Anda di halaman 1dari 3

Tulisan ini saya dedikasikan untuk pembaca sekaligus diri saya sendiri --

khususnya sebagai pengingat dikemudian hari kelak.

Yang saya sadari, kedewasaan membuat pola pikir manusia tentunya semakin
hari semakin berkembang. Tak jarang alur hidup membuat saya banyak
bertanya-tanya juga mencari, apa dan kenapa suatu hal bisa terjadi dengan
semestinya atau tidak. Paradigma atau nilai-nilai yang muncul dalam lingkungan
masyarakat dewasa ini terlihat lebih mengarah ke moderniasasi, tapi
pertanyaannya apakah hal yang selama ini kita anggap modern itu membuat
kita memiliki pandangan yang berada dijalurnya kah atau justru sebaliknya?.

Ah sudah cukup intronya. Kebanyakan.

Ketika banyak yang bertanya, Apa nggak sayang kuliah setinggi itu tapi pada
akhirnya hanya jadi ibu rumah tangga? Seorang muslimah sejati tak akan
enggan untuk menjawab, Im a full time mom and wife at home, and I Love it
tulis Ahmad Rifai Rifan dalam bukunya yang berjudul The Perfect Muslimah.
Ah mungkin akan kedengaran aneh bagi beberapa (atau ustru banyak) orang.
Sungguh bagi saya begitulah seorang Perfect Muslimah seharusnya.

Dapur, Sumur, Kasur. Tentu kita pernah dengar kata-kata seperti ini bukan?
Hari ini, kalimat seperti ini mungkin akan sangat dihindari oleh banyak
perempuan kesannya terlihat kuno atau rendah. Saya tiga atau empat tahun
lalu mungkin akan membenarkan perihal paradigma tersebut. Tapi kalau ditanya
bagaimana pandangan saya sekarang? Sungguh saya tahu bahwa tiga kata
tersebut adalah hal sakral bagai kaum Hawa. Efeknya terhadap paradigma
masyarakat (apalagi generasi Z) mungkin menciptakan generasi yang sepertinya
akan tidak siap membangun rumah tangga kelak. Jika hal seperti ini tidak cukup
profesional dikerjakan oeh seorang istri, lalu bagaimana dengan mengurus
anak?.

Bagi saya itu adalah pertanyaan besar yang memang patut untuk
dipertanyakan. Karena ini bukan perihal akan ada PRT yang bisa melakukan
tugas perihal Dapur atau Sumur. Tapi perihal bagaimana bakti seorang
perempuan terhadap suami dan anaknya kelak.

Mari kita tengok kisah yang diriwayatkan berikut ini (lihat: Nurul Abshar fi
Manaqib Ali Bait an-Nabi al Akhyar, Asy Syablanji al Mishri. Lihat juga: Hasyiyah
al Bujairimi untuk Al Minhaj):

Dikisahkan bahwa seseorang datang kepada Umar bin Khattab radhiallahu anhu
ingin mengadukan akhlak istrinya. Orang itu berhenti di depan pintu rumah
Umar menunggunya. Dia mendengar istri Umar juga sedang mengeluarkan
kalimat-kalimat keras kepada Umar dan Umar diam saja tidak menjawab.

Orang itu segera pergi sambil bergumam: jika demikian keadaan amirul
mukminin Umar bin Khattab, maka siapalah aku?

Umar keluar, dia melihat orang itu pergi. Umar pun memanggilnya: Apa
keperluanmu, wahai saudaraku?
Orang itu berkata: Wahai Amirul Mukminin, aku ingin mengadukan kepadamu
akhlak istriku dan beraninya dia kepadaku. Ternyata aku mendengar istrimu pun
melakukan hal yang sama. Maka aku pun pulang dan berkata: jika keadaan
amirul mukminin saja begini, maka siapalah aku.

Umar berkata kepada orang itu: Sesungguhnya aku sabar terhadap istriku
karena ia mempunyai hak terhadapku. Karena ia pemasak makananku,
pemanggang rotiku, penyuci pakaianku, penyusu anakku. Padahal hal itu
bukanlah kewajibannya. Dan hatiku tenang karenanya, tidak tergoda oleh yang
haram. Karenanya aku sabar menghadapinya.

Orang itu berkata: Wahai Amirul Mukminin, begitu pula istriku

Umar menasehatinya: Sabarlah menghadapinya wahai saudaraku, karena itu


hanya sebentar saja.

====

Sekelas Umar, yang merupakan petinggi diluar sana pun akan diam apabila
istrinya menaikkan intonasi suaranya, karena beliau tau bahwa apa yang
dikerjakan istrinya sungguh sebenarnya bukan merupakan kewajiban sang istri.
Sesungguhnya aku sabar terhadap istriku karena ia mempunyai hak
terhadapku. Karena ia pemasak makananku, pemanggang rotiku,
penyuci pakaianku, penyusu anakku. Padahal hal itu bukanlah
kewajibannya. Dan hatiku tenang karenanya, tidak tergoda oleh yang
haram. Karenanya aku sabar menghadapinya.

Jika kita kembali melihat penjelasan diatas, bukankah tiga kata kuno tersebut
justru bisa melanggengkan sebuah rumah tangga besar dalam sejarah
Islam?.sebegitu mulianya peran dan derajat seorang wanita, bukan?

Sungguh terkadang saya sendiri merasa miris terhadap bagaimana pendidikan


sesungguhnya yang orang tua berikan terhadap anaknya dewasa ini. Atau
minimal bagaimana kedekatan seorang ibu terhadap anaknya di masa ini? Tiba-
tiba tanpa terasa sang anak sudah beranjak dewasa dan justru dari pengasuhan
orang lain, PRT misalnya.

Atau pernah tau kisah Ibu Ainun Habibie tentang pernanya sebagai seorang Ibu?
Beliau tidak mau bekerja, padahal beliau adalah seorang dokter lulusan
Universitas Indonesia. Beliau berkata, sangat mungkin saya bekerja waktu itu.
Namun saya pikir, buat apa uang tambahan dan kepuasan batin jika akhirnya
diberikan pada perawat pengasuh anak bergaji tinggi dengan resiko kami sendiri
kehilangan kedekatan pada anak sendiri? Anak saya akan tidak mempunyai ibu.
Seimbangkah orangtua kehilangan anak, dibanding uang dan kepuasan
pribadi tambahan karena bekerja?. Dan perlu diketahui, tulisan itu dibuat
saat keluarga Pak Habibie masih sangat prihatin, untuk membeli mesin jahit saja
beliau harus mencicil lebih dari 2 tahun.
Jadi, masihkah Dapur, Sumur & Kasur, terlihat kuno?

--Depok, 24 Februari 2017.

Sumber : http://parentingnabawiyah.com ; Ahmad Rifai Rifan, 2016, The Perfect


Muslimah, Penerbit Quanta.

Anda mungkin juga menyukai