Anda di halaman 1dari 5

cpddokter.

com - Continuing Profesional Development Dokter Indonesia

Tata Laksana Bronkiolitis


Kontribusi Dari Administrator
Monday, 10 December 2007
Pemutakhiran Terakhir Tuesday, 11 December 2007

Bronkiolitis adalah infeksi akut pada saluran napas kecil atau bronkiolus yang pada umumnya disebabkan oleh virus,
sehingga menyebabkan gejala–gejala obstruksi bronkiolus. Bronkiolitis ditandai oleh batuk, pilek, panas,
wheezing pada saat ekspirasi, takipnea, retraksi, dan air trapping/hiperaerasi paru pada foto dada

EPIDEMIOLOGI Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV), 60–90% dari kasus, dan
sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau
Mycoplasma. RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat
menimbulkan epidemi. Hayden dkk (2004) mendapatkan bahwa infeksi RSV menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45%90% dan menyebabkan pneumonia sebanyak 40%.

Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden tertinggi pada bayi usia 6 bulan.1,3 Pada daerah
yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh karena RSV terbanyak pada usia 2 bulan. Makin muda umur bayi
menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin oleh
karena kadar antibodi maternal (maternal neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan
penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis dan immunocompromized
mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya penyakit yang lebih berat. Insiden infeksi RSV sama pada laki-Iaki
dan wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-Iaki.

Di RSU Dr. Soetomo penderita laki-Iaki lebih banyak seperti terlihat pada gambar 1. Faktor resiko terjadinya bronkiolitis
adalah jenis kelamin laki-laki, status sosial ekonomi rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, berada
pada tempat penitipan anak atau ke tempat-tempat umum yang ramai, rendahnya antibodi maternal terhadap RSV, dan
bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu RSV menyebar melalui droplet dan inokulasi/kontak langsung, seseorang
biasanya aman apabila berjarak lebih 6 feet dari seseorang yang menderita infeksi RSV. Droplet yang besar dapat
bertahan di udara bebas selama 6 jam, dan seorang penderita dapat menularkan virus tersebut selama 10 hari.Di
negara dengan 4 musim, bronkiolitis banyak terdapat pada musim dingin sampai awal musim semi, di negara tropis pada
musim hujan. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan tahun 2003, bronkiolitis
banyak didapatkan pada bulan Januari sampai bulan Mei .

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350nm),
termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian penting dari RSV untuk
menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein )yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang
menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi
neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan
gejala yang pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari. Virus bereplikasi di
dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung
pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui
kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa
nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris
dan fibrin kedalam lumen bronkiolus .

Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus tertimbun di dalam bronkiolus .
Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga
dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas.
Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekpresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1)
dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi
dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran
napas.Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan compliance, meningkatkan
tahanan saluran napas, dead space serta meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan
kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnea,
asidosis metabolik sampai gagal napas. Karena resistensi aliran udara saluran nafas berbanding terbalik dengan
http://cpddokter.com/home

Menggunakan Joomla!

Generated: 5 September, 2011, 03:54

cpddokter.com - Continuing Profesional Development Dokter Indonesia

diameter saluran napas pangkat 4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah memberikan akibat cukup
besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran napas bayi dan anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara
saluran nafas meningkat pada fase inspirasi maupun pada fase ekspirasi.

Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klep hingga udara akan terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada.
Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir 2 kali di atas normal. Atelektasis dapat terjadi bila obstruksi
total.Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara
paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi
imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran napas bawah akan
meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi ‘cumulatif immunity’
sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan
pneumonia karena RSV.

Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia
berlangsung lebih lama dapat sampai 15 hari . Ada 2 macam fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi virus
saluran napas dan asma: (1) Infeksi akut virus saluran napas pada bayi atau anak keci seringkali disertai wheezing. (2)
Penderita wheezing berulang yang disertai dengan penurunan tes faal paru, ternyata seringkali mengalami infeksi virus
saluran napas pada saat bayi/usia muda. Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular. Respon
antibodi sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai respon imun yang lebih
buruk.

