Anda di halaman 1dari 11

KUTU PERISAI ASPIDIELLA HARTII Cock.

(HEMIPTERA : DIASPIDIDAE) PADA TANAMAN JAHE


DAN PENGENDALIANNYA
Rodiah Balfas
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
ABSTRAK
Jahe merupakan tanaman obat yang
penting, banyak dibudidayakan dan dipergunakan untuk keperluan dalam maupun luar negeri.
Serangan hama dan penyakit pada pertanaman
mengakibatkan penurunan kuantitas maupun
kualitas jahe yang dihasilkan. Kutu perisai
Aspidiella hartii Cock. merupakan salah satu
hama penting pada rimpang jahe. Tulisan ini
bertujuan untuk mengungkapkan biologi, distribusi, serangan dan cara pengendaliannya. A.
hartii berukuran kecil, tubuhnya ditutupi
dengan perisai, mengisap pada permukaan luar
jahe. Serangga ini menyerang rimpang jahe di
pertanaman dan gudang penyimpanan dan
menimbulkan kerugian karena menurunkan
kualitas jahe dan menjadi kendala dalam ekspor
jahe segar Indonesia. Di beberapa daerah di
Jawa Barat dan Sumatera, kutu ini sering
ditemukan pada rimpang jahe dan temu-temuan
lainnya dengan tingkat serangan rendah sampai
berat. Penanggulangan hama ini telah dilakukan
dengan perlakuan benih secara fisik, insektisida
nabati dan sintetik. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mendapatkan cara penanggulangan yang efektif, tidak hanya untuk tujuan
perlakuan benih, tetapi juga melindungi
tanaman dari serangan kutu ini di lapangan
maupun di gudang penyimpanan.
Kata kunci : Jahe, kutu perisai, Aspidiella hartii,
kontrol

ABSTRACT
Scale Insect Aspidiella hartii Cock.
on Ginger Plantation and Its
Control Method
Ginger is an important medicinal crop
which has been largely grown and used for

domestic and export needs. Pests and diseases


cause serious damages resulting in quantity and
quality reduction of ginger. Aspidiella hartii
Cock. is one of important pests on ginger
rhizomes. The aim of this paper was to inform
biology, distribution, and control of this insect.
A. hartii is a small insect whose body is
covered with a scale, suck on outside ginger
surfaces. This insect attacks ginger rhizomes
both in cultivation and storage. The attack of
this insect becomes important mainly due to
rejection of fresh ginger export to some
countries. This insect is distributed in several
places in West Java and Sumatra on ginger and
other Zingiberaceae plants. Control of this
insect has been initiated through seed treatment
using hot water, botanical and synthetic
insecticides. Further research is needed to
develop effective control which can protect the
rhizomes from this insect during cultivation and
storage.
Keywords : Ginger, scale insect, Aspidiella hartii,
control

PENDAHULUAN
Jahe (Zingiber officinale) merupakan salah satu tanaman temu-temuan
yang banyak digunakan dalam industri
obat maupun makanan dan minuman.
Diantara jenis temu-temuan, jahe putih
besar dan kunyit banyak dibudidayakan
dan menjadi komoditas ekspor ke
manca negara, antara lain Singapura,
Jepang, Pakistan, Eropa, USA, dan
Arab Saudi (Anonimus, 2006).
Jahe diserang oleh berbagai jenis
organisme
pengganggu
tanaman

