Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS FRAKTUR

Pembimbing : dr. Yuswardi, Sp. B


Disusun Oleh :
Nurul Haqsari
Riadhus Machfud Alfian
Harry Gunawan
Claresta

KEPANITERAAN KLINIK STASE BEDAH


RSUD SUKABUMI
2016

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan sendi,
tulang rawan epifisis baik bersifat total ataupun parsial yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang
berlebihan, sering diikuti oleh kerusakan jaringan lunak dengan berbagai macam derajat, mengenai
pembuluh darah, otot dan persarafan.
Fraktur femur dapat bersifat intrakapsular dan ekstrakapsular berdasarkan di dalam atau di luar
sendi. Fraktur kruris (crus = tungkai) merupakan fraktur yang terjadi pada tibia dan fibula.
2.2. Anatomi femur dan Tibia

2.3. Klasifikasi
Ada 2 type dari fraktur femur, yaitu :
1. Fraktur Intrakapsuler femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul dan Melalui kepala femur
(capital fraktur)
Terdiri dari:

Fraktur kapital : fraktur pada kaput femur


Fraktur subkapital : fraktur yang terletak di bawah kaput femur
Fraktur transervikal : fraktur pada kolum femur
2. Fraktur Ekstrakapsuler;

Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih besar/yang lebih kecil
/pada daerah intertrokhanter.

Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2 inci di bawah trokhanter
kecil.

Klasifikasi fraktur pada tibia dan fibula:


1. Fraktur proksimal tibia
2. Fraktur diafisis
3. Fraktur dan dislokasi pada pergelangan kaki

fraktur proksimal tibia


a)

Fraktur Infrakondilus Tibia


Fraktur Infrakondilus tibia terjadi sebagai akibat pukulan pada tungkai pasien yang

mematahkan tibia dan fibula sejauh 5cm di bawah lutut. Walaupun tungkai bawah dapat
3

membengkak dalam segala arah, namun biasanya terjadi pergeseran lateral ringan dan tidak
ada tumpang tindih atau rotasi. Fraktur tidak masuk ke dalam lututnya. Dapat dirawat dengan
gips tungkai panjang, sama seperti fraktur pada tibia lebih distal. Jika fragmen tergeser, dapat
dilakukan manipulasi ke dalam posisinya dan gunakan gips tungkai panjang selama 6 minggu.
Kemudian dapat dilepaskan dan diberdirikan dengan menggunakan tongkat untuk menahan
berat badan.
b)

Fraktur Berbentuk T
Terjadi karena terjatuh dari tempat yang tinggi, menggerakkan korpus tibia ke atas

diantara kondilus femur, dan mencederai jaringan lunak pada lutut dengan hebat. Kondilus
tibia dapat terpisah, sehingga korpus tibia tergeser diantaranya. Traksi tibia distal sering dapat
mereduksi fraktur ini secara adekuat.
c)

Fraktur Kondilus Tibia (bumper fracture)


Fraktur kondilus lateralis terjadi karena adanya trauma abduksi terhadap femur dimana

kaki terfiksasi pada dasar. Fraktur ini biasanya terjadi akibat tabrakan pada sisi luar kulit oleh
bumper mobil, yang menimbulkan fraktur pada salah satu kondilus tibia, biasannya sisi
lateral.
d)

Fraktur Kominutiva Tibia Atas


Pada fraktur kominutiva tibia atas biasanya fragmen dipertahankan oleh bagian

periosteum yang intak. Dapat direduksi dengan traksi yang kuat, kemudian merawatnya
dengan traksi tibia distal.

fraktur diafisis
Fraktur diafisis tibia dan fibula lebih sering ditemukan bersama-sama. Fraktur dapat
juga terjadi hanya pada tibia atau fibula saja. Fraktur diafisis tibia dan fibula terjadi karena
adanya trauma angulasi yang akan menimbulkan fraktur tipe transversal atau oblik pendek,
4

sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan trauma tipe spiral. Fraktur jenis ini dapat
diklasifikasikan menjadi:
a)

Fraktur Tertutup Korpus Tibia pada Orang Dewasa


Dua jenis cedera dapat mematahkan tibia dewasa tanpa mematahkan fibula:

1) Jika tungkai mendapat benturan dari samping, dapat mematahkan secara transversal atau
oblik, meninggalkan fibula dalam keadaan intak, sehingga dapat membidai fragmen, dan
pergeseran akan sangat terbatas.
2) Kombinasi kompresi dan twisting dapat menyebabkan fraktur oblik spiral hampir tanpa
pergeseran dan cedera jaringan lunak yang sangat terbatas.
Fraktur jenis ini biasanya menyembuh dengan cepat. Jika pergeseran minimal, tinggalkan
fragmen sebagaimana adanya. Jika pergeseran signifikan, lakukan anestesi dan reduksikan.
b)

Fraktur Tertutup Korpus Tibia pada Anak-anak


Pada bayi dan anak-anak yang muda, fraktur besifat spiral pada tibia dengan fibula

yang intak. Pada umur 3-6 tahun, biasanya terjadi stress torsional pada tibia bagian medial
yang akan menimbulkan fraktur green stick pada metafisis atau diafisis proksimaldengan
fibula yang intak. Pada umur 5-10 tahun, fraktur biasanya bersifat transversaldengan atau
tanpa fraktur fibula.
c)

Fraktur Tertutup Pada Korpus Fibula


Gaya yang diarahkan pada sisi luar tungkai pasien dapat mematahkan fibula secara

transversal. Tibianya dapat tetap dalam keadaan intak, sehingga tidak terjadi pergeseran atau
hanya sedikit pergeseran ke samping. Biasanya pasien masih dapat berdiri. Otot-otot tungkai
menutupi tempat fraktur, sehingga memerlukan sinar-X untuk mengkonfirmasikan diagnosis.
Tidak diperlukan reduksi, pembidaian, dan perlindungan, karena itu asalkan persendian lutut
normal, biarkan pasien berjalan segera setelah cedera jaringan lunak memungkinkan.

