Anda di halaman 1dari 19

referat

ETIKA DALAM PSIKIATRI

Oleh :
Septi Fadhilah Sarabayan Pazka, S.Ked
NIM : 712020051

Pembimbing :
dr. Abdullah Sahab, Sp.Kj. MARS

SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul:

ETIKA DALAM PSIKIATRI

Oleh:
Septi Fadhilah Sarabayan Pazka, S.Ked
712020051

Telah dilaksanakan pada bulan November 2021 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Jiwa di
Rumah Sakit Ernaldi Bahar

Palembang, November 2021


Pembimbing

dr. Abdullah Sahab, Sp.Kj. MARS


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Etik atau etika, berasal dari dua kata Yunani yang hampir sama
bunyinya, tetapi berbeda artinya. Pertama, berasal dari kata “Ethos” yang
berarti kebiasaan atau adat. Kedua “ethos” atau “ethikos” yang berarti
perasaan batin, atau kecenderungan batin yang mendorong manusia dalam
perilakunya. Prinsip etika mendasari praktek kedokteran, memberikan
dasar dan arah untuk keputusan yang kompleks dan sering menyakitkan
tentang perilaku manusia yang paling dasar. Kenyataan tersebut
kemungkinan paling jelas dan sangat benar dalam bidang psikiatri, dimana
praktek mengobati pasien secara rutin melibatkan konfrontasi dengan
dilema etika dasar, seperti membatasi kebebasan individual melalui
perawatan involunter dan memberikan obat kepada pasien yang
tampaknya tidak kompeten untuk menolak intervensi. Memasukan pasien
ke dalam rumah sakit dan mengobati mereka berlawanan dengan kemauan
mereka adalah praktek yang sering dalam psikiatri, karena merupakan
perdebatan tentang batas dan luas hak orang yang sakit mental.
Karena etika melibatkan suatu kumpulan prinsip yang memimpin
seseorang dalam memutuskan apa yang benar atau salah, baik atau buruk,
dokter sering kali tergoda untuk mencari jawaban dalam hukum atau kode
etik profesional. Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga
kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku
etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan
penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa
berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang
bersifat administratif.
Tetapi pendekatan tersebut kepada masalah yang mereka temukan
tidak selalu memecahkan masalah. Hukum dapat berubah, seperti yang
terjadi dalam hal hospitalisasi dan terapi involunter, atau dapat berarti dua,
seperti dalam hal membatasi konfidensialitas pasien. Kode etik juga dapat
berubahy dan sering berarti dua. Sebagai contoh, apakah aturan “lakukan
tanpa membahayakan” (do no harm) membantu jika mencoba
memutuskan apakah memaksa pasien untuk perawatan dirumah sakit
untuk melindungi masyarakat? Apakah aturan tersebut berarti tidak ada
bahaya lagi bagi pasien atau bahaya bagi masyarakat?
Seperti yang dinyatakan dalam American Colage of Physicians
Ethics Manual edisi ketiga, hukum tidak selalu menentukan keajiban
positif (apa yang harus dilakukan oleh seseorang) sampai tingkat yang
dilakukan oleh standar etik profesional (terutama kedokteran). Kewajiban
positif dokter adalah didasarkan pada prinsip etika khusus, termasuk
kemurahan hati (beneficence) atau tanpa pelanggaran karena jabatan
(nonmalfeasance) (kewajiban untuk bekerja tanpa membahayakan) dan
otonomi (kewaiban untuk melindungi kebebasan pasien untuk memilih).
Prinsip etika lain adalah diturunkan dari prinsip dasar yang khusus,
termasuk yang membentuk parameter mengatakan yang sebenarnya,
mengungkapkan, informed consent, hospitalisasi involunter, dan hak untuk
mendapatkan atau menolak terapi, dan kewajiban kepada pihak ketiga.
Karena sifat yang unik dari gangguan yang diderita oleh penderita
penyakit mental, prinsip kemurahan hati dan otonomi dalam psikiatri
mungkin diinterpretasikan dalam banyak cara yang bertentangan, yang
menyebabkan konflik potensial atau aktual dalam nialai dan keyakinan
tentang perawatan yang sesuai. Untuk mengerti dilema etika yang melekat
pada praktek psikiatri, seseorang pertama kali harus mengerti teori yang
merupakan sumber sebagian besar masalah etika. Oleh karena itu, referat
ini mencoba membahas tentang etika psikiatri terutama mengenai prinsip-
prinsip dasar etika dalam psikiatri agar dapat menciptakan tuntunan bagi
dokter untuk menjadi jelas dan tepat tentang prinsip etika yang menuntun
praktek kedokterannya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etika Psikiatri

