Anda di halaman 1dari 19

OBSTRUKSI SALURAN NAPAS ATAS PADA

ANAK

Pembimbing :

Dr. Tantri Kurniawati, Sp THT-KL, M.Kes


Dr. Zulrafli, Sp. THT-KL

Disusun Oleh :
Joni Indah Sari (112015295)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG


TENGGOROK, KEPALA DAN LEHER (THT KL)
RUMAH SAKIT BAYUKARTA KARAWANG
Periode 5 September 2016 s/d 8 Oktober 2016
Pendahuluan

Obstruksi saluran napas atas (OSNA) merupakan suatu


keadaan emergensi khususnya pada anak karena dapat
menyebabkan gagal napas yang kemudian dapat berlanjut
menjadi henti jantung . Definisi OSNA adalah obstruksi aliran
napas pada bagian saluran napas yang membentang dari mulut
sampai trakea, termasuk nasofaring dan laring.(1) OSNA pada
anak perlu mendapat perhatian khusus karena struktur anatomi
saluran napas atas anak yang lebih sempit dan mudah kolaps
dibandingkan dewasa. Oleh sebab itu, mengenal tanda awal,
memberikan penanganan awal, serta menyingkirkan diagnosis
banding OSNA pada anak penting bagi dokter umum sebelum
merujuk pada spesialis THT atau anestesiologis untuk dilakukan
tindakan lebih lanjut. Pada makalah ini akan dibahas mengenai
keunikan saluran napas anak dibandingkan saluran napas orang
dewasa, epidemiologi penyebab OSNA yang berguna bagi
klinisi menyingkirkan diagnosis banding, pendekatan klinis
pasien anak yang mengalami OSNA, serta akan dibahas
penyakit infeksi tersering yang menyebabkan OSNA pada anak,
yaitu croup, epiglottitis, dan trakeitis bakterialis.

Keunikan Saluran Napas Atas Anak

Secara anatomis, saluran napas manusia dibagi menjadi


saluran napas atas dan saluran napas bawah. Saluran napas atas
terbentang dari hidung, mulut, laring,sampai trakea. Saluran
napas atas pada anak memiliki beberapa keistimewaan, antara
lain : 1) oksiput yang relatif besar menyebabkan fleksi leher
pada posisi supinasi,(2) 2) lidah yang relatif besar,(2) 3) posisi
laring yang terletak anterior dan sefalik,(2) 4) epiglotis yang
berukuran relatif besar dan lebih lembek dan posisi yang lebih
vertikal,(2) 5) bagian tersempit saluran napas adalah pada level
kartilago krikoid yang bersifat non-distensi,(2) 6) saluran napas
anak sangat komplian dan kartilago masih belum berkembang
dibandingkan pada dewasa sehingga terjadi peningkatan resiko
kolaps saluran napas dinamik ketika terjadi obstruksi saluran
napas.(2) Neonatus dan bayi kecil terutama bernapas secara
ekslusif lewat hidung, sehingga obstruksi sedikit saja pada
hidung neonatus dan bayi dapat mengancam mereka pada gagal
napas.(2) Pada saat lahir, batas bawah kartilago krikoid terletak
setinggi batas bawah vertebra servikalis keempat. Pada anak
yang berumur 6 tahun batas terbawah laring adalah pada
vertebra servikalis kelima, dan pada dewasa batas bawah laring
adalah pada vertebra servikalis keenam.(3) Lokasi laring yang
terletak lebih superior pada anak membuat visualisasi struktur
laring menjadi lebih sulit karena angulasi yang lebih akut antara
dasar lidah dan pembukaan laring.(3) Pada bayi, epiglotis lebih
sempit, lembek, dan terletak lebih horizontal dibandingkan pada
orang dewasa. Oleh karena itu pada anak yang lebih kecil,
digunakan laringoskopi dengan blade lurus. Pada umur 4-5
tahun, epiglotis biasanya akan cukup keras sehingga visualisasi
menggunakan blade cekung bisa dilakukan.(3) Blade lurus akan
menyebabkan refleks vagal berupa bradikardia dan hipotensi
karena mengenai bagian inferior epiglotis dan inlet laring yang
dipersarafi N.Vagus. Sedangkan bila menggunakan blade
cekung, resiko refleks vagal lebih kecil terjadi karena ujung dari
blade cekung itu terletak antara permukaan epiglotis dan dasar
lidah yang dipersarafi oleh N.glossopharyngeus. Hal ini menjadi
alasan mengapa intubasi dan penanganan obstruksi saluran
napas atas yang memerlukan intubasi harus dilakukan di ruang
operasi dan dilakukan oleh klinisi yang berpengalaman.

