Anda di halaman 1dari 18

KURIKULUM DAN PERSPEKTIF

BUDAYA

GROUP 12
BELLA ANGGRINA ( 15178006 )
WIDIA SISKA (15178046)

ENGLISH EDUCATION PROGRAM


GRADUATE PROGRAM
STATE UNIVERSITY OF PADANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan memiliki keterkaitan yang erat dengan kebudayaan yang tumbuh
dalam suatu tatanan masyarakat. Kebudayaan menentukan arah, isi dan proses
pendidikan. Sedangkan pendidikan memiliki fungsi konservasi dan fungsi kreasi
(perubahan, inovasi) bagi masyarakat dan kebudayaannya. Pendidikan berfungsi
1

memberdayakan

potensi

manusia

untuk

mewariskan,

mengembangkan

dan

membangun kebudayaan serta peradaban masa depan. Di satu sisi, pendidikan


berfungsi untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang positif, di sisi lain pendidikan
berfungsi untuk menciptakan perubahan ke arah kehidupan yang lebih inovatif.
Kebijakan politik di Indonesia dalam bidang pendidikan, juga mengalami
pergeseran pola pikir, yaitu dari pola pendidikan yang terpusat (sentralisasi) menjadi
pendidikan yang desentralisasi berdasarkan pada otonomi daerah. Melalui
desentralisasi pendidikan ini, daerah memiliki porsi lebih besar dalam menentukan
kebijakan dalam pendidikan, artinya daerah dan sekolah diberi kewenangan untuk
menentukan sistem yang akan digunakan dalam melaksanakan proses pembelajaran,
salah satunya menyangkut pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum ini
didasarkan pada karakteristik, kebutuhan, perkembangan daerah serta kemampuan
sekolah.
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan yang dapat
menentukan proses dan hasil pendidikan. Pendidikan bukan hanya membangun
pengetahuan semata, namun memberikan bekal keterampilan serta nilai-nilai
kebudayaan bangsa, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.
Tujuan pendidikan tersebut hendaknya tergambar jelas dalam pelaksanaan kurikulum.
Jika pelaksanaan kurikulumsudah dimaksimalkan, maka tidak akan dibutuhkan
perubahan kurikulum lagi, karena perubahan kurikulum belum menjamin peningkatan
proses dan hasil pendidikan.
Hal yang paling dibutuhkan saat ini bukan perubahan kurikulum, tapi
peningkatan kualitas guru dan budaya belajar siswa. Guru harus menjadi sosok yang
mandiri dan teladan manusia merdeka yang tidak mudah diintimidasi oleh birokrat
pendidikan serta wali siswa. Pembinaan kualitas guru ini harus dilakukan oleh
organisasi profesi guru, bukan oleh Pemerintah. Guru tidak boleh dipandang hanya
sebagai pegawai, tapi sebagai profesional yang bekerja dengan berpedoman pada
kode etik guru. Guru merupakan ujung tombak keberhasilan pendidikan yang terlibat
langsung dalam mengembangkan, memantau dan melaksanakan kurikulum, sehingga
fungsi pendidikan untuk melestarikan nilai-nilai budaya bangsa dapat tercapai dengan
baik.
Pengembangan nilai-nilai budaya bangsa dimulai dari memperbaiki budaya
belajar siswa. Mulailah dengan membangun budaya membaca yang sehat dan
kembangkan budaya menulis, lalu beri kesempatan luas untuk berbicara. Jika budaya
2

belajar siswa sudah baik, maka penanaman nilai-nilai budaya bangsa yang lainnya
akan mudah dilakukan. Dari keterkaitan antara kurikulum yang sempurna, peranan
guru yang profesional dan kebudayaan yang bersifat membangun, maka penulis
menyusun makalah ini tentang Kurikulum dan Perspektif Budaya.

B. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah, maka tujuan dari penulisan makalah ini
antara lain:
1. Menjelaskan tentang hakekat kurikulum
2. Menjelaskan tentang kurikulum dalam budaya masa kini
3. Menjelaskan kurrikulum dalam perspektif budaya
4. Menjelaskan tentang peran guru dalam kurikulum
5. Menjelaskan tentang peran guru dalam perspektif budaya

BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakekat Kurikulum
1. Pengertian Kurikulum
Pengertian kurikulum senantiasa berkembang terus sejalan dengan
perkembangan teori dan praktik pendidikan. Namun, pemahaman konsep dasar
mengenai kurikulum ini tetaplah sama. Berikut ini adalah beberapa pengertian
kurikulum ditinjau dari beberapa sudut pandang, seperti yang ditulis Putra (2010).
a) Secara Etimologis

Websters Third New International Dictionary menyebutkan kurikulum


berasal dari kata curere dalam bahasa latin Currerre yang berarti: Perjalanan,
suatu pengalaman tanda berhenti. Sedangkan menurut satuan pelajaran yang
dibuat oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kurikulum berasal dari
bahasa Yunani yang berarti jarak yang ditempuh yang semula dipakai dalam
dunia olahraga.
b) Secara Tradisional
Dalam pandangan klasik, kurikulum dipandang sebagai rencana
pelajaran di suatu sekolah yang mencakup pelajaran-pelajaran dan materi apa
yang harus ditempuh di sekolah. Pengertian tradisional ini telah diterapkan
dalam penyusunan kurikulum seperti kurikulum SD dengan nama Rencana
Pelajaran Sekolah Rakyat tahun 1927 sampai pada tahun 1964 yang isinya
sejumlah mata pelajaran yang diberikan.
c) Secara Modern
Alam pandangan Modern, yaitu salah satunya disampaikan oleh
Adiwikarta (1994) bahwa kurikulum adalah segala pengalaman dan kegiatan
belajar yang direncanakan dan diorganisir untuk mencapai tujuan pendidikan
yang telah ditetapkan bagi suatu lembaga pendidikan.
Dari berbagai pengertian kurikulum diatas dapat disimpulkan bahwa
kurikulum merupakan suatu usaha terencana dan terorganisir untuk
menciptakan suatu pengalaman belajar bagi siswa di bawah tanggung jawab
sekolah atau lembaga pendidikan untuk mencapai suatu tujuan lembaga
pendidikan tersebut.
Sehubungan dengan definisi tentang kurikulum, juga perlu melihat
definisi kurikulum yang tercantum dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat (19) yang berbunyi:
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi
dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Lebih lanjut pada pasal 36 ayat (3) disebutkan bahwa kurikulum
disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka NKRI
dengan memperhatikan:

Peningkatan iman dan takwa;


Peningkatan akhlak mulia;
Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
Keragaman potensi daerah dan lingkungan;
Tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
Tuntutan dunia kerja;
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
Agama;
Dinamika perkembangan global;
Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
(Sumber: Depdiknas, 2003)

1. Kedudukan, Komponen dan Landasan Kurikulum


Menurut Soemarno (2009) Kurikulum ideal memegang peranan yang
sangat penting dalam merancang pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan
siswa. Adapun kedudukan sebuah kurikulum dalam pendidikan adalah:
a.

Kurikulum adalah "construct" yang dibangun untuk mentransfer apa


yang sudah terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk

b.

dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan.


Kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai

c.

masalah sosial yang berkenaan dengan pendidikan.


Kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan dimana
kehidupan

masa

lalu,

masa

sekarang,

dan

berbagai

rencana

pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk


mengembangkan kehidupan masa depan.
Kurikulum sebagai sebuah dokumen perencanaan yang berisi tentang
tujuan yang harus dicapai, isi materi, pengalaman belajar yang harus dilakukan
siswa, strategi dan cara yang dikembangkan, evaluasi yang dirancang untuk
mengumpulkan informasi tentang pencapaian tujuan, serta implementasi dari
dokumen yang dirancang dalam bentuk nyata.
Landasan pengembangan kurikulum dapat diartikan sebagai suatu
gagasan, suatu asumsi, atau prinsip yang menjadi sandaran atau titik tolak
dalam mengembangkan kurikulum. Ada empat landasan yang digunakan
dalam pengembangan kurikulum, yaitu: Landasan Filosofis, landasan
Psikologis, landasan Sosiologis dan landasan Organisatoris.
a. Landasan Filosofis

Filosofis artinya berdasarkan filsafat. Filsafat secara harfiah dapat


diartikan sebagai cinta yang mendalam akan kearifan. Filsafat sangat penting
karena harus dipertimbangkan dalam mengambil keputusan tentang aspek
kurikulum. Untuk itu tiap keputusan harus ada dasarnya. Jadi filsafat adalah
cara berfikir yang sedalam-dalamnya, yakni sampai akar-akarnya tentang
hakikat sesuatu. Para pengembang kurikulum harus mempunyai filsafat yang
jelas tentang apa yang mereka junjung tinggi.
b. Landasan Psikologis Peserta didik
Implikasi dari perkembangan peserta didik terhadap pengembangan
kurikulum yaitu; Setiap anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai
dengan bakat, minat dan kebutuhannya. Bagi anak yang berbakat dibidang
akademik diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan
selanjutnya.

