Kepmen Kes No420 PDF
Kepmen Kes No420 PDF
NOMOR 420/MENKES/SK/III/2010
TENTANG
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Menimbang
Mengingat
a.
b.
c.
1.
2.
3.
4.
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
5.
6.
7.
8.
9.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
KESATU
KEDUA
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
KEEMPAT
KELIMA
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Lampiran
Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor: 420/MENKES/SK/III /2010
Tanggal: 31 Maret2010
PEDOMAN LAYANAN TERAPI DAN REHABILITASI KOMPREHENSIF
GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA BERBASIS RUMAH SAKIT
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk merespon masalah ketergantungan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya
(NAPZA), yang semakin marak di Indonesia sejak tahun 80-an Kementerian Kesehatan
telah menetapkan kebijakan bahwa 10% kapasitas tempat tidur Rumah Sakit Jiwa (RSJ)
dialokasikan untuk pasien ketergantungan NAPZA. Dalam beberapa tahun terakhir
hampir semua RSJ mengembangkan pelayanan NAPZA. Dari hasil evaluasi dijumpai
bahwa masyarakat tidak memanfaatkan pelayanan NAPZA yang telah tersedia di RSJ.
Sebagian besar pasien yang dirawat tidak murni karena ketergantungan NAPZA tapi
merupakan pasien dengan dual diagnosis (Gangguan jiwa dan Ketergantungan NAPZA).
Beberapa penyebab kurangnya pemanfaatan RSJ bagi masyarakat yang ketergantungan
NAPZA, antara lain :
masih tingginya stigma terhadap gangguan jiwa, sehingga seorang pecandu tidak mau
datang berobat ke RSJ kecuali sebelumnya sudah ada gangguan jiwa yang diinduksi
oleh penggunaan NAPZA seperti kanabis, stimulan atau alkohol.
Pelayanan yang ditawarkan RSJ tidak memenuhi kebutuhan pasien yang mengalami
Ketergantungan NAPZA. Terbatasnya jenis pelayanan dan kemampuan petugas RSJ
untuk berbagai modalitas terapi. Sebagian besar RSJ hanya menyediakan pelayanan
untuk detoksifikasi saja.
RSJ biasanya bekerja sendiri dan menunggu pasien secara sukarela datang. Masih
terbatasnya kerjasama dengan masyarakat, LSM dan kelompok pengguna dimana
mereka dapat berperan sebagai petugas penjangkau yang akan membawa pasien
ketergantungan NAPZA berobat ke RSJ.
Mengacu pada hal tersebut diatas maka perlu disusun pedoman penanggulang-an
gangguan penggunaan NAPZA secara komprehensif yang berbasis rumah sakit,
misalnya pedoman dengan pendekatan therapeutic community dan pedoman terapi
rumatan.
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
2.
3.
LSM
4.
D. Kebijakan
Kebijakan Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA Kementerian Kesehatan Rl
dilaksanakan berdasarkan Kepmenkes Nomor 486/Menkes/ SK/IV/2007, melalui upaya:
1. Peningkatan kesehatan dan pencegahan penyalahgunaan NAPZA melalui upaya
promotif dan preventif.
2. Komprehensif dan multi disiplin melalui upaya yang dilakukan sesuai dengan kondisi
budaya dan sosial masyarakat setempat meliputi upaya promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif.
3. Pelayanan terapi terintegrasi pada sistem pelayanan kesehatan yang ada. Rumah Sakit
Jiwa milik pemerintah menyediakan 10% dari tempat tidur untuk penderita
Gangguan penggunaan NAPZA.
4. Mendukung upaya pemulihan oleh masyarakat dan mantan pengguna (ex-users)
5. Melindungi hak asasi manusia dan keselamatan pasien.
6. Pengurangan dampak buruk (harm reduction) pada pengguna Napza suntik
7. Keseimbangan dan koordinasi lintas sektor.
Untuk memperoleh hasil yang optimal, perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak,
termasuk dengan LSM dan swasta. Pemerintah Daerah mendukung dengan
menyediakan tempat dan terapi/obat gangguan penggunaan Napza yang terjangkau,
secara berjenjang dari Puskesmas, Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Jiwa
8. Pengembangan sistem informasi
9. Legislasi dan peraturan perundang-undangan.
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
b.
komprehensif: pelayanan diberikan secara komprehensif melalui upaya promotifpreventif serta kuratif-rehabilitatif
c.
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
II.
MANAJEMEN
DALAM
PENATALAKSANAAN
TERAPI
GANGGUAN
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Komitmen dari pimpinan dan seluruh staf serta karyawan dalam organisasi merupakan
pendukung yang sangat penting dalam memberikan pelayanan pada pasien gangguan
penggunaan NAPZA. Kesinambungan program harus terus dievaluasi agar dapat
memenuhi kebutuhan tiap pasien.
B. Terapi Efektif Pada Gangguan Penggunaan NAPZA
Efektifitas terapi pada gangguan penggunaan NAPZA perlu dievaluasi dan
ditindaklanjuti secara periodik atau berkala. Di Indonesia monitoring dan evaluasi
efektivitas terapi gangguan penggunaan NAPZA sangat minimal atau bahkan tidak
dilakukan. Hal ini semestinya sangat penting dilakukan agar layanan yang diberikan
dapat optimal dan efektif dalam proses pemulihan mereka.
National Institute on Drug Abuse (NIDA) pada tahun 1999 telah mempublikasikan
sebuah buku tentang terapi efektif berdasarkan penelitian di lapangan yang meliputi 13
prinsip:
1.
2.
3.
4.
Rencana terapi dan layanan lain harus DIKAJI SECARA KONTINYU dan
DIMODIFIKASI BILA DIPERLUKAN untuk memenuhi kebutuhan perubahan
pada pasien
5.
6.
7.
8.
Orang dengan komorbiditas gangguan mental harus ditangani dengan cara yang
TERINTEGRASI
9.
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
13. Kepulihan dari gangguan penggunaan NAPZA dapat menjadi PROSES YANG
PANJANG dan seringkali memerlukan beberapa kali episode pengobatan
C. Berbagai Modalitas Terapi Dan Pendekatan
Berbagai kondisi yang mandasari gangguan penggunaan NAPZA akan mempengaruhi
jenis pengobatan yang akan diberikan kepada pasien, kebijakan untuk merawat dan
memulangkan pasien, hasil yang dlharapkan, sumber daya manusia yang akan
memberikan pelayanan, dan sikap terhadap perilaku pasien. Dibawah ini akan diuraikan
beberapa model yang popular dilaksanakan pada masalah Gangguan penggunaan
NAPZA.
1. Therapeutic Community -TC Model, model ini merujuk pada keyakinan bahwa
Gangguan penggunaan NAPZA adalah gangguan pada seseorang secara
menyeluruh. Dalam hal ini norma-norma perilaku diterapkan secara nyata dan ketat
yang diyakinkan dan diperkuat dengan memberikan reward dan sangsi yang
spesifik secara langsung untuk mengembangkan kemampuan mengontrol diri dan
sosial/komunitas. Pendekatan yang dilakukan meliputi terapi individual dan
kelompok, sesi encounter yang intensif dengan kelompok sebaya dan partisipasi
dari lingkungan terapeutik dengan peran yang hirarki, diberikan juga keistimewaan
(privileges) dan tanggung jawab. Pendekatan lain dalam program termasuk tutorial,
pendidikan formal dan pekerjaan sehari-hari. TC model biasanya merupakan
perawatan inap dengan periode perawatan dari dua belas sampai delapan belas
bulan yang diikuti dengan program aftercare jangka pendek.
