Anda di halaman 1dari 122

PERATURAN

KEPALA BADAN KEPENDUDUKAN


DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL
NOMOR: 228/PER/E1/2015

TENTANG

PEDOMAN
PENYEDIAAN SARANA PENUNJANG PELAYANAN KONTRASEPSI
DALAM PROGRAM KEPENDUDUKAN, KELUARGA BERENCANA
DAN PEMBANGUNAN KELUARGA

a
PERATURAN
KEPALA BADAN KEPENDUDUKAN
DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL

NOMOR: 228/PER/E1/2015

TENTANG

PEDOMAN
PENYEDIAAN SARANA PENUNJANG PELAYANAN KONTRASEPSI
DALAM PROGRAM KEPENDUDUKAN, KELUARGA BERENCANA
DAN PEMBANGUNAN KELUARGA

a
Judul Asli :

PEDOMAN
PENYEDIAAN SARANA PENUNJANG PELAYANAN KONTRASEPSI
DALAM PROGRAM KEPENDUDUKAN, KELUARGA BERENCANA
DAN PEMBANGUNAN KELUARGA
NOMOR : 228/E1/2015

Copyright 2015 by DITJALPEM BKKBN


Jl. Permata No. 1 Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur 13650
ISBN 978-602-14745-7-0

Diterbitkan pertama kali dalam Bahasa Indonesia oleh


Penerbit DITJALPEM BKKBN Jakarta, Juli 2015

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau


memperbanyak Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit

b
TIM PENYUSUN

Tim Penulis :
1. dr. Irma Ardiana, M.APS
2. Karnasih Tjiptaningrum, S.Kom, MPH
3. Muryanti, SE
4. Windi Sari Astuti, SAP

Kontributor :
1. Darlis Darwis, SE, MM (Ka. BIKUB)
2. Drs. Ipin Z.A. Husni, MPA (Ka. BIREN)
3. Drs. Beny Benu, M.Si. (Ka. PUSNA)
4. Setia Edi, SE, M.Kes. (Ka. BIHOM)
5. Suryono Nugroho, BE.ST.MMT (BPFK, Kemenkes RI)
6. Deddy Tedja S. (BUK, Kemenkes RI)
7. Zuharina (BUK, Kemenkes RI)
8. Lalu Rustam, SH, M.Si.
9. dr. Mila Yusnita
10. Farah Adibah, SIP, M.Si.
11. dr. Sofyan Zakaria
12. dr. Fajar Firdawati
13. dr. Wiwit Ayu Wulandari
14. dr. Yuliana Slamet
15. dr. Budi Utami H (Ditjalsus)
16. Toni Dwiyanto, SH, MPH (Ditjalswa)
17. Silvia A., S.Psi. (Ditjalswa)
18. Drs. Firdaus (Ditbinlap)
19. Iwan Setiawan, SH (BIHOM)
20. Purwo Evalianto, SE, M.Si. (BIKUB)
21. Muktiani Asrie (Ditlaptik)

Editor :
1. dr. Surya Chandra Surapaty, M.P.H.,Ph.D
2. Ir. Ambar Rahayu, MNS
3. Dr. Sanjoyo, MEc.
4. I Wayan Sundra, SH, MM

i
ii
SAMBUTAN
DEPUTI BIDANG KELUARGA BERENCANA DAN
KESEHATAN REPRODUKSI

Sesuai penjelasan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 Pasal


22 ayat (1), pelayanan keluarga berencana merupakan bagian dari
pelayanan kesehatan yang menjadi urusan wajib bagi Pemerintah
sebagai upaya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil
dan makmur. Telah dipertegas juga dalam Peraturan Presiden Nomor
12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, pemerintah dalam hal ini
BKKBN dan atau pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan
kebutuhan alat dan obat kontrasepsi bagi seluruh peserta Pasangan
Usia Subur (PUS) Jaminan Kesehatan Nasional. Untuk itu BKKBN sebagai
instansi penyelenggara pelayanan keluarga berencana menyiapkan
strategi antara lain penyediaan sarana dan prasarana serta jaminan
ketersediaan alat dan obat kontrasepsi yang memadai di setiap fasilitas
kesehatan KB dan jejaring pelayanan.
Menurut Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015
- 2019, kebijakan Program Kependudukan dan Keluarga Berencana
adalah untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan keluarga
berencana yang merata di setiap wilayah dan kelompok masyarakat.
Untuk menjabarkan strategi upaya peningkatan akses dan kualitas
pelayanan keluarga berencana, lampiran Peraturan Presiden Nomor
2 Tahun 2015 telah menetapkan outcome bidang keluarga berencana
dan kesehatan reproduksi yaitu meningkatnya kesertaan ber-KB
dengan indikator dari pembinaan kesertaan ber-KB melalui fasilitas
kesehatan dimana persentase fasilitas kesehatan yang mendapatkan
pemenuhan sarana sesuai dengan standar pelayanan KB sebesar 85%
di tahun 2019.

iii
Pedoman Penyediaan Sarana Penunjang Pelayanan Kontrasepsi
dalam Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan
Keluarga merupakan komitmen BKKBN dalam mewujudkan pelayanan
keluarga berencana yang berkualitas melalui pemenuhan sarana
penunjang pelayanan kontrasepsi yang aman, bermanfaat dan bermutu
di setiap fasilitas kesehatan KB. Buku Pedoman ini merupakan acuan
dan panduan yang digunakan bagi pengelola program KB di tingkat
Pusat, Provinsi, Kabupaten dan Kota serta di Fasilitas Kesehatan KB.
Selanjutnya diharapkan seluruh pasangan usia subur dapat
mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan serta
pengaturan kehamilan untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas,
sehingga akhirnya setiap keluarga membentuk keluarga kecil yang
bahagia dan sejahtera untuk terwujudnya negara Indonesia yang
sejahtera, adil dan makmur. Amin.

Jakarta , 17 Juni 2015
Deputi Bidang Keluarga Berencana
dan Kesehatan Reproduksi,

Dr. Sanjoyo, MEc.

iv
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena


berkat rahmat dan ridho-Nya, maka Pedoman Penyediaan Sarana
Penunjang Pelayanan Kontrasepsi dalam Program Kependudukan,
Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga telah diselesaikan
dengan baik. Pedoman ini disusun sebagai bagian dari upaya
Pemerintah dalam menjamin pelayanan Keluarga Berencana dan
Kesehatan Reproduksi bagi seluruh masyarakat Indonesia melalui
penyediaan sarana penunjang pelayanan kontrasepsi.

Penyediaan sarana penunjang pelayanan kontrasepsi yang


memadai di setiap fasilitas kesehatan KB dan jejaring pelayanan,
merupakan strategi untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan
keluarga berencana yang merata di setiap wilayah dan kelompok
masyarakat. Ketersediaan sarana hingga di fasilitas kesehatan KB
harus benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Komitmen bersama pemerintah pusat dan daerah diperlukan dalam
pemenuhan sarana penunjang pelayanan kontrasepsi hingga di setiap
fasilitas kesehatan KB. Untuk itu diperlukan pedoman guna menjamin
tercapainya tujuan pelayanan KB yang berkualitas.

Pedoman Penyediaan Sarana Penunjang Pelayanan Kontrasepsi


dalam Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan
Keluarga, dimaksudkan agar dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
pemenuhan sarana penunjang pelayanan kontrasepsi yang aman,
bermanfaat dan bermutu.

Akhirnya kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi


dalam penyusunan pedoman ini, kami mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya. Mudah-mudahan buku pedoman

v
ini dapat bermanfaat, khususnya bagi BKKBN Pusat, Perwakilan BKKBN
Provinsi dan Pengelola Program KB di tingkat provinsi dan kabupaten/
kota.

Jakarta, 17 Juni 2015


Direktur Bina Kesertaan KB
Jalur Pemerintah,

I Wayan Sundra, SH, MM

vi
DAFTAR AKRONIM

1. ABPK : Alat Bantu Pengambilan Keputusan


2. AKBK : Alat Kontrasepsi Bawah Kulit
3. AKDR : Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
4. ALOKON : Alat dan Obat Kontrasepsi
5. APBN : Anggaran Pendapatan Belanja Negara
6. APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
7. BKKBD : Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Daerah
8. BKKBN : Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional
9. BP3K : Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi
10. BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
11. BPOM : Badan Pengawas Obat dan Makanan
12. BPS : Badan Pusat Statistik
13. CPR : Contrateptive Prevalence Rate
14. CTU : Contraceptive Technology Update
15. CUKB : Cara Uji Klinik yang Baik
16. CYP : Couple Year Protection
17. DINKES : Dinas Kesehatan
18. DIPA : Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
19. FASKES : Fasilitas Kesehatan
20. FDA : Food and Drug Administration
21. FEFO : First Expired First Out
22. FIFO : First In First Out
23. HPS : Harga Perkiraan Sendiri
24. IUD : Intra Uterine Device
25. JKK : Jaminan Ketersediaan Kontrasepsi

vii
26. JKN : Jaminan Kesehatan Nasional
27. KB : Keluarga Berencana
28. KIA : Kesehatan Ibu dan Anak
29. KIE : Komunikasi, Informasi dan Edukasi
30. KIP/K : Komunikasi Inter Personal/Konseling
31. LPSE : Layanan Pengadaan Secara Elektronik
32. MKJP : Metode Kontrasepsi Jangka Panjang
33. MOW : Metode Operatif Wanita
34. PAD : Pendapatan Asli Daerah
35. PBI : Penerima Bantuan Iuran
36. PJKMU : Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat Umum
37. PMS : Post Marketing Drug Surveilance
38. PPK : Pejabat Pembuat Komitmen
39. PPM : Perkiraan Permintaan Masyarakat
40. PUS : Pasangan Usia Subur
41. RCT : Randomized Clinical Trials
42. R/R : Recording/Reporting
43. SBBK : Surat Bukti Barang Keluar
44. SBBM : Surat Bukti Barang Masuk
45. SDKI : Survei Demografi Kesehatan Indonesia
46. SJSN : Sistem Jaminan Sosial Nasional
47. SKPD-KB : Satuan Kerja Perangkat Daerah Keluarga
Berencana
48. SOP : Standar Operasional Prosedur
49. SPSE : Sistem Pengadaan Secara Elektronik
50. TFR : Total Fertility Rate
51. ULP : Unit Layanan Pengadaan

viii
DAFTAR ISI

TIM PENYUSUN ............................................................................. i


KATA SAMBUTAN ........................................................................... iii
KATA PENGANTAR .......................................................................... v
DAFTAR AKRONIM .......................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................... ix
PERATURAN KEPALA ...................................................................... xi
LAMPIRAN PERATURAN KEPALA ................................................... xvii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................ 1
B. Tujuan ......................................................................... 8
C. Sasaran Pengguna ....................................................... 8
D. Ruang Lingkup ............................................................ 9
E. Batasan Pengertian .................................................... 9