Glezen dkk (dikutip dari Bar-on, 1996) mendapatkan bahwa terjadi hubungan terbalik antara titer antibodi neutralizing
dengan resiko reinfeksi. Tujuh puluh sampai delapan puluh persen anak dengan infeksi RSV memproduksi IgE dalam 6
hari perjalanan penyakit dan dapat bertahan sampai 34 hari. IgE-RSV ditemukan dalam sekret nasofaring 45% anak
yang terinfeksi RSV dengan mengi, tapi tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia dini
akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik RSV .

MANIFESTASI KLINIS Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan bersin. Gejala ini
berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian timbul distres nafas
yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan
dan minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi
saluran nafas atas yang ringan.Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang
mengalami hipotermi.

Terjadi distres nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit, kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga
biasanya meningkat. Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi. Retraksi biasanya
tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi yang memanjang ,
wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles. Hepar dan lien teraba akibat
pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Sering terjadi hipoksia dengan saturasi oksigen
<92% pada udara kamar. Pada beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta
faringitis.Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena adenovirus atau inhalasi zat toksis
(hydrochloric, nitric acids ,sulfur dioxide). Karakteristiknya: gambaran klinis & radiologis hilang timbul dalam beberapa
minggu atau bulan dengan episode atelektasis, pneumonia dan wheezing yang berulang. Proses penyembuhan,
mengarah ke penyakit paru kronis. Histopatologi: hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial, destruksi dan
deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa. Terminal bronkiolus tersumbat dan dilatasi. Alveoli overdistensi,
atelektasis dan fibrosis.

DIAGNOSIS Diagnosis bronkiolitis berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan adanya epidemi RSV di
masyarakat . Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1) wheezing pertama kali, (2) umur 24 bulan atau kurang, (3) pemeriksaan
fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek, demam dan (4) menyingkirkan pneumonia atau riwayat
atopi yang dapat menyebabkan wheezing. Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress
Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi.
Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan.Pulse oximetry
merupakan alat yang tidak invasif dan berguna untuk menilai derajat keparahan penderita. Saturasi oksigen < 95%
merupakan tanda terjadinya hipoksia dan merupakan indikasi untuk rawat inap.

Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal. Pada pasien dengan peningkatan lekosit biasanya
didominasi oleh PMN dan bentuk batang. Kim dkk (2003) mendapatkan bahwa ada subgrup penderita bronkiolitis
http://cpddokter.com/home

Menggunakan Joomla!

Generated: 5 September, 2011, 03:54

cpddokter.com - Continuing Profesional Development Dokter Indonesia

dengan eosinofilia.17 Analisa gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia akibat V/Q mismatch dan asidosis
metabolik jika terdapat dehidrasi.Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat
paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang tersebar, mungkin atelektasis (patchy
atelectasis ) atau pneumonia (patchy infiltrates).

Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan ke bawah. Pada pemeriksaan xfoto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet jantung yang menyempit, jantung terangkat,
diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga
horisontal, pembuluh darah paru tampak tersebar. Bayi-bayi dengan bronkiolitis mengalami wheezing untuk pertama
kalinya, berbeda dengan asma yang mengalami wheezing berulang. Asma bronkiale merupakan diagnosis banding yang
tersering. Diagnosis banding bronkiolitis adalah: asma bronkiale, pneumonia, aspirasi benda asing, refluks
gastroesophageal, sistik fibrosis, gagal jantung, miokarditis .

Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau bilasan nasofaring. Pada bahan ini
dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu yang lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus.
Ada cara lain yaitu dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan cara imunofluoresen atau
ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah 80-90%.

TATA LAKSANA Prinsip dasar penanganan bronkiolitis adalah terapi suportif: oksigenasi, pemberian cairan untuk
mencegah dehidrasi, dan nutrisi yang adekuat. Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan
peroral yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap. Penderita resiko tinggi harus
dirawat inap, diantaranya: berusia kurang dari 3 bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru
kronis, defisiensi imun, distres napas. Tujuan perawatan di rumah sakit adalah terapi suportif, mencegah dan mengatasi
komplikasi, atau bila diperlukan pemberian antivirus.

Di Bagian Anak RS Dr Soetomo Surabaya selain terapi suportif, secara rutin nebulasi agonis 2 juga diberikan pada
setiap penderita bronkiolitis. Steroid sistemik diberikan pada kasus&ndash;kasus berat. Antibiotika diberikan bilamana
keadaan umum penderita kurang baik, atau ada dugaan infeksi sekunder dengan bakteri.

