Saudaraku, Waktu adalah salah satu diantara nikmat Allah yang paling berharga dan agung
bagi manusia. Cukup bagi kita kesaksian Al-Quran tentang betapa agungnya tentang
nikmat yang satu ini. Banyak ayat-ayat Al-Quran yang menunjukkan tentang urgensi waktu,
ketinggian tingkatannya, dan juga pengaruhnya yang besar. Bahkan Allah telah bersumpah
dengan waktu dalam kitab-Nya yang mulia dan ayat-ayat-Nya yang luhur dalam konteks
yang berbeda-beda. Allah yang urusan-Nya yang begitu agung telah bersumpah dengan
waktu malam, siang, fajar, subuh, saat terbenamnya matahari, waktu dhuha, dan dengan
masa.
Hanya orang-orang hebat dan mendapatkan taufik dari Allah, yang mampu mengetahui
urgensi waktu lalu memanfaatkanya seoptimal mungkin. Dalam hadits, Dua nikmat yang
banyak manusia tertipu dalam keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang (HR.
Bukhari). Banyak manusia tertipu didalam keduanya, itu artinya, orang yang mampu
memanfaatkan hanya sedikit. Kebanyakan manusia justru lalai dan tertipu dalam
memanfaatkannya.
Saudaraku, Allah memberikan kita setiap hari modal waktu kepada semua manusia di
muka bumi ini adalah sama, yaitu 24 jam sehari, 168 jam seminggu, 672 jam sebulan, dan
seterusnya. Namun kenapa prestasi bisa berbeda? Dalam waktu yang sama, Mereka
mampu berbuat dan berkarya seperti berikut:
Saudaraku, bercermin kepada genarasi salafus shalih umat ini, dimana mereka telah
menorehkan contoh-contoh yang mengagumkan dalam memanfaatkan waktu, detik-detik
umur dan setiap hembusan nafas untuk amal kebajikan. Dengan mengetahui jalan hidup
orang-orang saleh dan kesungguhan mereka mereka dalam memanfaatkan detik-detik
umur mereka dalam ketaatan, memiliki pengaruh besar dihati seorang muslim, yaitu
pengaruh dalam menumbuhkan dan membangun gairah untuk memanfaatkan waktu dan
memaksimalkan deti-detik usia dalam perkara-perkara yang mendekatkannya kepada Allah.
Mari kita telusuri kisah indah dan uniknya mereka dalam memaksiamalkan waktu:
Ibrahim bin Jarrah berkata, Imam Abu Yusuf Al Qadli rahimahullah sakit. Saya
Menjeguknya. Dia dalam keadaan yang tidak sadarkan diri. Ketika tersadar, dia berkata
kepadaku, hai Ibrahim, bagaimana pendapatmu dalam masalah ini? Saya menjawab,
Dalam kondisi ini seperti ini? Dia menjawab, Tidak apa-apa, kita terus belajar. Mudah-
mudahan ada orang yang terselamatkan karenanya. Lalu aku pulang. Ketika aku baru
sampai di pintu rumah, aku mendengar tangisan. Ternyata ia telah wafat.
Syaikh Ibnu Taimiyah selalu menelaah dan memetapi pelajarannya saat beliau sakit atau
berpergian. Ibnu Qayyim berkata, Syaikh kami Ibnu Taimiyah pernah menuturkan
kepadaku, Ketika suatu saat aku terserang sakit, maka dokter mengatakan
kepadaku,Sesungguhnya kesibukan anda menelaah dan memperbincangkan ilmu justru
akan menambah parah penyakitmu. Maka saya katakan kepadanya, Saya tidak mampu
bersabar dalam hal itu. Saya ingin menyangkal teori yang engkau miliki. Bukankah jiwa
merasa senang dan gembira, maka tabiatnya semakin kuat dan bias mencegah datanya
sakit? Dokter itu pun menjawab, Benar. Lantas saya katakan, Sungguh jiwaku merasa
bahagia dengan ilmu, dan tabiatku semakin kuat dengannya. Maka, saya pun mendapatkan
ketenangan. Lalu dokter itu menmpali, Hal ini diluar model pengobatan kami.