Penderita cukup diberi analgetika dan istirahat dengan tungkai tinggi sampai hematom
diresorbsi.
d)

Fraktur Tertutup pada Tibia dan Fibula


Pada fraktur ini tungkai pasien terpelintir, dan mematahkan kedua tulang pada tungkai

bawah secara oblik, biasanya pada sepertiga bawah. Fragmen bergeser ke arah lateral,
bertumpang tindih, dan berotasi. Jika tibia dan fibula fraktur, yang diperhatikan adalah
reposisi tibia. Angulasi dan rotasi yang paling ringan sekalipun dapat mudah terlihat dan
dikoreksi. Perawatan tergantung pada apakah terdapat pemendekan. Jika terdapat pemendekan
yang jelas, maka traksi kalkaneus selama seminggu dapat mereduksikannya. Pemendekan
kurang dari satu sentimeter tidak menjadi masalah karena akan dikompensasi pada waktu
pasien sudah mulai berjalan. Sekalipun demikian, pemendekan sebaiknya dihindari.
Klasifikasi Klinis :

Fraktur tertutup (simple fracture)


Fraktur tertutup adalah suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar.

Fraktur terbuka (compound fracture)


Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka
pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam) atau from without
(dari luar)
Derajat I :
Luka < 1 cm
Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
Fraktur sederhana, tranversal, oblik, atau kominutif ringan
Kontaminasi minimal
Derajat II
Laserasi > 1 cm
Kerusakan jaringan lunak, tidak luas
Fraktur kominutif sedang
Kontaminasi sedang
Deajat III
6

Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot dan
neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III terbagi atas :
a. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat
laserasi luas, atau fraktur segmental / sangat kominutif yang dsebabkan oleh
trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.
b. Kehilangan jaringan lunak dengan besarnya fraktur tulang yang terpapar atau
kontaminasi masif

c. Luka pada pembuluh arteri

Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture)


Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan komplikasi misalnya
malunion, delayed union, infeksi tulang.
Gambar :

2.4. Penyebab Fraktur1,5

Tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat:
1. Peristiwa trauma

Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat
berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau penarikan. Bila terkena
kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat yang terkena, jaringan lunaknya juga pasti
rusak. Bila terkena kekuatan tak langsung, tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang

jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu, kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur
mungkin tidak ada.
2. Fraktur kelelahan atau tekanan

Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia atau fibula atau metatarsal, terutama pada
atlet, penari, dan calon tentara yang jalan berbaris dalam jarak jauh.
3. Fraktur patologik

Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah (misalnya oleh tumor)
atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit Paget).
Daya pemuntir menyebabkan fraktur spiral pada kedua tulang kaki dalam tingkat yang
berbeda; daya angulasi menimbulkan fraktur melintang atau oblik pendek, biasanya pada
tingkatyang sama. Pada cedera tak langsung, salah satu dari fragmen tulang dapat menembus
kulit; cedera langsung akan menembus atau merobek kulit diatas fraktur. Kecelakaan sepeda
motor adalah penyebab yang paling lazim.

2.5. Patofisiologi fraktur


a) Gaya atau trauma penyebab fraktur dapat berupa :
1) Gaya langsung
2) Gaya tidak langsung
b) Pada tulang panjang
1) Gaya twisting => fraktur spiral
2) Gaya bending dan kompresi => fraktur tranversal disertai separasi triangular
fragment butterfly
3) Kombinasi twisting, bending dan kompresi => fraktur oblik pendek
4) Tarikan tendon atau ligament => fraktur avulsi.
Pada tulang kanselous seperti vertebra atau calcaneal memberikan crush fracture yang
komminutif.

2.6. Gejala Klinis

Kulit mungkin tidak rusak atau robek dengan jelas, kadang-kadang kulit tetap utuh
tetapi melesak atau telah hancur, dan terdapat bahaya bahwa kulit itu dapat mengelupas dalam
beberapa hari. Kaki biasanya memuntir keluar dan deformitas tampak jelas. Kaki dapat
menjadi memar dan bengkak. Nadi dipalpasi untuk menilai sirkulasi, dan jari kaki diraba
untuk menilai sensasi. Pada fraktur gerakan tidak boleh dicoba, tetapi pasien diminta untuk
menggerakkan jari kakinya. Sebelum merencanakan terapi, perlu dilakukan penentuan
beratnya cedera.
Pada anamnesis dalam kasus fraktur kondilus tibia terdapat riwayat trauma pada lutut,
pembengkakan dan nyeri serta hemartrosis. Terdapat gangguan dalam pergerakan sendi lutut.
Pada fraktur diafisis tulang kruris ditemukan gejala berupa pembengkakan, nyeri dan sering
ditemukan penonjolan tulang keluar kulit. Pada fraktur dan dislokasi sendi pergelangan kaki
ditemukan adanya pembengkakan pada pergelangan kaki, kebiruan atau deformitas. Yang
penting diperhatikan adalah lokaliasasi dari nyeri tekan apakah pada daerah tulang atau pada
ligament.
Bagian paha yang patah lebih pendek dan lebih besar dibanding dengan normal serta fragmen
distal dalam posisi eksorotasi dan aduksi karena empat penyebab:
1) Tanpa stabilitas longitudinal femur, otot yang melekat pada fragmen atas dan bawah berkontraksi
dan paha memendek, yang menyebabkan bagian paha yang patah membengkak.
2) Aduktor melekat pada fragmen distal dan abduktor pada fragmen atas. Fraktur memisahkan dua
kelompok otot tersebut, yang selanjutnya bekerja tanpa ada aksi antagonis.
3) Beban berat kaki memutarkan fragmen distal ke rotasi eksterna.
4) Femur dikelilingi oleh otot yang mengalami laserasi oleh ujung tulang fraktur yang tajam dan paha
terisi dengan darah, sehingga terjadi pembengkakan.
Selain itu, adapun tanda dan gejalanya adalah :

