Anda di halaman 1dari 11

KELAINAN NEUROLOGI

PASIEN DENGAN NYERI POST STROKE


Studi Kasus
Seorang perempuan 65 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri hebat pada wajah dan
lengan bagian kanan. Pasien pada masa pemulihan dari stroke ringan yang dialami 3 bulan
yang lalu dengan rasa baal di bagian tubuh sebelah kanan. Rasa baal telah berkembang dari
kesemutan dan lalu nyeri, terutama ketika dipegang. Lengan kanan dirasakan seperti terbakar
terus menerus, sampai pasien ingin memotongnya. Pasien menyangkal adanya defisit
neurologis lain. Pasien memiliki riwayat obesitas, diabetes mellitus, dan hipertensi tidak
terkontrol. Pasien mengaku kadang lupa meminum obat amlodipin dan aspirin. Pemeriksaan
neurologi didapatkan kelemahan motorik bagian tubuh sebelah kanan. Penilaian pada sisi
kanan dengan sentuhan ringan menunjukkan respon nyeri berlebih (allodinia). Pada tes jarum
didapatkan peningkatan rasa nyeri (hiperalgesia). Hiperalgesia hanya dirasakan pada lengan
kanan dan dada namun tidak pada bagian bawah pinggang. Pada penggoresan dengan
menggunakan jarum pada lengan atas, pasien merasakan sensasi nyeri terus menerus di
tangan (hiperpathia). Ketika nyeri dirasakan pada sisi bagian kanan atas dan ekstremitas,
nyeri tersebut akan selama lebih dari 1 menit. Tekanan darah saat ini 205 mmHg sistolik dan
dari CT scan kepala terdapat infark lakunar di sisi kiri medial thalamus

1. Apa diagnosis untuk menjelaskan nyeri pada pasien ini?


Pasien ini memiliki Djerine-Roussy sindrom, salah satu jenis dari nyeri post stroke
sentral (CPSP) yang disebabkan infark di thalamus. Lebih dari 100 tahun yang lalu Djerine
dan Roussy mengkarasteristikan nyeri thalamus sebagai nyeri yang sangat hebat, membuat
stress, dan sindrom nyeri intractable.[1] Nyeri post stroke sentral pada thalamus merupakan
salah satu sindrom nyeri tersering, dengan rasa nyeri hebat, disertai rasa terbakar pada bagian
tubuh kontralateral dari lesi di thalamus.[1] Nyeri post stroke termasuk dalam kelompok dari
sindrom nyeri sentral. Nyeri sentral pertama kali diperkenalkan oleh Edinger pada tahun
1891.[2] International Association for Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sentral
sebagai nyeri yang diawali atau disebabkan karena lesi primer atau disfungsi sentral dari
sistem saraf pusat, pada tingkatan sumsum tulang belakang, batang otak, atau hemisfer
1

serebri.[3] Nyeri post stroke sentral (CPSP) merupakan jenis dari nyeri sentral yang terjadi
setelah terjadi trauma pada serebrovaskular. Pasien dengan CPSP akan mengeluhkan nyeri
terus-menerus atau hilang timbul, dan akan terjadi perubahan dari sensasi suhu. Kualitas dari
nyeri yang dirasakan akan terasa seperti terbakar, dingin, dan beberapa orang kadang sulit
untuk mendeskripsikannya. Kesalahan diagnosis atau keterlambatan diagnosis biasa terjadi,
terutama jika pasien mengalami perubahan kognitif dan ekspresi post stroke. Pasien mungkin
akan merasakan sensasi spontan abnormal dan stimulus yang menyebabkan disestesia,
allodinia, dan hiperalgesia. Sindrom nyeri yang lain yang sering muncul seperti sakit kepala,
nyeri spasme, kontraktur, nyeri bahu hemiplegia, dan nyeri muskuloskeletal lain yang
merupakan gejala klinis dari komplikasi CPSP.[1]

