Anda di halaman 1dari 24

2021

PENDEKATAN YANG BERPUSAT


PADA KEBUTUHAN INDIVIDU
(People-Centred Approach) Di
LAYANAN HIV
1

Daftar Isi

Daftar Isi
Pengantar …………………………………………………………………………………………………………………………………………2

Pendekatan yang Berpusat Pada Kebutuhan Individu: Pengertian, Penerapan, & Dampaknya ………...3

Tantangan Komunitas di Layanan HIV ..……………………………….……………………………………………………….….7

Penerapan PBKI di Layanan HIV di Era Tatanan Baru (Pandemi Covid-19) ..……………………………………. 11

Mendorong Penerapan PBKI di Layanan HIV dan Rambu-rambu …………….……………………………………. 13

Praktik Baik Penerapan PBKI ………………………………………………………………………………………………………...16

Tanya Jawab Seputar PBKI ……………………………………………………………………………………………..………20

Saran-saran …………………………………………………………………………………………………………………………………...22

Daftar Pustaka
2

1. PENGANTAR
Pendekatan yang berjarak antara tenaga kesehatan dan pasien selama ini kerap
terjadi. Pendekatan ini secara sengaja maupun tidak terbentuk dari sistem yang ada.
Beberapa rujukan bahkan mengenalnya pendekatan yang berpusat pada sistem.
Pendekatan berjarak dimaksud berakibat minimnya dialog antara dokter dan pasien.
Dalam pendekatan yang berpusat pada sistem, pasian adalah klien yang harus
dilayani, dan tenaga kesehatan adalah yang melayani. Hubungan ini secara tidak
sadar, diantaranya menciptakan kepasifan bagi pasien. Di lain pihak, dokter atau
perawat tidak pernah meminta pasien untuk berbicara. Dalam pendekatan yang
berpusat pada sistem menciptakan relasi yang tidak berimbang dengan posisi tawar
yang lemah bagi pasien.

Buku pedoman ini memperkenalkan sebuah pendekatan yang tidak berpusat pada
sistem namun mengedepankan hak asasi manusia sebagai basis dimana individu
yang justru mengetahui kebutuhannya sebagai pusat. Lebih jauh, pendekatan ini
memperlakukan pasien sebagai individu yang menentukan dirinya sendiri, dan tenaga
medis (dokter dan perawat) memberikan support atau memfasilitasi. Pendekatan ini
dikenal dengan pendekatan yang berpusat kepada kebutuhan individu atau people-
centred approach. Pendekatan ini sebenarnya yang sudah cukup lama berkembang
dan diterapkan dibeberapa negara, dan tidak hanya menyangkut layanan medis.
Layanan-layanan lain, seperti disabilitas mental, perawatan lanjut usia, dan konseling
sudah cukup lama menerapkan pendekatan ini.

Di beberapa rujukan bahan bacaan, pendekatan yang berpusat kepada kebutuhan


individu atau people- centred approach memiliki nama-nama yang berbeda (dalam
Bahasa Inggris), namun pengertian dan maknanya sama, seperti person-centred care
dan client-centred approach. Pada pedoman ini istilah yang digunakan adalah people-
centred approach atau dalam Bahasa Indonesia disebut Pendekatan Berpusat Pada
Kebutuhan Individu (PBKI). Pendekatan ini bertolak belakang dengan pendekatan
yang berpusat pada sistem yang tidak memposisikan individu (pasien) sebagai subyek
yang memiliki keleluasan berdialog, mendapatkan informasi yang komprehensif
3

diantaranya tentang upaya pemulihan atau pemberian obat, dan bertanggungjawab


atas dirinya sendiri. Pendekatan berpusat pada sistem menganggap pasian sebagai
objek cenderung pasif dan menerima saja apa yang disampaikan tenaga medis
(dokter) atau bersifat directive. Sebagai manusia, pasien adalah individu yang
mempunyai kepentingan terbaik atas dirinya sendiri sehingga semestinya memiliki
kesempatan untuk bertanya, berdialog, dan menyampaikan aspirasinya kepada
tenaga medis.

Studi cepat yang dilakukan oleh penyusun buku pedoman ini menunjukkan bahwa
komunitas (ODHA) menghadapi tantangan yang patut diperhatikan ketika mengakses
layanan HIV. Hasil studi ini memperkuat pentingnya penerapan pendekatan yang
berpusat kepada kebutuhan individu.

Di bagian akhir, buku pedoman ini memuat sejumlah saran-saran agar PBKI dapat
diterapkan dan menjadi komitmen bersama individu (pasien) dan penyedia layanan
(provider). Buku pedoman ini bisa digunakan oleh siapa saja, namun secara khusus
diperuntukan bagi individu (pasien) yang merupakan bagian dari komunitas (ODHA)
dan penyedia layanan HIV (provider).

2. Pendekatan yang Berpusat Pada Kebutuhan Individu: Pengertian, Penerapan,


dan Dampaknya
2.1 Pengertian pendekatan yang berpusat pada kebutuhan individu
Pendekatan yang berpusat pada kebutuhan individu menempatkan individu sebagai
pusat dan diperlakukan sebagai subyek. Fokus pendekatan ini adalah melihat
individu bukan semata kepada kondisi (tubuh/sakitnya) yang kemudian harus
dipulihkan, melainkan kepada hal yang lebih penting, yakni keberadaannya sebagai
pribadi yang dapat menentukan keputusan terbaik bagi dirinya sendiri. Adapun
dukungan diluar individu, harus fokus kepada mendengar aspirasi kebutuhan individu
dengan segala keunikannya1.

1
Lihat https://www.health.nsw.gov.au/mentalhealth/psychosocial/principles/Pages/person-centred.aspx
4

Pengertian lain, namun bermakna sama dikemukakan oleh Seligmen (Psikolog


Internasional) yang menyebutkan PBKI adalah sebuah konsep yang menekankan
kepada persepsi dan perasaan pasien tentang dunia mereka sendiri yang memiliki
perbedaan dengan individu lainnya. Dalam beberapa situasi, pendekatan ini seolah-
olah tidak menganggap penting soal diagnosa atau kondisi penyakit pasien karena
yang lebih dianggap penting adalah keberhasilan terapi (non-medis) daripada riwayat
penyakit pasien. Di beberapa kasus, tidak jarang para praktisi tenaga medis
menggunakan PBKI dan memilih untuk mengabaikan konsep riwayat kasus klinis.

