Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE DENGAN KOMPLIKASI HIPOGLIKEMIA


INTRADIALISER di RUANG HEMODIALISA RUMAH SAKIT DR. SAIFUL ANWAR
MALANG

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Medikal

Oleh :
Nindy Yuliawati
150070300011037

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
1. KONSEP GAGAL GINJAL KRONIS
1.1 Definisi
Penyakit gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif
dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal
adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
ireversibel pada suatu saat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap
berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah salah satu penyakit tidak menular,
merupakan keadaan gangguan fungsi ginjal yang bersifat menahun berlangsung
progresif dan irreversible(tidak dapat kembali ke keadaan semula). Dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah). Selama gagal ginjal kronik, beberapa nefron
termasuk glomeruli dan tubula masih berfungsi, sedangkan nefron yang lain
sudah rusak dan tidak berfungsi lagi. Nefron yang masih utuh dan berfungsi
mengalami hipertrofi dan menghasilkan filtrat dalam jumlah banyak. Reabsorpsi
tubula juga meningkat walaupun laju filtrasi glomerulos berkurang. Kompensasi
nefron yang masih utuh dapat membuat ginjal mempertahankan fungsinya
sampai tiga perempat nefron yang rusak
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik antara lain (Suwitra, 2006) :
a. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi :
kelainan patologis
terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah
dan urin atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
b. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m selama 3 bulan
dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Pada keadaan tidak terdapat kerusakan
ginjal lebih dari 3 bulan dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m,
tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik

1.2 Klasifikasi
Klasifikasi menurut CKDNational Kidney Foundation-K/DOQI :
a. Stadium 1 (Kerusakan ginjal dengan GFR normal/meningkat) : GFR=
90ml/mnt/1,73 m2
b. Stadium 2 (Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan) : GFR= 60-
89ml/mnt/1,73 m2
c. Stadium 3 (Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang) : GFR= 30-
59ml/mnt/1,73 m2
d. Stadium 4 (Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR berat) : GFR= 15-
29ml/mnt/1,73 m2
e. Stadium 5 (dialisis Gagal ginjal): GFR= < 15ml/mnt/1,73 m2

Rumus Perhitungan GFR :

Pria

GFR (ml/mnt/1,73m2 (140 - umur) berat badan


72 kreatinin plasma (mg/dl)

Wanita
pada wanita sedikit berbeda,

GRF (ml/mnt/1,73m2 (140 - umur) x berat badan x 0,85


72 kreatinin plasma (mg/dl)

1.3 Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi, etiologi yang sering menjadi
penyebab penyakit ginjal kronik antara lain:
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit parenkim ginjal progesif dan difus
yang sering berakhir dengan gagal ginjal kronik, disebabkan oleh respon
imunologik dan hanya jenis tertentu saja yang secara pasti telah diketahui
etiologinya. Secara garis besar dua mekanisme terjadinya GN yaitu
circulating immune complex dan terbentuknya deposit kompleks imun
secara in-situ. Kerusakan glomerulus tidak langsung disebabkan oleh
kompleks imun, berbagai faktor seperti proses inflamasi, sel inflamasi,
mediator inflamasi dan komponen berperan pada kerusakan glomerulus
Glomerulonefritis ditandai dengan proteinuria, hematuri, penurunan fungsi
ginjal dan perubahan eksresi garam dengan akibat edema, kongesti aliran
darah dan hipertensi. Manifestasi klinik GN merupakan sindrom klinik yang
terdiri dari kelainan urin asimptomatik, sindrom nefrotik dan GN kronik. Di
Indonesia GN masih menjadi penyebab utama penyakit ginjal kronik dan
penyakit ginjal tahap akhir.
b. Diabetes Mellitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karateristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan
beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh
darah. Masalah yang akan dihadapi oleh penderita DM cukup komplek
sehubungan dengan terjadinya komplikasi kronis baik mikro maupun
makroangiopati. Salah satu komplikasi mikroangiopati adalah nefropati
diabetik yang bersifat kronik progresif. Perhimpunan Nefrologi Indonesia
pada tahun 2000 menyebutkan diabetes mellitus sebagai penyebab nomor 2
terbanyak penyakit ginjal kronik dengan insidensi 18,65%
c. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal disamping
faktor lain seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemi dan faktor
lain.Penyakit ginjal hipertensi menjadi salah satu penyebab penyakit ginjal
kronik. Insideni hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal
kronik (Kristanto, 2001)
Penyebab lain dari gagal ginjal kronis meliputi:
a. Adanya infeksi : pielonefritis kronik. Pielonefritis adalah infeksi bakteri pada
salah satu atau kedua ginjal.
b. Mempunyai penyakit peradangan : Glumerulonefritis
c. Penyakit vascular hipertensi : nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna
stenosis arteria renalis. Nefrosklerosis Maligna adalah suatu keadaan yang
berhubungan dengan tekanan darah tinggi (hipertensi maligna), maligna
atau penurunan tekanan darah yang berlebihan menyebabkan aliran darah
ginjal berkurang sehingga arteri-arteri yang terkecil (arteriola) di dalam
ginjal mengalami kerusakan dan dengan segera terjadi gagal ginjal.
d. Gangguan jaringan penyambung : lupus eritematosus sistematik,
poliarteritis nodosa, sklerosis sistematik progresif. Lupus ini terjadi ketika
antibodi dan komplemen terbentuk di ginjal yang menyebabkan terjadinya
proses peradangan yang biasanya menyebabkan sindrom nefrotik
(pengeluaran protein yang besar) dan dapat cepat menjadi penyebab gagal
ginjal.
e. Gangguan kongerital dan hereditas : penyakit ginjal polikistik,asidosis
tubulus ginjal
f. Penyakit metabolic : hipertensi,diabetes militus, gout, hiperparatiroidisme,
amyloidosis (Price&Wilson, 2006)
Semua faktor tersebut akan merusak jaringan ginjal secara bertahap dan
menyebabkan gagalnya ginjal. Apabila seseorang menderita gagal ginjal akut
yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan, maka akan terbentuk
gagal ginjal kronik.
1.4 Faktor risiko
Kondisi-kondisi yang meningkatkan risiko mengalami CKD:
Riwayat penyakit ginjal polikistik atau penyakit ginjal genetik lainnya di
keluarga
Bayi dengan berat badan lahir rendah
Anak-anak dengan riwayat gagal ginjal akut akibat hipoksia perinatal atau
serangan akut lainnya pada ginjal
Hipoplasia atau displasia ginjal
Gangguan urologis, terutama uropati obstruktif
Refluks vesikoureter yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih
berulang dan parut di ginjal
Riwayat menderita sindrom nefrotik dan nefritis akut
Riwayat menderita sindrom uremik hemolitik
Riwayat menderita purpura Henoch-Schnlein
Diabetes Melitus
Lupus Eritermatosus Sistemik
Riwayat menderita hipertensi
Penggunaan jangka panjang obat anti inflamasi non steroid (Suhardjono dkk,
2001)