Epidemiologi
Walaupun obstruksi total saluran napas merupakan
komplikasi yang jarang pada anak, namun indeks kecurigaan
obstruksi total saluran napas pada anak harus tinggi. Sebab
obstruksi saluran napas atas merupakan penyebab paling sering
henti jantung pada populasi anak.(2) Pada suatu studi ditemukan
bahwa obstruksi saluran napas berat menyumbang 3.3% admisi
pediatrik di ICU.(2) Penyebab obstruksi saluran napas atas paling
sering pada anak-anak yang datang ke departemen emergensi
adalah karena infeksi akut.(4) Infeksi ini paling sering disebabkan
oleh virus. Diantara ini semua, croup merupakan penyebab
tersering sedangkan difteri tetap menjadi penyebab paling serius
yang dapat membahayakan jiwa.(4) Walaupun insiden obstruksi
saluran napas atas karena infeksi telah berubah secara dramatis
selama beberapa dekade ini karena ditemukan dan
digencarkannya vaksinasi terhadap Difteri dan Hemophillus
influenzae, namun keduanya tetap menjadi salah satu penyebab
infeksi paling sering obstruksi saluran napas atas pada poluasi
pediatrik.(2) Beberapa waktu belakangan dilaporkan trakeitis
bakterial juga sebagai penyebab infeksi OSNA yang penting
pada populasi pediatrik. Pada suatu studi restrospektif yang
dilakukan tahun 1997-2006 didapatkan bahwa ternyata trakeitis
bakterial tiga kali lebih mungkin menyebabkan gagal napas
dibandingkan croup viral dan epiglottis bahkan ketika keduanya
digabung. (5) Pada masa bayi, penyebab non-infeksius tersering
OSNA adalah laringomalasia,(6) dan malasia pada saluran napas
tetap menjadi penyebab stridor kronik tersering.(2)

Etiologi
Penyebab OSNA pada anak diklasifikasikan sebagai akut
dan kronik, kemudian dibagi lagi menjadi penyebab infeksi dan
non-infeksi. Pembagian penyebab OSNA dapat dilihat pada
tabel 1. Pembagian ini penting agar klinisi segera dapat
membedakan penyebab infeksi dan non-infeksi untuk kemudian
memberikan terapi yang tepat.

