyeksikan menjadi
yang terbesar, yakni 33% dibanding sumber energi
lainnya (Suprapto, 2007). Dalam rangka mencapai
sasaran tersebut, upaya peningkatan dan diversifikasi
penggunaan batubara terus dilakukan, baik sebagai
bahan bakar langsung maupun melalui konversi
menjadi bahan bakar gas atau bahan bakar cair. Untuk
pemanfaatan batubara sebagai bakar pembangkit
listrik, saat ini sedang dibangun rencana 10.000 MW
PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) berbahan bakar
batubara (MinergyNews.Com, 2007).
Walaupun pembangkit-pembangkit baru mulai
dibangun, bukan berarti pembangkit-pembangkit
listrik yang sudah lama akan ditinggalkan, karena
perannya dalam menunjang kelistrikan nasional tetap
dibutuhkan. Untuk pembangkit listrik yang akan
dibangun tersebut direncanakan digunakan batubara
lignit dengan nilai kalori 4.000 kal/g (as received).
Sedangkan PLTU-PLTU yang sudah ada yang
dibangun pada antara 1980-an sampai 1990-an
didesain berdasarkan batubara yang mempunyai nilai
kalor lebih dari 5.000 kal/g dan bahkan ada yang
lebih dari 6000 kal/g. PLTU Suralaya, Banten
contohnya yang dibangun pada tahun akhir 1980-an
didesain untuk batubara subbituminus dengan nilai
kalornya rata-rata 5.200 kal/g atau PLTU Ombilin
kapasitas didesain menggunakan batubara peringkat
bituminus dengan nilai kalori lebih dari 6000 kal/g
(KONEBA, 2002).
PLTU Suralaya yang mulai beroperasi pada akhir
tahun 1980-an saat ini masih merupakan salah satu
andalan bagi sistem kelistrikan Jawa dan Bali. PLTU
Suralaya Unit 1-4 (4x400 MW) dirancang berdasarkan
kualitas batubara Air Laya, Sumatera Selatan yang
termasuk dalam peringkat subbituminus dengan nilai
kalor lebih dari 5000 kal/g. Batubara dengan nilai
kalor 5.000-an tersebut sudah mulai sulit diperoleh
di pasaran. Batubara Indonesia yang masih belum
banyak dimanfaatkan adalah batubara lignit dengan
nilai kalor 4.000 kal/g.
Endapan batubara Indonesia sebagian besar terdiri
atas batubara peringkat rendah, yakni lignit 58,7%,
subbituminus 26,7%, sementara peringkat tinggi
yakni bituminus 14,3% dan antrasit hanya 0,3%
(Suprapto, 2007). Batubara yang diekspoitasi saat

32

ini umumnya batubara subbituminus dan bituminus


yang sebagian besar sudah dialokasikan untuk
memenuhi kontrak jangka panjang untuk ekspor atau
kebutuhan dalam negeri. Sedangkan batubara lignit
baru mulai dieksploitasi terutama untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri.
Karakteristik pembakaran batubara dalam pembangkit
listrik sangat dipengaruhi oleh kualitas batubara,
sehingga keterlambatan pasokan batubara Air Laya
ke PLTU Suralaya dapat menganggu kelancaran
operasi pembangkit. Untuk mengatasi ketergantungan
terhadap pasokan dari satu jenis batubara atau
pemasok tersebut, PT Indonesia Power (anak
perusahaan PT PLN Persero) akan membangun coal
blending plant (Kompas, 2008) di PLTU Suralaya.
Walaupun blending batubara sudah umum dilakukan
dalam pembangkit listrik, kajian yang mendalam
perlu dilakukan mengingat bervariasinya parameter
kualitas batubara. Apalagi spesifikasi atau persyaratan
kualitas batubara untuk PLTU tidak hanya ditentukan
berdasarkan parameter nilai kalor.
2.
2.1.

TINJAUAN PUSTAKA
Batubara Untuk Pembangkit Listrik

Batubara merupakan bahan bakar padat yang


terbentuk secara alamiah akibat pembusukan sisa
tanaman purba dalam waktu jutaan tahun. Oleh
karena itu, karakteristik dan kualitas batubara sangat
bervariasi dan tidak homogen dibandingkan dengan
bahan bakar yang telah mengalami proses
pengolahan dalam pabrik, seperti misalnya bahan
bakar minyak. Selain tingkat pembatubaraan atau
peringkat (rank), kualitas suatu endapan batubara
juga dipengaruhi oleh lingkungan pengendapannya.
Batubara peringkat yang lebih tinggi seperti batubara
bituminus dan antrasit mempunyai nilai kalor tinggi
dan kadar air rendah. Sebaliknya, batubara peringkat
rendah seperti lignit dan batubara subbituminus
mempunyai kadar air tinggi dan nilai kalor rendah.
Di samping itu, lingkungan pengendapan dan cara
penambangan dapat memengaruhi kadar abu serta
karakteristik abu (komposisi dan titik leleh abu).
Tambahan lagi, batubara peringkat rendah umumnya
mempunyai kecenderungan swabakar yang tinggi dan
mempunyai sifat fisik yang rendah (mudah hancur).
Hal ini mengakibatkan kualitas endapan batubara
bervariasi dari satu lokasi ke lokasi lainnya, atau
bahkan dapat bervariasi dari lapisan satu ke lapisan
lainnya pada daerah atau cekungan geologis yang
sama.

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor13, Januari 2009 : 31 39

Karakteristik pembakaran batubara dalam sebuah


pembangkit listrik terutama dipengaruhi oleh (Reid,
1991):
kualitas atau karakteristik batubara;
batasan yang ditentukan oleh desain boiler,
posisi burner, konfigurasi fisik dan luas
perpindahan panas dalam ketel uap (boiler);
kondisi operasional.
Mengingat hal tersebut di atas, maka idealnya desain
suatu pembangkit listrik berbahan bakar batubara dibuat
berdasarkan kualitas batubara yang akan digunakan.
Atau sebaliknya, batubara yang dipasok untuk sebuah
pembangkit listrik seharusnya sesuai dengan spesifikasi
yang dipersyaratkan. Sering terjadi, keterlambatan
pasokan batubara sesuai spesifikasi menyebabkan
digunakannya batubara lain yang kualitasnya tidak
memenuhi spesifikasi. Hal ini dapat mengganggu
kelancaran pengoperasian pembangkit listrik.
Beberapa pengaruh yang dapat terjadi jika
menggunakan batubara di luar spesifikasi (off design) pada pembangkit yang telah ada (existing) di
antaranya adalah kinerja penggerus, pengendapan
abu (slagging dan fouling) dan karakteristik dan
efisiensi pembakaran. Kinerja mesin penggerus (pulverizer) biasanya berhubungan dengan nilai kalor dan
sifat ketergerusan (HGI, hardgrove grindability index) (Savage, 1974). Apabila digunakan batubara
dengan kalori lebih rendah dari spesifikasi, maka
diperlukan jumlah batubara yang lebih banyak,
sehingga penggerus kemungkinan perlu ditambah atau
penggerus cadangan perlu dioperasikan. Operasi
PLTU tanpa penggerus cadangan ini sangat riskan
dan dapat mengganggu kelangsungan operasi PLTU.
HGI menentukan cocok tidaknya batubara dengan
penggerus yang ada. Batubara keras atau dengan HGI
rendah tidak cocok digerus pada penggerus yang
dirancang untuk batubara lunak (HGI tinggi).
Pengendapan (deposisi) abu pada permukaan area
perpindahan panas pada sebuah ketel uap adalah
salah satu masalah yang paling serius yang dapat
terjadi jika menggunakan batubara di luar spesifikasi.
Kecenderungan pembentukan endapan abu
tergantung komposisi dan titik leleh abu batubaranya.
Selain kinerja mesin penggerus dan pengendapan
abu, penggunaan batubara di luar spesifikasi juga
dapat mengganggu karakteristik dan efisiensi
pembakaran. Jika pembakaran tidak sempurna, maka
efisiensi menurun dan kadar karbon dalam abu
meningkat. Hal ini dapat mengganggu kinerja electrostatic precipitator yang berfungsi menangkap abu
terbang (fly ash) dan selanjutnya juga mempersulit
pemanfaatan abu.

2.2.

Blending Batubara

Blending merupakan cara terbaik untuk memperbaiki


dan menyatukan sifat dan kualitas batubara dari
daerah atau dengan jenis yang berbeda, sehingga
memungkinkan dapat memenuhi persyaratan
konsumen. Biasanya blending dilakukan antara
batubara peringkat rendah dan peringkat tinggi, kadar
abu tinggi dan abu rendah, kadar belerang tinggi dan
belerang rendah. Dalam suatu pembangkit listrik,
sistem blending dapat memberikan banyak
keuntungan di antaranya:
meningkatkan kelenturan (fleksibilitas) dan
memperluas kisaran batubara yang dapat
digunakan;
diversifikasi pasokan batubara untuk keamanan
pasokan;
membantu mengatasi masalah yang terjadi
apabila digunakan batubara yang di luar
spesifikasi.
Kualitas batubara campuran (hasil blending)
umumnya dihitung berdasarkan rata-rata berat data
analisis dan pengujian yang diperoleh dari masingmasing batubara individu (yang dicampur). Data
kualitas tersebut kemudian digunakan untuk
memprediksi karakteristik pembakaran dalam ketel
uap. Namun tidak semua parameter kualitas batubara
campuran dapat diprediksi menggunakan data
kualitas hasil perhitungan rata-rata berat. Parameterparameter air, kadar abu, zat terbang, karbon padat,
karbon total, hidrogen, sulfur, nitrogen, oksigen,
klorin, kadar maseral, dan nilai kalor cenderung
bersifat aditif, sehingga dapat menggunakan
perhitungan tersebut. Sedangkan nilai muai bebas,
titik leleh abu dan HGI umumnya cenderung bersifat
nonaditif. Menurut Hower (1988) HGI dapat bersifat
aditif hanya untuk blending antara batubara dengan
peringkat yang sama. Sedangkan Riley (1989)
menyatakan bahwa HGI dapat bersifat aditif asalkan
perbedaan nilai HGI masing-masing batubara yang
di-blending tidak lebih dari 10.
Paramater yang nonaditif tersebut menyebabkan
evaluasi terhadap batubara blending untuk
pembangkit listrik menjadi kompleks. Kebanyakan
analisis dan pengujian parameter nonaditif di
laboratorium tidak merefleksikan kondisi
pembakaran yang sebenarnya dalam pembangkit
listrik. Oleh karena itu, selain analisis dan pengujian
laboratorium, masih diperlukan pengujian
pembakaran dengan kondisi yang mendekati kondisi
di lapangan. Bahkan banyak peneliti dan operator
PLTU batubara kemudian mengembangkan model

Blending Batubara untuk Pembangkit Listrik : Studi Kasus PLTU Suralaya Unit 1-4, Slamet Suprapto

33

berdasarkan data parameter nonaditif laboratorium,


pengujian pembakaran skala bangku (bench scale)
dan kondisi nyata di lapangan.
Secara matematis, mem-blending dua jenis batubara
relatif mudah, tetapi untuk tiga atau lebih jenis
batubara akan menjadi lebih kompleks, karena
terdapat lebih banyak parameter dan kemungkinan
kombinasi blending. Oleh karena itu, software
komputer yang sekarang banyak terdapat di pasaran
dapat digunakan. Software tersebut dikembangkan
menggunakan persamaan linier untuk parameter
kualitas batubara yang bersifat aditif, terutama nilai
kalor, kadar abu dan kadar belerang.
Rumus linier sederhana untuk blending batubara yang
menggunakan parameter aditif adalah sebagai berikut
(Carpenter, 1995):
Xb = 1X1 + 2X2 + . nXn
Xb
1
2
n
X1
X2
Xn

= parameter kualitas produk blending


= proporsi batubara ke 1 dalam blending
= proporsi batubara ke 2 dalam blending
= proporsi batubara ke n dalam blending
= parameter kualitas batubara ke 1
= parameter kualitas batubara ke 2
= parameter kualitas batubara ke n

3.

METODOLOGI

3.1.

