Metode Runge-Kutta Untuk Solusi Persamaan Pendulum PDF
Metode Runge-Kutta Untuk Solusi Persamaan Pendulum PDF
Metode Runge-Kutta Untuk Solusi Persamaan Pendulum PDF
SKRIPSI
Oleh
Nama : Rahayu Puji Utami
NIM : 4150401035
Program studi : Matematika
Jurusan : Matematika
Telah dipertahankan dihadapkan siding Panitia Ujian Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu
Hari :
Tanggal :
Panitia Ujian
Ketua, Sekretaris,
.
NIP. NIP.
Pembimbing II 2. .........................
NIP.
MOTTO
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya (Q.S. Al Baqoroh:
286)
PERSEMBAHAN
saudaraku tercinta.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., atas limpahan petunjuk dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Metode
1. Bapak Drs. H.A.T. Soegito, S.H., M.M. selaku Rektor Universitas Negeri Semarang.
2. Bapak Drs. Kasmadi Imam S., M.S. selaku Dekan FMIPA Universitas Negeri Semarang.
3. Bapak Drs. Supriyono, M.Si. selaku Ketua Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri
Semarang.
4. DR. ST. Budi Waluyo, M.Si selaku pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan
5. Drs. Moch Chotim, M.S selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, dan
7. Ayah dan Ibu yang senantiasa mendoakan serta memberikan dorongan baik secara moral
8. Sahabat-sahabatku Nanny, Lidia dan adikku mahda yang telah memberikan dorongan untuk
9. Mas Dwi yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.
10. Dea atau Yaya, Kakakku Yuni dan Kakakku Agus yang telah memberikan dorongan untuk
11. Teman-temanku Rina, Mey, Woro, Eli, Dwi, Taufik, Sigit, Ardi, Bowo, Doni, Aris dan
semua angkatan 2001 yang selalu memberiku semangat dan dorongan hingga selesainya
skripsi ini.
12. Adikku Isti dan Mas Gik yang selalu memberiku semangat dan dorongan hingga selesainya
skripsi ini.
13. Dan orang-orang yang telah memberikan inspirasi, baik disengaja maupun tidak, serta pihak-
pihak yang telah memberikan segala dukungan baik langsung maupun tidak langsung,
material maupun immaterial, hingga proses penyusunan skripsi ini berjalan dengan lancar
Penulis
DAFTAR ISI
LANDASAN TEORI
A. Persamaan Diferensial
matematika pada ilmu fisika. Persamaan diferensial dari hukum Newton II yang timbul
karena gejala alam, bahwa massa kali percepatan dari suatu benda sama dengan gaya luar
yang bekerja pada benda itu. Suatu benda bermassa m bergerak sepanjang sumbu y pada
d2y
sistem koordinat kartesius. Hukum Newton II dapat dituliskan sebagai m 2 = F , dengan
dt
F melambangkan gaya luar yang bekerja pada benda itu. Persamaan tersebut merupakan
persamaan diferensial karena memuat turunan dari fungsi yang tidak diketahui y(t) dengan
y sebagai variabel terikat yang tergantung pada variabel bebas t. Jadi persamaan diferensial
adalah persamaan yang memuat turunan-turunan dari satu atau lebih variabel terikat yang
tergantung pada satu atau lebih variabel bebas. Berikut ini disajikan beberapa contoh
persamaan diferensial:
dy
(1) = x + 10 ,
dx
d3y dy
(2) 2
+ 3 + 2y = 0,
dx dx
z z
(3) = z + x , dan
x y
2 z 2 z
(4) + = 0.
x 2 y 2
Suatu persamaan diferensial yang memuat turunan biasa dari satu atau lebih
varibel terikat yang tergantung pada varabel bebas tunggal disebut persamaan diferensial
biasa. Persamaan diferensial yang memuat turunan parsial dari satu atau lebih variabel
terikat yang tergantung pada variabel bebas yang tidak tunggal disebut persamaan
diferensial parsial. Persamaan diferensial (1) dan (2) adalah suatu contoh dari persamaan
diferensial biasa. Persamaan diferensial (3) dan (4) merupakan suatu contoh dari persamaan
diferensial parsial.
Orde dari persamaan diferensial adalah derajat atau pangkat tertinggi dari turunan
yang muncul dalam persamaan tersebut. Contoh (1) dan (3) adalah persamaan diferensial
orde satu, persamaan (4) merupakan persamaan diferensial orde dua, dan persamaan (2)
[ ]
F t , u (t ), u1 (t ), , u n (t ) = 0 .
Notasi di atas menyatakan hubungan antara varibel bebas t dan nilai-nilai dari fungsi
u , u (t ), u1 (t ), , u n (t ) .
