Anda di halaman 1dari 3

Leading article

PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGEAL


Suzanna Ndraha

Konsultan Gastroenterohepatologi
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana Jakarta

Refluks gastroesofageal sebenarnya merupakan proses fisiologis normal yang banyak dialami orang sehat, terutama sesudah makan.1 PRGE atau Penyakit refluks gastroesofageal (gastro-esophageal reflux
disease/GERD) adalah kondisi patologis dimana sejumlah isi lambung berbalik (refluks) ke esofagus
melebihi jumlah normal, dan menimbulkan berbagai keluhan.1,2 Refluks ini ternyata juga menimbulkan
symptoms ekstraesofageal, disamping penyulit intraesofageal seperti striktur, Barrett's esophagus atau
bahkan adenokarsinoma esophagus.1,2
PRGE dan sindroma dispepsia mempunyai prevalensi yang sama tinggi, dan seringkali muncul dengan simptom yang tumpang tindih sehingga menyulitkan diagnosis. Dispepsia non ulkus, di masa
lalu diklasifikasikan menjadi 4 subgrup yaitu dispepsia tipe ulkus, dispepsia tipe dismotilitas, dispepsia
tipe refluks dan dispepsia non spesifik. Namun kemudian ternyata dispepsia tipe refluks dapat berlanjut
menjadi penyakit organik yang berbahaya seperti karsinoma esofagus. Karena itulah para ahli sepakat
memisahkan dispepsia tipe refluks dari dispepsia dan menjadikan penyakit tersendiri bernama penyakit
refluks gastroesofageal.3
Prevalensi PRGE di Asia, termasuk Indonesia, relatif rendah dibanding negara maju. Di Amerika, hampir
7% populasi mempunyai keluhan heartburn, dan 20%-40% diantaranya diperkirakan menderita PRGE.
Prevalensi esofagitis di negara barat berkisar antara 10%-20%, sedangkan di Asia hanya 3%-5%, terkecuali Jepang dan Taiwan (13-15%).2,4 Tidak ada predileksi gender pada PRGE, laki-laki dan perempuan
mempunyai risiko yang sama, namun insidens esofagitis pada laki-laki lebih tinggi (2:1-3:1), begitu pula
Barrett's esophagitis lebih banyak dijumpai pada laki-laki (10:1).1PRGE dapat terjadi di segala usia, namun
prevalensinya meningkat pada usia diatas 40 tahun.1
Patogenesis PRGE meliputi ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan faktor defensif dari bahan refluksat (gambar 1).

Gambar 1. Patogenesis terjadinya PRGE

Vol. 27, No. 1 April 2014

Gambar 2. Heartburn, rasa terbakar di dada


disertai nyeri

MEDICINUS

leading article

Yang termasuk faktor defensif antara lain disfungsi


SEB atau sfingter esophagus bawah (lower esophageal sphincter/LES), bersihan asam dari lumen esofagus,
dan ketahanan epitel esophagus. Bentuk anatomik
SEB yang melipat berbentuk sudut, dan kekuatan
menutup dari sfingter, menjadikan SEB berperan
penting dalam mekanisme antirefluks. Peningkatan
tekanan intraabdomen (misalnya saat batuk), proses
gravitasi saat berbaring, dan kelainan anatomis seperti sliding hernia hiatal mempermudah terjadinya
refluks.5 Bersihan asam dari lumen esofagus adalah
kemampuan esophagus untuk membersihkan dirinya dari bahan refluksat. Kemampuan esophagus
ini berasal dari peristaltik esofagus primer, peristaltik
e-sofagus sekunder (saat menelan), dan produksi saliva yang optimal. Ketahanan epitel esofagus berasal
dari lapisan mukus di permukaan mukosa, produksi
mukus, dan mikrosirkulasi aliran darah di post epitel.4
Sementara yang menjadi faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung, dilatasi lambung, beberapa kondisi patologis yang mengakibatkan
berkurangnya kemampuan pengosongan lambung
seperti obstruksi gastric outlet dan delayed gastric
emptying.2 Simptom khas PRGE adalah heartburn,
yaitu rasa terbakar di dada disertai nyeri (gambar 2)
dan regurgitasi (rasa asam pahit dari lambung terasa
di lidah).5,6 Salah satu dari keduanya cukup untuk
mendiagnosis PRGE secara klinis.5 Selain kedua gejala
tersebut, PRGE dapat menimbulkan keluhan nyeri
atau rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal
bawah, disfagia (kesulitan menelan makanan), odinofagia (rasa sakit waktu menelan), mual dan rasa
pahit di lidah. Keluhan ekstraesofageal yang juga
dapat ditimbulkan oleh PRGE adalah nyeri dada non
kardiak, suara serak, laringitis, erosi gigi, batuk kronis,
bronkiektasis, dan asma.2,4
Diagnosis PRGE ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan penunjang. Pemeriksaan baku
emas untuk mendiagnosis PRGE berdasarkan konsensus Montreal di tahun 2006 adalah pemantauan
pH esophagus selama 24 jam.7 Namun pemeriksaan
ini tidak mudah dilakukan di banyak pusat kesehatan,
karena memerlukan alat dan keahlian khusus.8 Di Indonesia sendiri, konsensus nasional penatalaksanaan
PRGE (2004) menetapkan endoskopi SCBA sebagai
standar baku untuk menegakkan diagnosis PRGE
Pada endoskopi SCBA akan didapatkan mucosal
breaks diesophagus, dan pada biopsinya ditemukan
esofagitis.2
Bila pada penderita dengan keluhan PRGE ternyata
tidak didapatkan kelainan pada endoskopi SCBAnya, maka diagnosisnya menjadi NERD (non erosive

