Anda di halaman 1dari 9

Profil Konselor Gizi Untuk Menjawab Tantangan Zaman

Konseling merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan ahli gizi dalam
memecahkan masalah gizi yang dialami klien. Dalam konseling terdapat pendekatan yang
mendalam tentang bagaimana cara membuat diet yang sesuai dengan kondisi dan emosi
individu (klien).1 Saat ini, sesi konseling gizi berisi analisis beberapa faktor seperti ilmu gizi,
psikologi dan fisiologi, dan rencana pengobatan yang telah dinegosiasikan bersama klien
yang disertai dengan evaluasi.1 Penelitian menunjukkan bahwa konseling yang mendalam
dapat menghasilkan kepatuhan klien yang sangat baik terhadap diet yang telah direncanakan
berdasarkan penanda-penanda biologis, bahkan dengan beberapa zat gizi yang sulit
diakomodasi sekalipun di praktek nyatanya.2,3

Lalu, bagaimana profil yang sesuai yang harus dimiliki konselor gizi dalam menjawab
tantangan zaman? Untuk menjawabnya, konselor harus mulai menilik dan memahami
masalah kesehatan apa yang sedang berkembang saat ini dan akan menjadi masalah yang
akan paling sering dialami klien di masa yang akan datang sehingga konselor dapat membuat
persiapan. Hal ini bisa dilihat dari pola makan dan pola hidup kebanyakan orang. Sekarang,
hampir semua orang dapat mengakses berbagai jenis makanan. Mulai dari makanan
tradisional, modern, bahkan makanan import sehingga dari segi keterjangkauan, masyarakat
tidak memiliki masalah. Di sisi lain, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi, masyarakat dihadapkan pada berbagai kemudahan. Akhirnya, banyak makanan
yang padat energi, tinggi gula, tinggi garam, dan banyak mengandung zat aditif yang
menunjang prinsip praktis, mudah dijangkau, tahan lama, dan bisa dimakan kapan saja
namun juga dapat memenuhi kebutuhan, dalam hal ini rasa kenyang. Dengan berbagai
kemudahan ini, masyarakat menjadi kurang beraktivitas padahal kebutuhan makan selalu
terpenuhi bahkan karena padat energi banyak orang makan berlebihan. Melihat tren seperti
ini, dapat disimpulkan, kira-kira masalah kesehata apa yang akan dialami masyarakat
nantinya. Ya, jawabannya adalah penyakit degeneratif yang dipicu penimbunan lemak akibat
kurang beraktivitas dan makan berlebihan; seperti hipertensi, obesitas, diabetes mellitus tipe
2, dan penyakit jantung koroner (PJK).

Hal yang menarik adalah setiap klien yang mengeluhkan penyakit yang sama ternyata
memiliki akar penyebab yang berbeda. Misalnya, dua klien sama-sama menderita hipertensi.
Namun satu klien bercerita bahwa ia suka makan makanan yang asin sedangkan yang lain
menuturkan bahwa ia selalu tidak bisa mengontrol seberapa sering ia makan fast food. Dari
dua sisi cerita ini dapat kita simpulkan bila satu penyakit dapat berasal dari lebih dari satu
penyebab. Tapi bukan hal ini yang penting. Bagaimana cara agar kita bisa mengetahui sebab
atau cerita klien yang seperti contoh di atas kalau tidak memiliki keahlian dan keterampilan
yang sesuai? Pendekatan apa yang harus dilakukan agar klien bisa dengan terbuka mau
menceritakan masalah hidup yang sebenarnya sering dianggap pribadi ini? Pertanyaan
semacam inilah yang penting untuk ditanyakan konselor pada dirinya sendiri saat
menghadapi masalah klien di masa sekarang.

Carl Rogers menemukan terapi yang cocok agar klien mau terbuka pada konselor.
Terapi ini dikenal dengan terapi fokus individu.4 Pekerjaan Rogers masih dapat diamati pada
beberapa teori yang mendukung perubahan perilaku, termasuk wawancara motivasional, yang
juga mencakup konsep Rogerian. Terdapat 3 konsep utama dalam teori ini.1