2. Model Medik, model ini berbasis pada biologik dan genetik atau fisiologik sebagai
penyebab adiksi yang membutuhkan pengobatan dokter dan memerlukan
farmakoterapi untuk menurunkan gejala-gejala serta perubahan perilaku. Program
ini dirancang berbasis rumah sakit dengan program rawat inap sampai kondisi bebas
dari rawat inap atau kembali ke fasilitas di masyarakat.
3. Model Minnesota, model ini dikembangkan dari Hazelden Foundation dan
Johnson Institute. Model ini fokus pada abstinen atau bebas NAPZA sebagai tujuan
utama pengobatan. Model Minessota menggunakan program spesifik yang
berlangsung selama tiga sampai enam minggu rawat inap dengan lanjutan aftercare,
termasuk mengikuti program self help group (Alcohol Anonymous atau Narcotics
Anonymous) serta layanan lain sesuai dengan kebutuhan pasien secara individu.
Fase perawatan rawat inap termasuk ; terapi kelompok, terapi keluarga untuk
kebaikan pasien dan anggota keluarga lain, pendidikan adiksi, pemulihan dan
program 12 langkah. Diperlukan pula staf profesional seperti dokter, psikolog,
pekerja sosial, mantan pengguna sebagai addict counselor
4. Model Eklektik, model ini menerapkan pendekatan secara holistik dalam program
rehabilitasi. Pendekatan spiritual dan kognitif melalui penerapan program 12
langkah merupakan pelengkap program TC yang menggunakan pendekatan
perilaku, hal ini sesuai dengan jumlah dan variasi masalah yang ada pada setiap
pasien adiksi.
10
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
11
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
2.
3.
4.
5.
6.
12
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
8.
9.
Bantuan hukum - bertugas untuk membantu pasien dalam kebutuhan atau masalah
yang berkaitan dengan aspek legal.
13
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Aktifitas
Pra pengobatan
Waktu
1-3
minggu
Penerimaan
Pendaftaran
Skrining (pemeriksaan
tubuh, wawancara, tes
urin)
Orientasi
Program
Memperoleh informasi
tentang pasien, keluarga dan
riwayat penggunaan
NAPZA
Pemahaman aturan dan tata
tertib dalam fasilitas
layanan
14
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Membangun hubungan
dengan penanggung jawab
Merencanakan pengobatan
Detoksifikasi
Penatalaksanaan gejala
putus NAPZA
Stabilisasi
evaluasi
Tahapan
Aktifitas
Sekunder
Waktu
3-12
bulan
Rekreasional
Permainan Outing
Meningkatkan kesehatan
dan mempererat ikatan
dalam program
Pendidikan
Mengikutsertakan dalam
kegiatan publik dan
aktifitas umum
Spiritual
Perawatan
Kesehatan
Asesmen/pemeriksa-an
dan Pengobatan
Seminar kesehatan
15
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Pemahaman
diri
Membentuk hubungan/
Berbagi/Diskusi
Memperkuat keyakinan
dan mempertimbang-kan
nilai-nilai yang dianut
selama ini
Kelompok
Dukungan
Pertemuan Alcohol
Anonymous dan Narcotic
Anonymous
Latihan Kerja/Job
Training, Wawancara
kerja
Vokasional
Mengembangkan
ketrampilan sosial
Penempatan di tempat
bekerja
Seminar, Workshop,
Diskusi
Mengembangkan
kemampuan menghadapi
masalah, mengelola
terpeleset, terjatuh atau
kambuh menggunakan
NAPZA
Tahapan
Aktifitas
Aftercare
Pertemuan
kelompok
dukungan 12
langkah
(Twelve Step)
Waktu
Setelah
12-18
bulan
Konseling berkelanjutan,
dukungan kelompok
dalam proses pemulihan
Menguatkan kestabilan
Meningkatkan proses
pemulihan secara
keseluruhan
16
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
pasien untuk berpartisipasi dalam kelompok dukungan mandiri (Self Help Group).
H. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi hasil pengobatan dilakukan secara periodik dalam setiap fase/tahapan
pengobatan. Diperlukan pembentukan tim untuk mengevaluasi kemajuan setiap pasien
yang terdiri dari berbagai profesi. Apabila evaluasi menunjukkan tidak adanya
kemajuan pada pasien maka perlu ditinjau ulang program terapi selanjutnya agar
diperoleh hasil yang optimal.
Beberapa ha! yang perlu dievaluasi untuk setiap pasien adalah :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Kondisi fisik/medis
Kondisi penggunaan NAPZA
Masalah psikologis
Masalah keluarga
Masalah sosial, termasuk masalah pekerjaan, pendidikan, finansial, hukum
Masalah lain yang penting dan terkait dengan adiksi
Pengobatan dan intervensi sosial yang telah diberikan
Penilaian efektifitas program secara keseluruhan
17
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
2. Kebutuhan dasar untuk SDM pada pusat pengobatan dan rehabilitasi NAPZA
3. Proses Seleksi
a. Tes psikologi, untuk mengetahui kepribadian dan motivasi kerja individu
b. Wawancara Individu; untuk memperoleh SDM yang berkualitas, memberikan
informasi tentang bidang kerja, menentukan tingkat intelejensi pelamar,
menciptakan keinginan baik organisasi. Wawancara akan meliputi:
Kematangan emosional
Keterandalan
Percaya diri
Sikap terhadap pekerjaan
Kreativitas
Sistem nilai
Gaya hidup
Sikap kritikal
18
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
19
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Umumnya Rumah Sakit Jiwa telah dapat menyediakan Layanan Penunjang Dasar
seperti laboratorium dasar Kimia Klinik. Untuk pemeriksaan NAPZA umumnya
menggunakan Deep Stick disertai tes konfirmasi. Pemeriksaan radiologi dan
elektromedik (EEG, Brain Mapping, EKG) juga tersedia di Rumah Sakit Jiwa.
3. Detoksifikasi
Umumnya detoksifikasi dilakukan di fasilitas rawat inap Rumah Sakit Jiwa dengan
menggunakan medikasi simtomatis. Khusus untuk detoksifikasi heroin (opioida) selain
simtomatis juga ada yang mempunyai pengalaman tapering off dengan metadon dan
buprenorfin
4. Rehabilitasi
Setiap intervensi dilakukan secara bertahap, misalnya untuk lama waktu dilaksanakan
rehabilitasi untuk pasien (dalam program rehabilitasi biasanya disebut residen) dimulai
dengan program jangka pendek terlebih dahulu. Bila rehabilitasi sudah dapat berjalan
secara bermakna, lama waktu dilaksanakan rehabilitasi untuk residen kemudian
diperpanjang, misalnya menjadi minimal 6 bulan.
Umumnya diperlukan waktu yang cukup lama sejak mulai berdirinya rehabilitasi
sampai dapat melakukan program yang melibatkan keluarga. Pada awal program,
biasanya keluarga hanya dilibatkan terkait masalah residen. Untuk selanjutnya keluarga
dapat diajak bekerjasama agar terlibat dalam beberapa program, seperti program
dukungan keluarga dengan anak yang terlibat gangguan penggunaan NAPZA atau
program dukungan residen dengan HIV positif.
Memulai program aftercare hanya jika program jangka pendek sudah berhasil dilalui
dengan baik. Biasanya kegiatan aftercare dilaksanakan di luar lingkungan Rumah Sakit
20
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Jiwa.