Kementerian kesehatan2 memiliki istilah yang berbeda namun memiliki pengertian


dan makna yang sama dengan PBKI, yakni pendekatan yang berpusat pada
kebutuhan klien (client-centred approach). Istilah ini umumnya sudah banyak
digunakan diantaranya dalam proses konseling pskologi dan bagian dari terapi
pemulihan pasien. Lebih jauh, pendekatan ini pada prinsipnya sebagai upaya
mendorong pemberdayaan klien yang diawali dengan kesadaran klien tentang
pentingnya perubahan pada dirinya, dengan demikian diharapkan klien memiliki
cukup pengetahuan untuk melakukan perubahan tersebut ditambah dengan memiliki
rasa percaya diri yang tinggi. Secara sederhana, ada tiga hal yang harus dimiliki
pasien dalam pendekatan yang berpusat pada kebutuhan klien, yakni perubahan
(conciusness); tahu dan terampil dalam bertindak (competence) serta percaya diri
(confidence). Dalam penjelasan lebih jauh, ketiga hal yang dimiliki klien tersebut serta
merta akan menumbuhkan rasa tanggung jawab sebagai satu-satunya pribadi yang
paling mengenal dan mengetahui kondisinya sendiri dan merupakan seorang ahli
bagi dirinya sendiri bukan orang lain. Adapun peran tenaga medis, seperti dokter
dan perawat merupakan provider yang membantu klien dalam mengambil keputusan
dan bertindak secara tepat dengan menyediakan informasi, memberikan
nasehat/rekomendasi, dan dukungan kepada klien. Dengan demikian, tenaga medis
perlu menyadari bahwa keberadaan mereka memang sebagai “ahli” dalam konteks
medis (semata), namun klien adalah yang orang paling ahli untuk keseluruhan

2
Lihat https://promkes.kemkes.go.id/?p=1490
5

kehidupannya. Sinergisitas antara klien (pasien) dan tenaga medis sangat penting
untuk terealisasinya pendekatan yang berpusat kepada kebutuhan klien.

Dalam konteks layanan HIV, berbagai studi menunjukkan bahwa pendekatan yang
berpusat pada kebutuhan individu atau klien tidak saja mengeliminasi stigma, namun
yang lebih penting dapat meningkatkan pengembangan diri individu ke arah yang
positif. Sebagai ilustrasi, setelah divonis HIV, umumnya pasien merasa frustrasi dan
menarik diri dari lingkungan. Mereka juga merasa tidak berdaya, putus asa, dan tidak
memiliki keyakinan atas kehidupannya. Di sisi lain, mereka juga tidak memiliki
keterbukaan atas penyakit yang dideritanya. Ada kekhawatiran jika orang lain tahu
kondisinya, maka akan dikucilkan dan berakibat pada kehidupannya termasuk
pekerjaannya. Lebih jauh, beberapa studi menunjukkan bahwa umumnya ODHA
memiliki keterbatasan dalam mengembangkan hubungan sosial dan kehidupan
spiritualnya serta kurang mendapatkan dukungan baik dari keluarga maupun orang-
orang sekitar. Inilah salah satu alasan mendasar mengapa pendekatan yang
berpusat pada kebutuhan individu menjadi sangat relevan diterapkan. Untuk lebih
jauh mengapa PBKI penting untuk diterapkan, akan dibahas pada bagian 2.2 buku
pedoman ini. Namun sebelum itu, kita harus mengetahui apa yang harus
diperhatikan ketika pendekatan berpusat pada kebutuhan individu akan diterapkan?
Berdasarkan berbagai sumber, berikut hal-hal yang harus diperhatikan ketika hendak
menerapkan PBKI:
 Mendukung individu tersebut untuk terlibat dalam pengambilan keputusan
tentang kehidupan mereka;
 Memperhitungkan pengalaman hidup, usia, jenis kelamin, budaya, warisan,
bahasa, kepercayaan, dan identitas setiap individu;
 Memprioritaskan kebutuhan akan layanan dan dukungan yang fleksibel agar
sesuai dengan keinginan dan prioritas individu tersebut;
 Sebagai prioritas, individu-individu diakui sebagai ahli dalam hidup mereka
sendiri dengan fokus pada apa yang mereka dapat lakukan, bantuan apa pun
yang dibutuhkan dan jadikan jejaring individu sebagai bentuk dukungan kepada
individu;
6

 Pendekatan yang berpusat pada individu harus mendukung dan memungkinkan


seseorang untuk membangun dan menjaga kendali atas kehidupan mereka
sendiri.

2.2. Pengaplikasian PBKI dalam kehidupan sehari-hari


Pengaplikasian PBKI di layanan kesehatan secara umum dapat terdeteksi dalam
kehidupan sehari-hari yang pada akhirnya dapat merubah prilaku pasien ke arah
yang positif. Berikut beberapa contoh pengaplikasian PBKI terhadap individu
(pasien):
a) Pasein diberi pilihan pada waktu makan tentang makanan apa yang mereka
sukai;
b) Pasien memiliki kesempatan untuk memutuskan bersama apa yang akan
dikenakan pasien hari itu, dengan mempertimbangkan kepraktisan dan
preferensi mereka;
c) Pasien dapat mengubah waktu tidur dan waktu bangun tergantung pada saat
mereka merasa paling produktif;
d) Pasein dapat menemukan cara untuk memberikan perawatan atas dirinya di
rumah mereka sendiri jika ini adalah tempat yang dirasa paling nyaman;
e) Pasien dapat melakukan tugas sehari-hari sendiri sejauh disediakan alat-
alatnya, seperti tempat duduk di kamar mandi atau alat tambahan yang
membantu dalam memakai sepatu;

2.3 Dampak diterapkannya Pendekatan yang Berpusat Pada Kebutuhan Individu


Terdapat sejumlah dampak positif pasca diterapkannya PBKI. Point-point dibawah
merupakan hasil studi tentang dampak pengaplikasian PBKI bagi individu diberbagai
sektor layanan.
a) Individu akan merasa lebih nyaman dan percaya diri dalam mengakes layanan
karena pendekatan ini sangat menjunjung tinggi martabat dan kemandirian
sekaligus membangun rasa saling menghormati. Ketika pendekatan ini
diterapkan, individu sebagai pasien akan mempercayai tenaga kesehatan untuk
7

