Daftar Isi
Daftar Isi
Pengantar …………………………………………………………………………………………………………………………………………2
Pendekatan yang Berpusat Pada Kebutuhan Individu: Pengertian, Penerapan, & Dampaknya ………...3
Penerapan PBKI di Layanan HIV di Era Tatanan Baru (Pandemi Covid-19) ..……………………………………. 11
Saran-saran …………………………………………………………………………………………………………………………………...22
Daftar Pustaka
2
1. PENGANTAR
Pendekatan yang berjarak antara tenaga kesehatan dan pasien selama ini kerap
terjadi. Pendekatan ini secara sengaja maupun tidak terbentuk dari sistem yang ada.
Beberapa rujukan bahkan mengenalnya pendekatan yang berpusat pada sistem.
Pendekatan berjarak dimaksud berakibat minimnya dialog antara dokter dan pasien.
Dalam pendekatan yang berpusat pada sistem, pasian adalah klien yang harus
dilayani, dan tenaga kesehatan adalah yang melayani. Hubungan ini secara tidak
sadar, diantaranya menciptakan kepasifan bagi pasien. Di lain pihak, dokter atau
perawat tidak pernah meminta pasien untuk berbicara. Dalam pendekatan yang
berpusat pada sistem menciptakan relasi yang tidak berimbang dengan posisi tawar
yang lemah bagi pasien.
Buku pedoman ini memperkenalkan sebuah pendekatan yang tidak berpusat pada
sistem namun mengedepankan hak asasi manusia sebagai basis dimana individu
yang justru mengetahui kebutuhannya sebagai pusat. Lebih jauh, pendekatan ini
memperlakukan pasien sebagai individu yang menentukan dirinya sendiri, dan tenaga
medis (dokter dan perawat) memberikan support atau memfasilitasi. Pendekatan ini
dikenal dengan pendekatan yang berpusat kepada kebutuhan individu atau people-
centred approach. Pendekatan ini sebenarnya yang sudah cukup lama berkembang
dan diterapkan dibeberapa negara, dan tidak hanya menyangkut layanan medis.
Layanan-layanan lain, seperti disabilitas mental, perawatan lanjut usia, dan konseling
sudah cukup lama menerapkan pendekatan ini.
Studi cepat yang dilakukan oleh penyusun buku pedoman ini menunjukkan bahwa
komunitas (ODHA) menghadapi tantangan yang patut diperhatikan ketika mengakses
layanan HIV. Hasil studi ini memperkuat pentingnya penerapan pendekatan yang
berpusat kepada kebutuhan individu.
Di bagian akhir, buku pedoman ini memuat sejumlah saran-saran agar PBKI dapat
diterapkan dan menjadi komitmen bersama individu (pasien) dan penyedia layanan
(provider). Buku pedoman ini bisa digunakan oleh siapa saja, namun secara khusus
diperuntukan bagi individu (pasien) yang merupakan bagian dari komunitas (ODHA)
dan penyedia layanan HIV (provider).
1
Lihat https://www.health.nsw.gov.au/mentalhealth/psychosocial/principles/Pages/person-centred.aspx
4
2
Lihat https://promkes.kemkes.go.id/?p=1490
5
kehidupannya. Sinergisitas antara klien (pasien) dan tenaga medis sangat penting
untuk terealisasinya pendekatan yang berpusat kepada kebutuhan klien.
Dalam konteks layanan HIV, berbagai studi menunjukkan bahwa pendekatan yang
berpusat pada kebutuhan individu atau klien tidak saja mengeliminasi stigma, namun
yang lebih penting dapat meningkatkan pengembangan diri individu ke arah yang
positif. Sebagai ilustrasi, setelah divonis HIV, umumnya pasien merasa frustrasi dan
menarik diri dari lingkungan. Mereka juga merasa tidak berdaya, putus asa, dan tidak
memiliki keyakinan atas kehidupannya. Di sisi lain, mereka juga tidak memiliki
keterbukaan atas penyakit yang dideritanya. Ada kekhawatiran jika orang lain tahu
kondisinya, maka akan dikucilkan dan berakibat pada kehidupannya termasuk
pekerjaannya. Lebih jauh, beberapa studi menunjukkan bahwa umumnya ODHA
memiliki keterbatasan dalam mengembangkan hubungan sosial dan kehidupan
spiritualnya serta kurang mendapatkan dukungan baik dari keluarga maupun orang-
orang sekitar. Inilah salah satu alasan mendasar mengapa pendekatan yang
berpusat pada kebutuhan individu menjadi sangat relevan diterapkan. Untuk lebih
jauh mengapa PBKI penting untuk diterapkan, akan dibahas pada bagian 2.2 buku
pedoman ini. Namun sebelum itu, kita harus mengetahui apa yang harus
diperhatikan ketika pendekatan berpusat pada kebutuhan individu akan diterapkan?