Pengumpulan spesifikasi batubara untuk


PLTU Suralaya

PLTU Suralaya yang terletak di Merak, Banten yang


mempunyai kapasitas terpasang sebesar 3.400 MW
terdiri dari 7 unit, yakni 4 x 400 MW (unit 1-4) dan
3 x 600 MW (unit 5-7). Batubara Air Laya, Sumatera
Selatan yang digunakan untuk dasar pembuatan
desain PLTU Suralaya unit 1-4. Pengumpulan data
dilakukan melalui penulusuran makalah dan laporan
yang berhubungan dengan PLTU Suralaya.
3.2.

Pengumpulan Data Batubara Indonesia

Pertimbangan pertama dalam pengumpulan data


batubara adalah didasarkan pada peringkatnya, yakni
batubara lignit (nilai kalor rendah, 4000-an kal/g atau
kurang) dan batubara bituminus (nilai kalor tinggi,
6.000-an kal/g). Untuk kelompok batubara lignit
digunakan dua contoh, yakni batubara dari daerah
Musi Banyuasin dan Peranap (keduanya Sumatera
Selatan). Data kualitas batubara dikumpulkan

34

terutama melalui laporan dan internet. Di samping


itu, untuk melengkapi data batubara Peranap
dilakukan analisis dan pengujian contoh batubara
di laboratorium. Untuk batubara bituminus, datanya
dikumpulkan dari laporan dan internet. Data batubara
tersebut didasarkan pada nilai kalor batubara >6.000
kal/g.
3.3.

Pengolahan Data

Data kualitas batubara yang dikumpulkan umumnya


masih bervariasi dasar analisisnya, seperti dasar
contoh asal (as received), dasar kering udara (air dried
basis) dan dasar kering (dry basis). Agar sesuai dengan
spesifikasi batubara untuk PLTU Suralaya, maka
semaksimal mungkin data tersebut dikonversikan ke
dasar contoh asal.
Karakteristik abu yang terdiri dari indeks penerakan
dan indeks fouling yang menyatakan kecenderungan
abu batubara membentuk endapan terak (slagging)
dan fouling dihitung menggunakan data komposisi
abu dan titik leleh abu batubara.
4.
4.1.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Spesifikasi Batubara Untuk PLTU

Spesifikasi batubara untuk PLTU Suralaya yang


didasarkan atas kualitas batubara Air Laya dapat
dilihat pada Tabel 1. Spesifikasi tersebut (Kannan,
1985) sesuai untuk batubara peringkat subbituminus
dengan nilai kalor dan kadar air masing 5.242 kal/g
(as received) dan 23,60%, dengan pembatasan nilai
kalor minimum 4.225 kal/g dan kadar air maksimum
28,30%. Yang dimaksud dengan batas minimum
nilai kalor tersebut adalah batubara dengan nilai kalor
4.225 kal/g masih dapat digunakan dan menghasilkan
keluaran (daya) listrik sesuai kapasitas pembangkit
asalkan seluruh fasilitas penanganan (handling) dan
penggiling (mill) dijalankan. Batubara dengan nilai
kalor lebih rendah dari batas minimum tersebut juga
bisa digunakan, tetapi keluaran listrik akan turun
walaupun semua fasilitas penanganan dan penggiling
batubara dijalankan. Parameter kualitas bersifat aditif
lainnya, yakni kadar abu dan kadar belerang masingmasing 7,80% (maksimum 12,80%) dan 0,40%
(maksimum 0,90%). Sedangkan parameter kualitas
yang bersifat non-aditif, yakni diantaranya HGI 61,8
(minimum 48), titik leleh abu 1.279C (minimum
1010C), indeks penerakan medium dan indeks
fouling tinggi.

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor13, Januari 2009 : 31 39

Tabel 1. Spesifikasi batubara untuk PLTU Suralaya unit 1-4

Parameter (as received)


Kadar air, %
Kadar abu, %
Nilai kalor, kal/g
Sulfur, %
HGI
Tititk leleh abu
(Deformasi awal), C
Indeks penerakan
Indeks fouling

Minimum
4,225
48
1.010

Maksimum
28,30
12,80
0,90
-

Rata-rata
23,60
7,80
5.242
0,40
61,8
1.279

medium
tinggi

Catatan: as received = dasar contoh asal

4.2.

Kualitas Batubara Indonesia

Data kualitas batubara Indonesia yang terdiri atas


batubara peringkat rendah, batubara peringkat tinggi
dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3 (Asosiasi
Pertambangan Batubara Indonesia, 2008). Batubara
peringkat rendah mempunyai nilai kalor dicirikan
terutama oleh tingginya kadar air dan rendahnya nilai
kalor. Dari data dua contoh batubara peringkat
rendah yang dikaji, batubara Peranap dan Bara
Mutiara Prima mempunyai kadar air total masingmasing 49% dan 30% dan dengan nilai kalor 3.234
kal/g dan 4.400 kal/g (as received). Namun demikian,
kedua batubara tersebut termasuk bersih dengan
masing-masing kadar abu 1,19% dan 4,30% dan
kadar belerang 0,11% dan 0,30%. Kedua batubara
tersebut mempunyai sifat ketergerusan menengah,
yakni masing-masing 54 dan 60. Titik leleh abu
batubara Peranap cukup rendah, yakni dengan
deformasi awal 1.200C dibanding abu batubara
Bara Mutiara Prima yang deformasi awalnya sebesar

1.350C. Oleh karena itu, indeks penerakan batubara


Peranap termasuk klasifikasi tinggi dan batubara
Bara Mutiara Prima termasuk rendah. Sedangkan
indeks fouling keduanya termasuk klasifikasi
rendah.
Apabila kedua batubara peringkat rendah tersebut
digunakan untuk PLTU Suralaya unit 1-4, maka parameter kualitas yang tidak memenuhi spesifikasi
adalah nilai kalornya. Normalnya untuk
mengoperasikan 1 unit kapasitas 400 MW
menggunakan batubara Air Laya dibutuhkan 170
ton batubara/jam. Apabila digunakan batubara Bara
Mutiara Prima, maka untuk menghasilkan listrik yang
sama dibutuhkan 202 ton batubara/jam.
Sedangkan jika menggunakan batubara Peranap, maka
dibutuhkan 275 ton batubara/jam. Mesin penggiling
yang tersedia untuk untuk 1 unit 400 MW tersebut
tersedia sebanyak 5 buah yang masing-masing
berkapasitas 65 ton batubara/jam (KONEBA, 2002).
Normalnya, apabila digunakan batubara Air Laya

Tabel 2. Data kualitas batubara Indonesia peringkat rendah

Parameter
(as received)

Peranap
(Sumsel)

Bara Mutiara Prima


(Sumsel)

Kadar Air, %
Kadar Abu, %
Nilai Kalor, kal/g
Sulfur, %
HGI
Deformasi awal abu, C
Indeks Penerakan
Indeks Fouling

49,00
1,19
3.234
0,11
54
1.200
tinggi*
rendah*

30,00
4,30
4.400
0,30
60
1.350
rendah*
Rendah

Catatan: * dihitung dari kadar abu dan titik leleh abu ( Lampiran 1)

Blending Batubara untuk Pembangkit Listrik : Studi Kasus PLTU Suralaya Unit 1-4, Slamet Suprapto

35

hanya dioperasikan 3 buah mesin, sehingga 2 mesin


lainnya untuk cadangan. Apabila digunakan batubara
Bara Mutiara Prima dibutuhkan 4 mesin, sedangkan
1 mesin untuk cadangan. Tetapi apabila digunakan
batubara Peranap, maka seluruh mesin harus
dioperasikan, sehingga tidak ada cadangan.
Pengoperasian seluruh mesin penggerus tersebut
dapat menimbulkan risiko gangguan terhadap operasi
pembangkit listrik mengingat perlunya waktu
perawatan setiap mesin. Oleh karena itu, untuk
mengatasi masalah tersebut diperlukan blending
plant guna meningkatkan nilai kalor batubara
peringkat rendah yang tersedia.
Data kualitas batubara peringkat tinggi yang dikaji
adalah sebanyak 14 buah, berasal dari Sumatera dan
Kalimantan. Selain dicirikan oleh tingginya nilai kalor
dan rendahnya kadar air, batubara-batubara tersebut
umumnya mempunyai sifat ketergerusan rendah atau
sulit digerus dengan HGI kurang dari 50. Batubara
Danau Mas Hitam mempunyai HGI bervariasi antara
40-60. Sedangkan batubara Kartika Selabumi yang
mempunyai HGI tinggi atau mudah digerus, yakni
sebesar 80. Tetapi batubara ini juga mempunyai nilai
bebas yang tinggi yakni 9, tidak seperti umumnya
batubara Indonesia yang mempunyai nilai muai bebas
rendah.
Kadar abu dan kadar belerang batubara peringkat
tinggi bervariasi, masing-masing antara 2,0% sampai
19,48% dan 0,15% sampai 2,56%. Sedangkan data
indeks penerakan dan indeks fouling hanya tersedia
untuk batubara Kartika Selabumi dan Lana Harita.
Batubara Selabumi mempunyai indeks penerakan dan
indeks fouling klasifikasi rendah. Sedangkan untuk
batubara Lana Harita klasifikasi rendah dan medium.
4.3.

Blending Batubara

Blending yang dilakukan didasarkan pada


pencampuran kalori rendah dengan kalori tinggi atau
antara batubara peringkat rendah dengan peringkat
tinggi. Berdasarkan data kualitas tersebut di atas,
blending batubara Indonesia antara peringkat rendah
dan peringkat tinggi dapat dimungkinkan untuk
memenuhi persyaratan nilai kalor sebesar 5.242 kal/
g (as received) dan parameter yang bersifat aditif
lainnya, seperti misalnya kadar air, kadar abu dan
kadar belerang. Dengan menggunakan rumus
(perhitungan rata-rata) linier, maka jumlah proporsi
masing-masing batubara yang dicampur dapat
ditentukan untuk memenuhi parameter spesifikasi
ketel uap PLTU Suralaya 1-4.

36

Yang masih perlu dipertimbangkan adalah HGI


batubara peringkat tinggi, yang ternyata kebanyakan
kurang dari 50. Walaupun HGI batubara peringkat
rendah umumnya tinggi, mengingat parameter ini
cenderung nonaditif maka HGI hasil blending belum
tentu sesuai perhitungan. Apabila nilai HGI hasil
blending ternyata lebih rendah dari nilai perhitungan
maka kapasitas atau keluaran penggerus turun atau
kehalusan produk penggerusan dapat menurun.
Menurunnya keluaran penggerus dapat menurunkan
keluaran listrik. Sedangkan menurunnya kehalusan
batubara dapat menyebabkan menurunnya efisiensi
pembangkit dan meningkatnya kadar karbon tak
terbakar dalam abu batubara. Untuk mengkaji lebih
mendalam, maka pengujian penggerusan dan
pembakaran skala yang lebih besar seperti skala meja
atau skala yang lebih mendekati kapasitas nyata di
lapangan perlu dilakukan sebelum mengaplikasikannya
pada kondisi sebenarnya.
Batubara Kartika Selabumi mempunyai nilai kalor
cukup tinggi, yaitu 7.889 kal/g dan juga HGI yang
tinggi yakni 80, tetapi nilai muai bebasnya sangat
tinggi mencapai 9. Normalnya, nilai muai bebas
batubara untuk pembangkit listrik maksimum 4
(Rance, 1975). Tambahan lagi nilai muai bebas
merupakan parameter nonaditif, sehingga
karakteristik pembakaran batubara hasil blending
batubara ini tidak dapat diprediksi dari masingmasing batubara yang akan di-blending.
Selain HGI, karakteristik abu yakni kecenderungan
penerakan dan fouling juga perlu dipertimbangkan.
Mengingat data indeks penerakan dan indeks fouling kebanyakan tidak tersedia, maka parameter
tersebut perlu dilengkapi. Apalagi jika hasil uji di
laboratorium dan perhitungan menyatakan
kecenderungan kedua indeks tersebut termasuk
klasifikasi tinggi, maka uji pembakaran pada
kondisi yang mendekati ketel uap perlu dilakukan.
Pengendapan terak abu terjadi di daerah ruang bakar
atau radiasi, sedangkan endapan fouling terjadi pada
daerah yang lebih dingin yakni pada pipa-pipa ketel
uap. Apabila terak abu yang menempel di dinding
tungku (ruang bakar) sulit diambil maka perpindahan
panas ke dinding akan menurun dan selanjutnya
efisiensi pembakaran juga menurun (Elliot, 1981).
Endapan fouling yang terjadi pada pipa ketel uap
menyebabkan penyempitan pada deretan pipa yang
selanjutnya mempercepat laju alir gas buang. Hal
ini dapat menyebabkan naiknya suhu gas buang dan
juga erosi terhadap pipa ketel uap.