melakukan yang terbaik bagi mereka, yang membuat situasinya lebih mudah ke
depan;
b) Individu akan terpenuhi kebutuhan emosional, sosial, dan praktisnya serta
adanya kepastian mempertahankan kualitas hidup yang tinggi;
c) Dapat mendukung mereka yang mungkin tidak dapat secara langsung
mengkomunikasikan keinginan dan kebutuhan mereka. Misalnya kondisi karena
hambatan disabilitas sehingga seseorang tidak dapat berkomunikasi secara
efektif. Misalnya, demensia, ketidakmampuan belajar, atau mereka yang tidak
memiliki kepercayaan diri untuk berkomunikasi. Perawatan yang berpusat pada
kebutuhan individu akan membantu menemukan cara yang sesuai untuk
membantu mereka berkomunikasi dan memaksimalkan kualitas perawatan
mereka yang membutuhkan.
d) Dapat meningkatkan kemandirian. Hal ini tidak hanya bermanfaat secara pribadi
bagi pasien, tetapi juga mendorong mereka untuk mengambil peran di setiap
pengambilan keputusan tentang dirinya. Ini meningkatkan keterlibatan mereka
untuk mencapai keputusan yang lebih baik dan lebih sesuai terkait perawatan
mereka sendiri. Selain itu, ini PBKI memberi mereka kepercayaan diri dan
kemampuan untuk menjaga diri mereka sendiri walaupun dengan sedikit
masukan dari pihak lain (tenaga medis).
e) Pasien lebih cenderung berpegang pada rencana pengobatan dan meminum
obat mereka jika mereka merasa dihormati, terlibat, dan dalam kendali.
f) Memotivasi pasien untuk mengadopsi perilaku kesehatan positif yang
meningkatkan dan membantu mereka mengelola kesehatan mereka sendiri.
g) Setiap orang akan merasa lebih bahagia dan lebih positif. Ini meningkatkan moral
dan kemampuan tenaga kesehatan untuk memberikan perawatan yang efektif
dan penuh kasih.
h) Waktu dan biaya yang lebih efisien.

3. Tantangan Komunitas di Layanan HIV


Hasil kajian cepat tantangan komunitas di layanan HIV yang disajikan pada pedoman
ini, patut menjadi perhatian mengingat hasil kajian cepat mengali pengalaman individu
ketika mengalami ketidaknyaman dalam mengakses layanan HIV. Pengalaman yang
8

diceritakan peserta diskusi dapat menjadi data dan informasi yang dapat dirujuk dan
mengarah pada pentingnya PBKI. Pengumpulan data kajian cepat ini dilakukan
dengan diskusi kelompok terfokus dan indept interview terhadap sejumlah informan
terpilih. Berikut profil peserta diskusi dan hasil diskusi terkait PBKI.

a. Asal daerah/wilayah
Diskusi kelompok terfokus dihadiri 24 partisipan yang berasal dari 10 provinsi.
Kesepuluh provinsi dimaksud didalamnya mencakup 23 distrik atau wilayah kerja
IAC. Berikut tabel asal daerah/wilayah partisipan diskusi kelompok terfokus:

Provinsi Jumlah
Bali 1
Banten 5
DKI Jakarta 5
Jawa Barat 3
Jawa Tengah 2
Jawa Timur 2
Lampung 1
Papua 2
Sulawesi Selatan 1
Sumatera Barat 2
Total 24

b. Kelompok usia
Untuk usia peserta diskusi paling besar usia antara 331-35 disusul usia 36-40. Katagori
usia menjadi sangat penting disampaikan untuk mengetahui kapan kali pertama peserta
mengunjungi layanan HIV. Dan 98 % peserta diskusi mengaku memang sudah terbiasa
mengakses layanan kesehatan. Sisa 2% mengakui baru 3 kali mengakses layanan HIV.
Dari sebagian besar peserta yang sudah pengalaman mengakses layanan HIV,
diharapkan bisa mendapatkan penjelasan mengenai bagaimana selama ini berinteraksi
dengan petugas layanan termasuk tenaga medis. Berikut pie chart katagori usia peserta
diskusi kelompok terfokus:
9

c. Gender
Berdasarkan gender, jumlah laki-laki yang berpartisipasi 14 orang, perempuan 8,
dan transpuan 2. Terkait orientasi seksual, 8 gay, 14 heteroseksual, 1 lesbian, dan
2 transpuan.
d. Pendidikan
Untuk latar belakang pendidikan didominasi oleh Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
(SLTA) dengan 16 peserta, sarjana (S1) 6 peserta, Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP) 1 peserta, dan Diploma Tiga (D3) 1 peserta.

PENDIDIKAN
1
PESERTA FGD 6

16
SMP SMA D3 S1

e. Ketidaknyamanan di layanan HIV

10; 42%
14; 58%

Tidak Ya
10

Berdasaran hasil diskusi, 14,58% peserta mengaku tidak merasa nyaman dalam
mengakses layanan HIV, dan 10,2% mengaku selama ini tidak pernah mengalami
kesulitan dalam mengakses layanan HIV atau merasa nyaman. Ada pun mereka yang menjawab
tidak merasa nyaman saat mendapatkan layanan HIV, menyampaikan secara spesifik ketidaknyamanan
yang mereka rasakan. Berikut data yang diperoleh:

Ketidaknyamanan Di Layanan HIV


Disarankan melakukan sterilisasi, dan diminta menandatangani surat
dalam kondisi pasrah
Komunikasi yang tidak ramah dari petugas layanan

Konseltasi dengan dokter dimana dokter memberikan nasehat, seperti


harus bertobat dan mencari pekerjaan yang lain

Pada saat kali pertama diinfokan status HIV, petugas kesehatan justru
menanyakan hal-hal pribadi dan cenderung menyalahkan

Saat akses di poli kebidanan dengan perawat yang mennyakan hal-hal


yang tidak membuat nyaman, kenapa bisa tertular dan siapa yang
menularkan dan terkesan menyalahkan karena sudah menikah

Saat pendaftaran di depan dimana petugas kurang ramah

Saat pengambilan obat, petugas membentak-bentak

Saat mengantar dampingan ke layanan HIV, dimana petugas kurang


ramah
Selama pemeriksaan di layanan HIV tidak didahului dengan ditimbang
dan ditensi, ketika ditanya dijawab ‘tidak usah’

f. Ketidaktersediaan informed consent


Berdasarkan hasil diskusi, hampir seluruh peserta menyatakan tidak pernah
diberikan informasi tentang obat yang jelas atau adanya pilihan obat lain. Hanya
dua peserta yang mengaku ditawari informed consent saat pengambilan
keputusan medis, keduanya adalah ibu rumah tangga yang diminta untuk
menggugurkan kandungan sehubungan dengan status HIV-nya.
11

4. Penerapan PBKI di Layanan HIV di Era Tatanan Baru (Pandemi Covid-19)3


Pandemi Covid 19 adalah bencana nasional yang dapat menginfeksi siapa saja
dengan penularan secara langsung maupun tidak langsung. Dalam upaya
penanggulangan Covid-19 terus diupayakan agar semua layanan kesehatan berjalan
semestinya termasuk layanan HIV/AIDS, IMS, dan PTRM.