91

(OPT), yaitu penyakit layu bakteri,


nematoda, bercak daun, dan beberapa
jenis hama. Serangga hama dapat menimbulkan kerusakan pada akar rimpang, pangkal batang, batang, dan
daun. Rimpang diserang oleh dua jenis
lalat rimpang Mimegralla coeruleifrons
dan Eumerus figurans, dan kutu perisai
Aspidiella hartii Cock, dan akar diserang oleh uret Exopholis hypoleuca
(Mardiningsih dan Balfas, 2009). Selain itu, pada jahe ditemukan pula
penggerek
pucuk
Dichocrocis
punctiferalis Guen. dan pemakan daun
Udaspes folus Cram. (Nair, 1980).
Masalah yang dihadapi dalam
pelaksanaan ekspor jahe segar dari
Indonesia adalah adanya OPT antara
lain A. hartii. Kutu perisai A. hartii
menempel dan menghisap permukaan
luar rimpang jahe. Pada serangan berat
hampir seluruh permukaan jahe tertutup kutu berupa bintik-bintik berwarna coklat, sehingga rimpang terlihat
kusam. Pada serangan ringan tidak menimbulkan kerusakan yang berarti,
namun karena jahe sebagai komoditas
ekspor serangan kutu tersebut menimbulkan keluhan dari negara-negara tertentu yang tidak menghendaki adanya
cemaran akibat OPT. Akibatnya Pusat
Karantina Pertanian telah menerima
sejumlah permintaan dari instansi
karantina tumbuhan Jepang dan USA
mengenai perlunya tindakan mandatory fumigation, pengiriman kembali
dan pemusnahan terhadap kiriman jahe
dari Indonesia (Suparno, 1996). Hal ini

92

dapat mengurangi daya saing Indonesia


dalam ekspor jahe segar.
Dengan adanya permasalahan
kutu ini, Suparno (1996) mengemukakan perlunya dipelajari biologi, daerah
sebar, dan cara penanggulangannya.
Tulisan ini mengemukakan beberapa
aspek biologi dan distribusi A. hartii
serta upaya penanggulangannya.
BIOLOGI A. HARTII
A. hartii termasuk ke dalam famili Diaspididae, sub ordo Homoptera,
ordo Hemiptera. Sebelumnya serangga
ini diidentifikasi sebagai Aspidiotus
hartii Cock. (Williams dan Watson,
1988). Serangga-serangga yang tergolong dalam famili ini mempunyai ciri
serangga betina tidak mempunyai atau
hanya terlihat bekas antenanya saja,
tidak berkaki, ditutupi oleh perisai yang
keras dan berlilin (Richards dan
Davies, 1977). A. hartii berukuran
kecil, berbentuk bulat, pipih, dan
berwarna kuning yang ditutupi perisai
berwarna kecoklatan sampai abu-abu
(Jacob, 1980). Pada permukaan
rimpang jahe terlihat bintik-bintik
kecoklatan (Gambar 1) dan apabila
kutu ini telah lepas terlihat bekas
perisai yang berwarna putih.
Kutu A. hartii berkembang biak
secara ovovivipar dan kadang-kadang
partenogenetik (Jacob, 1980). Telur
berbentuk oval, berukuran panjang
0,23-0,28 mm dan lebar 0,10-0,11 mm,
berwarna putih bening sampai kuning
terang (Balfas dan Siswanto, 2003).
Nimfa yang baru keluar (instar per-

tama) berukuran kira-kira 1 mm, dapat


bergerak aktif dan setelah mengisap
rimpang akan menetap hingga menjadi
dewasa. Serangga jantan dan betina
dapat dibedakan dari bentuk dan
ukuran perisai. Perisai jantan berbentuk
oval dengan panjang perisai 0,80 mm
dan lebar 0,56 mm, perisai betina
berbentuk agak bulat dan ukuran lebih
besar, panjang 1,55 mm dan lebar 1,32
mm (Balfas dan Siswanto, 2003). Perbedaan ini mulai terlihat pada minggu
kedua. Kutu A. hartii memiliki perkembangan stadia seperti halnya
Quadraspidiotus pernicious (Balfas
dan Siswanto, 2003; Woodward et al.,
1979), yaitu serangga jantan terdiri dari
instar satu, dua, tiga (prepupa), instar 4
(pupa), dan serangga dewasa bersayap.
Serangga betina terdiri dari nimfa instar
satu, dua, dan dewasa (Gambar 2).
Lama hidup sejak instar pertama
hingga menjadi dewasa berlangsung
selama 21 hari (jantan) dan 35-40 hari
(betina) (Balfas dan Siswanto, 2003).
Kutu A. hartii merusak pada tanaman
dengan cara mengisap pada jaringan
floem (Mau dan Kessing, 2009).
Setelah mengisap pada permukaan
rimpang, nimfa sedikit demi sedikit
membentuk perisai. Satu ekor betina
saja dapat menghasilkan keturunan
sampai 10 ekor, namun dari 1 ekor
betina yang dipasangkan dengan jantan
menghasilkan keturunan sampai 123
ekor (Balfas dan Siswanto, 2003).
Menurut Jacob (1980) seekor betina
dapat bertelur sebanyak 100 butir.