Suatu fungsi y(t) yang didefinisikan pada suatu interval dikatakan solusi suatu
persamaan diferensial bila untuk variabel bebas t, maka nilai-nilai y(t) dan turunannya bila
persamaan diferensial:
d2y dy
1. Solusi dari persamaan diferensial y = C1e x + C2e 2 x + x adalah 2
3 + 2y = 0
dx dx
d3y d2y dy
3
3 2 + 2 = 0 untuk C sembarang konstan.
dx dx dx
Solusi pada persamaan diferensial dibedakan menjadi dua yaitu solusi umum dan
solusi khusus. Solusi umum suatu persamaan diferensial adalah solusi yang mengandung
sembarang konstan, sedangkan solusi khusus suatu persamaan diferensial adalah solusi
yang dapat diperoleh dengan memberikan nilai tertentu pada sembarang konstan yang
( )
tersebut linier atau nonlinier. Persamaan diferensial biasa F t , y, y1 , , y (n ) = 0 dikatakan
linier jika F adalah fungsi linier dari variabel y, y1 , , y (n ) , definisi yang sama dapat
diterapkan untuk persamaan diferensial parsial. Jadi persamaan diferensial orde-n secara
a0 (t ) y (n ) + a1 (t ) y (n 1) + + an (t ) y = F (t )
diferensial tidak dapat ditulis dalam bentuk tersebut maka dikatakan persamaan diferensial
dy
(1) + 3 xy 2 = sin x merupakan persamaan nonlinier,
dx
dy
(2) + 3 xy = sin x merupakan persamaan linier, dan
dx
d2y dy
(3) 2
+ 5 y + 6 y = 0 merupakan persamaan nonlinier.
dt dt
B. Metode Runge-Kutta
dimana (x1, y1, h) disebut suatu fungsi yang dapat diinterpretasikan sebagai sebuah slope
rata-rata sepanjang interval. Fungsi tersebut dapat ditulis dalam bentuk umum sebagai
berikut:
k1 = f(xi , yi ) (3)
Semua harga k berhubungan secara rekursif. Artinya k1 muncul dalam persamaan untuk k2,
yang muncul lagi dalam persamaan untuk k3, dan seterusnya. Rekurensi ini membuat
jumlah suku-suku yang berbeda pada fungsi tersebut seperti dinyatakan oleh n. Pada RK
orde pertama dengan n = 1 ternyata adalah metode Euler. Sekali n telah dipilih, harga-
harga untuk setiap a, p, dan q dievaluasikan dengan memberikan harga persamaan: yi+1 =
yi + h sama dengan suku-suku pada sebuah perluasan deret taylor. Jadi sekurang-
kurangnya untuk versi orde lebih rendah, jumlah suku n biasanya menunjukkan orde
pendekatan. Misalnya pada pasal berikut ini, metode RK orde kedua menggunakan sebuah
fungsi inkremen dengan dua suku (n = 2). Metode orde kedua ini akan eksak bila solusi
pemotongan lokal 0(h3) dan kesalahan global adalah 0(h2). Pada pasal-pasal berikutnya
dikembangkan metode RK orde ketiga dan keempat (n = 3 dan 4 ). Untuk kasus-kasus ini,
Metode Rungga-Kutta orde kedua versi orde kedua dari persamaan (1) atau yi+1 =
dengan:
k1 = f(xi,yi) (8)
Harga-harga untuk a1 dan a2, p1, q11 diselesaikan dengan menyamakan persamaan (7)
dengan menggunakan sebuah perluasan deret taylor terhadap orde kedua. Dengan ini dapat
menurunkan tiga persamaan untuk menyelesaikan empat konstanta yang tidak dikenal.
a1 + a2 = 1 (10)
1
a2 p1 = (11)
2
1
a2 q11 = (12)
2
Karena kita memilika tiga persamaan dengan empat yang tidak dikenal, kita harus
menganggap sebuah harga dari salah satu yang tidak dikenal tersebut untuk menentukan
ketiga buah yang lainnya. Misalkan kita nyatakan sebuah harga untuk a2. Kemudian
a1 = 1 - a2 (13)
1
p1 = q11 = (14)
2a2
Karena kita dapat memilih sejumlah tak hingga harga untuk a2, maka terdapat sejumlah tak
hingga metode RK orde kedua. Setiap versi akan mengandung hasil-hasil yang sama secara
eksak, jika solusi untuk PDB adalah kuadratik, linier atau sebuah konstanta. Tetapi versi-
versi itu mengandung hasil-hasil yang berbeda kalau (dalam kasus sejenis), solusi tersebut
adalah lebih rumit. Kita akan memberikan tiga buah versi yang paling lazim digunakan
1
Persamaan (13) dan (14) dapat diselesaikan untuk a1 = dan p1 = q11 = 1. Parameter-
2
1 1
yi+1 = yi + ( k1 + k2 ) h (15)
2 2
dengan:
k1 merupakan slope pada awal interval dan k2 adalah slope pada akhir interval.
