MENGAPA NELAYAN
MISKIN
Disusun Oleh:
T
erdapat 6 alasan utama mengapa sektor kelautan dan perikanan memiliki potensi untuk dibangun.
Pertama, Indonesia memiliki sumberdaya laut yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun
diversitas. Kedua, Indonesia memiliki daya saing (competitive advantage) yang tinggi dan sektor
kelautan dan perikanan sebagaimana dicerminkan dari bahan baku yang dimilikinya serta
produksi yang dihasilkannya. Ketiga, industri di sektor kelautan dan perikanan memiliki
keterkaitan (backward and forward linkage) yang kuat dengan industri-industri lainnya.
Keempat, sumberdaya di sektor kelautan dan perikanan merupakan sumberdaya yang selalu
dapat diperbaharui (renewable resource) sehingga bertahan dalam jangka panjang asal diikuti
dengan pengelolaan yang arif. Kelima, investasi di sektor kelautan dan perikanan memiliki
efisiensi yang relative tinggi sebagaimana dicermainkan dalam Incremental Capital Output Ratio
(ICOR) yang rendah dan memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi pula. Keenam, pada
umumnya industri perikanan berbasis sumberdaya lokal dengan input rupiah namun dapat
menghasilkan output dalam bentuk dolar.
Sejalan dengan misi Pembangunan Kelautan dan Perikanan yaitu socialequity, economic growth,
environmental sustainability, peningkatan kecerdasan dan kesehatan bangsa melaui peningkatan
konsumsi ikan, peningkatan peran laut sebagai pemersatu bangsa dan peningkatan budaya bahari
bangsa Indonesia.
Manusia yang memanfaatkan sumberdaya ikan memiliki emosi, strategi, intrik, taktik, tujuan,
visi, kondisi sosial budaya, kondisi ekonomi, pengalaman, keinginan, dan perasaan yang
semuanya secara bersama-sama menentukan sikap mereka dalam memanfaatkan sumberdaya.
Namun demikian komitmen pendayagunaan sumberdaya masih kurang. Hal ini dapat dilihat
dalam kenyataannya bahwa nelayan selaku aktor utama disektor ini masih berada dibawah garis
kemiskinan. Dalam mempersiapkan sektor perikanan menghadapi perdagangan bebas dunia.
Dengan menggunakan Problem Tree Analysis (PTA) akan dicoba menelusuri faktor-faktor yang
menyebabkan kehidupan nelayan masih berada dibawah garis kemiskinan.
Pendekatan Masalah
Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam penangkapan ikan/binatang
air lainnya/tanaman air. Dari status penguasaan kapital, nelayan dapat dibagi menjadi nelayan
tradisional dan nelayan buruh. Nelayan tradisional secara umum merupakan kelompok sosial
yang paling terpuruk tingkat kesejahteraannya, sementara kondisi ini sangat dekat dengan
tekanan ekonomi, pendapatan yang tidak menentu sehingga menyebabkan rendahnya perolehan
rumah tangga dari aktivitas sebagai nelayan. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor baik
positif maupun negatif.
anti monopoli, pembagian keuntungan yang tidak proporsional dan kebijakan ekonomi secara
mikro yang lebih banyak memberikan kerugian di pihak nelayan dibandingkan memberikan
keuntungan. Fasilitas kredit yang diberikan untuk membantu kelancaran usaha lebih dikenal
dengan kredit produktif yaitu kredit yang diberikan perbankan guna membantu para pengusaha
untuk memperlancar dan meningkatkan kegiatan usahanya yang terdiri dari kredit investasi dan
kredit modal kerja.
Mungkinkah karena beras dan gula import lebih murah. sehingga beras dan gula
serta ikan mereka tidak laku karena lebih mahal.
Ataukah ada yang salah mengenai kebijakan orang- orang atas.
Best AnswerAsker's Choice
Follow
Berita Terkait
Ini Tip Jusuf Kalla untuk Kurangi Kemiskinan dan Pengangguran
Rusia Diajak Bangun Jalur Kereta
Menteri Fadel Ngotot Tak Mau Lepas Garam Impor
Garamnya Disegel, Sumatraco Terancam Tak Berproduksi
Kualitas Rumput Laut Sulawesi Selatan Kalah Bersaing
Topik
#Kemiskinan
#Departemen Kelautan dan Perikanan
Besar Kecil Normal
Ketertinggalan daerah satelit diakibatkan oleh ketidak pedulian negara dan atau pemerintah
pusat sehingga penduduk di pedesaan dibiarkan dengan permasalahannya sendiri. (K.P.