Penanganan bronkiolitis di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr. Soetomo: 1. Cairan dan nutrisi: adekuat, tergantung
kondisi penderita 2. Oksigenasi dengan oksigen nasal atau masker, monitor dengan pulse oxymetry dan bila perlu
dilakukan analisa gas darah. Bila ada tanda gagal napas diberikan bantuan ventilasi mekanik. 3. Bronkodilator: nebulasi
agonis beta2: salbutamol 0,1 mg/kg BB/dosis, diencerkan dengan cairan normal saline, diberikan 4 &ndash; 6 kali perhari 4. Steroid, pada bronkiolitis berat: deksametason 0,1-0,2 mg/kg/dosis, IV 5. Antibiotika: penyakit berat, keadaan
umum kurang baik, curiga infeksi sekunder 6. Digitalisasi: bila ada tanda payah jantung Terapi OksigenOksigen harus
diberikan kepada semua penderita kecuali untuk kasus-kasus yang sangat ringan. Saturasi oksigen menggambarkan
kejenuhan afinitas hemoglobin terhadap oksigen di dalam darah. Oksigen dapat diberikan melalui nasal prongs (2
liter/menit) , masker (minimum 4 liter/menit) atau head box.

Terapi oksigen dihentikan bila pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SaO2) pada suhu ruangan stabil
diatas 94%. Pemberian oksigen pada saat masuk sangat berpengaruh pada skor beratnya penyakit dan lama perawatan
di rumah sakit. Penderita bronkiolitis kadang-kadang membutuhkan ventilasi mekanik, yaitu pada kasus gagal napas,
serta apnea berulang.

CPAP biasa digunakan untuk mempertahankan tekanan positif paru. CPAP mungkin memberi keuntungan dengan cara
membuka saluran napas kecil , mencegah air trapping dan obstruksi. Bayi dengan hipoksemia berat yang tidak membaik
dengan ventilasi konvensional membutuhkan ventilasi dengan high-frequency jet ventilation atau extracorporeal
membrane oxygenation (ECMO). Terapi cairan Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan infus
dan diet sonde/nasogastrik). Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi.

Cairan intravena diberikan bila pasien muntah dan tidak dapat minum, panas, distres napas untuk mencegah terjadinya
dehidrasi. Dapat dibenarkan pemberian retriksi cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan, untuk mencegah edema paru dan
edema otak akibat SIADH (Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone).

Selanjutnya perlu dilakukan koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul. AntibiotikaApabila
terdapat perubahan pada kondisi umum penderita, peningkatan lekosit atau pergeseran hitung jenis, atau tersangka
http://cpddokter.com/home

Menggunakan Joomla!

Generated: 5 September, 2011, 03:54

cpddokter.com - Continuing Profesional Development Dokter Indonesia

sepsis maka diperiksa kultur darah, urine, feses dan cairan serebrospinal, secepatnya diberikan antibiotika yang memiliki
spektrum luas. Pemberian antibiotik secara rutin tidak menunjukkan pengaruh terhadap perjalanan bronkiolitis.

Akan tetapi keterlambatan dalam mengetahui virus RSV atau virus lain sebagai penyebab bronkiolitis dan menyadari
bahwa infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder dapat menjadi alasan untuk memberikan
antibiotika.Antivirus (Ribavirin)Ribavirin adalah synthetic nucleoside analogue, menghambat aktivitas virus termasuk
RSV. Ribavirin menghambat translasi messenger RNA (mRNA) virus kedalam protein virus dan menekan aktivitas
polymerase RNA. Titer RSV meningkat dalam tiga hari setelah gejala timbul atau sepuluh hari setelah terkena virus.

Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama fase replikasi aktif, maka pemberian ribavirin lebih
bermanfaat pada fase awal infeksi. Efektivitas ribavirin sampai saat ini masih kontroversi. Dapat terjadi perbaikan SaO2,
penurunan penggunaan ventilasi mekanik, lama perawatan dirumah sakit lebih singkat, dan perbaikan fungsi paru.
Tetapi pada penelitian lain penggunaan ribavirin tidak memberikan efek perbaikan. Perbedaan hasil tersebut
kemungkinan karena desain, metode yang dipakai berbeda termasuk jumlah sampel yang terlibat, dan keterlambatan
dalam memulai terapi.

