Anda di halaman 1dari 40

PRESENTASI KASUS BEDAH PLASTIK

LAKI-LAKI 53 TAHUN DENGAN FRAKTUR PARASYMPHISIS DAN


FRAKTUR ANGULUS MANDIBULAE DEXTRA ET SINISTRA

Oleh:
Dita Mayasari
G99151024
Periode: 9 14 Januari 2017

Pembimbing :
dr. Amru Sungkar, Sp. B., Sp.BP-RE

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2017

STATUS PASIEN

I.

Anamnesa
A. Identitas pasien
Nama

: Tn. T

Umur

: 53 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Depok, Jawa Barat

No RM

: 01361xxx

Pekerjaan

: Buruh

MRS

: 3 Januari 2017

Tanggal Periksa

: 12 Januari 2017

B. Keluhan Utama
Nyeri pada rahang bawah
C. Riwayat Penyakit Sekarang
1 bulan SMRS pasien datang ke IGD RSDM dengan keluhan nyeri
pada rahang bawah setelah jatuh terpeleset saat mengendarai sepeda
motor. Pasien saat itu menggunakan helm dengan posisi kaca helm
terbuka kemudian jatuh terpeleset dari sepeda motor dengan posisi
tengkurap, wajah membentur aspal. Pasien sebelumnya sudah dijahit luka
di RSUD Tangerang, lalu oleh keluarga dibawa ke RSDM. Pingsan (-),
muntah (+)
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi

: disangkal

Riwayat diabetes melitus

: disangkal

Riwayat alergi

: disangkal

Riwayat operasi

: disangkal

Riwayat trauma

: disangkal

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat hipertensi

: disangkal

Riwayat diabetes melitus

: disangkal

Riwayat alergi

: disangkal

Riwayat operasi

: disangkal

F. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tinggal bersama istrinya dan bekerja sebagai buruh. Pasien
berobat dengan fasilitas BPJS.
II.

Anamnesa sistemik
Mata

: mata kuning (-), mata kemerahan (-)

Telinga

: darah (-), lendir (-), cairan (-), pendengaran


berkurang (-)

Mulut

: darah (-), gusi berdarah (+), maloklusi (+) open


bite

Hidung

: penciuman menurun (-), darah (-), sekret (-)

Sistem Respirasi

: sesak nafas (-), suara sengau (-), sering tersedak (-)

Sistem Kardiovaskuler : nyeri dada (-), sesak saat aktivitas (-)


Sistem Gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nyeri perut (-), diare(-)
Sistem Muskuloskeletal : nyeri otot (-), nyeri sendi (-), jari tangan kaku (-)
Sistem Genitourinaria
III.

: nyeri BAK (-), kencing darah (-)

Pemeriksaan Fisik
A. Primary Survey
1. Airway
2. Breathing

3. Circulation

: bebas
Inspeksi

: pengembangan dada kanan = kiri,

pernafasan 20x/menit
Palpasi
: krepitasi (-/-)
Perkusi
: sonor/ sonor
Auskultasi
: SDV (+/+), ST (-/-)
: tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 84 x/menit

4. Disability
5. Exposure
B. Secondary Survey
1. Kepala

: GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/+),

pupil isokor (3mm/3mm), lateralisasi (-)


: suhu 36.8C, jejas (+) lihat status lokalis
: bentuk mesocephal, lihat status lokalis (+)
2. Mata
: edema periorbita (-/-), konjungtiva
pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(3mm/3mm),

reflek

cahaya

(-/-),

hematom

3. Telinga

periorbita (-/-), diplopia (-/-)


: sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)
4. Hidung
: bentuk simetris, napas cuping

5. Mulut

hidung (-), secret (-), keluar darah (-)


: maloklusi (+), lihat status lokalis (+)
6. Leher
: pembesaran tiroid (-), pembesaran
limfonodi (-), nyeri tekan (-), JVP tidak
meningkat
7. Thorak
: bentuk normochest, ketertinggalan
gerak (-), jejas (-)

8. Jantung
Inspeksi

: ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi

: batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi

: bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising


(-)

9. Pulmo
Inspeksi

: pengembangan dada kanan sama dengan kiri

Palpasi

: fremitus raba kanan sama dengan kiri, nyeri tekan


(-/-)

Perkusi

: sonor/sonor

Auskultasi

: suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan


(-/-)

10. Abdomen
Inspeksi

: distended (-)
4

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Perkusi

: timpani

Palpasi

: supel, nyeri tekan (-), defans muscular (-)


11. Genitourinaria

: BAK normal, BAK darah

(-), BAK nanah (-), nyeri BAK (-)


12. Ekstremitas

Akral dingin
-

Oedema
-

C. Status Lokalis
Regio Midfacial (D)
Inspeksi

: tampak vulnus terhecting 5 cm regio supracilliaris (D),


tampak vulnus terhecting 3 cm regio infraorbita lateral
(D), vulnus terhecting 4 cm regio nasolabial (D)

Palpasi

: krepitasi (-), hipoestesi (-), nyeri tekan (+)

Regio Mandibula
Inspeksi

: swelling (-), asimetris (+), deformitas (+)

Palpasi

: nyeri tekan (+), NVD (-)

Regio Cavum Oris


Inspeksi

: maloklusi (+), laserasi mukoginggiva (+), gigi tanggal (+),


trismus (+) 1 jari, diskontinuitas region incisivus 1 kanan-

Palpasi

IV.

kiri rahang bawah, oral hygiene buruk


: nyeri tekan (-)

Assesment I
Fraktur mandibula dextra et sinistra

V.

Plan I
-

Infus NaCl 0.9% 20 tpm

VI.

Inj. Metamizol 1 gr/8 jam

Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam

Cek laboratorium darah

Foto thorax PA

CT scan kepala 3D

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium (RSDM, 3 Januari 2017)
Pemeriksaan
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
PT
APTT
INR
HbsAg

Hasil
Satuan
HEMATOLOGI RUTIN
13.6
g/dl
40
%
18.6
ribu/ul
194
ribu/ul
4.53
juta/ul
HEMOSTASIS
13.7
Detik
25.8
Detik
1.110
SEROLOGI HEPATITIS
Nonreactive

Rujukan
13.5-17.5
33-45
4.5-11.0
150-450
4.50-5.90
10-15.0
20-40.0
Nonreactive

2. CT Scan Kepala 3D

3. Foto thorax PA

VII.

Assesment II
Fraktur parasymphisis mandibulae
Fraktur angulus mandibulae dextra et sinistra

VIII.