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI ................................................ 14
A. Kebijakan ................................................................. 14
B. Strategi ....................................................................... 14

BAB III PELAKSANAAN KEGIATAN ................................................. 15
A. Persiapan .................................................................... 15
B. Pelaksanaan ............................................................... 21
C. Pencatatan dan Laporan ............................................. 50
D. Pemantauan dan Evaluasi .......................................... 51

ix
BAB IV PENUTUP .......................................................................... 55

LAMPIRAN ..................................................................................... 59

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 96

x
PERATURAN
KEPALA BADAN KEPENDUDUKAN
DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL

NOMOR: 228/PER/E1/2015

TENTANG

PEDOMAN
PENYEDIAAN SARANA PENUNJANG PELAYANAN KONTRASEPSI
DALAM PROGRAM KEPENDUDUKAN, KELUARGA BERENCANA DAN
PEMBANGUNAN KELUARGA

xi
xii
PERATURAN
KEPALA BADAN KEPENDUDUKAN
DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL

NOMOR: 228/PER/E1/2015

TENTANG

PEDOMAN
PENYEDIAAN SARANA PENUNJANG PELAYANAN KONTRASEPSI
DALAM PROGRAM KEPENDUDUKAN, KELUARGA BERENCANA
DAN PEMBANGUNAN KELUARGA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPALA BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA


NASIONAL,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan akses


dan kualitas pelayanan KB, maka diperlukan
penyediaan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi yang bermanfaat dan bermutu;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan
penggunaan kontrasepsi yang rasional,
efektif dan efisien diperlukan berbagai
pilihan alat dan obat kontrasepsi secara
kafetaria yang membutuhkan ketersediaan
sarana penunjang pelayanan kontrasepsi;

xiii
c. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan huruf b perlu menetapkan Peraturan
Kepala tentang Pedoman Penyediaan Sarana
Penunjang Pelayanan Kontrasepsi dalam
Program Kependudukan, Keluarga Berencana
dan Pembangunan Keluarga;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004


tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4456);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063);
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5072);
4. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009
tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
161, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5080);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014

xiv
Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998
tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3781);
7. Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015;
8. Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 103 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Pemerintahan Non Departemen,
sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 3
Tahun 2013;
9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1191/MENKES/PER/
VIII/2010 tentang Penyaluran Alat Kesehatan;
10.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Cara
Distribusi Alat Kesehatan yang Baik;
11. Peraturan Kepala Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional Nomor 72/
PER/B5/2011 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Badan Kependudukan dan Keluarga

xv
Berencana Nasional sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Kepala Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional Nomor 273/PER/B4/2014;
12. Peraturan Kepala Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional Nomor 78/
PER/E3/2011 tentang Penyediaan Alat dan
Obat Kontrasepsi Gratis dalam Pelayanan
Keluarga Berencana bagi semua Pasangan
Usia Subur di daerah Provinsi;
13. Peraturan Kepala Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional Nomor 82/
PER/B5/2011 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Perwakilan Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional Provinsi;
14.
Peraturan Kepala Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana Nasional Nomor
92/PER/B5/2011 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Balai Pendidikan dan Pelatihan
Kependudukan dan Keluarga Berencana;
15. Peraturan Kepala Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional Nomor 165/
PER/E1/2011 tentang Pelayanan Keluarga
Berencana Metode Kontrasepsi Jangka
Panjang;

xvi
MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN KEPALA TENTANG PEDOMAN


PENYEDIAAN SARANA PENUNJANG
PELAYANAN KONTRASEPSI DALAM PROGRAM
KEPENDUDUKAN, KELUARGA BERENCANA DAN
PEMBANGUNAN KELUARGA.

KESATU : Pedoman Penyediaan Sarana Penunjang Pelayanan


Kontrasepsi dalam Program Kependudukan,
Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga
adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dari peraturan ini.

KEDUA : Pedoman Penyediaan Sarana Penunjang Pelayanan


Kontrasepsi dalam Program Kependudukan,
Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga
ini merupakan: a). Petunjuk bagi pemegang
kebijakan bagi pemerintah dan swasta dalam
upaya memenuhi kebutuhan sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi yang aman, bermanfaat
dan bermutu. b). Acuan bagi perwakilan BKKBN
provinsi, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten dan Kota dalam upaya penyediaan
sarana penunjang pelayanan kontrasepsi
serta pemanfaatannya guna mendukung
penyelenggaraan Program Kependudukan,
Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga.

KETIGA : Perwakilan BKKBN Provinsi, Pemerintah Daerah


Provinsi serta Pemerintah Daerah Kabupaten
dan Kota dapat menjabarkan dan menetapkan

xvii
lebih lanjut pelaksanaan penyediaan kebutuhan
sarana penunjang pelayanan kontrasepsi serta
pemanfaatannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta
kebutuhan di wilayah masing-masing.

KEEMPAT : Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan


dengan ketentuan apabila dikemudian hari
terdapat kekeliruan dan atau perubahan dalam
penetapan ini, akan diadakan pembetulan dan
atau penyesuaian sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Juni 2015
KEPALA BADAN KEPENDUDUKAN DAN
KELUARGA BERENCANA NASIONAL,

SURYA CHANDRA SURAPATY

xviii
BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL

LAMPIRAN
PERATURAN
KEPALA BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA
NASIONAL
NOMOR 228/PER/E1/2015

TENTANG
PEDOMAN
PENYEDIAAN SARANA PENUNJANG PELAYANAN KONTRASEPSI
DALAM PROGRAM KEPENDUDUKAN, KELUARGA BERENCANA
DAN PEMBANGUNAN KELUARGA

xix
xx
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Berdasarkan Undang-Undang 52 Tahun 2009 tentang


Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga dan
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, BKKBN mempunyai tugas melaksanakan
pemerintahan di bidang pengendalian penduduk dan keluarga
berencana. Program keluarga berencana merupakan suatu
program yang diselenggarakan dalam rangka pengaturan
kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, pengaturan
kehamilan, melalui promosi, perlindungan dan bantuan sesuai
dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang
berkualitas. Pengaturan kehamilan dalam konteks ini adalah
upaya untuk membantu pasangan suami-isteri untuk melahirkan
pada usia yang ideal, memiliki jumlah anak, dan mengatur jarak
kelahiran anak yang ideal dengan mengggunakan cara, alat dan
obat kontrasepsi.
Untuk memberikan jaminan yang menyeluruh bagi seluruh
masyarakat Indonesia, demi terwujudnya masyarakat yang
sejahtera, adil dan makmur sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional,
maka telah diluncurkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Dalam
penjelasan Undang undang Nomor 40 tahun 2014 Pasal 22
ayat (1) disebutkan bahwa pelayanan Keluarga Berencana
merupakan bagian dari pelayanan kesehatan untuk memberikan
jaminan pelayanannya bagi seluruh peserta jaminan. Kesiapan
Pemerintah khususnya BKKBN perlu dilakukan untuk mendukung
terlaksananya program Jaminan Kesehatan Nasiona (JKN)
termasuk pelayanan KB secara menyeluruh. Menurut Peraturan

1
Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, kebijakan
Program Kependudukan dan Keluarga Berencana adalah untuk
meningkatkan akses dan kualitas pelayanan keluarga berencana
yang merata di setiap wilayah dan kelompok masyarakat.
Kebijakan ini dijabarkan dalam beberapa strategi antara lain
penyediaan sarana dan prasarana serta jaminan ketersediaan alat
dan obat kontrasepsi yang memadai di setiap fasilitas kesehatan
KB dan jaringan/jejaring pelayanan.
Dukungan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang KB yang merupakan
bantuan kepada Kabupaten dan Kota tertentu, bertujuan untuk
mendanai kebutuhan prasarana dan sarana fisik program KB
guna mendukung Program Kependudukan, Keluarga Berencana
dan Pembangunan Keluarga (KKBPK). Salah satu kegiatan
prioritas DAK Bidang KB tahun 2015 yaitu penyediaan sarana dan
prasarana pelayanan KB dengan tujuan mendukung tercapainya
sasaran prioritas Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2015
yaitu menurunkan TFR dari 2,6 menjadi 2,37 yang ditandai
dengan meningkatnya persentase pemakaian kontrasepsi (CPR)
semua cara sebesar 65,2%.
Beberapa isu strategis yang terkait dengan penyediaan sarana
penunjang pelayanan kontrasepsi:

1. Belum terpenuhinya kebutuhan sarana penunjang


pelayanan kontrasepsi di seluruh Fasilitas Kesehatan KB
(Faskes KB).
Berdasarkan laporan Potensi Data Faskes KB Program
KKB Nasional pada semester II tahun 2014 diketahui
bahwa saat ini telah tercatat 27.542 Faskes KB. Faskes KB
tersebut berlokasi dan terintegerasi di fasilitas kesehatan
tingkat pertama atau tingkat lanjutan, yang dikelola oleh
pemerintah, pemerintah daerah, dan atau swasta (termasuk