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor13, Januari 2009 : 31 39

Blending Batubara untuk Pembangkit Listrik : Studi Kasus PLTU Suralaya Unit 1-4, Slamet Suprapto

37

14
13 - 19 (adb)
5.900 - 6.500 (adb)
1,0 (adb)
40 - 60
1.280
-

Danau
Mas Hitam

11
9
7.000
1
45 - 50
-

42 - 46

8 (adb)
7 (adb)
6.700 (adb)

Fajar
Bumi Sakti

9,5
3,8
6.240-6.294
0,54
48
-

3 - 6 (adb)
6 - 15 (adb)
6.000 - 7.500
0,8-2,56 (adb)
45 50
1.250
-

Gunung Bayan
Pratama
Bayan

18 (adb)
2,0
5.600 - 6.250
0,15
48 50
1.150-1.200
-

Kaltim Prima
Kideco
Coal
Prima
Mandau, Payau,
Melawan

Catatan: adb = air dried basis (dasar kering udara)


* = dihitung berdasarkan komposisi dan titik leleh abu (Lampiran 1)

Kadar Air, %
Kadar Abu, %
Nilai Kalor, kal/g
Sulfur, %
HGI
Deformasi awal abu, C
Indeks Penerakan
Indeks Fouling
Nilai Muai Bebas

Parameter
(as received)

Kadar Air, %
Kadar Abu, %
Nilai Kalor, kal/g
Sulfur, %
HGI
Deformasi awal abu, C
Indeks Slagging
Indeks Fouling

Allied Indo
Coal
Parambahan

Data kualitas contoh batubara Indonesia peringkat tinggi

Parameter
(as received)

Tabel 3.

15,5 - 17,00
4,5-5,5 (adb)
6.100 - 6.500 (adb)
0,5-0-0,80 (adb)
45 46
-

Indominco
Mandiri
Bontang

16
4,72
6.040
0,94
45
-

Multi Harapan
Utama
Busang

19,5
4,65 (adb)
6.210
0,70 (adb)
47
1.490
-

Mandiri Inti
Perkasa
Blok A

12
3,70 - 9,26
6.021 - 6.947
0,22 - 1,44
45 - 55
-

Lumut

PTBA

8
3,78
7.889
0,85
80
1.220
rendah*
rendah*
9

Kartika Selabumi
Mining

14-18
2,81 - 4,69
6.200 - 6.400
0,28 - 0,66
46 - 49
1.200
-

Anugerah
Bara Kaltim
Anugerah

7,0 (adb)
6.977
1,16 (adb)
43
>1.200
rendah*
medium*
-

Lana Harita
Indonesia
Block III

10,11 (adb)
19,48 (adb)
5.949
0,83 (adb)
48
1.300
-

Sari Andara
Persada
Muara
Bungo

5.

PENUTUP

Blending merupakan cara terbaik untuk mengatasi


masalah ketersediaan batubara dan ketergantungan
terhadap satu sumber pemasok batubara untuk
pembangkit listrik di Indonesia.

Untuk mengatasi masalah pasokan batubara


pada PLTU Suralaya unit 1-4, sistem blending
dapat dilakukan antara batubara peringkat
rendah (lignit) dan batubara peringkat tinggi
(bituminous) sesuai dengan spesifikasi parameter kualitas batubara, terutama nilai kalor.
Batubara peringkat tinggi umumnya mempunyai
sifat ketergerusan rendah atau sulit digerus dan
parameter ini perlu diperhatikan karena
cenderung tidak bersifat aditif sehingga hasil
blending dengan batubara peringkat rendah tidak
dapat diprediksi menggunakan rumus linier.
Data komposisi abu dan titik leleh abu batubara
peringkat tinggi perlu dilengkapi agar dapat
digunakan untuk mengevaluasi kemungkinan
pembentukan endapan terak dan endapan fouling dalam pembakaran batubara hasil blending.
Pengujian pengerusan dan pembakaran dalam
skala yang mendekati kondisi nyata di lapangan
perlu dilakukan untuk mengevaluasi batubara
hasil blending.

DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia, 2008.
Kualitas Batubara.http/www.apbi-icma.
Carpenter, A.M., 1995. Coal Blending for Power
Station. IEA Coal Research, London.

Hower, J.C., 1988. Additivity of hardgrove


grindability index: a case study. Journal of Coal
Quality, 7(2), 68-70.
Kannan, V., 1985. Design considerations for Suralaya
Unit 1 & 2 Steam generators. Presented at the
Electric Indonesia Exhibition, Jakarta, October
29 November 2, 1985.
Kompas, 2008. CBC Dibangun Atasi Kelangkaan
Batubara. 26 Pebruari 2008.
KONEBA, 2002. Kuisioner Data PLTU Suralaya. 1
November 2002.
MinergyNews.Com, 2007. Program 10 Ribu MW
Hanya untuk 3 Tahun. Kamis 13 Desember 2007
Rance, H.C., 1975. Coal Quality Parameters and
their influence in coal utilization. Shell International Petroleum Co. Ltd., Jakarta.
Reid, W.T., 1991. Coal Ash Its effects on combustion systems. In: Elliot, M.A. (Ed.), Chemistry of coal utilization. 2nd Suppl. Vol. John
Wiley & Sons, New York, 1389-1445.
Riley, J.T., Gilleland, S.R., Forsyhte, R.F., Graham,
H.D. and Hayes, F.J., 1989. Non-aditif analytical values for coal blend. Proceeding of the
7th international conference on coal testing.
Charleston, West Virginia, 21-23 March.
Savage, K.I., 1974. Pulverizing characteristics of coal
hardgrove grindability index. Keystone Coal Industry Manual.
Suprapto, S., 2007. Gasifikasi batubara sebagai alternative pengganti BBM. Makalah disampaikan
pada Forum Litbang Energi dan Sumber Daya
Mineral, Jakarta, 21-22 November 2007.

Elliot, M.A. (ed.), 1981. Chemistry of coal utilization. Second Suppl. Vol., John Wiley & Sons,
New York.

38

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor13, Januari 2009 : 31 39

Lampiran 1.

Komposisi dan titik leleh abu batubara Peranap, Bara


Mutiara Prima, Kartika Selabumi Mining dan Lana Harita

Komponen, %

SiO2
Al2O3
Fe2O3
CaO
MgO
K2O
Na2O
TiO2
MnO2
SO3
P2O5

Peranap

Bara Mutiara Prima

Kartika
Sela
Bumi

Lana
Harita
Indonesia

55,73
15,51
8,19
9,66
2,12
0,73
0,81
0,77
0,50
3,68
0,07

33,61
24,13
5,82
4,01
1,22
1,01
0,65
0,50
0,14
2,45
0,02

40,31
29,56
23,65
4,84
1,94
2,15
0,54
1,29
0,21
2,36
0,86

1.220
1.420

>1.200
>1.200
>1.200
>1.200

Titik Leleh Abu, C


Deformasi awal
Pelunakan
Hemisfer
Flow

1.200
1.249
1.261
1.385

Reduksi

Oksidasi

1.290
1.300
1.310
1.500

1.350
1.360
1.370
1.600

Blending Batubara untuk Pembangkit Listrik : Studi Kasus PLTU Suralaya Unit 1-4, Slamet Suprapto

39

HUBUNGAN ANTARA PARAMETER KARAKTERISTIK


LIMBAH BATUBARA KALIMANTAN TIMUR DAN
KARAKTERISTIK PEMBAKARANNYA

STEFANO MUNIR DAN IKIN SODIKIN


Pusat Penelitian dan Pegembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jl. Jenderal Sudirman No. 623, Bandung 40211
Telp. : (022) 6030483 Fax. : (022) 6038027
e-mail : stefano@tekmira.esdm.go.id dan ikin@tekmira.esdm.go.id
Naskah masuk : 23 Desember 2008, revisi pertama : 16 Januari 2009, revisi kedua : 28 Januari 2009,
revisi terakhir : Januari 2009

ABSTRAK
Limbah batubara (sludge) didefinisikan sebagai bahan karbonan, berasal dari endapan batuan sedimen yang
mengandung bahan organik sehingga dapat terbakar. Karakteristik limbah batubara tergantung pada karakteristik
batubara sumbernya dan pada umumnya berperingkat rendah (low rank coal). Tipe limbah batubara yang
dikaji dalam tulisan ini adalah slurry (=SL) sebagai limbah sisa proses pencucian batubara. Contoh diambil
dari 3 (tiga) perusahaan tambang batubara yang terletak di sepanjang Sungai Mahakam di Kabupaten Kutai
Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur (Kaltim), yaitu PT. Multi Harapan Utama (MHU), PT. Tanito Harum
(TH), dan PT. Bukit Baiduri Energi (BBE) yang masing-masing mempunyai unit pencucian batubara dengan
skala produksi di atas 1 juta ton batubara per tahun.
Karakteristik limbah batubara ditentukan berdasarkan parameter analisis proksimat seperti air-lembab (Moisture =M), abu (Ash =A), zat-terbang (Volatile Matter =VM) dan karbon tertambat (Fixed Carbon =FC), dan
analisis ultimat seperti karbon (Carbon =C), hidrogen (Hydrogen =H), dan oksigen (Oxygen =O). Sedangkan
karakteristik pembakaran yang memengaruhi kinerja tungku siklon ditentukan oleh nilai kalori, suhu nyala,
titik pijar dan suhu pembakaran maksimum yang ditentukan oleh parameter analisis proksimat dan ultimat.
Selain itu dilakukan analisis ayak untuk mengetahui distribusi ukuran partikel dari contoh batubara SL yang
diteliti. Pembakar siklon dipilih, karena dapat menangani limbah batubara yang berkualitas rendah (low grade
coal) dengan kisaran nilai kalori 3000 5000 kal/gr, M dan A tinggi di atas 25% dan fuel ratio (FC/VM) sekitar
satu. Besar butir limbah batubara tipe SL Kaltim sesuai dengan ukuran untuk umpan pembakar siklon, sehingga
limbah batubara dapat langsung dibakar dengan sistem tersebut. Hasil menunjukkan bahwa limbah batubara
tipe SL dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif sebagai bahan bakar langsung pada industri.
Kata kunci : batubara, slurry (SL), karakteristik limbah, karakteristik pembakaran

40

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor13, Januari 2009 : 40 46

ABSTRACT
Sludge is defined as a carbonaceous material, derived from sedimentary rock deposit containing organic matters so as to become combustible. The characteristic of sludge depends on the type of its source coal, most of
which are low rank coal. The type of the researched sludge was slurry (SL) in form of the coal washing plant
residue of which its samples were taken from the three coal mine located and selected alongside of Mahakam
river in Kutai Kartanegara regency, East Kalimantan province, that are PT. Multi Harapan Utama (MHU), PT.
Tanito Harum (TH), and PT Bukit Baiduri Energi (BBE) with respective coal production capacities of above one
million tons of coal per annum.
The characteristic of sludge was determined by the proximate analyses such as moisture (M), ash (A), volatile
matter (VM) and fixed carbon (FC) and ultimate analyses such as carbon (C), hydrogen (H) and oxygen (O).
Whereas in terms of the characteristic of its combustion that affects the performance of cyclone furnace was
determined by calorific value, ignition temperature, glow point and maximum combustion temperature that
were determined by parameters of the proximate and the ultimate analyses. On the other hand the distribution
of particle sizes was determined by sizing analysis. The cyclone furnace was selected, because it might handle
the sludge as low grade coal within a low calorific value in the range of 3.000-5.000 cal/gr, high moisture and
ash contents of above 25% and fuel ratio about one. Particle size of SL from Kaltim was similar to the particle
size for feeding of cyclone combustion, therefore it can be utilized directly. Result indicates that the sludge of
SL type can be utilized as alternative fuel for direct combustion in industry.
Keywords : coal, slurry(SL), sludge characteristic, combustion characteristic

1.