1.5 Patofisiologi (Terlampir)


1.6 Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) manifestasi klinis dari gagal ginjal kronik
didapat antara lain :
a. Ginjal dan sistem urin
semula perubahan berupa tekanan darah rendah, mulut kering, tonus kulit
hilang, lesu, lelah, mual dan terakhir bingung. Karena ginjal kehilangan
kesanggupan mengekskresikan natrium, penderita akan mengalami retensi
natrium dan kelebihan natrium, sehingga penderita mengalami iritasi dan
menjadi lemah. Keluaran urin mengalami penurunan serta mempengaruhi
komposisi kimianya.
b. Kardiovaskuler
Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan
aktifitas sistem renin angiotensin aldosteron.
Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi perikardial, penyakit
jantung koroner (akibat aterosklerosis yang timbul dini), dan gagal
jantung (akibat penimbunan cairan dan hipertensi).
Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis dini, gangguan elektrolit
dan klasifikasi metastastik.
Edema akibat penimbunan cairan.
c. Integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning kuningan akibat
penimbunan urochrome.
Gatal gatal dengan ekskoriasi akibat toksin uremik dan pengendapan
kalsium di pori pori kulit.
Echymosis akibat gangguan hematologik.
Urea fost : akibat kristalisasi urea yang ada pada keringat.
Bekas bekas garukan karena gatal
d. Pulmoner
Paru paru mengalami perubahan dengan sangat rentan terhadap infeksi,
terjadi akumulasi cairan, kesakitan pneumonia serta kesulitan bernafas
karena adanya gagal jantung kongesif. Gejala lainnya berpa suara napas
krekles, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernafasan kussmaul.
e. Gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan vomitus, yang berhubungan dengan gangguan
metabolisme protein di dalam usus, terbentuknya zat zat toksik akibat
metabolisme bakteri usus seperti amonia dan metil guanidin, serta
sembabnya mukosa usus.
Foetor uremicum disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur
diubah oleh bakteri di mulut menjadi amonia sehingga nafas berbau
amonia. Akibat yang lain adalah timbulnya stomatitis dan parotitis.
Cegukan (hiccup), sebabnya yang pasti belum diketahui.
Gastritis erosevia, ulkus peptikum dan kolitis uremika.
f. Neurologi
Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan pada
tungkai, rasa panas pada telapak kaki, perubahan perilaku
g. Muskuloskeletal
restless leg syndrome : penderita merasa pegal di tungkai bawah dan
selalu menggerakkan kakinya.
burning feet syndrome : rasa semutan dan seperti terbakar, terutama
di telapak kaki.
Ensofalotpati metabolik :
1.Lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi.
2.Tremor, asteriksis, mioklonus.
3.Kejang kejang.
Miopati : kelemahan dan hipotrofi otot otot terutama otot otot
proksimal ekstremitas.
h. Perubahan darah
Anemia normokrom, normositer.
1. Berkurangnya produksi eritropetin, sehingga rangsangan
eritropoesis pada sumsum tulang menurun .
2. Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam
suasana toksik uremia.
3. Defisiensi besi, asam folat, akibat nafsu makan yang berkurang.
4. Perdarahan pada saluran pncernaan kulit.
5. Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroit sekunder.
Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia.
1. Masa pendarahan memanjang.
2. Perdarahan akibat agregasi & adhesi trombosit yang berkurang
serta menurunnya faktor trombosit III ADP (adenosine fosfat).
Gangguan leukosit.
1. Hipersegmentasi lekosit.
2. Fagositosis dan kemotaksis berkurang, hingga memudahkan
timbulnya infeksi.
i. Kelenjar endokrin
Gangguan seksual : libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki laki
akibat produksi testoseron dan spermatogenesis yang menurun, juga
dihubungkan dengan metabolit tertentu (zink, hormon paratiroit). Pada
wanita timbul gangguan menstruasi, gangguan ovulasi sampai
ameorrhoe.
Gangguan toleransi glukosa.
Gangguan metabolisme lemak.
Gangguan metabolisme vitamin D.
j. Gangguan lainnya
Tulang : osteoditrofirenal, yaitu osteomalasia, osteitis fibrosa,
osteosklerosis, dan klasifikasi metastatik.
Asam basa : asidosis metabolik akibat penimbunan asam organik
sebagai hasil metabolisme.
Elektrolit : hipokalsemia, hiperfosfatemia, hiperkalemia. Karena pada
gagal ginjal kronik telah terjadi gangguan keseimbangan homeostatik
pada seluruh tubuh maka gangguan pada suatu sistim akan
mempengaruhi sistim lain, sehingga suatu gangguan metabolik dapat
menimbulkan kelainan pada berbagai sistem / organ tubuh.

1.7 Pemeriksaan diagnostik

Pemeriksaan laboratorium dilaksanakan untuk menetapkan adanya gagal


ginjal kronik, menentukan ada tidaknya kegawatan, menentukan derajat gagal
ginjal kronik, menetapkan gangguan sistem, dan membantu menetapkan
etiologi. Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:

a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya seperti diabetes mellitus, infeksi


traktus urinarius, hipertensi, Lupus eritomatosus sistemik (LES)
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa digunakan
untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah.
d. Kelainan urinalisasi meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria (Mansjoer,
2002)

Pemeriksaan pemeriksaan yang umumnya dianggap menunjang


kemungkinan adanya suatu gagal ginjal kronik adalah :