MEDICINUS

reflux disease). Kesulitan dapat terjadi dalam membedakan dispepsia fungsional dengan NERD, karena
sama-sama mempunyai hasil endoskopi normal.
Apalagi dalam klinis GERD/NERD sendiri mempunyai
simptom yang tumpang tindih dengan sindroma dispepsia, dan dapat muncul bersama dispepsia.3
Di sarana kesehatan yang belum mampu melakukan
pemeriksaan endoskopi SCBA, wawancara dengan
kuesioner khusus juga dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan memantau keberhasilan terapi PRGE. Kuesioner ini juga membantu
bila pasien menolak tindakan endoskopi. Salah satu
kuesioner yang banyak digunakan di Indonesia adalah GERD-Q. Kuesioner yang berisi 6 pertanyaan ini
telah divalidasi dan direkomendasi dalam revisi konsensus nasional tatalaksanana PGRE.4 Kuesioner lain
yang banyak di gunakan di Jepang adalah FSSG. FSSG
telah divalidasi terhadap temuan endoskopik dan didapatkan sensitifitas 62%, spesifisitas 59%, akurasi
60% pada cut off 8.11-12
Konsensus nasional penatalaksanaan PRGE 2013
(gambar 3a dan 3b) menyepakati terapi proton
pump inhibitor (PPI) test bila ditemui keluhan klinis
PRGE tanpa tanda alarm. Sebaliknya bila ada tanda
alarm langsung dirujuk untuk investigasi, termasuk
pemeriksaan endoskopi. Bila PPI test positif, maka
diagnossi PGRE dapat ditegakkan dan terapi dilanjutkan selama 8 minggu. Bila temuan endoskopi sesuai
dengan PRGE maka diberikan terapi PPI dosis ganda
sebagai lini pertama, selama 4-8 minggu. Dosis yang
disarankan ialah omeprazol 2 x 20 mg, atau lansoprazol 2 x 30 mg, atau pantoprazol 2 x 40 mg, atau
esomeprazol 2 x 40 mg. Kombinasi PPI dengan prokinetik memberikan hasil yang lebih baik, terutama
pada PRGE dengan skor FSSG yang tinggi.10
Beberapa studi dewasa ini mendapatkan efek yang
menjanjikan dari fraksi bioaktif dari Cinnamomum
burmanii, yang dinamakan DLBS2411. DLBS2411 ini
terbukti dapat menghambat ekspresi gen H+/K+ATPase, menghambat aktifitas H+/K+ATP-ase, sehingga
dapat bekerja sebagai antiulcer agent, serta mereduksi proses hyperoxidase sehingga bekerja sebagai
antioksidan.13 Studi pada hewan yang dilakukan oleh
Tjandrawinata dkk14 mendapatkan bahwa DLBS2411
dapat mengurangi ulkus gaster yang diinduksi oleh
indometasin dan etanol. Temuan ini membuktikan
efek gastroprotektif. Lebih jauh lagi, DLBS2411 juga
ternyata mempunyai efek antioksidan. Disimpulkan,
DLBS2411 adalah temuan novel yang menjanjikan
untuk mengatasi hiperasiditas, termasuk pada PGRE.