Kurikulum

memuat

tujuan-tujuan

yang

mengandung

pengetahuan, nilai atau sikap, dan keterampilan yang menggambarkan


keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan batin.
c. Landasan Sosiologis
Di dalam kehidupan kita tidak hidup sendiri, namun hidup dalam suatu
masyarakat. Dalam lingkungan itulah kita memiliki tugas yang harus
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab sebagai bakti kepada masyarakat
yang telah memberikan jasanya kepada kita.Setiap masyarakat memiliki
norma dan adat kebiasaan yang harus dipatuhi. Norma dan adat kebiasaan
tersebut memiliki corak nilai yang berbeda-beda, selain itu masing-masing
dari kita juga memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Hal inilah
yang menjadi pertimbangan dalam pengembangan sebuah kurikulum,
termasuk perubahan tatanan masyarakat akibat perkembangan IPTEK,
sehingga masyarakat dijadikan salah satu asas dalam pengembangan
kurikulum.
d. Landasan Organisatoris
Landasan ini berkenaan dengan organisasi kurikulum. Dalam
pengembangan kurikulum perlu di susun suatu desain yang tepat dan
fungsional. Dilihat dari organisasinya ada tiga tipe bentuk kurikulum:

Kurikulum yang berisi sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah(separated

subject curriculum)
Kurikulum yang berisi sejumlah mata pelajaran yang sejenis dihubungkan

(Correlated curriculum)
Kurikulum yang terdiri dari peleburan semua/hampir semua mata pelajaran
(integrated curriculum)

2. Prinsip Pengembangan Kurikulum


Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan
kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan
menjiwai suatu kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum, dapat menggunakan
prinsip-prinsip yang telah berkembang dalam kehidupan sehari-hari atau justru
menciptakan sendiri prinsip-prinsip baru. Dalam hal ini, Saodih (2002)
mengetengahkan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam
dua kelompok :
a.

Prinsip prinsip umum : relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis,

b.

dan efektivitas.
Prinsip-prinsip khusus : prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan,
pemilihan isi pendidikan, pemilihan proses belajar mengajar, pemilihan
media dan alat pelajaran, dan pemilihan kegiatan penilaian.

Sedangkan

Abdullah

(2007)

mengemukakan

lima

prinsip

dalam

pengembangan kurikulum, yaitu :


a. Prinsip relevansi;
Secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara
komponen-komponen kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi dan
evaluasi). Sedangkan secara eksternal bahwa komponen-komponen
tersebut memiliki relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan
teknologi (relevansi epistomologis), tuntutan dan potensi peserta didik
(relevansi psikologis) serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan
masyarakat (relevansi sosilogis).
b. Prinsip fleksibilitas;
Prinsip

fleksibilitas

dalam

pengembangan

kurikulum

mengusahakan agar yang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur dan


7

fleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya penyesuaianpenyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang selalu
berkembang, serta kemampuan dan latar bekang peserta didik.
c. Prinsip kontinuitas;
Prinsip

kontinuitas

adalah

adanya

kesinambungan

dalam

kurikulum, baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Pengalamanpengalaman belajar yang disediakan kurikulum harus memperhatikan
kesinambungan, baik yang di dalam tingkat kelas, antar jenjang
pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dengan jenis pekerjaan.
d. Prinsip efisiensi;
Prinsip efisiensi adalah mengusahakan agar dalam pengembangan
kurikulum dapat mendayagunakan waktu, biaya, dan sumber-sumber lain
yang ada secara optimal, cermat dan tepat sehingga hasilnya memadai.
e. Prinsip efektivitas;
Prinsip efektifitas adalah mengusahakan agar kegiatan pengembangan
kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas
maupun kuantitas.