2
Beberapa isu strategis yang terkait dengan penyediaan sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi:

1. Belum terpenuhinya kebutuhan sarana penunjang pelayanan kontrasepsi


di seluruh Fasilitas Kesehatan KB (Faskes KB).
Berdasarkan laporan Potensi Data Faskes KB Program KKB Nasional pada
semestermasyarakat)
II tahun 2014serta telah bahwa
diketahui teregistrasi dalam
saat ini Sistem Informasi
telah tercatat 27.542 Faskes
KB. Faskes KB tersebut
Manajemen (SIM)berlokasi dan terintegerasi
BKKBN melalui di fasilitas
Kartu Pendaftaran kesehatan
Fasilitas
tingkat pertama atau tingkat lanjutan, yang dikelola oleh pemerintah,
Kesehatan
pemerintah daerah,KBdan
(K/0/KB/13).
atau swasta Berdasarkan Perka Nomor
(termasuk masyarakat) 120telah
serta
tahun
teregistrasi 2014Sistem
dalam telah Informasi
terjadi perubahan
Manajemennomenklatur
(SIM) BKKBN Klinik
melaluiKBKartu
Pendaftaran Fasilitas Kesehatan KB (K/0/KB/13). Berdasarkan Perka Nomor
menjadi Faskes KB. Faskes KB dapat diklasifikasikan menjadi
120 tahun 2014 telah terjadi perubahan nomenklatur Klinik KB menjadi Faskes
4 (empat)
KB. Faskes KB dapatkategori berdasarkan
diklasifikasikan menjadiruang lingkup
4 (empat) pelayanan
kategori berdasarkan
ruang lingkup pelayanan yaitu Faskes KB Sederhana,
yaitu Faskes KB Sederhana, Faskes KB Lengkap, Faskes Faskes KB Lengkap,
KB
Faskes KB Sempurna dan Faskes KB Paripurna. Persentase Faskes KB
Sempurna dan Faskes
berdasarkan klasifikasinya adalah:
KB Paripurna. Persentase Faskes KB
berdasarkan klasifikasinya adalah:
Gambar 1. Jumlah dan Persentase Klasifikasi Faskes KB
Gambar 1. Jumlah dan Persentase Klasifikasi Faskes KB

Sederhana
Lengkap
Sempurna
Paripurna

Sumber: Direktorat Pelaporan dan Statistik, 2014


Sumber: Direktorat Pelaporan dan Statistik, 2014
Dari diagram terlihat bahwa lebih dari 90% Faskes KB di Indonesia
merupakan Faskes KB
Dari diagram sederhana.
terlihat bahwa Setiap Faskes
lebih dari 90%KB sesuai
Faskes KB dengan
di
kemampuan dan wewenangnya dilengkapi dengan sarana penunjang
Indonesia
pelayanan merupakan
kontrasepsi Faskes KB
untuk melakukan sederhana.
konseling Setiap Faskes
dan pelayanan KB.
KB sesuai dengan kemampuan dan wewenangnya dilengkapi
dengan sarana penunjang pelayanan kontrasepsi untuk
2
melakukan konseling dan pelayanan KB.

3
Tabel 1. Klasifikasi Faskes KB
Berdasarkan Persyaratan Minimal Sarana Faskes KB

Sumber: Peraturan Kepala BKKBN Nomor: 120/PER/G4/2014

Tabel di atas mengatur tentang persyaratan minimal sarana Faskes


KB yang harus dimiliki berdasarkan klasifikasi Faskes KB sesuai Perka
No. 120/PER/G4/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pencatatan
dan Pelaporan Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan
Pembangunan Keluarga. Namun untuk jumlah kebutuhan sarana
pelayanan kontrasepsi perlu disesuaikan dengan klasifikasi Faskes
KB (Tabel 2) dengan merujuk pada Buku Panduan Praktis Pelayanan
Kontrasepsi.

4
Tabel 2. Persyaratan Minimal Faskes KB

Sumber: Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, edisi 3

Tabel 3. Jumlah sarana penunjang pelayanan kontrasepsi dan rasio


terhadap jumlah Faskes KB yang ada (27.542 Faskes KB)

Sumber: Direktorat Pelaporan dan Statistik, 2014



Laporan K/0/KB/13 telah menginventarisir jumlah sarana di Faskes
KB tersebut dengan variasi rasio Faskes KB yang ada (Gambar 2). Dari
sejumlah sarana penunjang pelayanan kontrasepsi yang dipenuhi di
Faskes KB, rasio IUD kit dan tensimeter jumlahnya telah memadai.
Rasio meja ginekologi, implant kit dan niddle destroyer manual berada

5
pada angka yang relatif memadai namun belum sepenuhnya
mendukung pemenuhan kebutuhan pelaksanaan pelayanan
KB MKJP di setiap Faskes KB. Perlu menjadi perhatian bahwa
ketersediaan konseling kit sebagai sarana yang sangat
penting dalam pengenalan program KKB kepada masyarakat
masih sangat rendah.
Khusus untuk pemenuhan kebutuhan sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi di Faskes KB sempurna dan paripurna
seperti ketersediaan vasektomi kit, minilap kit, laparokator
dan micro surgery, rasio per masing-masing sarana telah
mencapai rata-rata 5 (lima). Untuk laparoskopi, rasio
pemenuhan kebutuhannya mencapai 4.06.

Tabel 4. Jumlah sarana penunjang pelayanan kontrasepsi dan rasio


pada Faskes KB Sempurna dan Paripurna (250 Faskes KB)

Sumber: Direktorat Pelaporan dan Statistik, 2014

2. Pelaksanaan jaminan kesehatan dalam Sistem Jaminan


Sosial Nasional melalui Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Kesehatan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan
menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang
sama dalam memperoleh akses atas sumberdaya di bidang
kesehatan. Menimbang setiap orang berhak atas jaminan
sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang
layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya

6
masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur,
Negara telah berkomitmen untuk memberikan perlindungan
sosial dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Sistem ini adalah suatu tata cara penyelenggaraan program
jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan
sosial yang bertujuan untuk menjamin seluruh rakyat agar
dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
Program jaminan sosial yang dijamin bagi seluruh
penduduk Indonesia mencakup jaminan kesehatan, jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan
jaminan kematian. Jaminan kesehatan akan dilaksanakan
secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan
ekuitas dengan tujuan agar peserta memperoleh manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan untuk memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan. Dalam penyelenggaraan jaminan
kesehatan, Pemerintah telah menunjuk PT. Askes melalui
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai BPJS kesehatan.
Badan ini mulai beroperasi pada Januari 2014 sebagai
badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan
program jaminan sosial. Pendekatan jaminan pelayanan
kesehatan yangdijamin oleh BPJS meliputi pelayanan
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative. Salah satu
paket manfaat yang ditetapkan dalam manfaat pelayanan
promotif dan preventif adalah keluarga berencana termasuk
didalamnya adalah konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi
dan tubektomi.
Sesuai roadmap BPJS asumsi jumlah faskes yang bekerjasama
dengan BPJS kesehatan untuk FKTP yaitu tahun 2014 sebesar
24.318, tahun 2015 jumlahnya mencapai 31.048, tahun
2016 jumlahnya mencapai 36.850, tahun 2017 jumlahnya
mencapai 43.884, tahun 2018 jumlahnya mencapai 51.156

7
hingga pada tahun 2019 diasumsikan faskes yang sudah
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan jumlahnya mencapai
51.498 faskes.
Sesuai Renstra BKKBN 2015 2019, total faskes baik FKTP
maupun FKRTL yang diasumsikan bekerjasama dengan
BPJS kesehatan dan perlu dilakukan pemenuhan sarana
penunjang pelayanan kontrasepsi sesuai dengan standar
pelayanan KB sebanyak 85% dari 53.342 faskes atau sebanyak
45.340 faskes. Target untuk pemenuhan sarana per tahun
yaitu tahun 2015 sebesar 29,4% atau sebanyak 2.424 faskes,
tahun 2016 sebesar 43,3% atau sebanyak 7.413 faskes, tahun
2017 sebesar 57,2% atau sebanyak 7.413 faskes, tahun 2018
sebesar 71,1% atau sebanyak 7.413 faskes dan pada tahun
2019 mencapai 85% atau sebanyak 7.413 faskes.

B. TUJUAN

Tujuan
a. Umum
Terwujudnya pelayanan kontrasepsi yang berkualitas melalui
pemenuhan kebutuhan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi yang aman, bermanfaat dan bermutu.
b. Khusus
1) Terpenuhinya kebutuhan sarana penunjang non medis
pelayanan kontrasepsi
2) Terpenuhinya kebutuhan sarana penunjang medis
pelayanan kontrasepsi

C. SASARAN PENGGUNA
1. Pemerintah Pusat

8
2. Pemerintah Daerah Provinsi
3. Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota
4. Fasilitas kesehatan

D. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup pedoman penyediaan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi dalam program kependudukan, keluarga berencana
dan pembangunan keluarga, meliputi:
1. Pemetaan
2. Perencanaan
3. Pengadaan
4. Penerimaan, penyimpanan dan pendistribusian
5. Penempatan dan pemanfaatan
6. Pemeliharaan
7. Pengujian, sistem penarikan kembali, penggantian/
pemusnahan
8. Pencatatan dan pelaporan

E. BATASAN PENGERTIAN
1. Sarana penunjang pelayanan kontrasepsi adalah sarana yang
dibutuhkan untuk penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi
yang terdiri dari sarana penunjang medis dan non medis.
Sarana penunjang medis pelayanan kontrasepsi meliputi
laparoskopi tanpa monitor, laparoskopi dengan monitor,
IUD kit, implan removal kit, vasektomi tanpa pisau (VTP)
kit,obgyn bed, minilap kit,dry sterilization dan ADS (Auto
Disable Syringe) . Sedangkan Peralatan non-medis pelayanan
kontrasepsimeliputi Alat Bantu Pengambilan Keputusan
(ABPK), Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi (BP3K)
dan materi KIE.