Seiring dengan banyaknya kasus ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), perlu dibentuk
kelompok sebaya khusus untuk ODHA pada penasun (pengguna NAPZA suntik)
5. Layanan Psikososial dan Penunjang
Pada umumnya Rumah Sakit Jiwa sudah melakukan konseling dasar, terapi kelompok
dan psikoedukasi keluarga.
6. Evaluasi Terapi
Kebanyakan Rumah Sakit Jiwa belum melakukan secara khusus, kecuali residen yang
sudah mengalami komplikasi medis atau psikiatris.
7. Sistem Rujukan/Jejaring
Sebagian Rumah Sakit Jiwa sudah melaksanakan kerjasama dengan berbagai institusi
baik pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
B. Tantangan Di Lapangan
1. Sumber Daya Manusia
Biasanya tenaga medis dan paramedis terbatas dan kurang berminat untuk bekerja
di bangsal gangguan penggunaan NAPZA, mereka lebih tertarik untuk bekerja di
bangsal umum atau bangsal penyakit jiwa. Salah satu alasan mereka enggan
bekerja di bangsal gangguan penggunaan NAPZA karena kurangnya pengetahuan
dan kekhawatiran berlebihan terhadap pasien gangguan penggunaan NAPZA
yang terinfeksi HIV.
2. Penerapan Program
21
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
berhenti.
3. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana seringkali dipersepsikan harus terpisah dari kegiatan rumah
sakit secara keseluruhan, Sebagian RS telah melakukan pelayanan dengan
menggunakan fasilitas RS yang tersedia.
4. Evaluasi Terapi
5. Rujukan/Jejaring
Kerjasama RSJ dengan LSM, RSU, Puskesmas, Lapas di banyak tempat masih
terbatas. RSJ yang sudah melayani ODHA umumnya kerjasama sudah berjalan
baik dalam bidang HIV/AIDS
Kerjasama lintas sektor dan lintas program belum berjalan dengan optimal
22
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Dosis tinggi
Stereotipik atau
perilaku yang sukar
ditebak
Perilaku kasar atau
irasional, mood yang
berubah-ubah.
termasuk kejam dan
agresif
Bicara tak jelas
Paranoid,kebingungan
dan gangguan persepsi
Gangguan
serebrovaskular
Sakit kepala
Koma
Gemerutuk gigi
Gemerutuk gigi
Kejang
Stimulasi kardiak
(takikardia.angina.MI)
.hipertensi
vasokonstriksi/
hipertensi
Palpitasi.arimia
kolap kardiovaskuler
Pernapasan
23
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Gastrointestinal
Kulit
Mulut kering
kulit berkeringat.pucat
hiperpireksia
kram abdominal
kemerahan atau
flushing
hiperpireksia, disforesis
Otot
c. Gejala Intoksikasi:
Agitasi
Kehilangan berat badan
Takikardia
Dehidrasi
Hipertermi
Imunitas rendah
Paranoia
Delusi
Halusinasi
Kehilangan rasa lelah
Tidak dapat tidur
Kejang
Gigi gemerutuk.rahang atas dan bawah beradu
Stroke
Gangguan kardiovaskular
Kematian
24
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Agresif/ perkelahian
Penggunaan alkohol
Berani mengambil risiko
Kecelakaan
Sex tidak aman
Menghindar dari hubungan sosial dengan sekitarnya
Penggunaan obat-obatan lain
Problem hubungan dengan orang lain
e. Gejala withdrawal:
Depresi
Tidak dapat beristirahat
Craving
Ide bunuh diri
Penggunaan obat-obatan
Masalah pekerjaan
Pikiran-pikiran yang bizzare
Mood yang datar
Ketergantungan
Fungsi sosial yang buruk
2. KANABIS
a. Komplikasi fisik dan psikososial
Efek akut
Seperti umumnya dengan napza , efek dari kanabis tergantung dengan dosis yang
digunakan.individunya dan kondisi saat itu. Beberapa hal di bawah ini di anggap
sebagai efek positif bagi pengguna.yaitu :
25
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Gejala-gejala yang terjadi biasanya ringan dan berakhir setelah satu atau dua
minggu. Pasien dengan putus kanabis hanya memerlukan manajemen gejala jangka
pendek.
3. OPIODA
a. Efek Opioda
SISTIM ORGAN
EFEK
Sistim Saraf
Gastroitestinal
Endrokrin
Analgesi
euforia
sedasi, mengantuk, depresi pernapasan
penekanan refleks batuk
pupil konstriksi
gatal-gatal,berkeringat,kulit
kemerahan
histamin)
kekeringan pada daerah mulut.mata dan kulit
pengeluaran urin yang sulit
tekanan darah rendah
(reaksi
26
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Gejala Umum
6 12 jam
12 24 jam
Hari ke 2 sampai 4
Hari ke 5 sampai 7
Minggu ke 2
Beberapa minggu
kembali ke pola tidur .level aktivitas dan mood normal.
sampai beberapa bulan
Meningkatnya kesehatan secara umum dan penurunan
craving
4. BENZODIAZEPIN
Semua benzodiazepin bersifat sedatif, ansiolitik dan anti konvulsan.
a. Efek jangka pendek
o
o
o
o
o
o
o
o
27
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
insomnia
ansietas
irritable
tidak dapat beristirahat
agitasi
depresi
tremor
dizziness
28
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
5. ALKOHOL
a. Intoksikasi Alkohol Akut
Intoksikasi dapat dikenali dengan gejala-gejala :
Tremor
Khawatir dan agitasi
Berkeringat
Mual dan muntah
Sakit kepala
Takikardia
Hipertensi
Gangguan tidur
Suhu tubuh meningkat
muntah
agitasi berat
disorientasi
kebingungan
paranoia
hiperventilasi
delirium tremens (DTs) adalah suatu kondisi gawat darurat pada putus alkohol
yang tidak ditangani .muncul 3-4 hari setelah berhenti minum alkohol. DTs
mencakup gejala agitasi, restlessness, tremor kasar, disorientasi,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, berkeringat dan demam tinggi,
29
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
30
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
31
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
disinhibisi
32
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
33
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
34
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Bangunan atau gedung, misalnya; kantor, ruang pemeriksaan, ruang perawatan, ruang
konseling, ruang kelas, asrama, ruang ketrampilan, aula, dapur dan sebagainya.
Prasarana:
Jalan, listrik, telepon, air minum, pagar, saluran air buangan/drainage, peralatan
kantor, peralatan layanan baik medis maupun non medis dan sebagainya (generator
untuk daerah sering mati listrik, sumur pompa untuk daerah yang air ledengnya sering
tidak mengalir).