DISTRIBUSI, KERUSAKAN
DAN TANAMAN INANG
A. hartii menyerang pertanaman
jahe di Jawa Barat dan sekitarnya.
Sebelumnya telah dilaporkan adanya
serangan kutu ini di beberapa tempat di
Sumatera (Balfas, 1998). Selain di
Indonesia, serangga ini ditemukan pula
di pulau Karibia, Ecuador, Fiji, Papua
New Guinea, Filipina, Pulau Solomon,
Tonga, Ghana, Hawaii, Honduras,
Hongkong, India, Pantai Gading,
Malaya, Nigeria, Panama, Trinidad,
Vanuatu, dan Zambia (Mau dan
Kessing, 2009).
Hasil observasi pada rimpang
temu-temuan yang berasal dari berbagai daerah di Jawa Barat terlihat
bahwa A. hartii menyerang jahe putih
besar, jahe putih kecil, jahe merah,
kencur, kunyit, dan temulawak dengan
tingkat serangan yang bervariasi (Tabel
1). Serangan kutu ini tergolong ringan
pada temu-temuan tersebut kecuali
pada jahe putih besar dan temulawak
mencapai serangan berat. Akan tetapi
pada penanaman temu-temuan (kunyit,
jahe merah, temulawak) di Sukamulya
secara organik dan anorganik terdapat
serangan kutu ini pada jahe merah dan
kunyit, tetapi tidak ditemukan pada
temulawak (Rizal et al., 2007).

93

Gambar 1. Rimpang jahe terserang A. hartii (kiri) dan rimpang jahe sehat
(kanan)

b
c

d
e

f
g
h

Gambar 2. Perkembangan kutu perisai Aspidiella hartii Cock. jantan : a. nimfa


instar 1, b. instar 2, c. pre-pupa, d. pupa, e. dewasa dan betina :
f. nimfa instar 1, g. instar 2 dan h. dewasa (Naibaho, 1999).

94

Pada budidaya organik terdapat


serangan kutu ini pada rimpang kunyit
sedikit lebih tinggi dibanding pada
budidaya anorganik, tapi tidak berbeda
nyata dibanding pada jahe merah pada
kedua cara budidaya tersebut (Tabel 2).
Kutu ini juga menyerang tanaman
water yam (Dioscorea alata L.)
(Iheagwam, 1986) dan jenis lainnya (D.
esculenta, D. rotundata, dan D.
dumetorum) (Akinlosotu, 1988).

Kerusakan yang diakibatkan oleh


kutu ini secara individual adalah kecil,
akan tetapi pada populasi tinggi, tanaman terlihat menguning, defoliasi,
berkurangnya rimpang dan menurunnya vigoritas tanaman (Mau dan
Kessing, 2009). Selain itu penampilan
rimpang yang terserang menjadi kusam, sehingga serangga ini disebut sebagai cosmetical pest. Pada penyimpanan dalam gudang, rimpang jahe
yang diserang menjadi kisut seperti

Tabel 1. Distribusi, tanaman inang, dan serangan kutu persia pada temu-temuan di
Jawa Barat
Lokasi
Bogor, Cimanggu
Sukabumi, Sukamulya

Jenis tanaman
Jahe putih besar
Jahe putih besar, jahe
putih kecil, jahe merah,
kunyit, temulawak, kencur

Sukabumi, Cibadak
Sukabumi, Girijaya

Jahe merah
Jahe putih besar

Majalengka, Maja
Majalengka, Lemah Sugih
Cianjur

Jahe putih besar


Jahe putih besar
Jahe merah, jahe putih
kecil
Jahe putih besar
Jahe putih besar

Sumedang, Wado
Garut, Malangbong

Serangan
Ringan sampai berat
Ringan, kecuali pada
jahe putih besar dan
temulawak serangan
ringan sampai berat
Ringan
Ringan
Ringan sampai sedang
Ringan sampai sedang
Ringan
Ringan sampai sedang
Ringan sampai sedang