Laju endap darah meninggi yang diperberat oleh adanya anemi dan
hipoalbuminemia.
Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosit yang menurun.
Ureum darah dan kreatinin serum meninggi.
Biasanya perbandingan antara ureum dan kreatinin lebih kurang 20 : 1.
Perbandingan ini bisa meninggi (ureum > kreatinin) pada perdarahan
saluran cerna, demam, luka bakar luas, penyakit berat dengan
hiperkatabolisme, pengobatan steroid dan obstruksi saluran kemih.
Perbandingan ini berkurang (ureum > kreatinin), pada diet rendah protein
(TKU) dan tes kliren kreatinin (TKK) menurun.
Hiponatremia, umumnya karena kelebihan cairan.
Hiperkalemia biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut (TKK < 5 ml/menit)
bersama dengan menurunnya diuresis. Hipokalemia terjadi pada penyakit
ginjal tubuler atau pemakaian diuretik yang berlebihan.
Hipokalsemia dan hiperfosfatemia.
Hipokalsemia terutama terjadi akibat berkurangnya absorbsi kalsium di
dalam usus halus karena berkurangnya sintesis 1,25 (OH)2. Hiperfosfatemia
terjadi akibat gangguan fungsi ginjal sehingga pengeluaran fosfor berkurang.
Antara hipokalasemia, hiperfosfatemia, vitamin D, parathormon serta
metabolisme tulang terdapat hubungan saling mempengaruhi.
Fosfatase lindi meninggi, akibat gangguan metabolisme tulang, yang
meninggi terutama isoensim fosfatalase lindi tulang.
Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia umumnya disebabkan gangguan
metabolisme dan diit yang tidak cukup / rendah protein.
Peninggian gula darah akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada gagal
ginjal, yang diperkirakan desebabkan oleh intoleransi terhadap glukosa
akibat resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer dan
pengaruh hormon somatotropik.
Hipertrigliseridemia, akibat gangguan metabolisme lemak, yang disebabkan
oleh peninggian hormon insulin, hormon somatotropik dan menurunnya
lipapase lipoprotein.
Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukan pH yang
menurun, base exercise (BE) yang menurun, HCO yang menurun dan
PCO yang menurun, semuanya disebabkan retensi asam asam organik
pada gagal ginjal dan kompensasi paru paru (Mansjoer, 2002)

1.8 Penatalaksanaan medis


Rencana Tatalaksanaan Penyakit GGK sesuai dengan derajatnya
1) GFR> 90 : terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi pemburukan
(progession) fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskule
2) GFR = 60-89: menghambat pemburukan (progession) fungsi ginjal
3) GFR = 30-59: evaluasi dan terapi komplikasi
4) GFR = 15-29: persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5) GFR < 15: terapi pengganti ginjal (Suwitra, 2006)

A. Penatalaksanaan konservatif antara lain yaitu :


1. Pengobatan
Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan gejala, meminimalkan
komplikasi dan memperlambat perkembangan penyakit.
Langkah yang dilakukan adalah mencari faktor faktor pemburuk pada gagal
ginjal kronik:
Infeksi traktus urinarius.
Obstruksi traktus urinarius.
Hipertensi.
Gangguan perfusi/aliran darah ginjal.
Gangguan elektrolit.
Pemakaian obat obat nefrotoksik, termasuk bahan kimia dan obat
tradisional.
Agen alkalinisasi (seperti natrium bikarbonat atau larutan Shohl),
pertukaran kation resin mengikat kalium, antibiotik, antasid alumunium
hidroksida atau alumunium karbonat untuk mengikat fosfor, agen
antihipertensi, dan diuretetik merupakan tindakan pengobatan yang paling
sering digunakan.
Dialisis diperlukan bila langkah langkah ini, yang dikombinasikan dengan
pembatasan diet, tidak cukup untuk mencegah atau mengontrol
hiperkalemia, kejenuhan cairan, uremia simtomatik (mengantuk, mual,
muntah dan tremor), atau kenaikan yang cepat dari kadar BUN dan kreatinin.
Walaupun hemodialisis banyak digunakan, semakin banyak jumlah pasien
yang memakai CAPD (chronic ambulatory peritoneal dialysis) atau CCPD
(continuous cycling peritoneal dialysis), yang dilakukan setiap hari dan sangat
populer karena mudah dilakukan untuk pasien rawat jalan.

2. Penatalaksanaan dengan memperhatikan asupan gizi


Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang telah
berlangsung lama. Gejala gejalanya secara umum disebut sindroma uremik,
gejala utamanya adalah gejala gastro intestinal seperti rasa mual , muntah
dan menurunnya nafsu makan. Sehingga penderita umumnya berada dalam
status gizi kurang. Penelitian terbatas terhadap status gizi penderita gagal
ginjal kronik tanpa hemodialisis menunjukan bahwa dengan pengukuran
antropometri 42,9% penderita berstatus gizi baik, 50% penderita berada
dalam status gizi kurang dan 7,1% berada dalam status gizi buruk.

Kebutuhan makanan yang mempengaruhi gagal ginjal kronik (Hartono A,


2004):

1. Asupan protein yang konsisten dan terkendali adalah penting.


Protein tetap diperlukan sebagai zat pembangun tetapi asupan
terlalu banyak dapat menyebabkan kadar BUN meningkat dan
gejala uremia kembali. Oleh karena itu, ukuran porsi sebaiknya
ditimbang atau diukur terlebih dahulu dan sesudah itu secara
periodik di cek ketepatannya.
Kebutuhan protein dipenuhin secara tersebar sepanjang hari, jangan
hanya diberikan dalam satu hidangan.
2. Asupan kalori yang cukup adalah penting.
Kalori yang terlalu rendah akan meningkatkan katabolisme.
Bahan makanan sumber kalori tanpa protein, seperti mentega,
minyak dan kue kue manis yang diperbolehkan dapat diberikan
secara bebas.
3. Bagi yang memerlukan pembatasan cairan.
Sumber cairan termasuk juga makanan yang mencair pada
temperatur kamar.
Cara yang mudah untuk mengukur masukan cairan adalah
menggunakan air yang berisi kebutuhan cairan total perhari dan
menempatkan pada lemari es. Cairan yang dikonsumsi, sesuai
dengan jumlah air yang ada dalam kan.
Untuk mengurangi haus, cobalah :
a) Permen (hard candies).
b) Air yang sangat dingin bukan air biasa.
c) Kumur dan jaga kebersihan mulut yang baik.
4. Bagi yang memerlukan pembatasan kalium.
Kebutuhan kalium didasarkan pada data laboratorium dan gejala
klinik, bahkan makanan disesuaikan dengan kesukaan / kebiasaan
makanan pasien.
Cara mengurangi kandungan kalium pada sayuran dan buah
buahan : potong kecil kecil, rendam satu malam, dan rebus dalam
air yang baru.
Ukuran porsi dibuat khusus sehingga setiap porsi mengandung kira
kira jumlah protein, natrium dan kalium yang sama.
5. Pasien gagal ginjal yang dianjurkan banyak makan makanan manis (tinggi
CHO) untuk mencakupi asupan kalori, perlu diberi anjuran memperhatikan
higinie mulut untuk menghindari caries gigi.
6. Salah satu gejala sindroma uremik adalah menurunnya nafsu makan,
maka pasien dianjurkan untuk makan pagi yang baik. Karena uremia dapat
mengakibatkan indra cita rasa, pasien mungkin memilih makanan yang
sangat berbumbu.