Plan II
-

Diet cair, pasang NGT

Inf. NaCl 0.9% 1500 cc/kgBB

Inj. Metamizol 1 gr/8 jam

Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

Oral hygiene

Awasi KU/VS/GCS/Lateralisasi

Konsul bedah plastik untuk ORIF elektif

TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi

Gambar 1. Anatomi Tulang Mandibula


Mandibula adalah tulang rahang bawah pada manusia dan berfungsi
sebagai tempat menempelnya gigi geligi. Mandibula berartikulasi dengan basis
kranii pada sepasang sendi temporomandibular dan disangga oleh komplek
ligamen-ligamen dan neuromuskular. Komponen anatomi mandibula meliputi
symphisis, parasymphisis, body, angle, ramus, prosesus coronoid, condilus dan
alveolar (Knotts et al., 2012).
Mandibula dibentuk oleh dua bagian simetris yang mengadakan fusi dalam
tahun pertama kehidupan. Tulang ini terdiri dari korpus, yaitu suatu
lengkungan tapal kuda dan sepasang ramus yang pipih dan lebar yang
mengarah keatas pada bagian belakang dari korpus. Pada ujung dari masingmasing ramus didapatkan dua buah penonjolan disebut prosesus kondiloideus
dan prosesus koronoideus. Prosessus kondiloideus terdiri dari kaput dan kolum.
Permukaan luar dari korpus mandibula pada garis median, didapatkan tonjolan

tulang halus yang disebut simfisis mentum yang merupakan tempat pertemuan
embriologis dari dua buah tulang (Perumal et al., 2012).
Bagian korpus mandibula membentuk tonjolan disebut prosesus alveolaris
yang mempunyai 16 buah lubang untuk tempat gigi. Bagian bawah korpus
mandibula mempunyai tepi yang lengkung dan halus. Pada pertengahan korpus
mandibula kurang lebih 1 inchi dari simfisis didapatkan foramen mentalis yang
dilalui oleh vasa dan nervus mentalis. Permukaan dalam dari korpus mandibula
cekung dan didapatkan linea milohiodea yang merupakan origo m. milohioid.
Angulus mandibula adalah pertemuan antara tepi belakang ramus mandibula
dan tepi bawah korpus mandibula. Angulus mandibula terletak subkutan dan
mudah diraba pada 2-3 jari dibawah lobulus aurikularis (Sencimen, 2012).

Gambar 2. Anatomi Mandibula dari Arah Sagital

10

Gambar 3. Anatomi Mandibula dari Arah Lateral

Secara keseluruhan tulang mandibula ini berbentuk tapal kuda melebar di


belakang, memipih dan meninggi pada bagian ramus kanan dan kiri sehingga
membentuk pilar, ramus membentuk sudut 120 terhadap korpus pada orang
dewasa. Pada yang lebih muda sudutnya lebih besar dan ramusnya nampak
lebih divergens.
Dari aspek fungsinya, merupakan gabungan tulang berbentuk L bekerja
untuk mengunyah dengan dominasi (terkuat) m. temporalis yang berinsersi di
sisi medial pada ujung prosesus koronoideus dan m. masseter yang berinsersi
pada sisi lateral angulus dan ramus mandibula. M. pterigodeus medial
berinsersi pada sisi medial bawah dari ramus dan angulus mandibula. M
masseter bersama m. temporalis merupakan kekuatan untuk menggerakkan
mandibula dalam proses menutup mulut. M pterigoideus lateral berinsersi pada
bagian depan kapsul sendi temporo-mandibular, diskus artikularis berperan
untuk membuka mandibula. Fungsi m. pterigoid sangat penting dalam proses
penyembuhan pada fraktur intrakapsuler (Thapliyal, 2008).
Pada potongan melintang tulang mandibula dewasa level molar II
berbentuk seperti U dengan komposisi korteks dalam dan korteks luar yang
cukup kuat. Ditengahnya ditancapi oleh akar-akar geligi yang terbungkus oleh
tulang kanselus yang membentuk sistem haversian (osteons) diantara dua
korteks tersebut ditengahnya terdapat kanal mandibularis yang dilewati oleh

11

syaraf dan pembuluh darah yang masuk dari foramen mandibularis dan keluar
kedepan melalui foramen mentalis (Belli et al., 2015).
Lebar kanalis mandibula tersebut sekitar 3 mm ( terbesar) dan ketebalan
korteks sisi bukal yang tertipis sekitar 2.7 mm sedang pada potongan level gigi
kaninus kanalnya berdiameter sekitar 1mm dengan ketebalan korteks sekitar
2.5-3mm. Posisis jalur kanalis mandibula ini perlu diingat dan dihindari saat
melakukan instrumentasi waktu reposisi dan memasang fiksasi interna pada
fraktur mandibula (Philippe, 2003).

Gambar 4. Gambar Persarafan Mandibula

Mandibula mendapat nutrisi dari arteri alveolaris inferior yang merupakan


cabang pertama dari arteri maxillaris yang masuk melalui foramen mandibula
bersama vena dan nervus alveolaris inferior berjalan dalam kanalis alveolaris.
Arteri alveolaris inferior memberi nutrisi ke gigi-gigi bawah serta gusi
sekitarnya kemudian di foramen mentalis keluar sebagai a. Mentalis. Sebelum
keluar dari foramen mentalis bercabang menuju incisivus dan berjalan sebelah
anterior ke depan didalam tulang. Arteri mentalis beranastomosis dengan arteri
facialis, arteri submentalis dan arteri labii inferior. Arteri submentalis dan arteri
labii inferior merupakan cabang dari arteri facialis. Arteri mentalis memberi

12

nutrisi ke dagu. Aliran darah balik dari mandibula melalui vena alveolaris
inferior ke vena facialis posterior. Daerah dagu mengalirkan darah ke vena
submentalis, yang selanjutnya mengalirkan darah ke vena facialis anterior.
Vena facialis anterior dan vena facialis posterior bergabung menjadi vena
fascialis communis yang mengalirkan darah ke vena jugularis interna
(Reginald, 2013; Olivera et al., 2011).
II. Biomekanik Mandibula
Secara biomekanik, mandibula dapat dianggap seperti balok kantilever
yang menggantung pada 2 titik yang digambarkan dengan perlekatan sendi
temporomandibular (TMJ). Otot-otot mastikasi menghasilkan daya yang
beraksi pada balok tersebut dan gigi bertindak sebagai fulkrum (Choi et al.,
2012).
Mandibula memiliki mobilitas dan gaya yang sangat banyak, sehingga
dalam

melakukan

penanganan

fraktur

mandibula

harus

benar-benar

diperhatikan biomekanik yang terjadi. Gerakan mandibula dipengaruhi oleh


empat pasang otot yang disebut otot-otot pengunyah, yaitu otot masseter,
temporalis, pterigoideus lateralis dan medialis. Otot digastricus bukan termasuk
otot pengunyah tetapi mempunyai peranan yang penting dalam fungsi
mandibula. Pada waktu membuka mulut, maka yang berkontraksi adalah m.
pterigoideus lateralis bagian inferior, disusul m pterigoideus lateralis bagian
superior (yang berinsersi pada kapsul sendi) saat mulut membuka lebih lebar.
Sedangkan otot yang berperan untuk menutup mulut adalah m. temporalis dan
masseter dan diperkuat lagi oleh m. pterigoideus medialis. Kekuatan dinamis
dari otot pengunyah orang dewasa pada gigi seri 40kg, geraham 90kg,
sedang kekuatan menggigit daerah incisivus 10kg, premolar 15 kg (Joseph
dan Kelly, 2008).