Dawud At-Thai rahimahullah memakan alfatit (roti yang dibasahi dengan air). Dia tidak
memakan roti kering (tanpa dibasahi). Pembantunya bertanya, Apakah anda tidak
berhasrat makan roti? Dawud menjawab, Saya mendapatkan waktu yang cukup untuk
membaca 50 ayat antara memakan roti kering dan basah. (Sifatus Shafwah, 3/92)
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menceritakan kepada kita, Ibnu Aqil berkata, Aku
menyingkat semaksimal waktu-waktu makan, sehingga aku lebih memilih memakan kue
kering yang dicelup ke dalam air (dimakan sambil dibasahi) dari pada memakan roti kering,
karena selisih waktu mengunyahnya (waktu dalam mencelup kue dengan air lebih pendek
daripada waktu memakan roti keringi) bisa aku gunakan untuk membaca dan menulis suatu
faedah yang sebelumnya tidak aku ketahui. (Dia melakukan hal itu supaya bisa
memanfaatkan waktu lebih). (Dzailut Thabaqatil Hanabilah, Ibnu Rajab,1/177)
Asy-Syamsul Ashbahani, (674H749 H), seorang tokoh mahzab Syafii, pakar fiqih dan
tafsir. Apa yang diceritakan tentang beliau menunjukkan antusiasnya terhadap ilmu dan
pelitnya beliau untuk menyia-nyiakan waktu. Sebagian sahabatnya pernah menuturkan
bahwa beliau sangat mengindari makan yang banyak, yang tentunya akan butuh banyak
minum, dan selanjutnya butuh waktu masuk WC. Sehingga waktu pun banyak terbuang.
Lihatlah! bagaimana mahalnya waktu dalam pandangan imam yang mulia ini. Dan tidaklah
waktu itu mahal bagi beliau melainkan karena betapa sangat mahalnya ilmu tersebut.
Imam An-Nawawi tidak pernah menyia-nyiakan waktunya, baik di waktu siang atau pun
malam, kecuali menyibukkan dirinya dengan ilmu. Hingga ketika beliau berjalan di jalanan,
beliau mengulang-ngulang ilmu yang telah dihafalnya, atau membaca buku yang telah
ditelaahnya sambil berjalan. Beliau melakukan itu selama enam tahun. (Tadzkiratul Huffaz,
Adz-Dzahabi, 4/1472)
Ibnu Khayyath An-Nahwi, wafat tahun 320 H. Konon, beliau belajar di sepanjang waktu,
hingga saat beliau sedang berada di jalanan. Sehingga terkadang, beliau terjatuh ke
seleokan, atau tertabrak binatang. (Al-Hatstsu ala Thalabil Ilm wal ijtihad fi jamihi, Abu
Hilal Askari, hal. 77)
Ibnu Jauzi tetap bekerja tanpa meninggalkan berbicara saat dikunjungi tamu. Beliau
menuturkan sendiri tentang bagaimana beliau memanfaatkan waktunya, Saat saya
menyadari bahwa waktu adalah sesuatu yang paling berharga, maka sudah menjadi
kewajiban memanfatkan waktu tersebut untuk berbuat kebajikan. Maka saya tidak
menyukai kebiasaan tersebut (maksudnya kebiasaan bertamu yang tidak membawa
manfaat yang banyak terjadi didalamnya obrolan tak tentu arah, duduk berlama-lama), dan
tidak suka berlama-lama dengan mereka, karena dua hal. Kalau saya menyalahkan
mereka, maka akan terjadi kekurangakraban karena tindakan itu berarti memutus pertalian
hati. Kalau saya mengikuti mereka, maka waktu terbuang sia-sia. Akhirnya saya berusaha
mengindari pertemuan sebisa mungkin. Kalau saya kalah, maka saya cukup berbicara
sedikit saja agar cepat berpisah. Kemudian saya sengaja menyiapkan berbagai pekerjaan
sambil terus berbicara pada saat berjumpa dengan mereka, agar waktu tak terbuang sia-
sia. Untuk menyiapkan pertemuan dengan mereka, saya sengaja memotong-motong
kertas, meraut pensil, mengikat buku-buku. Karena semua itu adalah aktivitas yang
memang harus dilakukan, tanpa harus berpikir dan berkosentrasi. Maka, semua pekerjaan
itu saya siapkan untuk saat pertemuan dengan mereka, agar waktu saya tidak terbuang
secara sia-sia. (Saidul Khatir, Ibnu Jauzi)
Imam Sulaim Ar-Razi, ia wafat pada tahun 447 H. Beliau amat militan dalam menjaga sifat
waranya. Beliau selalu melakukan introspeksi dalam soal waktu. Beliau tidak pernah
membiarkan waktu berlalu tanpa manfaat, dengan terus menulis, mengajar, membaca tau
menyalin ilmu dalam jumlah banyak. Abu faraj menuturkan, Al-mualli bin hasan pernah
menceritakan kepadaku bahwa ia melihat Sulaim Ar-Razi sedang memegang pena yang
matanya sudah habis. Ia memotong kayu diujung penanya, sambil bibirnya bergerak-gerak.
