OSTEOPOROSIS
Dosen Pembimbing:
Disusun oleh :
Kelompok I/Profesi Minat Rumah sakit
Lestyorini Dewi Pratiwi
Yohan Wahyudhi
Eka Yuliyanti
Elisabeth Yoana Marrie Adelina
Dhigna Luthfiyani Citra Pradana
(FA/07169)
(FA/07514)
(FA/07740)
(FA/07841)
(FA/8888/P)
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011
OSTEOPOROSIS
A. EPIDEMIOLOGI
porus seperti spons. Gangguan ini melemahkan tulang dan mengakibatkan sering
terjadinya patah tulang (Ikawati, 2011).
WHO mengklasifikasikan massa tulang berdasarkan T-scores. T-scores
merupakan bilangan standar deviasi dari rata-rata densitas mineral tulang pada
populasi muda normal. Massa tulang yang normal memiliki nilai T-score lebih
besar dari -1, osteopenia memiliki nilai T-score -1 sampai -2,5, sedangkan
osteoporosis memiliki nilai T-score kurang dari -2,5 (Dipiro et al, 2005).
Tulang yang terkena osteoporosis dapat patah (fraktur) karena cedera kecil
yang biasanya tidak akan menyebabkan tulang patah. Fraktur tersebut dapat
berupa retak/remuk, seperti patah tulang pinggul, atau patah (seperti pada tulang
belakang. Bagian punggung, pinggul, rusuk, dan pergelangan tangan merupakan
daerah umum terjadinya patah tulang akibat osteoporosis, meskipun fraktur
osteoporosis dapat terjadi pada semua tulang rangka (Ikawati, 2011).
C. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Penyebab terjadinya osteoporosis adalah multifaktorial, dengan banyak faktor
risiko. Namun dari berbagai faktor risiko tersebut, yang paling banyak dan
umum dijumpai adalah :
1. Osteoporosis postmenopause
Dalam keadaan normal estrogen akan mencapai sel osteoblas dan
beraktivitas melalui reseptor yang terdapat dalam sitosol, mengakibatkan
menurunnya sekresi sitokin seperti IL-1, IL-6, dan TNF yang berfungsi
dalam penyerapan tulang.
Di lain pihak, estrogen akan meningkatkan sekresi TGF yang
merupakan mediator untuk menarik sel osteoblas ke daerah tulang yang
mengalami penyerapan oleh osteoklas.
Sedangkan efek estrogen normal pada osteoklas adalah menekan
diferensiasi dan aktivasi sel osteoklas dewasa. Defisiensi estrogen setelah
menopause meningkatkan proliferasi, diferensiasi, dan aktivasi osteoklas baru
dan memperpanjang masa hidup osteoklas lama, sehingga resorpsi tulang
melebihi pembentukannya (Dipiro et al, 2005).
2. Osteoporosis terkait usia
Hampir separuh masa hidup terjadi mekanisme penyerapan dan
pembentukan tulang. Selama masa anak-anak dan dewasa muda pembentukan
3
tulang jauh lebih cepat dibanding penyerapan tulang. Titik puncak massa
tulang terjadi pada usia sekitar 30 tahun, dan setelah itu mekanisme resorpsi
tulang menjadi lebih jauh lebih cepat dibanding pembentukan tulang.
Penurunan massa tulang yang cepat akan menyebabkan kerusakan
mikroarsitektur tulang, terutama pada tulang trabekular. Progresifitas resorpsi
tulang merupakan kondisi normal dalam proses penuaan. Peristiwa ini diawali
pada antara dekade 3 sampai 5 kehidupan. Perkembangan resorpsi tulang
lebih cepat pada tulang trabekular dibanding tulang kortikal, dan pada wanita
akan mengalami percepatan menjelang menopause.
Progresifitas resorpsi pada usia tua juga diperburuk dengan penurunan
fungsi organ tubuh, termasuk penurunan absorbsi kalsium di usus,
meningkatnya hormon paratiroid dalam serum, dan menurunnya laju aktivasi
vitamin D yang lazim terjadi seiring proses penuaan.