Kekurangan dari terapi ribavirin harganya yang mahal, resiko terjadi toksisitas pada pekerja. Menurut American
Academy of Pediatrics/AAP (1996), ribavirin hanya direkomendasikan pada bronkiolitis dengan kondisi
spesifik.Bronkodilator Penggunaan bronkodilator untuk terapi bronkiolitis telah lama diperdebatkan selama hampir 40
tahun. Terapi farmakologis yang paling sering diberikan untuk pengobatan bronkiolitis adalah bronkodilator dan
kortikosteroid.

Obat-obat beta2 agonis sangat berguna pada penyakit dengan penyempitan saluran napas karena menyebabkan efek
bronkodilatasi, mengurangi pelepasan mediator dari sel mast, menurunkan tonus kolinergik, mengurangi sembab
mukosa dan meningkatkan pergerakan silia saluran napas sehingga efektivitas dari mukosilier akan lebih baik.

Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa pasien-pasien yang diberikan beta2 agonis secara nebulisasi menunjukkan
perbaikan skor klinis dan saturasi oksigen, tetapi beberapa studi yang lain tidak. Sebuah penelitian meta-analisis oleh
Kellner dkk (1996) mengenai efikasi bronkodilator pada penderita bronkiolitis mendapatkan bahwa bronkodilator
menyebabkan perbaikan klinis yang singkat (short-term improvement) pada bronkiolitis ringan dan sedang. Uji efikasi
salbutamol secara inhalasi terhadap penderita bronkiolitis pernah dilakukan di bagian anak RS Dr.Soetomo Surabaya
pada tahun 1999. Terjadi penurunan skor RDAI pada kelompok salbutamol terutama menit ke 60 dan rata-rata waktu
lama inap menjadi lebih pendek.

Studi terbaru Wainwright (2003), menunjukkan hasil bahwa epinefrin secara nebulisasi tidak menurunkan lama
perawatan dirumah sakit. Epinefrin memberi efek alfa dan beta adrenergik. Beberapa studi menggunakan racemic
epinephrine untuk menurunkan efek epinefrin terhadap jantung.

Kristjansson (1993), menggunakan racemic epinephrine nebulisasi . Racemic epinefrin memberi perbaikan skor klinik
dan SaO2. Dari sini disimpulkan bahwa racemic epinephrine aman dan cukup efektif untuk pengobatan bronkiolitis pada
anak kurang dari 18 bulan.

Walaupun pemakaian nebulisasi dengan beta2 agonis sampai saat ini masih kontroversi, tetapi masih bisa dianjurkan
dengan alasan 1.Pada bronkiolitis selain terdapat proses inflamasi akibat infeksi virus juga ada bronkospasme dibagian
perifer saluran napas (bronkioli) 2.Beta agonis dapat meningkatkan mukosilier 3.Sering tidak mudah membedakan
antara bronkiolitis dengan serangan pertama asma 4.Efek samping nebulasi beta agonis yang minimal dibandingkan
epinefrin.

Kortikosteroid Banyak studi terdahulu yang telah dilakukan untuk mencari efektifitas kortikosteroid untuk pengobatan
bronkiolitis. Penelitian pada 61 penderita bronkiolitis anak dengan menggunakan deksametason oral pada anak yang
telah menggunakan nebulasi salbutamol tidak didapatkan perbedaan antara grup perlakuan dan plasebo pada saturasi
oksigen, laju nafas, skor RDAI dan lamanya rawat inap. Hasil yang hampir sama juga didapatkan pada pemberian
deksamateson intravena pada penderita bronkiolitis, dan ternyata tidak didapatkan perbedaan pada skor klinis, laju
nafas, skor klinis, dan tes fungsi paru pada hari ke 3. Richter melakukan penelitian nebulasi budesonide pada penderita
bronkiolitis saat rawat inap dan dilanjutkan sampai dengan 6 minggu dan ternyata mendapatkan hasil bahwa tidak
mengurangi gejala bronkiolitis dan tidak mencegah wheezing pasca bronkiolitis.
http://cpddokter.com/home

Menggunakan Joomla!