Dalam bidang psikiatri, praktek mengobati pasien secara rutin melibatkan


konfrontasi dengan dilemma etika dasar, seperti membatasi kebebasan individual
melalui perawatan involunter dan memberikan obat kepada pasien yang tidak
kompeten untuk menolak intervensi. Memasukkan pasien ke Rumah Sakit dan
mengobati mereka berlawanan dengan kemauan mereka adalah praktek yang
sering dalam psikiatri. Kode etik dapat berubah dan sering memiliki dua arti.
Sebagai contoh, “do no harm” berarti melakukan tindakan, tidak membahayakan.
Namun apakah aturan tersebut berlaku jika mencoba memutuskan apakah
memaksa pasien untuk dirawat di Rumah Sakit untuk melindungi masyarakat?
Apakah aturan tersbeut berarti tidak membahayakan pasien atau tidak
membahayakan masyarakat?1

Kewajiban positif dokter adalah didasarkan pada prinsip etika khusus,


termasuk beneficence atau non malfeasance dan otonomi. Prinsip etika lain adalah
diturunkan dari prinsip dasar yang khusus termasuk yang membentuk parameter
yang mengatakan yang sebenarnya, mengungkapkan, informed consent,
hospitalisasi involunter, dan hak untuk mendapatkan atau menolak terapi, dan
kewajiban kepada pihak ketiga. 1

Karena sifat yang unik dari gangguan yang diderita oleh penderita
penyakit mental, prinsip beneficence dan otonomi dalam psikiatri mungkin
diinterpretasikan dalam banyak cara yang bertentangan, yang menyebabkan
konflik potensial atau actual dalam nilai dan keyakinan tentang perawatan yang
sesuai. 1

2.2. Prinsip Etika

Banyak pengaruh dalam masyarakat sekarang yang menciptakan suatu


kebutuhan mutlak akan dokter. Pengaruh tersebut adalah kemajuan penelitian,
pergerakan hak sipil dan konsumen, peningkatan pendidikan masyarakat, efek
hokum kedokteran, tekanan ekonomi pada pelayanan kesehatan, dan heterogenitas
moral, etika, kultur dan religis yang kompleks pada masyarakat. Kebutuhan
mutlak yang ditimbulkan oleh pengaruh yang saling berhubungan tersebut
menciptakan tuntutan bagi dokter untuk memperjelas prinsip etika yang menuntun
praktek kedokterannya.2

2.2.1. Utilitarian Theory (Teori bermanfaat)

Teori ini menyatakan bahwa kewajiban mendasar seseorang agar


mengambil keputusan adalah untuk mencoba menghasilkan kemungkinan
kegembiraan terbesar untuk sebanyak mungkin orang. Teori ini
mempertimbangkan semua bukti yang ada tentang akibat pilihan tindakan yang
relevan dengan keputusan. Sehingga berdasarkan bukti tersebut, mengambil
keputusan kemungkinan besar menghasilkan kegembiraan terbesar dan kerugian
terkecil bagi masyarakat. Paternalisme adalah melakukan tindakan bagi
kepentingan seseorang tanpa persetujuan orang tersebut. Dalam kedokteran
terbagi 2 yaitu paternalisme negara (state paternalism) dan paternalisme
individual (individual paternalism). Contoh paternalism negara seperti pasien
pergi berobat ke dokter yang memiliki izin, dan obat tertentu diberikan harus
dengan resep. Paternalisme individual adalah model tradisional bagi hubungan
dokter dan pasien. Dokter diharapkan bagi hubungan dokter dan pasien. Dalam
model tersebut dokter diharapkan mengobati pasien sebagain orangtua yang
mengasuh anak kecil. Dokter berkewajiban bermurah hati kepada pasien. Dokter
harus tahu apa yang terbaik bagi pasien dan tidak memiliki kewajiban
menjelaskan tiap keputusan atau meminta izin untuk melakukan tindakan yang
memberi manfaat bagi pasien. Dokter seperti orangtua, dianggap memiliki
pengetahuan yang tidak dapat dimengerti oleh pasien atau dalam pertimbangan
dokter, lebih baik tidak mengetahui. 1