B. Kurikulum dalam Budaya Masa Kini


Budaya sekolah memiliki bentuk-bentuk budaya tertentu dan salah satunya adalah
bentuk budaya guru yang menggambarkan tentang karakeristik pola-pola hubungan
guru di sekolah. Hargreaves (1992) telah mengidentifikasi lima bentuk budaya guru,
yaitu : Individualism, Balkanization, Contrived Collegiality, Collaboration, dan
Moving Mosaic.
1. Individualism. Budaya dalam bentuk ini ditandai dengan adanya sebagian besar
guru bekerja secara sendiri-sendiri (soliter), mereka menjadi tersisolasi dalam ruang
kelasnya, dan hanya sedikit kolaborasi, sehingga kesempatan pengembangan profesi
melalui diskusi atau sharing dengan yang lain menjadi sangat terbatas.
2. Balkanization. Bentuk budaya yang kedua ini ditandai dengan adanya sub-sub
kelompok secara terpisah yang cenderung saling bersaing dan lebih mementingkan
8

kelompoknya daripada mementingkan sekolah secara keseluruhan. Misalnya,


hadirnya kelompok guru senior dan guru junior atau kelompok-kelompok guru
berdasarkan mata pelajaran. Pada budaya ini, komunikasi jarang terjadi dan kurang
adanya kesinambungan dalam memantau perkembangan perilaku siswa, bahkan
cenderung mengabaikannya.
3. Contrived Collegiality. Bentuk budaya yang ketiga ini sudah terjadi kolaborasi
yang ditentukan oleh manajemen, misalnya menentukan prosedur perencanaan
bersama, konsultasi dan pengambilan keputusan, serta pandangan tentang hasil-hasil
yang diharapkan. Bentuk budaya ini sangat bermanfaat untuk masa-masa awal dalam
membangun hubungan kolaboratif para guru. Kendati demikian, pada buaya ini belum
bisa menjamin ketercapaian hasil, karena untuk membangun budaya kolaboratif
memang tidak bisa melalui paksaan.
4. Collaboration. Pada budaya inilah guru dapat memilih secara bebas dan saling
mendukung dengan didasari saling percaya dan keterbukaan. Dalam budaya
kolaboratif terdapat saling keterpaduan (intermixing) antara kehidupan pribadi dengan
tugas-tugas profesional, saling menghargai, dan adanya toleransi atas perbedaan.
5.Moving Mosaic. Pada model ini sekolah sudah menunjukkan karakteristik seperti
apa yang disampaikan oleh Senge (1990) tentang learning organisation. Para guru
sangat fleksibel dan adaptif, semua guru mengambil peran, bekerja secara kolaboratif
dan reflektif, serta memiliki komitmen untuk melakukan perbaikan secara
berkesinambungan.
C. Kurikulum dalam Perspektif Budaya
Dalam pengkajianya, kurikulum tidak lepas dari perspektif kebudayaan itu sendiri, yang
mana dalam mengkaji dan menyadari sudut pandang budaya harus bermula dari tiga fakta
atau masalah dalam budaya masa kini yang menimbulkan isu-isu penting bagi kurikulum.
Ketiga isu penting tersebut antara lain: kebudayaan yang cenderung berubah dengan cepat,
kebudayaan tumbuh lebih kompleks dan banyak orang yang tidak berkesempatan untuk
memasuki kebudayaan kelas menengah yang dominan.
1) Kurikulum Untuk Suatu Kebudayaan yang Berubah

Dalam

sebuah

kebudayaan

yang

stabil,

pengetahuan

biasanya

disampaikan secara vertikal dari anggota-anggota masyarakat yang lebih tua


kepada generasi yang lebih muda. Bahkan dalam kebudayaan yang lebih dinamis
seperti kebudayaan Amerika, pendidikan formal mengikuti pola itu. pengetahuan
yang telah diuji oleh yang tua, disampaikan oleh yang tua (dalam hal ini guru)
yang berpengalaman, kepada yang muda (siswa) yang belum berpengalaman.
Sebagai hasilnya, makin banyak pengetahuan yang disampaikan secara harfiah
dari yang tahu kepada yang belum tahu tanpa memandang umur.
Tiga hal yang harus dilakukan kurikulum terhadap perubahan budaya yang

begitu cepat antara lain:


Kurikulum harus sesuai dengan tuntutan masyarakat
Kurikulum harus berorientasi pada Sains dan Teknologi
Kurikulum harus memahami masyarakat dinamis
Sekarang satu dari kekuatan utama yang mendorong perubahan kebudayaan
dan selanjutnya mendorong perubahan kurikulum adalah sains dan penggunaannya
dalam teknologi. Guru harus mendidik siswa-siswanya untuk dapat menyesuaikan
diri terhadap kejadian-kejadian di masa depan yang tidak dapat diramalkan yang
pasti akan terjadi dalam masa hidup meraka. Ada dua pendapat tentang solusi
pemecahan masalah pendidikan dan kebudayaan ini, yaitu solusi kaum progresif dan
konservatif.