PENDAHULUAN

Potensi sumber daya batubara Indonesia yang ditaksir


sebanyak 93,4 milyar ton (MEMR, 2008) tersebar di
Provinsi Sumatera Selatan 40,13%, Kalimantan
Timur 28,37%, dan Kalimantan Selatan 17,7% dan
sisanya di provinsi-provinsi lain. Produksi batubara
dari Kalimantan Timur adalah yang terbesar yaitu
sekitar 57% dari produksi batubara nasional
sebesar185 juta ton (2007) dan ini akan terus
meningkat sesuai dengan pertumbuhan produksi
batubara nasional sekitar 12,02 juta ton per tahun
(Suhala, 2008).
Pada prinsipnya, kegiatan operasi penambangan di
setiap lokasi tambang batubara pada umumnya
menghasilkan 3 (tiga) produk, yaitu batubara yang
dapat dijual (saleable coal), limbah batubara (sludge)
dan air buangan akhir tambang (effluent). Batubara
hasil penambangan (Run of Mine-Coal atau raw coal)
perlu diolah terlebih dahulu atau tidak, tergantung
pada karakteristik kualitas endapan lapisan batubara
yang ditambang. Berdasarkan parameter pengotornya
seperti kadar air-lembab (% M), abu (% A) dan Sulfur (% S) serta nilai kalori, batubara dapat
diklasifikasikan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu
batubara kualitas rendah yang masih perlu dicuci
dan batubara kualitas tinggi yang tidak perlu dicuci.
Biasanya ada 2 (dua) tipe unit pengolahan batubara

yang dikembangkan, yaitu crushing and screening


untuk produksi batubara dari tambang yang telah
memenuhi persyaratan kualitas (spesifikasi) pasar dan
pencucian batubara (coal washing) untuk produksi
batubara dari tambang yang belum memenuhi
spesifikasi pasar sehingga menghasilkan produk
batubara yang dapat dijual dengan ukuran 50 mm.
Sisa industri pertambangan batubara disebut limbah
batubara (sludge) terdiri dari 3 (tiga) tipe, yaitu slurry
= SL, dirty coal = DC, dan coal fines = CF. Limbah
SL merupakan sisa proses pencucian yang ditampung
(dikumpulkan dan disimpan) dalam sistem
penampungan limbah batubara yang standar (sludge
disposal system) dengan menggunakan kolam
pengendapan (settling pond), timbunan (stockpiles)
atau lubang galian tanah (landfill). Tipe limbah
batubara SL dijadikan objek penelitian dalam tulisan
ini karena mempunyai prospek yang menjanjikan
dipandang dari segi jumlah (quantity) dan kualitasnya
(quality) sebagai sumber energi alternatif dalam
rangka mendukung kebijakan konservasi batubara
nasional yang berwawasan lingkungan. Potensi SL
belum dikelola secara komersial, sehingga masih
dianggap sebagai batubara yang tidak dapat
dipasarkan (non-marketable coal, JICA, 2007).
Akumulasi jumlah limbah batubara tipe SL ini akan
semakin besar sesuai dengan jumlah tambang
batubara yang beroperasi di daerah Kaltim dan umur
pengoperasian setiap tambang batubara yang

Hubungan antara Parameter Karakteristik Limbah Batubara Kalimantan ... Stefano Munir dan Ikin Sodikin

41

bersangkutan. Karena itu, fasilitas penampungan


limbah batubara perlu dikelola secara benar
mengingat akan terbatasnya lahan dan dampak
lingkungan yang ditimbulkannya, terutama
percemaran sistem aliran sungai di sekitar tambangtambang batubara, terutama yang terletak di
sepanjang Sungai Mahakam.
Sebenarnya semua tipe limbah batubara tersebut di
atas adalah bahan karbonan (carbonaceous materials) yang karakteristiknya tergantung pada karakteristik
batubara sumbernya yang pada umumnya berperingkat
rendah dari lignit sampai subbituminus (low rank
coal), sehingga berpotensi cenderung untuk
terjadinya swabakar. Ada 3 (tiga) perusahaan tambang
batubara yang diambil contoh limbah batubaranya,
terutama untuk tipe SL di sepanjang Sungai Mahakam
dan dipilih sebagai wakil Provinsi Kaltim yang
terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara yaitu PT.
Multi Harapan Utama (MHU), PT. Tanito Harum
(TH), dan PT. Bukit Baiduri Energi (BBE). Kriteria
pemilihan berdasarkan pada :
-

Perusahaan tambang batubara harus mempunyai


unit pencucian batubara dengan peralatan gravity concentration (wash breaker, jig atau
hydrocyclone); dan
Tambang harus mempunyai kapasitas produksi
>1 juta ton batubara per tahun.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan


antara parameter karakteristik limbah batubara Kaltim
dengan karakteristik pembakarannya dalam rangka
mengevaluasi kinerja keterbakarannya apakah dapat
dikembangkan sebagai sumber energi alternatif atau
tidak.
Pemilihan tipe tungku dan metode pembakaran
limbah batubara dengan pembakar siklon yang
dikembangkan dalam penelitian ini didasarkan pada
fakta bahwa pembakar siklon dapat membakar
batubara berkadar rendah (low grade coal) dengan
kadar air-lembab (% M) dan kadar abu (% A) yang
tinggi sampai 25 %. Sistem tungku siklon yang
dikembangkan dapat membakar ukuran umpan
batubara yang umum digunakan, yaitu sekitar 4
mesh (4,76 mm) atau lebih halus sampai 30 mesh
(0,595 mm = 595 m) (Current Technology, 2007;
Sumaryono dkk, 2007). Ukuran partikel batubara
umpan ini hampir sama dengan ukuran partikel SL
sebagai tipe limbah batubara utama, yang harus dikelola
oleh setiap perusahaan tambang batubara melalui
sistem manajemen penampungan yang standar.

42

2.
2.1.

METODOLOGI
Bahan Uji

Ada 3 (tiga) contoh limbah batubara tipe SL dari


ketiga perusahaan tambang batubara Kaltim yang
dipilih untuk penelitian ini yaitu SL MHU, SL
TH, dan SL BBE. Karena ukuran partikel ketiga
contoh SL ini telah sesuai dengan kisaran ukuran
umpan yang biasa digunakan untuk pembakar siklon
yaitu 4 mesh maupun lebih halus lagi sampai
32 mesh, maka persiapan bahan uji untuk program
percobaan pembakaran dengan pembakar siklon
cukup dilakukan melalui pengeringan udara pada
suhu kamar.
2.2.

Karakteristik Limbah Batubara

Karakteristik limbah batubara tipe SL ditentukan


melalui analisis proksimat dengan parameter
komponen-komponen M, A, VM dan FC dan analisis
ultimat dengan parameter unsur-unsur karbon (C),
hidrogen (H), oksigen (O), nitrogen (N), sulfur (S)
serta pengujian sifat fisik seperti nilai kalori dan berat
jenis. Di samping itu analisis ayak untuk mengetahui
distribusi ukuran partikel dengan karakteristik
kualitas per fraksi ukuran yaitu + 2 mm; - 2 mm +
1 mm; - 1mm + 0,5 mm; - 0,5 mm + 75 m; - 75
m juga dilakukan, sehingga dapat diketahui
pengaruh distribusi ukuran partikel terhadap kadar
abu dan nilai kalorinya.
2.3.

Karakteristik Pembakaran Limbah Batubara

Karakteristik pembakaran limbah batubara


dipengaruhi oleh parameter karakteristik limbah
batubaranya sendiri, yaitu dari parameter analisis
proksimat dan analisis ultimat (Tsai, 1982).
Sedangkan kinerja pembakaran limbah batubara
dinilai dengan beberapa parameter seperti suhu titik
nyala (ignition point) hasil analisis thermogravimetry
(TGA), titik pijar (glow point) hasil pengamatan pada
silica tube furnace dan suhu maksimum hasil
pembakarannya dengan pembakar siklon dalam
hubungannya dengan parameter karakteristiknya.
Kriteria penilaian karakteristik pembakaran limbah
batubara adalah semakin tinggi suhu titik nyala dan
titik pijar, semakin sulit bahan tersebut untuk
dibakar. Sedangkan kriteria penilaian kinerja
pembakarannya adalah semakin tinggi suhu
maksimum yang dicapai selama pembakaran dengan
siklon semakin tinggi kinerja pembakarannya.

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor13, Januari 2009 : 40 46

2.4.
a.

Program Ujicoba Pembakaran


Peralatan

nilai optimal karakteristik pembakarannya. Kegiatan


percobaan pembakaran dari ketiga contoh limbah
batubara SL tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Pada prinsipnya rancangan pembakar siklon yang


benar dapat dilihat pada Gambar 1. Udara
pembakaran berupa udara primer maupun udara
tersier digunakan untuk menghasilkan gerakan
berputar dari partikel-partikel batubara atau limbah
batubara umpan di dalam ruangan pembakaran
siklon. Aksi gerakan berputar (sentrifugal)
ditingkatkan oleh pasokan udara sekunder dengan
kecepatan tinggi secara tangensial, sehingga
menghasilkan semburan nyala api keluar dari ruangan
siklon dan setiap partikel umpan terbakar habis (burn
out) dengan meninggalkan residu atau lelehan abu
(slag).
Dimensi rancangan pembakar siklon yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 40 x 100 cm dengan
ukuran partikel batubara umpan 30 mesh (595 m
atau 0,595 mm) (Sumaryono, dkk., 2007).

SL MHU

Udara sekunder
Udara primer
Batubara

Udara
tersier

Lubang pengeluaran terak

Lubang pengeluaran
terak utama

Gambar 1.

b.

Skema rancangan pembakar


siklon (Wikipedia. Com; 2007)

SL- TH

Prosedur

Prosedur percobaan dirancang menurut karakteristik


pembakaran limbah batubara yang diuji. Setiap
bahan uji SL yang sudah kering di udara, dimasukkan
ke dalam penandon umpan berupa hopper dan
kemudian diumpankan dengan bantuan blower ke
dalam ruangan pembakar siklon yang telah
dipanaskan terlebih dahulu dengan bantuan kayu
bakar atau karet ban bekas sampai mencapai suhu
450 o C sebagai pematik (igniter). Selanjutnya,
perkembangan suhu pembakaran yang dihasilkan
dicatat melalui pencatat suhu indicator thermocouple dengan interval waktu 5 menit selama 15
menit. Suhu maksimum rata-rata hasil pembakaran
dari setiap contoh limbah batubara diambil sebagai

SL BBE
Gambar 2.

Kegiatan percobaan pembakaran


3 (tiga) contoh limbah batubara SL
dengan pembakar siklon

Hubungan antara Parameter Karakteristik Limbah Batubara Kalimantan ... Stefano Munir dan Ikin Sodikin

43

3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1.

Karakteristik Limbah Batubara

Karakteristik limbah batubara tipe SL dari 3 (tiga)


perusahaan tambang batubara di Kaltim dapat dilihat
pada Tabel 1 dan hasil analisis ayak pada Tabel 2.

Tabel 1.

Karakteristik limbah batubara tipe SL dari MHU, TH dan BBE

SL

Parameter

Tabel 2.