Berdasarkan berbagai sumber, berikut hal-hal yang harus diperhatikan ketika hendak
menerapkan PBKI:
Mendukung individu tersebut untuk terlibat dalam pengambilan keputusan
tentang kehidupan mereka;
Memperhitungkan pengalaman hidup, usia, jenis kelamin, budaya, warisan,
bahasa, kepercayaan, dan identitas setiap individu;
Memprioritaskan kebutuhan akan layanan dan dukungan yang fleksibel agar
sesuai dengan keinginan dan prioritas individu tersebut;
Sebagai prioritas, individu-individu diakui sebagai ahli dalam hidup mereka
sendiri dengan fokus pada apa yang mereka dapat lakukan, bantuan apa pun
yang dibutuhkan dan jadikan jejaring individu sebagai bentuk dukungan kepada
individu;
6
melakukan yang terbaik bagi mereka, yang membuat situasinya lebih mudah ke
depan;
b) Individu akan terpenuhi kebutuhan emosional, sosial, dan praktisnya serta
adanya kepastian mempertahankan kualitas hidup yang tinggi;
c) Dapat mendukung mereka yang mungkin tidak dapat secara langsung
mengkomunikasikan keinginan dan kebutuhan mereka. Misalnya kondisi karena
hambatan disabilitas sehingga seseorang tidak dapat berkomunikasi secara
efektif. Misalnya, demensia, ketidakmampuan belajar, atau mereka yang tidak
memiliki kepercayaan diri untuk berkomunikasi. Perawatan yang berpusat pada
kebutuhan individu akan membantu menemukan cara yang sesuai untuk
membantu mereka berkomunikasi dan memaksimalkan kualitas perawatan
mereka yang membutuhkan.
d) Dapat meningkatkan kemandirian. Hal ini tidak hanya bermanfaat secara pribadi
bagi pasien, tetapi juga mendorong mereka untuk mengambil peran di setiap
pengambilan keputusan tentang dirinya. Ini meningkatkan keterlibatan mereka
untuk mencapai keputusan yang lebih baik dan lebih sesuai terkait perawatan
mereka sendiri. Selain itu, ini PBKI memberi mereka kepercayaan diri dan
kemampuan untuk menjaga diri mereka sendiri walaupun dengan sedikit
masukan dari pihak lain (tenaga medis).
e) Pasien lebih cenderung berpegang pada rencana pengobatan dan meminum
obat mereka jika mereka merasa dihormati, terlibat, dan dalam kendali.
f) Memotivasi pasien untuk mengadopsi perilaku kesehatan positif yang
meningkatkan dan membantu mereka mengelola kesehatan mereka sendiri.
g) Setiap orang akan merasa lebih bahagia dan lebih positif. Ini meningkatkan moral
dan kemampuan tenaga kesehatan untuk memberikan perawatan yang efektif
dan penuh kasih.
h) Waktu dan biaya yang lebih efisien.
diceritakan peserta diskusi dapat menjadi data dan informasi yang dapat dirujuk dan
mengarah pada pentingnya PBKI. Pengumpulan data kajian cepat ini dilakukan
dengan diskusi kelompok terfokus dan indept interview terhadap sejumlah informan
terpilih. Berikut profil peserta diskusi dan hasil diskusi terkait PBKI.
a. Asal daerah/wilayah
Diskusi kelompok terfokus dihadiri 24 partisipan yang berasal dari 10 provinsi.