Tabel 1. Penyebab obstruksi saluran napas atas yang sering pada


anak(2)
Akut Kronik
Infeksi Infeksi
Laringotrakeitis/laringotrakeobronkiti Hipertrofi adenotonsilar
s (croup) Tonsillitis kronis
Epiglotitis akut
Trakeitis bakterial
Difteri laring
Abses retrofaringeal
Abses peritonsilar/tonsilar
Angina Ludovici
Mononukleosis infeksiosa
Non-Infeksi Non-Infeksi
Benda asing di saluran napas Atresia koanal
Edema angioneurotik Laringomalasia
Trauma saluran napas (tajam/tumpul) Tumor laring (hemangioma,
Trauma bakar (kaustik/termal) papilloma, kistik higroma)
Paralisis pita suara Cincin vaskular
Disfungsi pita suara Stenosis trakeal/subglotis
Anomali kraniofasial
(contoh : Pierre-Robin
sequence)
Sindrom dismorfik ( contoh :
sindrom Crouzon, sindrom
Treacher-Collins)
Pendekatan Klinis pada Obstruksi Saluran Napas Atas pada
Anak
Obstruksi saluran napas atas merupakan keadaan
emergensi yang memerlukan evaluasi yang cepat, simultan
dengan terapi. Maka penting sekali mengenal dini tanda
obstruksi saluran napas atas. Setiap anak dengan distress
respiratorik dengan atau tanpa napas yang berisik patut dicurigai
mengalami obstruksi saluran napas. Tanda distres pernapasan
antara lain takipnea, penggunaan otot pernapasan tambahan,
gelisah, hipoksemia dan sianosis.(7) Temuan klinis yang khas
menandakan obstruksi saluran napas atas adalah stridor saat
inspirasi, tetapi juga bisa bifasik. Stridor adalah suara musikal,
kasar, dan bernada tinggi. Ketika pertama kali anak dibawa ke
instalasi emergensi dengan tanda distres pernapasan dan stridor
maka klinisi harus mencurigai OSNA. Selanjutnya klinisi harus
menentukan derajat obstruksi. Mengetahui derajat obstruksi
penting untuk menentukan penanganan awal apa yang harusnya
diberikan kepada pasien. Parameter derajat OSNA yang lazim
dipakai adalah menurut kriteria Jackson.

Stadium Tanda
Stadium 1 Pasien tenang + retraksi
suprasternal
Stadium 2 Pasien mulai gelisah + retraksi
suprasternal + retraksi
epigastrium
Stadium 3 Pasien gelisah dan dyspnea +
retraksi suptrasternal + retraksi
epigastrium + infraklavikula
dan intercostal
Stadium 4 Pasien sianosis, tenang +
retraksi semua otot napas
tambahan

Prinsip utama penanganan awal OSNA adalah


melancarkan aliran napas dengan terapi konservatif seperti anti-
inflamasi, anti-alergi, antibiotik, oksigen intermitten pada
Jackson grade 1. Pada Jackson stadium 2 dan 3 dapat dilakukan
intubasi entotrakea atau trakeostomi, dan pada stadium 4 karena
sudah sangat dekat dengan gagal napas, dapat dilakukan
krikotiroitomi. Bila saluran napas pasien sudah stabil, maka
investigasi lebih lanjut mengenai etiologi OSNA dapat
dilakukan. Investigasi terutama adalah melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang dilakukan pun harus
dilakukan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kegelisahan
pada pasien yang kemudian akan memperberat OSNA. Penting
diingat bahwa diagnosis OSNA terutama adalah diagnosis klinis,
jarang diperlukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
penunjang hanya dilakukan apabila derajat obstruksinya ringan
dan bila diagnosis pastinya belum dapat ditegakkan. Data yang
perlu diambil sewaktu anamnesis meliputi : onset stridor apakah
tiba-tiba atau perlahan, terus menerus atau intermitten, apakah
stridor dipengaruhi oleh perubahan posisi, menangis, atau
sewaktu makan. Gejala lain yang perlu ditanyakan antara lain
demam, batuk, perubahan kualitas suara, air liur yang banyak,
pembengkakan bibir, ruam eritem, rasa gatal, dll. Waktu
terjadinya stridor dapat menentukan lokasi anatomik obstruksi
itu terjadi dan mengetahui apakah sifat obstruksinya dinamik
atau terfiksasi.(2) Bila stridornya saat inspiratorik, maka
penyebabnya diperkirakan karena lesi ekstratoraks seperti
laringomalasia atau lesi pita suara, bila stridor bersifat
ekspiratorik penyebabnya diperkirakan berasal dari intratoraks
contohnya trakeomalasia atau kompresi ekstrinsik, dan bila
stridor terdengar bifasik, penyebabnya diperkirakan karena lesi
yang terfiksasi seperti seperti croup, massa laring atau laryngeal
web. Menurut hukum Holinger tentang saluran napas atas pada
anak dengan suara napas yang berisik, jika lebih berat ketika
tidur, obstruksi diperkirakan berasal dari nasal atau faring,
sedangkan bila gejala lebih berat ketika anak bangun atau
mengalami eksaserbasi, maka obstruksi diperkirakan berasal
atau terjadi di laring, trakea, atau bronkial. (2) Pemeriksaan fisik
harus mencakup inspeksi keadaan umum, tanda vital (suhu, laju
napas, saturasi O2, perfusi), bagaimana usaha napas, jenis
stridor, adakah adenopati servikal, pemeriksaan kepala, telinga,
hidung tenggorokan, jalan napas, suara napas tambahan. Yang
penting juga diingat bahwa klinisi tidak perlu melakukan
pemeriksaan dengan mengunakan spaltel lidah karena bisa
makin membuat anak gelisah dan makin menyebabkan obstruksi
saluran napas.