TH

BBE

44

MHU

TH

BBE

Analisis proksimat :
Air lembab (IM), %, adb
Abu (A), %, adb
Zat terbang (VM), %, adb
Karbon tertambat (FC), %, adb
Nilai kalori, kal/gr, adb
Fuel Ratio (FC/VM)
Berat jenis (TSG)

3,46
56,70
26,44
13,40
2.413
0,51
2,33

7,93
31,13
30,14
30,80
4.436
1,02
1,59

11,96
17,30
34,56
36,18
4.758
1,05
1,53

Analisis ultimat :
Karbon (C), %, adb
Hidrogen (H), %, adb
Oksigen (O), %, adb
Nitrogen (N), %, adb
Sulfur (S), %, adb

22,02
1,68
11,37
0,27
7,96

47,44
3,84
16,05
0,92
0,62

51,20
4,25
23,55
0,88
2,82

Hasil analisis ayak, analisis proksimat , fuel ratio, dan nilai kalori limbah batubara tipe SL dari
MHU, TH dan BBE

Ukuran fraksi
MHU

Tabel 1 menunjukkan bahwa karakteristik SL dari


masing-masing perusahaan pertambangan batubara
selain tergantung dari karakteristik batubara
sumbernya, juga dipengaruhi oleh proses pencucian
dengan peralatan yang digunakan seperti drum
washer, jig, hydrocyclone dan screen (0,25mm 0,5
mm). Karakteristik SL dari masing-masing perusahaan

+ 2 mm
- 2 mm
+ 1 mm
- 1 mm + 0,5 mm
- 0,5 mm + 75 m
- 75 m
+ 2 mm
- 2 mm
+ 1 mm
- 1 mm + 0,5 mm
- 0,5 mm + 75 m
- 75 m
+ 2 mm
- 2 mm
+ 1 mm
- 1 mm + 0,5 mm
- 0,5 mm + 75 m
- 75 m

% massa % kumulatif
massa
tertahan
tertahan
19,19
9,14
24,36
45,51
1,8
47,93
7,15
4,68
30,57
9,67
1,90
5,2
16,18
66,51
10,21

19,19
28,33
52,69
98,2
100
47,93
55,08
59,76
90,33
100
1,9
7,1
23,28
89,79
100

Analisa proksimat (%), adb


IM

3,78
4,78
3,76
2,43
4,33
7,24
6,7
7,3
9,33
6,77
13,52
12,95
12,78
11,34
6,58

54,47
44,49
52,4
60,59
60,53
38,7
36,66
30,32
8,72
42,32
6,93
5,54
6,17
14,61
49,59

VM

FC

26,6 15,15
30,48 20,25
28,72 15,12
24,22 12,76
24,15 10,99
28,01 26,05
30,5 26,14
33,82 28,56
37,56 44,39
27,4 23,51
40,66 38,89
39,81
41,7
39,6 41,45
35,55
38,5
24,95 18,88

Fuel
Nilai
ratio
kalori,
(FC/VM) kal/gr,adb
0,57
0,66
0,53
0,53
0,45
0,93
0,86
0,84
1,18
0,86
0,96
1,05
1,05
1,08
0,76

2.594
3.277
2.631
1.892
1.895
3.851
4.224
4.686
6.128
3.636
5.690
5.778
5.798
5.032
3.683

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor13, Januari 2009 : 40 46

pertambangan batubara menunjukkan bahwa


kandungan abu yang tinggi sangat memengaruhi
kandungan nilai kalori dan berat jenis yang
sebenarnya. Begitu pula tinggi rendahnya kandungan
karbon dan oksigen akan memengaruhi kandungan
nilai kalori. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
naiknya kadar abu akan menurunkan nilai kalori yang
diikuti oleh naiknya kadar karbon dan oksigen.
Sedangkan kandungan sulfur yang tinggi akan
memengaruhi kinerja peralatan pembakaran dan gas
buang hasil pembakaran. Gambar 3 menunjukkan
grafik hubungan antara kadar abu dengan ukuran
fraksi dan Gambar 4 grafik hubungan antara nilai
kalori dengan ukuran fraksi.

70
A BU , %

60
50
40
30
20
10
0
+2mm

- 2mm
+1mm

-1mm
+0.5mm

- 0.5mm
+75m

- 75m

UKURAN FRAKSI
MHU

Gambar 3.

TH

BBE

Hubungan antara kadar


abu dengan ukuran fraksi

Dari Gambar 3 dan 4, terlihat bahwa menurunnya


ukuran partikel menyebabkan menurunnya nilai
kalori, dengan nilai kalori yang terendah sebesar
1895 kal/gr pada fraksi ukuran terkecil 75 m. SL
MHU yang merupakan limbah pengolahan dengan
cyclone classifier dan screen 0,25 mm mempunyai
nilai kalori yang terendah, yaitu dari 1.892 kal/gr
sampai 3.277 kal/gr. SL TH dengan drum washer,
cyclone classifier dan screen 0,5 mm dari 3.636 kal/
gr sampai 6.128 kal/gr dan SL BBE dengan cyclone
classifier dan screen 0,5 mm dari 3.683 kal/gr sampai
5.798 kal/gr. Dengan kata lain bahwa semakin halus
( 75 m) fraksi ukuran SL semakin rendah nilai
kalorinya, baik pada fraksi ukuran 0,5 mm + 75
m maupun pada fraksi ukuran terhalus 75 m.
Fraksi-fraksi ukuran partikel yang sangat halus ini
biasanya dianggap sebagai slime, sehingga teknik
pengolahan untuk pemisahannya dari fraksi-fraksi
yang kasar harus dilakukan dengan proses desliming
melalui cara decantation untuk meningkatkan nilai
kalori limbah batubara tipe SL tersebut.
Distribusi ukuran partikel semua contoh tipe limbah
batubara SL telah memenuhi spesifikasi sebagai
umpan untuk pembakar siklon, walaupun semakin
halus fraksi ukuran partikelnya semakin tinggi kadar
abu, sehingga akan menurunkan nilai kalori.

NILAI KALORI (kal/gram)

3.2.

Karakteristik Pembakaran Limbah Batubara

7000

Karakteristik pembakaran limbah batubara tipe SL


dapat dilihat pada Tabel 3.

6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
+2mm

- 2mm
+1mm

-1mm
+0.5mm

- 0.5mm
+75m

- 75m

UKURAN FRAKSI
MHU

Gambar 4.

TH

BBE

Hubungan antara nilai kalori


dengan ukuran fraksi

Tabel 3.

Tabel 3 menunjukkan bahwa naiknya titik nyala dan


titik pijar dipengaruhi oleh fuel ratio. Semakin tinggi
kadar fixed carbon atau fuel ratio, semakin tinggi
titik nyala atau titik pijarnya. Sedangkan suhu
maksimum siklon dipengaruhi oleh kadar abu, nilai
kalor dan ukuran partikel umpan, yaitu semakin
rendah kadar abu limbah batubara akan semakin

Karakteristik pembakaran limbah batubara

Parameter

SL
MHU

Karakteristik pembakaran :
Nilai kalori, kal/gr,adb
Titik Nyala TGA, oC
Titik Pijar Silica Tube Furnace, oC
Suhu maks. pembakaran siklon, oC

2.413
tdd
470
431

TH
4.436
261
360
566

BBE
4.758
340
418
529

Catatan : tdd = tidak dapat ditentukan

Hubungan antara Parameter Karakteristik Limbah Batubara Kalimantan ... Stefano Munir dan Ikin Sodikin

45

tinggi nilai kalornya. Semakin halus ukuran partikel


umpan siklon semakin tinggi suhu maksimum yang
dicapai sehingga kinerja pembakar siklon meningkat.
Titik nyala untuk SL MHU tidak dapat ditentukan
karena kandungan abu yang cukup tinggi mencapai
60,59%.
Pada prinsipnya, semua contoh limbah batubara tipe
SL menunjukkan kinerja keterbakaran dari yang
terrendah (SLMHU), sedang (SL-TH), dan tinggi (SLBBE) sehingga masih dapat dimanfaatkan sebagai
sumber energi alternatif untuk bahan bakar langsung.
Sedangkan kandungan sulfur yang tinggi akan
memengaruhi kinerja peralatan pembakaran dan gas
buang hasil pembakaran.
4.
4.1.

Kesimpulan

Saran

Limbah batubara tipe SL yang banyak tersebar di


beberapa perusahaan tambang batubara dan belum
dimanfaatkan di Provinsi Kaltim perlu dikelola
dengan baik agar dapat dimanfaatkan sebagai sumber

46

DAFTAR PUSTAKA
Current Technology, Methods of Burning Coal, 27
Desember 2007. http://me-roboto.me.uiuc.edu/
kawka/Public/coal/tech.html
JICA team, 2007, Summary of Draft Final Report :
The Master Plan Study on Pollution Risk Mitigation Program for Sustainable Coal Development in East Kalimantan Province in the Republic of Indonesia, Lokakarya Program Peduli
Mahakam, ESDM dan JICA Jakarta.
Ministry of Energy and Mineral Resources, 2008.
Indonesia Energy Statistics.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik


pembakaran limbah batubara tipe SL dengan
pembakar siklon, kinerja pembakarannya dapat diurut
menurut kemudahan keterbakarannya dari yang paling rendah, yaitu SL MHU, sedang SL TH, tinggi
SL BBE. Secara umum, ketiga limbah batubara tipe
SL yang diteliti masih dapat dimanfaatkan sebagai
sumber energi alternatif untuk bahan bakar langsung
dengan menggunakan pembakar siklon.
4.2.

daya energi alternatif untuk industri.

Suhala, S., 2008. Perkembangan Industri


Pertambangan Batubara Nasional Peluang dan
Tantangannya, APBI-ICMA, Bandung.
Sumaryono, Munir, S., Yaskuri, dan Fahmi
Sulistyohadi, F., 2007. Pembangunan Pilot Plant
Teknologi Pembakaran Batubara Dengan
Pembakar Siklon, Laporan Intern Puslitbang
Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung.
Tsai, S.C., 1982. Fundamentals of Coal Beneficiation
and Utilization, Elsevier Scientific Publishing
Company, Amsterdam.
Wikipedia. Com, 20 Oktober 2007, Cyclone furnace : Definition from Answers. Com, http://
www.answers.com/topic/cyclone-furnace

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor13, Januari 2009 : 40 46

PERUBAHAN MORFOLOGI DAN KIMIA BATUAN


PEMBAWA FOSFAT AKIBAT PELINDIAN DENGAN
ASPERGILLUS NIGER

TATANG WAHYUDI
Pusat Peneltian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara,
Jl. Jend. Sudirman 623 Bndung, Tlp. 022-6030483
Naskah masuk : 06 Januari 2008, revisi pertama : 13 Juni 2008, revisi kedua : 20 September 2008,
revisi terakhir : Januari 2009

ABSTRACT
Bioleaching, utilizing oxalic acid medium generated by the phosphorous oxidizing capabilities of Aspergillus
niger in 10 days, has proved to be useful in releasing phosphorous from its rocks. In terms of evaluating process
performance, microscopic and chemical studies were conducted to bioleaching. The results show several
features occur during the process. Porosity and permeability developments on the surface of dahlite and calcite
during bioleaching process imply that the process is effective to leach such minerals. Both are competent
agents for leaching solution to contact with the required elements available within the minerals. The detected
pits on the mineral surface reflect solution activity when leached the materials.
Keywords: phosphate-bearing rocks, dahlite, calcite, microscopic feature, bioleaching, oxalic acid
SARI
Pelindian dengan mikroorganisme (bioleaching) menggunakan kapang Aspergillus niger selama 10 hari terhadap
batuan pembawa fosfat Cijulang menyisakan ampas pelindian yang menarik untuk dikaji. Analisis kimia dan
mikroskopik terhadap percontoh ampas pelindian tersebut menunjukkan bahwa pada kondisi percobaan tertentu,
metode tersebut efektif untuk mengolah fosfat. Fitur mikroskopi yang terdeteksi pada mineral dahlit dan kalsit
adalah berkembangnya porositas dan permeabilitas yang terbentuk selama proses pelindian. Kedua hal ini
merupakan sarana efektif bagi larutan pelindi untuk kontak dengan permukaan batuan fosfat, meningkatkan
kelarutan matriks material dan memperbesar jalan bagi larutan meresap ke bagian tubuh mineral. Fitur terdeteksi
lainnya berupa alur-alur pada permukaan mineral yang merupakan refleksi aktivitas larutan pelindi ketika
memakan komponen yang terkandung dalam material terlindi.
Kata kunci: batuan pembawa fosfat, dahlit, kalsit, fitur mikroskopi, bioleaching, asam oksalat

1.