Nyeri hebat di tempat fraktur


Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
Rotasi luar dari kaki lebih pendek
9

Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak,
kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.

2.7. Diagnosis

Menegakkan diagnosis fraktur dapat secara klinis meliputi anamnesis lengkap


danmelakukan pemeriksaan fisik yang baik, namun sangat penting untuk dikonfirmasikan
denganmelakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen untuk membantu mengarahkan
danmenilai secara objektif keadaan yang sebenarnya.

A. Anamnesa

Penderita biasanya datang dengan suatu trauma (traumatic fraktur), baik yang hebat
maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan anggota
gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di
daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi ditempat lain. Trauma dapat terjadi karena
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau jatuh dikamar mandi pada orang tua,
penganiayaan, tertimpa benda berat, kecelakaan pada pekerja oleh karena mesin atau karena
trauma olah raga. Penderita biasanya datang karena nyeri, pembengkakan, gangguan fungsi
anggota gerak, deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain.

B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:

Syok, anemia atau perdarahan.

Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organ-organ
dalam rongga toraks, panggul dan abdomen.

Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis (penyakit Paget).

10

Pada pemeriksaan fisik dilakukan:


Look (Inspeksi)
-

Deformitas:

angulasi

medial,

lateral,

posterior

atau

anterior),

diskrepensi

(rotasi,perpendekan atau perpanjangan).


- Bengkak atau kebiruan.
- Fungsio laesa (hilangnya fungsi gerak).
- Pembengkakan, memar dan deformitas mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang penting
adalah apakah kulit itu utuh. Kalau kulit robek dan luka memiliki hubungan dengan fraktur,
cedera itu terbuka (compound).

Feel (palpasi)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh sangat nyeri. Halhal yang perlu diperhatikan:
1. Temperatur setempat yang meningkat
2. Nyeri tekan; nyeri tekan yang superfisisal biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan
lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang.
3. Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-hati.
4. Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis, arteri
dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang terkena.
Refilling (pengisian) arteri pada kuku.
5. Cedera pembuluh darah adalah keadaan darurat yang memerlukan pembedahan.

11

Move (pergerakan)
1. Nyeri bila digerakan, baik gerakan aktif maupun pasif.
2. Gerakan yang tidak normal yaitu gerakan yang terjadi tidak pada sendinya.
3. Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji
pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.

C. Pemeriksaan Penunjang

Sinar -X
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya fraktur. Walaupun demikian
pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta eksistensi fraktur.
Untuk menghindari nyeri serta kerusakan jaringan lunak selanjutnya, maka sebaiknya kita
mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum
dilakukan pemeriksaan radiologis.
Tujuan pemeriksaan radiologis:

Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi.

Untuk konfirmasi adanya fraktur.

Untuk mengetahui sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta pergerakannya.

Untuk mengetahui teknik pengobatan.

Untuk menentukan apakah fraktur itu baru atau tidak.

Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler.

Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang.

Untuk melihat adanya benda asing.

Pemeriksaan dengan sinar-X harus dilakukan dengan ketentuan Rules of Two:

12

Dua pandangan

Fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada film sinar-X tunggal dan sekurangkurangnya harus dilakukan 2 sudut pandang (AP & Lateral/Oblique).

Dua sendi

Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami fraktur atau angulasi. Tetapi
angulasi tidak mungkin terjadi kecuali kalau tulang yang lain juga patah, atau suatu sendi
mengalami dislokasi. Sendi-sendi diatas dan di bawah fraktur keduanya harus disertakan
dalam foto sinar-X.

Dua tungkai

Pada sinar-X anak-anak epifise dapat mengacaukan diagnosis fraktur. Foto pada tungkai yang
tidak cedera akan bermanfaat.

Dua cedera

Kekuatan yang hebat sering menyebabkan cedera pada lebih dari 1 tingkat. Karena itu bila ada
fraktur pada kalkaneus atau femur perlu juga diambil foto sinar-X pada pelvis dan tulang
belakang.

Dua kesempatan

Segera setelah cedera, suatu fraktur mungkin sulit dilihat, kalau ragu-ragu, sebagai
akibatresorbsi tulang, pemeriksaan lebih jauh 10-14 hari kemudian dapat memudahkan
diagnosis.