2. Seberapa sering terjadi nyeri poststroke?


19-74% pasien stroke merasakan nyeri sebagai komplikasi dari stroke.[4] Setiap
tahunnya sekitar 795.000 orang menderita stroke di USA, 600.000 merupakan serangan
pertama; ini berarti kurang lebih 150.000 orang mengeluhkan nyeri post stroke setiap
tahunnya. Saat ini terdapat lebih dari 7 juta penderita stroke di USA.[5] Stroke merupakan
penyebab tertinggi disabilitas dan penyebab kematian ketiga di USA.[5] Nyeri sentral lebih
jarang terjadi pada pasien stroke daripada Spinal Cord Injury (SCI) atau multiple sklerosis
(MS); namun stroke lebih banyak terjadi daripada penyakit yang lain, maka nyeri sentral pada
stroke lebih sering ditemui daripada kondisi lain (Tabel 3.1).
Tabel 3.1 Angka pasien nyeri pada 3 jenis penyakit dengan nyeri sentral
Penyakit
Stroke
MS
SCI

Jumlah pasien di USA


~7.000.000[5]
~211.000[7]

Diagnosis Awal
795.000[5]
10.400

Semua nyeri
19-74%[4]
57.5%[8]

Nyeri sentral
1-10%[6]
27%[8]

~273.000[9]

(estimasi)
12.000[10]

81%[11]

34-67%[11,12]

3. Bagaimana insidensi dari CPSP (epidemiologi)?


Perkiraan prevalensi CPSP sekitar 1-8%. Dimana nyeri post stroke akan berhubugan
secara langsung ke bagian otak yang terkena trauma serebrovaskular.[4] Diperkirakan di USA
terdapat 56.000 kasus CPSP terjadi setiap tahun, jika diperkirakan terjadi 700.000 kasus baru
dan kasus kambuh stroke.[6]

4. Apa nyeri yang biasanya didapatkan di pasien post stroke?


Lihat tabel 3.2 dan gambar 3.1.
Nyeri bahu merupakan nyeri yang paling sering muncul pada hemiplegia. Dari
penelitian didapatkan kejadian nyeri bahu pada hemiplegia sekitar 38% sampai 84%. Definisi
dari nyeri bahu, waktu diagnosis, dan periode onset stroke yang akan berkembang menjadi
nyeri semakin meningkat sesuai angka yang dilaporkan.[13-17]
Pada jenis sakit kepala yang dianalisis pada pasien post stroke, didapatkan hasil
bahwa jenis yang paling sering adalah jenis tension dan migrain; nyeri kepala yang menetap
biasanya

adalah

jenis

tension.[18-19]

Tidak

terdapat

banyak

literatur

yang

merekomendasikan pengobatan untuk sakit kepala pada pasien post stroke. Kami
merekomendasikan sesuai dengan kriteria dari International headache society untuk
mendiagnosis jenis sakit kepala, dan untuk pegobatan yang sesuai.[20] Pengobatan yang
berlebihan pada sakit kepala, biasanya ditemukan pada pasien yang mengalami tanda klinis,
terutama pada pasien dengan riwayat migrain atau memiliki riwayat keluarga dengan
migrain, belum dimasukkan sebagai populasi dalam penelitian ini. Penelitian lebih lanjut
dibutuhkan untuk meneliti jika pada pasien dengan pengobatan sakit kepala yang berlebih
dimasukkan dan termasuk dari perburukan yang dirasakan. Pada beberapa pasien yang
mengalami migrain, ketika mendapat pengobatan berlebih untuk sakit kepala yang dirasakan,
akan berkembang menjadi siklus nyeri kepala yang dirasakan setiap hari.[21]
Insidensi dari nyeri post stroke sentral dilaporkan sekitar 2 hingga 8%;
kenyataannnya bisa menjadi lebih tinggi, namun kadang terdapat kesalahan diagnosis atau
kesulitan dalam mendiagnosis.[22-24] Jalur spinal-thalamus-kortikal merupakan penyebab
utama dari munculnya CPSP. Letak lesi akan berhubungan dengan gejala dan nyeri yang
dirasakan.[22] CPSP dapat terjadi setelah trauma serebrovaskular yang berefek pada jalur
somatosensorik pada otak termasuk medulla, thalamus, dan kortes cerebral. Kejadian CPSP
akan terjadi lebih sering apabila letak lesi pada medulla bagian lateral (Wellenbers sindrom)
atau thalamus (bagian ventral-posterior).[1]
3

Ketika ditemukan 1 tahun post stroke, spastisitas nyeri terdapat pada sekitar 27
hingga 36 % pasien stroke.[25]
Tabel 3.2. Gejala tersering yang muncul pada pasien nyeri post stroke
Jenis nyeri post stroke