2.2.2. Teori Otonomi

Menurut Immanuel Kant, teori otonom memandang hubungan dokter dan


pasiendewasa normal sebagai dua orang yang bertanggung jawab, bukan sebagai
hubungan orangtua dan anak. Hubungan nya bersifat deontologis yang
menyatakan suatu kewajiban moral antara dua pihak. Pasien dianggap memiliki
kemampuan dan hak untuk mengambil keputusan hidup yang rasional dan
bertanggungjawab. Pasien adalah otonom (mengatur dirinya sendiri) dan memiliki
hak untuk menentukan dirinya sendiri yang harus dihormati, walaupun jika dokter
yakin bahwa keputusan tersebut akan merugikan pasien. Penerimaan hukum akan
kompetensi dewasa, hak untuk mendapatkan informed consent dalam terapi dan
riset, hak untuk menolak terapi, dan pembatasan kemampuan dokter psikiatrik
untuk merawat pasien di Rumah Sakit secara involunter mungkin dipandang
sebagai contoh semakin dikenalnya hak dasar orang dewasa oleh hukum dalam
menentukan diri sendiri dalam pengambilan keputusan medis.1

Teori otonomi menerima gagasan bahwa terdapat kewajiban untuk


menghasilkan kebahagiaan dan menghilangkan penderitaan. Tetapi tidak seperti
teori manfaat, teori otonomi tidak mengizinkan menggunakan manusia untuk
mencapai tujuan tersebut tanpa persetujuan mereka. Meskipun berbohong kepada
pasien dewasa normal walaupun untuk kebaikan mereka dianggap menunjukkan
tidak ada rasa hormat terhadap kemampuan mereka untuk menjadi orang
bertanggungjawab dan menentukan nasibnya sendiri. Teori ini juga menyatakan
bahwa terapi paternalistik orang dibenarkan hanya jika orang tersebut tidak
memiliki kapasitas untuk bersikap otonom seperti anak kecil, orang retardasi
mental, dan beberapa orang psikotik. 4

2.3. Kode Profesional

Principles of medical ethics dari American Medical Association dengan


keterangan terutama berlaku bagi psikiatri, America College of Physicians Ethics
Manual, dan Principles of Ethics for Psychoanalysts dari American Psychiatry
Association membicarakan standar praktek dan kebaikan professional yang ideal
bagi praktisi. Sekarang ini sudah semakin banyak minat dalam menggunakan
kode etik professional sebagai standar kritik dan sebagai cara untuk mengatur
kelakuan profesional yang salah. America College of Physicians Ethics Manual
edisi ketiga memberikan contoh yang berguna dan lengkap tentang kode
profesional. 2
2.4. Pedoman Kode Profesionalisme Dokter

A. Dokter dan Pasien


1. Memulai dan menghentikan hubungan terapi
2. Konfidensialitas
3. Pasien dengan catatan medis
4. Persetujuan
5. Penyingkapan
6. Keputusan tentang reproduksi
7. Risiko medis bagi dokter dan pasien
8. Perawatan keluarga dokter
9. Kontak seksual antara dokter dan pasien
10. Penetapan finansial
11. Konflik perhatian
12. Periklanan
13. Pemisahan biaya

B. Keputusan Dekat Akhir Kehidupan


1. Siapa yang harus mengambil keputusan?
2. Kriteria keputusan
3. Dilemma tentang terapi mempertahankan hidup
a. Menghentikan atau menunda terapi
b. Perintah jangan meresusitasi
c. Pasien sakit terminal
d. Penentuan kematian
e. Hilang kesadaran yang ireversibel
f. Cairan intravena dan makanan buatan
4. Bunuh diri dibantu dokter dan euthanasia

C. Hubungan Dokter dengan Dokter Lain


1. Pengajaran
2. Dokter dalam pendidikan
3. Konsultasi
4. Dokter yang mengalami gangguan
5. Tinjauan sejawat

D. Dokter dan Masyarakat


1. Kewajiban dokter bagi masyarakat
2. Alokasi dana
3. Hubungan dokter dengan pemerintah
4. Hubungan dokter dengan profesional kesehatan lain
5. Komite etika dan konsultan etika
6. Kedokteran dan hokum
a. Saksi ahli
7. Pemogokan oleh dokter

E. Riset
1. Penelitian klinis
2. Terapi medis inovatif
3. Publikasi ilmiah
4. Pemberitahuan public tentang penemuan riset