Solusi Oleh Kaum Progresif


Para pendidik progresif berpendapat bahwa kurikulum pendidikan harus lebih
up to date (sesuai dengan perkembangan masyarakat) untuk menyesuaikan pendidikan
Amerika dengan umum dan khusus kepada kebudayaan masa kini. Dari pendidikan
umum siswa-siswa harus mendapatkan latihan intelektual dan pengetahuan dasar yang
diperlukan mereka umtuk mengerti keadaan sekarang dan perubahan-perubahan masa
depan.
Dari kurikulum umum, harus memperoleh hirarki nilai-nilai, tidak absolut
tetapi agak terbuka terhadap revisi-revisi, berdasarkan hirarki ini dia akan dapat
memutuskan apakah akan menerima baik, menyetujui, atau menolak perubahan
tertentu. Umpamanya, dia harus membentuk standarnya sendiri tentang moralitas
umum dan pribadinya sendiri. Jika kedua jenis kurikulum berhubungan dengan
kebudayaan masa kini, tapi dari titik pandang yang berbeda, siswa-siswa akan belajar
10

bagaimana menilai berbagai situasi budaya pada waktu bersamaan sehingga dia
belajar teknik-teknik bagaimana mengambil keputusan.
Solusi Oleh Kaum Konservatif
Para pendidik konservatif mempertahankan bahwa dalam masa-masa
perubahan yanag cepat pendidikan harus bertindak sebagai kekuatan yang
menstabilkan. Menurut kaum konservatif, kekacauan yang ada dalam kebudayaan kita
tidak dapat menjadi alasan untuk membingungkan anak-anak. Makin cepat tingkat
perubahan, anak-anak semakin memerlukan sejumlah pengetahuan dan prinsip-prinsip
yang secara radikal tidak perlu berubah, betapa banyakpun dia ditambah atau disaring.
Menyelaraskan anak terhadap perubahan dengan menggunakan sebuah fokus
pada masalah-masalah masa kini mempunyai kelemahankelemahan antara lain hal
tersebut bersifat selektis, menguntungkan kurikulum pada keadaan kebudayaan dan
bukan para prinsip-prinsip bagi menentukan apa yang berharga dipelajari dari
kebudayaan. Dan juga mengabaikan banyak hal dalam warisan budaya yang perlu
bagi peninjauan yang matang untuk kebudayaan sekarang dan masa depan, dan
menggantinya dengan sebuah keserasian routine dengan masalah-masalah dan
ketegangan-ketegangan kehidupan modern. Akhirnya dengan menjadikan sekolah
sebagai sebuah forum bagi diskusi isu-isu masa kini, sekolah akan membuka dirinya
bagi tekanan-tekanan kelompok-kelompok kepentingan yang bersaingan.
2) Kurikulum untuk Mengajarkan Kebudayaan yang Kompleks
Di Indonesia khususnya, dengan penduduk yang banyak, kompleksitas dan
spesialisasi yang demikian besar, dan dengan peningkatan konsentrasi kekuasaan, peradaban
industri modern secara progresif dapat mengancam fungsi pendidikan dan masyarakat dengan
kekacauan. Ancaman terutama terasa akut dalam demokrasi, dimana isu-isu umum sekarang
demikian banyak dan kompleks sehingga pengalaman biasa seseorang tidak bisa menjadi
ukuran untuk menghargai/menilainya.
Karena kebudayaan itu bersifat kompleksitas dalam sebuah sistem, maka diharapkan
kurikulum yang dirancang harus lebih terspesialisasikan atau lebih khusus lagi dalam bidangbidang tertentu, tetapi bukan berarti melakukan fragmentasi terhadap sistem pendidikan.
Sekarang, menjadi tanggung jawab pendidikan untuk mempersiapkan individu-individu
dengan pengertian tentang elemen-elemen penting dari kebudayaannya sebagai satu
keseluruhan (sistem) yang kompleks.
11