13

III. Insidensi

Gambar 5. Insidensi fraktur mandibula berdasarkan lokasi anatomi


Insidensi fraktur mandibula sesuai dengan lokasi anatomisnya adalah
prosesus kondilaris (29.1%), angulus mandibula (24.5%), symphisis dan
parasymphisis mandibula (22%), korpus mandibula (16%),

dentoalveolar

(3.1%), ramus (1.7%), processus koroinoideus (1.3%) (Andreas et al., 2011).

IV. Fraktur Mandibula


Fraktur

didefinisikan

sebagai

deformitas

linear

atau

terjadinya

diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur dapat terjadi


akibat trauma atau karena proses patologis. Fraktur akibat trauma dapat terjadi
akibat perkelahian, kecelakaan lalulintas, kecelakaan kerja, luka tembak, jatuh
ataupun trauma saat pencabutan gigi. Fraktur patologis dapat terjadi karena
kekuatan tulang berkurang akibat adanya kista, tumor jinak atau ganas rahang,
osteogenesis imperfecta, osteomyelitis, osteomalacia, atrofi tulang secara
menyeluruh atau osteoporosis nekrosis atau metabolic bone disease. Akibat
adanya proses patologis tersebut, fraktur dapat terjadi secara spontan seperti
waktu bicara, makan atau mengunyah.
Mandibula merupakan tulang yang kuat, tetapi pada beberapa tempat
dijumpai adanya bagian yang lemah. Daerah korpus mandibula terutama terdiri

14

dari tulang kortikal yang padat dengan sedikit substansi spongiosa sebagai
tempat lewatnya pembuluh darah dan pembuluh limfe. Daerah yang tipis pada
mandibula adalah angulus dan sub condylus sehingga bagian ini termasuk
bagian yang lemah dari mandibula. Selain itu titik lemah juga didapatkan pada
foramen mentale, angulus mandibula tempat gigi molar III terutama yang
erupsinya sedikit, kolum kondilus mandibula terutama bila trauma dari depan
langsung mengenai dagu maka gayanya akan diteruskan kearah belakang.

Gambar 6. Fraktur Mandibula Multiple

Gambar 7. Fraktur Angulus

Mandibula

Gambar 8. Pembagian Fraktur berdasar Ada-tidaknya Gigi

Gambar 9. Fraktur Corpus Mandibula

15

A. Klasifikasi Fraktur Mandibula


Langkah pertama dalam mengembangkan rencana perawatan yang
tepat untuk mendukung solusi operasi yang tepat adalah menentukan
dengan jelas tipe injury yang diderita pasien (Ping et al., 2011).
Klasifikasi fraktur secara umum :
1

Simple/closed : tanpa adanya hubungan dengan dunia luar dan tidak

ada diskontinuitas dari jaringan sekitar fraktur.


Compound atau open : fraktur berhubungan dengan dunia luar yang

melibatkan kulit, mukosa atau membran periodontal.


Greenstick : fraktur dalam dimana satu korteks tulang patah dan kortek

lainnya bengkok. Biasanya terjadi pada anak karena periosteum tebal.


Comninuted : fraktur terdapat adanya fragmen yang kecil bisa berupa

fraktur simple atau compound.


Multiple : fraktur yang terjadi pada dua atau lebih garis fraktur pada

tulang yang sama tanpa adanya hubungan dengan satu sama lain.
Impacted : fraktur dengan salah satu fragmen fraktur di dalam fragmen

fraktur yang lain.


Atrophic : fraktur spontan yang terjadi pada tulang yang atrofi seperti

pada atrofi tulang rahang edentulous.


Indirect fracture : fraktur yang terjadi jauh dari lokasi trauma.

16

Gambar 10. Jenis fraktur (A) Simple fracture (B) compound


fracture (C) comminuted fracture, (D) impacted fracture di daerah
subcondylar kanan dan patholigic fracture didaerah angulus kiri,
(E) direct dan indirect fracture
Klasifikasi fraktur mandibula menurut lokasi anatomis terbagi
sebagai berikut: (Joseph, 2014)
1

Alveolar : fraktur yang terjadi sebatas daerah dukungan gigi

mandibula tanpa mengganggu kontinuitas struktur tulang dibawahnya.


Symphysis : fraktur di daerah insisivus yang berjalan dari prosessus

alveolaris melewati border inferior mandibula dalam arah vertikal.


Parasimfisis : fraktur yang terjadi diantara foramen mentale dan aspek
distal insisivus lateral mandibula meluas dari prosessus alveolaris

melewati border inferior mandibula.


Body/Korpus : fraktur yang terjadi di daerah antara foramen mentale
dan bagian distal molar kedua mandibula meluas dari prosessus

alveolaris melewati border inferior mandibula.


Angulus/Angle : fraktur distal molar kedua mandibula meluas dari
titik mana saja kurva yang dibentuk oleh pertemuan body dan ramus
didaerah retromolar ke kurva yang dibentuk border inferior body

mandibula dan border posterior ramus mandibula.


Ramus : fraktur dimana garis fraktur meluas secara horizontal melalui
border anterior dan posterior ramus atau yang berjalan vertikal dari

sigmoid notch ke border inferior mandibula


Prosesus Kondilus : fraktur yang berjalan dari sigmoid notch ke

border posterior ramus mandibula sepanjang aspek superior ramus.


Prosesus Koronoid

17
Symphisis

Gambar 11. Lokasi Fraktur Mandibula


Berdasar ada tidaknya gigi pada kiri dan kanan garis fraktur, dapat
dibagi menjadi:
1
2

kelas I
kelas II

: gigi ada pada kedua bagian garis fraktur,


: gigi hanya ada pada satu bagian dari garis fraktur,
3 kelas III
: tidak ada gigi pada kedua fragmen,
mungkin gigi sebelumnya memang sudah tidak ada
(edentolous), atau gigi hilang saat terjadi trauma.