Seiring penderita gagal ginjal kronik mengalami mual dan muntah oleh
karena itu porsi makanan diusahakan kecil tapi bernilai gizi dan diberikan
dalam frekuensi yang lebih sering. Makanan dihidanhkan secara menarik,
bervariasi, sesuai dengan kebutuhan penderita. Karena penderita sering
mengalami malnutrisi maka perlu diperhatikan asupan energi dan protein.
Karbohidrat, protein, dan lemak merupakan sumber energi. Pemenuhan
asupan energi terutama diperoleh dari bahan makanan pokok. Masukan yang
adekuat sangat diperlukan untuk mencapai status gizi optinal.

Keadaan gizi penderita gagal ginjal kronik sangat penting untuk


dipertahankan dan ditingkatkan . Tujuan diet untuk pasien gagal ginjal kronik
adalah :

1. Mencukupi kebutuhan protein untuk menjaga keseimbangan nitrogen


dan juga mencegah berlebihnya akumulasi sisa metabolisme diantara
dialysis.
2. Memberikan cukup energi untuk mencegah katabolisme jaringan tubuh.
3. Mengatur asupan natrium untuk mengantisipasi tekanan darah dan
oedem.
4. Membatasi asupan kalium untuk mencegah hiperkalemia.
5. Mengatur asupan cairan, untuk mencegah terjadinya kelebihan cairan
di antara dialysis.
6. Membatasi asupan phospor.
7. Mencukupi kebutuhan zat zat gizi lainnya terutama vitamin vitamin
yang larut dalam proses dialisis.

Syarat diet :

Energi cukup yaitu 30 - 35 kkal/kg BB. Asupan energi harus harus optimal
dari golongan bahan makanan non protein. Ini dimaksudkan untuk
mencegah gangguan protein sebagai sumber energi, bahan bahan ini
biasa diperoleh dari minyak, mentega, margarin, gula, madu, sirup, jamu
dan lain lain.
Protein 0,6 - 0,75 g/kg BB. Pembatasan protein dilakukan berdasarkan
berat badan, derajat insufisiensi renal, dan tipe dialisis yang akan dijalani.
Protein hewani lebih dianjurkan karena nilai biologisnya lebih tinggi
ketimbang protein nabati. Mutu protein dapat ditingkatkan dengan
memberikan asam amino esensial murni.
1. Diet protein rendah I : 30 g protein , untuk BB 50 kg.
2. Diet protein rendah II : 35 g protein, untuk BB 60 kg.
3. Diet protein rendah III : 40 g protein, untuk BB 65 kg

Sumber protein ini biasanya dari golongan hewani misalnya telur, daging,
ayam, ikan, susu, dan lain dalam jumlah sesuai anjuran. Untuk
meningkatkan kadar albuminnya diberikan bahan makanan tambahan
misalnya ekstrak lele atau dengan putih telur 4 kali sehari.

Lemak cukup 20 30 % dari total kebutuhan energi total. Diutamakan


lemak tidak jenuh ganda. Perbandingan lemak jenuh dan tk jenuh adalah
1:1.
Karbohidrat cukup, yaitu kebutuhan energi total dikurangi energi yang
berasal dari protein dan lemak. Karbohidrat yang diberikan pertama
adalah karbohidrat kompleks.
Natrium yang diberikan antara 1 3 g. Pembatasan natrium dapat
membantu mengatasi rasa haus, dengan demikian dapat mencegah
kelebihan asupan cairan. Bahan makanan tinggi natrium yang tidak
dianjurkan antara lain : bahan makanan yang dikalengkan. Garam natrium
yang ditambahkan ke dalam makanan seperti natrium bikarbonat atau
soda kue, natrium benzoate atau pengawetan buah, natrium nitrit atau
sendawa yang digunakan sebagai pengawet daging seperti pada corner
beff.
Kalium dibatasi (40 70 mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium daarah >
5,5 mEq), oligura, atau anuria. Makanan tinggi kalium adalah umbi, buah
buahan, alpukat, pisang ambon, mangga, tomat, rebung, daun singkong,
daun papaya, bayam, kacang tanah, kacang hijau dan kacang kedelai.
Kalsium dan Phospor hendaknya dikontrol keadaan hipokalsium dan
hiperphosphatemi, ini untuk menghindari terjadinya hiperparathyroidisme
dan seminimal mingkin mencegah klasifikasi dari tulang dan jaringan
tubuh. Asupan phosphor 400 900 ml/hari, kalsium 1000 1400 mg/hari.
Cairan dibatasi yaitu sebanyak jumlah urin sehari ditambah pengeluaran
cairan melalui keringat dan pernapasan ( 500 ml )
Vitamin cukup, bila perlu diberikan suplemen piridoksin, asam folat ,
vitamin C, dan vitamin D (Almatsier, 2007)

Bahan makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan :

Bahan makanan Dianjurkan Tidak dianjurkan /


dibatasi
Sumber Nasi, bihun, jagung,
karbohidrat kentang, makaroni, mie,
tepung tepungan,
singkong, ubi, selai, madu,
permen.
Kacang kacangan dan
Sumber protein Telur, daging, ikan, ayam, hasil olahannya, seperti
susu. tempe dan tahu.
Kelapa, santan, minyak
Sumber lemak Minyak jagung, minyak kelapa; margarin,
kacang tanah, minyak mentega biasa dan lemak
kelapa sawit, minyak hewan.
kedelai; margarin dan
mentega rendah garam.
Sumber vitamin Sayuran dan buah tinggi
dan mineral Semua sayuran dan buah, kalium pada pasien
kecuali pasien dengan dengan hiperkalemia.
hiperkalemia dianjurkan
yang mengandung kalium
rendah / sedang.
B. Terapi pengganti ginjal
1. Dialisis
Dialisis ada 2 macam , prinsip kerjanya berdasarkan proses difusi osmosis:
Hemodialisis : dipergunakan membran semipermeabel buatan (dialiser).
Peritoneal dialisis : menggunakan selaput dinding perut (peritoneum)
pasien sendiri sebagai membran semipermiabel.
Sisa metabolisme (racun racun seperti ureum dan kreatinin) akan
berpindah dari pasien ke cairan dialisat setelah melalui membran tersebut,
sehingga darah pasien menjadi bersih.Pada gagal ginjal kronik diperlukan
terapi cuci darah seumur hidup sebagai terapi pengganti ginjal kecuali
dilakukan operasi cangkok ginjal untuk mengganti ginjal yang rusak.
Idealnya cuci darah dilakukan 2 3 kali dalam seminggu. Apabila pasien
ingin mengurangi frekuensi dialisis, maka harus membatasi diet protein dan
air lebih ketat, yang mempunyai konsekuensi terjadi malnutrisi kurang
disarankan. Penundaan cuci darah dapat berisiko terjadi komplikasi seperti
pembengkakan paru paru, kejang kejang, penurunan kesadaran, gangguan
elektrolit yang berat, perdarahan saluran cerna, gagal jantung bahkan bisa
menimbulkan kematian.
2. Penatalaksanaan dengan transplantasi ginjal atau pencangkokan
ginjal
Transplatasi ginjal adalah terapi pengganti ginjal yang melibatkan
pencangkokan ginjal dari orang hidup atau mati kepada orang yang
membutuhkan. Transplatasi ginjal adalah terapi pilihan untuk sebagian besar
pasien dengan gagal ginjal kronik. Transplatasi ginjal menjadi pilihan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien.
Transplatasi ginjal biasanya diletakkan di fossa iliaka bukan diletakkan di
tempat ginjal yang asli, sehingga diperlukan pasokan darah yang berbeda,
sepeerti arteri renalis yang dihubungkan ke arteri iliaka eksterna dan vena
renalis yang dihubungkan ke vena iliaka ekstema.
Terdapat sejumlah komplikasi setelah transplatasi, seperti penolakan
(rejeksi), infeksi, sepsis, gangguan poliferasi limfa pasca transplatasi,
ketidakseimbangan elektrolit.