Solusi Oleh Kaum Progresif


Usul golongan progresif ialah dengan menggunakan pendekatan sekolah dasar
yang lebih umum sampai ke tingkat lanjutan melalui penggunaan kurikulum inti dalam
pendidikan umum. Theodore Brameld, telah mengusulkan satu kurikulum umum yang
dipadukan dalam bentuk tatanan urutan kebudayaan yang dikemukakan oleh
antropologi, bahwa kurikulum harus difokuskan kepada hubungan-hubungan manusia
dalam konteks agama, kelas, kasta, dan kelompok-kelompok status, kawasan daerah,
bangsa-bangsa dan sistem-sistem dan keseluruhan kebudayaan. Jika sebuah program
harus lebih terintegrasi daripada kurikulum akademis tradisional, program tersebut harus
memadukan elemen-elemen yang beragam dalam bentuk konfigurasi yang luas dari
kebudayaan.
Solusi oleh Kaum Konservatif
Berlawanan dengan pandangan kaum progresif, para pendidik konservatif
mempertahankan bahwa kebudayaan masa kini terlalu luas dan komplek untuk
dimengerti melalui penelitian berbagai masalahnya. Pengikut konservatif etuju dengan
kaum progresif tentang kebutuhan akan sebuah kurikulum yang terpadu untuk
mengatasi masalah fragmentasi pengetahuan dan kebudayaan dewasa ini.
Fungsi sekolah yang sebenarnya adalah untuk menolong orang muda untuk
sementara berdiri terpisah dari sebuah komplek masalah ketika ia menganalisanya dan
menyusun strategi untuk menghadapi berbagai elemen-elemennya. Mereka membagibagi masalah hidup yang ada menjadi problem-problem yang terpisah-pisah yang dapat
diselesaikan oleh metode-metode khusus yang tepat. Pengikut konservatif percaya
bahwa pendidikan harus melalui tahap-tahap yang berbeda.
c) Mendidik Kurikulum untuk Mendidik Orang Yang Kurang Beruntung Secara Budaya
Mendidik orang-orang yang kurang beruntung secara budaya, menjadi masalah yang
telah lama terjadi di Indonesia. Faktor yang terkait dalam hal ini antara lain masalah arus
urbanisasi, menurunnya kualitas pusat kota yang disebabkan berbagai dampak dari
urbanisasi. Banyak dari penduduk menjadi tanggung jawab pemerintah, mendapat bantuan
pemerintah. Kebanyakan orang-orang yang miskin budaya disebabkan karena orang-orang
tersebut umumnya berasal dari kelas bawah yang secara akademis terbelakang, maupun
orangtua yang tidak sanggup memberi mereka latar belakang dan persiapan yang perlu bagi
pelajar formal.
12

Siapakah yang dikatakan siswa yang miskin budaya? Mereka umumnya berasal dari
kelas bawah dan yang secara akademis terkebelakang. Orang tua mereka tidak sanggup
memberi mereka latar belakang dan persiapan yang perlu bagi pelajar formal, seperti yang
biasanya diberikan oleh orang tua anak-anak kelas menengah. Untuk itu mereka
membutuhkan kurikulum yang sesuai dengan kepribadian dan kondisi mental mereka. Siswa
yang miskin budaya memiliki merasa bahwa masyarakat secara keseluruhan hanya menaruh
sedikit perhatian terhadap mereka. Akibatnya, mereka sering mengalami kesulitan besar
dalam menyesuaikan diri terhadap dunia luar maupun sekolah-sekolah yang dipenuhi oleh
nilai-nilai kelas menengah.
D. Peran Guru dalam Kurikulum
Kurikulum memiliki dua fungsi yang sama pentingnya yakni kurikulum sebagai dokumen
dan kurikulum sebagai implementasinya. Sebagai sebuah dokumen kurikulum berfungsi
sebagai pedoman bagi guru dan kurikulum sebagai implementasi adalah realisasi dari
pedoman tersebut dalam kegiatan pembelajaran. Guru merupakan salah satu faktor penting
dalam implementasi kurikulum. Bagaimanapun idealnya suatu kurikulum tanpa ditunjang
oleh kemampuan guru untuk mengimplementasikannya, maka kurikulum itu tidak akan
bermakna sebagai suatu alat pendidikan, dan sebaliknya pembelajaran tanpa kurikulum
sebagai pedoman tidak akan efektif. Kusnandar (2007)mencatat peran guru dalam kurikulum
adalah sebagai berikut:
1) Guru sebagai implementers
Guru berperan untuk mengaplikasikan kurikulum yang sudah ada. Dalam
pengembangan kurikulum guru dianggap sebagai tenaga teknis yang hanya
bertanggung jawab dalam mengimplementasikan berbagai ketentuan yang ada.
Akibatnya kurikulum bersifat seragam antar daerah yang satu dengan daerah yang
lain. Oleh karena itu guru hanya sekadar pelaksana kurikulum, maka tingkat
kreatifitas dan inovasi guru dalam merekayasa pembelajaran sangat lemah. Guru
tidak terpacu untuk melakukan berbagai pembaruan. Mengajar dianggapnya
bukan sebagai pekerjaan profesional, tetapi sebagai tugas rutin atau tugas
keseharian.
2) Guru sebagai adapters