Kementerian Kesehatan mengemukakan sejumlah ketentuan dan prosedur yang


beradaptasi dengan tatanan baru terkait layanan HIV. Ketentuan dan prosedur
tersebut tentu harus dapat dipahami oleh individu (pasien) yang sampai saat ini
mengakses layanan HIV. Berikut beberapa informasi penting yang harus diperhatikan
individu (ODHA) ketika mengakses layanan HIV di era tatanan baru ini:
a. Orang dengan status ODHA terutama dengan CD4 rendah dengan infeksi HIV
lanjut, rentan terinfeksi dibandingkan dengan masyarakat umumnya karena sistem
kekebalan tubuh yang dimiliki rendah. Namun, saat ini belum ada informasi jelas,
apakah ODHA yang stabil dalam ART memiliki potensi lebih tinggi terinfeksi Covid-
19. Atas kondisi ini, perlu dilakukan pencegahan dan pengendalian infeksi pada
ODHA. Selama ini informasi yang tersebat menyebutkan bahwa kematian karena
Covid-19 lebih tinggi pada orang yang berusia lanjut dan memiliki penyakit lain,
seperti kanker, diabetes, dan kardiovaskular.
b. ODHA dan penyalahgunaan NAPZA dapat saja terinfeksi Covid-19 melalui droplet
yang berasal dari batuk/bersin orang yang terinfeksi Covid-19. Droplet ini dapat
masuk melalui hidung, mulut, mata, kontak dekat dan atau dengan permukaan
yang terkontaminasi virus. Gejala infeksi ini serupa dengan flu biasa, seperti
demam, sakit tenggorokan, letih, sukar bernafas, dan beberapa mengalami diare
dan muntah. Oleh sebab itu perlu dilakukan penanggulanan bagi ODHA dalam
mengakses layanan HIV.
c. Layanan kesehatan bagi ODHA harus diutamakan bila terinfeksi Covid-19.
Penanganan infeksi Covid-19 tentu dengan standar protokol yang telah
ditentukan, hal ini untuk memutus penularan Covid-19 pada orang ODHA. Obat

3
Informasi diperoleh dari dokumen Kementerian kesehatan perihal Protokol Pelaksanaan layanan HIV?AIDS
selama pandemic COVID-19 Nomor Pm.02.02/3/2022/2020
12

ART dapat diberikan kepada wali dengan bukti surat pengantar dan berita acara
serah terima serta tetap merujuk pada peraturan perundang-undangan dengan
mengirimkan salinan ikhtisar perawatan HIV dan ART vie e-mail dan WhatsApp ke
petugas RR (pelaporan dan pencatatan) di layanan yang meneruskan pengobatan
ODHA. Penyerahan obat ARV untuk masa 2-3 bulan dapat dipertimbangkan bagi
ODHA yang stabil selama persediaan ARV mencukupi. Selan itu, pemberian multi
bulan ARV 2-3 bulan diprioritaskan bagi ODHA yang tinggal di wilayah episentrum
Covid-19 dan menjadi tanggung jawab badan yang berwenang.
d. Bagi ODHA yang pertama kali mendapatkan ARV, maka kontrol tiap bulan harus
dilakukan bekerjasama dengan komunitas/pendukung ODHA untuk memastikan
kondisi dan keberlangsungan pengobatan ARV. Pemberian informasi hidup bersih
dan sehat yang berkelanjutan haru dilakukan untuk mencegah penularan Covid-
19. Pengobatan ODHA dan Penyalahgunaan NAPZA dengan Covid-19 mengikuti
pedomanan nasional yang berlaku.

Berdasarkan catatan diatas, penyedia layanan HIV perlu mempertimbangkan hal-hal


berikut:
a. Strategi Layanan PDP HIV Dalam Pandemi Covid-19. ODHA memerlukan ARV
dan pemantauan kesehatannya secara rutin agar virus dapat tersupresi dan
imunitas meningkat sehingga dapat melawan penyebab infeksi dan sehat.
Intinya, saat pandemi Covid-19 diperlukan perhatian dan tindakan khusus agar
tetap sehat dan mengurangi tertular/menular. Individu sebagai bagian dari
komunitas (ODHA) seharusnya situasi pandemik Covid-19 menyebabkan
terjadinya perubahan strategi dalam layanan PDP HIV di era tatanan baru
pandemi Covid-19.
b. Layanan HIV/AIDS (ARV-PDP). Terkait layanan HIV, individu sebagai bagian dari
komunitas seharusnya paham adanya ketentuan atau prosedur baru di era
tatanan baru yang harus dilakukan oleh petugas layanan dimana mereka harus
melakukan hal-hal sebagai berikut:
1) Tersedianya unvisersal precaution/APD dan hand sanitizer di pintu masuk
dan masker untuk yang batuk;
13

2) Dahulukan pasien dengan batuk, demam, dan yang dengan gejala flu lain
untuk dipastikan bukan Covid-19;
3) Batasi ODHA yang datang, utamakan yang batuk/bergejala;
4) Berikan ARV multi bulan scriapting atau pemberian dua bulan bagi ODHA
yang stabil dan selektif;
5) Berikan ARV pada satu anggota keluarga saja, jika pasangan dan atau
anak juga ODHA;
6) Untuk pasien yang memerlukan konsultasi, siapkan kontak person dari
layanan;
7) Bagi ODHA dengan IO, advanced disease atau pertama kali mendapatkan
ARV, mereka membutuhkan kontrol perbulan;
8) Pastikan ketersediaan obat dan layanan mengikuti pedoman nasional
untuk pengendalian infeksi.
9) Tampilkan poster dan media KIE lain untuk PHBS;
10) Bagi siapapun yang bergejala dan merasakan terinfeksi dirujuk kelayanan
yang ditunjuk untuk evaluasi dan penanganan lebih lanjut.

5. Mendorong terwujudnya PBKI di Layanan HIV dan Rambu-Rambu


Untuk mendorong terwujudnya PBKI tidaklah semudah membalikan telapak tangan.
Pendekatan ini tidak akan berjalan jika hanya dipahami oleh individu sebagai pasien.
Dengan kata lain, pihak lain diluar individu juga penting untuk memahami PBKI.
Sebagaimana kita ketahui bahwa PBKI sudah berkembang di beberapa negara dan
sudah terlihat cukup efektif membantu upaya pemberdayaan atau pengembangan
individu yang tidak hanya membutuhkan upaya pemulihan kondisi medis. Pada buku
pedoman ini, terdapat beberapa catatan penting yang harus diperhatikan ketika PBKI
di layanan HIV akan diterapkan. Catatan penting dimaksud khususnya ditujukan
kepada individu yang merupakan bagian dari komunitas dan tenaga medis.