Clements, dalam Sabian, 2005:44)
Kamis (21/11) ribuan komunitas nelayan, petambak, dan lembaga swadaya masyarakat berunjuk
rasa di Jakarta, Indramayu (Jawa Barat), Jepara (Jawa Tengah), Pangkal Pinang (Bangka
Belitung), Langkat (Sumatera), Bau-Bau (Sulawesi Tenggara) dan Manado (Sulawesi Utara)
dalam rangka peringatan Hari Perikanan Sedunia. Mereka, antara lain, mendesak pemerintah
untuk membuat kebijakan yang berpihak dan menyejahterakan pelaku perikanan di Indonesia.
Sejahtera itu hak! tuntut mereka kepada petinggi Negeri Bahari ini.
Dengan luas laut 5,8 juta kilometer persegi dan garis pantai sepanjang 104.000 kilometer atau
terpanjang kedua di dunia, laut ternyata belum mampu menyejahterakan. Nelayan Indonesia
masih tergolong ke dalam kelompok masyarakat paling miskin dengan pendapatan per kapita per
bulan sekitar 7-10 dollar AS[1]. Kondisi nelayan yang miskin saat ini bukan hanya terletak pada
persoalan teknologi alat tangkap, ketersediaan sumberdaya dan pemerataan wilayah
penangkapan, namun ada faktor lain yang menjadi perangkap dalam kebiasaan yang terpola lama
dalam kehidupan masyarakat nelayan.
Perangkap Pranata Sosial
Masyarakat nelayan berbeda dari masyarakat pada umumnya. Pendapat ini didasarkan pada
realitas sosial bahwa masyarakat nelayan memiliki pola-pola kebudayaan yang berbeda dari
masyarakat lain sebagai hasil dari interaksi mereka dengan lingkungan beserta sumberdaya yang
ada di dalamnya. Pola-pola kebudayaan ini menjadi refrensi perilaku masyarakat nelayan dalam
menjalani kehidupan sehari-hari.
Dua pranata strategis yang dianggap penting untuk memahami kehidupan sosial ekonomi
masyarakat nelayan adalah pranata penangkapan dan pemasaran ikan. Kedua pranata sosial
ekonomi tersebut dipandang bersifat eksploitatif sehingga menjadi sumber potensial timbulnya
kemiskinan struktural di kalangan masyarakat nelayan (lihat Masyhuri, 1999)[2].
Keberadaan kedua pranata tersebut terbentuk karena kebutuhan kontekstual atau pilihan rasional
masyarakat nelayan. Mereka jarang mempersoalkan keberadaan pranata tersebut secara negatif.
Mereka menyadari bahwa sistem pembagian hasil atau pemasaran hasil tangkapan, yang
menempatkan para pemilik perahu atau pedagang perantara (tengkulak) memperoleh keuntungan
yang lebih besar dari kegiatan tersebut, dipandang sebagai kewajaran. Pembagian tersebut
dianggap sesuai dengan kontribusi, biaya, dan risiko ekonomi yang harus ditanggung dalam
proses produksi dan pemasaran hasil tangkapan. Persepsi demikian terbentuk karena faktor
keterpaksaan atau karena tidak ada pilihan lain yang harus dilakukan nelayan. Kalaupun diantara
mereka ada yang mengeluh, mereka tidak cukup daya untuk mengubah pranata tersebut agar
lebih memihak pada kepentingan nelayan, khususnya nelayan buruh.
Struktur sosial budaya yang tercermin dalam operasional kedua pranata di atas memiliki
kontribusi besar dalam membentuk corak pelapisan sosial ekonomi secara umum dalam
kehidupan masyarakat nelayan. Mereka yang menempati lapisan sosial atas adalah para pemilik
perahu dan pedagang ikan yang sukses; lapisan tengah ditempati juragan atau pemimpin awak
perahu; lapisan terbawah ditempati nelayan buruh. Mereka yang menempati lapisan atas hanya
sebagian kecil dari masyarakat nelayan, sedangkan sebagian besar warga masyarakat nelayan
berada pada lapisan terbawah. Pelapisan sosial ekonomi ini mencerminkan bahwa penguasaaan
alat-alat produksi perikanan, akses modal, dan akses pasar hanya menjadi milik sebagian kecil
masyarakat, yaitu mereka yang berada pada lapisan atas. Keadaan ini sangat potensial untuk
melestarikan kemiskinan dan kesenjangan sosial di masyarakat nelayan dan mewariskannya dari
generasi ke generasi.