2.5. Hubungan Seksual Pasien dan Ahli Terapi


Bagi seorang psikiater melibatkan seorang pasien dalam hubungan seksual
sangat tidak etis. Berbagai undang-undang hukum kejahatan sudah diterapkan
terhadap psikiater yang melanggar etika. Pasien yang menjadi korban seksual oleh
psikiater bisa menuntut sebagai tindakan malpraktek. American Psychiatric
Association tidak lagi mengasuransikan terhadap hubungan seksual pasien dan
ahli terapi, dan perusahaan melepas aktivitas tersebut. Akhirnya izin untuk
praktek kedokteran bisa dicabut. The Priciples of Medical Ethics dengan
Annootations Especially Applicable to Psychiatry, yang diterbitkan oleh Medical
Association menyatakan : “Aktivitas seksual dengan seorang yang sedang atau
pernah menjadi pasien adalah tidak etis.1

2.6 Informed Consent


Informed Consent adalah inti dari teori otonomi. Pasien dewasa dianggap
memiliki hak untuk menyetujui atau menolak perssetujuan untuk terapi. Suatu
dokumen inform concent hanya sebagai catatan kelengkapan suatu proses. Proses
tersebut harus tanpa paksaan dan memberikan informasi yang cukup untuk
memilih terapi setelah mendapat informasi sebelumnya. Informasi tentang
diagnosis, prognosis, dan risiko serta manfaat menerima atau menolak pilihan
terapi adalah memungkinkan pasien membuay pilihan setelah informasi
sebelumnya.
Sebagai seorang psikiater diajarkan untuk menanggapi orang yang membutuhkan
pertolongan, seringkali orang yang membutuhkan kepeutusan medis tidak ingin
mengambil kepeutusannya sendiri; mereka menginginkan dokter yang merawat
dirinya mengatakan pada mereka apa yang harus dilakukan suapaya sembuh.
Dokter harus berhatu-hati terhadap anggapan bahwa pasien adalah inkompeten
untuk memuutuskan bagi dirinya sendiri sampai terbukti lain atau dilindungi
oleh hukum. Respek terhadap pasien dicapai dengan timbal balik, komunikasi,
dan perhatian, bukan dominasi. Respek dapat ditunjukan bagi pasien dengan
gangguan mental beat dan terdisorganisasi, seperti yang digambarkan dalam
laporan kasus oleh dokter neurologi Inggris, Oliver Sacks, melalui pemeriksaan
yang sungguh-sungguh suatu komunikasi yang terputus-putus. Walaupun pada
pasien dengan gangguan mental yang ringan yang akan menjalani psikoterapi,
bukanlah inform consent yang menunjukan respek kepada mereka; malahan,
respek paling banyak dimanifestasikan dalam perhatian dan respons yang peka
dari dokter psikiatrik terhadap nuansa perilaku verbal dan nonverbal pasiennya.2

 Informed voluntary consent

Hak pasien yang paling mendasar dalam hal kedokteran masa sekarang
dan dalam bidang etika legal adalah informed voluntary consent. Dalam hal ini
termasuk .

1. Pasien dewasa yang kompeten dapat memberikan persetujuan terhadap


semua prosedur medis,
2. Dan mereka berhak memberikan penolakan terhadap berbagai prosedur
medis.
Dengan kata lain personil medis tidak diperkenankan meelakukan
prosedur diagnostik, terapi maupun percobaan pada pasien dewasa muda tanpa
mereka mengetahui dan menyetujui. Hak ini berkorelasi dengan kewajiban
personil medis untuk (1). Mengedukasi dan menginformasikan kepada pasien
tentang prosedur medis yang bersangkutan. (2). Menghindari mendapatkan
konsen dengan cara menipu, pemaksaan. Agar informasinya adekuat pasien harus
mendapatkan informasi tentang (1). Prosedur apa yang akan dilakukan, (2).
Manfaat dari prosedur tersebut, (3). Resiko tentang penggunaan prosedur medis
tersebut, (4). Prosedur dan terapi alternative (5). Kesediaan dokter untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan pasien.(6). Hak pasien untuk menolak prosedur
tersebut. 3

Hukum memperbolehkan konsen untuk tidak diminta dalam beberapa


kondisi. Misal, (1) pada situasi emergensi dimana pasien tidak sadarkan diri, syok
yang berat, sulit berkomunikasi ataupun dalam keadaan sakit fisik dan emosional
sehingga pasien tidak berkapasitas untuk pengambilan keputusan. (2) pada
keadaan pasien tidak kompeten secara mental karena belum cukup umur,
gangguan mental yang serius ataupun retardasi mental yang ekstrim (3), ketika
hak dilepaskan secara sukarela. (4) saat dokter memiliki hak istimewa untuk
mengobati secara legal bahwa pasien akan mengalami kerugian yang serius jika
informasi medis itu diberitahukan.