Konsekuensinya metode RK orde kedua sebenarnya adalah teknik heun dengan sebuah
1
Metode Poligon yang diperbaiki (a2 = ). Jika dianggap a2 = 1, maka a1 = 0, p1
2
1
= q11 = dan persamaan (7) menjadi:
2
dengan:
1 1
k2 = f(xi + h, yi + hk1) (20)
2 2
2
telah menentukan serta memilih a2 = yang memberikan suatu batas minimal pada
3
1
kesalahan pemotongan untuk algoritma RK orde kedua. Untuk versi ini, a1 = dan p1 =
3
3
q11 = :
4
1 2
yi+1 = yi + ( k1 + k2 ) h (21)
3 3
dengan:
3 3
k2 = f(xi + h, yi + hk1) (23)
4 4
Contoh:
1. Gunakan metode poligon yang diperbaiki dan metode raltson untuk mengintegrasikan
Penyelesaian:
1 2
= (8,5) + (2,58203125) = 4,5546875
3 3
Gambar 1.1 Perbandingan solusi sebenarnya dan solusi numerik dengan menggunakan
Metode Runge-Kutta orde ketiga untuk n = 3, suatu turunan yang serupa dengan
penurunan buat metode orde kedua dapat dilaksanakan. Hasil dari turunan ini adalah enam
persamaan dengan delapan yang tidak dikenal. Karena itu, harga-harga untuk dua buah
yang tidak dikenal tersebut harus dispesifikasikan sebelumnya agar dapat menentukan
1
yi+1 = yi + [ (k1 + 4k2 + k3 )] h (24)
6
dengan:
1 1
k2 = f(xi + h, yi + hk1) (26)
2 2
Jika turunan tersebut hanyalah sebuah fungsi x, metode orde ketiga ini terediksi menjadi
1
aturan simpson . Raltson (1962) serta raltson dan rabinowitz (1978) telah
3
mengembangkan suatu versi alternatif yang memberikan sebuah batas minimal pada
kesalahan pemotongan. Pada sembarang hal, metode RK orde ketiga tersebut mempunyai
kesalahan-kesalahan lokal dan global masing-masing sebesar 0(h4) dan 0(h3) serta
mengandung hasil-hasil eksak jika solusi tersebut adalah sebuah kubik. Seperti terlihat
pada contoh berikut, jika kita berhadapan dengan polinomial, persamaan (24) juga akan
eksak bila persamaan diferensial adalah kubik dan solusi tersebut adalah kuadratik. Ini
1
disebabkan aturan simpson memberikan perkiraan integral yang eksak untuk kubik.
3
Contoh:
dy
= - 2x 3 + 12x2 20x + 8,5
dx
dy
= 4e0,8 0,5y
dx
dengan y(0) = 2 dari x = 0 hingga 1 serta ukuran langkah sebesar satu.
Penyelesaian:
menghitung:
1
y (0,5) = 1 + { [ 8,5 + 4 (4,21875) + 1,25 ]} 0,5 = 3,21875.
6
Jadi, karena solusi sebenarnya adalah sebuah polinomial orde keempat, aturan
1
simpson memberikan sebuah hasil yang eksak.
3
menghitung:
1
y (1,0) = 1 + { [ 3 + 4 (4,21729879) + 5,18486492 ]}1
6
= 6,175676681.
orde keempat. Seperti halnya pendekatan orde kedua, terdapat sejumlah tak hingga versi.
Yang berikut ini seringkali disebut dengan metode RK orde keempat klasik:
1
yi+1 = yi + [ (k1 + 2k2 + 2 k3 + k4 )] h (28)
6
dengan:
1 1
k2 = f(xi + h, yi + hk1) (30)
2 2
1 1
k3 = f(xi + h, yi + hk2) (31)
2 2
Pada PDB yang hanya merupakan fungsi dari x, metode RK orde keempat klasik adalah
1
ekuivalen pula terhadap aturan simpson .
3
Contoh:
dengan menggunakan ukuran langkah sebesar 0,5 dan suatu kondisi awal y = 1 pada x =
0.
Penyelesaian:
k3 = 4, 21875
k4 = - 2 (0,5)3 + 12 (0,5)2 20 (0,5) + 8,5 = 1,25
1
y (0,5) = 1 + { [ 8,5 + 2 (4, 21875) + 2 (4, 21875) + 1,25 ]} 0,5
6
= 3,21875.