Gambar 12. Tipe fraktur mandibula berdasarkan ada tidaknya gigi


Efek kerja otot pada fragmen fraktur merupakan hal yang penting
untuk digunakan sebagai dasar klasifikasi fraktur angulus dan korpus.
Jenis fraktur berdasar arah fraktur dan kemudahan fragmen fraktur untuk
direposisi dapat diklasifikasikan sebagai.
1. vertically favorable atau unfavorable dan
2. horizontally favorable atau unfavorable.

18

Kriteria favorable dan unfavorable berdasarkan arah satu garis


fraktur terhadap gaya otot yang bekerja pada fragmen tersebut. Disebut
favorable apabila arah fragmen memudahkan untuk mereduksi tulang
waktu reposisi, sedangkan unfavorable bila garis fraktur menyulitkan
untuk reposisi.
Otot-otot yang melekat pada ramus (masseter, temporal dan
ptrigoid medialis) akan memindahkan segmen fraktur ke atas dan medial
bila

fraktur

tersebut

vertically

dan

horizontally

unfavorable.

Kebalikannya, otot-otot yang sama akan menstabilkan fragmen tulang


pada fraktur vertically dan horizontally favorable. Apabila fraktur terjadi
pada daerah kaninus maka simfisis mandibula akan bergeser ke arah
posterior dan inferior oleh karena tarikan otot digastrikus, geniohyoid dan
genioglosus.

Gambar 13. Fraktur tipe vertically favorable atau unfavorable dan


horizontally favorable atau unfavorable
B. Diagnosis Fraktur Mandibula
Pada kasus trauma, pemeriksaan penderita dengan kecurigaan
fraktur mandibula harus mengikuti kaidah ATLS, dimana terdiri dari
pemeriksaan awal (primary survey) yang meliputi pemeriksan airway,

19

breathing, circulation dan disability. Pada penderita trauma dengan fraktur


mandibula harus diperhatikan adanya kemungkinan obstruksi jalan nafas
yang bisa diakibatkan karena fraktur mandibula itu sendiri ataupun akibat
perdarahan intraoral yang menyebabkan aspirasi darah dan clot.
Setelah dilakukan primary survey dan kondisi penderita stabil,
dilanjutkan dengan dengan pemeriksaan lanjutan secondary survey yaitu
pemeriksaan menyeluruh dari ujung rambut sampai kepala.
Di dalam penegakan diagnosis fraktur mandibula meliputi
anamnesa, apabila merupakan kasus trauma harus diketahui mengenai
mekanisme traumanya (mode of injury), pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang (Valiati et al., 2008).
1. Anamnesa
Riwayat trauma yang akurat dapat menjadi informasi yang
bernilai untuk penegakan diagnosis dan penentuan perawatan. Namun,
pada pasien yang mendapat cedera pada daerah kepala, biasanya sulit
atau tidak memungkinkan untuk menjelaskan riwayat trauma yang
telah terjadi. Pada situasi ini, riwayat trauma dapat diperoleh dari
petugas unit gawat darurat, perawat, orang yang mendampingi yang
pasien, atau siapapun yang melihat dengan jelas bagaimana trauma
terjadi.
Mendapatkan riwayat yang adekuat dari pasien trauma
maksilofasial adalah sulit, karena

biasanya mereka tidak mampu

merespon dengan baik. Keadaan tidak sadar (koma), syok, amnesia,


dan intoksikasi merupakan hambatan yang sering terjadi dalam
menjalin komunikasi dengan pasien. Sumber terbaik yang dapat
digunakan adalah keluarga dekat yang menemaninya, temannya,
polisi, atau pekerja pada unit gawat darurat. Penting dicatat mengenai
tanggal, waktu, tempat kejadian, dan peristiwa yang khusus. Apabila
cedera disebabkan karena kecelakaan mobil, apakah korban bertindak
sebagai pengemudi atau penumpang, apakah ia memakai sabuk
pengaman yang putus? Apabila pasien merupakan korban kejahatan,

20

apakah digunakan senjata tertentu? Apakah pasien jatuh atau tidak


sadar. Kondisi medis resiko tinggi, alergi, dan tanggal imunisasi
tetanus juga harus dicatat. Penting juga dicatat ada tidaknya tandatanda kecanduan alkohol dan obat-obatan, karena tingkat kesadaran
dipengaruhi oleh obat-obatan tersebut. Informasi mengenai waktu
makan dan minum yang terakhir sangat penting apabila akan
dilakukan anestesi umum.
Menurut Hupp, langkah pertama pada setiap proses diagnostik
adalah memperoleh sebuah riwayat trauma yang akurat. Riwayat
trauma yang akurat sebaiknya diperoleh dari pasien, yang meliputi
informasi tentang who, when, where, and how. Operator harus
menanyakan pertanyaan-pernyataan kepada pasien, orangtua pasien,
atau seseorang yang menyertainya, antara lain :
a

Siapa pasien tersebut?


Jawabannya meliputi nama pasien, umur, alamat, nomor telepon,
dan data demografi lainnya.

Kapan trauma itu terjadi?


Pertanyaan ini merupakan salahsatu pertanyaan penting karena
beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa semakin cepat gigi
avulsi dapat direposisi, maka semakin baik prognosisnya. Sama
halnya dengan hasil yang diperoleh dari perawatan fraktur alveolar
yang disebabkan oleh penanganan yang terlambat.

Dimana trauma itu terjadi?


Pertanyaan ini penting karena kemungkinan terdapat kontaminasi
bakteri atau kimia.

Bagaimana trauma itu terjadi?


Trauma yang alami dapat memberikan perkiraan tentang hasil
cedera jaringan akan seperti apa nantinya. Sebagai contoh,
penumpang mobil yang terlempar ke depan dashboard dengan
kekuatan besar, selain dapat merusak beberapa gigi juga dapat
menyebabkan cedera leher yang tersembunyi.

21

Perawatan apa yang telah diberikan sejak trauma terjadi (bila ada)?
Dari pertanyaan ini didapatkan informasi mengenai kondisi awal
dari daerah cedera. Seperti pertanyaan, bagaimana gigi yang avulsi
disimpan sebelum diberikan kepada dokter gigi?