Kebutuhan minimal dalam pelayanan Gangguan penggunaan NAPZA:
a. Rawat Jalan ; untuk poliklinik Gangguan penggunaan NAPZA dapat digabung
dengan poliklinik lain khususnya poliklinik psikiatri, apabila tidak
memungkinkan hari layanan untuk pasien dengan Gangguan penggunaan NAPZA
tidak diberikan setiap hari tetapi dalam seminggu 2 atau 3 kali layanan. Beberapa
sarana yang diperlukan adalah :
Ruang periksa dokter
Ruang konseling/pemeriksaan psikologi
Ruang terapi kelompok untuk sekitar 8-12 orang
b. Rawat Inap :
Detoksifikasi : Ruang perawatan (6-10 tempat tidur) yang aman dari bendabenda yang membahayakan seperti; tiang/pipa besi yang dapat dipatahkan,
kisi-kisi yang bisa untuk menggantung diri, kaca, benda tajam
3. Model Layanan
a. Rawat Darurat; dapat dilayani kondisi gawat darurat gangguan penggunaan NAPZA
dengan mengacu pada standar minimal RSJ tipe A, B, Rumah Sakit Ketergantungan
Obat dan RSU tipe A,B maupun C
Penatalaksanaan umum kondisi emergensi gangguan penggunaan NAPZA:
35
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Sikap dan tata cara petugas membawakan diri merupakan hal yang penting
khususnya bila berhadapan dengan pasien panik, kebingungan atau psikotik
36
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
37
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
merasa terancam
Buat suasana tenang dan bila perlu tawarkan makan
Beri dosis rendah sadatif: Lorazepam 1-2 mg atau Haloperidol 5
mg oral, bila gaduh gelisah berikan sacara parenteral (I.m)
PEMINUM
SPORADIK
0,050-0,075 (taraf pesta) Euforia, Suka
berkumpul
gregarious), suka
mengomel
(garroulous)
PEMINUM KRONIK
Gejala minimal
0,125-0,150
Perilaku tak
terkontrol
Menyenangkan, mulai
euforia, kurang
koordinasi
0,200-0,250
Hilang
kewaspadaan,
lethargy
Membutuhkan
usaha untuk mempertahankan
emosi/kontrol motorik
0,300-0,350
38
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
39
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Simptomatik
Pasien dengan gangguan neurologik yang nyata, misalnya neuropati
atau persistent ataxia, harus dievaluasi sebagaimana mestinya dan
follow up yang ketat.
b. Rawat Jalan :
Model Tradisional : model layanan ini sama seperti layanan penyakit lain, dokter
hanya melakukan anamnesa, pemeriksaan fisik dan kemudian pengobatan
farmakoterapi sesuai dengan diagnosis kerja. Tenaga yang dibutuhkan hanya satu
orang dokter dan satu orang perawat yang telah terlatih masalah gangguan
penggunaan Napza
Dalam intervensi psikososial minimal dapat diberikan konseling umum, untuk pasien
yang mempunyai risiko tinggi terpapar HIV dapat diberkan layanan VCT (Voluntary
Counseling and Testing) dan edukasi tentang berbagai penyakit terkait dengan
penggunaan NAPZA khusunya NAPZA dengan cara suntik. Bilamana sudah
memiliki dokter yang terlatih dalam CST (Care, Support and Treatment),maka
poliklinik dapat memberikan layanan pengobatan untuk Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA).
c. Layanan rumatan, merupakan suatu layanan jangka panjang untuk pasien dengan
ketergantungan opioida/heroin. Layanan ini harus memenuhi kriteria sesuai dengan
pedoman yang telah dibuat secara nasional. Beberapa jenis terapi rumatan bagi
ketergantungan opioida yang ada adalah:
1. Metadon
-
Merupakan opioida sintetik yang bekerja long acting (24-36 jam) Digunakan
di Amerika Serikat sejak tahun 60 an
40
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Mempunyai cara kerja yang serupa dengan morfin, bekerja pada mu reseptor
(depresi pernafasan, ketergantungan flsik dan eforia)
Oral bioavisbility 80 - 90%, artinya bila digunakan melalui oral akan diserap
tubuh sebesar 80-90%
2. Buprenorfin
-
Potensi kuat dengan cara kerja 24 jam pada dosis lazim dan 12 jam pada dosis
minimal
Perubahan rantai kimia menyebabkan efek kerja LAAM lebih lama dari
41
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
metadon
-
Mengingat efek toksik yang cukup tinggi LAAM saat ini jarang digunakan
4. Suboxone
-
d. Rawat Inap, tidak semua pasien memerlukan rawat inap. Rawat inap diperuntukkan
bagi pasien yang kondisi fisik maupun psikologisnya sulit untuk diatasi dengan rawat
jalan seperti : kondisi putus NAPZA berat, putus NAPZA yang memerlukan tapering
off pengobatan (Alkohol, Benzodiazepin) atau adanya penyulit baik secara fisik
maupun mental.
Detoksifikasi, Rehabilitasi, Rawat Komplikasi Fisik dan Psikiatrik;
1. Detoksifikasi
Merupakan suatu langkah awal dalam proses pemulihan
Bertujuan mengatasi kondisi putus NAPZA
Tidak semua pasien memerlukan perawatan detoksifikasi dengan rawat inap,
hanya pada kondisi putus NAPZA berat untuk heroin, benzodiazepin dan
alkohol atau adanya komplikasi fisik maupun psikologis
Untuk ruangan kondisinya sebaiknya terpisah dengan bangsal penyakit lain
karena kemungkinan akan mengganggu pasien lainnya
Detoksifikasi biasanya dilakukan dengan standar minimal dengan
simptomatis, apabila memungkinkan dikembangkan untuk detokisifikasi
dengan zat substitusi atau UROD (Ultra Rapid Opioid Detoxification)
Beberapa jenis detoksifikasi yang dapat diberikan untuk beberapa jenis
NAPZA akan dijelaskan dibawah ini.
1.1. Putus Opioida
Putus seketika (Abrupt Withdrawal )
Simptomatik, sesuai gejala klinis beri analgetika (Tramadol, Asam
Mefenamat, Parasetamol), Spasmolitika (Papaverin), Dekongestan,
Sedatif-Hipnotik, Antidiare
Subtitusi dengan golongan Opioida : Kodein, Metadon, Buprenorfin
yang diberikan secara tapering off. Untuk Metadon dan Buprenorfin
terapi dapat dilanjutkan untuk jangka panjang (Rumatan)
42
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
43
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
44
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
500 mg Khloralhidrat
400-600 mg Meprobamat
250-300 mg Metakualon
100 mg Chlordiazepoxide
50 mg khlorazepat
50 mg Diazepam
60 mg Flurazepam
Asesmen yang perlu dilakukan pada model terapi ini antara lain :
- evaluasi masalah penggunaan NAPZA (Jenis, jumlah, lama pemakaian,
dampak yang ditimbulkan, keinginan untuk berhenti)
- evaluasi medis: riwayat penyakit, kondisi fisik saat ini dan penyakitpenyakit lain yang terkait dengan penggunaan NAPZA
- evaluasi psikologis melalui wawancara dan tes psikologi
- evaluasi sosial : riwayat keluarga, pendidikan, pekerjaan dan hubungan
sosial
- evaluasi tentang kegiatan agama, penggunaan waktu senggang dan
kehidupan pribadi lainnya
45
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
terbina antara pasien dengan terapis dan hasil asesmen tersebut menjadi acuan
untuk terapi selanjutnya
Pengobatan dapat dilanjutkan dengan rawat jalan atau bila masalah yang
dihadapi pasien khususnya perilaku belum memungkinkan dapat dilanjutkan
dengan rehabilitasi jangka panjang
2. Rehabilitasi Jangka Panjang, dalam hal ini yang akan dibahas adalah modalitas
terapi Therapeutic Community (TC) yang menggunakan pendekatan perubahan
perilaku.
TC dapat digambarkan sebagai model yang cocok atau sesuai dengan pasien
yang membutuhkan llngkungan yang mendukung dan dukungan lain yang
bermakna dalam mempertahankan kondisi bebas NAPZA atau abstinen.