Sumber : Balfas dan Siswanto (2003)

Tabel 2. Intensitas serangan kutu perisai pada tanaman kunyit dan jahe merah yang
ditanam dengan teknologi budidaya organik dan anorganik di Sukamulya,
Sukabumi
Jenis tanaman
Kunyit
Jahe merah

Budidaya
Organik
Anorganik
Organik
Anorganik

Intensitas serangan (%)


11,76 a
7,23 a
9,35 a
10,96 a

Sumber : Rizal et al. (2007)

95

mengering (Nair, 1980). Serangan


kutu ini berasal dari pertanaman di
lapangan dan terbawa ke dalam gudang penyimpanan. Selain itu serangan dapat diakibatkan dari penggunaan benih yang telah terserang.
Kutu ini mudah berkembang biak
dalam
penyimpanan,
sehingga
serangannya dapat meningkat selama
penyimpanan.
CARA PENGENDALIAN
Pengendalian hama tanaman
obat dilakukan dengan memadukan
berbagai cara, antara lain cara fisik,
mekanik, kultur teknis, biologis, dan
bahan kimia (Prajapati et al., 2007).
Upaya pengendalian kutu perisai telah
dilakukan secara fisik, insektisida
nabati dan sintetik.
Cara fisik
Menurut Vincent et al. (2003),
pengendalian secara fisik dapat dilakukan dengan memodifikasi lingkungan sehingga serangga hama tidak
lagi menjadi ancaman pada tanaman.
Cara ini meliputi metode aktif
(mekanis, panas, radiasi elektromagnet)
dan metode tidak aktif (pembuatan
parit dan pagar, mulsa organik, mulsa
dari bahan artifisial, particle films,
perangkap, minyak, surfaktan, dan
sabun). Minyak mineral dapat digunakan dalam pengendalian tungau,
kutu perisai, kutu putih, psyllid, aphid,
dan leafhopper, sedangkan perendaman
air panas 43-55C selama beberapa
menit sampai berapa jam digunakan

96

untuk mengendalikan serangga dan


nematoda. Upaya perendaman rimpang
jahe terinfestasi A. hartii dengan air
panas pada suhu 50 C selama 10 menit
mengakibatkan kematian kutu hingga
50% (Tabel 3). Untuk meningkatkan
mortalitas kutu perlu dicoba untuk
menaikkan suhu air panas dan memperpanjang waktu perendaman, tetapi
tidak berpengaruh terhadap viabilitas
benih.
Walker et al. (1996) mengemukakan bahwa penggunaan alat pencuci
bertekanan tinggi dapat menghilangkan
kutu perisai pada jeruk hingga 98%.
Upaya sejenis telah dilakukan pada permukaan rimpang jahe oleh pedagang
pengumpul dengan cara sortasi, pencucian, dan penyikatan pada permukaan rimpang, kemudian dikeringanginkan (Balfas, 1998). Cara demikian
mampu membersihkan kutu-kutu di
sebelah luar, namun perlu dievaluasi
apakah cara tersebut dapat menghilangkan seluruh kutu yang terselip biasanya
di bawah kulit luar.
Hasil observasi penggunaan
Tween 20 menyebabkan permukaan
rimpang jahe menjadi licin dan dapat
mengurangi serangan kutu. Untuk itu
perlu dilakukan pengujian berbagai
jenis minyak terhadap kelangsungan
hidup A. hartii, seperti disebutkan oleh
Vincent et al. (2003) bahwa minyak
mineral dapat sebagai agen pengendali
kutu perisai.