1.9 Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smeltzer dan Bare (2001)
yaitu :
a. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme dan
masukan diet berlebihan
b. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin-
angiostensin-aldosteron
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan
darah selama hemodialysis
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan
peningkatan kadar alumunium.

2. KONSEP HEMODIALISA

2.1 Definisi

Dialisi adalah suatu proses difusi zat terlarut dan air secara pasif melalui
suatu membran berpori dari satu kompartemen cair lainnya. Hemodialisi adalah
suatu mesin ginjal buatan (atau alat hemodialisis) terutama terdiri dari
membran semipermeabel dengan darah di satu sisi dan cairan dialisis di sisi lain.
(Price, 2005) Hemodoalisis adalah suatu dialisis eksternal terdiri dari sebuah coil
yang berfungsi sebagai membran semipermeable (tembus air). Darah pasien
mengalir keluar dari tubuh dan melalui coil dan kemudian kembali ke dalam
tubuh. Selain coil, terdapat juga solusi hipertonic yang disebut dialysate yang
menarik produk-produk buangan yang berasal dari darah melintasi membran
semipermeable. (Reeves, 2001) Hemodialisa adalah suatu tindakan yang
digunakan pada gagal ginjal untuk menghilangkan sisa toksik, kelebihan air,
cairan, dan untuk memperbaiki keseimbangan elektrolit, dengan prinsip filtrasi,
osmosis, dan difusi, dengan menggunakan sistem dialisa eksternal; terdapat
beberapa tipe akses vaskular yang dapat digunakan: pirau-sementara;
sambungan eksternal diantara arteri dan vena; fistula-permanen, sambungan
internal atau tandur diantara arteri dan vena dilengan atau paha; jalur subklavia
atau femoral-sementara, kateter eksternal pada vena besar (Turker, 1999) .

Jadi dapat disimpulkan bahwa hemodialisa adalah suatu proses penyaringan


kotoran dan racun dalam darah dengan menggunakan suatu alat dialisis atau
ginjal buatan dengan prinsip disfusi, osmosis dan filtrasi.
2.2 Indikasi dan Kontraindikasi
a. Indikasi
Price dan Wilson (1995) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang
jelas berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan
pengobatan harus dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan
berdasarkan kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai
penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah
tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau
memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat
dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100
ml pada wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit.
Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat tidur atau
sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.
b. Kontraindikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal,
dan sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra
indikasi dari hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler
pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan
koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit
alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut
dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).

2.3 Penatalaksanaan
a. Prinsip Dialise
Dialise berdasarkan tiga prinsip : difusi, osmose dan ultrafiltrasi. Difusi
berhubungan dengan pergeseran partikel-pertikel dari daerah konsentrasi
yang tinggi ke daerah yang lebih rendah. Didalam tubuh ini terjadi melewati
membran semipermiabel. Difusi berhubungan dengan keperluan pembersihan
bahan yang terlarut dari tubuh pasien ke hemodialise dan peritoneal dialise.
Difusi menyebabkan pergeseran urea, kreatinin dan uric acid dari darah
pasien ke larutan dialisat. Larutan mengandung lebih sedikit partikel-partikel
yang harus dibuang dari aliran darah dan harus ditambah konsentrasi
partikel-partikel yang lebih tinggi. Karena dialisis tidak mengandung produk
sisa protein, konsentrasi dari zatzat ini di dalam darah akan berkurang karena
peergeseran random partikel-partikel lewat membran semipermiabel ke
dialisat. Prinsip yang sama berlaku untuk ionion potasium. Walaupun
konsentrasi sel-sel eritrosit dan protein lebih tinggi didalam darah, molekul-
molekulnya lebih besar dan tidak bisa berdisfusi melalui pori-pori dari
membran karena itu tidak terbuang dari darah.

Osmone menyangkut pergeseran cairan lewat membran semipermiabel


dari daerah yang kadar pertikel-partikel rendah ke darah yang kadar partikel
lebih tinggi. Osmose bertanggung jawab atas pergeseran cairan dari pasien,
terutama pada peritoneal dialise. Pada gambar memperlihatkan bahwa
glukosa telah dibubuhkan ke dialisat untuk meningkatkan jonsentrasi partikel-
partikel lebih tinggi dari yang terdapat pada aliran darah pasien. Cairan
kemudian akan bergeser lewat pori-pori dari membran dari darah pasien ke
dialisat. Ultrafiltrasi terdiri dari pergeeseran cairan lewat membran
semipermiabel dampak dari ramuan tekanan yang dikreasikan secara buatan.
Ultrafiltrasi lebih efisisen dari osmose untuk menggeser cairan dan
dipergunakan pada dialise untuk tujuan tersebut. Pada waktu dialise, osmose
dan difusi atau uultrafiltrasi dan difusi terjadi simultan. (Long, 1996)
b. Prosedur
Hemodialisa mencakup shunting / pengalihan arus darah dari tubuh
pasien ke dialisator dimana terjadi difusi dan ultrafiltrasi dan kemudian
kembali ke sirkulasi pasien. Untuk pelaksanaan hemodialisa terjadi yang
masuk ke darah pasien, suatu mekanisme yang mentraspor darah ke dan dari
dialisator, dan dialisator (daerah dimana terjadi pertukaran larutan elektrolit
dan produk-produk sisa berlangsung). Sekarang terdapat lima cara utama
agar terjadi yang masuk ke aliran darah pasien. Ini terdiri dari yang berikut :
a. Fistula aerteriovena
b. External arteriovenous/arus arteriorvena eksternal
c. Kateterisasi vena femoral
d. Kateterisasi vena subklavia
Indikasi indikasi dan berbagi implikasi cara memasukan ke vaskuler untuk
hemodialisa