Gambaran dari TC adalah sebagai berikut:
a. Program dangan struktur yang tinggi/ketat
b. Umumnya pasien berada dalam program untuk 6-12 bulan
c. Program pengobatan
d. Program pendidikan
e. Latihan ketrampilan sosial dan penerapannya (seringkali pasien
mengalami gangguan fungsi kehidupan yang serius)
f. Diarahkan pada pasien yang mempunyai riwayat perilaku kriminal
g. Mengembangkan sistem dukungan yang sesuai kebutuhan pasien
h. Menstabilkan fungsi kehidupan pasien
i. Rehabilitasi vokasional
Program ini mempunyai suatu aturan yang tertulis maupun tidak tertulis yang
diistilahkan dengan cardinal rules dan five pilars yang sangat mengikat setiap
residen untuk menjalankan dan siap menerima sanksi bila melanggar aturan
tersebut ( pasien peserta TC lazim disebut residen )
Tahapan program TC yang harus dijalani oleh setiap residen adalah sebagai
berikut:
a. Proses Intake dan Orientasi (2-4 minggu);
- Wawancara awal
- Informed consent
- Pemeriksaan fisik
- Pengisian formulir
- Orientasi program (walking paper}
- Pengenalan program dan fasilitas layanan
b. Primary Stage (6 sampai 9 bulan):
46
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
operational
47
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
o Fase C (2 bulan);
Mengikuti kegiatan kelompok
Dapat dikunjungi setiap waktu
Diberi ijin pulang
Boleh meminta tambahan uang jajan
Boleh melakukan kegiatan di luar fasilitas TC
Konseling final bagi residen maupun keluarga untuk persiapan
pulang
d. Aftercare Program
Intervensi ini dapat diberikan pada setiap tahapan terapi baik dalam
keadaan intoksikasi sampai pada saat fase rehabilitasi yang
disesuaikan dengan kondisi pasien khususnya pasien dengan kesadaran
penuh
48
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
49
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
50
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
51
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
52
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Keterampilan-keterampilan khusus
Wawancara motivasional dilaksanakan dengan menggunakan lima
keterampilan khusus. Keterampilan ini bertujuan untuk mendorong
pasien mau berbicara, menggali ambivalensi mereka terhadap
penggunaan NAPZA dan menjelaskan alasan mereka untuk
mengurangi atau berhenti menggunakan NAPZA. Empat keterampilan
pertama tersebut sering dikenal dengan singkatan OARS:-Open ended
questions (Pertanyaan terbuka), Affirmation (Penegasan), Reflective
listening (mendengarkan dengan cara merefleksikan), Summarising
(menyimpulkan).
Keterampilan kelima adalah "berbicara mengenai perubahan" OARS
dapat membantu pasien menyampaikan argumentasi untuk mengubah
perilaku pengguna NAPZA mereka.
OARS
Pertanvaan terbuka (Open Ended Questions)
Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang membutuhkan jawaban
panjang dan membuka pintu kepada seseoranc igar mareka mau
berbicara. Contoh pertanyaan terbuka antara lain:
53
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
54
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
55
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
58
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
6. Program 12 Langkah
Fokus dari Program 12 Langkah adalah penerapan langkahlangkah itu dalam kehidupan sehari-hari. Disinilah penggunaan
istilah Falsafah menjadi lebih relevan, karena langkah-langkah ini
59
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
60
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
63
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
64
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
yang kuat telah semakin diperkokoh, masa lalu yang buruk telah
dengan jujur di ditelusuri dan dibersihkan, dan kerusakankerusakan baik pada diri sendiri atau yang berhubungan dengan
orang lain telah diperbaiki, lalu bagaimana mempertahankan semua
pencapaian ini? Langkah-langkah sepuluh, sebelas dan duabelas
adalah langkah-langkah khusus untuk tujuan itu. Di Langkah
Kesepuluh pecandu diminta untuk terus-menerus mengawasi
dirinya sendiri, memonitor kehidupannya sehari-hari, dan dengan
jujur mengakui apabila berbuat kesalahan atau berperilaku seperti
pola lama ketika masih aktif dalam kecanduannya.
Konselor dapat membantu pecandu dalam proses analisa diri yang
diminta dalam langkah ini. Dari setiap hasil dari pengawasan atau
inventarisasi yang secara rutin dilakukan, sesuatu hal yang baru
akan dapat dipelajari, dan dalam proses pembelajaran ini peran
konselor menjadi sangat penting. Mereka yang telah mencapai
tahap ini biasanya akan lebih pro-aktif dan mempunyai tingkat
kesediaan yang tinggi untuk menjalani program, membuatnya
mudah untuk dibimbing dan diajak bakerjasama. Pada tahap ini
jugalah seringkali banyak perubahan kepribadian yang bisa
disaksikan dengan nyata.
Langkah Sebelas
"Kita melakukan pencarian melalui doa dan meditasi untuk
memperbaiki kontak sadar kita dengan Tuhan sebagaimana kita
mamahamiNya, berdoa hanya untuk mengetahui kehendakNya atas
diri kita dan kekuatan untuk melaksanakannya."
Langkah Kesebelas berfungsi sebagai jembatan menuju Higher
Power sebagai sumber kekuatan, dan bagaimana memastikan
bahwa kekuatan itu terus ada dengan membina hubungan yang
terus menerus juga dengan Higher Power itu. Di Langkah ini
meditasi dan doa dianjurkan untuk terus dilakukan dan disebutkan
secara bersamaan, menunjukkan bahwa keduanya adalah praktek
yang lazim digunakan dalam Langkah Sebelas untuk berhubungan
dengan Higher Power. Sekali lagi perlu dicatat, program 12
Langkah bukanlah program keagamaan. Artinya, tidak ada anjuran
untuk menjadi pemeluk agama tertentu untuk bisa menjalani 12
Langkah. Tetapi yang dianjurkan adalah, meyakini akan adanya
kekuatan lain selain diri sendiri yang dapat membantu, apapun
bentuk dari sumber kekuatan tersebut, dan untuk terus berhubungan
melalui doa dengannya. Program 12 Langkah adalah program
spiritual khusus bagi mereka yang mempunyai penyakit adiksi, dan
harus bisa mengakomodasi kepentingan dari semua pecandu dari
66
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
67
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
68
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Jumlah Kebutuhan
No.
Jenis Tenaga
Pratama
Utama
(Skrining) (Konfirmasi)
1.
2.
3.
Penanggung Jawab
Teknis:
Sarjana Kedokteran,
Sarjana Farmasi,
Apoteker, atau Sarjana
Kimia/Biokimia
Tenaga Teknis
Analis
Perawat
Tenaga Administrasi
Lulusan SMU atau
sederajat
8. Layanan Outreach/Komunitas
a. Ruang Lingkup
Kegiatan Penjangkauan dan Pendampingan adalah pendukung
dari program penanggulangan gangguan penggunaan NAPZA
berbasis Rumah Sakit Jiwa yang dilaksanakan oleh kelompok
masyarakat, ataupun lembaga swadaya masyarakat.
Program Penjangkauan dan Pendampingan (outreach) adalah
proses penjangkauan langsung yang dilakukan secara aktif
kepada pada pengguna NAPZA baik secara kelompok maupun
individu. Populasi ini sulit dijangkau dengan metode yang
lebih formal karena stigma dan diskriminasi yang sangat kuat
di dalam masyarakat terhadap status penggunaan NAPZAnya.
Dalam proses penjangkauan dan pendampingan para pekerja
lapangan melakukan proses identifikasi lokasi yang biasa
menjadi tempat para pengguna NAPZA berkumpul atau tempat
yang memungkinkan untuk melakukan interaksi langsung.