3. Osteoporosis sekunder
Merupakan osteoporosis yang disebabkan oleh penyakit atau penggunaan
obat tertentu. Penyebab paling umum osteoporosis sekunder adalah defisiensi
vitamin D dan terapi glukokortikoid (Dipiro et al, 2005).
Defisiensi vitamin D akan menyebabkan penurunan absorpsi kalsium di
usus, sehingga kalsium dalam darah akan turun, sehingga untuk memenuhi
kalsium darah akan diambil kalsium dari tulang yang dapat menyebabkan
kerapuhan tulang.
Terapi dengan glukokortikoid secara terus menerus juga menyebabkan
efek samping berupa osteoporosis. Kortikosteroid menyebabkan penurunan
penyerapan kalsium dari usus, peningkatan hilangnya kalsium dari usus,
peningkatan hilangnya kalsium melalui ginjal dalam air seni dan peningkatan
hilangnya kalsium tulang. Sehingga diperlukan pengukuran kepadatan tulang
pasien untuk mengidentifikasi kemungkinan osteoporosis.
D. GEJALA DAN TANDA
1. Gejala :
Nyeri
Imobilitas
Penggunaan
bifosfonat
dapat
memperbaiki
keadaan
dengan
kategori
usia
diatas
30
tahun,
sasarannya
adalah
H. STRATEGI TERAPI
Terapi farmakologi dan non farmakologi osteoporosis memiliki tujuan :
1.
2.
3.
4.
2. Terapi Farmakologi
memadai
Aktivitas fisik yang optimal (berat badan, penguatan otot, ketangkasan,
keseimbangan)
Gaya hidup yang sehat (tidak merokok, tidak minum alcohol, dan kafein).
Pencegahan terhadap kecelakaan atau trauma
lama
Terapi dapat dilakukan dengan Biphosphonate, jika intolerance dengan
Biphosphonate pilihan terapi obat lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin nasal,
teriparatide, bifosfonat parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut setelah
pemakaian Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah teriparatide
2. Pengobatan dengan pengukuran BMD (Bone Mineral Density)
Populasi yang perlu pengukuran BMD :
Untuk wanita dengan usia 65 tahun
Untuk wanita usia 60-64 tahun postmenopause dengan peningkatan
risiko osteoporotis
Pria dengan 70 tahun atau yang risiko tinggi
Dari hasil pengukuran BMD, jika T-score >-1, maka nilai BMD termasuk
normal, tetapi tetap diperlukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika
diperlukan pengobatan, maka pilihan pengobatannya adalah Biphosponate,
Raloxifene, Calcitonin (Dipiro et.al , 2005).
Jika T-score -1 s/d -2,5, maka termasuk dalam osteopenia. Dapat dilakukan
monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan pengobatan, maka
pilihan pengobatannya adalah Biphosponate, Raloxifene, Calcitonin
Jika T-score <-2,0 dilakukan pemeriksaan lanjut untuk osteoporosis
sekunder, yaitu dengan pengukuran PTH, TSH, 25-OH vitamin D, CBC,
panel kimia, tes kondisi spesifik. Kemudian dilakukan terapi berdasarkan
penyebab, bila ada, yaitu dengan Biphosphonate, jika intoleransi dengan
Biphosphonate
maka
pilihan
pengobatannya
adalah
Biphosphonate
10
11
menjadi
(1,25-[OH]2-D3
atau
kalsitriol)
dan
24,25-
Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi kalsitonin yaitu mual, muntah,
flushing (Anonim, 2008).
F. Estrogen dan terapi hormonal
Mekanisme kerja
Estrogen menurunkan aktivitas osteoklas, menghambat PTH secara periferal,
meningkatkan konsentrasi kalsitriol dan absorpsi kalsium di usus, dan menurunkan
ekskresi kalsium oleh ginjal. Penggunaan estrogen dalam jangka waktu lamatanpa
diimbangi progesteron meningkatkan risiko kanker endometrium pada wanita yang
uterusnya utuh.
Kontraindikasi
Estrogen ini kontraindikasi dengan wanita hamil dan menyusui, kanker estrogenindependent (Anonim, 2008).