5.1 Bagi komunitas


a) Cermat dan paham regulasi dan prosedur layanan HIV
14

Sebelum melakukan diskusi/konsultasi terkait layanan HIV, sebaiknya individu


(komunitas) memperkaya diri dengan membaca dan mempelajari berbagai
sumber bacaan secara cermat. Sumber bacaan bisa berupa artikel popular atau
akademis, regulasi/ketentuan, berita atau informasi dari media massa atau dari
sosial media. Mencaritahu kebenaran informasi juga harus dilakukan, jangan
sampai terkena informasi hoax. Sebagai contoh jika individu (pasien) meminta
multi bulan untuk obat selama pendemi Covid-19, sebaiknya sudah mengetahui
dan memahami prosedur/ketentuan regulasi terkait ketersediaan obat di masa
pandemi covid-19 termasuk tantangan yang dihadapi dalam ketersediaan obat.

b) Berani dan santun berdialog dan bernegosiasi dengan tenaga kesehatan dan
lainnya
Saat merasa diri mengalami stigma dan perlakuan tidak menyenangkan dari
petugas layanan atau pihak lain, sebaiknya tidak berdiam diri atau merespon
dengan tenang dan tetap santun. Dibutuhkan simulasi dengan fokus
peningkatan kepercayaan diri dan teknik negosiasi sebelum mengambil
tindakan untuk merespon perlakuan yang tidak menyenangkan. Merespon
dengan cara membabibuta sangat tidak efektif, karena nilai upaya melakukan
pembelajarannya pun tidak tercapai.

c) Berbagi informasi diantara komunitas.


Dari berbagai kajian dan penelitian, teridentifikasi bahwa masih banyak anggota
komunitas yang belum mendapatkan informasi yang bak dan benar tentang
layanan HIV. Oleh karena itu, sebaiknya anggota komunitas ikut bergabung
dalam kelompok sebaya untuk saling berbagi pengalaman. Diharapkan
diperoleh praktik-praktik baik dari teman sebaya.

5.2 Bagi tanaga medis


a) Paham komunitas dan berpikiran terbuka
Sejumlah kajian menunjukkan bahwa stigma dan diskriminasi yang dialami
oleh ODHA di layanan HIV, salah satunya karena minimnya pengetahuan dan
15

pemahaman tenaga kesehatan tentang kehidupan komunitas. Beberapa


alasan penyebabnya adalah masih belum terbukanya pola pikir tenaga medis
dan dogmatis agama yang menghambat upaya memahami komunitas. Upaya
awal memahami komunitas adalah membuka pola pikir terhadap berbagai
nilai-nilai di masyarakat melalui berbagai sumber bacaan, video presentasi,
dan lain sebagainya. Tenaga medis harus memahami bahwa ‘perbedaan’ di
masyarakat seharusnya dilihat sebagai bagian dari keragaman dan keunikan4
yang merupakan anugerah Yang Maha Esa.

b) Interaksi intensif dengan komunitas


Salah satu upaya membuka pola pikiran dengan komunitas adalah mengenal
dan menyelami lebih jauh kehidupan komunitas. Pengalaman kehidupan
komunitas adalah sebuah nilai yang seharusnya didalami tenaga kesehatan
yang senantiasa berinteraksi dengan komunitas. Menghadiri pertemuan-
pertemuan yang mempertemukan tenaga medis dengan komunitas secara
intens dengan prinsip kesetaraan merupakan langkah bijak yang harus
dilakukan. Proses dialog dengan posisi tawar yang berimbang akan sangat
membantu proses menyelami satu sama lain. Tantangan terbesar yang
dihadapi tenaga medis adalah ‘budaya’ patron-klien yang selama ini lestari dan
menjadi hal biasa antara tenaga medis dan pasien.

Berangkat dari hasil diskusi kelompok terfokus dan beberapa literatur, terdapat
beberapa hal umum yang bisa menjadi rambu-rambu tentang ‘apa yang boleh’
dan ‘tidak boleh’ ketika menerapkan PBKI. Berikut daftar ‘yang boleh’ dan
‘tidak boleh’:

Yang boleh (Do) Tidak boleh (Don’t)


Sampaikan rasa keberatan Terbawa emosi saat
kepada petugas layanan jika menghadapi tanaga medis
mengalami perlakuan tidak yang membuat suasana tidak
nyaman. nyaman

4
Dikutip dari “A synopsis of Differentiated care for Art Program Managers.” 2001. Fhi360.
16

Arahkan pembicaraan ke hal-hal Pasif atau tidak bereaksi ketika


terkait medis jika tenaga mengalami stigma dan dibeda-
kesehatan mulai menjurus ke bedakan.
hal-hal Pribadi

Mintakan informed consent untuk Memulai dialog tanpa


keputusan terkakit medis bagi diri persiapan bekal data dan
sendiri informasi atau tidak ditemani
pendamping yang mengetahui
data dan informasi

Di masa pandemik Covid-19, Berdiam diri saja saat


ajukan obat untuk multi bulan. mengetahui prosedur layanan
Jika tidak diperkenankan tidak semestinya (tidak melalui
tanyakan alasannya dan telusuri pengukuran berat badan
ketersediaan obat dari Dinas sebelum konsultasi dll),
Kesehatan setempat. tanyakan petugas layanan dan
ajukan untuk sesuai prosedur

Laporkan petugas layanan Menerima obat tidak sesuai


melalui mekanisme yang ada, jumlah atau berdiam diri saja
jika tidak ada upaya perubahan saat petugas menyampaikan
untuk memberikan kenyamanan. obat tidak tersedia.

Menggunakan Informasi/berita
yang belum tentu
kebenarannya atau hoax ketika
berdialog dengan tenaga medis

6. Praktik Baik Penerapan PBKI


Praktik baik yang ditampilkan pada buku pedoman ini bisa menjadi inspirasi bagaimana
PBKI ini diaplikasikan. Ilustrasi penerapan PBKI yang ditampilkan tidak terpaku pada
layanan HIV, namun di layanan-layanan lain, seperti perawatan lansia, rumah sakit, dan
konseling/terapi. Yang tidak kalah penting, salah satu contoh praktik baik yang
ditampilkan di pedoman ini mengetengahkan strategi atau cara bagaimana agar pihak
penyedia layanan (provider) menerapkan PBKI sebagai bagian penting dalam
layananannya.