Apakah ditemukan adanya gigi atau serpihan gigi ditempat


kejadian trauma?
Sebelum diagnosis dan rencana perawatan ditentukan, harus
terlebih dahulu diketahui jumlah gigi pasien sebelum trauma
terjadi. Jika selama pemeriksaan klinis ditemukan adanya gigi atau
mahkota gigi yang hilang dan tidak dapat diperkirakan apakah gigi
atau mahkota gigi tersebut hilang di tempat kejadian, maka
diperlukan pemeriksaan radiografi pada jaringan lunak sekitar
mulut, dada, dan regio perut untuk memastikan ada atau tidaknya
gigi atau mahkota gigi tersebut di dalam jaringan atau rongga
badan lainnya.

Bagaimana status kesehatan umum pasien?


Penting diketahui tentang riwayat kesehatan umum dari pasien
tersebut sebelum dilakukan perawatan, yang meliputi ada atau
tidaknya alergi terhadap obat, kelainan jantung, kelainan darah,
penyakit umum lainnya, dan riwayat penyakit terakhir yang
diderita sebelum trauma.

Apakah pasien mengalami mual, muntah, pingsan, amnesia, sakit


kepala, gangguan penglihatan, atau kebingungan setelah kejadian?
Bila jawabannya ya maka kemungkinan ada indikasi cedera
intrakranial dan operator harus segera melakukan konsultasi medis.

Apakah ada gangguan oklusi?


Apabila jawabannya ya maka kemungkinan ada indikasi pergeseran
gigi atau fraktur dentoalveolar ataupun fraktur rahang.

2. Pemeriksaan fisik

22

Dari inspeksi dilihat ada tidaknya deformitas, luka terbuka dan


evaluasi susunan/konfigurasi gigi saat menutup dan membuka mulut,
menilai ada/tidaknya maloklusi. Dilihat juga ada/tidaknya gigi yang
hilang atau fraktur. Pada palpasi dievaluasi daerah TMJ dengan jari
pada daerah TMJ dan penderita disuruh buka-tutup mulut, menilai ada
tidaknya nyeri, deformitas atau dislokasi. Untuk memeriksa apakah
ada fraktur mandibula dengan palpasi dilakukan evaluasi false
movement dengan kedua ibu jari di intraoral, korpus mandibula kanan
dan kiri dipegang kemudian digerakkan keatas dan kebawah secara
berlawanan sambil diperhatikan di sela gigi dan gusi yang dicurigai
ada frakturnya. Bila ada pergerakan yang tidak sinkron antara kanan
dan kiri maka false movement (+), apalagi jika dijumpai perdarahan di
sela gusi (Zrounba et al., 2014).

Gambar 14. Palpasi pada batas inferior mandibula (A) Area


preaurikular (B) kelainan mengindikasikan kemungkinan fraktur

23

Gambar 15. Metode bimanual palpasi untuk evaluasi false movement


pada mandibula

Gambar 16b. Pasien dengan relasi oklusal


yang abnormal. Kontak oklusi hanya didapat
pada regio molar, menunjukkan
kemungkinan fraktur kondilus

Gambar 16a. Foto intraoral menunjukkan


gambaran fraktur mandibula yang jelas,
terlihat dari adanya step pada dataran gigi
rahang bawah

3. Pemeriksaan penunjang
Pada

fraktur

mandibula

dapat

dilakukan

pemeriksaan

penunjang secara radiologis untuk mengetahui pola fraktur yang


terjadi. Setiap pemeriksaan radiologis diharapkan menghasilkan
kualitas gambar yang meliputi area yang dicermati yaitu daerah
patologis berikut daerah normal sekitarnya (Joseph dan Kelly, 2008).
Pemeriksaan yang dilakukan dapat berupa foto Rontgen, CT Scan atau
MRI.
Beberapa teknik Rontgen dapat digunakan untuk melihat
adanya fraktur mandibula antara lain ;

24

Foto skull AP/Lateral

Gambar 17. Gambaran foto dengan proyeksi PA menunjukkan


adanya fraktur pada parasimfisis kanan dan kondilus kiri
b

Foto Lateral Oblique

Gambar 18. Gambaran foto proyeksi lateral oblique menunjukkan


fraktur pada korpus mandibula
c

Foto Oklusal

25

Gambar 19. Foto proyeksi oklusal memperlihatkan suatu fraktur


pada daerah simfisis
d

Foto Eisler
Foto ini dibuat untuk pencitraan mandibula bagian ramus
dan korpus, dibuat sisi kanan atau sisi kiri sesuai kebutuhan.

Gambar 20. Foto proyeksi Eisler


e

Townes view
Dibuat untuk melihat proyeksi tulang maksila, zigoma dan
mandibula

Gambar 21. Foto Townes yang memperlhatkan gambaran fraktur


angulus mandibula kiri

26

Reverse Townes View


Dilakukan untuk melihat adanya fraktur leher kondilus
mandibula terutama yang terdorong ke medial dan bisa juga
melihat dinding lateral maksila.

Gambar 22. Foto proyeksi Reverse Towne menunjukkan fraktur


pada daerah sub kondilus

Panoramik
Disebut juga pantomografi atau rotational radiography
dibuat untuk mengetahui kondisi mandibula mulai dari kondilus
kanan sampai kondilus kiri beserta posisi geliginya termasuk
oklusi terhadap gigi maksila. Dibuat film didepan mulut pada alat
yang rotasi dari pipi kanan ke pipi kiri, sinar-x juga berlawanan
arah rotasi dari arah tengkuk sehingga tercapai proyeksi dari
kondulus kanan sampai kondilus kiri.
Keuntungan panoramik adalah cakupan anatomis yang luas,
dosis radiasi rendah, pemeriksaan cukup nyaman, bisa dilakukan
pada penderita trismus,. Kerugiannya tidak bisa menunjukkan
gambaran anatomis yang jelas daerah periapikal sebagaimana
yang dihasilkan foto intra oral.
27

Gambar 23. Foto panoramik menunjukkan gambaran suatu fraktur


simfisis
h.

CT Scan
Pemeriksaan ini pada kasus emergensi masih belum
merupakan pemeriksaan standar. Pusat pelayanan

yang telah

maju dalam penggunaan modalitas ini telah menggunakan CT


Scan terutama untuk fraktur maksilofasial yang sangat kompleks.
Pemeriksaan ini memberikan banyak informasi mengenai cidera
di bagian dalam.

Gambar 24. CT scan menunjukkan gambaran fraktur pada


simfisis mandibula

28

Gambar 25. CT Scan 3D menunjukkan fraktur simfisis mandibula


i.

MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Gambar 26. MRI buka tutup pada suatu gangguan pada discus
artikularis akibat fraktur mandibula
C. Penatalaksanaan Fraktur Mandibula
Prinsip dasar umum dalam perawatan fraktur mandibula ialah
sebagai berikut; evaluasi klinis secara keseluruhan dengan teliti,
pemeriksaan klinis fraktur dilakukan secara benar, kerusakan gigi
dievaluasi dan dirawat bersamaan dengan perawatan fraktur mandibula,
mengembalikan oklusi merupakan tujuan dari perawatan fraktur
mandibula. Apabila terjadi fraktur mulitple di wajah, fraktur mandibula
lebih baik dilakukan perawatan terlebih dahulu dengan prinsip dari dalam
keluar, dari bawah keatas (Choi et al., 2012).
Waktu

penggunaan

fiksasi

intermaksiler

dapat

bervariasi

tergantung tipe, lokasi, jumlah dan derajat keparahan fraktur mandibula


serta usia dan kesehatan pasien maupun metode yang akan digunakan
untuk reduksi dan imobilisasi. Penggunaan antibiotik untuk kasus

29

compound fractures, monitor pemberian nutrisi pasca operasi. Penanganan


fraktur mandibula secara umum dibagi menjadi 2 metode yaitu reposisi
tertutup dan terbuka. Reposisi tertutup (closed reduction) patah tulang
rahang bawah merupakan penanganan konservatif dengan melakukan
reposisi tanpa operasi langsung pada garis fraktur dan melakukan
imobilisasi dengan interdental wiring atau eksternal pin fixation (Hosein,
2013).
Reposisi terbuka (open reduction) merupakan tindakan operasi
untuk melakukan koreksi deformitas-maloklusi yang terjadi pada patah
tulang rahang bawah dengan melakukan fiksasi dengan interosseus
wiring serta imobilisasi dengan menggunakan interdental wiring atau
dengan mini plat dan skrup (Cillo dan Ellis, 2014).
Indikasi untuk closed reduction antara lain ;
1. Fraktur kominutif, selama periosteum masih intak masih dapat
diharapkan kesembuhan tulang.
2. Fraktur dengan kerusakan soft tissue yang cukup berat, dimana
rekonstruksi soft tissue dapat digunakan rotation flap, free flap
ataupun granulasi persecundum bila luka tersebut tidak terlalu besar.
3. Edentulous mandibula: closed reduction dengan menggunakan
protese mandibula gunning splint dan sebaiknya dikombinasikan
dengan kawat circum mandibula- circumzygomaticum.
4. Fraktur pada anak-anak: karena open reduction dapat menyebabkan
kerusakan gigi yang sedang tumbuh. Apabila diperlukan open
reduction dengan fiksasi internal, maka digunakan kawat yang halus
dan diletakkan pada bagian paling inferior dari mandibula. Closed
reduction dilakukan dengan splint acrylic dan kawat circummandibular dan circumzygomaticum bila memungkinkan.
5. Fraktur condylus:

mobilisasi rahang bawah diperlukan untuk

menghindari ankylosis dari TMJ. Pada anak, mobilisasi ini harus


dilakukan tiap minggu, sedangkan dewasa setiap 2 minggu.

30

Teknik yang digunakan pada terapi fraktur mandibula secara


closed reduction adalah fiksasi intermaksiler. Fiksasi ini dipertahankan 34 minggu pada fraktur daerah condylus dan 4-6 minggu pada daerah lain
dari mandibula.
Beberapa teknik fiksasi intermaksilaris adalah sebagai berikut:
1. Teknik gilmer: merupakan teknik yang mudah dan efektif tetapi
mempunyai kekurangan yaitu mulut tidak dapat dibuka untuk
melihat daerah fraktur tanpa mengangkat kawat. Kawat tersebut
dilingkarkan pada leher gigi, kemudian diputar searah jarum jam
sampai tegang. Dilakukan pada gigi atas dan bawah sampai oklusi
baik. Kemudian kedua kawat atas dan bawah digabungkan dan
diputar dengan hubungan vertika maupun silang, untuk mencegah
tergelincir ke anterior dan posterior.
2. Teknik eyelet (ivy loop) : keuntungan teknik ini bahan mudah
didapat dan sedikit menimbulkan kerusakan jaringan periodontal
serta rahang dapat dibuka dengan hanya mengangkat ikatan
intermaksilaris. Kerugiannya kawat mudah putus waktu digunakan
untuk fiksasi intermaksiler.
3. Teknik continous loop (stout wiring) ; terdiri dari formasi loop kawat
kecil yang mengelilingi arkus dentis bagian atas dan bawah, dan
menggunakan karet sebagai traksi yang menghubungkannya.
4. Teknik erich arch bar ; indikasi pemasangan arch bar antara lain
gigi kurang/ tidak cukup untuk pemasangan cara lain, disertai fraktur
maksila, didapatkan fragmen dentoalveolar pada salah satu ujung
rahang yang perlu direduksi sesuai dengan lengkungan rahang
sebelum dipasang fiksasi intermaksilaris. Keuntungan penggunaan
arch bar ialah mudah didapat, biaya murah, mudah adaptasi dan
aplikasinya. Kerugiannya ialah menyebabkan keradangan pada
ginggiva dan jaringan periodontal, tidak dapat digunakan pada
penderita dengan edentulous luas.

31

5. Teknik kazanjia ;

dengan menggunakan kawat yang kuat untuk

tempat karet dipasang mengelilingi bagian leher gigi. Teknik ini


untuk gigi yang hanya sendiri atau insufisiensi pada bagian dari
pemasangan arch bar (Daniel dan Omar, 2013).

Gambar 27. eyelet

Gambar 28. arch bar

Indikasi untuk reposisi terbuka (open reduction) :


1. displaced unfavourable fracture melalui angulus.
2. displaced unfavourable fracture dari corpus atau parasymphysis.
Bila dikerjakan dengan reposisi tertutup, fraktur jenis ini cenderung
untuk terbuka pada batas inferior sehingg mengakibatkan maloklusi.
3. multiple fraktur tulang wajah ; tulang mandibula harus difiksasi
terlebih dahulu sehingga menghasilkan patokan yang stabil dan
akurat untuk rekonstruksi
4. fraktur midface disertai displaced fraktur condylus bilateral. Salah
satu condylus harus di buka untuk menghasilkan dimensi vertical
yang akurat dari wajah
5. malunions diperlukan osteotomi
Kontraindikasi penggunaan MMF (Mandibulomaxillary fixation),
yaitu penderita epilepsi, gangguan jiwa dan gangguan fungsi paru (Petkas
et al., 2012).
Teknik operasi open reduction merupakan jenis operasi bersih
kontaminasi, memerlukan pembiusan umum dengan intubasi nasotrakeal,
usahakan fiksasi pipa nasotrakeal ke dahi. Posisi penderita telentang,
kepala hiperekstensi denga meletakkan bantal dibawah pundak penderita,