Infeksi
Seperti disebutkan sebelumnya pada bagian epidemiologi,
infeksi merupakan penyebab OSNA tersering pada anak,
terutama croup. Penyebab infeksi lain antara lain
laringotrakeitis, epiglottitis, dan trakeitis bakterial.

Croup (Laringotrakeobronkitis)
Penyebab utama croup adalah virus, tersering adalah virus
(2)
Parainfluenza. Croup mengacu pada inflamasi glottis dan
(8)
subglotis. Infeksi croup terjadi musiman, kejadiannya lebih
sering pada anak laki-laki. Usia predileksi croup adalah antara
1-6 tahun, paling sering usia 12-24 bulan.(2) Gejala yang
dialami mulanya adalah gejala prodromal berupa demam
subfebris, kongesti nasal.(8) Inflamasi dan edema yang terjadi
pada subglotis tidak dapat melebarkan cincin kartilago krikoid
yang kemudian akan menyumbat saluran napas di atasnya.
Penyempitan ini kemudian akan memberikan gejala khas berupa
stridor dan batuk yang menggongong (barking cough). Pada
anak yang lebih besar, suara serak menjadi gejala yang
signifikan dan mungkin merupakan gejala yang paling dominan.
(8) Suara serak, batuk yang menggonggong, dan stridor
biasanya hanya terjadi dalam periode yang pendek, yaitu hanya
12-24 jam.(8)
Diagnosis croup adalah secara klinis yang khas yaitu
berupa gejala stridor, batuk yang menggonggong, atau suara
serak yang diawali dengan gejala prodromal. Jarang diperlukan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap
ataupun radiografi. Pemeriksaan radiologi tidak rutin dilakukan
untuk menegakkan diagnosis croup, namun dapat dilakukan bila
diagnosis belum pasti dan dilakukan untuk membantu
mengidentikasi letak obstruksi. Gambaran radiologi yang khas
(8)
croup adalah steeple sign. Kebanyakan kasus croup bersifat
ringan dan self-limited. Kebanyakan pasien dengan croup dapat
rawat jalan, hanya <15% yang memerlukan hospitalisasi dan
(8)
hanya 1-5% yang memerlukan intubasi selama hospitalisasi.
Penting untuk menentukan kasus yang dapat mengarah pada
obstruksi saluran napas berat. oleh karena itu perlu anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang cermat. Pada kasus yang ringan,
gejalanya hanya batuk yang menggonggong dengan serak ringan
diikuti dengan gejala pernapasan atas seperti kongesti nasal,
rhinorrhea, atau radang tenggorokan. (8) stridor inspirasi bisa
terjadi atau tidak,(2) dan kalaupun terjadi stridor hanya terjadi
bila beraktivitas. (8) Pada setting klinis atau departemen
emergensi, anak dengan croup dapat diterapi dengan udara
humidifikasi dan kortikosteroid dosis tunggal. Udara
humidifikasi telah terbukti tidak efektif, (2) namun beberapa
bukti anektotal telah membuat terapi suportif ini menjadi standar
terapi pada croup, tidak peduli seberapa beratnya derajat
obstruksi.(8) Bila tidak ada gejala yang lebih berat seperti
stridor, takipnea, retraksi, atau agitasi maka anak dapat diterapi
sebagai pasien rawat jalan. (8) Sebagai pasien rawat jalan,
pasien hanya diterapi dengan antipiretik dengan anjuran minum
yang banyak.(2) Anak dengan croup derajat sedang memberikan
gejala batuk menggonggong dan stridor dengan retraksi ringan-
sedang saat istirahat. Pasien dengan croup derajat sedang juga
bisa memberikan gejala distress respiratorik, seperti takikardia,
takipnea ringan, dan retraksi dada tetapi masih bisa menelan
obat secara oral, interaktif, dan saturasi O2 nya masih baik,
yaitu >92% pada udara ruangan.(2) Pasien dengan croup berat
akan terlihat gelisah, letih, agitasi, dan berkurangnya intake oral.
(2) Pasien dengan croup berat memberikan gejala berupa stridor
yang nyata saat istirahat, walaupun gejala ini dapat seolah-olah
membaik seiring dengan semakin beratnya obstruksi dan
masuknya udara semakin berkurang.(8) Bila obstruksi subglotis
sudah hampir total, maka akan terjadi desaturasi oksigen dan
sianosis akan tampak jelas.(8) Pasien dengan croup derajat
sedang dan berat harus ditatalaksana di departemen emergensi