PENDAHULUAN

Endapan fosfat alam Indonesia kadarnya bervariasi,


tetapi pada umumnya mempunyai kadar rendah.
Fosfat berkadar tinggi memang ada, hanya sebarannya
bersifat sporadis dan cadangannya kecil. Salah satu

endapan fosfat berkadar rendah berada di Cijulang,


Ciamis-Jawa Barat ( 14% kadar P2O5). Banyak
pakar yang telah mencoba untuk meningkatkan kadar
fosfat dari daerah ini dengan berbagai cara
pengolahan, baik secara fisika maupun kimia.
Pengolahan secara fisika melalui peremukan (crush-

Perubahan Morfologi dan Kimia Batuan Pembawa Fosfat Akibat Pelindian dengan ... Tatang Wahyudi

47

ing), pencampuran (blending), pengeringan (drying)


dan penggerusan (grinding) telah dilakukan oleh Tim
Bimbingan Pertambangan Fosfat dari Pusat
Pengembangan Teknologi Mineral pada 1984.
Hasilnya memang belum bisa memenuhi spesifikasi
yang dibutuhkan oleh industri yaitu 36% kadar P2O5
(Ardha dkk.1991) juga telah melakukan serangkaian
proses untuk meningkatkan kadar fosfat melalui
pencucian, flotasi, kalsinasi dan pemisahan secara
magnetik dan mampu meningkatkan kadar fosfat
sampai 30% . Pengolahan secara kimia juga telah
dilakukan melalui proses pelarutan HCl tersirkulasi
walaupun hasilnya hanya mampu meningkatkan
kadar fosfat dari 17, 29 menjadi 23,79% dengan
perolehan 70,18% (Ardha, 1997). Kendala yang
dihadapi dalam mengolah fosfat dengan cara-cara
di atas adalah mahalnya biaya pengolahan dan belum
dapat diturunkannya material pengotor dalam jumlah
signifikan.
Salah satu pengolahan alternatif untuk meningkatkan
kadar fosfat adalah pelindian dengan jasad renik
(micro organism) tertentu (kapang atau bakteri)
seperti Aspergillus niger, Thiobacillus ferrooxidans,
Leptospirillum ferrooxidans, Thiobacillus thiooxidans
dan lain-lain (http://www.moonminer.com/
bioleaching.html). Batuan fosfat Cijulang diolah
dengan proses tersebut pada skala laboratorium
dengan memanfaatkan kapang Aspergillus niger
dengan waktu pemrosesan selama 10 hari. Dalam
proses ini, kapang mengeluarkan asam oksalat sebagai
hasil samping proses fermentasi asam sitrat yang
berperan dalam proses pelindian.
Limbah pelindian berupa ampas padat menarik untuk
dikaji. Melalui pengujian difraksi sinar-x (XRD),
mikroskop optik dan SEM-EDX dapat diperoleh
informasi mineralogi mengenai fasa, tekstur dan
struktur mikro yang terdapat dalam limbah padat
tersebut. Interpretasi terhadap informasi tersebut
yang dipadu dengan pengujian kimia diharapkan
dapat mengungkap kinerja proses bioleaching.
Maksud penelitian ini adalah mengevaluasi
kenampakan tekstur dan struktur mikro yang terdapat
pada percontoh ampas hasil bioleaching. Tujuannya
untuk mengetahui efek proses tersebut terhadap
batuan fosfat yang dilindi.
2.

BAHAN DAN METODE

Percontoh batuan fosfat untuk keperluan penelitian


ini diperoleh dari daerah Cijulang yang dikenal
berkadar rendah. Hasil pemercontohan kemudian
dikering-ovenkan untuk kemudian difraksinasi di

48

Laboratorium Preparasi. Ukuran partikel yang diambil


untuk keperluan penelitian adalah -140+200 dan 200 mesh contoh awal. Pada tahap awal, percontoh
diuji komposisi kimianya dengan metode kimia
basah di Laboratorium Pengujian Kimia. Selanjutnya
untuk mengetahui komposisi mineral head sample,
dilakukan pengujian dengan teknik difraksi sinar-x
(XRD) menggunakan alat difraktometer sinar-x
Shimadzu XRD-7000. Dalam hal ini, batuan fosfat
yang sudah digerus halus dianalisis menggunakan
radiasi Cu-K. Informasi mengenai fasa serta struktur
mikro yang terdapat dalam percontoh head sample
juga diperoleh melalui analisis mikroskop polarisasi
yang dilengkapi dengan pengujian SEM-EDX untuk
mengetahui komposisi unsur-unsur yang terdapat
pada permukaan percontoh spesimen.
Penelitian perubahan morfologi dan kimia batuan
pembawa fosfat akibat pelindian dengan kapang
menggunakan ampas hasil pelindian dengan kode
percontoh A1, A2, A3, B1, B2 dan B3. Kode A dan
B menunjukkan ukuran fraksi umpan pelindian
masing-masing -140+200 mesh untuk A dan -200
mesh untuk B. Angka 1, 2 dan 3 di depan huruf A
dan B mengacu kepada persen padatan yang
digunakan pada saat pelindian yaitu 5, 10 dan 20%.
Kepada percontoh tersebut dilakukan pengujian
mikroskop polarisasi dan kimia untuk mengetahui
perkembangan yang terjadi setelah batuan tersebut
dilindi dengan kapang selama 10 hari.
3.
3.1.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Bahan Baku (Head Sample)

Analisis unsur-unsur dan mineralogi percontoh


batuan fosfat menunjukkan hadirnya mineral fosfat
yang tergolong ke dalam hidroksilapatit. Mineral
tersebut adalah dahlit yang mempunyai formula
Ca5(PO4,CO3)3 dan kolofan sejenis apatit dengan
formula empiris Ca5(PO4)2.5(CO3)0.5F dalam jumlah
yang relatif lebih sedikit dibandingkan dahlit.
Keberadaan dahlit dan kolofan diduga akibat
pengayaan batugamping oleh kotoran burung (guano)
dan air laut (http://en.wikipedia.org/wiki/Phosphate). Dahlit memperlihatkan struktur menyerat dan
perawakan radial sedangkan kolofan menunjukkan
struktur rekahan. Ditinjau dari segi pengolahan mineral, kondisi ini menguntungkan karena memudahkan
larutan pelindi untuk meresap ke bagian-bagian
tertentu tubuh mineral, sehingga unsur-unsur tertentu
yang diinginkan akan mudah dilepaskan. Namun,
kesulitan peningkatan kadar fosfat disebabkan oleh
ikut terlindinya unsur-unsur pengotor. Selain kedua

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009 : 47 56

mineral fosfat di atas, percontoh batuan fosfat juga


disusun oleh kalsit (CaCO3), kuarsa (SiO2), mineral
opak (opaque) dan fragmen batuan. Mineral opak
kemungkinannya berupa magnetit atau hematit hasil
pelapukan mineral induknya yang berasal dari
fragmen batuan. Informasi mineralogi di atas
diperoleh dari pengujian dengan mikroskop optik.
Gambar 1 memperlihatkan sebagian komposisi mineral percontoh batuan fosfat head sample.

a
Gambar 1.

Belerang yang terdeteksi dapat berasal dari material


sulfit atau sulfat seperti mineral gipsum atau
CaSO42(H2O). Mineral tersebut memang tidak
terdeteksi pada batuan yang dijadikan spesimen
pengujian mikroskop optik atau SEM, tetapi indikasi
ke arah itu ada, mengingat batuan fosfat Cijulang
terdapat di area yang berbatasan dengan laut. Pada
3,5% salinitas air laut, unsur-unsur belerang dan
kalsium masing-masing berkadar 904 dan 411 ppm.

Tiga mineral utama yang terdapat dalam percontoh batuan fosfat Cijulang; ; a - dahlit
(D), b - kolofane (Cl) dan c - kalsit (C)

Pengujian unsur-unsur yang terdapat pada permukaan


sayatan poles percontoh batuan fosfat Cijulang
dilakukan dengan SEM-EDX. Metode pengujiannya
adalah pemetaan secara sinar-x. Hasil analisis
menunjukkan adanya unsur fosfor (P), kalsium (Ca),
karbon (C), aluminum (Al), besi (Fe), silikon (Si)
and oksigen (O). Tabel 1 dan Gambar 2 memperlihatkan unsur-unsur yang terdeteksi. Fosfor diduga
berasal dari dahlit dan kolofan, sedangkan kalsium
berasal dari dahlit, kolofan dan kalsit. Aluminum
dan silikon kemungkinan berasal dari mineral silikat
yang terkandung dalam fragmen batuan, sedangkan
besi diduga berasal dari mineral silikat atau opak.
Tabel 1.

Kuantitas yang relatif cukup untuk terjadinya


pengayaan Ca dan S pada batuan fosfat (http://
www.seafriends.org.nz/oceano/seawater.htm).
Kehadiran unsur-unsur bukan pembentuk fosfat pada
batuan fosfat Cijulang merupakan unsur-unsur
pengotor yang tidak diharapkan, apabila mineral fosfat
ini diolah untuk keperluan industri tertentu.
Pemetaan unsur-unsur pada salah satu mineral dahlit
yang terdapat dalam spesimen sayatan poles batuan
fosfat memperlihatkan kalsium lebih banyak
terkonsentrasi di bagian kiri bawah sampai tengah
mineral (Gambar 3) yang ditunjukkan oleh skala

Unsur-unsur pada spesimen percontoh batuan


fosfat yang terdeteksi dengan SEM-EDX metode
x-ray mapping

Unsur teridentifikasi
Fosfor (15P32)
Kalsium (20Ca40)
Karbon (6C12)
Aluminum (13Al27)
Besi (26Fe56)
Silikon (14Si28)
Belerang (16S32)
Oksigen (8O16)

Intensitas (counts)
30,720
64,000
48,960
17,280
02,560
25,280
06,080
27,200

Energyi (keV)
2.013
3.690
0.277
1.486
6.398
1.739
2.307
0.521

Perubahan Morfologi dan Kimia Batuan Pembawa Fosfat Akibat Pelindian dengan ... Tatang Wahyudi

49

Gambar 2.

Komposisi unsur yang terdapat pada batuan fosfat Cijulang yang dianalisis dengan
metode energy-dispersive x-ray (EDX)

warna merah keunguan, sedangkan konsentrasi


karbon terbanyak terdapat di bagian kiri dan kanan
mineral. Fosfor paling banyak terkonsentrasi di
bagian kiri bawah dan tengah atas mineral.
Walaupun konsentrasi unsur terbanyak masingmasing unsur pembentuk fosfat terpisah-pisah (tidak
mengelompok menjadi satu), tidak berarti bagian
tepi mineral tersebut tidak terdapat P atau C. Kedua
jenis unsur tersebut secara menyeluruh terdapat pada
dahlit hanya konsentrasinya di bagian pinggir mineral tidak sebanyak di bagian tengah mineral.
Keterangan yang sama berlaku untuk unsur
pembentuk fosfat lainnya (P); dan ini berarti pada
bagian tengah mineral masih terdapat unsur fosfor.
Namun kuantitasnya dibandingkan dengan kuantitas
P di bagian kiri bawah dan atas adalah lebih kecil.
Jika dilihat pada Gambar 3; aluminum, silikon dan
besi terkonsentrasi paling banyak pada bagian kanan
atas foto dan noktak-noktah yang tersebar di bagian
kiri atas dan kanan bawah. Diduga pada bagianbagian tersebut, material silikat berasosiasi dengan
mineral dahlit. Khusus untuk unsur belerang, pada
gambar terdapat dua noktah putih yang dikelilingi
oleh warna merah (sudut kiri atas dan tengah kanan
gambar). Ada kemungkinan kedua noktah tersebut
adalah gipsum yang berasosiasi dengan dahlit;
selebihnya unsur belerang merupakan unsur
pengganggu yang menyebar di seluruh permukaan

50

mineral. Satu area berwarna putih di bagian kiri atas


foto mengandung unsur besi terkonsentrasi paling
banyak. Bagian ini diduga mineral opak. Besi sebagai
bagian mineral silikat, sebarannya hampir mengikuti
pola sebaran aluminum dan silikon.
Terdapatnya dua noktah putih mengandung Al dan
Si pada hasil pemetaan secara sinar-x menunjukkan
bahwa area tersebut adalah partikel silikat. Pengujian
percontoh batuan fosfat Cijulang dengan XRD
menunjukkan adanya mineral monmorilonit sebagai
mineral silikat. Di samping itu, terdeteksi pula
adanya mineral silikat kuarsa. Kedua mineral ini
berasal dari lapukan fragmen batuan. Pengujian XRD
ini hanya mendeteksi dahlit sebagai mineral fosfat.
Kalsit tidak terdeteksi. Diasumsikan, percontoh yang
dianalisis untuk XRD ini (berasal dari bongkah yang
dipreparasi sampai fraksi -200 mesh) memang tidak
mengandung mineral tersebut seperti terlihat pada
Tabel 2. Keberadaan kalsit memang hanya terdeteksi
oleh pengujian mikroskop optik saja melalui
penelusuran pada spesimen yang memerlukan waktu
lama (karena kecilnya kuantitas mineral tersebut
dalam percontoh).
Pengujian kimia batuan fosfat Cijulang head sample
mengidentifikasi beberapa unsur dalam bentuk
oksidanya (Tabel 3). Percontoh yang dianalisis adalah

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009 : 47 56

Gambar 3.