32

meja operasi diatur head up 20-25 derajat. Desinfeksi dengan batas atas
garis rambut pada dahi, bawah pada klavikula, lateral tragus ke bawah
menyusur tepi anterior m. trapesius kanan kiri.
Adapun insisi yang dilakukan bisa dua cara yaitu pendekatan
intraoral sedikit diatas bucoginggival fold pada mukosa bawah bibir.
Panjang sayatan sesuai kebutuhan atau pendekatan ekstraoral yaitu pada
submandibular 2 cm di kaudal dan sejajar dari margo inferior mandibula
dengan titik tengahnya adalah garis fraktur dan panjang sayatan sekitar 6
cm. Insisi diperdalam sampai memotong muskulus platisma, sambil
perdarahan dirawat. Identifikasi r. marginalis mandibula nervus facialis.
Cari arteri dan vena maksilaris eksterna pada level insisi, bebaskan ligasi
pada dua tempat dan potong diantaranya. Benang ligasi stomp distal
diklem dan dielevasi ke cranial dengan demikian r. marginalis mandibula
akan selamat oleh karena ia berjalan melintang tegak lurus superficial
terhadap vasa maksilaris eksterna. Pada bagian profundanya dibuat flap
ke atas sampai pada periosteum mandibula. Periosteum mandibula
diinsisi, selanjutnya dengan rasparatorium periosteum dibebaskan dari
tulang. Dengan alat kerok atau knabel dilakukan pembersian dari kedua
ujung fragmen tulang. Lakukan reposisi dengan memperhatikan oklusi
gigi yang baik.

Gambar 29. tempat sayatan approach ekstraoral

Bila digunakan wire, bor tulang mandibula pada 2 tempat, 1 cm


dari garis fraktur dan 1 cm dari margo mandibula. Kemudian digunakan

33

snaar wire stainless steel diameter 0.9 mm, ikatan tranversal dan figure
of 8. Pada penggunaan plat mini linier pada fraktur mandibula bagian
mentum diantara dua foramen mentales maka digunakan 2 buah plat
masing-masing minimal 4 lubang sehingga didapatkan hasil fiksasi dan
antirotasi.

Gambar 30. penempatan wire


tegak lurus thd garis fraktur

Gambar 31. teknik wiring figure of


8 untuk menjamin stabilitas vertical

Tolak ukur keberhasilan operasi pemasangan plat mini maupun


wiring pada mandibula adalah oklusi yang baik, tidak trismus. Jangan
tergesa melakukan fiksasi sebelum yakin oklusinya sudah sempurna.
Posisi plat jangan terlalu tinggi karena sekrup akan menembus saraf/akar
gigi. Permukaan tulang bersih dari jaringan ikat dan jaringan lunak
sehingga plat betul-betul menempel pada tulang mandibula. Untuk
penggunaan bor, sebaiknya arah mata bor tangensial, stabil dan arah
obeng juga sesuai dengan arah bor sebelumnya. Gunakan mata bor
diameter 1.5 mm dengan kecepatan rendah menembus 1 korteks dikukur
kedalamannya kemudian dipasang sekrup yang panjangnya sesuai
dengan tebal satu korteks. Pemasangan sekrup dimulai dari satu sisi
terlebih dahulu kemudian menyebrang menyilang pada sisi plat satunya
(Shen et al., 2013).

Gambar 33.Penempatan Lag Screw pada


Daerah yang Diarsir
Gambar 32. Cara Pemasangan Miniplate
yang Benar

34

Gambar 34. Penempatan Plat Menurut Teori Champy

Keuntungan dari reposisi tertutup adalah lebih efisien, angka


komplikasi lebih rendah dan waktu operasi yang lebih singkat. Teknik ini
dapat dikerjakan di tingkat poliklinis. Kerugiannya meliputi fiksasi yang
lama, gangguan nutrisi karena adanya MMF, resiko ankilosis TMJ dan
problem airway. Keuntungan dari ORIF antara lain mobilisasi lebih dini
dan reaproksimasi fragmen tulang yang lebih baik. Kerugiannya adalah
biaya lebih mahal dan diperlukan ruang operasi dan pembiusan untuk
tindakannya (Hugues et al., 2014).
Dalam menangani fraktur mandibula umumnya digunakan lebih
dari satu modalitas sebab terdapat banyak variasi biomekanik dan
problem klinis untuk mencapai mobilitas fiksasi di regio fraktur. Ada 5
metode yang umum digunakan yaitu dengan biocortical transfacial
compression plates pada bagian inferior dengan atau tanpa tension band
plate, monocortical transoral miniplates pada bagian superior, paired
miniplates, lag screws dan noncompression stabilization plates pada
bagian inferior. Hasil yang didapatkan dari pemakaian monocortical
osteosynthesis adalah tercapainya netralisasi kekuatan tensi dan kompresi
serta rotasi pada garis fraktur sehingga diperoleh reduksi anatomis yang
fisiologis, kompresi pada fragmen fraktur dan imobilisasi yang rigid serta
perbaikan kekuatan self kompresi fisiologis.

35

Pada angulus mandibula, plat paling baik diletakkan pada


permukaan yang paling luas dan setinggi mungkin di daerah linea oblique
eksterna. Pada regio anterior, diantara kedua foramen mentalis, disamping
plat subapikal perlu juga ditambahkan plat lain di dekat batas bawah
mandibula untuk menetralkan kekuatan rotasi pada daerah simfisis
tersebut. Pada daerah di belakang foramen mentalis sampai mendekati
daerah angulus cukup digunakan satu plat yang dipasang tepat dibawah
akar gigi dan diatas nervus alveolaris inferior. Penempatan plat didaerah
sepanjang tension trajectory ternyata juga menghasilkan suatu fiksasi
yang paling stabil bila ditinjau dari prinsip biomekaniknya.
Pada bagian mandibula yang bergigi, arch bar sudah cukup
berfungsi menetralkan kekuatan tension, sedangkan pada daerah angulus
dan ramus mandibula fungis tersebut baru bisa didapatkan dengan
menggunakan plat yang kecil.
Fraktur pada daerah angulus mandibula merupakan problem
khusus pada perawatan dengan menggunakan rigid internal fixation.
Angulus merupakan bagian yang sulit dicapai lewat intraoral karena
adanya otot-otot pengunyah dan otot-otot daerah suprahyoid. Batas
inferior dari angulus sangat tipis dan tidak mungkin dilakukan suatu
kompresi. Adanya gigi molar 3 menyebabkan fraktur mudah terjadi,
distraksi dari kontak tulang menghambat reduksi dan vaskular dari sisi
fraktur dan dapat menjadi sumber infeksi. Penggunaan rigid internal
fixation untuk mencegah hilangnya kontrol segmen proksimal, delayed
union dan malunion yang dapat terjadi bila digunakan terapi lain (Danillo
et al., 2014).
D. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat fraktur mandibula antara lain
adanya infeksi, dengan kuman patogen yang umum adalah staphylococcus,
streptococcus dan bacterioides. Terjadi malunion dan delayed healing,
biasanya disebabkan oleh infeksi, reduksi yang inadekuat, nutrisi yang