9
2. Fasilitas Kesehatan KB adalah fasilitas yang mampu
memberikan pelayanan kontrasepsi, berlokasi dan
terintegrasi di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
dan atau jejaring/jaringannya dan di Fasilitas Kesehatan
Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL), dikelola oleh pemerintah
termasuk TNI dan Polri maupun swasta dan LSOM serta
telah terdaftar di dalam data K/0/KB/13 dan bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan.
3. Fasilitas Kesehatan KB sederhana adalah fasilitas yang
mampu memberikan pelayanan KB yang meliputi konseling,
pemberian pil KB, suntik KB, kondom, penanggulangan
efek samping dan komplikasi sesuai dengan kemampuan
fasilitas kesehatan serta upaya rujukan. Yang termasuk
dalam fasilitas kesehatan KB sederhana ini adalah fasilitas
kesehatan tingkat pertama.
4. Fasilitas Kesehatan KB lengkap adalah fasilitas yang mampu
memberikan pelayanan KB seperti pada, pemasangan/
pencabutan IUD dan atau pelayanan vasektomi. Yang
termasuk dalam fasilitas kesehatan KB lengkap ini
adalahfasilitas kesehatan tingakat pertama.
5. Fasilitas Kesehatan KB Sempurna adalah fasilitas yang mampu
memberikan pelayanan KB seperti pada fasilitas kesehatan
KB lengkap ditambah dengan pemberian pelayanan KB
tubektomi/MOW. Yang termasuk dalam fasilitas kesehatan
KB sempurna ini adalah fasilitas kesehatan tingkat lanjutan.
6. Fasilitas Kesehatan KB Paripurna adalah fasilitas yang mampu
memberikan pelayanan KB seperti pada fasilitas kesehatan
KB sempurna ditambah dengan pelayanan rekanalisasi dan
penanggulangan infertilitas. Yang termasuk dalam fasilitas
kesehatan KB paripurna ini adalah fasilitas kesehatan KB
paripurna ini adalah fasilitas kesehatan lanjutan.

10
7. Laparoskopi adalah alat yang difungsikan untuk memotong
saluran telur pada tubektomi dan atau pemeriksaan/
tindakan di dalam rongga perut.
8. Pemetaan adalah kegiatan identifikasi kebutuhan
pemenuhan sarana penunjang pelayanan kontrasepsi yang
berguna untuk proses perencanaan penyediaan sarana.
9. Pelabelan adalah etiket/label, brosur atau bentuk penyataan
lainnya yang ditulis, dicetak atau digambar, ditempelkan
pada alat atau wadah atau pembungkus atau menyertai
alat, berisi identifikasi deskripsi teknis dan penggunaan alat
kesehatan dan atau Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
(PKRT).
10. Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) adalah alat,
bahan, atau campuran untuk pemeliharaan dan perawatan
kesehatan untuk manusia, hewan peliharaan rumah tangga
atau tempat-tempat umum.
11. Perencanaan adalah proses yang dilakukan untuk
memperkirakan, menentukan, memperhitungkan, dan
menyusun skala prioritas kebutuhan menurut jenis, jumlah,
kualitas, biaya, tempat dan waktu.
12. Pengadaan adalah kegiatan yang meliputi suatu usaha untuk
menambah dan memenuhi kebutuhan sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi berdasarkan kebutuhan dan
peraturan serta perundang-undangan yang berlaku.
13. Penerimaan adalah suatu kegiatan menerima alokon program
kependudukan dan KB melalui proses pemeriksaaan yang
mencakup: a) Tanggal penerimaan, b) Jenis dan merek serta
kualitas kontrasepsi, C) Jumlah ( kotak, berat, volume, paket
blster, vial, unit, dll), d) Harga satuan, e) kondisi ketika alokon
dan non alokon tersebut diterima, f) Tanggal pembuatan
tahun produksi, g) Tanggal kadaluarsa, h) Nomor Batch

11
14. Penyimpanan adalah kegiatan penempatan, penataan,
pencatatan dan pemeliharaan alokon dan non alokon di
gudang disemua tingkatan wilayah
15. Penyaluran adalah kegiatan pengiriman sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi ke tempat-tempat penyimpanan
(gudang) dan atau pelayanan berdasarkan pemesanan/
permintaan (by request atau pull system) dan tanpa
permintaan (by no request atau push system).
16. Push distribution system adalah sistem distribusi yang
dilakukan berdasarkan dropping/non request.
17. Pull distribution system adalah system distribusi yang
dilakukan berdasarkan permintaan/ on request.
18. Penempatan adalah kegiatan menempatkan sarana
penunjang pelayanan kontrasepsi yang didasari pada
pertimbangan kebutuhan dan daya guna sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi di Faskes KB.
19. Pemanfaatan adalah kegiatan penilaian daya guna sarana
penunjang pelayanan kontrasepsi terhadap pencapaian
peserta KB baru dan atau peserta KB aktif berdasarkan pada
ukuran tertentu.
20. Pemeliharaan adalah uapya yang dilakukan untuk memenuhi
persyaratan keamanan dan kemanfaatan sarana penunjang
ynag dilakukan sejak dilakukan kegiatan produksi sampai
peredaran sarana.
21. Pengujian adalah upaya yang dilakukan untuk melindungi
masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan
sarana penunjang yang tidak memenuhi persyaratan mutu
keamanan dan kemanfaatan. Pengujian ini dilakukan
secara berkala atau karena adanya data atau infomasi baru
berkenaan dengan efek samping sarana penunjang bagi
masyarakat.

12
22. Kalibrasi adalah serangkaian kegiatan yang membentuk
hubungan antara nilai yang ditunjukkan oleh instrument
pengukur atau sistem pengukuran, atau nilai yang diwakili
oleh bahan ukur, dengan nilai nilai yang sudah diketahui
yang berkaitan dari besaran yang diukur dalam kondisi
tertentu.
23. Penarikan kembali adalah upaya yang dilakukan oleh badan
usaha yang memproduksi dan atau mengedarkan sarana
penunjang kesehatan (alat kesehatan) karena dicabutnya ijin
edar sarana penunjang tersebut.
24. Pemusnahan adalah upaya yang dilakukan oleh badan usaha
yang memproduksi atau mengedarkan alat kesehatan dan
atau orang yang bertanggung jawab atas sarana dan atau
pemerintah terhadap alat kesehatan yang: a) diproduksi tanpa
memenuhi persyaratan yang berlaku, b) telah kadaluarsa, c)
Tidak memenuhi syarat untuk digunakan dalam pelayanan
kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan, d) dicabut
izin edarnya, e) berhubungan dengan tindak pidana dibidang
sediaan farmasi dan alat kesehatan.
25. Pinjam Pakai yaitu penyerahan penggunaan barang antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dan antar
Pemerintah Daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa
menerima imbalan dan setelah jangka waktu tersebut
berakhir diserahkan kembali kepada pengelola.
26. Pencatatan dan pelaporan adalah kegiatan administratif
(penatausahaan) mulai dari proses penerimaan,
penyimpanan, dan pengeluaran, penyaluran/
pengiriman sampai dengan pelaporan kondisi persediaan
sarana penunjang pelayanan kontrasepsi di tempat
penyimpanannya.

13
BAB II
KEBIJAKAN DAN STRATEGI

Dengan mempertimbangkan isu strategis yang merupakan tantangan


pelayanan kontrasepsi ke depan, maka kebijakan dan strategi
yang ditetapkan adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan sarana
penunjang pelayanan kontrasepsi yang memperhatikan aspek mutu,
keamanan dan kemanfaatan baik dari sisi akseptor maupun dari sisi
provider kesehatannya.

A. KEBIJAKAN
Kebijakan dalam rangka penyediaan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi mencakup:
1. Penyediaan sarana penunjang pelayanan kontrasepsi di
fasilitas kesehatan;
2. Penjaminan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sarana
penunjang pelayanan kontrasepsi.

B. STRATEGI
Strategi dalam rangka menerjemahkan kebijakan tersebut di atas
adalah sebagai berikut:
1. Menyusun rencana kebutuhan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi yang mempertimbangkan kemanfaatan dan
pemerataan pelayanan;
2. Menetapkan standar mutu dan keamanan sebagaimana
diatur dalam perundang-undangan tentang penyediaan
sarana penunjang pelayanan;
3. Melakukan monitoring dan evaluasi sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi.