Pengujian SEM-EDS metode x-ray mapping pada batuan fosfat Cijulangmendeteksi


adanya 8 unsur, yaitu kalsium (Ca), karbon (C), fosfor (P), aluminum (Al), silikon (Si), besi
(Fe), belerang (S) dan oksigen (O)

Tabel 2.

Pengujian mineralogi batuan fosfat Cijulang


dengan metode XRD

Mineral teridentifikasi
Dahlit
Monmorilonit
Kuarsa

Formula mineral
Ca5(PO4,CO3)3F
Na(Al, Mg)2 Si4O10 (OH)2. 4H2O
SiO2

bongkah yang telah difraksinasi menjadi tiga (3)


ukuran partikel yaitu -100+140, -140+200 dan 200 mesh. Dari ketiga percontoh, kuantitas fosfat
dalam bentuk P2O5 berkisar antara 18 sampai 19%.
Kelihatannya, makin halus partikel makin banyak

mineral fosfat (dahlit) yang terbebaskan sehingga ada


kenaikan kadar P2O5 walaupun tidak signifikan.
Kuantitas fosfat hasil pengujian kimia tidak berbeda
jauh dengan hasil pengujian terhadap percontoh

Perubahan Morfologi dan Kimia Batuan Pembawa Fosfat Akibat Pelindian dengan ... Tatang Wahyudi

51

Tabel 3.

Pengujian kimia terhadap percontoh batuan fosfat Cijulang

Kode

SiO2

Al2O3

Fe2O3

K2O

-100+140
-140+200
-200

17,82
16,39
16,71

0,15
9,52
7,71

6,00
5,83
5,70

0,209
0,208
0,212

sejenis dengan metode SEM-EDX (Tabel 4).


Walaupun kuantitas yang diperoleh untuk P2O5 pada
pengujian terahir lebih rendah dibandingkan dengan
hasil pengujian kimia (hanya 12,04%), angka tersebut
masih dalam kisaran wajar, yaitu pada angka belasan
persen. Ada keterbatasan pada pengujian SEM-EDX,
yaitu material uji terbatas pada material yang terlihat
pada monitor saja. Pada perbesaran tertentu biasanya
hanya satu atau dua partikel yang termuat pada
monitor. Jadi hasil yang diperoleh hanya mewakili
partikel yang terpampang pada layar, tidak mewakili
keseluruhan persentase yang ada.
Sebenarnya ada perbedaan yang mendasar mengenai
pengujian secara SEM-EDX dengan metode kimia;
Tabel 4.

CaO

MgO

TiO2

P2O5

22,19
23,61
23,37

0,550
0,534
0,535

0,467
0,457
0,437

18,26
19,54
19,56

juga oksigen dalam bentuk unsur. Hasil pengujian


kimia terhadap unsur belerang dilakukan dalam
bentuk belerang trioksida (SO3) menunjukkan hasil
nihil. Bila mengacu kepada hasil analisis SEM-EDX
yang menunjukkan kandungan belerang pada partikel
yang dideteksi hanya 0,82% (Tabel 4), hal ini dapat
dimengerti. Kemungkinan pada percontoh uji untuk
analisis kimia, kandungan belerangnya memang
rendah (dalam unit ppb). Karbon (C) memang tidak
dianalisis untuk keperluan penelitian ini karena
fasilitas pengujiannya belum tersedia.
Sebenarnya ada perbedaan yang mendasar mengenai
pengujian secara SEM-EDX dengan metode kimia;
yang pertama, pengujiannya lebih bersifat kualitatif

Hasil pengujian SEM-EDS metode x-ray mapping untuk head sample fosfat Cijulang

Element

(keV)

mass %

Error %

At %

Compound

CK
O
Al K
Si K
PK
SK
Ca K
Fe K
Total

0,277

36,58
24.41
2,82
3,27
5,25
0,82
21,84
5,02
100,00

0,47

78,91

0,62
0,56
0,63
0,62
0,55
1,05

1,32
2,95
2,14
0,65
13,76
2,27
100,00

1,486
1,739
2,013
2,307
3,690
6,398

yang pertama, pengujiannya lebih bersifat kualitatif


dibandingkan dengan yang kedua. Walaupun
tercantum angka-angka yang menunjukkan kuantitas,
informasi yang diperoleh tidak mewakili keseluruhan
percontoh yang ada; hanya untuk partikel terdeteksi
saja. Hal ini berbeda dengan pengujian secara kimia,
angka yang ditujukkan relatif mewakili kandungan
unsur-unsur yang ada pada percontoh uji. Unsur
oksigen (O) yang terdeteksi oleh pengujian dengan
metode SEM sebenarnya sama dengan oksigen yang
terdeteksi oleh pengujian kimia. Keduanya sudah
diubah ke dalam bentuk oksida (Tabel 3 dan 4);
memang hasil pengujian SEM-EDX mencantumkan

52

Na2O
%
0,091
0,068
0,069

Al2O3
SiO2
P2O5
SO3
CaO
FeO

mass %

Cation

38,58

0,00

11,6433

5,33
7,01
12,04
2,05
30,55
6,46
100,00

1,65
1,83
2,67
0,40
8,57
1,41

2,5885
3,6325
8,7698
1,2755
37,3861
6,7918
16,53

dibandingkan dengan yang kedua. Walaupun


tercantum angka-angka yang menunjukkan kuantitas,
informasi yang diperoleh tidak mewakili keseluruhan
percontoh yang ada; hanya untuk partikel terdeteksi
saja. Hal ini berbeda dengan pengujian secara kimia,
angka yang ditunjukkan relatif mewakili kandungan
unsur-unsur yang ada pada percontoh uji. Unsur
oksigen (O) yang terdeteksi oleh pengujian dengan
metode SEM sebenarnya sama dengan oksigen yang
terdeteksi oleh pengujian kimia. Keduanya sudah
diubah ke dalam bentuk oksida (Tabel 3 dan 4);
memang hasil pengujian SEM-EDX mencantum-kan
juga oksigen dalam bentuk unsur. Hasil pengujian

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009 : 47 56

kimia terhadap unsur belerang dilakukan dalam


bentuk belerang trioksida (SO3) menunjukkan hasil
nihil. Bila mengacu kepada hasil analisis SEM-EDX
yang menunjukkan kandungan belerang pada partikel
yang dideteksi hanya 0,82% (Tabel 4), hal ini dapat
dimengerti. Kemungkinan pada percontoh uji untuk
analisis kimia, kandungan belerangnya memang
rendah (dalam unit ppb). Karbon (C) memang tidak
dianalisis untuk keperluan penelitian ini karena
fasilitas pengujiannya belum tersedia.
3.2.

Ampas Pelindian

Pelindian terhadap batuan fosfat Cijulang telah


dilakukan menggunakan metode bioleaching. Dalam
hal ini, asam oksalat yang merupakan metabolit hasil
ekskresi kapang Aspergillus niger merupakan media
pelindi untuk melarutkan fosfat. Hasil pelindian
berupa filtrat dan ampas; yang disebut terakhir berupa
padatan dan dianalisis dengan mikroskop optik untuk
mengetahui sejauh mana perubahan yang terjadi
pada mineral fosfat Cijulang setelah dilindi oleh
asam oksalat tersebut. Hasil pengamatan mikroskop
optik pada ampas tersebut ditabulasikan untuk
divisualkan seperti tertera pada Gambar 4. Dari
gambar tersebut terlihat bahwa kalsit merupakan
mineral yang paling dominan dalam ampas.
Kuantitasnya berkisar antara 95 -99%. Walaupun
kuantitasnya tidak sebanyak mineral kalsit, mineral
opak merupakan mineral dominan kedua setelah
kalsit. Mineral ini terdapat pada semua percontoh
yang diuji secara mikroskop optik. Dari kondisi ini
dapat diketahui bahwa kedua jenis mineral ini tidak
mengalami perubahan yang signifikan setelah
pelindian atau relatif tidak terlindi. Dari keenam
percontoh, dahlit terlindi dengan baik pada
percontoh, A2 dan B1; empat percontoh lainnya
(A1,A3, B2 dan B3) masih menyisakan dahlit cukup
banyak sebagai mineral yang tidak terlindi. Jika dahlit
terlindi habis pada percontoh A1, A2 dan B1, kuarsa
dan fragmen batuan masing-masing habis terlindi
pada percontoh A1, B1 dan B2 serta A2, A3 dan
B1. Terlindinya kuarsa dan fragmen batuan yang
keduanya merupakan sumber mineral silikat dengan
berbagai kandungan unsur pengotornya; sebenarnya
merugikan proses karena unsur-unsur pengotor juga
ikut terlindi. Wahyudi dkk. (2008) menyarankan
untuk mengatur pH larutan dengan pengadukan
berkecepatan rendah, agar logam-logam pengotor
dalam larutan atau filtrat hasil pelindian dapat
dipisahkan sehingga diperoleh fosfat dengan
kemurnian lebih tinggi.
Hasil uji mikroskop optik terhadap enam percontoh
ampas hasil pelindian telah dilakukan (Gambar 5).

Gambar 4.

Distribusi mineral yang tersisa


dalam dalam ampas hasil
pelindian

Pada percontoh asli (head sample yang belum


mengalami pelindian), terlihat bahwa mineral dahlit
(D) mempunyai struktur menyerat secara radial
(Gambar 1a). Pelindian yang berlangsung selama 10
hari menyisakan ampas yang masih mengandung
mineral dahlit (percontoh A1, A3, B2 dan B3).
Struktur menyerat pada mineral ini terlihat makin
melebar yang diduga sebagai akibat masuknya
larutan pelindi melalui struktur tersebut. Makin lebar
struktur ini makin intensif proses pelindian
berlangsung. Selain struktur menyerat, pada percontoh
uji terdapat pula struktur spons seperti diperlihatkan
oleh kalsit (C) semua percontoh ampas yang diuji
dengan mikroskop optik (Gambar 5a f). Fitur ini
menunjukkan porositas dan permeabilitas yang
mengembang sebagai akibat proses pelindian oleh
asam oksalat atau karena rusaknya permukaan kalsit
(C). Dalam hal ini, material karbonat akan dengan
mudah terangkat dari struktur mineralnya. Struktur
ini juga merupakan sarana efektif bagi larutan pelindi
untuk kontak dengan permukaan batuan fosfat,
meningkatkan kelarutan matriks material dan
memperbesar jalan bagi larutan meresap ke bagian
tubuh mineral (Meyer dan Yen, 2002). Di lihat dari
tampilannya, mineral kalsit mengalami pengecilan
ukuran terutama bila dibandingkan dengan kalsit
yang belum mengalami pelindian (Gambar 1c).
Muszer dan Karas (2003) menyebutkan bahwa makin
kecil ukuran butiran, makin efektif proses disolusi
yang terjadi pada material karbonat.
Keenam foto di atas memperlihatkan adanya aluralur (pits, tanda panah putih). Pada dahlit terlihat
seperti retakan-retakan di permukaan mineral tersebut
(Gambar 5a, c, e dan f) sedangkan pada kalsit
tampilannya sangat halus (Gambar 5c dan f). Meyer
dan Yen (2002) menyebutkan bahwa alur-alur
tersebut adalah bekas larutan pelindi ketika kontak

Perubahan Morfologi dan Kimia Batuan Pembawa Fosfat Akibat Pelindian dengan ... Tatang Wahyudi

53

Gambar 5.