atau ruangan dengan peralatan alat bantu napas yang lengkap.
Prinsip terapi utama croup sedang dan berat adalah
Kortikosteroid. Pada satu studi disebutkan bahwa prinsip terapi
ini telah mengurangi hospitalisasi sebanyak 86%.(8) Semua
rute kortikosteroid (baik oral, nebulisasi, atau intramuscular)
sama efektif.(2) Walaupun pada praktis konvensional diberikan
Deksamethasone intramuscular dengan dosis 0.6 mg/kgBB,
tetapi dosis 0.15 mg/kg baru-baru ini direkomendasikan.(2)
Dosis maksimal parenteral Deksametason yang dipakai pada
beberapa studi adalah 10 mg, sedangkan dosis oral bisa sampai
20 mg. (2) Kebanyakan pasien dengan croup ringan dan sedang
dapat diterapi sebagai pasien rawat jalan dan dengan
kortikosteroid oral dan terapi suportif. Tetapi bila pasien berusia
< 6 tahun, anak yang membutuhkan terapi O2 suplemental,
pentingkatan usaha napas, letargi, atau intake oral yang buruk
seharusnya dirawat inap untuk observasi.(8) Selain
kortikosteroid, epinefrin nebulisasi dengan dosis 0.3-0.5 ml/kg
(maksimal 5 ml) yang dalam pengenceran 1:1000 dapat
digunakan untuk melegakan jalan napas secara cepat.(2)
Ventiasi dengan menggunakan bag mask dan intubasi
endotrakeal jarang diperlukan. Diperkirakan hanya 1% pasien
anak pada departemen emergensi yang memerlukan intubasi.
Kalaupun memerlukan intubasi, pilihannya adalah
menggunakan uncuffed endotracheal tube yang berukuran
setidaknya 0.5 mm lebih kecil dibandingkan ukuran
endotracheal tube standar sesuai umur.(8)
Epiglotitis (Supraglotitis)
Epiglotis paling sering ditemukan pada usia 2-6 tahun.
Penyebab tersering adalah H.influenzae, namun karena
maraknya vaksinasi HIB pada anak, insiden epiglottitis yang
disbebakan H.influenzae berkurang, digantikan dengan patogen
lain seperti Streptococcus dan Staphyloccoccus. (2) anak kecil
akan mengalami perburukan gejala yang cepat, berupa distres
respiratorik, demam tinggi, dan suara yang kecil/redup. (8)
Sedangkan anak yang lebih besar dan dewasa dapat mengalami
sakit tenggorokan yang berat. (8) Epiglotis sering diidentikkan
dengan singkatan 4D (disfaghagia, drooling, dysphonia,
dyspnea), dengan deskrispsi klasik seperti posisi posisi tripod.
(8) Stridor sering kali terjadi, tetapi tidak seperti croup, batuk
dan suara serak jarang ditemukan. (8) Sama seperti croup,
diagnsosis epiglottitis juga secara klinis. Diagnosis klinis
epiglottitis dapat dipresumsikan pada anak dengan gejala klasik
sumbatan jalan napas karena supraglotitis seperti stridor, posisi
posisi tripod, suara redup (muffled voice), dan tidak adanya
batuk.(8) Pemeriksaan fisik harus dilakukan dengan sangat hati-
hati karena bisa gelisah sedikit saja dapat mempresipitasi
sumbatan jalan napas. Pada anak yang lebih besar yang
kooperatif, pemeriksaan dengan spaltel lidah dapat
memperlihatkan pembesaran epiglotis. (8) Bila diagnosis belum
pasti dan tidak perlu tindakan emergensi segera dapat dilakukan
pemeriksaan berupa rontgen leher lateral atau laringoskopi
fleksibel. Rontgen lateral leher memberikan gambaran khas
berupa thumbprint sign. Penebalan plica aryepilgotika dengan
obliterasi ruang valekular penting juga sugestif epiglottitis.(8)
Beberapa ahli menyarankan intubasi elektif untuk menghindari
tindakan intubasi emergensi. Pada semua kasus yang dicurigai
sebagai epiglottitis, anak harus langsung dibawa ke PICU atau
ruang operasi secepat mungkin ditemani oleh tim dengan
personel yang profesional. Pada kasus obstruksi berat yang
dikarakteristikkan dengan stridor dengan retraksi, konsultasi ahli
THT dan anestesiologis harus dilakukan untuk penanganan jalan
napas.(8) Setelah dilakukan kultur antibiotik, dapat langsung
diberikan antibiotik intravena. Terapi empiris antibiotik
intravena yang diberikan adalah sefalosporin generasi ketiga
(Ceftriakson, Cefotaksim), diberikan selama 7-10 hari.(2)