13

Lebih dari hanya sebagai pelaksana kurikulum, akan tetapi juga sebagai
penyelaras kurikulum dengan karakteristik dan kebutuhan siswa dan kebutuhan
daerah. Guru diberi kewenangan untuk menyesuaikan kurikulum yang sudah ada
dengan karakteristik sekolah dan kebutuhan lokal. Hal ini sangat tepat dengan
kebijakan KTSP dimana para perancang kurikulum hanya menentukan standat isi
sebagai standar minimal yang harus dicapai, bagaimana implementasinya, kapan
waktu pelaksanaannya, dan hal-hal teknis lainnya seluruhnya ditentukan oleh
guru. Dengan demikian, peran guru sebagai adapters lebih luas dibandingkan
dengan peran guru sebagai implementers.
3) Guru sebagai pengembang kurikulum
Dalam hal ini guru memiliki kewenganan dalam mendesain sebuah
kurikulum. Guru bukan saja dapat menentukan tujuan dan isi pelajaran yang
disampaikan, akan tetapi juga dapat menentukan strategi apa yang harus
dikembangkan serta bagaimana mengukur keberhasilannya. Sebagai pengembang
kurikulum sepenuhnya guru dapat menyusun kurikulum sesuai dengan
karakteristik, visi dan misi sekolah, serta sesuai dengan pengalaman belajar yang
dibutuhkan siswa.
4) Guru sebagai curriculum researcher
Peran ini dilaksanakan sebagai bagian dari tugas profesional guru yang
memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan kinerjanya sebagai guru. Dalam
melaksanakan perannya sebagai peneliti, guru memiliki tanggung jawab untuk
menguji berbagai komponen kurikulum, misalnya menguji bahan-bahan
kurikulum, menguji efektifitas program, menguji strategi dan model pembelajaran
dan lain sebagainya termasuk mengumpulkan data tentang keberhasilan siswa
mencapai target kurikulum. Metode yang digunakan oleh guru dalam meneliti
kurikulum adalah PTK.

E. Peran Guru dalam Perspektif Budaya


Dalam perspektif budaya, guru memiliki peranan yang menyangkut pemeliharaan warisan
budaya, menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa sebagai wujud dari
otoritas dan tanggungjawabnya.
a) Otoritas Guru
14

Bagi penganut aliran progresif tugas guru adalah sebagian yang menyangkut
pemeliharaan warisan budaya, tetapi yang sebagian lagi mempertanyakan tradisi
budaya dengan menolong generasi muda berfikir secara kritis bagi diri mereka sendiri
tentang masalah-masalah dunia dewasa ini. Guru harus menjadi seorang pembimbing
yang akan menolong siswa-siswa yang sedang melakukan explorasi memecahkan
masalah-masalah yang dihadapinya dengan memberi nasehat kepadanya bagaimana
cara memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk memecahkan masalah tersebut.
b) Peranan Guru dalam Membangun Budaya dan Karakter Bangsa
Guru merupakan suatu profesi yang luar biasa mulia, profesi yang sangat
berperan dalam peningkatan sumber daya manusia dan kemajuan suatu bangsa. Orangorang yang sukses di bidangnya masing-masing tidak mungkin bisa meraih
keberhasilan jika tanpa ada guru yang mengajar dan mendidiknya. Melalui gurulah
seorang anak mulai diperkenalkan pada huruf dan angka dari tidak bisa membaca jadi
bisa membaca dari tidak tahu berhitung jadi bisa menjadi berhitung. Guru seorang yang
mampu menginspirasi dan memotivasi siswanya, sehingga mampu berbuat sesuatu
yang baik dengan kemampuannya sendiri. Di sinilah pentingnya Guru sebagai sumber
keteladanan dan kemampuan dalam menumbuhkan motivasi. Dengan demikian peran
seorang guru begitu penting dalam mendukung kemajuan suatu bangsa.
Pentingnya membangun karakter bangsa didasarkan pada kenyataan adanya
permasalahan yang sedang dihadapi bangsa saat ini yaitu disorientasi dan belum
dihayatinya nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi dan ideologi bangsa, keterbatasan
perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila,
bergesernya nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, memudarnya
kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa, ancaman disintegrasi bangsa serta
melemahnya kemandirian bangsa.
Dan disinilah peranan guru dalam membangun budaya dan karakter bangsa
dalam lembaga pendidikan formal dengan langkah-langkah yang sistematik yang
muatan utamanya nilai-nilai luhur kebangsaan. Dimulai dari penanaman nilai yang
mulia, mengajari mereka untuk menjadi anak-anak bangsa yang berdiri tegak
berhadapan dengan anak-anak bangsa yang lain, cerdas, dan memiliki kepribadian yang
kokoh. Tanamkan kembali kebanggaan sebagai anak bangsa yang bermartabat,
berdaulat, dan berkepribadian mulia. Pendidikan agama, akhlak atau budi pekerti, dan
15