Proses penjangkauan dan pendampingan memberi peluang bagi
para pengguna NAPZA untuk dapat mengakses berbagai
layanan kesehatan yang dibutuhkannya, seperti: mendapatkan
layanan informasi terkait NAPZA, risiko penggunaan NAPZA,
tes HIV dan konseling, layanan kesehatan dasar yang tersedia,
layanan manajemen kasus untuk pengguna NAPZA yang
membutuhkan, akses terhadap material pencegahan (termasuk
jarum suntik untuk pengguna NAPZA suntik) dan layanan
69
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
c. Sasaran
Sasaran program penjangkauan dan pendampingan adalah
semua pengguna NAPZA yang ada di komunitas, mulai dari
pecandu NAPZA, para pengguna NAPZA sampai ke mereka
yang termasuk dalam kelompok yang rentan untuk mencoba
menggunakan NAPZA.
Pecandu NAPZA menjadi sasaran utama (primer) sedangkan
pengguna NAPZA yang lain dan kelompok rentan menjadi
sasaran sekunder. Selain itu masyarakat di sekitar pengguna
NAPZA baik keluarga, orang kunci dan teman-temannya
menjadi sasaran tersier. Dengan demikian proses penjangkauan
dan pendampingan dilakukan di berbagai lokasi yang biasa
menjadi tempat para pengguna NAPZA berkumpul atau
beraktivitas dalam keseharian. Tempat ini dapat berupa tempat
orang muda berkumpul, taman-taman, titik tertentu di tempattempat keramaian (pasar, mall, pinggir jalan), lokasi tertentu di
wilayah perumahan, dan tempat-tempat lainnya.
4. Pelaksana
70
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Kegiatan
penjangkauan
dan
pendampingan
dapat
diselenggarakan oleh lembaga pemerintah maupun lembaga
non pemerintah, termasuk kelompok swadaya masyarakat,
Lembaga tersebut seperti:
institusi/lembaga kesehatan
LSM atau organisasi kemasyarakatan
Institusi/lembaga non pemerintah
Kelompok masyarakat (karang taruna, kelompok pemuda,
dll)
Pelaksana program penjangkauan dan pendampingan adalah
sebuah tim yang terdiri dari petugas lapangan dan koordinator
penjangkauan. Petugas lapangan bisa yang mempunyai latar
belakang mantan pengguna NAPZA atau individu yang
mempunyai kemampuan dan kesediaan untuk masuk dalam
komunitas pengguna NAPZA. Sedangkan koordinator
penjangkauan berperan dalam memberikan dukungan dan
pemantauan terhadap proses penjangkauan dan pendampingan
di lapangan sehingga searah dengan tujuan program yang
dikembangkan. Tim penjangkauan dan pendampingan,
sebelum melaksanakan program sudah mendapatkan pelatihan
khusus mengenai penjangkauan dan pendampingan. .
71
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
memburuk
b. Petugas di ruangan harus dapat mengenali adanya gejala-gejala penyakit tertentu yang
sangat mungkin tidak merupakan bagian dari kondisi intoksikasi atau putus NAPZA
c. Ketika ditemukan adanya gejala dan tanda yang mencurigakan petugas harus
mengetahui kemana harus merujuk (misalnya ke ruang emerjensi, ruang dokter)
d. Setiap setting untuk perawatan pasien Gangguan penggunaan NAPZA sebaiknya
dilengkapi dengan peralatan dan obat-obatan untuk kondisi emerjensi seperti tabung
oksgen, alat kesehatan untuk pemeriksaan tanda-tanda vital dan pertolongan hidup
dasar
e. Klinikus harus selalu ingat untuk melakukan konsultasi dengan dokter-dokter spesialis
lain seperti Ahli Penyakit Dalam, Ahli Penyakit Jantung, Neuorolog, Ahli Penyakit
Kandungan, Ahli Bedah dan lain-lain
f. Staf medis harus menyadari akibat dari Gangguan penggunaan NAPZA akan
mempengaruhi keseluruhan kondisi kesehatan pasien, setiap staf harus siap untuk
membantu pasien mengatasi gangguan medis maupun gangguan psikiatrik dan
melakukan evaluasi terhadap penyakit-penyakit kronis lainnya yang dapat ditimbulkan
oleh Gangguan penggunaan NAPZA
Dampak Dan Perhatian Pada Kondisi Khusus
1. Wanita hamil
NAPZA pada wanita hamil sudah diketahui akan memberikan efek samping
terhadap bayi dalam kandungan
Deteksi dan intervensi dini pada wanita hamil yang menggunakan NAPZA akan
memberikan hasil yang efektif untuk mengurangi efek samping NAPZA terhadap
janin
Efek yang dapat diberikan selama kehamilan atau saat menyusui pada beberapa
jenis NAPZA diterangkan sebagai berikut:
1. Alkohol
-
efek pre natal antara lain : meningkatkan risiko abortus spontan, kelahiran
72
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
efek terhadap janin : tergantung dari jumlah alkohol yang diminum, bulan
kehamilan, kondisi kesehatan umum pasien
Foetal Alcohol Syndrome (FAS) ; gambaran klinis menunjukkan adanya
pertumbuhan yang lambat dari berat dan ukuran bayi, adanya anomali pada
struktur dan fungsi otak yang dalam perkembangannya akan memperlambat
perkembangan kemampuan bayi adanya defek/kelainan pada jantung, wajah
dan bibir (sumbing), efek yang berat adalah kematian atau kerusakan pada
perkembangan otak dan kranium
2. Heroin
-
efek terhadap janin : berat badan bayi dan ukuran lingkar kepala kurang dari
normal, foetal distress/ ada meconium, meningkatnya risiko tertular
HIV/AIDS, hepatitis B dan C
3. Psikostimulan (Amfetamin-Kokain)
-
efek pada janin ; kelahiran prematur, foetal distress, berat badan dan ukuran
lingkar kepala bayi kurang dari normal, meningkatnya risiko kelainan
kongenital
73
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Paling banyak ditemukan pada pengguna NAPZA suntik, yaitu sekitar 90%
dalam dekade terakhir
infeksi vertikal dari ibu yang HCV-RNA positif kepada anak saat
melahirkan berkisar 5-8%
Tes untuk HCV - Ab baru terlihat positif setelah 15-30 minggu terpapar
sedangkan HCV-RNA terdeteksi setelah 2-3 minggu terpapar virus
Beberapa kondisi alamiah pada infeksi HCV adalah : sampai 30% pasien
akan bersih dari virus dalam 12 bulan (abortif), 10-15% akan menjadi
infeksi yang kronis dan 20-30 tahun kemudian akan menderita Sirosis
hepatis dan risiko akan meningkat pada pasien usia tua ketika terinfeksi,
laki-laki, peminum alkohol, bertambahnya usia. Pada pasien dengan Sirosis
hepatis mempunyai risiko kanker hati sebesar 4% setiap tahunnya dan
sebagian besar pasien terinfeksi HCV bukan mati karena komplikasi
HCVnya
74
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Monitoring harus dilakukan kepada pasien karena bila timbul efek samping
atau karena perkembangan penyakitnya, terapi harus ditinjau ulang atau
bahkan dihentikan. Monitor yang harus dilakukan adalah : tes fungsi hati
setiap 6 bulan, pemeriksaan HCV-RNA ulang bila ada perubahan fungsi
'hati, monitor fetoprotein setiap 6 bulan pada pasien sirosis, pertimbangkan
pemberian imunisasi HBV dan HAV meskipun hasilnya belum pasti
b. Infeksi HIV/AIDS
tes serologis HIV biru dapat memberikan hasil positif 3 minggu setelah saat
masuk virus ke dalam tubuh sedangkan HIV-DNA baru bisa terdeteksi
setelah beberapa hari timbulnya gejala masa inkubasi (perasaan lelah seperti
orang flu, badan meriang) dan menghilang setelah 1 bulan
75
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Untuk program Voluntary Counseling and Testing (VCT) dan Care, Support
and Treatment (CST) untuk pasien HIV/AIDS perlu ada pelatihan khusus
sesuai buku pedoman VCT dan Pedoman Terapi Anti Retro Viral (ARV)
P2M - Kementerian Kesehatan
Kasus ini cukup banyak di lapangan, mencapai 10-30% dari populasi Gangguan
penggunaan NAPZA
Bilamana dalam satu periode tertentu dltemukan adanya gangguan psikiatri lain
pada pasien Gangguan penggunaan NAPZA balk itu sebagai akibat penggunaan
NAPZA maupun sebagai penyakit yang mendasari disebut sebagai
KOMORBIDITAS
Komorbiditas sangat berhubungan dengan hasil terapi yang tidak optimal dan angka
relapse yang cukup tinggi
Pengobatan seringkali melibatkan layanan yang lain, tetapi hasil yang baik akan
diperoleh dengan terapi yang terintegrasi dan komprehensif
label 1: Gangguan jiwa yang paling sering terkait dengan penggunaan Napza
Jenis Napza
Ggn.