G. Fitoestrogen
Isoflavonoid (protein kedelai) dan lignan (flaxseed) merupakan bentuk estrogen
dimana efeknya terhadap tulang dapat disebabkan aktivitas agonis reseptor estrogen
tulang atau efek terhadap osteoblas dan osteoklas. beberapa studi isoflavon
menggunakan dosis yang lebih besar dilaporkan dapat menurunkan penanda resorpsi
tulang dan sedikit meningkatkan densitas (Anonim, 2008).
H. Testosteron
Penurunan konsentrasi testosteron tampak pada penyakit gonad, gangguan
pencernaan dan terapi glukokortikoid. Berdasarkan penelitian terapi testosteron ini
dapat meningkatkan BMD dan mengurangi hilangnya massa tulang pada pasien
osteoporosis laki-laki (Dipiro et.al , 2005).
I. Teriparatide
Terapi anabolik ini hanya untuk terapi menjaga dan memelihara bentuk tulang.
Teriparatide merupakan produk rekombinan yang mewakili 34 asam amino pertama
dalam PTH manusia. Teriparatide meningkatkan formasi tulang, perubahan bentuk
tulang dan jumlah osteoblast beserta aktivitasnya sehingga massa tulang akan
meningkat. Teriparatide disarankan oleh FDA kepada wanita postmenopouse dan
laki-laki yang memiliki resiko tinggi terjadi fraktur. Efikasi dari teriparatide ini dapat
meningkatkan BMD. PTH analog sangat penting dalam pengelolaan pasien
osteoporosis yang memiliki risiko tinggi patah tulang karena PTH merangsang
14
J. KASUS
KASUS OSTEOPOROSIS
Ny AK (54th) seorang ibu rumahtangga istri dari seorang pengusaha, sejak 1 bulan
yang lalu mengeluh nyeri pada punggung dan tulang belakang. Siklus menstruasinya
sudah berhenti sekitar 3 tahun yang lalu. Untuk mengatasi keluhannya, dia minum
Natrium Diklofenak tablet 2X50 mg sehari. Beberapa saat nyeri bisa berkurang,
namun kemudian sering kambuh lagi.
Riwayat Penyakit Sebelumnya
Hipertensi sejak 10 th yang lalu
Memiliki riwayat ulcer dan perdarahan lambung
Pernah mengalami perdarahan per vagina (vaginal bleeding) setahun yang lalu
Riwayat Keluarga
Ibunya meninggal karena kanker payudara
15
Riwayat Pengobatan
Kaptopril 3X12,5 mg sehari
Nifedipin 3X10 mg sehari
Pemeriksaan fisik
Tekanan Darah 160/100
Tek Nadi dan RR dbn (dalam batas normal)
Pemeriksaan Laboratorium
Kolesterol total 237
Serum kreatinin 0,9
Kalsium 9,0
Phosphor 4,0
BUN 30
Pemeriksaan urin
Protein 0
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan hysterocopic : Normal
Pemeriksaan penunjang lain
Hasil pap smear dan mammogram : Normal
Diagnosa
Osteoporosis post menopause
Soal
1. Bagaimana etiologi terjadinya osteoporosis pada pasien tersebut ?
Pemeriksaan (laboratorik / radiologi) apa yang perlu dilakukan untuk
menunjang diagnosis ditegakkan ?
2. Bagaimana tata laksana dan monitoring terapi kasus ini ?
16
3. Informasi apa yang bisa anda berikan kepada pasien terkait dengan
terapinya ?
Analisis kasus
Pasien dicurigai menderita osteoporosis dari keluhan nyeri pada punggung dan tulang
belakang, yang tidak menghilang meskipun sudah diberikan Na diklofenak.
Ditambah pula dengan adanya faktor resiko terjadinya osteoporosis pada pasien
yaitu:
Wanita yang memiliki ukuran tulang yang lebih kecil, massa tulang puncak
lebih rendah dan insidensi jatuh lebih banyak daripada pria.