A. Kisah Insipiratif Penerapan PBKI di Australia: Lucy, lansia yang berbahagia


memilih tinggal di tempat pilihannya di akhir hayatnya.
Lucy berusia 96 tahun ketika dirujuk ke Layanan Perawatan Elmgrove House. Dia
sebelumnya tinggal sendiri selama 40 tahun di sebuah rumah dengan perawatan
17

rumah yang kemudian tidak lagi dianggap aman baginya karena Ia seringkali
jatuh.
Ketika dipindahkan ke Elmgrove House, Lucy cepat beradaptasi dengan rumah
barunya. Putrinya membantunya mendekor ruangan kamar dengan lukisan dan
barang-barang kenangan Lucy. Lucy pun berteman dengan beberapa penghuni
Elmgrove House. Putrinya, teman dekat, dan kerabatnya mengunjungi Lucy
secara teratur untuk dukungan sosial dan emosional. Lucy juga memiliki
organisasi amal yang bernama Blind Society yang mendukungnya dan sering
mengunjunginya secara teratur.
Dalam satu tahun tinggal di Elmgrove House, kesehatan fisik dan mental Lucy
mulai memburuk dengan cukup cepat. Dia menderita demensia dan kehilangan
mobilitasnya yang berdampak pada kondisi kesehatannya secara umum.
Peralatan dan dukungan disediakan untuk Lucy termasuk keterlibatan dan
dukungan intens dari ahli gizi. Lucy membutuhkan dukungan dan pengawasan
yang intens untuk memastikan dia aman.
Hasil assessment perawatan tang dilakukan pekerja sosial menunjukkan bahwa
Lucy perlu dipindahkan ke panti jompo. Namun, Lucy tidak ingin dipindahkan
karena dia senang tinggal di Elmgrove House dan ingin tinggal lebih lama. Putri
Lucy sedih memikirkan ibunya yang harus dipindahkan lagi, dan merasa bahwa
jika ibunya bahagia tinggal di Elmgrove House. Menurutnya, dia tidak perlu
dipindahkan ke tempat lain. Akhirnya, staf Elmgrove House mendukung
keputusan Lucy untuk tinggal di Elmgrove House.
Setelah peninjauan dan penilaian kembali dengan melibatkan dokter umum,
Elmgrove House memberikan tambahan jam perawatan untuk Lucy dan itu
disetujui oleh petugas layanan sosial yang memantau kondisi Lucy. Apa yang
harus dilakukan untuk Lucy, harus melibatkan banyak pihak untuk saling bermitra
termasuk dengan pihak perawatan diluar Elmogrove House untuk memastikan
bahwa Lucy sudah cukup aman dan kebutuhan perawatannya terpenuhi secara
memadai.
Hasil peninjauan dan penilaian yang dilakukan membuat perbedaan yang
signifikan untuk Lucy. Lucy merasa sangat bahagia karena keinginannya untuk
tinggal di Elmgrove House terpenuhi meski kondisi kesehatannya memburuk. Ini
adalah keputusan Lucy dimana diakhir hayatnya ia bahagia bersama teman-
teman di Elmgorve House.
Para staf yang merawat Lucy pun sangat senang dengan apa yang diputuskan
oleh Lucy. Mereka mau melakukan segalanya untuk memastikan kebutuhan
Lucy, baik fisik maupun emosional terpenuhi. Kami semua berkumpul untuk
mendukung Lucy dan dia masih bahagia dan tersenyum bahkan selama hari
terakhir hidupnya.
Lucy tetap tinggal di Elmgrove House sampai akhir hayatnya. Dia dikelilingi oleh
wajah-wajah dan orang-orang yang dikenalnya, yang membuatnya sangat
nyaman. Meskipun putrinya merasa sulit untuk mengatasi hari-hari terakhir
ibunya, dia merasa didukung dan diyakinkan. Dia bersyukur bahwa Lucy
meninggal dengan damai di tempat yang sekarang dia sebut rumah, yang sangat
berarti baginya.
18

B. Kisah Inspirastif Proses PBKI dari Cerita Lola di Rumah Sakit Royal Melbourne,
Australia.
Lola seorang pasien di rumah sakit mengalami kesulitan komunikasi setelah
stroke dan memiliki kondisi fisik yang cukup lemah. Putrinya yang banyak
menghabiskan waktu bersama Lola di rumah sakit merasa bahwa ibunya
diabaikan oleh pegawai rumah sakit dimana para pegawai terlihat tidak
meluangkan waktu yang cukup untuk mencoba mencari tahu kebutuhan ibunya
atau mengetahui apa yang diinginkan ibunya. Ia juga merasakan minimnya
komunikasi antara pegawai rumah sakit dan pengasuh ibunya (termasuk dirinya).
Selain itu, terlihat tidak ada minat yang ditunjukkan oleh para pegawai untuk
memulai percakapan dan berinteraksi intensif dengan ibunya.
Keluhan putri Lola kemudian menjadi perhatian pegawai senior di rumah sakit.
Forum diskusi dilakukan internal rumah sakit dengan melibatkan pemimpinan
rumah sakit. Diksusi fokus kepada keluhan pasien yang harus ditindaklanjuti dan
dimanfaatkan secara konstruktif untuk kemajuan praktik perawatan di rumah
sakit. Diskusi dihadiri berbagai pihak terkait agar semuanya mengetahui
persoalan dan bagaimana bahu membahu mengatas persoalan yang ada.
Keluhan yang diterima rumah sakit menjadi masukan dimana ke depan dapat
meningkatkan performa perawatan pasien. Menariknya, pihak rumah sakit yang
belajar dari pengalaman keluhan putri Lola, mendokumentasikan semua proses
dalam bentuk video yang tujuannya agar dapat menjadi inspirasi sebuah praktik
baik terkait perawatan. Di dalam video, pihak rumah sakit tidak merasa canggung
menyatakan bahwa sebelumnya mereka sudah gagal dalam memberikan
perawatan terbaik kepada pasien karena tidak melihat perawatan yang berpusat
kepada kebutuhan individu.
Sebagai informasi, putri Lola adalah seorang profesional dan berpengalaman
dalam perawatan, ketika ia merawat ibunya, dia hanya ingin menciptakan
sesuatu yang positif. Bagi pihak rumah sakit, kehadiran putri Lola justru sangat
menguntungkan selain sangat pandai berargumentasi, Putri Lola juga sangat
membantu rumah sakit untuk mengubah pendekatan yang sangat penting dalam
perawatan.
Kisah Lola bagi rumah sakit adalah bagian dari serangkaian strategi yang
digunakan untuk menempatkan pengalaman pasien di lini depan dan
memastikan bahwa perawatan yang berpusat pada individu sangat penting dan
wajib untuk diaplikasikan ke seluruh internal organisasi dan dipahami oleh semua
petugas.
Kini materi pendekatan yang berpusat pada kebutuhan individu (pasien) menjadi
materi pelatihan wajib yang diberikan kepada semua petugas di rumah sakit
Royal Melborne. Selain itu, pihak rumah sakit juga membuat instrumen survey
bagi para pasien pasca perawatan di rumah sakit untuk mengetahui sejauh mana
pengalaman mereka selama perawatan. Survei dikirim melalui email ke semua
pasien. Terakhir, pihak rumah sakit juga telah menerapkan strategi kemitraan
dalam perawatan yang disahkan pada awal tahun 2014. Strategi ini bertujuan
untuk memberdayakan klien (pasien) untuk bersinergi membangun kapasitas
petugas rumah sakit. Strategi ini juga untuk memastikan bahwa perawatan yang
berpusat pada individu adalah hal yang penting bagi praktik klinis (perawatan).
Rumah sakit Royal Melborne menyadari bahwa kinerja perawatan di rumah sakit
bukan diukur dengan sekumpulan angka atau grafik di atas kertas, melainkan
19

diukur dengan seberapa jauh dapat mengetahui dan memahami kebutuhan


individu.