14
BAB III
PELAKSANAAN KEGIATAN

A. PERSIAPAN

1. Pusat
a. Meminta usulan rencana kebutuhan provinsi
BKKBN Pusat melakukan pemetaan kebutuhan sarana
penunjang pelayanan kontrasepsi berdasarkan analisis
kebutuhan sarana dari masing-masing provinsi. Usulan
rencana kebutuhan dikirimkan oleh perwakilan BKKBN
provinsi setiap tahunnya pada bulan Mei - Juni sesuai
format yang ada ke BKKBN Pusat cq. Direktorat Bina
Kesertaan KB Jalur Pemerintah.
b. Melakukan kajian usulan rencana kebutuhan provinsi
Kajian usulan rencana kebutuhan sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi dari masing-masing provinsi
dibahas bersama antara Biro Perencanaan, Biro
Keuangan dan Pengelolaan BMN, Direktorat Bina
Kesertaan KB Jalur Pemerintah, Direktorat Bina
Kesertaan KB Jalur Swasta, Direktorat Pelaporan
dan Statistik, Direktorat Teknologi Informasi dan
Dokumentasi serta Inspektorat Wilayah II berdasarkan
pada beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1) Jumlah fasilitas kesehatan KB yang telah diregister
dalam K/O/KB beserta jejaring/jaringannya dan
telah melakukan perjanjian kerjasama dengan
BPJS Kesehatan;
2) Kebutuhan medis dan non medis sarana
penunjang sesuai dengan standar pelayanan di
Fasilitas Kesehatan;

15
3) Rasio ketersediaan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi di Fasilitas Kesehatan;
4) Optimalisasi pemanfaatan sarana penunjang
pelayanan sesuai dengan arah kebijakan dan lokus
garapan program;
5) Penyusutan nilai ekonomis barang, merupakan
selisih jumlah sarana penunjang yang masih
layak pakai dan jumlah sarana penunjang yang
didistribusikan.
Sumber informasi:
a. Potensi data klinik BKKBN setiap satu semester;
b. Data fasilitas kesehatan yang telah bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan.
c. Melakukan telaah usulan kebutuhan provinsi
Usulan rencana kebutuhan provinsi dan hasil pemetaan
yang dilakukan di Pusat kemudian ditelaah pada bulan
Juli - Agustus untuk menentukan jenis dan jumlah
sarana penunjang pelayanan dengan menerapkan
skala prioritas dan memperhatikan kemampuan fiskal
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Dana
Alokasi Khusus (DAK) tahun berikutnya.
d. Menyusun rencana kebutuhan yang telah disetujui
Pimpinan ke dalam daftar usulan rencana kebutuhan
program nasional
Direktorat Bina Kesertaan KB Jalur Pemerintah
(Ditjalpem) mengajukan daftar usulan rencana
kebutuhan program berupa sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi secara nasional setiap tahunnya
pada bulan Agustus atau sebelum dilaksanakannya
koordinasi perencana komponen (koren) II kepada

16
Biro Perencanaan untuk disetujui. Selanjutnya disusun
rencana distribusi atas usulan yang telah disetujui oleh
Biro Perencanaan.

2. Provinsi

a. Meminta usulan rencana kebutuhan kabupaten/kota


Perwakilan BKKBN Provinsi melakukan pemetaan
kebutuhan sarana penunjang pelayanan kontrasepsi
berdasarkan analisis dan usulan kebutuhan sarana
dari masing-masing kabupaten/kota. Usulan rencana
kebutuhan disampaikan oleh kabupaten/kota setiap
tahunnya pada bulan Maret April berdasarkan format
yang ada dan dikirimkan ke Perwakilan BKKBN Provinsi
cq. Sekretaris Badan.

b. Melakukan kajian usulan rencana kebutuhan


kabupaten/kota
Kajian usulan rencana kebutuhan sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi dari masing-masing kabupaten/
kota dibahas bersama antara Sekretaris, Bidang KB,
Bidang ADPIN dan Pengawasan, berdasarkan pada
beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1) Jumlah fasilitas kesehatan KB yang telah diregister
dalam K/O/KB beserta jejaring/jaringannya dan
telah melakukan perjanjian kerjasama dengan
BPJS Kesehatan;
2) Kebutuhan medis dan non medis sarana
penunjang sesuai dengan standar pelayanan di
Faskes;
3) Rasio ketersediaan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi di Fasilitas Kesehatan. Perhitungan
rasio ketersediaan sarana penunjang pelayanan

17
kontrasepsi tidak hanya dibatasi pada sarana
penunjang pelayanan yang pengadaannya berasal
dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)
tetapi dapat juga berasal dari APBD dan atau dana
hibah yang tidak mengikat;
4) Optimalisasi pemanfaatan sarana penunjang
pelayanan sesuai dengan arah kebijakan nasional
dan atau daerah serta lokus garapan program;
5) Penyusutan nilai ekonomis barang.

c. Melakukan telaah usulan kebutuhan rencana


kebutuhan kabupaten/kota
Usulan rencana kebutuhan kabupaten/kota dan
hasil pemetaan yang dilakukan di Provinsi kemudian
ditelaah untuk menentukan jenis dan jumlah sarana
penunjang pelayanan dengan menerapkan skala
prioritas dan memperhatikan kemampuan fiskal
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Dana
Alokasi Khusus (DAK) dan atau Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) tahun berikutnya.

d. Menyusun rencana kebutuhan yang telah disetujui


Pimpinan untuk diajukan ke Pusat
Perwakilan BKKBN Provinsi cq. Sekretaris mengajukan
usulan rencana kebutuhan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi setiap tahunnya pada bulan Mei - Juni serta
rencana distribusi sarana penunjang di masing-masing
kabupaten/kota sesuai format yang ada yang telah
disepakati bersama Bidang KB.

18
3. Kabupaten/kota
a. Meminta usulan rencana kebutuhan Fasilitas Kesehatan
KB (Faskes KB)
Kabupaten/kota melakukan pemetaan kebutuhan
sarana penunjang pelayanan kontrasepsi berdasarkan
analisis dan usulan kebutuhan sarana dari masing-
masing Faskes KB. Usulan rencana kebutuhan
disampaikan oleh Faskes KB setiap tahunnya pada
bulan Januari - Februari berdasarkan format yang ada
dan dikirimkan ke Kabupaten/Kota cq. Bidang KB.
b. Menyusun rencana kebutuhan sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi berdasarkan pada beberapa
pertimbangan sebagai berikut:
1) Jumlah fasilitas kesehatan KB yang telah diregister
dalam K/O/KB beserta jaringan/jejaringnya dan
melakukan perjanjian kerjasama dengan BPJS
Kesehatan;
2) Kebutuhan medis dan non medis sarana
penunjang sesuai dengan standar pelayanan di
Fasilitas Kesehatan;
3) Rasio ketersediaan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi di Fasilitas Kesehatan. Perhitungan
rasio ketersediaan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi tidak hanya dibatasi pada sarana
penunjang pelayanan yang pengadaannya berasal
dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)
tetapi dapat juga berasal dari APBD dan atau dana
hibah yang tidak mengikat;
4) Optimalisasi pemanfaatan sarana penunjang
pelayanan sesuai dengan arah kebijakan nasional
dan atau daerah serta lokus garapan program;
5) Penyusutan nilai ekonomis barang.

19
c. Menyusun rencana kebutuhan yang telah disetujui
Pimpinan untuk diajukan ke perwakilan BKKBN provinsi
Kabupaten/kota cq. Bidang KB mengajukan daftar
usulan rencana kebutuhan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi setiap tahunnya pada bulan Maret April
serta rencana distribusi sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi di masing-masing Faskes KB sesuai format
yang ada kepada Perwakilan BKKBN Provinsi cq.
Sekretaris Badan.
d. SKPD KB dapat mengajukan usulan penyediaan sarana
penunjang pelayanan kontrasepsi yang tidak dapat
dipenuhi melalui APBN dan Dana Alokasi Khusus
(DAK) KB kepada pihak Pemerintah Daerah untuk
memperoleh dukungan anggaran dari APBD serta
bantuan dari sumber lain yang tidak mengikat.

4. Fasilitas Kesehatan KB
a. Melakukan pemetaan kebutuhan sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi di Faskes KB.
b. Menyusun rencana kebutuhan sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi berdasarkan pada beberapa
pertimbangan sebagai berikut:
1) Kebutuhan medis dan non medis sarana
penunjang sesuai dengan standar pelayanan di
Fasilitas Kesehatan;
2) Rasio ketersediaan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi di Fasilitas Kesehatan. Perhitungan
rasio ketersediaan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi tidak hanya dibatasi pada sarana
penunjang pelayanan yang pengadaannya berasal
dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)

20
tetapi dapat juga berasal dari APBD dan atau dana
hibah yang tidak mengikat;
3) Optimalisasi pemanfaatan sarana penunjang
pelayanan sesuai dengan arah kebijakan nasional
dan atau daerah serta lokus garapan program;
4) Penyusutan nilai ekonomis barang.
c. Mengajukan daftar usulan rencana kebutuhan sarana
penunjang pelayanan kontrasepsi setiap tahunnya
pada bulan Januari Februari kepada Kepala SKPD KB
Kabupaten/Kota cq. Bidang KB.
d. Fasilitas Kesehatan KB mengajukan usulan penyediaan
sarana penunjang pelayanan kontrasepsi yang tidak
dapat dipenuhi melalui APBN dan Dana Alokasi
Khusus (DAK) KB kepada pihak Pemerintah Daerah
utuk memperoleh dukungan anggaran dari APBD serta
bantuan dari sumber lain yang tidak mengikat.
Alur pengusulan kebutuhan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi.

B. PELAKSANAAN

1. Pusat
a. Pengadaan
Tata cara pengadaan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi mengacu pada Peraturan Presiden RI

21
Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah serta perubahannya, Peraturan Kepala
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
Nomor 339/PER/B3/2013 tentang Pedoman Pengadaan
Barang/Jasa di lingkungan Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana Nasional dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku. Pengadaan
barang di lingkungan BKKBN menganut prinsip-prinsip
efisiensi, efektifitas, transparan, terbuka, bersaing,
adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional telah melakukan pelaksanaan pengadaan
secara elektronik pada tahun 2011, sebagai tindak
lanjut dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/
Jasa Pemerintah yang harus sudah dilakukan secara
elektronik baik sebagian/seluruhnya pada Tahun 2012.
Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015
tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden
nomor 54 tahun2010 mewajibkan Kementerian/
Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi
lainnya untuk melakukan e-purchasing terhadap
barang/jasa yang sudah dimuat dalam sistem katalog
sesuai dengan kebutuhan. Untuk itu penyedia,
distributor dan satuan kerja yang terkait dapat lebih
berkomitmen untuk memanfaatkan e-catalogue karena
dapat menurunkan harga alat kesehatan kurang lebih
40%.
Tujuan pengadaan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi adalah:
1) Tersedianya sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi dengan jenis dan jumlah yang

22
memadai sesuai dengan kebutuhan pelayanan
keluarga berencana yang berkualitas;
2) Terjaminnya mutu,keamanan dan kemanfaatan
sarana penunjang pelayanan kontrasepsi yang
dipersyaratkan dalam spesifikasi teknis serta
adanya ijin edar yag dikeluarkan oleh Kementerian
Kesehatan;
3) Mempertimbangkan kemajuan dan perkembangan
teknologi yang dibuktikan dari hasil rekomendasi
health technology assessment (HTA).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan
sarana penunjang pelayanan kontrasepsi adalah:
1) Persyaratan pemasok
Persyaratan pemasok yang dapat mengikuti
pengadaan barang sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan pada Peraturan Presiden RI Nomor
54 Tahun 2010 beserta perubahan kedua Nomor
70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2) Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan
sarana pelayanan kontrasepsi
Waktu pengadaan dan kedatangan sarana dari
berbagai sumber anggaran perlu ditetapkan
berdasarkan hasil analisa dari data:
a) Sisa stock (tingkat kecukupan sarana
penunjang pelayanan kontrasepsi);
b) Jumlah sarana yang akan diterima sampai
dengan akhir tahun anggaran;
c) Kapasitas tempat penyimpanan sarana;
d) Waktu tunggu.