Peran Perempuan
Mobilitas vertikal nelayan dapat terjadi berkat dukungan para istri mereka yang memiliki
kecakapan berdagang (lihat Kusnadi, 2001 dan Suadi, 2012)[3]. Keterlibatan istri dalam kegiatan
perdagangan sangat terbuka lebar karena sistem pembagian kerja secara seksual
memungkinkannya dan sesuai dengan situasi geososial masyarakat nelayan. Dalam sistem
pembagian kerja ini, nelayan bertanggung jawab terhadap urusan menangkap ikan (ranah laut),
sedangkan kaum perempuan bertanggung jawab terhadap urusan domestik dan publik (ranah
darat).
Sistem pembagian kerja yang telah memberikan tempat layak bagi istri nelayan dalam mengatasi
persoalan kehidupan di ranah darat, merupakan katup pengaman untuk mengantisipasi pranatapranata sosial ekonomi yang dianggap pihak lain merugikan kehidupan nelayan. Kaum
perempuan terlibat penuh dalam kegiatan pranata-pranata sosial ekonomi yang mereka bentuk
seperti arisan, kegiatan pengajian berdimensi kepentingan ekonomi, dan simpan pinjam serta
jaringan sosial yang bisa mereka manfaatkan untuk menunjang kelangsungan hidup keluarga.
Kaum perempuan di desa-desa nelayan tidak sekedar membantu suami mencari nafkah, tetapi
mereka sangat menentukan kelangsungan hidup keluarga. Dari sisi tanggung jawab sosial
ekonomi keluarga ini, suami dan istri nelayan berposisi sejajar. Kaum perempuan dan pranatapranata sosial yang ada merupakan potensi pembangunan masyarakat nelayan yang bisa
dieksplorasi untuk mengatasi kemiskinan dan kesulitan ekonomi lainnya.
Diversifikasi Sumber Pendapatan
Persoalan lain yang menjadi akar kemiskinan nelayan adalah tingginya ketergantungan terhadap
penangkapan. Faktor-faktor ketergantungan ini sangat beragam. Akan tetapi, jika ketergantungan
itu terjadi di tengah-tengah masih tersedianya pekerjaan lain di luar sektor perikanan, tentu hal
ini mengurangi daya tahan nelayan dalam menghadapi tekanan-tekanan ekonomi yang ada.
Keragaman sumber pendapatan sangat membantu kemampuan nelayan dalam beradaptasi
terhadap kemiskinan. Nelayan terkadang kurang menyadari bahwa kondisi ekosistem perairan
mudah berubah setiap saat, sehingga dapat berpengaruh terhadap pendapatan nelayan.
Disamping itu, rendahnya keterampilan nelayan untuk melakukan diversifikasi usaha
penangkapan dan keterikatan yang kuat terhadap pengoperasian satu jenis alat tangkap turut
memberikan kontribusi terhadap timbulnya kemiskinan nelayan. Karena terikat pada satu jenis
alat tangkap dan untuk menangkap jenis ikan tertentu maka ketika sedang tidak musim jenis ikan
tersebut, nelayan tidak dapat berbuat banyak. Dengan demikian, diversifikasi penangkapan
sangat diperlukan untuk membantu nelayan dalam mengatasi masalah kemiskinan.
Pranata yang terbentuk pada masyarakat pesisir Pandansimo, Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta dapat menjadi model diversifikasi sumber pendapatan. Selain menangkap ikan,
nelayan juga bertani dan beternak sehingga ketika musim paceklik terjadi, mereka tidak
kehilangan sumber pendapatan.
Kepemilikan peralatan penangkapan ikan secara kolektif yang dikelola melalui paguyuban istri
nelayan telah membantu meningkatkan pendapatan nelayan, distribusi pendapatan relatif merata,
sehingga mobilitas vertikal nelayan dapat diraih secara bertahap. Selain itu para perempuan juga
mengolah dan memasarkan hasil tangkapan ikan sehingga nelayan tidak terlalu bergantung
pada tengkulak.
