Anda di halaman 1dari 14

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki
pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat
pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia,
maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara
sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasanlandasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran
dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak
didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap
kegagalan pendidikan itu sendiri. Ada empat landasan utama
dalam pengembangan kurikulum, yaitu filosofis, psikologis, sosialbudaya, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan
budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.
Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem
sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola
hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting
dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang
mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga
masyarakat.
Politik, ekonomi , keragaman sosial, budaya adalah suatu realita
masyarakat dan bangsa Indonesia. Realita tersebut memang
berposisi sebagai objek periferal dalam proses pengembangan

kurikulum nasional. Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana


hubungan antara kebudayaan dengan kurikulum dan bagaimana
pengaruh kebudayaan terhadap kurikulum maka dibuatlah makalah
ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka didapat rumsan masalah
sebagai berikut :
1. Apa pengertian dari kurikulum?
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
kurikulum?
3. Apa pengertian budaya dalam kurikulum?
4. Bagaimana hubungan antara kurikulum dengan budaya bangsa?
5. Mengapa budaya dikatakan sebagai landasan pengembangan
kurikulum?
6. Bagaimana sumbangan budaya dalam pengembangan
kurikulum?
C. Tujuan
Adapun tujuan dan maksud penulisan makalah ini, diantaranya
yaitu :
1. Menjelaskan pengertian dari kurikulum
2. Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
kurikulum
3. Memahami pengertian budaya dalam kurikulum
4. Menjelaskan hubungan antara kurikulum dengan budaya bangsa
5. Memahami alasan budaya dikatakan sebagai landasan
pengembangan kurikulum
6. Memahami sumbangan budaya dalam pengembangan kurikulum

II. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kurikulum


Kurikulum awalnya digunakan dalam dari dunia Olahraga, berasal
dari kata curir yang berarti pelari dan curere yang berarti
tempat berpacu. Jadi kurikulum ialah jarak yang ditempuh oleh
pelari dari start sampai finish. Diterapkan dalam dunia pendidikan
menjadi sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh
seorang siswa dari awal sampai akhir program pelajaran untuk
memperoleh ijasah.
Dari rumusan pengertian kurikulum yang telah dijelaskan di atas,
terkandung 2 hal pokok yaitu :
1. Adanya mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa.
2. Tujuan utama yaitu untuk memperoleh ijasah.
Ternyata pengertian kurikulum tersebut dianggap pengertian yang
sempit atau sederhana , dalam buku-buku masalah pendidikan
banyak ditemui pengertian kurikulum yang lebih luas dan
beragam , Kurikulum tidak hanya terbatas sejumlah mata pelajaran
saja tetapi mencakup semua pengalaman (learning experiences)
yang dialamai oleh siswa dan pengaruh perkembangan pribadinya.
Harold B. Alberty (1965 ) Memandang kurikulum sebagai semua
kegiatan yang diberikan kepada siswa di bawah tanggung jawab
sekolah yang tidak dibatasi pada kegiatan di dalam kelas saja,

tetapi mencakup juga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh siswa


di luar kelas.
Dalam pandangan klasik, lebih menekankan kurikulum dipandang
sebagai rencana pelajaran di suatu sekolah. Pelajaran-pelajaran
dan materi apa yang harus ditempuh di sekolah, itulah kurikulum.
George A. Beauchamp (dalam Sudrajat, 2008) mengemukakan
bahwa : A Curriculun is a written document which may contain
many ingredients, but basically it is a plan for the education of
pupils during their enrollment in given school. Dalam pandangan
modern, pengertian kurikulum lebih dianggap sebagai suatu
pengalaman atau sesuatu yang nyata terjadi dalam proses
pendidikan, seperti dikemukakan oleh Caswel dan Campbell (dalam
Sudrajat, 2008) yang mengatakan bahwa kurikulum to be
composed of all the experiences children have under the guidance
of teachers. Dipertegas lagi oleh pemikiran Ronald C. Doll (dalam
Sudrajat, 2008) yang mengatakan bahwa : the curriculum has
changed from content of courses study and list of subject and
courses to all experiences which are offered to learners under the
auspices or direction of school.
Untuk mengakomodasi perbedaan pandangan tersebut, Hamid
Hasan (dalam Sudrajat, 2008) mengemukakan bahwa konsep
kurikulum dapat ditinjau dalam empat dimensi, yaitu:

Kurikulum sebagai suatu ide; yang dihasilkan melalui teori-teori


dan penelitian, khususnya dalam bidang kurikulum dan
pendidikan.

Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, sebagai perwujudan


dari kurikulum sebagai suatu ide; yang didalamnya memuat
tentang tujuan, bahan, kegiatan, alat-alat, dan waktu.

Kurikulum sebagai suatu kegiatan, yang merupakan pelaksanaan


dari kurikulum sebagai suatu rencana tertulis; dalam bentuk
praktek pembelajaran.

Kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekwensi dari


kurikulum sebagai suatu kegiatan, dalam bentuk ketercapaian
tujuan kurikulum yakni tercapainya perubahan perilaku atau
kemampuan tertentu dari para peserta didik.

Sementara itu, Purwadi (dalam Sudrajat, 2008) memilah pengertian


kurikulum menjadi enam bagian, yaitu :

Kurikulum sebagai ide

Kurikulum formal berupa dokumen yang dijadikan sebagai


pedoman dan panduan dalam melaksanakan kurikulum

Kurikulum menurut persepsi pengajar

Kurikulum operasional yang dilaksanakan atau dioprasional kan


oleh pengajar di kelas

Kurikulum experience yakni kurikulum yang dialami oleh peserta


didik

Kurikulum yang diperoleh dari penerapan kurikulum.

Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional sebagaimana


dapat dilihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: Kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan pembelajaran kegiatan belajar
mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Rencana atau pengaturan tersebut dituangkan dalam kurikulum
yang tertulis yang disebut Garis-garis Besar Program Pengajaran
(GBPP).
2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Kurikulum
Salah satunya faktor yang mempengaruhi perkembangan kurikulum
adalah landasan pengembangan kurikulum itu sendiri. Landasan
pengembangan kurikulum sangat mempengaruhi pengembangan
kurikulum. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi pengembangan
kurikulum, yaitu i:

1. Filosofis
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan
kuikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita
dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti: perenialisme,
essensialisme,
eksistesialisme,
progresivisme,
dan
rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun
senantiasa berpijak pada aliran aliran filsafat tertentu, sehingga
akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum
yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella

Yulaelawati (dalam Sudrajat, 2008), di bawah ini diuraikan


tentang isi dari masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan
pengembangan kurikulum.
a) Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan,
kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan
dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan
kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang
menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut ,
kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu.
Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
b) Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya
dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta
didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna.
Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai
dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di
masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme
juga lebih berorientasi pada masa lalu.
c)
Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai
sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk
memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya
sendiri.
d) Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani
perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi
pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan
landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
e) Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran
progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia
masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang
perbedaan
individual
seperti
pada
progresivisme,
rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan
masalah, berfikir kritis dan sejenisnya.
Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme
merupakan
aliran
filsafat
yang
mendasari
terhadap
pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan,
filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan
Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat
rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan
Model Kurikulum Interaksional.

Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan


keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktek
pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung
dilakukan secara selektif untuk lebih mengkompromikan dan
mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan
pendidikan. Meskipun demikian saat ini, pada beberapa negara
dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran
landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih
menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme. Ini merupakan
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pengembangan
kurikulum (dari teacher center menjadi student center).
2. Psikologis
Sukmadinata (2006: 46) mengemukakan bahwa minimal
terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan
kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi
belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang
mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan
perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji
tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan,
aspek-aspek
perkembangan,
tugas-tugas
perkembangan
individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan
individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang
perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar
mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta
berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang
semuanya dapat dijadikan sebagai bahan.
Selanjutnya, dikemukakan pula tentang 5 tipe kompetensi,
yaitu :
1. Motif; sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara
konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi.
2. Bawaan; yaitu karakteristik fisik yang merespons secara
konsisten berbagai situasi atau informasi.
3. Konsep diri; yaitu tingkah laku, nilai atau image seseorang.
4. Pengetahuan; yaitu informasi khusus yang dimiliki seseorang.
5. Keterampilan; yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik
maupun mental.
Kelima kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis
terhadap perencanaan sumber daya manusia atau pendidikan.
Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada

permukaan ciri-ciri seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan


dan motif lebih tersembunyi dan lebih mendalam serta
merupakan pusat kepribadian seseorang. Kompetensi permukaan
(pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan.
Pelatihan merupakan hal tepat untuk menjamin kemampuan ini.
Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit untuk
dikenali dan dikembangkan.
Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa
(dalam Sudrajat: 2008) menyoroti tentang aspek perbedaan dan
karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya
terdapat lima perbedaan dan karakteristik peserta didik yang
perlu diperhatikan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu :
(1) perbedaan tingkat kecerdasan; (2) perbedaan kreativitas; (3)
perbedaan cacat fisik; (4) kebutuhan peserta didik; dan (5)
pertumbuhan dan perkembangan kognitif.
3. Sosial-Budaya
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan.
Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan
dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan
merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke
lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk
pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan,
keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai
perkembangan lebih lanjut di masyarakat.
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan
baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan
diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan
masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan
budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi
pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia
manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya,
tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti
dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena
itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan
dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan
perkembangan yang ada di masyakarakat.
Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistemsosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola
hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting

dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang


mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga
masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama,
budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang
ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga
menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan
dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi
di sekitar masyarakat.
Israel Scheffer (dalam Sukmadinata, 2006: 60) mengemukakan
bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa
lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat
peradaban masa yang akan datang. Dengan demikian, kurikulum
yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan,
merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial
budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal,
nasional maupun global.

3. Pengertian Budaya dalam Kurikulum


Terdapat hubungan antara pendidikan dengan masyarakat dan
kebudayaannya. Budaya adalah bentuk amak dari kata budi dan daya yang
berarti cinta, rasa, dan karsa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa Sanskerta
budhayah yaitu bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Kemudian
pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya dan aktivitas
manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Kebudayaan pada dasarnya merupakan pola kelakuan yang secara umum terdapat
dalam satu masyarakat. Seluruh nilai yang telah disepakati masyarakat dapat pula
disebut kebudayaan. Kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang
diwujudkan dalam tiga hal:
a. Ide, konsep, gagasan, nilai, norma dan peraturan. Wujud kebudayaan ini bersifat
abstrak dan adanya dalam alam pikiran manusia dan warga masyarakat di tempat
kebudayaan itu berada.
b. Kegiatan yaitu tindakan berpola dari manusia dalam bermasyarakat. Tindakan ini
disebut sistem sosial. Dalam sistem sosial, aktivitas manusia sifatnya konkret, bisa
dilihat dan diobservasi. Sistem sosial dalam bentuk aktivitas manusia merupakan
refleksi dari ide, konsep, gagasan, nilai, norma dan peraturan yang telah
dimilikinya.
c. Benda dari hasil karya manusia. Seluruh fisik perbuatan atau hasil karya manusia
di masyarakat. Oleh karena itu, wujud kebudayaan ini disebut kebudayaan fisik.