Cara kultur teknis


Selama ini belum diketahui aspek budidaya yang dapat menekan A.
hartii. Telah disebutkan di atas bahwa
kutu ini mempunyai beberapa tanaman
inang lain selain jahe. Cara yang dapat
dilakukan untuk menghindari serangan
hama ini adalah dengan tidak menanam
jahe pada lahan yang telah ditanami
dengan salah satu tanaman inangnya.
Di India telah diketahui adanya
41 dari 191 galur kunyit yang tidak
terserang oleh kutu ini (Regupathy et
al., 1976). Di Indonesia belum pernah
dilakukan pengujian ketahanan nomornomor jahe terhadap kutu ini. Hal ini
merupakan salah satu penelitian yang
perlu dilakukan untuk mendapatkan
tanaman jahe yang tahan terhadap kutu
perisai.
Cara biologis
Pengendalian hama secara biologis dapat dilakukan dengan cara inokulasi, inundasi, dan konservasi musuh
alami. Cara inokulasi dan inundasi
tidak mudah dilakukan karena perlu
perbanyakan musuh alami di laboratorium. Cara yang dapat dilakukan
adalah mengupayakan lingkungan yang
menguntungkan bagi parasitoid, berupa
penyediaan tanaman berbunga, menghindari penggunaan insektisida yang
dapat memusnahkan parasitoid.
Sekitar 80-90% dari A. hartii
pada rimpang jahe yang baru dipanen,
permukaan perisai berlubang-lubang
yang merupakan tempat keluarnya
parasitoid. Ada dua parasitoid yang

termasuk dalam famili Encyrtidae dan


Eupelmidae, Hymenoptera tetapi
belum diketahui jenisnya (Balfas dan
Siswanto, 2003). Di India telah
dilaporkan adanya dua jenis parasitoid,
yaitu Physcus sp. (Aphelinidae, Hymenoptera) dan Adelencyrtus moderatus
(Encyrtidae, Hymenoptera) (Jacob,
1980). Peranan parasitoid pada A. hartii
cukup tinggi, sehingga sedapat mungkin dihindari penggunaan pestisida
yang dapat mematikan musuh alami
tersebut.
Insektisida nabati
Pemanfaatan bahan pengendali
yang ramah lingkungan sangat diperlukan untuk mengurangi penggunaan
pestisida sintetik. Disamping itu dengan berkembangnya pertanian organik, maka cara pengendalian tanpa
menggunakan bahan kimia sintetik
sangat diperlukan. Salah satu insektisida nabati yang telah banyak
digunakan adalah serbuk biji mimba
(SBM) untuk mengendalikan hama
kapas di lapang dengan efektifitas yang
sama dengan insektisida sintetik
(Subiyakto, 2002).
Penelitian penggunaan insektisida nabati telah dilakukan dengan
menggunakan campuran ekstrak mimba dan jarak kepyar yang dicampur
dengan Tween 20 sebagai pengemulsi
dengan hasil dapat menekan lebih dari
80% populasi kutu di laboratorium
maupun pada tiga bulan setelah tanam,
dengan efektifitas yang sama dengan
insektisida sintetik (Tabel 3).

97

Tabel 3. Mortalitas dan populasi A. hartii setelah perlakuan fisik, insektisida nabati
dan sintetik
Perlakuan perendaman
rimpang
Ekstrak mimba 2,5%
Ekstrak mimba 7,5%
Ekstrak jarak kepyar 2,5%
Ekstrak jarak kepyar 7,5%
Air panas 40 C 20 menit
Air panas 50C 10 menit
Karbosulfan EC
Karbosulfan ST
Akuades
Tanpa perlakuan

Mortalitas (3 hari
setelah perlakuan)
94,4 ab
97,6 a
80,5 ab
98,9 a
4,8 c
50,0 b
59,4 b
3,5 c
1,1 c

Populasi kutu perisai


(3 bulan setelah tanam)
0,05 b
0,04 b
0,03 b
0,00
2,65 ab
2,00 ab
0,07 b
0,05 b
4,94 a
3,33 ab

Sumber : Balfas dan Djiwanti (2004)

Penggunaan daun Lantana


camara dalam penyimpanan kentang
terbukti dapat menekan kerusakan
umbi kentang dari serangan hama
Pthorimaea operculella, dapat mengurangi susut umbi dan tidak berpengaruh
buruk terhadap pertunasan umbi
(Simatupang et al., 2001). Saat ini
sedang dikembangkan biofumigan dari
tanaman famili Brassicaceae (Yulianti
dan Supriadi, 2008). Penggunaan
bahan nabati demikian perlu dicoba
dalam penyimpanan rimpang jahe di
gudang untuk melihat pengaruhnya
terhadap serangan hama dan penyakit
maupun penampilan rimpangnya.
Insetisida sintetik
Penggunaan insektisida berbahan
aktif karbosulfan, dalam formulasi EC
dan ST, dapat melindungi rimpang jahe
terhadap A. hartii hingga tiga bulan
setelah tanam (Tabel 3). Walaupun for-