Generated: 5 September, 2011, 03:54

cpddokter.com - Continuing Profesional Development Dokter Indonesia

Tetapi Schuh dkk (2002) yang melakukan penelitian pada penderita bronkiolitis yang rawat jalan mendapatkan hasil
bahwa dengan pemberian deksametason oral 1 mg/kg BB mengurangi angka rawat inap penderita bronkiolitis.Penelitian
meta-analisis tentang penggunaan kortikosteroid sistemik pada bayi dengan bronkiolitis menunjukkan perbaikan dalam
hal gejala klinis, lama perawatan dan lama timbulnya gejala. Sedangkan AAP tidak merekomendasikan penggunaan
kortikosteroid pada bayi yang dirawat dirumah sakit dengan bronkiolitis. Pemberian kortikosteroid oral 1mg/kgbb pada
bayi usia 8 mgg-23 bulan dengan bronkiolitis sedang-berat, terdapat perbaikan klinis pada 4 jam pertama dan penurunan
jumlah pasien yang dirawat pada kelompok studi.

Tetapi tidak ada perbedaan skor klinis setelah 7 hari terapi.Preparat steroid inhalasi dibuat untuk mendapatkan efek
topikal yang maksimal dengan efek sistemik yang minimal. Beberapa preparat inhalasi yang tersedia diantaranya
Beclomethason propionate, budesonide, flunisolide, fluticason propionate, triamcinolone acetonide. Perbedaannya
terletak pada afinitasnya terhadap reseptor glukokortikoid, lipofilitas dan bioavaibilitas sistemik. Preparat steroid inhalasi
yang ideal bila memiliki efek topikal yang tinggi, bioavaibilitas sistemik rendah serta proses inaktivasi di hepar yang cepat
dan sempurna, misalnya flutikason, budesonid, mometason.

Mekanisme kerja kortikosteroid inhalasi , yaitu:- Didalam sel, kortikosteroid menembus membran sel dan berikatan
dengan reseptor glukokortikoid dalam sitoplasma, yang selanjutnya menembus nucleus dan berikatan dengan
glucocorticoid respon elements (GRE) untuk meningkatkan transkripsi gen reseptor-&beta;2 dalam paru manusia dan
tikus, membutuhkan waktu 6-12 jam. - Menghambat pembentukan sitokin tertentu, seperti IL-1, TNFa, GM-CSF, IL-3, IL4, IL-5, IL-6 dan IL-8. - Meningkatkan pembentukan reseptor-&beta;2 dan mencegah reaksi takifilaksis akibat pemakaian
obat agonis &beta;2 jangka panjang- Mempercepat regenerasi sel epitel- Mengurangi jumlah sel-sel
inflamasiPENCEGAHANPencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi udara,
membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung
tangan dan masker, isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum, pemberian ASI,
menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA.

Penggunaan imunoglobulin (RSV-IG) pada bayi berumur kurang dari 24 bulan dengan Bronchopulmonary dysplasia
(BPD), bayi prematur (kurang dari 35 minggu) menunjukkan hasil penurunan signifikan: jumlah yang terinfeksi RSV,
jumlah penderita masuk rumah sakit serta memperpendek waktu perawatan di rumah sakit dan ICU. RSV-IG dapat di
toleransi dengan baik.Palivizumab adalah humanized murine monoclonal anti-F glycoprotein antibody, yang mencegah
masuknya RSV kedalam sel host. Respigram adalah human polyclonal hyperimmune globulin , diberikan secara intra
vena , juga bisa dipakai sebagai imunoprofilaksis pasif pada bronkiolitis. Tahun 1998, AAP merekomendasikan
Palizumab sebagai profilaksis RSV pada anak kurang dari 2 tahun dengan penyakit paru menahun, anak yang
mendapat terapi RSV dalam 6 bulan pertama dan bayi prematur (32-35 minggu).

AAP tidak merekomendasikan pada pasien dengan penyakit jantung sianosis atau immunocompromised karena belum
pernah dilakukan penelitian pada kelompok ini. Penelitian penggunaan vaksin RSV menggunakan virus hidup (live
attenuated, subunit, live recombinant) dan synthetic peptide sampai saat ini tidak memberikan proteksi yang adekuat.

http://cpddokter.com/home

Menggunakan Joomla!

Generated: 5 September, 2011, 03:54

Anda mungkin juga menyukai