Trakeitis Bakterialis
Disebut juga croup pseudomembran atau bacterial croup.
Usia median anak yang terkena adalah 5 tahun. Penyebab
terseringnya adalah Staphylococcus aureus. Trakeitis bakterial
merupakan suatu keadaan infeksi jalan napas atas yang
berbahaya yang hampir selalu terjadi akibat infeksi sekunder
mukosa subglotis, terjadi bersamaan dengan laringotrakeitis
viral.(8) Tidak seperti penyebab infeksi yang menyebabkan
obstruksi saluran napas yang lain, trakeitis bakterial sring
melibatkan saluran napas bawah. (8) Anamnesis yang khas
mengarahkan pada trakeitis bakterialis adalah progresivitas dari
laringotrakeitis yang cepat menjadi distress pernapasan,
tampilan klinis toksik, ortopnea, dan takipnea. Pada awal sakit,
inflamasi menyebabkan edema mukosa dengan penyempitan
lumen trakea. Seiring dengan berkembangnya penyakit, anak
dapat mengalami batuk produktif dengan eksudat yang purulen,
kental, dan banyak. Sekresi ini kemudian makin kental dan
dapat sulit dikeluarkan. Pada trakeitis bakterial yang paling
berat, trakeitis bakterial dapat menyebabkan obstruksi total pada
jalan napas trakeal atau subglotis. Pseudomembran terbentuk
sepanjang trakea. Ketika pseudomembran ini lepas, akan makin
menyumbat saluran napas sehingga memperberat obstruksi.
Endoskopi yang rigid atau fleksibel yang dilakukan dengan
anestesi umum memiliki peran penting dalam diagnosis dan
tatalaksana pengangkatan pseudomembran dan juga
mengarahkan pada tatalaksana selanjutnya yaitu intubasi.(2)
Kebanyakan anak dengan trakeitis bakterialis memerlukan
intubasi (53-91%).(8) Pilihan terapi IV antibiotic adalah
kombinasi sefalosporin generasi ketiga (Ceftriakson,
Cefotaksim) dengan penisilin anti-staphylococcal (Cloksasilin)
selama 10-14 hari.(2)