 Kompeten dan inkompetensi

Informed voluntary consent terkait sangat erat dengan kompetensi. Jika


pasien dapat mengerti tujuan, resiko, keuntungan dan alternative lain dari suatu
prosedur medis maka pasien tersebut dapat dikatakan kompeten dalam
memberikan konsen. Dan jika tidak pasien tidak bias dikatakan kompeten dalam
memberikan konsen. Pengaplikasian inform consent tadi pada psien psikiatri
disulitkan dengan fakta bahwa bagian untuk mengetahui dan menyetujui prosedur
medis tadi mungkin adalah bagian yang terganggu dalam diri mereka. Apakah
dengan ini personil medis dapat berasumsi bahwa pasien tersebut tidak kompeten
untuk memberikan konsen ataupun untuk menolak pengobatan. Tentu tidak,
anggapan bahwa pasien tersebut inkompeten mungkin dapat dianggap berlebihan.
Penyakit psikiatri sangat episodic. Oleh karena itu perlu dilakukan pendekatan
setiap harinya dengan anggapan pasien kompeten. Hari deemi hari bahkan jam
demi jam penilaian pada kemampuan pasien untuk mengerti tentang intervensi
medis yang diberikan harus dilakukan oleh personil medis yang secara langsung
dan konstan berhadapan dengan pasien. Kebanyakan pasien memiliki periode
lusid diantara periode psikotik dimana pasien dapat mengerti dalam sesuatu hal
walupun hal lainnya masih terhambat. Dan dapat didapatkan autonomy rasional
yang bertanggung jawab jika dibebankan pada mereka pada saat yang tepat.3