Pencitraan Khusus
Umumnya dengan foto polos kita dapat mendiagnosis fraktur, tetapi perlu dinyatakan
apakah fraktur terbuka atau tertutup, tulang mana yang terkena dan lokalisasinya, apakah
13

sendi juga mengalami fraktur serta bentuk fraktur itu sendiri. Konfigurasi fraktur dapat
menentukan prognosis serta waktu penyembuhan fraktur, misalnya penyembuhan fraktur
transversal lebihlambat dari fraktur oblik karena kontak yang kurang. Kadang-kadang fraktur
atau keseluruhan fraktur tidak nyata pada sinar-X biasa.Tomografi mungkin berguna untuk
lesi spinal atau fraktur kondilus tibia. CT atau MRI mungkin merupakan satu-satunya cara
yang dapat membantu, sesungguhnya potret transeksional sangat penting untuk visualisasi
fraktur secara tepat pada tempat yang sukar. Radioisotop scanning berguna untuk
mendiagnosis fraktur-tekanan yang dicurigai atau fraktur tak bergeser yang lain.

2.8. Penatalaksanaan
Penilaian awal terhadap pasien trauma dapat dibagi menjadi primer, survei sekunder, dan
tersier. Survei primer harus dilakukan dalam 2-5 menit dan terdiri dari urutan ABCDE : Airway,
Breathing, Circulation, Disability, dan Exposure. Jika fungsi dari setiap dari tiga sistem pertama
terganggu, resusitasi harus segera dimulai. Pada pasien yang kritis, resusitasi dan penilaian dilanjutkan
secara bersamaan oleh tim praktisi trauma. Pemantauan dasar termasuk electroencephalograph (ECG),
tekanan darah noninvasive, dan oksimetri nadi sering dapat dimulai di lapangan dan dilanjutkan
selama pengobatan. Resusitasi trauma mencakup dua tahap tambahan: kontrol perdarahan dan
perbaikan cedera secara definitif. Survei sekunder dan tersier yang lebih komprehensif dari pasien
dilakukan setelah survei primer.
Primary survey
a. Jalan napas
Mempertahankan saluran napas adalah selalu menjadi prioritas pertama. Jika pasien dapat
berbicara dengan jelas jalan napas biasanya baik, tetapi jika pasien tidak sadar mungkin akan
membutuhkan saluran napas dan bantuan ventilasi. Tanda-tanda penting dari obstruksi termasuk
mendengkur, stridor, dan gerakan dada paradoks.Adanya benda asing harus dipertimbangkan pada
pasien tidak sadar. Lanjutan manajemen jalan napas (seperti intubasi endotrakeal, cricothyrotomy, atau
trakeostomi) diindikasikan jika ada apnea, obstruksi terus-menerus, cedera kepala berat, trauma
maksilofasial, cedera leher dengan hematoma yang meluas, atau cedera dada berat.
Cedera tulang belakang leher tidak mungkin terjadi pada pasien tanpa nyeri pada leher. Lima
kriteria meningkatkan risiko ketidakstabilan dari tulang cervikal: (1) Nyeri pada leher, (2) severe
distracting pain, (3) ditemukan tanda atau gejala neurologis, (4) keracunan, dan (5) kehilangan
14

kesadaran di tempat kejadian . Sebuah fraktur tulang belakang leher harus diasumsikan jika salah satu
dari kriteria ini ditemukan, bahkan jika tidak ada cedera diatas tingkat klavikula. Bahkan dengan
kriteria ini, kejadian trauma tulang leher adalah sekitar 2%. Insiden ketidakstabilan tulang belakang
leher meningkat hingga 10% dengan adanya cedera kepala berat. Untuk menghindari leher
hiperekstensi, manuver jaw-trhust adalah cara yang baik untuk mempertahankan saluran napas. Mulut
dan saluran udara hidung dapat membantu menjaga patensi jalan napas. Pasien tidak sadar dengan
trauma berat selalu dianggap beresiko untuk terjadinya aspirasi, dan jalan napas harus diamankan
sesegera mungkin dengan endotrakeal tube atau trakeostomi. Leher hiperekstensi dan traksi aksial
yang berlebihan harus dihindari, dan imobilisasi manual dari kepala dan leher oleh asisten harus
digunakan untuk menstabilkan tulang belakang leher selama laringoskopi ("in-line panduan stabilisasi"
atau MILS). Asisten meletakkan kedua tangan-nya di kedua sisi kepala pasien, menekan oksiput dan
mencegah rotasi kepala. Dari semua teknik ini, MILS mungkin paling efektif, tetapi dapat juga
menyulitkan laringoskopi. Untuk alasan ini, beberapa dokter lebih memilih intubasi nasal pada pasien
dengan pernapasan spontan yang diduga mengalami cedera tulang belakang servikal, meskipun teknik
ini mungkin beresiko tinggi mengalami aspirasi paru.
Lainnya menganjurkan penggunaan suatu lightwand, Bullard laringoskop, WuScope, atau
intubating laryngeal mask airway. Jelas, keahlian dan preferensi seorang dokter secara individu
mempengaruhi pilihan teknik, bersama dengan kebutuhan untuk kebijaksanaan dan risiko komplikasi
pada pasien yang diberikan. Kebanyakan praktisi lebih familiar dengan intubasi oral, dan teknik ini
harus dipertimbangkan pada pasien yang membutuhkan intubasi apneic dan segera. Selanjutnya, nasal
intubasi harus dihindari pada pasien dengan patah tulang tengkorak midface atau basilar. Jika jalan
napas obturatorius esofagus telah dipasang di lapangan atau tempat keladian, itu tidak boleh dilepas
sampai trakea telah diintubasi karena kemungkinan regurgitasi.
Trauma laring membuat situasi lebih buruk. Luka terbuka dapat berhubungan dengan
perdarahan dari pembuluh leher besar, obstruksi dari hematoma atau edema, emfisema subkutan, dan
cedera tulang belakang leher. Trauma laring tertutup kurang jelas, tetapi dapat ditemukan sebagai
krepitasi leher, hematoma, disfagia, hemoptisis, atau fonasi yang buruk. Sebuah intubasi dengan
tabung endotrakeal kecil (6,0 pada orang dewasa) di bawah laringoskopi langsung atau bronkoskopi
serat optik dengan anestesi topikal dapat dicoba jika laring dapat dilihat dengan jelas. Jika luka pada
wajah atau leher mencegah atau menghalangi intubasi endotrakeal, trakeostomi di bawah anestesi lokal
harus dipertimbangkan. Obstruksi akut dari trauma saluran napas bagian atas mungkin memerlukan
cricothyrotomy darurat atau perkutan atau bedah trakeostomi
b. Pernafasan
15