Persentase pasien stroke dengan

Nyeri muskuloskeletal
Nyeri bahu
Sakit kepala
Nyeri post stroke sentral
Spastisitas

nyeri jenis tersebut


40%
20%
20%
10%
7%

Gambar 3.1. Jenis tersering dari nyeri kronik post stroke, sesuai dengan frekuensi relatif dan
kesesuaiannya dengan pasien stroke

5. Apakah area dari kerusakan otak berkorelasi dengan perkembangan


nyeri post stroke sentral?
Sprenger et al mencoba mengidentifikasi nyeri sentral thalamus dengan menggunakan
MRI pada pasien post stroke, dan pada penelitian ini didapatkan bahwa nucleus ventral
posterior dan pulvinar, berhimpitan dengan nucleus ventrocaudal. Lesi yang berkorelasi
dengan nyeri thalamus. Implikasi dari penelitian ini adalah sebagai gambaran struktural untuk
deteksi dini pasien dengan resiko CPSP, sehingga dapat dilakukan terapi yang tepat untuk
efek sampingnya.[26]

6. Bagaimana mekanisme dari nyeri post stroke?


Bagaimana mekanisme CPSP?
4

Nyeri post stroke sentral akan semakin meningkat sesuai banyakya faktor dengan
interaksi potensial kompleks. Terdapat banyak pendapat mengenai penyebab dari nyeri
sentral; meskipun sebagian besar belum dipahami. Nyeri sentral berkembang sesuai dengan
kombinasinya dengan patofisiologi dari proses modulasi berganda, yang mana termasuk
penghambatan sentral, ketidak seimbangan stimulus kimia, dan sensitisasi sentral.[27]
Sensitisasi sentral menjadi mekanisme utama yang paling memungkinkan untuk nyeri sentral
karena berhubungan dengan sistem saraf pusat. Hal ini sesuai dengan nyeri sentral termasuk
dimana terjadi peningkatan aktivasi N-metil-D-aspartase (NMDA) dan kanal sodium.[28]
Dari penelitian didapatkan bahwa nyeri sentral dapat mengubah fungsi otak.
Fenomena sensitisasi sentral dapat diperlama dengan menambahkan rangsangan
reversible dan efikasi sinaps neuron pada pusat jalur rangsang nyeri.[29] Perubahan pada otak
dapat dilihat pada penurunan ambang eksitasi neuron dan penambahan eksitasi spontan, serta
meningkatkan ambang eksitasi neuron selama pengulangan stimulasi.[30] Terdapat area
berbeda dalam sistem saraf pusat yang telah terasosiasi dengan sensitasi sentral yang
disebabkan oleh nyeri. Peningkatan plastisitas sinaps pada SSP, perubahan fungsi reseptor,
dan channelopathy didapat akan berperan pada proses sensitisasi sentral ini. Aktivasi pada
mikroglia dapat menyebabkan respon inflamasi yang akan membantu amplifikasi nyeri yang
tergantung aktivitas jaringa nosiseptif SSP.[31]

Bagaimana mekanisme nyeri bahu?


Prevalensi pada nyeri bahu hemiplegi sesuai dengan derajat dari kelemahan, yang
mana terdapat paling tinggi pada pasien plegia bahu.[32] Mekanisme dari nyeri bahu
hemiplegi (HSP) adalah subluksasi dari sendi bahu pada defisit saraf sensorik dan motorik
yang mana akan memunculkan hambatan pada gerak pasif. Mungkin juga akan terjadi
adhesive capsulitis,[33] nyeri bahu spastik, yang mana akan memunculkan kesulitan aduksi
dan rotasi internal bahu. Meskipun HSP sering dihubungkan dengan nyei muskuloskeletal,
komponen neuropati biasanya berhubungan dengan nyeri kronik sesuai dengan sisi infark
pada area persepsi dan proses nyeri.[34]

Bagaimana mekanisme spastisitas setelah stroke?


Hemihipestesia lebih sering didapatkan pada pasien dengan spastisitas tubuh bagian
atas dan bawah serta lebih sering sering terjadi pada pasien tanpa defisit sensorik (P0.0001).

[35] Pada penelitian yang dilakukan Urban et al, spastisitas dilaporkan terjadi pada 42.6%
pasien dengan inisial paresis sentral. [35]

Bagaimana mekanisme sakit kepala post stroke?