36

buruk, dan penyakit metabolik lainnya. Parasthesia dari nervus alveolaris


inferior, lesi r marginalis mandibulae n. fasialis bisa terjadi akibat sayatan
terlalu tinggi. Aplikasi vacuum drain dapat membantu untuk mencegah
timbulnya infeksi yang dapat terjadi oleh karena genangan darah yang
berlebihan ke daerah pembedahan. Fistel orokutan bisa terjadi pada
kelanjutan infeksi terutama pada penderita dengan gizi yang kurang
sehingga penyembuhan luka kurang baik dan terjadi dehisensi luka
(Andreas et al., 2014).

DAFTAR PUSTAKA
Andreas ZJ et al. Incidence, aetiology and pattern of mandibular fractures in
central Switzerland. Swiss Med Wkly 2011; 141
Belli E, Liberatore G, Elidon M, Orabona GDA, Piombino P, Maglitto F,
Catalfamo L, Riu GD. 2015. Surgical evolution in the treatment of
mandibular condyle fractures. BMC Surgery.
Choi KY et al. Current concepts in the mandibular condyle fracture management
part I: overview of condylar fracture. Archives of Plastic Surgery 2012;
39(4):291-300.
Choi K, Yang J, Chung H, Cho B. 2012. Current Concepts in the Mandibular
Condyle Fracture Management Part II: Open Reduction Versus Closed
Reduction. Archives of Plastic Surgery ;39:301-308.

37

Chrcanovic BR. 2015. Surgical versus non-surgical treatment of mandibular


condylar fractures: a meta-analysis. Int. J. Oral Maxillofac. Surg. 2015;
44: 158179.
Cillo, J, Ellis E. Management of Bilateral Mandibular Angle Fractures With
Combined Rigid and Nonrigid Fixation. J Oral MaxillofacSurg 72:106111, 2014.
Conci RA et al. Comparison of Neck Screw and conventional fixation techniques
in Mandibular Condyle Fractures using Three-Dimensional Finite Element
Analysys (FEA). Journal of Oral and Maxillofacial Surgery2015
Daniel, Omar. Management of Mandibular Angle Fracture. Oral Maxillofacial
SurgClin N Am 25 (2013) 591600.
Danillo et al. Mechanical and photoelastic analysis of four different fixation
methods for mandibular body fractures. Journal of Cranio-Maxillo-Facial
Surgery xxx (2014).
Hosein. Comprehensive Management of Maxillofacial Projectile Injuries at the
First Operation. Trauma Mon. 2013;17(4):365-6.
Hugues et al. Epidemiology and treatment outcome of surgically
treatedmandibular condyle fractures. A five years retrospective study.
Journal of Cranio-Maxillo-Facial Surgery 42 (2014).
Iatrou I, Lygidakis NT, Tzermpos F, Kamperos G. 2015. Internal fixation of
mandibular angle fractures using one miniplate in Greek children: A 5-year
retrospective study. Journal of Cranio-Maxillo-Facial Surgery 43 (2015)
53e56.
Joseph O. Management of Bilateral Mandibular Angle Fractures With Combined
Rigid and Nonrigid Fixation. J Oral MaxillofacSurg (2014) 72:106-111.
Joseph RS, Kelly C. Open mandibular fracture with malocclusion. n engl j med
2008;358(5)
Knotts C, Workman M, Sawan K, Amm CE. 2012. A Novel Technique for
Attaining Maxillomandibular Fixation in the Edentulous Mandible
Fracture. Craniomaxillafacial Trauma Reconstruction.

38

Olivera LB et al. Biomechanichal in vitro evaluation of there of three stable


internal fixation techniques used in sagittal osteotomy of the mandibular
ramus: astudy sheep mandibulas. J Appl Oral Sci 31 (2011) 419426
Perumal C, Mohamed A, Singh A. 2012. New bone formation after ligation of the
external carotid artery and resection of a large aneurismal bone cyst of the
mandible with reconstruction: a case report. Craniomaxillafacial Trauma
Reconstruction.
Petkas et al. Effects of different mandibular fracture patterns on the stability of
miniplate screw fixation in angle mandibular fractures. Int. J. Oral
Maxillofac. Surg. 2012; 41: 339343.
Philippe L,David R, Thierry D. Spontaneous Mandibular Fracture in a Partially
Edentulous Patient: Case Report. Journal of the Canadian Dental
AssociationAugust 2003, Vol. 69, No. 7
Ping C et al. Three-dimensional evaluation of soft-tissue changes. Am J
OrthodDentofacialOrthop 2011;139:148-9
Reginald H. Management of fractures of the mandibular body and symphysis.
Oral Maxillofacial SurgClin N Am 25 (2013) 601616
Sencimen M, Gulses A, Altug HA. 2012. Vertical fractures of the mandibular
posterior ramus border secondary to the stress of the rigid internal fixation
material. Craniomaxillafacial Trauma Reconstruction.
Shen et al. Mandibular coronoid fractures:Treatment options. Int. J. Oral
Maxillofac. Surg. 2013; 42: 721726.
Thapliyal C. G, Sinha C. R, Menon C. P, Chakranarayan S. L. C. A. 2008.
Management of Mandibular Fractures. MJAFI, Vol. 64, No. 3.
Trauma Surgery. American Association of Oral and Maxillofacial Surgeons. J oral
maxillofacsurg 70: e162-203, 2012
Valiati R, Ibrahim D, Abreu MER, Heitz C,Oliveira RB,Pagnoncelli MR, Silva
DN.2008. The treatment of condylar fractures: to open or not to open? A
critical review of this controversy. International Journal of Medical
Sciences 2008 5(6):313-318.
Zrounba H, Lutz JC, Zink S, Wilk A. 2014. Epidemiology and treatment outcome
of surgically treated mandibular condyle fractures. A five years

39

retrospective study. Journal ofCranio-Maxillo-Facial Surgery 42 (2014)


879-884.

40

Anda mungkin juga menyukai