Penilaian ventilasi yang terbaik dilakukan dengan melihat, mendengarkan, dan merasakan
hembusan nafas. Lihat apakah ada tanda-tanda sianosis, penggunaan otot aksesori, flail chest, dan
sucking wound. Dengarkan adanya, tidak adanya, atau berkurangnya bunyi nafas. Perhatikan juga
tanda-tanda emfisema subkutan, pergeseran trakea, dan tulang rusuk patah. Dokter harus memiliki
indeks kecurigaan yang tinggi untuk tension pneumothorax dan hemothorax, terutama pada pasien
dengan gangguan pernapasan. Drainase pleura mungkin diperlukan sebelum sinar-X dada dilakukan.
Kebanyakan pasien trauma yang kritis membutuhkan bantuan kontrol ventilasi.Perangkat Taskatup (misalnya, sebuah tas menggembungkan diri dengan katup nonrebreathing) biasanya
menyediakan ventilasi yang memadai segera setelah intubasi dan selama periode transportasi pasien.
Konsentrasi oksigen 100% disampaikan sampai oksigenasi dinilai oleh gas-gas darah arteri.
c. Circulation
Kecukupan sirkulasi didasarkan pada denyut nadi, tekanan nadi, tekanan darah, dan tandatanda perfusi perifer. Tanda-tanda sirkulasi inadekuat meliputi takikardi, nadi perifer lemah atau tidak
teraba, hipotensi, dan ekstremitas pucat, dingin, atau sianotik. Prioritas pertama dalam memulihkan
sirkulasi yang adekuat adalah untuk menghentikan pendarahan, prioritas kedua adalah untuk
menggantikan volume intravaskular. Cardiac arrest selama transportasi ke rumah sakit atau segera
setelah tiba pada trauma tembus thoraks dan kemungkinan trauma tumpul thoraks merupakan indikasi
untuk torakotomi emergensi, disebut juga torakotomi resusitasi, memungkinkan kontrol cepat
perdarahan yang jelas, membuka perikardium, dan memungkinkan menjahit luka-luka jantung dan
mengklem aorta di atas diafragma. Beberapa dokter bedah trauma juga mendukung torakotomi
emergensi pada cardiac arrest selama transportasi atau segera setelah tiba di rumah sakit pada trauma
tembus atau tumpul abdomen. Pasien hamil yang berada dalam cardiac arrest atau syok sering dapat
diresusitasi dengan benar hanya setelah melahirkan bayi.
Pada pasien-pasien dengan fraktur baik fraktur tertutup maupun terbuka, penting untuk
mengetahui tingkat perdarahan yang dialaminya. Penentuan tingkat perdarahan dapat ditentukan
dengan menilai beberapa parameter hemodinamik. Kelas perdarahan menurut ATLS:
Blood loss (ml)
Blodd loss

Class I
<750
<15 %

Class II
750-1500
15-30%

Class III
1500-2000
30-40%

Class IV
>2000
>40%

(%EBV)
Pulse rate

<100

>100

>120

>140

(x/min)
Blood pressure
Pulse pressure

Normal
Normal or

Normal
Decreased

Decreased
Decreased

Decreased
Decreased
16

Respiratory rate
Urine output

decreased
14-20
>30

20-30
20-30

30-35
5-15

>35
Negligible

(ml/hour)
Mental status/

Slightly

Midly

Anxious and

Confused and

CNS

anxious

anxious

confused

lethargic

Perhitungan perkiraan kehilangan darah tubuh:


EBV : 70cc x BB
EBL : derajat perdarahan x EBV
Cara pemberian cairan:
-

Atasi syok dengan guyur 20 cc/ kgBB

Guyur hingga 2-4 x EBL

Bila syok sudah teratasi, lasung ke maintenance

d. Disability
Evaluasi disability terdiri dari penilaian neurologis yang cepat. Karena biasanya tidak ada
waktu untuk Glasgow Coma Scale, sistem AVPU digunakan: awake, verbal response, painful response,
and unresponsive
e. Exposure
Pasien harus menanggalkan pakaian untuk memungkinkan pemeriksaan untuk cedera. In-line
immobilization harus digunakan jika cedera leher atau tulang belakang dicurigai.
Secondary Survey
Secondary Suvey dimulai hanya ketika ABC yang stabil. Dalam survei sekunder, pasien
dievaluasi dari kepala sampai kaki dan pemeriksaan yang diindikasikan (misalnya, radiografi, tes
laboratorium, prosedur diagnostik invasif) diperoleh. Pemeriksaan kepala meliputi mencari luka pada
kulit kepala, mata, dan telinga. Pemeriksaan neurologis termasuk Glasgow Coma Scale dan evaluasi
dari fungsi motorik dan sensorik serta refleks. Pupil melebar tetap tidak selalu berarti kerusakan otak
ireversibel. Dada diauskultasi dan diperiksa lagi untuk patah tulang dan integritas fungsional (flail
chest). Suara napas berkurang dapat mengungkapkan pneumotoraks tertunda atau membesar yang
membutuhkan penempatan tabung dada. Demikian pula, bunyi jantung menjauh, tekanan nadi sempit,
dan distensi vena leher merupakan tanda tamponade perikardium, dilakukan pericardiocentesis.
Sebuah pemeriksaan awal normal tidak definitif menghilangkan kemungkinan masalah ini.
17