Kondisi etik pada pengobatan penderita psikiatris berasal dari prinsip


moral yang sesuai dengan pengobatan penyakit yang bukan psikiatris. Konflik
antara menghormati otonomi penderita dengan bertindak paternalistik dalam
penanganan penderita, menjadi akar permasalahan seluruh kajian bioetika. Untuk
penderita-penderita yang bukan penderita psikiatris, permasalahan tersebut secara
teoritis dapat diatasi dengan pendekatan informed consent, dengan asumsi bahwa
keduanya memiliki kesadaran dan kebebasan untuk menentukan pilihannya. Pada
kenyataannya, pendekatan informed consent berbeda dengan apa yang secara
teoritis diharapkan. Bahwa surat pernyataan persetujuan tindak medis sudah
ditandatangani oleh penderita atau walinya, itu memang benar, namun masih perlu
dipertanyakan apakah penderita atau walinya telah memperoleh informasi medis
yang memadai dan dapat dipahami. Hal ini masih perlu pembuktian mengingat
kondisi penderita yang berada dalam keadaan yang serba tidak bebas. Persoalan
lain adalah apakah wali benar-benar mengerti apa yang sebenarnya diinginkan
penderita yang diwakilinya, dan apakah ia tidak berada dalam konflik
kepentingan. Akhirnya informed consent sering terjebak ke dalam masalah legal-
formal belaka. Semula tujuan utamanya adalah demi kepentingan penderita,
namun berbalik menjadi demi kepentingan si dokternya sendiri. Tidak jarang
informed consent dijadikan alat pelindung bagi dokter agar terbebas dari tuntutan
hukum atas kesalahan diagnosis, terapi, atau intervensi medis yang telah
dilakukannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian yang cermat sebelum
menilai apakah informed consent tidak cacat hukum. 1
Untuk penderita-penderita psikiatris, khususnya yang skizofrenia,
penyelesaian konflik antara menghormati otonomi penderita dengan bertindak
paternalistik menjadi lebih kompleks oleh karena adanya perbedaan mendasar
antara menjadi penderita medis dan menjadi penderita psikiatris, serta perbedaan
pengertian sakit dalam bidang fisik dan mental. Jika penderita-penderita medis
nonpsikiatris
secara volunter ingin mendapatkan pertolongan medis karena menyadari
bahwa dirinya sakit dan perlu bantuan dokter, maka penderitapenderita
skizofrenia justru sebaliknya. Mereka tidak merasa sakit, apalagi membutuhkan
bantuan dokter. Adalah dokter atau orang lain yang menyatakan bahwa ia sakit,
dan hal ini diakibatkan oleh perilakunya yang tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh orang lain. Dari aspek etika biomedis, praktek psikiatri di
Indonesia perlu memperhatikan prosedur informed consent yang benar agar tidak
cacat hukum. Profesi medis, khususnya psikiater perlu meningkatkan pemahaman
eksistensial terhadap penderita-penderita gangguan jiwa, serta berdialog dengan
pakar bioetika dan hukum kedokteran.1
Kesadaran akan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk otonom
yang harus dihormati haknya untuk menentukan pilihan yang terbaik bagi dirinya,
menuntut perlakuan lebih manusia terhadap penderita-penderita yang psikotik.
Dokter yang merawat perlu memperhatikan adanya perbedaan antara penderita
psikiatri dengan yang non-psikiatri, mengingat kondisi inkompeten yang berbeda
pada keduanya. Penderita skizofrenia sudah tentu tidak dapat dituntut untuk
bertanggung-jawab atas tindakan yang dilakukan, karena dilakukan secara
involunter. Dengan lain perkataan, penderita skizofrenia tidak kompeten untuk
bisa memahami tindakan yang dilakukan. Namun kiranya perlu diperhatikan,
bahwa inkompetensi pada penderita skizofrenia memiliki ciri-ciri yang berbeda
dengan penderita bukan gangguan jiwa. Penolakan terhadap pengobatan yang
diberikan merupakan bagian dari penyakitnya dan penderita masih bisa
memberikan opini terhadap pengobatan yang diterimanya, terlepas apakah
opininya itu rasional atau tidak. Ciri-ciri tersebut, dapat menimbulkan dilema etis
dalam hubungan dokter-penderita, oleh karena itu diperlukan penilaian
kompetensi yang lebih akurat. Syarat kompetensi dapat diringkas menjadi
kemampuan menilai realita dengan baik. Kemampuan menilai realita
menggambarkan seluruh proses kejiwaan yang terlibat dan tidak tergantung pada
data atau informasi yang diterima, serta tidak tergantung pula pada perkembangan
intelektual seseorang. Dalam psikiatri, kemampuan menilai realita digunakan
untuk menilai apakah seseorang itu menderita gangguan jiwa yang psikotik, dan
dinyatakan inkompeten untuk menentukan pilihan yang rasional dan bermanfaat
bagi dirinya.1

2.6. Hak Untuk Mati


Hak pasien untuk menolak terapi adalah bagian dari alasan yang
digunakan untuk mendukung hak pasien yang sakit parah untuk tidak meneruskan
terapi yang mendukung kehidupannya. Yaitu, pasien yang yakin bahwa kualitas
hidupnya akan terganggu oleh terapi kontinu adalah memiliki hak untuk menuntut
supaya terapi tersebut tidak diberikan atau dihentikan. Pasien yang diperkirakan
kehilangan kemampuannya unyuk mengambil keputusan dapat mengekspresikan
harapan mereka atas suatu dasar prospektif, biasanya memlalui pemakaian
instruksi terlebih dahulu (advanced dirctive) atau surat wasiat. Surat wasiat bisa
menimbulkan masalah karena terlalu umum, dan menyebabkan tidak mungkin
untuk mencakup semua kemungkinan dalam perjalanan penyakit yang serius. 4

2.7. Pengambilan Keputusan Oleh Wali


Kadang-kadang seorang wali ditunjuk untuk membuat keputusan terapi
bagi pasien yang telah kehilangan kemampuanya dalam mengambil keputusan.
Wali mungkin ditunjuk oleh pasien sebelum mengalami kehilangan
kemampuannya atau dapat dipilih oleh pengadilan. Kadang-kadang negara
membolehkan wali ditunjuk oleh rumah sakit. Wali yang ditunjuk biasanya adalah
saudara dekat, walaupun saudara dekat tidak selalu merupakan pengambil
keputusan yang tepat. 2
Wali diharapkan memutuskan terapi mana yang diharapkan terbaik bagi
pasien. Pendekatan legal sekarang ini yang didasarkan pada otonomi
mengharuskan wali meutuskan terapi mana yang terbaik bagi pasien. Wali harus
mengenali nilai dan sikap pasien. Pertimbangan penggantu menilmbulkan
masalah karena mungkin sulit untuk menentukan apakah wali benar-benar mampu
menentukan apa yang telah diharapkan pasien. Jika pertimbangan pengganti tidak
dapat dilakukan, wali harus menggunakan pendektan demi kepentingan yang
terbaik.
2.8 Terapi Involunter