Tidak terdapat banyak penelitian mengenai sakit kepala post stroke. Sekitar 10%
pasien akan berkembang menjadi sakit kepala post stroke, beberapa pasien akan merasakan
setiap hari dan menetap. Sakit kepala post stroke dapat didiagnosa dengan kriteria dari
International Headache Society[20] dengan jenis tersering adalah tension dan migrain.
Mekanisme spesifik spesifik mengenai sakit kepala ini tidak dituliskan dalam literatur.

7. Bagaimana penatalaksanaan pada nyeri post stroke?


Tahapan awal untuk penatalaksanaan nyeri poststroke adalah kecurigaan tinggi pada
pasien stroke. Pasien stroke biasanya sulit mendeskripsikan nyeri yang dirasakan akibat
gangguan bahasa dan kognitif. Pada pasien kelompok ini juga memungkinkan untuk tidak
mendapatkan pengobatan yang adekuat. [36]

Diagnosis CPSP
Kunci untuk diagnosis CPSP adalah (1) gambaran neurologi (CT atau MRI) nyeri
dengan infark sesuai dengan area otak yang terkena dan (2) ekslusi dari penyebab lain yang
menyebabkan nyeri neuropati.[1] Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk
mencari tanda dari gangguan saraf perifer atau kerusakan jaringan, defisit fokal neurologi
yang mungkin tidak sesuai dengan area infark, dan gejala nyeri lain yang sudah disebutkan
diatas. Tanda tanda depresi dapat menimbulkan nyeri dan vice versa, serta informasi ini
mungkin dapat menjadi pilihan untuk terapi farmakologi.

Penatalaksanaan nyeri bahu hemiplegi


Ketika MRI bahu menunjukkan adanya adhesive capsulitis,[33] atau kerusakan
jaringan lunak, x-ray bahu akan cukup menyingkirkan penyebab lain seperti fraktur atau
dislokasi.

8. Apakah terapi farmakologi yang digunalan untuk nyeri poststroke?


Apa terapi yang tersedia untuk CPSP?
Pada penelitian awal kami yang belum sempurna mengenai patofisiologi dan
neurobiologi CPSP membuat semakin menantang untuk mengembangkan target terapi.
Kontrol yang besar untuk manajemen dari CPSP sangat kurang, dimana termasuk
heterogenitas dari stroke, dan variabilitas kualitas nyeri, serta intensitas respons perorangan
yang berbeda.[37] Obat yang digunakan sebagai obat pilihan saat ini adalah trisiklik
antidepresan amitriptilin atau metabolit nortriptilinne.[38] Rekomendasi ini sesuai dengan
penelitian daam lingkup kecil, dan memiliki efek samping yang paling sering seperti mulut
kering, mengantuk, dan konstipasi. Rekomendasi untuk antidepresan lain seperti venlafaxine
dan beberapa penghambat selektif reseptor serotogenik memiliki pengaruh yang baik untuk
nyeri neuropati.[39] Antidepresan dibutuhkan untuk pasien dengan depresi yang sering
terjadi. Agen lini pertama yang lain

termasuk obat antiepileptik lamotrigine[40] dan

gabapentin, yang mana keefektifan dari obat ini untuk mengobati sindrom nyeri neuropati.
[41] Tidak ada konklusi penelitian untuk keefektifan dari fenitoin, zonisamide, dan
topiramate pada CPSP. [42-44] Efek dari opioid pada CPSP masih dipertanyakan (Tabel 3.3).
[45]
Tabel 3.3. Pengobatan untuk nyeri post stroke
Obat
Amitrptyline[22]
Carbamazepine[22]

Dosis

Jumlah pasien yang berespon Catatan

75 mg[22]

dengan terapi
15
pasien;
10/15

750 mg[22]

berespon[22]
15 pasien; 5 dari 14 pasien yang

pasien Sangat efektif

mengobati penelitian lengkap.


Tidak

ada

statistik[22]
30
pasien;12/30

Lamotrigine[40]

200 mg[40]

Gabapentine[46]

sebagian[40]
Sampai dengan 23 pasien; hanya
7

signifikansi
merespon Tingkat
2

sedang
yang Sedang

keefektifan

2400 mg

mengalami nyeri post stroke,


tidak

diketahui

secara

pasti

Phenytoin[42]
Topiramate[44]

berefek/tidak pada pasien


150 mg[42]
2 kasus yang dilaporkan[42]
Toksisitas signifikan
500-200 mg 3 3 pasien; tidak ada pasien

Zonisamide[43]
Pregabalin[47]

kali sehari[44]
200 mg[43]
150-600

dengan CPSP sembuh


2 kasus yang dilaporkan[43]
Toleransi baik
219 pasien, placebo-kontrol;

mg/hari[47]

tidak signifikan menyembuhkan

Apa terapi yang tersedia untuk nyeri bahu hemiplegi?