Identifikasi terhadap kasus-kasus di atas sekurang-kurangnya dapat menjadi bahan perumusan
kebijakan pemberdayaan nelayan. Artinya, kebijakan untuk mengangkat kondisi sosial ekonomi
masyarakat nelayan hanya dapat dilakukan jika gagasan tersebut dapat mengakar pada basis
sosial budaya masyarakat nelayan, atau dengan memperhatikan secara saksama karakteristik
budaya yang mendasari pranata penangkapan nelayan. Jika tidak, kebijakan tersebut tidak akan
terlaksana dengan baik, sehingga perubahan sosial budaya yang diharapkan bukanlah sesuatu
yang mudah dilakukan. Selamat Hari Perikanan Sedunia!
Penulis: Andhika Rakhmanda, Ketua Klinik Agromina Bahari (Kelompok Studi Mitra
Masyarakat Tani-Nelayan) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Share |
HARI NELAYAN NASIONAL
Laporan:
RMOL. Ironis, di tengah Hari Nelayan Nasional yang diperingati pada setiap 6 April, nasib
Nelayan Tradisional Indonesia sampai saat ini tidak banyak berubah, bahkan predikat rakyat
miskin masih terus melekat pada nelayan tradisional dari masa ke masa. Padahal, jelas Indonesia
adalah negara yang wilayah lautnya dua per tiga dari luas wilayahnya..
Indonesiaa Maritime Institute (IMI) melihat kemiskinan nelayan tradisional disebabkan berbagai
ILUSTRASI/I
ST
faktor. Faktor yang paling dominan adalah kuranya keberpihakan pemerintah, dalam hal ini
kementerian kelautan dan perikanan (KKP).
"Intervensi KKP pada sistem ekonomi nelayan ibarat terhalang tembok raksasa," kata Direktur
Maritime Campaign IMI, Bama Putra, beberapa saat lalu (Minggu, 7/4).
Berbagai program KKP lanjut Bama sudah dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup nelayan
tradisional yang melibatkan anggaran APBN triliunan rupiah. Sebagai contoh ada program
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), bantuan alat tangkap seperti motor tempel
dan jaring, SPDN dan lain sebagainya.
"Namun hasilnya nihil. Kenapa hal ini terjadi? karena orientasi program itu lebih ke project
oriented daripada pencapaian target yang seharusnya di capai," tegasnya.
Belum lagi kata Bama, saat ini KKP lebih fokus pada perikanan tangkap yang melibatkan kapalkapal besar (bukan nelayan tradisional) dengan menerbitkan permen 12 dan 30 tahun 2012.
Permen ini cenderung memihak pada pengusaha besar yang memiliki kapal diatas 30 GT.
"Sementara nelayan tradisional dibiarkan berjuang sendiri melawan badai lautan," ungkap Bama.
Pada kesempatan ini, Indonesia Maritime Institute (IMI) mendesak Menteri Cicip untuk segera
mengubah pola berfikir dalam menyusun kebijakan terkait nelayan tradisional. Sebab sudah
seharusnya program KKP lebih banyak berpihak kepada nelayan tradisional, dan bukan malah
mengurusi nelayan besar yang relatif sudah mapan.
"Yang justru malah kebanyakan dari mereka merampok negara dengan berbagai modus operandi
seperti illegal license dan sebagainya. Kami mendesak agar pemerintah menghentikan
pemiskinan nelayan tradisional," tandas Bama.
Diketahui berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada 2011 ada 7,87 juta jiwa
nelayan miskin dan anggota keluarganya di pesisir. Jumlah tersebut adalah sebesar 25,14 persen
dari total penduduk penduduk miskin nasional yang sebanyak 31,02 juta jiwa. Selain itu, jumlah
nelayan miskin dan anggota keluarganya tersebar setidaknya di 10.600 desa nelayan di berbagai
daerah. [ysa]
Baca juga:
Indonesia, Negeri Maritim yang Penuh Ironi
Menteri Sharif Minta Presiden Penuhi Kuota BBM Nelayan
Kementerian Kelautan Perkuat Hakim Ad Hoc Pengadilan Perikanan
Komunitas Cinta Bangsa Desak Dugaan Kongkalikong Proyek SPDN Diusut
Draf RUU Kelautan Dinilai Masih Sangat Dangkal dan Belum Komprehensif
Komentar Pembaca
Kepentingan Peggy sama dengan keluarga Wisnu dan PT Artha Graha. Selain
in ...
Nama Demi Lovato masuk di antara 100 seleb wanita terseksi tahun ini
versi ...