Amnestik
Ggn.
Ggn.
Delirium
Cemas
Mood
Ggn.
Ggn.
Psikotik Fs.Seksual
Ggn.
Tidur
CNS
Depresan
Opioida
SedatifHipnotik
SolvenInhalansia
Alkohol
Amfetamin
Kafein
Kokain
Nikotin
CNS
Stimulant
Halusinogen
X
X
X
X
76
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Pengalaman yang paling sering pada pengguna kanabis adalah gejala psikotik ringan
seperti Paranoia.
Kanabis dapat menginduksi terjadinya episode psikotik setelah beberapa hari gejala
intoksikasi menurun
Laju gangguan jiwa pada pengguna opioida sangat tinggi, khususnya terkait dengan
gangguan depresi, fobia sosial dan gangguan cemas lain
Individu dengan penggunaan alkohol akan mempunyai risiko tinggi untuk menderita
gangguan cemas, dan gangguan cemas juga dapat timbul sebagai bagian dari
sindroma penggunaan alkohol-
Gangguan panik dan fobia sosial merupakan gangguan yang paling sering pada
pasien Ketergantungan alkohol
77
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
gangguan kepribadian lain yang banyak terkait antara lain : Histrionik, Ambang,
Narsisistik, Menghindar, dan Obsessif kompulsif
Penggunaan alkohol dan kanabis dengan gangguan psikotik kronis tiga sampai lima
kaii lebih besar kemungkinannya menjadi Ketergantungan NAPZA
Kanabis akan menginduksi gejala psikotik akut bila digunakan dalam dosis tinggi
tetapi tidak menimbulkan gangguan psikotik kronis. Kanabis dapat menjadi faktor
presipitasi pada individu yang mempunyai kerentanan untuk psikotik dan akan
mengeksaserbasi gejala-gejala psikotik yang sudah ada
Stimulan dan halusinogen lebih disukai pasien gangguan psikotik, tetapi zat tersebut
akan mengeksaserbasi gejala-gejala psikotik yang ada
Bunuh diri lebih disebabkan karena kondisi penggunan NAPZA yang memburuk dan
tidak menemukan jalan keluar untuk abstinen
PENATALAKSANAAN :
Pendekatan terintegrasi dalam suatu layanan yang dilakukan oleh terapis yang
mempunyai ketrampilan dan pengetahuan pada ke dua area (gangguan penggunaan
NAPZA dan gangguan jiwa) akan lebih efektif dan dapat diterima
Tidak ada pendekatan konfrontatif, diperlukan penatalaksanaan yang asertif dan sukarela
o Prinsip-prinsip Perawatan
1. Keamanan baik bag! petugas, pasien maupun pengunjung
78
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
4. Pengobatan
bangun motivasi untuk berubah, tujuan dan hasil pengobatan harus bersifat
realistik. Misalnya : pasieh dengan Skizofrenia yang tidak terkontrol akan
sulit untuk merubah kehidupan mereka dan bebas dari penggunaan NAPZA
79
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
6. Psikofarmakoterapi
VII. PENUTUP
Telah diuraikan berbagai hal yang perlu dipersiapkan dan dilaksanakan dalam memberikan
terapi dan rehabilitasi secara komprehensif untuk pasien dengan gangguan penggunaan
NAPZA. Untuk membuat suatu terapi yang komprehensif memerlukan suatu komitmen
yang tinggi dan harus didukung oleh berbagai profesi yang rnempunyai integritas yang
tinggi. Beberapa hal yang dianggap penting dan menjadi topik bahasan dalam pedoman ini
antara lain:
Manajemen dari program terapi dan rehabilitasi pasien dengan gangguan penggunaan
NAPZA
Pemgalaman dari beberapa rumah sakit yang telah menjalankan program terapi dan
rehabilitasi gangguan penggunaan NAPZA
Berbagai modalitas terapi dan rehabilitasi yang dapat diterapkan sesuai dengan sarana
dan prasarana yang tersedia
Berbagai kondisi medik maupun psikiatrik yang terkait dengan masalah gangguan
penggunaan NAPZA serta tatalaksananya
Sumber daya manusia yang tertarik dan bersedia untuk menjadi bagian dari program terapi
gangguan penggunaan NAPZA yang komprehensif merupakan titik krusial yang harus
diantisipasi dalam operasional layanan gangguan penggunaan NAPZA. Saat ini sudah
banyak tenaga yang dilatih di bidang gangguan penggunaan NAPZA akan tetapi banyak
yang pada akhirnya kurang dapat menerapkan ilmu yang sudah dipelajarinya. Untuk itu
pihak manajemen harus dapat membuat suatu terobosan agar sumber daya manusia yang
tersedia di pusat layanan kesehatan khususnya RSU dan RSJ bersedia untuk melaksanakan
program terapi dan rehabilitasi pasien dengan gangguan penggunaan NAPZA Kondisi lain
yang harus diperhatikan adalah kompleksitas dari pasien dengan gangguan penggunaan
80
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
NAPZA, baik itu akibat langsung dari efek NAPZA maupun lingkungan yang kurang
mendukung. Bagaimanapun pengguna NAPZA adalah bagian dari masyarakat kita yang
harus dibantu, apabila stigma dari lingkungan keluarga atau masyarakat terhadap mereka
masih sangat tinggi maka terapi apapun tidak akan memberikan hasil yang optimal.
Kepedulian keluarga dan petugas kesehatan merupakan suatu bentuk dukungan yang
dibutuhkan oleh pasien pengguna NAPZA.