Kesepuluh provinsi dimaksud didalamnya mencakup 23 distrik atau wilayah kerja
IAC. Berikut tabel asal daerah/wilayah partisipan diskusi kelompok terfokus:
Provinsi Jumlah
Bali 1
Banten 5
DKI Jakarta 5
Jawa Barat 3
Jawa Tengah 2
Jawa Timur 2
Lampung 1
Papua 2
Sulawesi Selatan 1
Sumatera Barat 2
Total 24
b. Kelompok usia
Untuk usia peserta diskusi paling besar usia antara 331-35 disusul usia 36-40. Katagori
usia menjadi sangat penting disampaikan untuk mengetahui kapan kali pertama peserta
mengunjungi layanan HIV. Dan 98 % peserta diskusi mengaku memang sudah terbiasa
mengakses layanan kesehatan. Sisa 2% mengakui baru 3 kali mengakses layanan HIV.
Dari sebagian besar peserta yang sudah pengalaman mengakses layanan HIV,
diharapkan bisa mendapatkan penjelasan mengenai bagaimana selama ini berinteraksi
dengan petugas layanan termasuk tenaga medis. Berikut pie chart katagori usia peserta
diskusi kelompok terfokus:
9
c. Gender
Berdasarkan gender, jumlah laki-laki yang berpartisipasi 14 orang, perempuan 8,
dan transpuan 2. Terkait orientasi seksual, 8 gay, 14 heteroseksual, 1 lesbian, dan
2 transpuan.
d. Pendidikan
Untuk latar belakang pendidikan didominasi oleh Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
(SLTA) dengan 16 peserta, sarjana (S1) 6 peserta, Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP) 1 peserta, dan Diploma Tiga (D3) 1 peserta.
PENDIDIKAN
1
PESERTA FGD 6
16
SMP SMA D3 S1
10; 42%
14; 58%
Tidak Ya
10
Berdasaran hasil diskusi, 14,58% peserta mengaku tidak merasa nyaman dalam
mengakses layanan HIV, dan 10,2% mengaku selama ini tidak pernah mengalami
kesulitan dalam mengakses layanan HIV atau merasa nyaman. Ada pun mereka yang menjawab
tidak merasa nyaman saat mendapatkan layanan HIV, menyampaikan secara spesifik ketidaknyamanan
yang mereka rasakan. Berikut data yang diperoleh:
Pada saat kali pertama diinfokan status HIV, petugas kesehatan justru
menanyakan hal-hal pribadi dan cenderung menyalahkan
3
Informasi diperoleh dari dokumen Kementerian kesehatan perihal Protokol Pelaksanaan layanan HIV?AIDS
selama pandemic COVID-19 Nomor Pm.02.02/3/2022/2020
12
ART dapat diberikan kepada wali dengan bukti surat pengantar dan berita acara
serah terima serta tetap merujuk pada peraturan perundang-undangan dengan
mengirimkan salinan ikhtisar perawatan HIV dan ART vie e-mail dan WhatsApp ke
petugas RR (pelaporan dan pencatatan) di layanan yang meneruskan pengobatan
ODHA. Penyerahan obat ARV untuk masa 2-3 bulan dapat dipertimbangkan bagi
ODHA yang stabil selama persediaan ARV mencukupi. Selan itu, pemberian multi
bulan ARV 2-3 bulan diprioritaskan bagi ODHA yang tinggal di wilayah episentrum
Covid-19 dan menjadi tanggung jawab badan yang berwenang.
d. Bagi ODHA yang pertama kali mendapatkan ARV, maka kontrol tiap bulan harus
dilakukan bekerjasama dengan komunitas/pendukung ODHA untuk memastikan
kondisi dan keberlangsungan pengobatan ARV. Pemberian informasi hidup bersih
dan sehat yang berkelanjutan haru dilakukan untuk mencegah penularan Covid-
19. Pengobatan ODHA dan Penyalahgunaan NAPZA dengan Covid-19 mengikuti
pedomanan nasional yang berlaku.