Al-Muamil akhirnya tahu, bahwa ia membaca sesuatu sambil memperbaiki penanya,
sehingga tidak ada waktu yang terbuang sia-sia. Yakni, saat kedua tangannya bekerja,
beliau menggerak-gerakkan bibirnya untuk berzikir, agar tidak ada waktu berlalu sia-sia,
tanpa melakukan ibadah kepada Allah. (Thabaqat Asy-Syafiiyah Al-Wustha, Tajuddin As-
Subki)
Ada ulama yang mensayatkan kepada orang yang mengundangnya ke acara walimahan
agar disediakan baginya tempat yang agak lapang, guna meletakkan bukunya, yang akan
beliau baca disela-sela mengadiri pesta tersebut. Kalau tidak ada, maka beliau lebih
memilih tidak mengadiri acara tersebut.
Mengurangi tidur, dan mengisi malamnya dengan menuntut ilmu dan
ibadah
Sebagian besar manusia waktu malamnya dimanfaatkan untuk tidur, jika pun tidak
digunakan untuk tidur, mereka menggunakannya bergadang untuk hal-hal yang sepele,
yang tidak membawa manfaat uyntuk dunia dan akhiratnya. Namun tidak bagi generasi
salafus shaleh umat ini mereka menyadari kemulian zaman, mereka tahu akan hakekat
waktu, waktu cepat berlalu, kalau berlalu tidak akan bisa kembali lagi. Mereka menyadari
bahwa umur itu singkat, waktu boleh sama tapi prestasi harus beda. Tidak ada jalan lain
bagi mereka selain mengurangi tidur mereka.
Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani tidak tidur malam kecuali sangat sedekit sekali. Beliau
adalah seorang imam ahli fikih, ahli ijtihad dan ahli hadis. Beliau lahir tahun 132H, dan
wafat 189H. Konon beliau sering tidak tidur malam. Beliau biasanya meletakkan beberapa
jenis buku disisinya. Bila bosan membaca satu buku, beliau akan menelaah yang lain.
Beliau menghilangkan rasa kantuk dengan air, sembari berujar, Sesungguhnya tidur
berasal dari panas. (Miftahus Saadah wa Misbahus Siyadah, I:23)
Gurunya Imam An-Nawawi berkata tentang Al-Hafizh Al-Mundziri, Saya belum pernah
melihat dan mendengar seorang pun yang paling bersungguh-sungguh dalam menyibukkan
diri dengan ilmu selain dirinya. Ia senantiasa sibuk di waktu malam dan siang hari. Saya
pernah berdampingan dengannya di sebuah madrasah di Kairo. Selama 12 tahun, rumahku
berada di atas rumahnya. Selama itu pula saya belum pernah bangun malam pada setiap
jammya, melainkan cahaya lampu senantiasa menyala di rumahnya, sedangkan ia hanyut
dalam ilmu. Bahkan ketika makan pun ia sibuk dengan ilmu. (Bustanul Arifin, Imam
Nawawi)
Imam An-Nawawi sorang imam yang terkemuka, Syaikhul Islam, dan banyak menghasilkan
karya tulis. Beliau datang ke Damaskus pada tahun 649H dan menetap disana yaitu di
Madrasah Ar-Rawahiyah. Beliau berkata tentang diri beliau, Saya menetap disana selama
dua tahun. Selama itu, saya nyaris tidak pernah tidur. Beliau berhasil menghafal kitab At-
Tanbih selama 4,5 bulan dan membaca seperempat kitab Al-Muhazzab dengan hafala.
(Tadzkiratul Huffaz, Adz-Dzahabi)
Inilah keadaan orang-orang shaleh dan kisah-kisah mereka, beginilah seharusnya kita
memanfaatkan setiap detik waktu kita. Lalu bagaimana dengan kita? Saudaraku, mereka
beruntung sementara engkau terlelap. Mereka meraih kemenangan, sementara engkau
meraih tangan kosong. Maka segera kita manfaatkan detik-detik umur kita, tekadkan dalam
hati bahwa hari ini kita akan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, memandang
setiap kesempatan adalah penting. Mari persembahkan karya yang paling baik dan
bermanfat, di usia kita yang pendek ini.