C. Client-Centred Counseling Dalam Menguatkan Kondisi Psikologis ODHA


Client-Centred Counseling atau pendekatan yang berpusat kepada kebutuhan
klien dalam terapi untuk ODHA yang dilakukan RSUD dr. Dradjat Prawiranegara
yang terletak di Serang Banten cukup efektif membantu memberikan rasa
kepercayaan diiri terutama kepada pasien HIV yang baru terdeteksi. Pendekatan
yang berpusat kepada client yang dilakukan lebih kepada pemberian informasi
signifikan yang diberikan konselor kepada klien sesuai dengan kebutuhannya,
karena dalam Client-Centered Counseling pemaknaan pemberian informasi akan
menambah wawasan pengetahuan ODHA untuk melakukan tindakan. Beberapa
keberhasilan penggunaan Client-Centred Counseling yang teridentifikasi
diantaranya:
a. H, ODHA yang berusia 30 tahun. Dia merupakan seorang supir dan H ketika di
wawancarai dalam keadaan sakit yaitu kurus, dan pucat. Sakit yang
dideritanya yaitu demam dan sariawan disekitar bibir dan lidahnya. H kaget
dan cemas ketika pertama kali mendengar terinfeksi virus HIV. Namun, setelah
mendapatkan konseling dari pihak RS, H berpendapat bahwa semenjak
mengikuti informasi yang berikan, H bisa kembali menaikan berat badannya,
bisa menjaga daya tahan tubuhnya serta yang paling penting H menjadi
bersemangat kembali untuk menggali hidupnya.
b. T, ODHA, yang berusia 32 tahun. Dia merupakan mantan pecandu narkoba.
Kondisi fisik T sangat bagus, padat dan berisi. T seperti orang yang tidak
terinfeksi virus HIV. Ketika awal-awal mengetahui statusnya, T sangat
menutup diri, bahkan dia tidak mau bercerita kepada keluarganya. T hanya
mau terbuka kepada konselor rumah sakit. Akhirnya konselor memberikan
informasi tentang bagaimana konseling membuka status kepada orang lain,
konselor pun menambahkan bahwa dukungan keluarga sangat berarti untuk
para ODHA. T memutuskan untuk meminta bantuan konselor agar membuka
statusnya kepada keluarganya. Ketika koseling sudah dilakukan dan keluarga
T telah diberikan informasi mengenai virus HIV, T sekarang merasa
keluarganya merangkul dirinya dan T sudah tidak merasakan kesendirian lagi.
d. M, ODHA yang berumur 29 tahun. Kondisi fisiknya sangat kurus dan kecil,
sehingga orang yang pertama kali melihatnya kurang percaya kalau dia hampir
berkepala tiga. M enggan bercerita latar belakangnya. Dia menjawab singkat
bahwa konselor sangat membantu kehidupannya semenjak infeksi HIV itu
bersarang ditubuhnya.
e. A, ODHA berumur 26 tahun. Dia bekerja sebagai pelayan di restoran. Kondisi
fisik A sangat kurus namun dia adalah sosok yang ceria. A bercerita bahwa dia
sering bergonta-ganti pasangan seks, dan akhirnya A terinfeksi virus HIV.
Pendapat A mengenai pelayanan yang dilakukan konselor sangat positif,
karena berkat konseling dari konselor, A menjadi semangat dan termotivasi
untuk melakukan perubahan perilaku dengan perilaku barunya yang lebih
berkualitas.
f. N, ODHA berumur 25 tahun. Dia merupakan seorang ibu rumah tangga. N
sudah menjalani pernikahan dengan laki-laki yang dicintainya selama 4 tahun.
20

Tiba-tiba suaminya jatuh sakit dan dokter yang merawat menganjurkan untuk
melakukan tes HIV, kemudian hasilnya positif, dokter itu pun kembali
mengusulkan N untuk melakukan tes dan hasilnya positif. Awalnya N merasa
kecewa dan kecewa karena telah dibohongi oleh pasangannya, namun setelah
melakukan beberapa kali konseling dengan konselor, N menjadi lebih tahu
mengenai virus HIV dan bisa menerima takdir yang sekarang dialaminya. N
menjadi termotivasi untuk melakukan perubahan perilaku untuk dirinya dan
untuk pasangannya.

7. Tanya Jawab Seputar PBKI


a. Apa yang harus dilakukan ODHA jika mengalami stigma dan diskriminasi dari
tenaga medis atau orang-orang sekitar (pasien lain) ketika mengakses layanan
kesehatan?
Jawaban: Bersikap biasa dan tidak terbawa emosi. Kepada tenaga medis,
sampaikan dengan tenang bahwa apa yang dilakukannya keliru tidak sesuai
dengan ketentuan terkait pelarangan stigma dan diskriminasi dan etika dalam
memberi layanan prima. Setelah itu meminta tenaga medis tidak mengulanginya
lagi. Kepada orang-orang sekitar (pasien lain), cukup berdiam diri saja. Jika pada
tahap menganggu sampaikan bahwa apa yang telah dilakukannya tidak
mengandung sikap saling menghormati.
b. Apa yang harus kita lakukan ketika saat konsultasi dokter, tiba-tiba dokter
memberikan pernyataan-pernyataan yang bersifat pribadi dan tidak ada
hubungannya dengan pemeriksaan medis?
Jawaban: Tetap tenang namun tidak menggubris dan kita arahkan pada konsultasi
mengenai kesehatan yang berkaitan dengan keadaan kesehatan imunitas.
c. Bagaimana bila tenaga kesehatan (perawat dan dokter) memperlakukan ODHA
dengan tidak baik sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman?
Jawaban: Sampaikan dengan baik dan tetap ramah, bahwa apa yang
dilakukannya tidak membuatnya nyaman dan sampaikan agar tidak lagi
memperlakukan kita secara buruk. Jika masih tetap tidak ada perubahan,
sampaikan akan mengadukan perlakuan buruk tenaga medis tersebut kepada
21