2) Dahulukan pasien dengan batuk, demam, dan yang dengan gejala flu lain
untuk dipastikan bukan Covid-19;
3) Batasi ODHA yang datang, utamakan yang batuk/bergejala;
4) Berikan ARV multi bulan scriapting atau pemberian dua bulan bagi ODHA
yang stabil dan selektif;
5) Berikan ARV pada satu anggota keluarga saja, jika pasangan dan atau
anak juga ODHA;
6) Untuk pasien yang memerlukan konsultasi, siapkan kontak person dari
layanan;
7) Bagi ODHA dengan IO, advanced disease atau pertama kali mendapatkan
ARV, mereka membutuhkan kontrol perbulan;
8) Pastikan ketersediaan obat dan layanan mengikuti pedoman nasional
untuk pengendalian infeksi.
9) Tampilkan poster dan media KIE lain untuk PHBS;
10) Bagi siapapun yang bergejala dan merasakan terinfeksi dirujuk kelayanan
yang ditunjuk untuk evaluasi dan penanganan lebih lanjut.
b) Berani dan santun berdialog dan bernegosiasi dengan tenaga kesehatan dan
lainnya
Saat merasa diri mengalami stigma dan perlakuan tidak menyenangkan dari
petugas layanan atau pihak lain, sebaiknya tidak berdiam diri atau merespon
dengan tenang dan tetap santun. Dibutuhkan simulasi dengan fokus
peningkatan kepercayaan diri dan teknik negosiasi sebelum mengambil
tindakan untuk merespon perlakuan yang tidak menyenangkan. Merespon
dengan cara membabibuta sangat tidak efektif, karena nilai upaya melakukan
pembelajarannya pun tidak tercapai.
Berangkat dari hasil diskusi kelompok terfokus dan beberapa literatur, terdapat
beberapa hal umum yang bisa menjadi rambu-rambu tentang ‘apa yang boleh’
dan ‘tidak boleh’ ketika menerapkan PBKI. Berikut daftar ‘yang boleh’ dan
‘tidak boleh’:
4
Dikutip dari “A synopsis of Differentiated care for Art Program Managers.” 2001. Fhi360.
16
Menggunakan Informasi/berita
yang belum tentu
kebenarannya atau hoax ketika
berdialog dengan tenaga medis
rumah yang kemudian tidak lagi dianggap aman baginya karena Ia seringkali
jatuh.
Ketika dipindahkan ke Elmgrove House, Lucy cepat beradaptasi dengan rumah
barunya. Putrinya membantunya mendekor ruangan kamar dengan lukisan dan
barang-barang kenangan Lucy. Lucy pun berteman dengan beberapa penghuni
Elmgrove House. Putrinya, teman dekat, dan kerabatnya mengunjungi Lucy
secara teratur untuk dukungan sosial dan emosional. Lucy juga memiliki
organisasi amal yang bernama Blind Society yang mendukungnya dan sering
mengunjunginya secara teratur.
Dalam satu tahun tinggal di Elmgrove House, kesehatan fisik dan mental Lucy
mulai memburuk dengan cukup cepat. Dia menderita demensia dan kehilangan
mobilitasnya yang berdampak pada kondisi kesehatannya secara umum.
Peralatan dan dukungan disediakan untuk Lucy termasuk keterlibatan dan
dukungan intens dari ahli gizi. Lucy membutuhkan dukungan dan pengawasan
yang intens untuk memastikan dia aman.
Hasil assessment perawatan tang dilakukan pekerja sosial menunjukkan bahwa
Lucy perlu dipindahkan ke panti jompo. Namun, Lucy tidak ingin dipindahkan
karena dia senang tinggal di Elmgrove House dan ingin tinggal lebih lama. Putri
Lucy sedih memikirkan ibunya yang harus dipindahkan lagi, dan merasa bahwa
jika ibunya bahagia tinggal di Elmgrove House. Menurutnya, dia tidak perlu
dipindahkan ke tempat lain. Akhirnya, staf Elmgrove House mendukung
keputusan Lucy untuk tinggal di Elmgrove House.
Setelah peninjauan dan penilaian kembali dengan melibatkan dokter umum,
Elmgrove House memberikan tambahan jam perawatan untuk Lucy dan itu
disetujui oleh petugas layanan sosial yang memantau kondisi Lucy. Apa yang
harus dilakukan untuk Lucy, harus melibatkan banyak pihak untuk saling bermitra
termasuk dengan pihak perawatan diluar Elmogrove House untuk memastikan
bahwa Lucy sudah cukup aman dan kebutuhan perawatannya terpenuhi secara
memadai.