Metode Runge-Kutta orde lebih tinggi. Bilamana diperlukan suatu hasil yang lebih teliti,
1
yi+1 = yi + h[ (7k1 + 32k3 + 12 k4 + 32 k5 + 7k6 )] (33)
90
dengan:
1 1
k2 = f(xi + h, yi + hk1) (35)
4 4
1 1 1
k3 = f(xi + h, yi + hk1 + hk2 ) (36)
4 8 8
1 1
k4 = f(xi + h, yi - hk2 + hk3 ) (37)
2 2
3 3 9
k5 = f(xi + h, yi + hk1 + hk4) (38)
4 16 16
3 2 12 12 8
k6 = f(xi + h, yi - hk1 + hk2 + hk3 - hk4 + hk5 ) (39)
7 7 7 7 7
taksiran kesalahan. Teknik tersebut terdiri dari suatu formula orde keempat:
25 1408 2197 1
yi+1 = yi + ( k1 + k3 + k4 + k5)h (40)
216 2565 4104 5
16 6656 28561 9 2
yi+1 = yi + ( k2 + k3 + k4 - k5 + k6)h
135 12825 56430 50 55
(41)
dengan:
1 1
k2 = f(xi + h, yi + hk1) (43)
4 4
3 3
k3 = f(xi + h, yi + hk1 + hk2 ) (44)
8 32
1 1
k4 = f(xi + h, yi - hk2 + hk3 ) (45)
2 2
3 3 9
k5 = f(xi + h, yi + hk1 + hk4) (46)
4 16 16
3 2 12 12 8
k6 = f(xi + h, yi - hk1 + hk2 + hk3 - hk4 + hk5 ) (47)
7 7 7 7 7
Sebagai contoh bandul sederhana atau persamaan ini sering disebut dengan
persamaan pendulum seperti gambar 1:
R
x
a
w y
Gambar 1 Sebuah diagram bebas dari bandul berayun memperlihatkan gaya-gaya pada
partikel serta percepatan.
Partikel dengan berat W tersebut digantungkan pada sebuah batang tanpa berat yang
panjangnya l. Gaya yang bekerja pada partikel hanyalah beratnya serta tegangan R pada
batang. Posisi partikel pada sembarang waktu dinyatakan dengan lengkap dalam sudut
dan l. Pada bandul berayun gaya bekerja pada partikel dan pada percepatan. Dalam hal ini
diterapkan hukum gerak Newton kedua dalam arah x yang menyinggung lintasan partikel,
yang diberikan dengan:
W
F = W sin =
g
a
dimana g adalah konstanta gravitasi (32,2 ft/dt2) dan a adalah percepatan dalam arah
x. Percepatan sudut partikel ( ) menjadi:
a
=
l
Karena itu, dalam koordinat polar ( = d2/dt2 ),
Wl Wl d 2
- W sin = a =
g g dt 2
atau
d 2 g
2
+ sin = 0.
dt l
B. Maple
diferensial dapat dipahami dengan baik. Keunggulan dari Maple untuk aplikasi persamaan
diferensial adalah kemampuan melakukan animasi (gerakan) grafik dari suatu fenomena
gerakan yang dimodelkan ke dalam persamaan diferensial yang mempunyai nilai awal dan
syarat batas.
evalf memberikan nilai numerik dari suatu persamaan, dan simplify digunakan untuk
restart dan deklarasi variable atau konstanta yang diperlukan tidak boleh diabaikan.
Sedangkan untuk membuat grafik digunakan perintah plot, plot 2d, plot 3d, tergantung
dimensi dari pernyataan yang dimiliki, untuk membuat animasi digunakan perintah animate
3d. Setiap perintah pada maple harus dituliskan setelah tanda maple prompt yang diakhiri
dengan titik dua (bila hasilnya tidak akan ditampilkan) atau titik koma (bila hasilnya akan
ditampilkan).
Maple merupakan salah satu perangkat lunak (software) yang dikembangkan oleh
waterloo inc. Kanada untuk keperluan computer algebraic System (CAS). Menu-menu yang
terdapat pada tampilan maple terdiri dari menu: file, edit, view, insert, format, spreadsheat,
option, window, dan help merupakan menu standar yang dikembangkan untuk program
sekaligus sebagai bahasa aplikasi, sebab pernyataan atau statement yang merupakan
masukan (input) pada maple merupakan deklarasi pada bahasa program dan perintah
yang diperoleh ke masalah nyata yang telah di modelkan. Maple sangat dibutuhkan untuk
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Langkah-langkah yang
A. Menemukan Masalah
Dalam tahap ini dicari sumber pustaka dan dipilih bagian dari sumber pustaka sebagai
suatu masalah.
B. Merumuskan Masalah
diselesaikan yaitu:
Runge-Kutta?
C. Studi Pustaka
Dalam tahap ini dilakukan kajian sumber-sumber pustaka dengan cara mengumpulkan
data atau informasi yang berkaitan dengan permasalahan, mengumpulkan konsep pendukung
seperti definisi dan teorema serta membuktikan teorema-teorema yang diperlukan untuk
berikut:
metode Runga-Kutta.