1. Semua individual merupakan susunan dari fisik, pemikiran, dan perilaku mereka yang
menjadi satu kesatuan.
2. Semua individual berfungsi sebagai sebuah sistem yang terorganisasi yang bila
terdapat gangguan pada satu sistem maka akan mempengaruhi sistem lainnya.
3. Semua individual dapat bereaksi terhadap segala hal yang mereka rasakan dan
merupakan sebuah kenyataan bagi mereka.
Ketika konselor mencoba untuk mengubah perilaku diet, konselor juga harus
mempertimbangkan bagaimana pendapat klien mengenai perubahan tersebut. Gangguan pada
perilaku kemungkinan dapat menghasilkan perubahan pada baik fisik maupun kognitif
(pemikiran) klien. Konselor diharuskan untuk menilai persepsi klien secara menyeluruh
karena apa yang dirasakan klien pada kenyataannya mempengaruhi kemampuannya untuk
mengikuti suatu pola diet. Keterampilan dalam mendengarkan sangat penting dalam terapi
ini. Tujuan terapi yang berfokus pada klien adalah sebagai berikut. 1
1. Mengembangkan seorang individu yang lebih percaya diri dan mampu mengatur
dirinya sendiri.
2. Mengembangkan seorang individu yang memiliki persepsi diri yang realistis.
3. Mengembangkan suatu sikap yang positif terhadap diri sendiri.5
Terapi ini berfokus pada nilai dan martabat yang dimiliki oleh setiap orang.
Penekanan dalam teori ini terletak pada kemampuan untuk mengatur hidup klien sendiri dan
Berpindah ke aktualisasi diri, pertumbuhan, dan kesehatan.6
Ockene telah mengembangkan kembali konsep terapi yang berfokus kepada individu
dengan penekanannya pada klien. Perhatian dipusatkan pada pembuatan intervensi yang
sesuai untuk kebutuhan setiap klien.7 Idenya berputar konsep yang bekerja mengubah
perilaku dalam perubahan gaya hidup dimana membutuhkan penilaian yang menyeluruh
terhadap letak prioritas klien. Ide ini merupakan kunci dalam tahap penilaian gizi (tahap 1)
pada proses asuhan gizi. Tanpa penilaian terhadap perilaku gizi yang telah disesuaikan pada
tahap 1, kebutuhan-kebutuhan klien tidak akan dapat terpusat pada intervensi selama asuhan
gizi berproses ke tahap-tahap selanjutnya. 1
Konselor gizi dapat menyediakan alat-alat untuk membantu klien menyelesaikan
masalahnya sendiri dengan menilai perilaku diet mereka saat ini dan menetapkan tujuan yang
realistik untuk perubahan. Selain itu, praktisi juga dapat menilai pendapat-pendapat klien
tentang image tubuh dan perilaku-perilaku makan klien. Mengubah pendapat klien dari
negatif menjadi positif merupakan langkah awal menuju penguasaan klien terhadap
kemampuan penguatan diri. 1

Setelah memberikan terapi yang berfokus kepada klien, hendaknya konselor


mengarahkan klien yntuk dapat memberdayakan dirinya sendiri melalui suatu pendekatan
yaitu Pendekatan Manajemen Diri. Teori Manajemen Diri dari Leventhal berdasarkan konsep
pendekatan perilaku dan model kepercayaan kesehatan,8 kecakapan diri,9,10 dan manajemen
diri.11 Dasar pemikiran manajemen diri memperkenankan individual untuk memilih tujuan
yang akan mereka capai secara mandiri berdasarkan persepsi terhadap penyakit dan tantangan
yang terkait. Individual mencari, menemukan, dan memilih penanggulangan perilaku dan
mengevaluasi hasilnya dalam emosional dan kognitif. Konselor gizi adalah seorang pemandu
ahli yang menguatkan, mendukung, dan menyemangati individual saat mereka memilih,
mengevaluasi, dan menyesuaikan tujuan and strategi untuk perubahan perilaku.12-15

Dalam pendekatan manajemen diri kontemporer, konselor gizi dan klien adalah rekan.
Klien mengembangkan kemampuan dan rasa percaya diri (kepercayaan pada kecakapan diri)
melalui penguasaan pengalaman yang dipandu, model sosial, persuasi sosial, dan
pengurangan reaksi psikologis yang merugikan.16,17

Sebelum melangkah ke arah pemberian berbagai macam terapi dan pendekatan


perubahan kepada klien, konselor diwajibkan memiliki karakteristik dan kemampuan yang
efektif untuk menunjang hubungan baik dengan klien. Karena konseling gizi yang efektif
sangat dipengaruhi oleh hubungan antara klien dan praktisi diet. Karakteristik RD (Registered
Dietitian) sebagai konselor:18