Hasil peninjauan dan penilaian yang dilakukan membuat perbedaan yang
signifikan untuk Lucy. Lucy merasa sangat bahagia karena keinginannya untuk
tinggal di Elmgrove House terpenuhi meski kondisi kesehatannya memburuk. Ini
adalah keputusan Lucy dimana diakhir hayatnya ia bahagia bersama teman-
teman di Elmgorve House.
Para staf yang merawat Lucy pun sangat senang dengan apa yang diputuskan
oleh Lucy. Mereka mau melakukan segalanya untuk memastikan kebutuhan
Lucy, baik fisik maupun emosional terpenuhi. Kami semua berkumpul untuk
mendukung Lucy dan dia masih bahagia dan tersenyum bahkan selama hari
terakhir hidupnya.
Lucy tetap tinggal di Elmgrove House sampai akhir hayatnya. Dia dikelilingi oleh
wajah-wajah dan orang-orang yang dikenalnya, yang membuatnya sangat
nyaman. Meskipun putrinya merasa sulit untuk mengatasi hari-hari terakhir
ibunya, dia merasa didukung dan diyakinkan. Dia bersyukur bahwa Lucy
meninggal dengan damai di tempat yang sekarang dia sebut rumah, yang sangat
berarti baginya.
18
B. Kisah Inspirastif Proses PBKI dari Cerita Lola di Rumah Sakit Royal Melbourne,
Australia.
Lola seorang pasien di rumah sakit mengalami kesulitan komunikasi setelah
stroke dan memiliki kondisi fisik yang cukup lemah. Putrinya yang banyak
menghabiskan waktu bersama Lola di rumah sakit merasa bahwa ibunya
diabaikan oleh pegawai rumah sakit dimana para pegawai terlihat tidak
meluangkan waktu yang cukup untuk mencoba mencari tahu kebutuhan ibunya
atau mengetahui apa yang diinginkan ibunya. Ia juga merasakan minimnya
komunikasi antara pegawai rumah sakit dan pengasuh ibunya (termasuk dirinya).
Selain itu, terlihat tidak ada minat yang ditunjukkan oleh para pegawai untuk
memulai percakapan dan berinteraksi intensif dengan ibunya.
Keluhan putri Lola kemudian menjadi perhatian pegawai senior di rumah sakit.
Forum diskusi dilakukan internal rumah sakit dengan melibatkan pemimpinan
rumah sakit. Diksusi fokus kepada keluhan pasien yang harus ditindaklanjuti dan
dimanfaatkan secara konstruktif untuk kemajuan praktik perawatan di rumah
sakit. Diskusi dihadiri berbagai pihak terkait agar semuanya mengetahui
persoalan dan bagaimana bahu membahu mengatas persoalan yang ada.
Keluhan yang diterima rumah sakit menjadi masukan dimana ke depan dapat
meningkatkan performa perawatan pasien. Menariknya, pihak rumah sakit yang
belajar dari pengalaman keluhan putri Lola, mendokumentasikan semua proses
dalam bentuk video yang tujuannya agar dapat menjadi inspirasi sebuah praktik
baik terkait perawatan. Di dalam video, pihak rumah sakit tidak merasa canggung
menyatakan bahwa sebelumnya mereka sudah gagal dalam memberikan
perawatan terbaik kepada pasien karena tidak melihat perawatan yang berpusat
kepada kebutuhan individu.
Sebagai informasi, putri Lola adalah seorang profesional dan berpengalaman
dalam perawatan, ketika ia merawat ibunya, dia hanya ingin menciptakan
sesuatu yang positif. Bagi pihak rumah sakit, kehadiran putri Lola justru sangat
menguntungkan selain sangat pandai berargumentasi, Putri Lola juga sangat
membantu rumah sakit untuk mengubah pendekatan yang sangat penting dalam
perawatan.
Kisah Lola bagi rumah sakit adalah bagian dari serangkaian strategi yang
digunakan untuk menempatkan pengalaman pasien di lini depan dan
memastikan bahwa perawatan yang berpusat pada individu sangat penting dan
wajib untuk diaplikasikan ke seluruh internal organisasi dan dipahami oleh semua
petugas.