98

mulasi berbeda, tetapi mempunyai


pengaruh yang sama terhadap penekanan A. hartii.
Penggunaan metil bromida sebagai fumigan telah dicoba oleh Balai
Karantina Tumbuhan Belawan Medan
(Anonimus, 1996). Penggunaan bahan
kimia sangat dibatasi karena dapat
merusak lapisan ozon. Sejak tahun
2008, penggunaan metil bromida di
Indonesia telah dilarang, kecuali untuk
tujuan karantina dan pra pengapalan.
Sebagai gantinya, saat ini sedang
dikembangkan fumigan dari bahan
tanaman.
Perlakuan insektisida pada umbi
yam dapat mengendalikan A. hartii
sekaligus pula mengurangi infeksi oleh
jamur (Morse et al., 2000). Disebutkan
pula bahwa terjadinya penyakit oleh
jamur berhubungan erat dengan
serangan hama.

KESIMPULAN DAN SARAN


Pengendalian kutu perisai A.
hartii telah dirintis dengan cara perendaman benih dalam air panas, dan
penggunaan insektisida nabati dan
sintetik. Penggunaan ekstrak biji
mimba dan jarak kepyar yang
dicampur dengan Tween 20 sebagai
insektisida nabati serta karbosulfan
dapat menekan A. hartii hingga tiga
bulan setelah tanam.
Teknologi penanggulangan kutu
perisai ini perlu dikembangkan tidak
hanya dengan cara perlakuan benih
tetapi juga dengan teknik penanggulangan selama di pertanaman dan
dalam gudang penyimpanan. Penanaman jahe pada lahan yang telah
ditanami temu-temuan, sebaiknya
dihindari untuk mencegah serangan A.
hartii. Penelitian lanjutan yang diperlukan untuk menekan serangan kutu
ini, antara lain teknik penanggulangan
dengan perlakuan air panas pada suhu
antara 50-55o C, penggunaan minyak
mineral, pengujian nomor-nomor jahe
terhadap A. hartii, dan pemanfaatan
insektisida nabati dan sintetik.
DAFTAR PUSTAKA
Akinlosotu, T.A. 1988. Studies on the
incidence of yam scale, Aspidiella
hartii on Dioscorea spp. and its
chemical control. Journal of Root
Crops 14 (2): 21 23 (Abstract).

Anonimus. 1996. Sertifikasi karantina


tumbuhan terhadap jahe segar
ekspor. Balai Karantina Tumbuhan
Belawan Medan. 21 hal.
Anonimus. 2006. Statistik perdagangan
luar negeri Indonesia. Ekspor 2006.
Vol. I. Badan Pusat Statistik.
Jakarta.
Balfas, R. 1998. Aspidiella hartii.
Hama rimpang jahe. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri 4 (3) : 1-3.
Balfas, R. dan Siswanto. 2003. Bionomi kutu perisai pada rimpang
jahe, Aspidiella hartii Ckll. (Hemiptera; Diaspididae) pada tanaman jahe. Makalah disampaikan pada
Kongres VI PEI dan Simposium
Entomologi. Bogor 5 7 Maret
2003.
Balfas, R. dan S.R. Djiwanti. 2004.
Effect of seed treatment on suppressing ginger scale insect. Proceedings of International Symposium on Biomedicines. Bogor
Agricultural University, 18 19th
September 2003.
Iheagwam, E.U. 1986. Preliminary
observations on the entomofauna of
the water yam during storage
(Insecta). Deutsche-EntomogischeZeitschrift 33 (1-2): 71-73
(Abstract).

99

Jacob, S.A. 1980. Biology and bionomics of ginger and turmeric scale
Aspidiotus hartii. Proceedings of
the National Seminar on Ginger
and Turmeric. Eds. M.K. Nair, T.
Premkummar, P.N. Ravindran and
Y.R. Sarma. Calicut, April 8 9,
1980. Central Research Institute.
Kasaragod, Kerala, India. pp. 131132.