Kebudayaan ini adalah produk dari wujud kebudayaan ide (point a) dan tindakan
(point b).
Kebudayaan menentukan arah, isi dan proses pendidikan
(sosialisasi atau enkulturasi). Sedangkan pendidikan memilki
fungsi konservasi dan atau fungsi kreasi (perubahan, inovasi) bagi
masyarakat dan kebudayaannya.
4. Hubungan Antara Kurikulum dengan Budaya Bangsa
Faktor kebudayaan merupakan bagian yang penting dalam pengembangan kurikulum
dengan pertimbangan bahwa individu itu lahir belum berbudaya, baik dalam hal
kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan, keterampilan dan sebagainya. Semuanya itu
dapat diperoleh individu melalui interaksi dengan lingkungan budaya, keluarga,
masyarakat sekitar dan tentu saja dengan sekolah.
Sekolah mempunyai tugas khusus untuk memberikan pengalaman kepada para siswa
dengan salah satu alat yang disebut dengan kurikulum. Kurikulum pada dasarnya
merupakan refleksi dari cara berfikir, berasa, bercita-cita atau kebiasaan-kebiasaan.
Oleh karena itu, dalam pengembangan suatu kurikulum guru perlu memahami
kebudayaan.
Kebudayaan dapat dibentuk, dilestarikan, atau dikembangkan karena dan melalui
pendidikan. Baik kebudayaan yang berwujud ideal, atau kelakuan dan teknologi, dapat
diwujudkan melalui proses pendidikan. Sebagai contoh dalam penggunaan bahasa,
setiap masyarakat dapat dikatakan mengajarkan kepada anak-anak untuk mengatakann
sesuatu, kapan hal itu dapat dikatakan, bagaimana mengatakannya, dan kepada siapa
mengatakannya. Contoh lain, setiap masyarakat mempunyai persamaan dan perbedaan
dalam berpakaian. Dalam kaitan dengan pakaian, anak harus mempelajari dari anggota
masyarakat yang lain tentang cara menggunakan pakaian tertentu dan dalam peristiwa
apa pakaian tertentu dapat dipakai. Dengan mempelajari tingkah laku yang dapat
diterima dan kemudian menerapkan sebagai tingkah lakunya sendiri menjadikan anak
sebagai anggota masyarakat. Ole sebab itu, anak-anak harus diajarkan pola-pola
tingkah laku yang sesua dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat.
Dengan kata lain, fungsi pokok setiap sistem pendidikan adalah untuk mengajarkan
anak-anak tentang pola-pola tingkah laku yang esensial tersebut (Redja Mudyahardjo,
1992: 45)
Cara-cara untuk mewariskan kebudayaan, khususnya mengajarkan tingkah laku ke
generasi baru berbeda dari masyarakat ke masyarakat. Pada dasarnya ada tiga cara
umum yang dapat diidentifikasikan, yaitu informal, nonformal, dan formal. Cara
informal terjadi di dalam keluarga, nonformal dalam masyarakat yang berkelanjutan
dan berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan cara formal melibatkan
lembaga khusus yang dibentuk untuk tujuan pendidikan. Pendidikan formal tersebut
dirancang untuk mengarahkan perkembangan tingkah laku anak didik. Kalau
masyarakat hanya mentransmisi kebudayaan yang mereka miliki kepada generasi

penerus maka tidak akan diperoleh kemajuan. Oleh sebab itu, anggota masyarakat
tersebut berusaha melakukan perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan kondisi
baru sehingga terbentuklah pola tingkah laku, nilai-nilai, dan norma-norma baru yang
sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Usaha-usaha menuju pola tingkah
laku, norma-norma dan nilai-nilai baru ini disebut transformasi kebudayaan. Lembaga
sosial yang lazim digunakan sebagai alat transmisi dan transformasi kebudayaan
adalah lembaga pendidikan, utamanya sekolah. Lembaga pendidikan ini berfungsi
untuk mentransmisikan kebudayaan dan mentransformasikan kebudayaan agar sesuai
dengan perkembangan dan tujuan jaman.
Salah satu upaya penyesuaian pendidikan jalur sekolah dengan keragaman latar
belakang sosial budaya di Indonesia adalah dengan memberlakukan muatan lokal di
dalam kurikulum sekolah, utamanya di Sekolah Dasar (SD). Kebijakan ini bukan hal
baru, karena gagasannya telah diberlakukan sejak dulu, umpamanya dengan
pengajaran bahasa daerah dan atau penggunaan bahasa daerah di dalam proses belajar
mengajar. Keragaman sosial budaya tersebut terwujud dalam keragaman adat istiadat,
tata cara dan tata krama pergaulan, kesenian, bahasa dan sastra daerah, maupun
kemahiran dan keterampilan yang tumbuh dan terpelihara di suatu daerah tertentu.