Pemeriksaan abdomen harus terdiri dari inspeksi, auskultasi, dan palpasi. Ekstremitas diperiksa untuk
fraktur, dislokasi, dan denyut nadi perifer. Kateter urin dan tabung nasogastrik juga biasanya
dimasukkan.
Analisis laboratorium dasar termasuk hitung darah lengkap (atau hematokrit atau hemoglobin),
elektrolit, glukosa, nitrogen urea darah (BUN), dan kreatinin. AGDA juga dapat sangat membantu.
Foto thoraks harus diperoleh pada semua pasien dengan trauma besar. Kemungkinan cedera tulang
belakang leher dievaluasi dengan memeriksa semua tujuh vertebra dalam radiografi AP/lateral.
Meskipun penelitian ini mendeteksi 80-90% dari patah tulang, hanya CT normal dapat dipercaya
menyingkirkan trauma tulang leher yang signifikan. Penelitian radiografi tambahan termasuk
tengkorak, panggul, dan film tulang panjang. Focused assessment with sonography for trauma (FAST)
merupakan pemeriksaan cepat, di samping tempat tidur menggunakan USG yang dilakukan untuk
mengidentifikasi perdarahan intraperitoneal atau tamponade perikardial. FAST, yang telah menjadi
perpanjangan dari pemeriksaan fisik pasien trauma, memeriksa empat area untuk cairan bebas: ruang
perihepatik/hepatorenal, ruang perisplenik, panggul, dan perikardium. Tergantung pada cedera dan
status hemodinamik pasien, teknik pencitraan lain (misalnya, computed tomography [CT] thoraks atau
angiografi) atau tes diagnostik seperti diagnostic peritoneal lavage (DPL) juga dapat diindikasikan.

Penanganan Definitif
Penanganan definitif meliputi tindakan operatif dan non-operatif. Hal ini juga dipengaruhi
diagnosa fraktur tersebut. Terapi fraktur meliputi 3 dasar obyektif yaitu :
a) Reduksi / reposisi : menempatkan kembali fragment tulang pada posisi seanatomis
mungkin. Dapat dilakukan dengan reduksi tertutup / reduksi terbuka
b) Mempertahankan reduksi sampai healing dan cukup untuk mencegah displacement
(immobilisasi). Ada 3 metoda yang lazim yaitu
(1) fiksasi eksternal dengan cast atau splint,
(2) traksi
(3) fiksasi internal dengan nail, plate atau screw.
c) Mengembalikan fungsi otot, sendi dan tendon (rehabilitasi) untuk mencegah joint
stiffness & disuse atrophy. Harus dilakukan sesegera mungkin
Penatalaksanaan Fraktur dengan operasi, memiliki 2 indikasi, yaitu:
a. Absolut
1. Fraktur terbuka yang merusak jaringan lunak, sehingga memerlukan operasi dalam
penyembuhan dan perawatan lukanya.
18

2. Cidera vaskuler sehingga memerlukan operasi untuk memperbaiki jalannya darah di


tungkai.
3. Fraktur dengan sindroma kompartemen.
4. Cidera multipel, yang diindikasikan untuk memperbaiki mobilitas pasien, juga
mengurangi nyeri.
b. Relatif, jika adanya:
1. Pemendekan
2. Fraktur tibia dengan fibula intak
3. Fraktur tibia dan fibula dengan level yang sama
Adapun jenis-jenis operasi yang dilakukan pada fraktur tibia diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Fiksasi
a. Standar
Fiksasi eksternal standar dilakukan pada pasien dengan cidera multipel yang hemodinamiknya
tidak stabil, dan dapat juga digunakan pada fraktur terbuka dengan luka terkontaminasi.
Dengan cara ini, luka operasi yang dibuat bisa lebih kecil, sehingga menghindari
kemungkinan trauma tambahan yang dapat memperlambat kemungkinan penyembuhan. Di
bawah ini merupakan gambar dari fiksasi eksternal tipe standar.
b. Ring Fixators
Ring fixators dilengkapi dengan fiksator ilizarov yang menggunakan sejenis cincin dan kawat
yang dipasang pada tulang. Keuntungannya adalah dapat digunakan untuk fraktur ke arah
proksimal atau distal. Cara ini baik digunakan pada fraktur tertutup tipe kompleks. Di bawah
ini merupakan gambar pemasangan ring fixators pada fraktur diafisis tibia.
19

c. Open reduction with internal fixation (ORIF)


Cara ini biasanya digunakan pada fraktur diafisis tibia yang mencapai ke metafisis.
Keuntungan penatalaksanaan fraktur dengan cara ini yaitu gerakan sendinya menjadi lebih
stabil. Kerugian cara ini adalah mudahnya terjadi komplikasi pada penyembuhan luka operasi.
Berikut ini merupakan gambar penatalaksanaan fraktur dengan ORIF.
d. Intramedullary nailing
Cara ini baik digunakan pada fraktur displased, baik pada fraktur terbuka atau tertutup.
Keuntungan cara ini adalah mudah untuk meluruskan tulang yang cidera dan menghindarkan
trauma pada jaringan lunak.
2. Amputasi
Amputasi dilakukan pada fraktur yang mengalami iskemia, putusnya nervus tibia dan pada
crush injury dari tibia.