E. Penarikan simpulan
Tahap ini merupakan tahap akhir dari penelitian. Penarikan simpulan dari
PEMBAHASAN
Perhatikan persamaan pendulum atau persamaan ayunan dari partikel dengan berat W yang
digantung pada sebuah batang dan dengan panjang l. gaya yang bekerja pada partikel
hanyalah beratnya serta tegangan R pada batang. Posisi partikel pada sembarang waktu
dinyatakan dengan lengkap dalam sudut dan l. Gaya yang bekerja pada partikel serta
percepatan. Ada baiknya menerapkan hukum gerak Newton kedua dalam arah x yang
W
F = W sin =
g
a
Dengan g adalah konstanta gravitasi (32,2 ft/dt2) dan a adalah percepatan dalam arah x.
a
= .
l
Wl Wl d 2
- W sin = a = .
g g dt 2
Jadi
d 2 g
2
+ sin = 0. (1)
dt l
Solusi 1: Suatu persamaan diferensial dapat direduksi menjadi suatu bentuk yang dapat
3 5 7
sin = - + - +. (2)
3.! 5.! 7.!
Untuk simpangan sudut yang kecil, besarnya sin dapat disama dengan . Untuk
d 2 g
2
+ =0 (3)
dt l
yang merupakan sebuah persamaan diferensial liniear orde dua. Aproksimasi ini sangat
penting, karena persamaan (3) mudah diselesaikan secara analitis. Solusi yang didasarkan
g
(t) = 0 cos t (4)
l
d
dengan 0 adalah perpindahan pada t = 0 dan dianggap bahwa kecepatan ( v = ) dari
dt
partikel adlah nol pada t = 0. Waktu yang diperlukan oleh partikel menyempurnakan suatu
l
T = 2 .
g
Pada persamaan (3) ditransformasikan menjadi dua persamaan orde pertama supaya dapat
d 2
+ k = 0. (a)
dt 2
d
Tulis = y (b)
dt
dy d 2
Jelas = 2 . (c)
dt dt
dy
Jadi + k = 0 (d)
dt
dy
= - k .
dt
Jadi persamaan (b) dan (c) adalah pasangan dari persamaan orde pertama yang ekuivalen
= 0,2)
d 2x
Tulis + k = 0,
dt 2
d2
atau 2 y(x) + k sin y(x) = 0,
dx
d2
Jadi y(0) + k sin y(0) = 0, dan penyelesaiannya adalah:
dx 2
z 1
1 1
0 2 cos( f ) 2 cos(1) + 1
df+x-
0 2 cos( f ) 2 cos(1) + 1
df
dengan metode RK untuk x1:
untuk x2:
untuk x3:
untuk x4:
untuk x5:
untuk x6:
untuk x7:
untuk x8:
untuk x9:
untuk x10:
untuk x11:
> restart:
> with(plots):
> pdb := diff(y(x),x$2)+2*sin((y(x)))=0;
d2
pdb := 2 y( x ) + 2 sin( y( x ) ) = 0
d x
untuk x2:
untuk x3:
untuk x4:
untuk x5:
k1 = h/2 *f (x[n], y[n], yp[n]) = - 0,02264862990
untuk x6:
untuk x7:
untuk x8:
untuk x9:
untuk x10:
untuk x11:
1. Phase portrait persamaan (1) dengan k = 2 untuk y(0) = 1, y(0) = 0, y(0) = 2, y(0) = 0,
y(0) = 3, y(0) = 0, y(0) = -1, y(0) = 1, y(0) = -2, y(0) = 1, x = -10..10 dan y = -5..5, h =
2. Phase portrait persamaan (1) untuk k=1 dengan y(0)=1,y(0)=0 dapat dilihat pada
gambar
Phase portrait atau bidang fase merupakan bidang gerakan pergeseran y dan
dy
kecepatan = y sebagai koordinator persegi panjang. Bidang ini sangat penting untuk
dt
nonlinier. Gambar-gambar phase portrait diatas merupakan kurva solusi dari persamaan
pendulum atau persamaan ayunan. Grafik-grafik pada gambar 1 dan gambar 2 diatas
menggambarkan lintasan persamaan pendulum untuk beberapa nilai y(0) dan y(0). Pada
ganbar 1 dengan y(0) = 1, y(0) = 0, y(0) = 2, y(0) = 0, y(0) = 3, y(0) = 0, y(0) = -1,
y(0) = 1, y(0) = -2, y(0) = 1, pada gambar 2 dengan y(0) = 1, y(0) = 0, y(0) = 2, y(0) =
0, y(0) = 3, y(0) = 0, y(0) = -1, y(0) = 1, y(0) = -2, y(0) = 1 . Untuk jarak nilai antara
y(0) dan y(0) kecil akan menghasilkan kurva yang berbentuk gelombang yang teratur.
BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
d 2 g
menentukan solusi persamaan diferensial nonlinier 2
+ sin = 0 adalah sebagai
dt l
berikut:
x[n + 1] = x[n] + h
2. Dengan aplikasi program Maple untuk visualisasi persamaan pendulum diperoleh grafik
lintasan untuk beberapa nilai y(0) dan y(0). Dari grafik-grafik tersebut dapat dilihat
bahwa persamaan pendulum mempunyai karakteristik untuk beberapa nilai y(0) dan
y(0). Untuk jarak nilai antara y(0) dan y(0) kecil akan menghasilkan kurva yang
B. SARAN
1. Perlu diadakan pengkajian yang lebih mendalam mengenai penggunaan metode Runge-
Kutta untuk menentukan solusi persamaan pendulum khususnya dan diferensial nonlinier
2. Perlu diadakan pengkajian lebih lanjut apakah metode Runge-Kutta bisa berlaku untuk
3. Perlu diadakan pengkajian lebih lanjut mengenai metode-metode numerik lain selain
metode Runge-Kutta.
