Anda di halaman 1dari 3

TEKNOLOGI HIDROTERMAL TERHADAP PROSES UPGRADING

BATUBARA PERINGKAT RENDAH (LIGNIT) : PROSES


DEMINERALISASI DAN DESULFURISASI
Batubara peringkat rendah mempunyai kandungan air yang tinggi sehingga berdampak
pada transportasinya yang menjadi tinggi pula. Selain itu, sulfur dan abu yang terdapat
pada batubara juga dapat menghambat pemanfaatan batubara secara efektif. Penelitian
terhadap permasalahan ini telah dilakukan yang salah satunya menerapkan teknologi
hidrotermal dengan meningkatkan kualitas (upgrading) batubara low rank. Penerapan
teknologi hidrotermal merupakan suatu metode yang difokuskan pada kondisi temperatur
dan tekanan yang tinggi. Temperatur yang digunakan pada metode ini sekitar 300 0C-
5000C. Hal ini dimaksudkan agar proses demineralisasi dan desulfurisasi dapat terjadi.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas (upgrading) batubara
hingga terciptalah berbagai teknologi, mulai dari peningkatan batubara dengan air biasa
hingga dengan menggunakan teknologi canggih yang difokuskan pada tekanan dan
temperatur. Salah satu teknologi tersebut adalah teknologi hidrothermal. Proses ini dapat
meningkatkan kualitas batubara, termasuk didalamnya menurunkan kadar sulfur dan
berbagai mineral serta kandungan air dengan proses desulfurisasi dan demineralisasi.
Jumlah batubara di Indonesia 58,60% adalah batubara dengan kualitas rendah. Dengan
nilai kalori kurang dari 5250 kcal/kg (seperti terlihat pada tabel 1), sedangkan permintaan
pasar kadar kalori adalah sekitar 6000 7000 kcal/kg. Hal ini menunjukkan bahwa
upgrading batubara low rank perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas batubara
tersebut.

Dari Tabel 1 terlihat bahwa jumlah total sulfur 0,3 2,5 % dan memiliki density 1,40
1,45% pada jenis batubara lignite. Hal ini menandakan kadar sulfur dan air pada batubara
tersebut cukup tinggi. Ikatan sulfur organik terjadi antara atom S dan atom C. Sulfur
merupakan salah satu senyawa yang harus dikurangi sebab kandungan yang tinggi akan
berdampak pada pencemaran lingkungan dan 4 memperpendek umur alat pembakaran.
Selain itu, pada pemanfatan kokas, jumlah sulfur sangatlah menentukan. Pada aplikasi
pemanfaatan seperti pembuatan kokas, jika jumlah sulfur melebihi kadarnya maka akan
mempengaruhi hasil dari kokasnya. Oleh karena itu dilakukan desulfurisasi yaitu
penghilangan sulfur, baik pada sulfur organik dan sulfur anorganik. Desulfurisasi
batubara dapat dilakukan dengan metode fisika kimia dan biologi serta berbagai metode
lainnya. Secara umum, metode fisika hanya efektif memisahkan jenis sulfur anorganik
dalam batubara kecuali jika dlakukan pada suhu yang sangat tinggi (450 0C) maka sulfur
organik dapat dimungkinkan direduksi, sedangkan metode kimia dan biologi dapat
memisahkan (mereduksi) baik sulfur organik maupun sulfur anorganik dalam batubara,
namun metode biologi menggunakan bantuan mikroba yang bekerja pada suhu rendah
sehingga waktu yang dibutuhkan relatif lama.
Metode lainnya seperti Teknologi FBC, Teknologi FGD dan Teknologi MBE.
Teknologi FBC (fluidised bed combination).
merupakan suatu teknologi yang mampu meredam secar drastis gas-gas emisi polutan
bisa menekan sulfur lebih rendah karena suhu yang digunakan pada pembakaran
batubaranya sekitar 7500-9500C, sehingga batubara terbakar secara efisien, tidak
meleburkan abu dan sisa pembakaran lainnya
Teknologi FGD (flue-gas desulfurization)
merupakan metode yang mengolah polutan menjadi gipsum. Metode ini dialkuaka untuk
mencegah keberlanjutan krisis ekologi akibat sistem peralatan berteknologi tinggi yang
mampu memisahkan gas-gas polutan dalam gas buang dari pembakaran batubara.
Teknologi MBE (mesin berkas elektron)
memiliki prinsip kerja menghasilkan berkas elektron filamen logam tungsten yang
dipanskan. Teknologi ini dapat mengubah polutan menjadi pupuk.
TEKNOLOGI HIDROTERMAL
Proses hidrotermal batubara pertama kali dipelajari oleh Fischer dan Schrader pada tahun
1921 dengan prosedur pemanasan batubara pada suhu 320-400oC dengan adanya air di
dalam autoclave sehingga memungkinkan terjadinya upgrading batubara (batubara
brown coal dan lignite) serta terjadi pula desulfurisasi, pengeringan kadar air dengan
meningkatnya kualitas batubara dibandingkan sebelum diolah (Blazs, dkk, 1985). Pada
proses pemanasan batubara, batubara akan mulai mengalami perekahan pada suhu sekitar
200oC. Air dimasukkan ke dalam rektor autoclave mengalami proses pemanasan
(temperatur) sehingga terjadinya proses upgrading batubara yang menghasilkan berbagai
variasi seperti penghapusan gugus karboksil, gugus karbonil, rantai eter dan (Blazs, dkk,
1985). Prawisudha, dkk, 2010 menyatakan bahwa proses hidrotermal dengan
menggunakan suhu konstan 105oC sampel akan menurunkan kandungan air didalam
batubara dan pada suhu yang dipertahankan 550oC konstan mengurangi kadar abu.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan sulfur dan elemen-elemen
lainnya serta air dari batubara tersebut dapat dikurangi hingga sebesar 50 % dan hal ini
terjadi pada saat suhu telah mencapai titik kritis (Timpe, dkk, 2001). Percobaan yang
dilakukan oleh Nakajima, dkk (2010) menggunakan empat batubara peringkat rendah
(dua lignite dan dua batubara sub-bituminous) dengan menggunakan proses hidrotermal
pada suhu 200-3500C. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Mursito, dkk (2010)
uprgading batubara mengguakan proses hidrotermal dan dewatering dari gambut yang
dilakukan dalam reaktor autoclave tipe batch pada suhu antara 150 380 0C dengan
tekanan maksimum 25,1 MPa selama 30 menit. Sarkar, dkk (2004) menggunakan
treatment hidrotermal batubara pada suhu hingga 500 oC dengan tekanan 21-22 MPa.
Dapat disimpulkan bahwa proses hidrotermal merupakan suatu proses untuk
meningkatkan kualitas batubara dalam reaktor autoclave dengan suhu yang tinggi sekitar
300-500oC. Suhu yang digunakan dapat pula hingga titik kritis untuk menghilangkan
segala elemen ikutan pada batubara.
Treatment hidrotermal terjadi didalam reaktor autoclave sebagaimana terlihat pada
Gambar 2. Gambar 2 menggambarkan bagaimana proses yang terjadi pada metode
hidrotermal. Sampel dan air dimasukkan ke dalam reaktor autoclave, setelah itu diberikan
tekanan awal (N2). Temperatur diatur sesuai yang diinginkan. Jika telah mencapai suhu
yang diinginkan maka suhu diturunkan. Cara kerja penggunaan metode reaktor autoclave
adalah dengan cara pirolisis, dimana porositas akan membesar pada suhu tinggi dan
kembali menyusut saat suhu kembali normal (Mursito, 2010).

Anda mungkin juga menyukai