General Anestesi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthetos, "persepsi,
kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Beberapa tipe anestesi adalah:

Anestesi umum adalah hilangnya kesadaran total


Anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang hanya melumpuhkan sebagian tubuh
manusia dan tanpa menyebabkan manusia kehilangan kesadaran
Anestesi regional adalah hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh
blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf yang berhubungan dengannya.
Anestesi Umum (General Anesthesia)
Tindakan anestesi dilakukan dengan menghilangkan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Trias anestesi, yaitu :
20

1. Hipnotik
2. Analgesik
3. Relaksasi
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyebab terjadinya kecelakaan
dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu
sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan kunjungan pra
anestesi adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

Obat Premedikasi
a. Sulfas atropin 0,25 mg : Antikolinergik
Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan utama untuk mengurangi
efek bronchial dan cardial yang berasal dari perangsangan parasimpatis, baik akibat obat atau
anestesi maupun tindakan lain dalam operasi. Disamping itu efek lainnya adalah melemaskan
tonus otot polos organ-organ dan menurunkan spasme gastrointestinal. Perlu diingat bahwa obat
ini tidak mencegah timbulnya laringospame yang berkaitan dengan anestesi umum.
Setelah penggunaan obat ini (golongan baladona) dalam dosis terapeutik ada perasaan kering
dirongga mulut dan penglihatan jadi kabur. Karena itu sebaiknya obat ini tidak digunakan untuk
anestesi regional atau lokal. Pemberiannya harus hati-hati pada penderita dengan suhu diatas normal
dan pada penderita dengan penyakit jantung khususnya fibrilasi aurikuler.
Atropin tersedia dalam bentuk atropin sulfat dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg. Diberikan secara
suntikan subkutis, intramuscular atau intravena dengan dosis 0,5-1 mg untuk dewasa dan 0,015
mg/kgBB untuk anak-anak.

b. Hipnoz 2 mg (Midazolam) : obat penenang (transquilaizer)


Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek untukpremedikasi, induksi dan
pemeliharaan anestesi. Dibandingkan dengan diazepam, midazolam bekerja cepat karena transformasi
metabolitnya cepat dan lama kerjanya singkat. Pada pasien orang tua dengan perubahan organik otak
atau gangguan fungsi jantung dan pernafasan, dosis harus ditentukan secara hati-hati. Efek obat timbul
dalam 2 menit setelah penyuntikan.
Dosis premedikasi dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikandengan umur dan keadaan pasien.
Dosis lazim adalah 5 mg. padaorang tua dan pasien lemah dosisnya 0,025-0,05 mg/kgBB. Efek

21

sampingnya terjadi perubahan tekanan darah arteri, denyut nadi dan pernafasan, umumnya hanya
sedikit.

c. Cedantron 4 mg (Ondansentrone)
Suatu antagonis reseptor serotonin 5 HT 3 selektif. Baik untuk pencegahan dan pengobatan
mual, muntah pasca bedah. Efek samping berupa hipotensi, bronkospasme, konstipasi dan sesak nafas.
Dosis dewas 2-4 mg.

Obat Induksi
1. Tracrium 20 mg (Atracurium) : nondepolarisasi
Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan dengan reseptor
nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.
Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasinya selama 20-45 menit dan
dapat meningkat menjadi 2 kalilipat pada suhu 250 C, kecepatan efek kerjanya 1-2 menit.
Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada sambungan saraf-otot mencegah
asetilkolin-esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering
digunakan ialah neostigmin dengan dosis (0,04-0,08 mg/kgBB) atau obat antikolinergik lainnya.
Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardia,
kejang bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus disertai obat
vagolitik seperti atropin dosis 0,01-0,02 mg/kgBB atau glikopirolat 0,005-0,01 mg/kgBB sampai 0,20,3 mg/kgBB pada dewasa.

2. Recofol 80 mg (Profofol)
Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan karakter recovery
anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual. Profofol merupakan cairan emulsi minyak-air
yang berwarna putih yang bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg) dan mudah larut dalam
lemak. Profopol menghambat transmisi neuron yangdihantarkan oleh GABA. Propofol adalah obat
anestesi umum yangbekerja cepat yang efek kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik.
Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit infuse. Dosis sedasi 25100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yangberumur diatas 55 tahun dosis untuk induksi maupun
22

maintenance anestesi itu lebih kecil dari dosis yang diberikan untik pasien dewasa dibawah umur 55
tahun. Cara pemberian bisa secara suntikan bolus intravena atau secara kontinu melalui infus, namun
kecepatan pemberian harus lebih lambat daripada cara pemberian pada oranag dewasa di bawah umur
55 tahun. Pada pasien dengan ASA III-IVdosisnya lebih rendah dan kecepatan tetesan juga lebih
lambat.

Maintenance
1. N2O (gas gelak, laughling gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar, dan beratnya
1,5 kali berat udara. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat
anestesik lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri
menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan
salah satu anestesi lain seperti halotan dan sebaagainya. Pada akhir anestesi setelah N2O dihentikan,
maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia
difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10
menit.Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 yaitu 60% : 40%,
70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek analgesik digunakan dengan perbandingan 20% : 80%,
untuk induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat berbahaya bila digunakan pada
pasien pneumothorak, pneumomediastinum, obstruksi, emboli udara dan timpanoplasti.