pendidikan

kewarganegaraan

dirancang-bangun

secara

lebih

sistematik

dan

komprehensif.
Guru tidak hanya dituntut melakukan kegiatan fisik dalam kegiatan belajar
mengajar tetapi jaga harus melakukan kegiatan nonfisik yakni mendidik, mewariskan,
menyemaikan nilai-nilai luhur hakiki kepada siswanya. Nilai-nilai luhur yang hakiki
yang disemaikan disekolahbenar-benar harus berhadapan dengan berbagai penyakit
sosial yang telah hidup dan berkembang di masyarakat. Peran pendidikan menjadi
sangat penting karena dengan pendidikan dan jadi diri bangsa dimantapkan.Guru
sebagai pendidik merupakan gerbang awal dalam membentuk kepribadian siswa. Hal
ini mengandung arti bahwa guru memberikan pengaruh yang cukup bermakna bagi
terwujudnya manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
berakhlak mulia. Guru merupakan orang yang di tangannya terletak masa depan
bangsa. Sebab pendidikan generasi yang akan melanjutkan perjuangan bangsa ini ada
ditangannya.

16

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kurikulum adalah suatu usaha terencana dan terorganisir untuk menciptakan suatu
pengalaman belajar bagi siswa di bawah tanggung jawab sekolah atau lembaga
pendidikan untuk mencapai suatu tujuan lembaga pendidikan tersebut. Terdapat lima
bentuk budaya guru, yaitu : Individualism, Balkanization, Contrived Collegiality,
Collaboration, dan Moving Mosaic.
Perubahan kurikulum dalam perspektif budaya dipandang sebagai terobosan telah
dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dengan tetap melestarikan nilainilai budaya bangsa. Kurikulum dipandang dalam tiga hal, yaitu: kurikulum untuk suatu
kebudayaan yang berubah, kurikulum untuk kebudayaan yang kompleks dan kurikulum
untuk mendidik siswa yang kurang beruntung secara budaya.
Peranan guru dalam kurikulum antara lain: sebagai implementer, adapter,
pengembang dan peneliti kurikulum. Guru dalam pandangan budaya maksudnya guru
memiliki peranan yang menyangkut pemeliharaan warisan nilai-nilai budaya masyarakat
dan bangsa, menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa sebagai wujud
dari otoritas dan tanggung jawabnya.

17

REFERENSI

Adiwikarta, S. 1994. Kurikulum yang Berorientasi pada Kekinian, Kurikulum Untuk Abad
21. Jakarta: Grasindo.
Abdullah, Idi. 2007. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Jakarta: Ar-Ruzz Media.
Depdiknas. 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Pusat Kurikulum, Balitbang
Depdiknas.
Kusnandar. 2007. Guru Profesional. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Maman, I. 1989. Antropologi Pendidikan: Suatu Pengantar. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Ditjen Dikti Proyek Pengembangan LPTK.
Muqowim. 2006. Kurikulum dan Guru, (Online), (http://www.psb-psma.org/content/blog/5bentuk-budaya-guru.
Saodih Sukmadinata, Nana. 2002. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik. Bandung:
Rosdakarya.
http://komomoolleckul.blogspot.com/2010/01/antropologisemester3.html?m
%3D1&ei=9eZXcMcL&lc=idID&s=1&m=459&host=www.google.co.id&ts=147610
4047&sig=AF9Nedk476_3FVeD9E_OIXUM4KSatq2FIQ

18

Anda mungkin juga menyukai