Pengobatan dialisis berlangsung 3 sampai 5 jam tergantung kepada


tipe dialisator yang dipakai dan jumlah waktu yang yang diperlukan demi
koreksi cairan, elektrolit, asam basa dan masalaah produk sisa yang ada.
Dialise untuk masalah yang akut harus dilaksanakan tiap hari atau lebih
sering berdasarkan kondisi pasien yang masih menjamin. Hemodialisa bagi
orang dengan gaggal ginjal kronik biasanya dikerjakan dua atau tiga kali
seminggu. (Long, 1996)

c. Perawatan Pra Dialisa


Sebelum dilakukan prosedur pasien biasanya diberi KIE terkait apa yang
akan ia rasakan selama prosedur yaitu berupa :
Merasa sedikit nyeri saat alat-alat dipasangkan ke tubuhnya
Durasi dialisa dilakukan
Kondisi yang mungkin terjadi saat ataupun setelah prosedur dilakukan
(pusing, mual)

Pada tahap ini perlu dilakukan monitoring berupa :


berat badan
tanda-tanda vital sebelum prosedur
Mengkaji kelebihan cairan (edema pada pedis, periorbital, distensi vena
leher kelainan bunyi nafas)
Mengkaji akses vaskular
Tanda dan gejala infeksi

Sebelumya pasien harus diberitahukan bahwa ia akan mengalami sedikit


sakit kepala dan mual pada waktu pengobatan dan beberapa jam
sesudahnya. Sakit kepala adalah dampak dari perubahan cairan, asam dan
basa, dan keseimbangan produk sisa selama dialisis. Gejala-gejala tersebut
seharusnya tidak terjadi secara berlebihan artinya gejala tersebut akan
berkurang setelah istirahat dan tidur, atau diberikan analgetik ringan dan anti
piretik. Hipertensi postural bisa juga terjadi pada saat dialisis, sifatnya
sementara dan disebabkan oleh kekurangan volume sekunder dampak dari
pergeseran cairan. Hipotensi menyebabkan pusing yang dapat disembuhkan
dengan istirahat beberapa jam. Pasien harus diyakinkan bahwa semua gejala
tersebut adalah akan mereda, oleh karena itu perawatan pada saat prosedur
dialisa adalah memantau gejal-gejala tersebut tidak terjadi secara
berlebihan/menetap. (Long, 1996)

d. Perawatan Saat Prosedur


Bila pada pasien dipasang shunt eksternal tidak akan timbul nyeri pada
permulaan dialise. Namun rasa nyeri sedikit akan tetap terasa bila sedang
dilakukan fungsi vena pada fistula arteriovena. Asuhan keperawatan terdiri
dari peningkatan kenyamanan fisik karena selama proses pasien hanya akan
berbaring dan berlangsung beberapa jam, hal tersebut dapat menimbulkan
ketidaknyamanan. Pasien dianjurkan berkumur bila mual dan muntah.
Ekstremitas atas dipertahankanimobilitas pada waktu dialisa oleh karena itu
pasien perlu dibantu bila ada ketika membutuhkan sesuatu.

2.4 Komplikasi
Komplikasi dari hemodialisa menurut Jevon (2004) adalah sebagai berikut :
- Hemodialisis, akibat kerusakan sel darah merah ketika melewati pompa,
dapat menyebabkan hiperkalemia dan henti jantung. Amati adanya nyeri
dada dan
dispnea. Darah didalam sirkuit vena mungkin memiliki tampilan port wine
(Adam & Obsborne 1999)
- Embolisme udara : amati adanya nyeri dada dan dispnea
- Reaksi terhadap membran : jika menggunakan cuprophane (membran
dializer) berbahandasar selulosa, dapat menyebabkan sindrom respon
inflamasi sistemik (Hakim 1993) yang dapat menyebabkan lambatnya
pemulihan ginjal dan peningkatan mortalitas (Hakim et al. 1994)
- Diskuilibrium : komplikasi ini disebabkan oleh pengeluaran ureum dan toksin
uremik secara tiba-tiba dan pasien dapat mengalami nyeri kepala, muntah,
gelisah, konvulsi dan koma (Adam 7 Osborne 1999)
- Infeksi : perhatian yang ketat harus diberikan untuk mempertahankan kondisi
aseptik setiap saat
- Hipoglikemia
- Hipertensi
- Malnutrisi
- Peningkatan berat badan berlebihan saat dialisa

3 KONSEP HIPOGLIKEMIA AKIBAT HEMODIALISA


Kebutuhan insulin setelah hemodialisis pemeliharaan bervariasi, dan penting
untuk monitor gula darah. Banyak pasien diabetes dengangagal ginjal terminal
terjadi penurunan kebutuhan insulin. Banyak pasien diabetes pada awal
hemodialisis membutuhkaninsulin, dan sebagian kontrol gula darah dengan
sulfonilurea. Sejumlah glukosa akan bergeser dari darah ke kompartemen
dialisat, diperkirakan25-30 mg setiap kali prosedur hemodialisis. Hipoglikemia
dapat terjadi pada pasien diabetes saat hemodialisis,hal ini disebabkan karena :
a. Menurunnya katabolisme insulin.
b. Menurunnyaasupanmakanan
c. Resiko hipoglikemia meningkat pada pasien diabetes yangmalnutrisi
d. Menggunakan Bloker (mempengaruhi glikogenolisis).Pada pasien diabetes
yang menjalanihemodialisis, untukmencegah hipoglikemia saat hemodialisis,
cairan dialisat harusdipertahankan mengandung 200 mg/dL glukosa (11
mmol/L).
Suatu penelitian di Yugoslavia tahun 2001 pada 20 orang pasiendiabetes
yang menjalani hemodialisis, pasien dibagi atas 2 kelompokyaitu kelompok yang
menggunakan cairan dialisat dengan konsentrasiglukosa 5,5 mmol/L,
dibandingkan dengan kelompok kedua yang menggunakan cairan dialisat
dengan konsentrasi glukosa 11 mmol/L,setelah diikuti selama 14 minggu
ternyata angka kejadian hipoglikemialebih tinggi pada pasien yang
menggunakan cairan dialisat yang rendah konsentrasi glukosanya.
Hipoglikemia merupakan kumpulan gejala klinis yang disebabkan
konsentrasi glukosa darah yang rendah. Hipoglikemia secara harafiah berarti
konsentrasi glukosa darah dibawah harga normal. Batas konsentrasi glukosa
darah untuk mendiagnosis hipoglikemia tidak sama untuk setiap orang.
Sehingga untuk mendiagnosis hipoglikemia kita menggunakan Triad Whipple,
yang terdiri dari gejala-gejala hipoglikemia (tabel 1), konsentrasi glukosa plasma
yang rendah, dan hilangnya gejala hipoglikemia setelah konsentrasi glukosa
plasma meningkat (Tomky, 2005).