Vol. 27, No. 1 April 2014

leading article

Selain terapi medikamentosa, pada tatalaksana PRGE sejumlah terapi non medikamentosa berupa modifikasi gaya hidup juga tidak kalah pentingnya, yaitu meninggikan posisi kepala saat tidur, menghindari makan
menjelang tidur, berhenti merokok dan alkohol (mengurangi tonus LES), kurangi lemak dan jumlah makanan
(meningkatkan distensi lambung), turunkan berat badan, jangan berpakaian ketat (meningkatkan tekanan intraabdomen), hindari teh, coklat, pepermint, kopi, minuman bersoda (meningkatkan sekresi asam), hindari: antikolinergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium (menurunkan tonus LES).2,5

Gambar 3a: Alur tatalaksana PRGE 2013 di


Pelayanan Primer (dikutip dari4)

Gambar 3b: Alur tatalaksana PRGE 2013 di Pelayanan Sekunder dan Tersier (dikutip dari4)

daftar pustaka
1. Fisichella PM, Patti MG.Gastroesophageal reflux disease (cited,
2010 August 24). Available from url:http://emedicine.medscape. com/article/176595-overview,
2. Makmun D. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Sudoyo
AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.hlm.317-321
3. Simadibrata M. Dispepsia and gastroesophageal reflux disease
(GERD): Is there any correlation?. Acta Med Indones-Indones J
Intern Med 2009; 41(4):222-7
4. Syam AF, Aulia C, Renaldi K, Simadibrata M, Abdullah M, Tedjasaputra. Revisi konsensus nasional penatalaksanaan penyakit refluks gastroesofageal (Gastro-esophageal Reflux Disease/
GERD) di Indonesia 2013. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia; 2013.hlm.4-9,14-16
5. Djojoningrat D. Penyakit refuks esophageal. Dalam: Rani AA,
Simadibrata M, Syam AF. Buku Ajar gastroenterologi. InternaPublising. Jakarta, 2011.hlm. 245-5
6. Malekzadeh R, Moghaddam SN, Sotoudeh M. Gastroesophageal reflux disease: the new epidemic (cited 2010 August 25).
Diunduh dari url:http://www.ams.ac.ir/aim/0362/ 0362127.
htm.
7. Vakil N, van Zanten S, Kahrilas P, Dent J, and Jones R: The Montreal definition and classification of gastroesophageal reflux
disease: a global evidence-based consensus. Am J Gastroenterol 2006;101:1900-20.
8. Armstrong D, Gittens S, Vakil N . The montreal consensus and
the diagnosis of gastroesophageal reflux disease (Gerd):A central american needs analysis. CDDW 2008 (cited, 2010 August

Vol. 27, No. 1 April 2014

25). Diunduh dari urlhttp://www.pulsus.com/cddw2008 /abs/195.


htm,
9. Stanghellini V, Armstrong D, Mnnikes H, Bardhan KD. Do We Need
a Gastro-Oesophageal Reflux Disease Questionnaire? Review of the
Literature: Methods and Results, (cited, 2010 August30). Diunduh
dari urlhttp://www.medscape.com/ viewarticle/470939_4
10. Miyamoto M, Haruma K, Takeuci K, Kuwabara M. Frequency scale for
symptoms of gastroesophageal refluxdisease predicts the need for
addition of prokinetics toproton pump inhibitor therapy. J Gastroenterol Hepatol 2008;23:74651.
11. Kusano M, Shimoyama Y, Sugimoto S, Kawamura O, Maeda M, Minashi K et al. Development and evaluation of FSSG: frequency scale
for the symptoms of GERD. J Gastroenterol 2004;39:888-91.
12. Jinnai M, Niimi A, Takemura M, Matsumoto H, Konda Y, Mishima M.
Gastroesophageal reflux-associated chronic cough in an adolescent
and the diagnostic implications: a case report. Cough2008;4:5 doi:
10.1186/1745-9974-4-5,diunduh dari url: //www. coughjournal.com/
content/4/1/5, diakses pada August 2010.
13. DLBS2411 Product Monograph. DLBS 2013. Data on file.
14. Tjandrawinata RR, Nailufar F, Arifin PF. Hydrogen potassium adenosine triphosphatase activity inhibition and downregulation of its
expression by bioactive fraction DLBS2411 from Cinnamomum
burmannii in gastric parietal cells. International Journal of General
Medicine. 2013;6:807-15.
15. Katz PO, Gerson LB, Vela MF. Guidelines for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease. Am J Gastroenterol
2013; 108:308 328; doi: 10.1038/ajg.2012.444; published online 19
February 2013

MEDICINUS

Anda mungkin juga menyukai