Kini materi pendekatan yang berpusat pada kebutuhan individu (pasien) menjadi
materi pelatihan wajib yang diberikan kepada semua petugas di rumah sakit
Royal Melborne. Selain itu, pihak rumah sakit juga membuat instrumen survey
bagi para pasien pasca perawatan di rumah sakit untuk mengetahui sejauh mana
pengalaman mereka selama perawatan. Survei dikirim melalui email ke semua
pasien. Terakhir, pihak rumah sakit juga telah menerapkan strategi kemitraan
dalam perawatan yang disahkan pada awal tahun 2014. Strategi ini bertujuan
untuk memberdayakan klien (pasien) untuk bersinergi membangun kapasitas
petugas rumah sakit. Strategi ini juga untuk memastikan bahwa perawatan yang
berpusat pada individu adalah hal yang penting bagi praktik klinis (perawatan).
Rumah sakit Royal Melborne menyadari bahwa kinerja perawatan di rumah sakit
bukan diukur dengan sekumpulan angka atau grafik di atas kertas, melainkan
19
Tiba-tiba suaminya jatuh sakit dan dokter yang merawat menganjurkan untuk
melakukan tes HIV, kemudian hasilnya positif, dokter itu pun kembali
mengusulkan N untuk melakukan tes dan hasilnya positif. Awalnya N merasa
kecewa dan kecewa karena telah dibohongi oleh pasangannya, namun setelah
melakukan beberapa kali konseling dengan konselor, N menjadi lebih tahu
mengenai virus HIV dan bisa menerima takdir yang sekarang dialaminya. N
menjadi termotivasi untuk melakukan perubahan perilaku untuk dirinya dan
untuk pasangannya.
pihak yang berwenang. Jika ada pendamping, minta bantuan pendamping untuk
menghadapi tenaga kesehatan tersebut.
d. Terkait permintaan obat multi bulan di masa tatanan baru (pandemi covid-19)
dimana pasien menghindari ke layanan HIV lebih sering, apa yg harus kita
lakukan?
Jawaban: Ajak dialog tenaga medis soal dampak seringnya ke layanan selama
masa tatanan baru. Sebelum dialog tentu kita menguasai ketentuan yang berlaku.
Setelah itu konfirmasi soal prosedur ketersediaan obat mulai dari Dinas Kesehatan
sampai di penyedia layanan. Kemudian, sebagai pertanyaan awal, tanyakan
mengapa pihak pemberi layanan tidak meminta sekaligus lebih banyak obat di
masa tatanan baru kepada Dinas Kesehatan? (Karena selama ini ketersediaan
obat penyedia layanan harus berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan).
e. Apa yang harus disampaikan ketika tenaga kesehatan menyatakan bahwa
pengambilan obat ARV tidak boleh diwakilkan?
Jawaban: Pasien dapat beragrumentasi dengan menyertakan dokumen
kebijakan yang menyatakan pengambilan obat dapat diwakilkan dalam kondisi
tertentu. Tentu sebelumnya pasien sudah membekali diri dengan informasi yang
jelas mengenai isi dokumen sehingga dapat berargumentasi dengan baik.
f. Apa yang harus dilakukan jika dalam konsultasi dokter menyampaikan bahwa obat
di layanan tidak tersedia?
Jawaban: Pasien dapat melakukan pengecekan ke kantor Dinas Kesehatan
setempat mengingat distribusi obat berdasarkan data Dinas Kesehatan tersebut.
Pasien dapat lebih jauh menanyakan penyebab tidak tersedianya obat, kemudian
menanyakan apa sarannya agar pasian HIV tetap dapat terus minum obat dan
kemana harus mendapatkan ARV.
7. Apa yang harus dilakukan ODHA, jika dalam konsultasi dengan dokter dilanjutkan
dengan tindakan medis berupa suntikan atau pemberian resep obat (baru) yang
belum pernah dikonsumsi dan memiliki efek samping?