5. Budaya Sebagai Landasan Pengembangan Kurikulum


Pendidikan dan proses warisan budaya Sebagai unsur vital dalam kehidupan manusia
yang beradab, kebudayaan mengambil unsur-unsur pembentuknya dari segala ilmu
pengetahuan yang dianggap betul-betul vital dan sangat diperlukan dalam
menginterpretasi semua yang ada dalam kehidupannya. Hal ini diperlukan sebagai
modal dasar untuk dapat beradaptasi dan mempertahankan kelangsungan hidup
(survive). Dalam kaitan ini kebudayaan di pandang sebagai nilai-nilai yang diyakini
bersama dan terinternalisasi dalam diri individu sehingga terhayati dalam setiap
perilaku. Nilai-nilai yang dihayati ataupun ide yang diyakini tersebut bukanlah ciptaan
sendiri dari setiap individu yang menghayati dan meyakininya, semuanya itu diperoleh
melalui proses belajar. Proses belajar merupakan cara untuk mewariskan nilai-nilai
tersebut dari generasi ke generasi. Proses pewarisan tersebut dikenal dengan proses
sosialisasi atau enkulturasi (proses pembudayaan).
Sosial budaya merupakan bagian hidup manusia yang paling dekat dengan kehidupan
sehari-hari. Setiap kegiatan manusia hampir tidak pernah lepas dari unsur sosial dan
budaya karena sebagian besar kegiatan manusia dilakukan secara berkelompok.

Sejalan dengan lahirnya pemikiran tentang pendidikan kemasyarakatan, maka pada


abad ke-20 sosiologi memegang peranan penting dalam dunia pendidikan. Aliran
liberalisme dan positivisme yang membuat manusia tidak pernah merasa hidup damai
menyebabkan munculnya aliran kemasyarakatan dalam pendidikan. Aliran ini
berusaha membuat manusia bisa merasa tenang melalui pendidikan. Ini berarti proses
pendidikan harus diubah. Pendidikan yang diinginkan oleh aliran kemasyarakatan
tersebut adalah proses pendidikan yang bisa mempertahankan dan meningkatkan
keselarasan hidup dalam pergaulan manusia. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut
pendidikan butuh bantuan ilmu sosiologi.

6. Sumbangan Budaya dalam Pengembangan Kurikulum


Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu
rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi
bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke
lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun
memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja
dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun
informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat
pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya
menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia manusia yang
menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan
diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya.
Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan
kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di
masyakarakat

Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya


tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota
masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilainilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilainilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan
lainnya
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk
melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi
di sekitar masyarakat
Israel Scheffer (dalam Sukmadinata, 2006: 60) mengemukakan bahwa melalui
pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban
sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang. Dengan demikian,
kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan, merespons dan
berlandaskan pada perkembangan sosial budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam
konteks lokal, nasional maupun global.
Begitu pula dengan kebudayaan yang berisi norma-norma, kebiasaan, adat dan tradisi
(Hasan, 1983) mempunyai pengaruh dalam dunia pendidikan bahkan pengaruh timbal
balik. Bila kebudayaan berubah maka pendidikan juga berubah dan bila pendidikan
berubah maka akan dapat mengubah kebudayaan. Disini tampak bahwa peranan
pendidikan dalam mengembangkan kebudayaan sangat besar karena pendidikan
adalah tempat manusia dibina, ditumbuhkan dan dikembangkan potensinya.

Anda mungkin juga menyukai