Prinsip manfaat adalah diminta untuk membenarkan terapi bagi seseorang


menentang keinginannya. Jika seseorang memiliki gangguan mental yang
berbahaya bagi dirinya sendiri atau orang lain, hukum membolehkan terapi
involunter. Dasar hukum untuk terapi seseorang yang berbahaya bagi orang lain
adalah untuk melindungi keamanan masyarakat; dasar hukum untuk terapi orang
yang akan bunuh diri dan sakit berat adalah untuk melindungi hidup dan
keamanan dirinya.4

Karena terapi involunter membatasi kebebasan seseorang dan pilihan


pribadi, hukum mengharuskan bahwa hal tersebut dilakukan dengan alasan yang
baik. Selain itu, hospitalisasi mungkin dilakukan dalam waktu yang tidak terbatas,
seperti yang dilakukan sebelum tahun 1960-an. Dari pandangan etika, terapi
involunter dibolehkan atas dasar uji coba dengan waktu tertentu untuk
menentukan apakah terapi adalah bermanfaat. Hukum biasanya membolehkan
waktu terapi involunter yang lebih panjang untuk orang yang berbahaya bagi
orang lain dibandingkan bagi pasien yang berbahaya hanya bagi dirinya sendiri.
Pada keedua kasus manfaat terapi harus terjadi dalam waktu yang tertentu. Tetapi,
seorang pasien yang sukarela dan memberikan izinnya dapat diobati selama
dipandang perlu secara medis.1

Beberapa pasien dengan gangguan mental, mengacau, dan berbahaya tidak


mendapatkan manfaat dari terapi kecuali perilaku dan psikosis dasar mereka
dikendalikan. Sedasi atau pengikatan mungkin tidak dapat dihindari. Pada waktu
yang sama, pengendalian perilaku saja bukan merupakan tujuan yang memadai
dari perawatan psiatrik yang etis. Pada beberapa keadaan, hal ini mungkin
merupakan segalanya yang dapat dicapai, kadangkadang penyakit mental
menentang usaha terbaik psikiatrik untuk mengendalikannya. Tetapi, mengobati
penyakit mental, mengembalikan kompetensi dan kemampuan untuk berfungsi,
dan membantu orang sakit mental untuk menghadapi atau bahkaan menguasai
penyakit mentalnya adalah tujuan akhir dari intervensi pskiatrik.2

2.9 Psikiatri Penghubung


Dokter psikiatrik penghubung (liaison psychiatrist) sering diminta
memeriksa kemampuan pasien untuk membuat keputusan tentang perawatan
medis. Seorang dokter mungkin melakukan konsultasi kepada psikiatrik karena
pasien yang menolak menyetujui suatu prosedur. Pemeriksaan tersebut seringkali
menimbulkan masalah etika dan konseptual. Menurut hukum, orang dewasa
dianggap kompeten dalam menyetujui atau menolak menyetujui terapi medis.
Inkompetensi adalah konsep hukum dan hanya dapat ditegakan oleh pengadilan.
Tetapi dokter pskiatrik juga memiliki hak untuk menilai pasien mampu untuk
mengambil keputusan atau tidak. Jika dokter psikiatrik menilai seseorang pasien
tidak mampu untuk mengambil keputusan, pasien selanjutnya harus menanyakan
kepada penasihat atau pengacara pasien untuk meminta pemeriksaan kompetensi
di depan pengadilan.3

Dapat dilihat jelas etika otonomi yang didukung oleh hukum dan diagnosis
pskiatrik kontemporer. Tidak peduli betapapun dokter pskiatrik yakin bahwa
terapi akan bermanfaat atau betapa berbahayanya kemungkinan menolak terapi,
pasien tetap memiliki hak untuk menolak terapi tersebut.