23
3) Pemantauan status pesanan
Pemantauan status pesanan bertujuan untuk:
a) Mempercepat pengiriman sehingga efisiensi
dapat ditingkatkan;
b) Pemantauan sarana harus dilakukan dengan
memperhatikan:
Nama sarana
Satuan kemasan
Jumlah sarana yang diadakan
Sarana yang sudah diterima
Sarana yang belum diterima
4) Pelabelan
Informasi mengenai produk sarana medis (alat
kesehatan/alkes) harus sesuai dengan kriteria
yang ditetapkan dalam pasal 31 Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
sebagai berikut:
a) Obyektif: harus memperhatikan informasi
sesuai dengan kenyataan yang ada dan tidak
boleh menyimpang dari sifat kemanfaatan
dan keamanan alkes dan PKRT yang telah
disetujui.
b) Lengkap: harus mencantumkan tidak hanya
informasi tentang khasiat alkes tetapi juga
memberikan informasi tentang hal-hal yang
harus diperhatikan, misalnya adanya kontra
indikasi dan efek samping.
c) Tidak menyesatkan: informasi alkes harus
jujur, akurat, bertanggung jawab serta tidak

24
boleh memanfaatkan kekuatiran masyarakat
akan suatu masalah kesehatan.
d) Cara penyajian informasi harus berselera
baik dan pantas serta tidak boleh
menimbulkan persepsi khusus di masyrakat
yang mengakibatkan penggunaan alkes
berlebihan atau tidak berdasarkan pada
kebutuhan.

Pelabelan sekurang-kurangnya berisi:


a) Nomor izin edar;
b) Nama produk dan nama dagang;
c) Nama dan alamat perusahaan yang
memproduksi alkes dan Perbekalan
Kesehatan Rumah Tangga(PKRT);
d) Nama dan alamat Penyalur Alat Kesehatan
(PAK) dan importer PKRT yang memasukkan
produk ke dalam wilayah Indonesia;
e) Komponen utama atau spesifikasi alkes dan
PKRT;
f) Kegunaan dan cara penggunaan harus dalam
Bahasa Indonesia;
g) Batas waktu kadaluwarsa untuk alkes dan
PKRT tertentu;
h) Nomor batch/kode produksi/nomor seri/
tipe;
i) Berat bersih atau isi bersih harus
mencantumkan dalam satuan metric: ukuran
berat untuk sediaan padat dan jumlah dalam
unit.

25
Dalam hal pelabelan juga perlu memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a) Bagian utama label harus ditempatkan pada
sisi kemasan yang paling mudah dilihat dan
dibaca. Label alkes dan PKRT yang tidak
mungkin ditempatkan pada kemasan terkecil
maka harus disertakan terpisah.
b) Label alkes tidak boleh mencantumkan
nama, inisal, logo, lambang atau referensi
dari instansi pemerintah dan asosiasi atau
yang mengindentifikasi saran/persetujuan
dari instansi pemerintah dan asosiasi tanpa
persetujuan Kemenkes.
c) Label ditulis atau dicetak dengan
menggunakan bahasa Indonesia.
5) Penerimaan dan pemeriksaan sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi
Penerimaan dan pemeriksaan merupakan salah
satu rangkaian kegiatan pengadaan sarana
penunjang untuk memastikan sarana yang
diterima sesuai dengan jumlah dan spesifikasi
teknis berdasarkan dokumen yang menyertainya
dan dilakukan oleh panitia penerima.
Pada saat penerimaan barang harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Produk harus diperiksa kesesuaiannya
dengan surat pesanan, meliputi alamat
pesanan, nama produk, kondisi fisik produk,
nomor izin edar, tanggal kadaluarsa, jumlah
produk, nomor batch atau nomor seri, dan
tipe serta diverifikasi dengan keterangan
label;

26
b) Produk yang secara fisik mengalami
kerusakan harus dipisahkan dari produk yang
diterima dalam kondisi baik;
c) Wadah/kemasan yang bermasalah harus
diperiksa dengan cermat untuk mengetahui
adanya kerusakan. Jika ditemukan rusak,
produk dipisahkan untuk pemeriksaan lebih
lanjut;
d) Pencatatan penerimaan barang harus
diperiksa. Pencatatan penerimaan barang
tersebut mencakup keterangan produk,
mutu, pemasok, nomor batch yang
ditetapkan dan tanda terima antara pengirim
dan penerima barang;
e) Tindakan pengamanan harus diambil dalam
rangka memastikan bahwa produk rusak/
reject tidak dapat digunakan dan harus
disimpan secara terpisah dari produk lain
sementara menunggu pemusnahan atau
pengembalian kepada pemasok.
6) Penyimpanan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi
Pada saat penyimpanan barang harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Harus tersedia fasilitas penyimpanan
yang memadai untuk memastikan barang
disimpan dengan baik;
b) Barang tidak boleh ditumpuk langsung di atas
lantai, karena dapat menyebabkan produk/
kemasan menjadi lembab dan mengurangi
keamanan, mutu dan manfaat. Tumpukan

27
maksimum yang tertera di masing-masing
kemasan harus dipatuhi;
c) Palet/rak harus dirawat dengan baik dan
tetap dalam kondisi bersih;
d) Ruang penyimpanan harus aman dari
kemungkinan terjadinya pencampuran
antara barang layak pakai dan tidak layak
pakai;
e) Harus ada ruang/area yang dirancang untuk:
- barang yang layak pakai;
- barang karantina (rusak/reject);
- barang yang ditarik/recall dan produk
kembalian/retur;
- barang yang kadaluwarsa.
f) Harus tersedia standar prosedur operasional
untuk tindakan pencegahan terjadinya
tumpahan atau kerusakan dan kontaminasi
mikroorganisme.
g) Ruang penyimpanan yang sesuai harus
tersedia untuk bahan berbahaya dan sensitif
seperti cairan dan bahan padat yang mudah
terbakar, gas bertekanan, bahan beracun
dan produk yang mengandung radiasi.
h) Produk yang membutuhkan kondisi khusus
(seperti temperatur dan/atau kelembaban
untuk produk steril) harus ditempatkan di
ruang yang dilengkapi dengan peralatan
untuk menciptakan kondisi yang diinginkan.
i) Ruang dengan kondisi penyimpanan yang
terkontrol harus dimonitor dan dicatat secara
rutin, diukur pada interval waktu tertentu

28
yang dapat menunjukkan temperatur
maksimal dan minimal selama sehari, serta
dicatat minimal 2 (dua) kali per hari. Apabila
kondisi terkontrol tidak tercipta, maka perlu
dilakukan tindakan yang tepat terhadap
ruangan, peralatan, dan/atau produk
tersebut. Jika diperlukan, pengukuran
kelembaban juga dilakukan.

Penyimpanan sarana penunjang di gudang Pusat


dimaksudkan sebagai kebutuhan persediaan/
buffer stock.
Sedangkan rotasi persediaan barang perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Harus tersedia standar prosedur operasional
untuk kegiatan rotasi persediaan;
b) Pisahkan barang yang telah kadaluwarsa
atau melewati umur guna dari produk yang
masih layak pakai, dan diberi label yang jelas
produk tidak untuk didistribusikan atau
istilah lain yang serupa.
c) Penyalur Alat Kesehatan (PAK) dan Cabang
PAK harus memastikan bahwa barang
yang masa kedaluarsanya lebih dahulu
didistribusikan lebih awal (First Expire First
Out/FEFO). Jika tidak tercantum tanggal
kedaluwarsa, maka produk yang datang lebih
dahulu harus didistribusikan. (First In First
Out/FIFO).
d) Penyesuaian jumlah persediaan secara
periodik (stock opname) harus dilakukan
dengan membandingkan jumlah persediaan
secara fisik dan yang tercatat.

29
e) Rekaman kegiatan perputaran persediaan
harus disimpan.

b. Penyaluran
Setiap penyaluran sarana penunjang harus
memperhatikan pengendalian mutu agar tetap
mememenuhi persyaratan sesuai tujuan penggunaanya
dan juga memperhatikan beberapa ketentuan-
ketentuan sebagai berikut:
1) Penyalur Alat Kesehatan (PAK) memiliki ijin edar;
2) Penyalur alat kesehatan menyalurkan produk
sesuai dengan kelompok produk yang diizinkan
untuk disalurkan;
3) Penyalur alat kesehatan menyalurkan produk
dari sumber yang dipertanggungjawabkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
4) Penyalur alat kesehatan harus menyediakan
dokumen yang relevan.