Tabel 1. Tanda dan gejala umum hipoglikemia


Gejala adrenergic Tanda neuroglikopenik
Pucat Bingung
Keringat dingin Bicara tidak jelas
Takikardi Perubahan sikap perilaku
Gemetaran Lemah yang berat
Lapar Disorientasi
Cemas Penurunan kesadaran
Gelisah Kejang
Sakit kepala Mata sembab
Mengantuk Penurunan respons terhadap
stimulus berbahaya

Hipoglikemia dibagi menjadi hipoglikemia ringan, sedang, dan berat (Setyohadi et


al, 2012).

Tabel 2. Klasifikasi Hipoglikemia


Klasifikasi Tanda dan gejala
Ringan Simptomatik, dapat diatasi
sendiri, tidak ada gangguan
aktivitas sehari-hari yang nyata.
Sedang Simptomatik, dapat diatasi
sendiri, menimbulkan gangguan
aktivitas sehari-hari yang nyata.
Berat Sering (tidak selalu) simptomatik,
karena gangguan kognitif pasien
tidak dapat mengatasi sendiri.
Membutuhkan pihak ketiga tetapi
tidak memerlukan terapi
parenteral.
Membutuhkan terapi parenteral
(glukagen, intramuscular atau
glucagon intravena).
Disertai dengan koma atau
kejang.

3.1 Penatalaksanaan

1. Non-Farmakologik
Penatalaksanaan utama pada hipoglikemia adalah mengatasi
hipoglikemia dan mencari penyebabnya, penilaian keadaan pasien yang
meliputi keadaan umum pasien, tingkat kesadaran, tanda vital (tekanan
darah, frekuensi pernafasan, frekuensi nadi, dan suhu), pengukuran
konsentrasi glukosa darah, pemasangan jalur intravena, riwayat penggunaan
insulin dan obat antidiabetik oral (waktu dan jumlah yang diberikan) dan
penilaian riwayat nutrisi yang diberikan kepada pasien serta tatalaksana
sesuai dengan alur pengelolaan hipoglikemi harus segera dilakukan. Terapi
insulin atau obat antidiabetik lainnya yang menyebabkan hipoglikemia
segera dihentikan.
Jika pasien masih sadar dapat diterapi menggunakan sumber
karbohidrat oral, pilihlah jenis terapi yang tepat, atau menggunakan terapi
yang paling sederhana yaitu menggunakan larutan glukosa murni 20-30
gram. Bila pasien mengalami kesulitan menelan dan keadaan tidak terlalu
gawat, pemberian made atau gel glukosa lewat mukosa rongga mulut
(buccal) dapat dicoba (Waspadji, 2002).
2. Farmakologik
Jika pasien tidak sadar atau tidak dapat mengkonsumsi apapun melalui
oral (nil per os-NPO), jalur intravena harus terpasang. Pemberian 50 cc
dekstrosa 40% secara bolus merupakan terapi awal yang dianjurkan. Terapi
ini diteruskan setiap 10-20 menit jika pasien belum sadar sampai pasien
sadar. Selain itu diberikan cairan dekstrosa 10% per infuse 6 jam per kolf
untuk mempertahankan glukosa darah dalam nilai normal atau di atas
normal disertai pemantauan glukosa darah. Apabila pasien tetap tidak sadar
tetapi glukosa sudah dalam batas normal, maka dilakukan pemberian
hidrokortison 100 mg per 4 jam selama 12 jam atau deksametason 10 mg iv
bolus, dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan manitol iv 1,5-2 g/kgBB setiap 6-8
jam. Selanjutnya cari penyebab lain dari hipoglikemia. Untuk menghindari
hipoglikemia berulang, setiap selesai menatalaksana pasien DM dengan
hipoglikemia, perlu dilakukan pencarian penyebab timbulnya hipoglikemia,
atasi penyebab tersebut, dan jika terdapat indikasi, dapat dilakukan evaluasi
dosis dan waktu pemberian insulin atau obat antidiabetik oral. Selain itu
perlu diperhatikan jumlah dan waktu pemberian nutrisi dan olahraga pada
pasien (Waspadji, 2002)

4. ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian
Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia
muda, dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.

Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan
(anoreksi), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau
(ureum), gatal pada kulit.

Riwayat penyakit
1) Sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan
kardiogenik.

2) Dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah
jantung, hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign
Prostatic Hyperplasia, prostatektomi.

3) Keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).

Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat
dan dalam (Kussmaul), dyspnea.

Pemeriksaan Fisik :
1) Pernafasan (B 1 : Breathing)
Gejala:

Nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk dengan/tanpa


sputum, kental dan banyak.

Tanda:

Takhipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk produktif dengan /


tanpa sputum.

2) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala:

Riwayat hipertensi lama atau berat.Palpitasi nyeri dada atau angina


dan sesak nafas, gangguan irama jantung, edema.

Tanda

Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada kaki, telapak
tangan, Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi ortostatik,
friction rub perikardial, pucat, kulit coklat kehijauan,
kuning.kecendrungan perdarahan.

3) Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai
koma.

4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder)


Gejala:

Penurunan frekuensi urine (Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari),


warna urine kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing), oliguria, anuria
(gagal tahap lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi.

Tanda: Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan)


oliguria atau anuria.

5) Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)


Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis erosiva
dan Diare

6) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala:

Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk saat
malam hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.

Tanda:

Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada kulit,


fraktur tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan lunak, sendi
keterbatasan gerak sendi.

Pola aktivitas sehari-hari


1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata
laksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak
gagal ginjal kronik sehingga menimbulkan persepsi yang negatif
terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur
pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu perlu adanya
penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.

2) Pola nutrisi dan metabolisme


Anoreksia, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake
minum yang kurang.dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang
dapat mempengaruhi status kesehatan klien. Peningkatan berat badan
cepat (oedema) penurunan berat badan (malnutrisi) anoreksia, nyeri
ulu hati, mual muntah, bau mulut (amonia), Penggunaan diuretic,
Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan
memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, kejang, rambut tipis,
kuku rapuh.
3) Pola Eliminasi
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan
pekat, tidak dapat kencing.Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria
(gagal tahap lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi,
Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau
anuria.