DAFTAR PUSTAKA
Edward B. Saff, R. Kent Nagle. Fundamentals of Diferential Equations and Boundary Value
Problems. 1993. USA: Addison-Wesley Publishing Company.
J.C. Ault, M.Sc, Frank Ayres, JR, Ph.D. Persamaan Diferensial dalam Satuan SI metric.
Jakarta: Erlangga.
Louis A. Pipes. Applied Mathematics for Engineers and Physicists. 1958. New York.
McGraw-Hill Book Company, Inc.
Raymond P. Canale, Steven C. Chapra. Metode Numerik Untuk Teknik Dengan Penerapan
Pada Komputer Pribadi. 1991. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Shepley L. Ross. Differential Equations. 1989. New York: John and Wiley & Sons.
Pada metode raltson, k1 untuk interval pertama juga berharga 8,5 maka:
1 2
= (8,5) + (2,58203125) = 4,5546875
3 3
a = Analitik
b = Euler
y c = Heun a
d = Poligon
4 b
c
Gambar 1.1 Perbandingan solusi sebenarnya dan solusi numerik dengan menggunakan
Metode Runge-Kutta orde ketiga untuk n = 3, suatu turunan yang serupa dengan
penurunan buat metode orde kedua dapat dilaksanakan. Hasil dari turunan ini adalah
enam persamaan dengan delapan yang tidak dikenal. Karena itu, harga-harga untuk dua
buah yang tidak dikenal tersebut harus dispesifikasikan sebelumnya agar dapat
3 2 12 12 8
k6 = f(xi + h, yi - hk1 + hk2 + hk3 - hk4 + hk5 ) (3.6f)
7 7 7 7 7
Sebagai contoh bandul sederhana atau persamaan ini sering disebut dengan
a
w y
Gambar 1 Sebuah diagram bebas dari bandul berayun memperlihatkan gaya-gaya pada
Partikel dengan berat W tersebut digantungkan pada sebuah batang tanpa berat
yang panjangnya l. Gaya yang bekerja pada partikel hanyalah beratnya serta tegangan R
pada batang. Posisi partikel pada sembarang waktu dinyatakan dengan lengkap dalam
sudut dan l. Pada bandul berayun gaya bekerja pada partikel dan pada percepatan.
Dalam hal ini diterapkan hukum gerak Newton kedua dalam arah x yang menyinggung
PENUTUP
C. SIMPULAN
d 2 g
menentukan solusi persamaan diferensial nonlinier 2
+ sin = 0 adalah sebagai
dt l
berikut:
x[n + 1] = x[n] + h
z 1
1 1
0 2 cos( f ) 2 cos(1) + 1
df+x-
0 2 cos( f ) 2 cos(1) + 1
df
2. Dengan aplikasi program Maple untuk visualisasi persamaan pendulum diperoleh grafik
lintasan untuk beberapa nilai y(0) dan y(0). Dari grafik-grafik tersebut dapat dilihat
bahwa persamaan pendulum mempunyai karakteristik untuk tiap-tiap nilai y(0) dan y(0).
Untuk jarak nilai antara y(0) dan y(0) kecil akan menghasilkan kurva yang berbentuk
B. SARAN
1. Perlu diadakan pengkajian yang lebih mendalam mengenai penggunaan metode Runge-
Kutta untuk menentukan solusi persamaan pendulum khususnya dan diferensial nonlinier
2. Perlu diadakan pengkajian lebih lanjut apakah metode Runge-Kutta bisa berlaku untuk
3. Perlu diadakan pengkajian lebih lanjut mengenai metode-metode numerik lain selain
metode Runge-Kutta.
DAFTAR PUSTAKA
Edward B. Saff, R. Kent Nagle. Fundamentals of Diferential Equations and Boundary Value
Problems. 1993. USA: Addison-Wesley Publishing Company.
J.C. Ault, M.Sc, Frank Ayres, JR, Ph.D. Persamaan Diferensial dalam Satuan SI metric.
Jakarta: Erlangga.
Louis A. Pipes. Applied Mathematics for Engineers and Physicists. 1958. New York.
McGraw-Hill Book Company, Inc.
Raymond P. Canale, Steven C. Chapra. Metode Numerik Untuk Teknik Dengan Penerapan
Pada Komputer Pribadi. 1991. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Shepley L. Ross. Differential Equations. 1989. New York: John and Wiley & Sons.