Selanjutnya mekanisme ini disebut sebagai Cara


Distribusi Alat KesehatanYang Baik (CDAKB).
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 4
Tahu 2014 tentang Cara Distribusi Alat Kesehatan Yang
baik) terdapat beberapa aspek menyangkut CDAKB ini
sebagai berikut:
1) Sistem manajemen mutu;
2) Pengelolaan sumber daya;
3) Bangunan dan fasilitas;
4) Penyimpanan dan penanganan persediaan;

30
5) Mampu telusur produk (traceability);
6) Penanganan keluhan;
7) Tindakan perbaikan keamanan di lapangan (field
safety corretive action/PSCA);
8) Pengembalian/retur alat kesehatan;
9) Pemusnahan alat kesehatan;
10) Alat kesehatan ilegal dan tidak memenuhi syarat;
11) Audit internal;
12) Kajian manajemen;
13) Aktivitas pihak ketiga (outsourching activity);

Sistem distribusi sarana penunjang pelayanan


kontrasepsi yang digunakan, yaitu Pull Distribution
System (Request System) atau Push Distribution
System (Dropping). Rincian teknis terkait pemenuhan
kebutuhan alokon dan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran
Nomor 995/I/KU.201/B3/2015 tentang Tata Kelola
Permintaan, Penyimpanan dan Pengeluaran Alkon/
Non Alkon di Lingkungan Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional sebagaimana terlampir.
Agar penyaluran sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi dapat berjalan dengan baik dan sesuai
prosedur maka harus diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1) Periksa kembali semua persiapan yang telah
dilakukan baik yang bersifat administrative
maupun fisik sarana;
2) Pada saat memindahkan sarana penunjang ke
alat transportasi, hitung dengan cermat jumlah

31
per jenis sarana, tahun produksi dan tujuan
pengiriman;
3) Setiap sarana penunjang yang keluar dari gudang
harus disertai dengan Surat Bukti Barang Keluar
(SBBK) dan dilengkapi dengan surat jalan.

c. Penempatan dan Pemanfaatan


Penentuan penempatan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi dilakukan berdasarkan beberapa kriteria
yang mengacu pada optimalisasi penggunaan sarana
penunjang pelayanan kontrasepsi tersebut.
Beberapa kriteria yang menjadi dasar penempatan
sarana penunjang pelayanan kontrasepsi di Faskes KB
adalah Faskes tersebut telah memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1) Telah teregister dalam K/0/KB dan telah
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan;
2) Memberikan pelayanan kontrasepsi sesuai dengan
kapasitas dan kewenangan Faskes KB;
3) Memiliki sumber daya manusia (SDM) yang
berkompetensi atau terstandar untuk memberikan
pelayanan kontrasepsi;
4) Melaksanakan sistem data dan informasi
manajemen logistik BKKBN;
5) Melaksanakan sistem pencatatan dan pelaporan
pelayanan kontrasepsi sesuai dengan sub
sistem pencatatan dan pelaporan program
Kependudukan, Keluarga Berencana dan
Pembangunan Keluarga;

32
6) Bersedia melayani peserta Jaminan Kesehatan
Nasional dan PUS, Pra Sejahtera dan Sejahtera 1
dan atau Jameskesda;
7) Faskes KB yang belum memiliki sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi atau sudah memiliki tetapi
dalam kondisi rusak atau tidak layak pakai;
8) Faskes KB yang belum menerima sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi dari DAK Bidang KB;
9) Khusus penempatan laparoskopi dengan atau
tanpa monitor di Rumah Sakit mengacu pada
ketentuan potensi pemanfaatan laparoskopi.

Dalam hal pemanfaatan sarana penunjang pelayanan


kontrasepsi, Provinsi perlu melakukan koordinasi
bersama sektor terkait untuk menjamin pembiayaan
pelayanan kontrasepsi. Hal ini dimaksudkan agar setiap
PUS yang berhak mendapatkan jaminan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku dapat diberikan
layanan kontrasepsi di Faskes KB dimana sarana
penunjang pelayanan kontrasepsinya telah disediakan.

d. Sarana Laparoskopi
Pusat menyediakan sarana laparoskopi untuk
membantu meningkatkan kesertaan KB MKJP melalui
MOW. Khusus penempatan dan pemanfaatan
laparoskopi dengan atau tanpa monitor di Rumah
Sakit, terdapat hal- hal yang perlu diperhatikan adalah
sebagai berikut:
1) Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
56 Tahun 2014 Tentang Klasifikasi dan Perijinan
Rumah Sakit, Pelayanan Keluarga Berencana
difokuskan pada Rumah Sakit Umum Kelas C dan

33
D. Oleh karena itu prioritas penempatan/relokasi
laparoskopi dilakukan pada Rumah Sakit Kelas C
dan D;
2) Memperhatikan ketersediaan Tim Pelayanan
(Dokter Obgyn, dokter anestesi dan asisten
dokter/perawat), ketersediaan gas CO2 dan bahan
medis habis pakai;
3) Pengadaan laparoskopi sudah satu paket dengan
pelatihan dan menjadi tanggung jawab penyedia.
Pelatihan diberikan bagi tim pelayanan bagi RS
yang baru menerima laparoskopi;
4) Rumah Sakit penerima laparoskopi ditetapkan
pada rumah sakit yang menjadwalkan pelayanan
tubektomi minimal 1 (satu) kali dalam seminggu.
Dalam setiap penjadwalan tubektomi, rumah
sakit mampu memberikan pelayanan tubektomi
minimal 5 (lima) akseptor;
5) Jika dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah
penyerahan laparoskopi tidak dan atau kurang
dioperasionalkan secara optimal maka perwakilan
BKKBN Provinsi dapat memindahkan laparoskopi
tersebut ke rumah sakit lain yang lebih potensial
dan melaporkannya ke Pusat;
6) Khusus laparoskopi dengan monitor perlu
memperhatikan kapasitas rumah sakit dalam hal-
hal sebagai berikut:
a) Sebagai tempat pendidikan dan pelatihan
medis tehnis pelayanan kontrasepsi bagi
tenaga kesehatan termasuk di rumah sakit
jejaringnya;

34
b) Sebagai tempat penelitian dan
pengembangan pelayanan kontrasepsi;
7) Pusat memfasilitasi instalasi dan uji fungsi
laparoskopi baik yang baru dipasang maupun
instalasi ulang untuk laparoskopi yang direlokasi.
8) Instalasi laparoskopi dilakukan oleh PAK dan
Cabang PAK berdasarkan kualifikasi pemasangan
dan pemeliharaan pemasangan yang sesuai
dan memiliki petunjuk inspeksi, jika perlu
prosedur pengujian. PAK dan Cabang PAK harus
memastikan pemasangan dan pengujian yang
diperlukan sesuai dengan petunjuk dan prosedur
pemasangan dari pabrik. PAK harus memelihara
rekaman pemasangan, termasuk hasil pengujian
untuk menunjukkan pemasangan yang tepat dan
memuaskan.

2. Provinsi
a. Pengadaan
Dalam hal kebijakan dan peraturan memungkinkan
pengadaan sarana penunjang pelayanan kontrasepsi
dilakukan di Provinsi, maka tata cara pengadaan sarana
penunjang pelayanan kontrasepsi mengacu pada
Peraturan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional Nomor 282/PER/B3/2011 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional dan peraturan perundang-undangan lainnya
yang berlaku.

35
b. Penerimaan dan pemeriksaan
Penerimaan dan pemeriksaan merupakan salah satu
rangkaian kegiatan pengadaan sarana penunjang untuk
memastikan sarana yang diterima sesuai dengan jumlah
dan spesifikasi teknis berdasarkan dokumen yang
menyertainya dan dilakukan oleh panitia penerima.
Pada saat penerimaan barang harus memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
1) Produk harus diperiksa kesesuaiannya dengan
surat pesanan, meliputi alamat pesanan, nama
produk, kondisi fisik produk, nomor izin edar,
tanggal kadaluarsa, jumlah produk, nomor batch
atau nomor seri, dan tipe serta diverifikasi dengan
keterangan label;
2) Produk yang secara fisik mengalami kerusakan
harus dipisahkan dari produk yang diterima dalam
kondisi baik;
3) Wadah/kemasan yang bermasalah harus
diperiksa dengan cermat untuk mengetahui
adanya kerusakan. Jika ditemukan rusak, produk
dipisahkan untuk pemeriksaan lebih lanjut
4) Rekaman penerimaan harus diperiksa. Rekaman
tersebut mencakup keterangan produk, mutu,
pemasok, nomor batch yang ditetapkan dan tanda
terima antara pengirim dan penerima barang;
5) Tindakan pengamanan harus diambil dalam
rangka memastikan bahwa produk rusak/reject
tidak dapat digunakan dan harus disimpan secara
terpisah dari produk lain sementara menunggu
pemusnahan atau pengembalian kepada
pemasok.