Hasil Pemeriksaan
160/100
Normal
Nilai Normal
120/80
Keterangan
Tinggi
Dalam batas normal
RR dbn
Kolesterol total
237
150-199
Tinggi
LDL
HDL
Trigliserida
Serum kreatinin
Kalsium
Phospor
BUN
Pemeriksaan urin:
135
60
160
0,9
9,0
4,0
30
0
mg/dL
<100
60
<150
0,5-1 mg/dL
9-11 mg/dL
2,5-4,5 mg/dL
8-25 mg/dL
17
Cukup tinggi
Tinggi
Cukup tinggi
Normal
Normal
Normal
Tinggi
Normal
Protein
Pemeriksaan
Normal
Normal
Normal
Normal
radiologis:
Pemeriksaan
hysterocopic
Pemeriksaan
penunjang lain:
Hasil pap smear dan
mammogram
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan laboratorium seperti yang disebut di atas, biasanya masih dalam
batas normal untuk keadaan osteoporosis. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pemeriksaan tambahan yaitu penentuan massa tulang secara radiologis
dengan pesawat X-ray absorptiometry: densitometer DEXA (Dual Energy Xray Absorptiometry). Pertimbangan memilih DEXA dibandingkan dengan alat
diagnosa lain adalah:
-
Dapat mengukur dari banyak lokasi seperti anterior dan lateral sehingga
presisi pengukuran lebih tajam jika dibandingkan dengan DPA (Dual
Photon Absorptiometry).
18
: T-score -1
Osteopenia
Nama Sediaan
Dosis
: 60 mg/hari (1 tablet/hari)
Aturan pakai
Biaya
Mekanisme aksi
Efek samping
Interaksi obat
:-
Alasan pemilihan :
2. Suplemen Tulang
Kalsium dan Vitamin D
Nama Sediaan
20
Dosis
: 1 tablet/hr
Aturan pakai
Biaya
: 3 x 10 (Rp.34.000,-)
Mekanisme aksi
Efek samping
: konstipasi
Interaksi obat
:-
Alasan pemilihan :
3. Antinyeri
Na Diklofenak
a. Untuk mengatasi nyeri punggung dan tulang belakang yang dialami nyonya
AK tetap dipilih Na Diklofenak dengan bentuk sediaan gel.
Nama Sediaan : Valto diproduksi oleh Nufarindo
Dosis
: Oleskan 3x/hr
Aturan pakai
belakang.
Biaya
21
b. Antihipertensi
Terapi antihipertensi pasien sebelumnya, tetap diteruskan untuk mengendalikan
tekanan darah, dan karena tidak ada keluhan atau masalah yang timbul dari
penggunaan obat.
Kaptopril
Nama Sediaan
Dosis
Aturan pakai
makan
Biaya
: 12,5 mg x 10 x 10 (Rp.181.500,-)
Mekanisme aksi
Interaksi obat
:-
Alasan pemilihan :
Nifedipin
22
Nama Sediaan
Dosis
Aturan pakai
grapefruit
Biaya
: 10 mg x 10 x 10 (Rp.33.000,-)
Mekanisme aksi
: hipotensi, palpitasi
Interaksi obat
:-
Alasan pemilihan :
Suplemen
Nifedipin
grapefruit
23
Dipiro, J. T., Robert L. T., Gary C. Y., Gary R. M., Barbara G. W., and L.
Michael Posey. 2006. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach.
Seventh edition. New York. Mc Graw Hill Medical.
Hannan, E.L., Magaziner, J., Wang, J.J., Eastwood, E.A., Silberzweig, S.B.,
Gilbert, M., Morrison, R.S., McLaughlin, M.A., Orosz, G.M., Siu, A.L.,
2001, Mortality and locomotion 6 months after hospitalization for hip
fracture: risk factors and risk-adjusted hospital outcomes, JAMA,
285(21):2736-42.
Ikawati, Z., Mari Melangkah Dengan Pasti di Tahun 2011 (tanpa osteoporosis),
http://zulliesikawati.wordpress.com/2011/01/03/mari-melangkah-denganpasti-tanpa-osteoporosis/, diakses tanggal 22 September 2011.
25