Masalah penggunaan NAPZA berkembang dari waktu ke waktu baik itu jenis NAPZA,
kelompok pengguna maupun dampak yang ditimbulkan. Kondisi yang saat ini kita hadapi
adalah penularan berbagai penyakit infeksi khususnya HIV/AIDS dan gangguan
jiwa/psikiatris baik sebagai komplikasi maupun kondisi yang memperberat gangguan
psikiatris yang sudah ada sebelumnya. Pengetahuan dan ketrampilan petugas dituntut untuk
selalu mempelajari hal-hal baru mengenai masalah gangguan penggunaan NAPZA agar
pengobatan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien dan kemajuan ilmu dan
teknologi dalam bidang gangguan penggunaan NAPZA. Satu model terapi belum tentu
efektif untuk setiap orang sehingga setiap institusi kesehatan perlu menyediakan berbagai
model layanan terapi dan rehabilitasi pasien gangguan penggunaan NAPZA agar dapat
memberikan terapi secara optimal. Apabila tidak memungkinkan perlu adanya pembuatan
dan perluasan jejaring dengan berbagai fasilitas layanan lain yang lebih lengkap. Dengan
penguatan jejaring akan mempermudah melaksanakan sistem rujukan.
Masa yang akan datang setiap layanan kesehatan khususnya RSU dan RSJ diharapkan
sudah dapat memberikan layanan untuk pasien gangguan panggunaan NAPZA baik
minimal maupun yang komprehensif. Pedoman ini diharapkan dapat memberikan
gambaran kepada kita semua bagaimana masalah gangguan penggunaan NAPZA
merupakan hal yang harus menjadi perhatian kita semua agar anak bangsa di masa datang
mempunyai kualitas yang lebih baik dan tidak terjadi suatu Lost Generation
81
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
JEN1S PEMERIKSAAN
SPESIMEN
Konfirmasi
Narkotika
1 Heroin (Diethil morphine) Darah
Yang diperiksa adalah :
Urine
Metabolit morphine dalam
bentuk Morphine 3 D
Qlucoronide dan 6 MAM
2. Morphine
Yang diperiksa adalah
Darah
Metabolit morphine dalam Urine
bentuk 3 B morphineQlucoronide
3. Canabis
Yang diperiksa adalah
Darah
Metabolit cannabis dalam Urine
bentuk 1 1 nor-9 carboxy
THC
(Tetrahydoccanabinol
Carboksilat)
4. Cocaine
Yang diperiksa adalah
Metabolit cocaine dalam
Darah
Urine
METODA
LABORATORIUM
PERALATAN PRATAMA UTAMA
(Skrining)
Immunoassay
Kromatografi
Kit
Elisa
KIT
KLT Scanner
HPLC atau
GC/GCMS
+
+
+
+
+
+
+
+
Immunoassay
Kromatografi
Kit
Elisa
KLT
KLT Scanner
HPLC atau
GC/GCMS
+
+
+
+
+
+
+
+
Immunoassay
Kromatografi
Kit
Elisa
KLT
KLT Scanner
HPLC atau
GC/GCMS
+
+
+
+
+
+
+
+
Immunoassay
Kromatografi
Kit
Elisa
+
+
+
+
82
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Bentuk Benzoylecgonine
5. Codein
KLT
KLT Scanner
HPLC atau
GC/GCMS
Darah
Immunoassay
Kromatografi
Kit
Elisa
KLT
KLT Scanner
HPLC atau
GC/GCMS
+
+
+
+
+
+
+
+
Immunoassay
Kromatografi
Kit
Elisa
KLT
KLT Scanner
HPLC atau
GC/GCMS
+
+
+
+
+
+
+
+
Immunoassay
Kromatografi
Kit
Elisa
KLT
KLT Scanner
HPLC atau
GC/GCMS
+
+
+
+
+
+
+
+
Immunoassay
Kromatografi
Kit
Elisa
KIT
KLT Scanner
HPLC atau
GC/GCMS
+
+
+
+
+
+
+
+
Immunoassay
Kit
Kromatografi
Elisa
Spektrofotometri KLT
KLT Scanner
HPLC atau
GC/GCMS
Spektrofotom
eter UV-VIS
+
+
+
+
+
+
+
+
Immunoassay
Kit
Kromatografi
Elisa
Spektrofotometri KLT
KLT Scanner
HPLC atau
+
+
+
+
+
+
+
Urine
6. Dll
PSIKOTROPIKA
1. Amphetamine
Yang diperiksa adalah :
Metabolit amphetamine
dalam bentuk
amphetamine
2. Derivat Amphetamine
a, MDMA (3,4 metilin
dioksi
Methamphetamine atau
Ektasi). Yang diperiksa
adalah Metabolit MDMA
dalam bentuk HMMA (4
hidroksi 3 metoxi
Metamphetamine)
b. MDMA (3,4 metilin
dioksi Methamphetamine
atau Ektasi). Yang
diperiksa adalah Metabolit
MDMA dalam bentuk
HMA (4 hidroksi 3
metoxi Metamphetamine)
Darah
Urine
+
+
+
+
Darah
Urine
Darah
Urine
Darah
Urine
3. Methamphetamine
Darah
Methamphetamine dalam Urine
bentuk
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
GC/GCMS
Spektrofotom
eter UV-VIS
4. Benzodiazepin
a. Diazepam yang
diperiksa adalah :
metabolit diazepam
dalam bentuk M,Des
Metyl
Diazepam/Temazep
am/Nordizepam/Oxa
zepam
b. Nitrazepam Yang
diperiksa adalah
Metabolit Nitrazepam
dalam bentuk 7 onimo
Nitrazepam
Darah
Urine
Immunoassay
Kit
Kromatografi
Elisa
Spektrofotometri KLT
KLT Scanner
HPLC atau
GC/GCMS
Spektrofotom
eter UV-VIS
+
+
+
+
+
+
+
+
Darah
Urine
Immunoassay
Kit
Kromatografi
Elisa
Spektrofotometri KLT
KLT Scanner
HPLC atau
GC/GCMS
Spektrofotom
eter UV-VIS
Immunoassay
Kit
Kromatografi
Elisa
Spektrofotometri KLT
KLT Scanner
HPLC atau
GC/GCMS
Spektrofotom
eter UV-ViS
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
c. Klor Diazepoksid
Darah
Yang diperiksa adalah Urine
Metabolite Klor
Diazepoksid dalam
bentuk 4
Hydroksinordiazepa
m/Oxazepam
5. Barbital
a. Phenobarbital Yang
diperiksa adalah
Metabolite
Phenobarbital dalam
bentuk
Phydroksyphenobarbital
Darah
Urine
Immunoassay
Kit
Kromatografi
Elisa
Spektrofotometri KLT
KLT Scanner
HPLC atau
GC/GCMS
Spektrofotom
eterUV-VIS
+
+
+
+
+
+
+
+
b. Thipental Yang
diperiksa adalah :
Metabolit thipental
dalam bentuk as.
Carboksilat
Darah
Urine
Immunoassay
Kit
Kromatografi
Elisa
Spektrofotometri KIT
KIT Scanner
HPLC atau
GC/GCMS
Spektrofotom
eter UV-VIS
+
+
+
+
+
+
+
+
Tes Warna
Mikrodifusi
Kromatografi
+
+
+
+
+
ZATADIKTIFLAINNYA
1. AIkohol
2. Metanol
Peralatan
gelas
Cawan
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
3. Etanol
Spektrofotometri conway
+
KIT manual
+
KLT Scanner
+
HPLC atau
GC/GCMS
Spektrofotom
eter UV-VIS
Ket: 1. Skrining : adalah pemeriksaan laboratorium sebagai upaya mengetahui adanya jenis
obat yang menimbulkan afek toksis atau efek yang tidak diinginkan yang dilakukan
secara cepat.
2. Konfirmasi: adalah pemeriksaan laboratorium lanjutan sebagai upaya untuk
menegaskan hasil yang positif dari pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan lebih
akurat.
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
10
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
11
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
12
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
13
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
14
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
15