Nair, M.R.G.K. 1980. Pests of ginger


and turmeric. Proceedings of the
National Seminar on ginger and
turmeric. Calcut, 8-9 April 1980.
pp. 101-103.

Mardiningsih, T.L. and R. Balfas.


2009. Insects associated with zingiberaceae plants. Proceedings of the
first International Symposium on
Temulawak (in press).

Regupathy, A., G. Sutharam, M.


Balasubramanian,
and
R.
Arumugam. 1976. Occurrence of
the scale, Aspidotus hartii C.
(Diaspididae, Homoptera) on
different type of turmeric, Curcuma
long Linn. Journal of Plantation
Crops 4 (2): 80 (Abstract).

Mau, R.F.L. and J.M. Kessing. 2009.


Aspidiella hartii (Cockerell) turmeric root scale. Department of
Entomology. Honolulu, Hawaii.
Http: www. Extento.hawaii.edu/
kbase/crop/Type/a_hartii.htm. [29
Januari 2009].
Morse, S., M. Acholo, N. Mc Namara,
and R. Olivia. 2000. Control of
storage insects as a means of
limiting yam tuber fungal rots.
Journal of Stored Products
Research 36 (1): 37-45.
Naibaho, M. 1999. Morfologi dan perkembangan kutu perisai Aspidiella
hartii Cock (Homoptera: Diaspididae) pada rimpang kunyit (Curcuma domestica Val.). Skripsi
Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Pakuan. Bogor.

100

Prajapati, N.O., S.S. Purofit, A.K.


Sharma, and T. Kumar. 2007. A
handbook of medicinal plants. A
Complete Source Book. Agrobios
India.

Richards, O.W. and R.G. Davies. 1977.


ImmsGeneral Textbook of Entomology. Tenth Edition Volume 2.
Classification and Biology. Chapman and Hall. New York. 1345 p.
Rizal, M., R. Balfas, S.R. Djiwanti, dan
R. Harni. 2007. Serangan OPT
pada rimpang kunyit, jahe merah,
dan temulawak yang dibudidayakan secara organik dan anorganik.
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Tanaman Obat Menuju Kemandirian Masyarakat dalam Pengobatan Keluarga. Jakarta,
7 September 2006.

Simatupang, S., B. Napitupulu, dan M.


Simamora. 2001. Pengujian efektifitas ketebalan daun Lantana camara untuk melindungi umbi bibit
kentang
dari
Pthorimaea
operculella di gudang. Jurnal
Hortikultura 11 (2) : 121-131.

Walker, G.P., J.G. Morse, and M.L.


Arpala. 1996. Evaluation of a
highpressure washer for postharvest removal of California red scale
(Homoptera : Diaspididae) from
citrus fruit. Journal of Economic
Entomology 89 (1) : 148-155.

Subiyakto. 2002. Pemanfaatan serbuk


biji mimba (Azadirachta indica A.
Juss) untuk pengendalian serangga
hama kapas. Perspektif 1 (1) : 9-17.

Williams, D.J. and G.W. Watson.


1988. The scale insects of the tropical south Pacific region. Part 1.
The armoured scales (Diaspididae).
CAB International Institute of
Entomology. 289 p.

Suparno, S.A. 1996. Masalah emergency notification dalam pelaksanaan ekspor jahe segar Indonesia
serta upaya penanggulangannya.
Makalah disampaikan pada Pertemuan Karantina dan Eksportir
dan Petani Jahe di Jakarta, 20
Maret 1996.
Vincent, C., G. Hallman, B. Panneton,
and F. Fleurat-Lessard. 2003.
Management of agricultural insects
with physical control methods.
2003. Annual Review Entomology
48: 261- 281.

Woodward, T.E., J.W. Evans, and V.F.


Eastop. 1979. Hemiptera: The Insects of Australia. A Text book for
Student and Research Workers.
Melbourne University Press. pp.
387-457.
Yulianti, T. dan Supriadi. 2008. Biofumigan untuk pengendalian patogen tular tanah penyebab penyakit
yang ramah lingkungan. Perspektif
7 (1): 21-31.

101

Anda mungkin juga menyukai