1. Suportif: peran konselor adalah mendorong dan mendampingi secara positif selama
perubahan dibuat. Manfaat perubahan perilaku bila berhasil akan dirasakan sendiri
oleh klien.
2. Proses: konselor bersedia mem-follow up dan melanjutkan hubungan dengan klien
agar konseling berjalan dengan efektif. Follow up juga berguna untuk memonitor
kemajuan perubahan perilaku.
3. Kolaboratif: konseling yang efektif membutuhkan kerjasama antara konselor dan
klien dalam menyelesaikan masalah; konselor hendaknya tidak otoriter. Perubahan
dapat terjadi bila pasien menghargai adanya perubahan yang dirinya sendiri banyak
berperan memutuskan daripada hanya menaati perintah konselor.
4. Hubungan: membangun hubungan yang profesional dengan klien yang didasari
kepercayaan dan kejujuran sangat penting karena klien menganggap apa yang
disampaikan tentang pola makan dan gaya hidup merupakan informasi pribadi.
Karena itu, konselor harus memiliki karakter dan kemampuan komunikasi yang
menunjukkan sikap pendengar yang baik dan pengakuan terhadap klien untuk
membangun kepercayaan dan memacu keterbukaan diri klien saat berkonsultasi.
5. Individualis: konseling gizi yang dilakukan berdasarkan teori dan strategi yang
terkenal dapat berbeda untuk setiap klien karena dibuat sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi lingkungan individual klien.
6. Perawatan diri: walaupun konselor bertindak sebagai rekan dalam pembentukan
perubahan, klien sendirilah yang menentukan dan mempertahankan berjalannya
perubahan terhadap hidupnya; konselor tetap dimungkinkan untuk melakukan follow
up dan monitor terhadap proses.

Sedangkan karakteristik konselor yang mendukung hubungan positif dengan klien


adalah18

1. Bersikap natural: terlihat apa adanya dan tulus; memotivasi dengan spontan dan
terbuka kepada klien
2. Memiliki selera humor: membantu klien agar tidak menganggap masalahnya terlalu
serius; membantu memecahkan hambatan antara konselor dan klien
3. Fleksibel: tidak memiliki harapan yang tidak realistis
4. Optimis dan penuh harapan: klien merespon dengan baik dan menghargai dukungan
yang diberikan
5. Mendorong klien untuk berbicara: dulu klien tidak memiliki kesempatan untuk bicara,
maka terapkan komunikasi verbal dan nonverbal, seperti mengangguk dan kadang-
kadang mengucapkan “hmm”
6. Menjaga kesesuaian kontak mata: melihat klien tapi tidak dengan menatap
7. Meningkatkan bahasa tubuh dengan penuh perhatian: menggunakan sikap yang santai
dan duduk atau berdiri dengan terbuka atau menerima dengan senang hati, postur
yang tenang
8. Mendengarkan dengan pikiran terbuka dan bersemangat untuk menyelidiki; yakin
bahwa respon dan bahasa nonverbal bukan merupakan keputusan.

Selain membangun hubungan yang positif dan menunjukkan sikap pendengar yang
baik, konselor juga diharuskan mendapatkan informasi yang adekuat dan akurat dari klien.
Oleh sebab itu, membangun kemampuan komunikasi yang mendalam dan teknik-teknik
mengajukan pertanyaan yang sesuai sangat esensial bagi konselor. Berikut merupakan
kemampuan komunikasi yang efektif yang menunjukkan sikap pendengar yang aktif dan
perhatian menyeluruh terhadap klien.18

1. Mengklarifikasi (Probing)
Menegaskan keakuratan kalimat klien dengan menanyakan atau mempersilahkan
klien untuk berbicara lebih lanjut.
2. Menguraikan dengan Kalimat Sendiri (Menyimpulkan)
Memberi tahu klien bahwa konselor mendengarkan; memberi kesempatan pada
klien untuk memperbaiki bila terdapat kesalahpahaman.
3. Merespon dengan Empati
Menunjukkan bahwa konselor mengerti tentang bagaimana perasaan klien
berdasarkan situasi mereka; klien dapat merasa bahwa mereka tidak sendiri; akan
tidak efektif bila konselor hanya mengatakan kalau dia paham bagaimana
perasaan klien.
4. Menunjukkan Rasa Hormat
Memberikan pertimbangan dan penghargaan terhadap waktu dan informasi yang
klien berikan.
Pernyataan yang mengatakan bahwa konselor dan klien adalah rekan memang benar.
Tetapi, konselor gizi dapat memiliki peran yang bervariasi dan dapat berubah secara otomatis
selama konseling berlangsung.1 Hal ini membutuhkan latihan dan kerja keras konselor untuk
dapat berinteraksi dengan baik bersama klien. Idealnya, interaksi yang baik dapat dilakukan
dengan bermain peran dengan sesama teman konselor. Ketika konselor berperan sebagai
klien, maka akan terasa, kapan perubahan cara konseling dibutuhkan. Strategi-strategi
konseling gizi meningkatkan interaksi antara konselor dengan klien pada tahap yang dapat
meningkatkan menajemen diri klien dan dapat secara potensial menjamin kesuksesan
perubahan perilaku diet.1