Jawaban: Minta dokter memaparkan dengan jelas perihal tindakan medis tersebut
dan meminta infomed consent (berupa dokumen) sebagai permintaan persetujuan
dokter kepada pasien terkait tindakan medis yang akan dilakukan. Jika pasien
22
7. Saran-Saran
Berikut beberapa masukan dari hasil diskusi kelompok terfokus dan wawancara
mendalam untuk mendorong penerapan PBKI:
a. Pelatihan pengurangan stigma dan diskriminasi dengan peserta penggabungan
tenaga kesehatan dan komunitas sebagai expert. Pelatihan Expert Pasient
Training (EPT) sudah pernah dilakukan dan harus dihidupkan kembali;
b. Peningkatan kapasitas komunitas terkait Lifeskill, Public Speaking, Effective
Communication, dan Advocacy. Peningkatan kapasitas untuk bisa berbicara
dengan sopan dan suasana (sedikit) formal dengan tenaga kesehatan
membutuhkan sedikit keberanian sekaligus tata bahasa yang lebih terstruktur;
c. Diadakannya pertemuan koordinasi antara pasien (HIV) dengan petugas
layanan;
d. Peningkatan layanan ramah komunitas. Terkait upaya peningkatan layanan
ramah komunitas, pihak layanan kesehatan semestinya melibatkan komunitas
seperti apa sebenarnya maksud dari layanan yang ramah komunitas;
e. SOGIE SC training bagi layanan kesehatan. Pelatihan spesifik mengenai
pemahaman SOGIE SC sangat penting bagi penyedia layanan agar stigma dan
perlakuan pembedaan (diskriminasi) tidak terjadi.
23
Daftar Pustaka
1. Boyd, Cynthia M. and Gregory M. Lucas. 2015.”Patient-centered care for people living with
multimorbidity.” Dikutip dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4144702/
2. Dewi, Miralda Septri, Zahroh Shaluhiyah, Antono Suryoputro. 2017. “Praktik Dokter Dalam
Pemberian Pelayanan Kesehatan Pada Pasien HIV dan AIDS di Rumah Sakit Rujukan di Kota.”
dikutip dari https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jpki/article/view/18184
3. End of life – Ideas for Practice: Case Study. Dikutip dari
https://www.scie.org.uk/adults/endoflifecare/ideasforpractice/personcentredcare.asp)
4. fhi360. 2001. “A synopsis of Differentiated care for Art Program Managers.” 2001. Fhi360.
5. Health Innovation Network. “What is person-centred care and why is it important.” See link:
www.hin-southlondon.org
6. Health. Vic.2020. “Person centred practice case study.” – The Royal Melborne Hospital. Dikutip
dari https://www2.health.vic.gov.au/hospitals-and-health-services/patient-care/older-
people/resources/implementation/case-study-pcc)
7. Kementrian Kesehatan, “Laporan Perkembangan HIV/AIDS & Penyakit Infeksi Menular Seksual
(PIMS) Triwulan III Tahun 2020. Promosi Kesehatan, Kemenkes.
8. Kementerian kesehatan, “Pemberdayaan Masyarakat, Sarat akan Makna.’ Dikutip dari
https://promkes.kemkes.go.id/?p=1490
9. NDP Fact Sheet. 2020. “What is a person centred approach?” dikutip dari
https://www.ndp.org.au/images/factsheets/346/2016-10-person-centred-approach.pdf
10. NSW Government.2020. “What is a person-centred approach?”
Dikutip dari
https://www.health.nsw.gov.au/mentalhealth/psychosocial/principles/Pages/person-
centred.aspx
11. PEPFAR. 2020. “Client-Centered HIV Services.” Dikutip dari https://www.state.gov/wp-
content/uploads/2020/07/PEPFAR_Client-Centered-HIV-Services_Fact-Sheet_2020.pdf
12. Pantelic, Marija, Christine Stegling, Sally Shackleton, Enrique Restoy. 2020. “Power to
participants: a call for person-centred HIV prevention services and research.” Dikutip dari
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/jia2.25167
13. Protokol Pelaksanaan layanan HIV/AIDS selama pandemic COVID-19 Nomor
Pm.02.02/3/2022/2020
14. Wulansari. 2016. “Client-Centered Counseling Dalam menguatkan Kondisi psikologis para
penderita HIV/AIDS.” dikutip dari
http://repository.uinbanten.ac.id/109/1/Wulansari%20%28123400161%29.pdf
.