Penutup
OSNA merupakan suatu keadaan emergensi terutama pada
anak karena struktur saluran napas anak yang lebih sempit dan
gampang kolaps. Walaupun merupakan komplikasi yang jarang,
namun indeks kecurigaan klinisi akan OSNA pada anak harus
tinggi sebab obstruksi saluran napas yang berat dapat
mengarahkan anak pada henti jantung. Oleh karena itu
mendeteksi dini tanda obstruksi saluran napas atas yaitu tanda
distress pernapasan dan stridor penting. Setelah mencurigai
adanya sumbatan jalan napas yang perlu diperhatikan klinisis
adalah menjaga agar anak tidak gelisah sambil dilakukan
tindakan penjagaan saluran napas awal. Penentuan derajat
obstruksi penting dilakukan karena menentukan tindakan awal
apa yang harus dilakukan. Setelah dilakukan tindakan awal,
investigasi dapat dilakukan lebih lanjut untuk menentukan
etiologi dan tatalaksana definitif pada pasien anak selanjutnya.
Penyebab paling penting dan sering OSNA pada anak adalah
karena infeksi, terutama croup, epiglottitis, dan trakeitis
bakterialis. Diagnosis ketiganya terutama adalah secara klinis,
maka anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti sangat
diperlukan untuk menegakkan diagnosis.

Daftar Pustaka
1. Herth F. Clinical presentation, diagnostic evaluation, and
management of central airway obstruction in adults
[Internet]. Uptodate. 2016 [cited 2016 Oct 1]. Available
from: http://www.uptodate.com/contents/clinical-
presentation-diagnostic-evaluation-and-management-of-
central-airway-obstruction-in-adults
2. Mandal A, Kabra S, Lodha R. Upper airway obstruction in
children. Indian J Pediatr. 2015;82(8):73744.
3. Adewale L. Anatomy and assessment of the pediatric
airway. Pediatr Anesth. 2009;19(suppl.1):18.
4. Sasidaran K, Bansal A, Singhi S. Acute Upper Airway
Obstruction. Indian J Pediatr [Internet]. 2011;78(10):1256
61. Available from: http://dx.doi.org/10.1007/s12098-011-
0414-0
5. Hopkins A, Lahiri T, Salerno R, Heath B. Changing
Epidemiology of Life-Threatening Upper Airway
Infections: The Reemergence of Bacterial Tracheitis.
Pediatrics [Internet]. 2006 Oct 2;118(4):1418 LP 1421.
Available from:
http://pediatrics.aappublications.org/content/118/4/1418.ab
stract
6. Marcdante K, Kliegman RM. Nelson Essentials of
Pediatrics [Internet]. Elsevier Health Sciences; 2014.
Available from: https://books.google.co.id/books?
id=hsY0AwAAQBAJ
7. Jeena P. An approach to the child in respiratoryTitle. SA
Fam Pr [Internet]. 2008;5(30):324. Available from:
http://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/20786204.20
08.10873713
8. Virbalas J, Smith L. Upper airway obstruction. Pediatr Rev
[Internet]. 2015;36(2). Available from:
pedsinreiview.aappubications.org/content/36/2/62

Anda mungkin juga menyukai