Komponen neuropati pada HSP mungkin berespon terhadap pengobatan farmakologi
yang telah disebutkan diatas (amitriptiline, lamotrigine, atau gabapentin), pengobatan non
farmakologi seperti terapi dingin, panas, dan masase jaringan lunak dapat direkomendasikan.
Penguatan dari bahu dengan menggunakan korset bahu dengan terapi fisik akan menurunkan
dislokasi dari sendi, dan ketika terjadi pergerakan pasif akan mengurangi resiko adhesive
capsulitis. Beberapa pasien menggunakan sling bahu pada malam dan atau selama ambulasi
untuk membantu lengan dan mencegah trauma pada ekstremitas atas. Pergerakan berlebihan
harus dicegah untuk menurunkan resiko dari subluksasi. Agen non steroid anti inflamasi akan
meredakan nyeri secara temporer dan digunakan untuk terapi fisik. Injeksi intramuscular
BOTOX dan stimulasi eletrik pada neuromuskular mungkin akan membantu.[48] Prognosis
untuk HSP baik, dengan pasien akan mengalami perubahan setelah terapi selama 6 bulan.
[49]

9. Apakah terdapat terapi intervensi yang dapat dilakukan pada pasien


dengan nyeri post stroke?
Stimulasi pada tulang belakang dan otak tidak efektif untuk CPSP. [50] Stimulasi
korteks motorik lebih baik sebagai terapi untuk refraktor CPSP, stimulasi elektroda dilakukan
pada sisi kontralateral dari nyeri. Stimulasi korteks melalui cortico-cortical dan mungkin
jalur cortico-thalamic akan menghambat persepsi nyeri.[50,51]

10. Apakah terdapat perhatian khusus untuk nyeri poststoke?


Nyeri kronik post stroke merupakan salah satu keluhan yang sangat mengganggu
yang dirasakan pasien stroke; dimana pada penelitian mengenai kualitas hidup pasien akan
8

menjadi terbatas. Dari penelitian menunjukkan terjadinya penurunan pada derajat kesehatan
tergantung dengan kualitas hidup.[52] Nyeri bahu post stroke akan berhubugan dengan
penurunan kualitas hidup, meskipun pada pada penelitian ini tidak berhubungan dengan
gangguan fungsional.[53] Pada penelitian yang dilakukan di Korea, pasien yang 6 bulan atau
lebih mengidap stroke 42% akan merasakan nyeri kronis, namun kualitas hidupnya tidak
berubah secara signifikan dengan pasien yang lain.[54]
Populasi pasien stroke berubah secara demografi. Setengah pasien stroke berusia
dibawah 65 tahun, dengan angka signifikan pada pasien dibawah umur 55 tahun, dimana
masih termasuk dalam usia produktif. Secara tradisional pasien stroke akan mengalami
perubahan disebabkan keterbatasan fungsional yang bisa dilakukan, namun harapan yang
diinginkan relatif sederhana. Pasien dengan usia lebih muda dengan harapan hidup yang lebih
panjang dan stroke ringan memiliki harapan hidup lebih baik mengenai pemulihan fungsi dan
kualitas hidup. Mereka memiliki berbagai masalah psikososial kompleks disamping
rehabilitasi tradisional, termasuk perhatian mengenai hidup mandiri, hubungan sosial dan
pekerjaan yang menyenangkan, fungsional, dan kewajiban untuk mengisi peran dalam
keluarga.[55] Ini dibuktikan dengan keluarga pasien stroke juga akan menderita.[56] Kondisi
penyerta seperti nyeri post stroke dan depresi post stroke akan memberikan dampak kepada
pasien untuk menghadapi tantangan selanjutnya, namun isu ini kadang diabaikan, terutama
pada pasien yang tidak membutuhkan rehabilitas ekstensif dan lingkungan yang mendukung.
Banyak dari pasien stroke ketika kembali ke rumah tidak dapat melanjutkan kehidupan aktif
dan pekerjaannya.[57] Ini merupakan sebuah kerugian yang sangat besar untuk pasien, yang
sering memandang hal tersebut sebagai penanda penting dari pemulihan dan akan merasa
mengalami kehilangan yang sangat besar.[58,59] Selain itu juga hal ini membutuhkan biaya
yang besar: diperkirakan $65 miliar dibutuhkan setiap tahunnya untuk pembiayaan stroke di
USA, sepertiganya merupakan biaya tidak langsung dengan kehilangan produktifitas.[60] di
Uni Eropa, biaya tidak langsung untuk stroke serupa dengan 31% dari 27 miliar euro biaya
tahunan stroke. Disamping biaya yang tinggi dan dampak pada pribadi, sesuai dengan
penelitian yang dilakukan bahwa pasien stroke juga merasa sedikitnya perhatian mengenai
kelelahan, pekerjaan, dan fungsional.[61] Pasien stroke juga merasakan kerugian yang
signifikan pada kemampuan diri setelah stroke, serta dukungan untuk mandiri selama dan
setelah rehabilitasi.[62]