2.10 Risiko Medis

Walaupun psikiatri adalah spesialis kedokteran yang paling tidak invasive,


dokter memiliki hak untuk menolak mengobati seorang pasien berdasarkan
semata-mata karena dugaan risiko medis bagi dokter (pasien memiliki sindrom
imunodefisiensi didapat seperti AIDS). Penularan HIV dari dokter ke pasien dapat
terjadi, tetapi resiko tersebut dianggap sangat rendah. Namun The American
Collage of Physician Ethics Manual menyatakan bahwa dokter yang mungkin
telah terpapar dengan HIV memiliki kewajiban etik untuk diuji HIV daan harus
dilakukan dengan sukarela.4

2.11. Dokter yang Mengalami Gangguan

Gangguan pada seorang dokter dapat terjadi sebagai akibat gangguan


psikiatrik atau medis atau pemakaian zat yang mengubah pikiran dan membentuk
kebiasaan (sebagai contoh alkohol dan obat-obatan). Sejumlah penyakit organic
dapat mengganggu keterampilan kognitif dan motorik yang diperlukan untuk
memberikan pelayanan kesehatan secara kompeten. Dokter yang mengalami
gangguan harus dilaporkan kepada pejabat yang tepat, dan dokter yang melapor
diharuskan mengikuti prosedur rumah sakit, negara, dan hukum yang khusus.
Pemantauan harus dilakukan oleh seorang dokter atau kelompok dokter mandiri
yang tidak memiliki pertentangan kepentingan.2

2.12. Dokter dalam Pendidikan

Dalam lingkungan pendidikan yang etis dan sehat, residen dan mahasiswa
kedokteran mungkin dilibatkan dalam dan bertanggung jawab untuk perawatan
pasien sehari-hari, namun tetapp diawasi, didukung dan diarahkan oleh dokter
yang telah terlatih dan berpengalaman. Pasien memiliki hak untuk mengetahui
tingkat pendidikan pelayan kesehatannya (residen atau mahasiswa kedokteran).
Residen dan mahasiswa kedokteran harus mengetahui dan mengakui
keterbatasannya dan meminta pengawasan dari sejawat yang berpengalaman
sesuai kebutuhannya.2

2.1.3. kebijaksanaan kesehatan masyarakat

 Hak untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan adalah hak yang sama-sama dimiliki oleh


semua orang. Pelayanan kesehatan adalah hak istimewa yang harus
dipergunakan secara pribadi. Sejumlah pelayanan kesehatan harus
diberikan bagi mereka dengan kebutuhan akan kesehatan yang bermakna
dan yang tidak mampu mendapatkannya dengan kekuatan sendiri. Tetapi,
banyak kebutuhan medis dan psikiatrik orang tidak dicakup secara
memadai atau tidak dicakup sama sekali.3

Sebagian besar masalah alokasi etis pelayanan psikiatrik adalah


mengkritik ketidakadilan kebijaksanaan kesehatan mental dan pesimis
tentang prospek perbaikan yang besar. Banyak orang miskin atau orang
dengan kemampuan financial menengah yang sedang menderitaa
kebutuhan psikiatrik serius dan jangka panjang akan tetap tidak terobati

 Aborsi
Aborsi adalah salah satu masalah etika yang paling controversial
yang dihadapi oleh dokter, pembuat hukum dan masyarakat umum. Tahun
1990, Mahkamah Agung di Amerika Serikat menegakan hukum Negara
yang mengharuskan seseorang yang belum dewasa yang belum menikah
untuk memberitahu orangtua akan maksus menjalani aborsi. Tahun 1993
Presiden Bill Clinton menolak aturan yang memperbolehkan pemakaian
dana masyarakat oleh klinik yang memasukan aborsi sebagai pilihan
keluarga berencana.3

DAFTAR PUSTAKA

1. Beauchamp TL and Childress JF. Principles of Biomedical Ethics. 3rd ed.


New York: Oxford University Press, 1989.
2. Edwards, RB. Mental health as rational autonomy. In: EdwardsRB, editor.
Ethics of Psychiatry. New York:Promerheus Book; 1997. p. 50-62
3. Edwards, RB.rights and duties in psychotherapist/patient relations. In:
EdwardsRB, editor. Ethics of Psychiatry. New York:Promerheus Book;
1997. p. 171-180
4. Hartanto, R. landasan moral pengobatan paksa pada penderita skizofrenia.
Jurnal kedokteran trisakti, vol.22 No.2.2003 P.70-75

Anda mungkin juga menyukai