Lampiran 1
> restart:
> with(plots):
> with(DEtools):
d2
pdb := 2 y( x ) + k sin( y( x ) ) = 0
d x
sol := y( x ) = RootOf
_Z
1
d _f x +
1 1
d _f
2 k cos( _f ) 2 k cos( 1 ) + 1
2 k cos( _f ) 2 k cos( 1 ) + 1
0 0
> f:=(x,y,yp)->-2*sin(yp);
f := ( x, y, yp ) 2 sin( yp )
> h:=0.2;N:=10;x[0]:=0;y[0]:=1;yp[0]:=0.5;
h := 0.2
N := 10
x0 := 0
y0 := 1
yp0 := 0.5
h := 0.2
N := 20
x0 := 0
k1:=evalf(h/2*f(x[n],y[n],yp[n]));K:=evalf(h/2*(yp[n]+k1/2));k2:
=evalf(h/2*f(x[n]+h/2,y[n]+K,yp[n]+k1));k3:=evalf(h/2*f(x[n]+h/2
,y[n]+K,yp[n]+k2));L:=evalf(h*(yp[n]+k3));k4:=evalf(h/2*f(x[n]+h
,y[n]+L,yp[n]+2*k3));x[n+1]:=x[n]+h;y[n+1]:=y[n]+h*(yp[n]+1/3*(k
1+k2+k3));yp[n+1]:=yp[n]+1/3*(k1+2*k2+2*k3+k4);od;
> seq([x[n],y[n]],n=0..N):
k1 := -0.09588510770
K := 0.04520574462
k2 := -0.07864102030
k3 := -0.08180018910
L := 0.08363996218
k4 := -0.06601813295
x1 := 0.2
y1 := 1.082911579
yp1 := 0.3390714468
k1 := -0.06652231010
K := 0.03058102918
k2 := -0.05383747025
k3 := -0.05627639640
L := 0.05655901008
k4 := -0.04491729586
x2 := 0.4
y2 := 1.138950123
yp2 := 0.2285156670
k1 := -0.04530640556
K := 0.02058624642
k2 := -0.03643721152
k3 := -0.03817990754
L := 0.03806715190
k4 := -0.03031388552
x3 := 0.6
y3 := 1.176658355
yp3 := 0.1535641572
k1 := -0.03059226228
K := 0.01382680261
k2 := -0.02453243944
k3 := -0.02573479406
L := 0.02556587262
k4 := -0.02038346022
x4 := 0.8
y4 := 1.201980553
yp4 := 0.1030607607
k1 := -0.02057568278
K := 0.009277291930
k2 := -0.01647831491
k3 := -0.01729486170
L := 0.01715317980
k4 := -0.01368350958
x5 := 1.0
y5 := 1.218969448
yp5 := 0.06912557884
k1 := -0.01381410820
K := 0.006221852475
k2 := -0.01105665440
k3 := -0.01160725904
L := 0.01150366396
k4 := -0.009178986740
x6 := 1.2
y6 := 1.230362696
yp6 := 0.04635193824
k1 := -0.009267068430
K := 0.004171840402
k2 := -0.007415274000
k3 := -0.007785365315
L := 0.007713314584
k4 := -0.006155269410
x7 := 1.4
y7 := 1.238001903
yp7 := 0.03107739942
k1 := -0.006214479440
K := 0.002797015970
k2 := -0.004972071700
k3 := -0.005220472550
L := 0.005171385374
k4 := -0.004126997926
x8 := 1.6
y8 := 1.243123581
yp8 := 0.02083521080
k1 := -0.004166740676
K := 0.001875184046
k2 := -0.003333539656
k3 := -0.003500155534
L := 0.003467011054
k4 := -0.002766891678
x9 := 1.8
y9 := 1.246557261
yp9 := 0.01396820322
k1 := -0.002793549800
K := 0.001257142832
k2 := -0.002234884170
k3 := -0.002346609966
L := 0.002324318650
k4 := -0.001854970062
x10 := 2.0
y10 := 1.248859232
yp10 := 0.009364367172
k1 := -0.001872846062
K := 0.0008427944140
k2 := -0.001498290207
k3 := -0.001573199169
L := 0.001558233601
k4 := -0.001243585753
x11 := 2.2
y11 := 1.250402483
yp11 := 0.006277896983
>
> p3 :=plot({seq([x[n],y[n]],n=0..N)},x=0..10,style=point):
d
Dengan =2
l
> restart:
> with(plots):
> with(DEtools):
> pdb := diff(y(x),x$2)+2*sin((y(x)))=0;
d2
pdb := 2 y( x ) + 2 sin( y( x ) ) = 0
d x
sol := y( x ) =
_Z
1
RootOf
1
d _f + x
1
d _f
4 cos( _f ) 4 cos( 1 ) + 1
4 cos( _f ) 4 cos( 1 ) + 1
0 0