Setelah memberikan konseling kepada klien, ada satu lagi kewajiban konselor gizi,
yaitu memberikan evaluasi dan mem-follow-up perkembangan perubahan perilaku klien.
Kedua hal ini penting untuk dilakukan karena selain untuk mengukur kesuksesan terapi, juga
diperlukan untuk menjaga kepatuhan klien pada terapi perubahan perilaku yang ia putuskan
secara mandiri. Bagi konselor, evaluasi terhadap dirinya sendiri secara indivisual sangat
penting karena manjadi bagian dari kesuksesan klien.1 Konselor dapat menjadi tidak efektif
dalam memfasilitasi klien karena berbagai hal. 1 Di sisi lain, evaluasi terhadap klien dilakukan
untuk menilai perkembangan klien. Evaluasi ini penting untuk mempertahankan pola makan
yang telah dimodifikasi. Kegiatan ini merupakan proses yang berlanjut yang harus menjadi
bagian dari semua sesi konseling yang diberikan kepada klien.1

Follow-up merupakan strategi untuk menjaga kepatuhan klien pada diet yang
direncanakan. Sesi wawancara yang berupa follow-up sangat penting pada konseling yang
menangani masalah terkait gizi. Jumlah klien kembali ke sesi konseling tergantung pada
kesuksesan usaha untuk mengikuti diet. Selalu ada satu poin di mana konselor gizi dan klien
harus mengakhiri satu rangkaian konseling. Pada poin ini, konselor harus yakin bahwa klien
telah siap untuk mengikuti diet tanpa bantuan dari konselor. 1 Berakhirnya masa follow-up
menjadi tanda bahwa klien telah lulus pembinaan dan siap menjalankan solusi dari masalah
gizi yang ia alami secara mandiri.

Serangkaian penjelasan di atas akan dapat membantu konselor dalam menghadapi


tantangan zaman bila dilakukan secara benar dan kontinu sambil terus melihat perkembangan
masalah gizi yang terjadi di masyarakat dan senantiasa mau untuk belajar lagi agar menjadi
konselor yang lebih efektif dalam memfasilitasi klien.
Nama Kelompok:

Eni Lestari 22030111130064

Ayu Prahartini Nur Sahid 22030111140081

Asri Subarjati 22030111140084

Referensi

1. Linda Snetselaar. 2009. Nutrition Counseling Skill for the Nutrition Care Process 4th
ed. Massachusetts, United State of America: Jones and Barlett Publishers.
2. Reduction of dietary protein and phosphorus in the Modification of Diet in Renal
Disease Feasibility Study. The MDRD Study Group. J Am Diet Assoc 1994;94
(9):986-990; quiz 991-982 (dalam Linda Snetselaar. 2009. Nutrition Counseling Skill
for the Nutrition Care Process 4th ed. Massachusetts, United State of America: Jones
and Barlett Publishers)
3. Klahr S, Levey AS, Beck GJ, et al. The effects of dietary protein restriction and
blood-pressure control on progression of chronic renal disease. Modification of Diet
in Renal Disease Study Group. N Eng J Med 1994;330(13):877-884(dalam Linda
Snetselaar. 2009. Nutrition Counseling Skill for the Nutrition Care Process 4th ed.
Massachusetts, United State of America: Jones and Barlett Publishers)
4. Rogers CR. Client-Centered Therapy. Boston: Houghton Mifflin, 1951 (dalam Linda
Snetselaar. 2009. Nutrition Counseling Skill for the Nutrition Care Process 4th ed.
Massachusetts, United State of America: Jones and Barlett Publishers)
5. Pietrofesa JJ. Counselling: Theory, Research, and Practice. Chicago: Rand McNally
College Publishing Co., 1978 (dalam Linda Snetselaar. 2009. Nutrition Counseling
Skill for the Nutrition Care Process 4th ed. Massachusetts, United State of America:
Jones and Barlett Publishers)
6. Ivey AE. Counselling and Psychotherapy: Integrating Skill and Theory in Practice.
2nd ed. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1986 (dalam Linda Snetselaar. 2009.
Nutrition Counseling Skill for the Nutrition Care Process 4th ed. Massachusetts,
United State of America: Jones and Barlett Publishers)
7. Ockene JK. Strategies to increase adherence to treatment. IN: Burke LE, Ockene IS,
eds. Compliance in Healthcare and Research. Armonk, NY: Future Publishing
Company, 2001 (dalam Linda Snetselaar. 2009. Nutrition Counseling Skill for the
Nutrition Care Process 4th ed. Massachusetts, United State of America: Jones and
Barlett Publishers)
8. Janz NK, Becker MH. The Health Belief Model: a decade later. Health Educ Q
1984;11(1):1-47 (dalam Linda Snetselaar. 2009. Nutrition Counseling Skill for the
Nutrition Care Process 4th ed. Massachusetts, United State of America: Jones and
Barlett Publishers)
9. Bandura A. Self-Efficacy: toward a unifying theory of behavioral change. Psychol
Rev 1977;84(2):191-215 (dalam Linda Snetselaar. 2009. Nutrition Counseling Skill
for the Nutrition Care Process 4th ed. Massachusetts, United State of America: Jones
and Barlett Publishers)
10. Bandura A. Self-efficacy machanism in psychological activation and health-
promoting behavior. In: Madden J, ed. Neurobiology of Learning, Emotion and Affect.
New York: Raven Press, 1991:229-270(dalam Linda Snetselaar. 2009. Nutrition
Counseling Skill for the Nutrition Care Process 4th ed. Massachusetts, United State of
America: Jones and Barlett Publishers)
11. Tobin DL. Self-management and social learning theory. In: Holryod KA, Greer TL,
eds. Self-Management of Chronic Disease: Handbook of Clinical Interventions and
Reasearch. Orlando, FL: Academic Press 1986:29-55(dalam Linda Snetselaar. 2009.
Nutrition Counseling Skill for the Nutrition Care Process 4th ed. Massachusetts,
United State of America: Jones and Barlett Publishers)
12. Trostle JA. Medical compliance as an ideology. Soc Sci Med 1988;27(12):1299-
1308(dalam Linda Snetselaar. 2009. Nutrition Counseling Skill for the Nutrition Care
Process 4th ed. Massachusetts, United State of America: Jones and Barlett Publishers)
13. Steele DJ, Blackwell B, Gutmann MC, Jackson TC. The activated patient: dogma,
dream, or desiratum? Patient Educ Couns 1987;10(1):3-23(dalam Linda Snetselaar.
2009. Nutrition Counseling Skill for the Nutrition Care Process 4th ed. Massachusetts,
United State of America: Jones and Barlett Publishers)
14. Stone GC. Patient compliance and the role of the expert. J Social Issues 1979;35:34-
59(dalam Linda Snetselaar. 2009. Nutrition Counseling Skill for the Nutrition Care
Process 4th ed. Massachusetts, United State of America: Jones and Barlett Publishers)
15. Szasz TS, Hollender MH. A contribution to the phylosophy of medicine: the basic
models of the doctor-patient relationship. In: Stockle JD, ed. Encounters Between
Doctors and Patients. Boston: Massachusetts Institute of Technology Press,
1987:165-177(dalam Linda Snetselaar. 2009. Nutrition Counseling Skill for the
Nutrition Care Process 4th ed. Massachusetts, United State of America: Jones and
Barlett Publishers)
16. Holman H, Lorig K. Perceived self-efficacy in self-management of chronic disease.
In: Schwarzer R, ed. Self-Efficacy: Thought Control of Action. Washington, DC:
Hemisphere Publishing Company, 1992:305-323 (dalam Linda Snetselaar. 2009.
Nutrition Counseling Skill for the Nutrition Care Process 4th ed. Massachusetts,
United State of America: Jones and Barlett Publishers)
17. Lorig K, Seleznick M, Lubeck D, Ung E, Chastain RL, Holman HR. The beneficial
outcomes of the arthritis self-management course are not adequately explained by
behavioral change. Arthritis Rheum 1989;32(1):91-95 (dalam Linda Snetselaar. 2009.
Nutrition Counseling Skill for the Nutrition Care Process 4th ed. Massachusetts,
United State of America: Jones and Barlett Publishers)
18. Nells M, et al. 2012. Nutrition Therapy and Pathophysiology 11th Edition.
Philadelphia : WB Saunders Co.

Anda mungkin juga menyukai