2. Halothane (Fluothane)
Halothane adalah obat anestesi inhalasi berbentuk cairan bening tak berwarana yang mudah
menguap dan berbau harum. Pemberian halothane sebaiknya bersama dengan oksigen atau
nitrousokside 70% oksigen dan sebaiknya menggunakan vaporizer yang khusus dikalibrasi untuk
halothane agar konsentrasi uap dihasilkan itu akurat dan mudah dikendalikan. Pada nafas spontan
rumatan

anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada nafas kendali sekitar 0,5-1 vol % yang tentunya

disesuaikan dengan respon klinis pasien. Kelebihan dosis menyebabkan depresi pernafasan,
menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardia, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor,
depresi miokard dan inhibisi refleks baroreseptor. Paska pemberian halothane sering menyebabkan
pasien menggigil.
Intubasi

23

Setelah dilakukan induksi anestesia yaitu tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, maka memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan. Induksi dapat dilakukan
secara intrvena, intramuskular, inhalasi dan rektal. Sebelum dilakukan induksi sebaiknya disiapkan
terlebih dahulu peralatan dan obat-obatan yang diperlukan. Untuk persiapan induksi sebaiknya kita
ingat:
S = Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
T = Tubes Pipa trakea. Usia <>5 tahun dengan balon (cuffed)
A = Airway Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring(nasofaring) yang digunakan untuk
menahan lidah saat pasien tidaksadar agar lidah tidak menymbat jalan napas
T = Tape Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I = Intro Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah dimasukkan
C = Connec Penyambung pipa dan perlatan anestesia
S = Suction Penyedot lendir dan ludah
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan saluran
trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta
mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi
endotrakheal:
a. Mempermudah pemberian anestesia.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernafasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan
tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
g.Obat.
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun 2002 antara lain :

a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri dan
lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker
nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di
arteri.
24

c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai bronchial
toilet.
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien
dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal
antara lain :

a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk
dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada
beberapa kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga
sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal biasanya dijumpai pada
pasien-pasien dengan :
a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara mental
symphisis dengan lower alveolar margin yangmelebar memerlukan depresi rahang bawah
yang lebih lebarselama intubasi.
c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi. Gigi incisium atas
yang menonjol (rabbit teeth).
d. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang sendi
temporomandibuler, spondilitis servical spine.
e. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi kepala pada
leher di sendi atlantooccipital.
f. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan fleksi leher.
Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan
antara lain :

a. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal
dengan menggunakan alas kepala (bias menggunakan bantal yang cukup keras atau botol
infus 1 gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop
berada dalam satu garis lurus.
b. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi
dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka
dipegang dengan tangankiri dan balon dengan tangan kanan.
25

c. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop
dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan
pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang
diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala
dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan
pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.
d. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut
kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum
memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara
akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau
oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi.
Balon pipa dikembangkan dandaun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi
dengan plester.
e. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu
ventilasi, dilakukan auskultasi dada denganstetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan
kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi
intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan
suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan
jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit
sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus
maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi
(dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan
nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan
kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
2.9 Komplikasi

1) Infeksi
Infeksi dapat terjadi karena penolakan tubuh terhadap implant berupa internal fiksasi
yang dipasang pada tubuh pasien. Infeksi juga dapat terjadi karena luka yang tidak steril.
2) Delayed union
26

Delayed union adalah suatu kondisi dimana terjadi penyambungan tulang tetapi
terhambat yang disebabkan oleh adanya infeksi dan tidak tercukupinya peredaran darah ke
fragmen.
3) Non union
Non union merupakan kegagalan suatu fraktur untuk menyatu setelah 5 bulan mungkin
disebabkan oleh faktor seperti usia, kesehatan umum dan pergerakan pada tempat fraktur.
4) Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis adalah kerusakan tulang yang diakibatkan adanya defisiensi suplay
darah.
5). Kompartemen Sindrom
Kompartemen sindrom merupakan suatu kondisi dimana terjadi penekanan terhadap
syaraf, pembuluh darah dan otot didalam kompatement osteofasial yang tertutup. Hal ini
mengawali terjadinya peningkatan tekanan interstisial, kurangnya oksigen dari penekanan
pembuluh darah, dan diikuti dengan kematian jaringan.
6) Mal union
Terjadi pnyambungan tulang tetapi menyambung dengan tidak benar seperti adanya
angulasi, pemendekan, deformitas atau kecacatan.
6) Trauma saraf terutama pada nervus peroneal komunis.
7) Gangguan pergerakan sendi pergelangan kaki.
Gangguan ini biasanya disebakan karena adanya adhesi pada otot-otot tungkai bawah.

27

28

DAFTAR PUSTAKA
1. American College of Surgeons Committee on Trauma, 2007. Advanced Trauma
Life Support. Edisi ke-7. hlm : 225-243.
2. Bloch B, 1986. Fraktur dan Dislokasi. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica.
3. De Jong W, 2005. Patah Tulang dan Dislokasi (Rasjad C, dkk). Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi ke-2. Jakarta : EGC, hlm : 840-853.
4. Dumphy JE et al, 1993. Pemeriksaan Fisik Bedah. Yogyakarta : Yayasan Essentia
Medica, hlm : 455-456.
5. Rasjad C, 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar : Bintang Lamumpatue,
hlm : 359-447.
b. Sabiston, 1995. Susunan Muskuloskeletal (James R. Urbaniak). Buku Ajar Bedah
Bagian 2. Jakarta : EGC, hlm : 370-383.
c. Schwartz, 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi ke-6. Jakarta : EGC,
hlm : 657-664.

29

Anda mungkin juga menyukai