PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki
pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat
pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia,
maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara
sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasanlandasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran
dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak
didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap
kegagalan pendidikan itu sendiri. Ada empat landasan utama
dalam pengembangan kurikulum, yaitu filosofis, psikologis, sosialbudaya, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan
budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.
Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem
sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola
hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting
dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang
mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga
masyarakat.
Politik, ekonomi , keragaman sosial, budaya adalah suatu realita
masyarakat dan bangsa Indonesia. Realita tersebut memang
berposisi sebagai objek periferal dalam proses pengembangan
II. PEMBAHASAN
1. Filosofis
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan
kuikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita
dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti: perenialisme,
essensialisme,
eksistesialisme,
progresivisme,
dan
rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun
senantiasa berpijak pada aliran aliran filsafat tertentu, sehingga
akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum
yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella
Kebudayaan ini adalah produk dari wujud kebudayaan ide (point a) dan tindakan
(point b).
Kebudayaan menentukan arah, isi dan proses pendidikan
(sosialisasi atau enkulturasi). Sedangkan pendidikan memilki
fungsi konservasi dan atau fungsi kreasi (perubahan, inovasi) bagi
masyarakat dan kebudayaannya.
4. Hubungan Antara Kurikulum dengan Budaya Bangsa
Faktor kebudayaan merupakan bagian yang penting dalam pengembangan kurikulum
dengan pertimbangan bahwa individu itu lahir belum berbudaya, baik dalam hal
kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan, keterampilan dan sebagainya. Semuanya itu
dapat diperoleh individu melalui interaksi dengan lingkungan budaya, keluarga,
masyarakat sekitar dan tentu saja dengan sekolah.
Sekolah mempunyai tugas khusus untuk memberikan pengalaman kepada para siswa
dengan salah satu alat yang disebut dengan kurikulum. Kurikulum pada dasarnya
merupakan refleksi dari cara berfikir, berasa, bercita-cita atau kebiasaan-kebiasaan.
Oleh karena itu, dalam pengembangan suatu kurikulum guru perlu memahami
kebudayaan.
Kebudayaan dapat dibentuk, dilestarikan, atau dikembangkan karena dan melalui
pendidikan. Baik kebudayaan yang berwujud ideal, atau kelakuan dan teknologi, dapat
diwujudkan melalui proses pendidikan. Sebagai contoh dalam penggunaan bahasa,
setiap masyarakat dapat dikatakan mengajarkan kepada anak-anak untuk mengatakann
sesuatu, kapan hal itu dapat dikatakan, bagaimana mengatakannya, dan kepada siapa
mengatakannya. Contoh lain, setiap masyarakat mempunyai persamaan dan perbedaan
dalam berpakaian. Dalam kaitan dengan pakaian, anak harus mempelajari dari anggota
masyarakat yang lain tentang cara menggunakan pakaian tertentu dan dalam peristiwa
apa pakaian tertentu dapat dipakai. Dengan mempelajari tingkah laku yang dapat
diterima dan kemudian menerapkan sebagai tingkah lakunya sendiri menjadikan anak
sebagai anggota masyarakat. Ole sebab itu, anak-anak harus diajarkan pola-pola
tingkah laku yang sesua dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat.
Dengan kata lain, fungsi pokok setiap sistem pendidikan adalah untuk mengajarkan
anak-anak tentang pola-pola tingkah laku yang esensial tersebut (Redja Mudyahardjo,
1992: 45)
Cara-cara untuk mewariskan kebudayaan, khususnya mengajarkan tingkah laku ke
generasi baru berbeda dari masyarakat ke masyarakat. Pada dasarnya ada tiga cara
umum yang dapat diidentifikasikan, yaitu informal, nonformal, dan formal. Cara
informal terjadi di dalam keluarga, nonformal dalam masyarakat yang berkelanjutan
dan berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan cara formal melibatkan
lembaga khusus yang dibentuk untuk tujuan pendidikan. Pendidikan formal tersebut
dirancang untuk mengarahkan perkembangan tingkah laku anak didik. Kalau
masyarakat hanya mentransmisi kebudayaan yang mereka miliki kepada generasi
penerus maka tidak akan diperoleh kemajuan. Oleh sebab itu, anggota masyarakat
tersebut berusaha melakukan perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan kondisi
baru sehingga terbentuklah pola tingkah laku, nilai-nilai, dan norma-norma baru yang
sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Usaha-usaha menuju pola tingkah
laku, norma-norma dan nilai-nilai baru ini disebut transformasi kebudayaan. Lembaga
sosial yang lazim digunakan sebagai alat transmisi dan transformasi kebudayaan
adalah lembaga pendidikan, utamanya sekolah. Lembaga pendidikan ini berfungsi
untuk mentransmisikan kebudayaan dan mentransformasikan kebudayaan agar sesuai
dengan perkembangan dan tujuan jaman.
Salah satu upaya penyesuaian pendidikan jalur sekolah dengan keragaman latar
belakang sosial budaya di Indonesia adalah dengan memberlakukan muatan lokal di
dalam kurikulum sekolah, utamanya di Sekolah Dasar (SD). Kebijakan ini bukan hal
baru, karena gagasannya telah diberlakukan sejak dulu, umpamanya dengan
pengajaran bahasa daerah dan atau penggunaan bahasa daerah di dalam proses belajar
mengajar. Keragaman sosial budaya tersebut terwujud dalam keragaman adat istiadat,
tata cara dan tata krama pergaulan, kesenian, bahasa dan sastra daerah, maupun
kemahiran dan keterampilan yang tumbuh dan terpelihara di suatu daerah tertentu.