Partai politik yang akan mengikuti pemilihan umum, harusnya memiliki standar dalam
merekrut calon anggota legislatif yang tegas dan ketat. Kriteria calon wakil rakyat itu mesti jelas
dan bisa menjadi filter untuk mencegah calon wakil rakyat bermasalah masuk. Misalnya, caleg
yang pernah tersangkut masalah korupsi atau pelanggaran HAM, tidak diterima sebagai bakal
caleg. Hal ini penting guna memastikan calon anggota dewan itu benar-benar bukan orang
bermasalah, tetapi pribadi-pribadi yang punya integritas.
Tentu saja masing-masing partai politik mempunyai mekanisme tersendiri dalam hal fit
and proper test. Kriterianya mungkin tidak sama bagi semua parpol. Namun paling tidak, ada
prinsip umum yang mesti digunakan semua partai politik dalam menseleksi calegnya.
Ini penting apalagi banyak bukti dari hasil survei bahwa parlemen, baik tingkat pusat
maupun daerah, dianggap lembaga terkorup. Hal ini diungkapkan oleh Jojo Rohi, Wakil
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), terkait dengan kriteria dalam
memilih calon wakil rakyat oleh setiap parpol yang akan merebut suara rakyat dalam setiap
pemilu.
Penetapan standar caleg sangat diperlukan karena partai mesti membuat kriteria yang
tegas dan jelas terkait siapa saja orang yang layak diusung menjadi calon wakil rakyat partainya.
Antikorupsi menjadi hal prinsip yang harus dicantumkan dalam kriteria menjaring caleg.
Konsekuensinya, caleg yang punya rekam jejak pernah tersangkut kasus korupsi tidak boleh
dimajukan sebagai caleg. Selain antikorupsi, yang jug penting dipertimbangkan adalah moralitas
dari bakal caleg. Bila bakal caleg terbukti pernah punya selingkuhan atau berpoligami,
semestinya tidak dapat dimajukan sebagai caleg.Sementara itu, pelanggar HAM, adalah satu
bagian dari agenda reformasi yang sampai saat ini belum tuntas. Caleg yang pernah menjadi
pelanggar HAM dalam bentuk apa pun seharusnya tidak dicalonkan sebagai bakal caleg karena
fungsi wakil rakyat salah satunya adalah melakukan advokasi terhadap pelanggaran-pelanggaran
HAM melalui legislasi. Ironis bila pelanggar HAM mengadvokasi pelanggaran HAM.