4) Pola tidur dan Istirahat


Gelisah, cemas, gangguan tidur.

5) Pola Aktivitas dan latihan


Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan klien tidak
mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal,
Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
6) Pola hubungan dan peran
Kesulitan menentukan kondisi. (tidak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran).

7) Pola sensori dan kognitif


Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati / mati
rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien
mampu melihat dan mendengar dengan baik/tidak, klien mengalami
disorientasi/ tidak.

8) Pola persepsi dan konsep diri


Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan
penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya
perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan
pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga (self
esteem).

9) Pola seksual dan reproduksi


Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ
reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual,
gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses
ejakulasi serta orgasme. Penurunan libido, amenorea, infertilitas.
10) Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor
stress, perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan,
karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif
berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain lain, dapat
menyebabkan klien tidak mampu menggunakan mekanisme koping
yang konstruktif / adaptif. Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada
harapan, tak ada kekuatan.Menolak, ansietas, takut, marah, mudah
terangsang, perubahan kepribadian.

11) Pola tata nilai dan kepercayaan


Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta
gagal ginjal kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan
ibadah maupun mempengaruhi pola ibadah klien

4.2 Diagnosa Keperawatan:


Diagnosa Pre Hemodialisa
- Kelebihan volume cairan berhubungan dengan edema sekunder : volume
cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O
- Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penumpukan cairan
(edema paru)
- Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan karena supply
oksigen menurun
- Gangguan pola seksual berhubungan dengan penurunan hormone seksual
- Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan gangguan filtrasi ginjal
- Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan tingginya kadar
urochrome, toksik uremik
- Gangguan pertukaan gas berhubungan dengan peningkatan tekanan
kapiler paru dan edema paru
- Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan supply darah dan oksigen
ke jaringan menurun
- Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional, perubahan status
kesehatan
- Ketidakseimbangan nutrisi: kurang/lebih dari kebutuhan tubuh
behubungan dengan prognosis penyakit dan gangguan metabolik serta
kadar asam basa dalam tubuh
- Nyeri akut behubungan dengan aterosklerosis, perikarditis, efusi
pericardial
Diagnosa Intra Hemodialisa
- Resiko ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan
dilakukannya dialisat darah
- Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan
atau penurunan kadar elektrolit tubuh
- Resiko syok berhubungan dengan penarikan cairan (UF goal)
- Resiko perdarahan berhubungan dengan penggunaan heparin
Diagnosa Post Hemodialisa
- Nyeri akut behubungan dengan aktivasi receptor nyeri di area insersi
- Resiko Infeksi berhubungan dengan port de entry akibat penusukan daerah
insersi

Tg No Diagnosa
Tujuan Kriteria Standart Interven
l Dx Keperawatan

1 Kelebihan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Fluid management


volume cairan 2x24 jam, volume cairan seimbang
1-4. 1 kaji intake dan o
NOC
2,3. 1 timbang berat b
Fluid overload severity rutin

No Indikator 1 2 3 4 5 2,3. 2 Jelaskan pada p


keluarga tentang
1 Tekanan darah
cairan
2 Berat badan
1-4. 2 monitor hasil lab
3 Edema retensi cairan

4 Pusing 2-4. 1 Kaji lokasi dan b

Keterangan Penilaian : 1-4. 3 Kolaborasi tinda

1 : Severe 2.1 monitor BB pasi


dialisis
2 : Substantial.

3 : Moderate

4 : Mild deviation

5 : None.
Tg No Diagnosa
Tujuan Kriteria Standart Interven
l Dx Keperawatan

2 Intoleransi Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Activity therapy, pain


aktivitas 2x24 jam, terdapat perbaikan dalam klien
beraktivitas 1-4. 1 kaji kemampuan
untuk beraktivitas seh

1-4. 2 dampingi pasien


NOC beraktivitas

Activity tolerance 1-4.2 dampingi pasien


keluarga untuk mengid
N Indikator 1 2 3 4 5 defisit aktivitas
o
1-4.3 berikan reinforce
1 Jarak berjalan
klien biasa beraktivita
2 kelelahan
1-4. 4 monitor status e
3 kemampuan sosial dan spiritual seb
beraktivitas aktivitas
sehari hari
4.1 kaji dampak nyeri
4 nyeri otot aktivitas

4.2 ajarkan manajeme


teknik distraksi, relaks
Keterangan Penilaian :

1 : Severe compromised

2 : Substantial compromised

3 : Moderate compromised

4 : Mild deviation compromised

5 : No compromised

Tg No Diagnosa
Tujuan Kriteria Standart Interven
l Dx Keperawatan

3 Resiko infeksi Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1-4.1 monitor TTV
b.d prosedur 1x24 jam, tidak terdapat tanda tanda infeksi
invasif 1-4.2 hindari menguku
hemodialisa NOC lengan yang terdapat

N Indikator 1 2 3 4 5 1-3. 1 pakai teknik ase


o prosedur dialisa

1-4.3 ajarkan klien dan


tanda gejala yang mem
1 Warna kulit penanganan medis
sekitar insersi
1-4.4 kaji daerah sekit
Suhu disekitar
2 insersi
3 Rembesan
drainase di sekitar
insersi
4
Pergeseran kanula

Keterangan Penilaian :

1 : Severe compromised

2 : Substantial compromised

3 : Moderate compromised

4 : Mild deviation compromised

5 : No compromised
Daftar Pustaka

Almatsier, S .2007 .Penuntun Diet, Instalasi Gizi Perjan RSCM .Jakarta : Gramedia .

Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.Volume 3 Edisi 13.
Jakarta: EGC, 2000.1435-1443.

Hartono, Andry .2004 . Terapi Gizi dan Diett Rumah Sakit .Jakarta : Buku Kedokteran
EGC .

Kristanto, David . 2011. Gagal Ginjal Kronik .Bekasi : Media Komunitas Info .

Mansjoer A, et al. 2002. Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3.
Jakarta: Media Aesculapius FKUI

National Kidney Foundation, K/DOQI.Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney


Disease : Evaluation, classification, and stratification. Am J Kidney Dis.
2002;39(1).

Price SA dan Wilson LMC. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit.Edisi 6.Vol 2.Jakarta: Kedokteran EGC

Smeltzer SC dan Bare BG. 2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth.Ed.8. Vol.2. Jakarta: Kedokteran EGC

Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP.2001. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI

Suwitra K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Tierney LM, et al. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit
Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.2003.

Anda mungkin juga menyukai