pihak yang berwenang. Jika ada pendamping, minta bantuan pendamping untuk
menghadapi tenaga kesehatan tersebut.
d. Terkait permintaan obat multi bulan di masa tatanan baru (pandemi covid-19)
dimana pasien menghindari ke layanan HIV lebih sering, apa yg harus kita
lakukan?
Jawaban: Ajak dialog tenaga medis soal dampak seringnya ke layanan selama
masa tatanan baru. Sebelum dialog tentu kita menguasai ketentuan yang berlaku.
Setelah itu konfirmasi soal prosedur ketersediaan obat mulai dari Dinas Kesehatan
sampai di penyedia layanan. Kemudian, sebagai pertanyaan awal, tanyakan
mengapa pihak pemberi layanan tidak meminta sekaligus lebih banyak obat di
masa tatanan baru kepada Dinas Kesehatan? (Karena selama ini ketersediaan
obat penyedia layanan harus berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan).
e. Apa yang harus disampaikan ketika tenaga kesehatan menyatakan bahwa
pengambilan obat ARV tidak boleh diwakilkan?
Jawaban: Pasien dapat beragrumentasi dengan menyertakan dokumen
kebijakan yang menyatakan pengambilan obat dapat diwakilkan dalam kondisi
tertentu. Tentu sebelumnya pasien sudah membekali diri dengan informasi yang
jelas mengenai isi dokumen sehingga dapat berargumentasi dengan baik.
f. Apa yang harus dilakukan jika dalam konsultasi dokter menyampaikan bahwa obat
di layanan tidak tersedia?
Jawaban: Pasien dapat melakukan pengecekan ke kantor Dinas Kesehatan
setempat mengingat distribusi obat berdasarkan data Dinas Kesehatan tersebut.
Pasien dapat lebih jauh menanyakan penyebab tidak tersedianya obat, kemudian
menanyakan apa sarannya agar pasian HIV tetap dapat terus minum obat dan
kemana harus mendapatkan ARV.
7. Apa yang harus dilakukan ODHA, jika dalam konsultasi dengan dokter dilanjutkan
dengan tindakan medis berupa suntikan atau pemberian resep obat (baru) yang
belum pernah dikonsumsi dan memiliki efek samping?
Jawaban: Minta dokter memaparkan dengan jelas perihal tindakan medis tersebut
dan meminta infomed consent (berupa dokumen) sebagai permintaan persetujuan
dokter kepada pasien terkait tindakan medis yang akan dilakukan. Jika pasien
22

menolak, sampaikan kepada dokter dan tidak menandatangani dokumen


dimaksud.

7. Saran-Saran
Berikut beberapa masukan dari hasil diskusi kelompok terfokus dan wawancara
mendalam untuk mendorong penerapan PBKI:
a. Pelatihan pengurangan stigma dan diskriminasi dengan peserta penggabungan
tenaga kesehatan dan komunitas sebagai expert. Pelatihan Expert Pasient
Training (EPT) sudah pernah dilakukan dan harus dihidupkan kembali;
b. Peningkatan kapasitas komunitas terkait Lifeskill, Public Speaking, Effective
Communication, dan Advocacy. Peningkatan kapasitas untuk bisa berbicara
dengan sopan dan suasana (sedikit) formal dengan tenaga kesehatan
membutuhkan sedikit keberanian sekaligus tata bahasa yang lebih terstruktur;
c. Diadakannya pertemuan koordinasi antara pasien (HIV) dengan petugas
layanan;
d. Peningkatan layanan ramah komunitas. Terkait upaya peningkatan layanan
ramah komunitas, pihak layanan kesehatan semestinya melibatkan komunitas
seperti apa sebenarnya maksud dari layanan yang ramah komunitas;
e. SOGIE SC training bagi layanan kesehatan. Pelatihan spesifik mengenai
pemahaman SOGIE SC sangat penting bagi penyedia layanan agar stigma dan
perlakuan pembedaan (diskriminasi) tidak terjadi.
23

Daftar Pustaka

1. Boyd, Cynthia M. and Gregory M. Lucas. 2015.”Patient-centered care for people living with
multimorbidity.” Dikutip dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4144702/
2. Dewi, Miralda Septri, Zahroh Shaluhiyah, Antono Suryoputro. 2017. “Praktik Dokter Dalam
Pemberian Pelayanan Kesehatan Pada Pasien HIV dan AIDS di Rumah Sakit Rujukan di Kota.”
dikutip dari https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jpki/article/view/18184
3. End of life – Ideas for Practice: Case Study. Dikutip dari
https://www.scie.org.uk/adults/endoflifecare/ideasforpractice/personcentredcare.asp)
4. fhi360. 2001. “A synopsis of Differentiated care for Art Program Managers.” 2001. Fhi360.
5. Health Innovation Network. “What is person-centred care and why is it important.” See link:
www.hin-southlondon.org
6. Health. Vic.2020. “Person centred practice case study.” – The Royal Melborne Hospital. Dikutip
dari https://www2.health.vic.gov.au/hospitals-and-health-services/patient-care/older-
people/resources/implementation/case-study-pcc)
7. Kementrian Kesehatan, “Laporan Perkembangan HIV/AIDS & Penyakit Infeksi Menular Seksual
(PIMS) Triwulan III Tahun 2020. Promosi Kesehatan, Kemenkes.
8. Kementerian kesehatan, “Pemberdayaan Masyarakat, Sarat akan Makna.’ Dikutip dari
https://promkes.kemkes.go.id/?p=1490
9. NDP Fact Sheet. 2020. “What is a person centred approach?” dikutip dari
https://www.ndp.org.au/images/factsheets/346/2016-10-person-centred-approach.pdf
10. NSW Government.2020. “What is a person-centred approach?”
Dikutip dari
https://www.health.nsw.gov.au/mentalhealth/psychosocial/principles/Pages/person-
centred.aspx
11. PEPFAR. 2020. “Client-Centered HIV Services.” Dikutip dari https://www.state.gov/wp-
content/uploads/2020/07/PEPFAR_Client-Centered-HIV-Services_Fact-Sheet_2020.pdf
12. Pantelic, Marija, Christine Stegling, Sally Shackleton, Enrique Restoy. 2020. “Power to
participants: a call for person-centred HIV prevention services and research.” Dikutip dari
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/jia2.25167
13. Protokol Pelaksanaan layanan HIV/AIDS selama pandemic COVID-19 Nomor
Pm.02.02/3/2022/2020
14. Wulansari. 2016. “Client-Centered Counseling Dalam menguatkan Kondisi psikologis para
penderita HIV/AIDS.” dikutip dari
http://repository.uinbanten.ac.id/109/1/Wulansari%20%28123400161%29.pdf
.

Anda mungkin juga menyukai