Kesimpulan
9

Stroke seperti yang sudah kita diskusikan, merupakan kondisi lazim yang
berhubungan dengan tingginya angka disabilitas, morbiditas, dan kematian pada orang
dewasa. Defisit neurlogis yang jelas terdapat pada pasien stroke adalah afasia, kehilangan
koordinasi atau fungsi pada anggota tubuh, keterbatasan dalam aktifitas sehari-sehari, selain
itu pada beberapa pasien stroke juga akan mengeluhkan nyeri kronik. [54] Selain akan
menyebabkan depresi, nyeri kronik merupakan salah satu dari komplikasi stroke yang akan
mempengaruhi kualitas hidup pasien. Diagnosis awal pada pasien dengan nyeri post stroke
merupakan hal yang sangat menantang. Nyeri muskuloskeletal mungkin tidak dikenali oleh
dokter atau pasien. Kualitas nyeri dan penyebaran nyeri yang dirasakan akan berbeda pada
setiap pasien, dan pada beberapa pasien biasanya memiliki lebih dari satu tipe nyeri. [22]
Hasil diagnosis tertinggi yang dapat dilakukan adalah penegakan diagnosis secara hati-hati
mengenai keluhan nyeri pasien, pemeriksaan respon sensorik, dan korelasinya dengan
gambaran radiologi.[1] Hal ini dilakukan untuk mengetahui penyebab nyeri dan penyebab
yang lain, namun tidak semua CPSP sesuai dengan stroke thalamus.[22]
Dengan besarnya jumlah pasien stroke yang memiliki nyeri post stroke, gejala nyeri
harus selalu ditanyakan oleh dokter. Faktor resiko nyeri pada pasien post stroke masih belum
dipahami sepenuhnya, meskipun muncul dan berhubungan dengan paresis dan perubahan
sensorik, serta depresi sebagai gejala penyerta. [63] Saat ini masih belum diketahui bahwa
CPSP dapat menyebabkan mekanisme atau faktor resiko dengan kondisi nyeri yang lain
sesuai dengan sensitisasi sentral. Manfaat klinis dari penggunaan antikonvulsan pada kedua
jenis nyeri menunjukkan bahwa terdapat beberapa patofisiologi yang biasa terjadi, bahwa
kemungkinan terjadi peningkatan sensitisasi dan eksitabilitas pada jalur saraf nosiseptif. Jika
hipotesis ini benar maka memungkinan untuk mengidentifikasi lebih awal pasien yang
memiliki peningkatan resiko menjadi nyeri post stroke, dan untuk melakukan pencegahan
lebih awal.[29]
Tidak adanya baku emas untuk kriteria diagnosis atau terapi untuk nyeri kronik post
stroke, maka digunakan terapi empiris, sesuai dengan diagnosis dan respon pasien.
Diperkirakan terdapat 795.000 orang setiap tahunnya di USA yang mengalami stroke, baik
pertama kali atau relaps, maka ini merupakan kondisi nyeri yang signifikan.[64] Penting
untuk diingat bahwa pada pasien nyeri post stroke dapat berefek simultan dengan keluhan
lain, termasuk kelelahan, abnormalitas motorik dan sensorik, labilitas emosional, hubungan
yang tidak erat, disabilitas, dan depresi. [65] Beberapa masalah ini dapat berespon dengan
terapi; tantangannya adalah membuatnya komprehensif. Masih dibutuhkan penelitian untuk
meneliti menangani komplikasi pada pasien stroke.
10

11

Anda mungkin juga menyukai