> f:=(x,y,yp)->-2*sin(yp);
f := ( x, y, yp ) 2 sin( yp )
> h:=0.2;N:=10;x[0]:=0;y[0]:=1;yp[0]:=0.5;
h := 0.2
N := 10
x0 := 0
y0 := 1
yp0 := 0.5
h := 0.2
N := 20
x0 := 0
k1:=evalf(h/2*f(x[n],y[n],yp[n]));K:=evalf(h/2*(yp[n]+k1/2));k2:
=evalf(h/2*f(x[n]+h/2,y[n]+K,yp[n]+k1));k3:=evalf(h/2*f(x[n]+h/2
,y[n]+K,yp[n]+k2));L:=evalf(h*(yp[n]+k3));k4:=evalf(h/2*f(x[n]+h
,y[n]+L,yp[n]+2*k3));x[n+1]:=x[n]+h;y[n+1]:=y[n]+h*(yp[n]+1/3*(k
1+k2+k3));yp[n+1]:=yp[n]+1/3*(k1+2*k2+2*k3+k4);od;
> seq([x[n],y[n]],n=0..N):
k1 := -0.09588510770
K := 0.04520574462
k2 := -0.07864102030
k3 := -0.08180018910
L := 0.08363996218
k4 := -0.06601813295
x1 := 0.2
y1 := 1.082911579
yp1 := 0.3390714468
k1 := -0.06652231010
K := 0.03058102918
k2 := -0.05383747025
k3 := -0.05627639640
L := 0.05655901008
k4 := -0.04491729586
x2 := 0.4
y2 := 1.138950123
yp2 := 0.2285156670
k1 := -0.04530640556
K := 0.02058624642
k2 := -0.03643721152
k3 := -0.03817990754
L := 0.03806715190
k4 := -0.03031388552
x3 := 0.6
y3 := 1.176658355
yp3 := 0.1535641572
k1 := -0.03059226228
K := 0.01382680261
k2 := -0.02453243944
k3 := -0.02573479406
L := 0.02556587262
k4 := -0.02038346022
x4 := 0.8
y4 := 1.201980553
yp4 := 0.1030607607
k1 := -0.02057568278
K := 0.009277291930
k2 := -0.01647831491
k3 := -0.01729486170
L := 0.01715317980
k4 := -0.01368350958
x5 := 1.0
y5 := 1.218969448
yp5 := 0.06912557884
k1 := -0.01381410820
K := 0.006221852475
k2 := -0.01105665440
k3 := -0.01160725904
L := 0.01150366396
k4 := -0.009178986740
x6 := 1.2
y6 := 1.230362696
yp6 := 0.04635193824
k1 := -0.009267068430
K := 0.004171840402
k2 := -0.007415274000
k3 := -0.007785365315
L := 0.007713314584
k4 := -0.006155269410
x7 := 1.4
y7 := 1.238001903
yp7 := 0.03107739942
k1 := -0.006214479440
K := 0.002797015970
k2 := -0.004972071700
k3 := -0.005220472550
L := 0.005171385374
k4 := -0.004126997926
x8 := 1.6
y8 := 1.243123581
yp8 := 0.02083521080
k1 := -0.004166740676
K := 0.001875184046
k2 := -0.003333539656
k3 := -0.003500155534
L := 0.003467011054
k4 := -0.002766891678
x9 := 1.8
y9 := 1.246557261
yp9 := 0.01396820322
k1 := -0.002793549800
K := 0.001257142832
k2 := -0.002234884170
k3 := -0.002346609966
L := 0.002324318650
k4 := -0.001854970062
x10 := 2.0
y10 := 1.248859232
yp10 := 0.009364367172
k1 := -0.001872846062
K := 0.0008427944140
k2 := -0.001498290207
k3 := -0.001573199169
L := 0.001558233601
k4 := -0.001243585753
x11 := 2.2
y11 := 1.250402483
yp11 := 0.006277896983
>
> p3 :=plot({seq([x[n],y[n]],n=0..N)},x=0..10,style=point):
10..10,[[y(0)=1,D(y)(0)=0],[y(0)=2,D(y)(0)=0],[y(0)=3,D(y)(0)=0]
,[y(0)=-1,D(y)(0)=1],[y(0)=-2,D(y)(0)=1]],y=-5..5,stepsize=.5);
Gambar 5 Phase portrait untuk y(0) = 1, y(0) = 0, y(0) = 2, y(0) = 0, y(0) = 3, y(0) = 0, y(0) =
> DEplot(diff(y(x),x$2)+2*sin((y(x)))=0,y(x),x=-
10..10,[[y(0)=1,D(y)(0)=0],[y(0)=2,D(y)(0)=0],[y(0)=3,D(y)(0)=0]
,[y(0)=-1,D(y)(0)=1],[y(0)=-2,D(y)(0)=1]],y=-5..5);
Gambar 6. deplot untuk y(0) = 1, y(0) = 0, y(0) = 2, y(0) = 0, y(0) = 3, y(0) = 0, y(0) = -1,