Hadiri Premier Film Kekasihnya, Brad Pitt Diserang Pria tak Dikenal
Ternyata Niki pernah dikasari oleh Diego. Sayang tak mau diungkap karena N
...
Tentang RMOL | Disclaimer | Pedoman Pemberitaan Media Siber | Kontak Kami | RSS
Home
Kesra
Kepala Dinas Kelautan dan Perikan Provinsi Bengkulu, Rinaldi mengatakan sekitar 5 ribu
nelayan di daerah itu masih termasuk ke dalam kategori miskin.
"Jumlah nelayan di Bengkulu saat ini diperkirakan sebanyak 10 ribu jiwa, dan sekitar lima ribu,
atau setengahnya masih tergolong miskin," kata dia di Bengkulu, Rabu.
Nelayan yang dikategorikan miskin tersebut, yakni nelayan yang mencari ikan di pinggir pantai
dengan peralatan tangkap ikan sederhana dan tersebar di sepanjang pesisir pantai di Provinsi
Bengkulu.
"Persoalan kemiskinan di Bengkulu menjadi perhatian pemerintah provinsi, termasuk nelayan,
kami mencoba mengurangi angka kemiskinan dengan program-program tertentu," katanya.
Untuk mengentaskan kemiskinan, khususnya nelayan, Rinaldi mengatakan pihaknya setiap tahun
melalui anggaran daerah serta APBN membantu nelayan dengan memberikan kapal besar
berbobot 30 gross ton (GT).
"Saat ini nelayan yang menggunakan kapal 10 GT saja masih sedikit, mereka hanya
menggunakan kapal yang berukuran kecil, sekitar lima gross ton, dengan kapal besar mereka
bisa menangkap ikan dengan kelompok besar juga," ucapnya.
Untuk tahun 2014, pemerintah setempat memberikan lima buah kapal penangkap ikan berbobot
30 GT untuk nelayan Kota Bengkulu.
"Sekarang masih proses tender, untuk kapal berbobot 30 GT hanya bisa berlabuh di Pelabuhan
Pulau Baai, sehingga bantuan kapal ukuran ini kita khususkan untuk Kota Bengkulu," kata
Rinaldi.
Dengan bantuan tersebut, Pemerintah Provinsi Bengkulu berharap mampu menekan angka
kemiskinan masyarakat pesisir pantai yang berprofesi sebagai nelayan.
"Saya tekankan, bantuan kapal tersebut hanya untuk nelayan miskin, dengan bantuan itu
diharapkan tangkapan ikan mereka menjadi lebih banyak," ujarnya.(ant/ris)
tikFinance
Ekonomi Bisnis
Ekspor Ikan Terus Naik, Nelayan Tetap Miskin
Winda Veronica Silalahi - detikfinance
Jumat, 04/11/2011 17:30 WIB
Halaman 1 dari 2
Jakarta -Kinerja ekspor sektor perikanan terus naik setiap tahun. Kenyataanya
masih banyak nelayan yang miskin dan pelaku usaha perikanan yang gulung tikar.
Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan
Yugi Prayanto di kantor kementerian kelautan dan perikanan, Jakarta, Jumat
(4/11/2011)
"Semakin tinggi ekspor (perikanan) di Indonesia tapi semakin banyak pengusaha
yang bangkrut dan nelayan masih tetap miskin," katanya.
Ia berharap agar pemerintah melakukan pembatasan izin ekspor perikanan
sehingga industri perikanan di dalam negeri meningkat. Yugi juga mengatakan saat
ini nelayan-nelayan masih membeli BBM yang mahal untuk mengoperasikan
kapalnya.
Dikatakannya masalah yang mendasar di sektor perikanan di Tanah Air adalah
banyak rusaknya terumbu karang di lautan Indonesia. Hasilnya banyak ikan-ikan
yang biasa berkembang biak di Indonesia justri lari ke wilayah lain.
"Kadin mengharapkan ada program penyelamatan laut degan reborn dengan
terumbu karang. Banyak kasus yang terjadi pengeboman, racun, sungai tercemar.
Kadin mengharapkan langkah konkret dari pemerintah," katanya.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo mengatakan pemerintah sudah
melakukan beberapa upaya. Misalnya bekerjasama dengan negara-negara pemilik
terumbu karang untuk melakukan penyelamatan dan pemulihan kerusakan terumbu
karang.Next