Fotomikrograf mineral pembawa fosfat Cijulang; a, b, c, d, e, dan f adalah mineral


pembawa fosfat yang telah mengalami pelindian asam oksalat dengan masing-masing
dengan kode percontoh A1, A2, A3, B1, B2, B3. D dahlit, C kalsit, K kuarsa, MO mineral
opak, FB fragmen batuan.

dengan permukaan material terlindi. Alur ini


merefleksikan kuantitas material yang telah terlindi
pada area tersebut. Bentuknya yang tidak beraturan
merupakan efek khas kinerja larutan pelindi (http://
www.anl.gov). Kinerja tersebut dapat diketahui
secara kuantitatif dengan mengukur luas dan lebar
alur melalui metode luas permukaan (surface area).
Rodriguez-Lorenzo, Vallet-Reg dan Ferreira (2001)
telah melakukan hal ini untuk hidroksilapatit sintetis,
tetapi metode tersebut belum dapat diterapkan pada
penelitian ini. Pada Gambar 5b dan d, kalsit
merupakan mineral dominan yang terdeteksi pada
percontoh uji. Tidak ditemukan adanya dahlit pada
kedua percontih uji. Diasumsikan mineral tersebut
pada percontoh uji ini telah terlindi habis dan
terubah menjadi filtrat sehingga fitur pits yang
menjadi penanda bekas kontak antara larutan pelindi
dengan mineral terlindi tidak ditemukan lagi.
Analisis kimia terhadap ampas hasil pelindian
menguji oksida-oksida sejenis seperti tercantum
pada Tabel 3. Karena kuantitasnya relatif kecil (<
0,5%); oksida-oksida kalium, natrium, magnesium
tidak ditampilkan pada Gambar 6. Dari histogram
terlihat bahwa kalsium dan kuarsa masih mempunyai
kuantitas yang lebih besar dibandingkan ketiga
oksida lainnya. Oksida fosfat terdeteksi pada
percontoh A1, A3, B2 dan B3; tidak terdeteksi pada

54

percontoh A2 dan B1. Hal ini berarti bahwa material fosfat pada percontoh A2 dan B1 terlindi relatif
habis sedangkan pada keempat percontoh lainnya,
asam oksalat hasil ekskresi Aspergillus niger belum
mampu melindi total material fosfat dalam umpan
pelindian. Bila mengacu kepada Gambar 3, 4 dan 5
ada kesesuaian antara hasil pengujian mikroskop
optik dengan analisis kimia fosfat terlindi habis
pada percontoh A2 dan B1. Kenampakan
mikroskopik pada kedua percontoh tersebut hanya
sisa-sisa (remnants) material karbonat.

Gambar 6.

Distribusi oksida-oksida yang


tersisa pada 6 percontoh ampas
pelindian bioleaching

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009 : 47 56

4.

KESIMPULAN DAN SARAN

Batuan pembawa fosfat (phosphate-bearing rocks)


dari daerah Cijulang disusun oleh fragmen batuan,
mineral opak, kuarsa, kalsit, dahlit dan kolofan. Dua
mineral yang disebut terakhir merupakan mineral
fosfat yang tergolong ke dalam kelompok
hidroksilapatit. Dahlit memperlihatkan struktur mikro
radial menyerat sedangkan struktur mikro yang
terdapat pada kolofan berupa rekahan (fracture).
Pengujian secara kimia terhadap head sample
menunjukkan bahwa batuan fosfat Cijulang berkadar
rendah (18 19%). Bila mengacu kepada hasil xray mapping salah satu partikel mineral fosfat (dahlit),
distribusi unsur-unsur penyusun mineral fosfat
tersebut (Ca, P, C dan O) tidak merata. Hal ini
menguatkan bahwa endapan fosfat Cijulang memang
berkadar rendah.

Selain itu, penggunaan jasad renik lain seperti


Baccillus sp. sebagai media pelindi batuan pembawa
fosfat layak dicoba untuk mengetahui kinerjanya
apakah lebih baik dari kinerja kapang atau tidak.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Ris.
Ngurah Ardha, M.Met.E atas masukan-masukan yang
diberikan selama penulisan makalah; Dra. Sri
Handayani, M.Sc. yang telah melakukan proses
bioleaching batuan fosfat Cijulang, sehingga
percontoh ampas yang dihasilkan dapat dikaji
kembali secara kimia dan mineralogi. Penelitian ini
didanai oleh Proyek Penelitian dan Pengembangan
Mineral Tahun Anggaran 2008.
DAFTAR PUSTAKA

Pengujian secara kimia dan mikroskop optik terhadap


enam percontoh ampas pelindian bioleaching
menunjukkan bahwa material fosfat terlindi habis
pada percontoh A2 dan B1, namun masih tersisa
pada empat percontoh lainnya. Terlepas dari kuantitas
persen ekstraksi yang diperoleh, kondisi percoban
bioleaching untuk percontoh A2 (-140 mesh+200
mesh, 10% padatan) dan B1 (-200 mesh, 5%
padatan) efektif dalam melepaskan unsur fosfor dari
ikatannya.
Selama pelindian, terjadi pengembangan porositas
dan permeabilitas pada mineral yang terlindi.
Contoh kongkrit ditunjukkan oleh mineral kalsit
yang memperlihatkan struktur spons yang tersusun
karena pengecilan ukuran partikel kalsit atau rusaknya
permukaan kalsit. Pengembangan porositas dan
permeabilitas juga terjadi pada dahlit dan mineral
lain. Pada dahlit ditunjukkan dengan semakin
lebarnya struktur menyerat yang dimilikinya. Kondisi
ini berakibat pada semakin luasnya permukaan
partikel untuk kontak dengan media pelindi yang
ditunjukkan dengan terdeteksinya alur-alur halus yang
merupakan refleksi aktifitas larutan pelindi ketika
memakan komponen-komponen yang ada pada
mineral tersebut.
Pengujian kimia dan mikroskopi terhadap ampas
hasil pelindian bioleaching menggunakan kapang
Aspergillus niger tidak bersifat selektif dalam melindi
unsur-unsur yang terdapat dalam batuan fosfat.
Disarankan pada penelitian lanjutan yang akan
dilakukan pada skala meja dilakukan pengaturan pH
dengan pengadukan berkecepatan rendah, untuk
mengurangi ikut terlindinya unsur-unsur pengotor.

Ardha, N., Soenara, T., Purnomo, H. dan Rasyad,


S.S., 1991. Upaya Peningkatan Mutu Fosfat dari
Batuan fosfat Kadar Rendah Cijulang Ciamis.
Laporan Teknik Penelitian. n. 148. Pusat
Pengembangan Teknologi Mineral.
Ardha, N., 1997. Uji Pelindian batugamping
Fosfatan dengan Asam dan asam Tersirkulasi
untuk Peningkatan Kadar Fosfat. Makalah Teknik
no. 1. thn. 6, h. 1 7. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Mineral.
http://www.anl.gov, diakses pada 03/02/09, jam
14.40
http://www.moonminer.com/bioleaching.html,
diakses pada 05/02/09, jam 11.05
http://www.seafriends.org.nz/oceano/seawater.htm,
diakses pada 02/02 , jam 11.00
http://en.wikipedia.org/wiki/Phosphate, diakses pada
02/02/09 , jam 9.55
Meyer, W.C. dan Yen, T.F. 2002. The Effect of
Bioleaching on Green River Oil Shale. Department of Geological Sciences and Chemical Engineering, University of Southrn California, CA
9007. h. 94 98.
Muszer, Antoni dan Karas, Henry. 2003. Application Of Microscopic Mineralogical Analysis Of
Copper Concentrate After Bioleaching Process.
Mineralogical Society of Poland Special Pa-

Perubahan Morfologi dan Kimia Batuan Pembawa Fosfat Akibat Pelindian dengan ... Tatang Wahyudi

55

pers v 22. MSP Poland.

Direktorat Jenderal Pertambangan Umum, Pusat


Pengembangan Teknologi Mineral.

Rodriguez-Lorenz, L.M., Vallet-Reg, M. dan Ferreira,


J.M.F. 2001. Fabrication of hydroxyapatite bodies by uniaxial pressing from a precipitated
powder. Biomaterials n. 22, h. 583-588.
Tim Bimbingan Pertambangan Fosfat. 1984.
Bimbingan Pertambangan Fosfat di Batukaras
Kecamatan Cijulang, Kabupaten Ciamis.

56

Wahyudi, T. dkk. 2008. Pengembangan Bioteknologi


untuk Pengolahan Mineral (Studi Kasus :
Ekstraksi Fosfat dari Endapan Fosfat Alam
dengan Metode Bioleaching). Laporan Teknik
Penelitian (dalam proses cetak). Bandung:Puslitbang
Teknologi Mineral dan Batubara.

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009 : 47 56

Petunjuk Bagi Penulis


1.

Naskah dan berkas dalam disket/CD dikirim ke


Pemimpin Redaksi Jurnal tekMIRA, Jl. Jend.
Sudirman No. 623 Bandung 40211. Naskah
dalam disket/CD akan sangat membantu dalam
proses peredaksian.

2.

Naskah harus asli dan belum pernah diterbitkan


dalam publikasi lain. Judul naskah harus bersifat
deskriptif dan ringkas.

3.

Redaksi akan melakukan seleksi dan


memberitahukan ke penulis, bila naskah sudah
diterima atau bila naskah tidak sesuai untuk
penerbitan ini.

4.

5.

6.

Naskah diketik dalam dua spasi menggunakan


kertas ukuran A4 dengan lebar margin kanan
dan atas 3 cm serta kiri dan bawah 2 cm.
Gambar dan tabel harus diberi judul dengan
jelas dan dalam kertas terpisah serta ditunjukkan
mengenai penempatan gambar dan tabel
tersebut dalam naskah tulisan. Foto harus jelas
dan siap untuk dicetak (tidak dalam bentuk
negatif film). Peta maksimum berukuran A4 dan
harus memakai skala dan arah utara. Semua huruf
dalam peta harus jelas dan bila ukuran peta
harus diperkecil, tinggi huruf dalam peta
tersebut tidak lebih kecil dari 1,5 mm.
Jumlah halaman naskah tidak ditentukan.
Naskah ditulis secara ringkas sesuai isinya.

Petunjuk Bagi Penulis

7.

Nama penulis diketik pada halaman pertama


di bawah judul naskah. Nama organisasi,
alamat, nomor telpon dan faksimili, serta alamat
e-mail (bila ada).

8.

Intisari (abstract) naskah memuat ringkasan yang


jelas. Kata kunci ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris.

9.

Hanya rumus matematika yang penting yang


dimuat dalam naskah.

10. Daftar pustaka ditulis secara alfabetis. Urutan


penulisan : nama penulis, tahun penerbitan,
judul referensi, penerbit, kota tempat buku
diterbitkan dan halaman.
11. Hanya artikel-artikel yang dipublikasikan yang
dimasukkan sebagai referensi. Bilamana mengacu kepada artikel yang tidak dipublikasikan,
agar dijelaskan cara memperoleh bahan
tersebut.
12. Catatan kaki supaya dihindarkan.
13. Izin untuk memproduksi hak cipta material
adalah tanggung jawab penulis. Pengutipan
seminimal mungkin. Bila pengutipan melebihi
250 kata penulis harus memperoleh izin tertulis
dari penerbit dan penulis referensi yang
bersangkutan.

57

Anda mungkin juga menyukai