36
c. Penyimpanan
Pada saat penyimpanan barang harus memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
1) Harus tersedia fasilitas penyimpanan yang
memadai untuk memastikan barang disimpan
dengan baik;
2) Barang tidak boleh ditumpuk langsung di atas
lantai, karena dapat menyebabkanproduk/
kemasan menjadi lembab dan mengurangi
keamanan, mutu dan manfaat. Tumpukan
maksimum yang tertera di masing-masing
kemasan harus dipatuhi;
3) Palet/rak harus dirawat dengan baik dan tetap
dalam kondisi bersih;
4) Ruang penyimpanan harus aman dari kemungkinan
terjadinya pencampuran antara barang layak jual
dan tidak layak jual;
5) Harus ada ruang/area yang dirancang untuk:
a) barang yang layak jual;
b) barang karantina (rusak/reject);
c) barang yang ditarik/recall dan produk
kembalian/retur;
d) barang yang kadaluwarsa.
6) Harus tersedia standar prosedur operasional
untuk tindakan pencegahan terjadinya tumpahan
atau kerusakan dan kontaminasi mikroorganisme.
7) Ruang penyimpanan yang sesuai harus tersedia
untuk bahan berbahaya dan sensitif seperti
cairan dan bahan padat yang mudah terbakar,

37
gas bertekanan, bahan beracun dan produk yang
mengandung radiasi.
8) Produk yang membutuhkan kondisi khusus
(seperti temperatur dan/atau kelembaban untuk
produk steril) harus ditempatkan di ruang yang
dilengkapi dengan peralatan untuk menciptakan
kondisi yang diinginkan.
9) Ruang dengan kondisi penyimpanan yang
terkontrol harus dimonitor dan dicatat secara
rutin, diukur pada interval waktu tertentu yang
dapat menunjukkan temperatur maksimal dan
minimal selama sehari, serta dicatat minimal 2
(dua) kali per hari. Apabila kondisi terkontrol tidak
tercipta, maka perlu dilakukan tindakan yang
tepat terhadap ruangan, peralatan, dan/atau
produk tersebut. Jika diperlukan, pengukuran
kelembaban juga dilakukan.

Penyimpanan sarana penunjang di gudang Provinsi


dimaksudkan sebagai kebutuhan sarana penunjang di
kabupaten/kota dan persediaan/buffer stock.
Sedangkan rotasi persediaan barang perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Harus tersedia standar prosedur operasional
untuk kegiatan rotasi persediaan;
2) Pisahkan barang yang telah kadaluwarsa atau
melewati umur guna dari produk yang masih
layak pakai, dan diberi label yang jelas produk
tidak untuk didistribusikan atau istilah lain yang
serupa;
3) Penyalur Alat Kesehatan (PAK) dan Cabang PAK
harus memastikan bahwa barang yang masa

38
kedaluarsanya lebih dahulu didistribusikan lebih
awal (First Expire First Out/FEFO). Jika tidak
tercantum tanggal kedaluwarsa, maka produk
yang datang lebih dahulu harus didistribusikan
lebih dahulu (First In First Out/FIFO);
4) Penyesuaian jumlah persediaan secara periodik
(stock opname) harus dilakukan dengan
membandingkan jumlah persediaan secara fisik
dan yang tercatat;
5) Rekaman kegiatan perputaran persediaan harus
dipelihara.

d. Penyaluran
Penyaluran dan penyerahan kepada SKPD KB harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Harus tersedia standar prosedur operasional
mengenai pengiriman dan penyerahan barang
kepada SKPD KB;
2) Proses pengiriman dan penyerahan tidak boleh
mempengaruhi keamanan, mutu dan manfaat
barang;
3) PAK dan Cabang PAK atau Perwakilan BKKBN
Provinsi harus memastikan barang yang
dikirimkan memiliki penandaan yang jelas dan
mudah dibaca, meliputi nama produk, nomor izin
edar, tipe, nomor bets atau nomor seri, nama dan
alamat pabrik, serta nama dan alamat penyalur;
4) Ketentuan mengenai keamanan, kondisi
penyimpanan dan perlindungan mutu produk
selama pengiriman harus dicantumkan dan
diinformasikan kepada SKPD KB;

39
5) Alat transportasi yang digunakan harus disesuaikan
dengan ukuran dan kondisi produk yang diangkut,
serta dalam kondisi terawatdan tidak boleh
digunakan sebagai tempat penyimpanan barang.
Alat transportasi harus diperiksa sebelum
mengangkut produk, untuk memastikan tidak ada
kerusakan.
6) Rekaman kegiatan pengiriman harus dipelihara.

e. Penempatan dan Pemanfaatan


Penentuan penempatan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi dilakukan berdasarkan beberapa kriteria
yang mengacu pada optimalisasi penggunaan sarana
penunjang pelayanan kontrasepsi tersebut.
Beberapa kriteria yang menjadi dasar penempatan
sarana penunjang pelayanan kontrasepsi di Faskes KB
adalah Faskes tersebut telah memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1) Telah teregister dalam K/0/KB dan telah
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan;
2) Memberikan pelayanan kontrasepsi sesuai dengan
kapasitas dan kewenangan Faskes KB;
3) Memiliki sumber daya manusia (SDM) yang
berkompetensi atau terstandar untuk memberikan
pelayanan kontrasepsi;
4) Melaksanakan sistem data dan informasi
manajemen logistik BKKBN;
5) Melaksanakan sistem pencatatan dan pelaporan
pelayanan kontrasepsi sesuai dengan sub
sistem pencatatan dan pelaporan program

40
Kependudukan, Keluarga Berencana dan
Pembangunan Keluarga;
6) Bersedia melayani peserta Jaminan Kesehatan
Nasional dan PUS, Pra Sejahtera dan Sejahtera 1
dan atau Jameskesda;
7) Faskes KB yang belum memiliki sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi atau sudah memiliki tetapi
dalam kondisi rusak atau tidak layak pakai;
8) Faskes KB yang belum menerima sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi dari DAK Bidang KB;
9) Khusus penempatan laparoskopi dengan atau
tanpa monitor di Rumah Sakit mengacu pada
ketentuan potensi pemanfaatan laparoskopi.

Dalam hal pemanfaatan sarana penunjang pelayanan


kontrasepsi, Provinsi perlu melakukan koordinasi
bersama sektor terkait untuk menjamin pembiayaan
pelayanan kontrasepsi. Hal ini dimaksudkan agar setiap
PUS yang berhak mendapatkan jaminan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku dapat diberikan
layanan kontrasepsi di Faskes KB dimana sarana
penunjang pelayanan kontrasepsinya telah disediakan.

f. Sarana Laparoskopi
Khusus penempatan dan pemanfaatan laparoskopi
dengan atau tanpa monitor di rumah sakit, terdapat
hal- hal yang perlu diperhatikan oleh perwakilan BKKBN
provinsi adalah sebagai berikut:
1) Melakukan pemetaan kebutuhan sarana
laparoskopi di RS setempat;

41
2) Melakukan perjanjian kerjasama dengan pihak
Rumah Sakit penerima yang diketahui oleh SKPD-
KB kabupaten/kota setempat (contoh perjanjian
kerjasama terlampir);
3) Terhadap laparoskopi yang direlokasi ataupun
refreshing bagi tim laparoskopi diselenggarakan
oleh perwakilan BKKBN provinsi dengan
melibatkan mitra terkait (P2KS ataupun P2KP);
4) Membuat usulan ke Pusat untuk instalasi
laparoskopi yang direlokasi;
5) Mengusulkan pemusnahan laparoskopi yang rusak
dan sudah tidak terdapat lagi suku cadangnya.
6) Melakukan monitoring laparoskopi dan
melaporkan pemanfaatannya ke BKKBN pusat.

3. Kabupaten/kota
a. Pengadaan
Dalam hal kabupaten/kota mampu memenuhi
kebutuhan sarana penunjang pelayanan kontrasepsi,
maka tata cara pengadaan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi mengacu pada Peraturan Presiden RI
Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, Peraturan Kepala Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana Nasional Nomor 282/PER/
B3/2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa di Lingkungan Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana Nasional dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku.
b. Penerimaan dan pemeriksaan
Penerimaan dan pemeriksaan merupakan salah satu
rangkaian kegiatan pengadaan sarana penunjang untuk

42
memastikan sarana yang diterima sesuai dengan jumlah
dan spesifikasi teknsi berdasarkan dokumen yang
menyertainya dan dilakukan oleh panitia penerima.
Pada saat penerimaan barang harus memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
1) Barang harus diperiksa kesesuaiannya dengan
surat pesanan, meliputi alamat pesanan, nama
produk, kondisi fisik produk, nomor izin edar,
tanggal kadaluarsa, jumlah produk, nomor batch
atau nomor seri, dan tipe serta diverifikasi dengan
keterangan label;
2) Barang yang secara fisik mengalami kerusakan
harus dipisahkan dari produk yang diterima dalam
kondisi baik;
3) Wadah/kemasan yang bermasalah harus
diperiksa dengan cermat untuk mengetahui
adanya kerusakan. Jika ditemukan rusak, produk
dipisahkan untuk pemeriksaan lebih lanjut;
4) Rekaman penerimaan harus diperiksa. Rekaman
tersebut mencakup keterangan produk, mutu,
pemasok, nomor batch yang ditetapkan dan tanda
terima antara pengirim dan penerima barang;
5) Tindakan pengamanan harus diambil dalam
rangka memastikan bahwa produk rusak/reject
tidak dapat digunakan dan harus disimpan secara
terpisah dari barang lain sementara menunggu
pemusnahan atau pengembalian kepada
pemasok.

43
c. Penyimpanan
Pada saat penyimpanan barang harus memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
1) Harus tersedia fasilitas penyimpanan yang
memadai untuk memastikan barang disimpan
dengan baik;
2) Barang tidak boleh ditumpuk langsung di atas
lantai, karena dapat menyebabkan produk/
kemasan menjadi lembab dan mengurangi
keamanan, mutu dan manfaat. Tumpukan
maksimum yang tertera di masing-masing
kemasan harus dipatuhi;
3) Palet/rak harus dirawat dengan baik dan tetap
dalam kondisi bersih;
4) Ruang penyimpanan harus aman dari kemungkinan
terjadinya pencampuran antara barang layak jual
dan tidak layak jual;
5) Harus ada ruang/area yang dirancang untuk:
a) barang yang layak disalurkan;
b) barang karantina (rusak/reject);
c) barang yang ditarik/recall dan produk
kembalian/retur;
d) barang yang kadaluwarsa.
6) Harus tersedia standar prosedur operasional
untuk tindakan pencegahan terjadinya tumpahan
atau kerusakan, kontaminasi mikroorganisme,
dan kontaminasi silang.
7) Ruang penyimpanan yang sesuai harus tersedia
untuk bahan berbahaya dan sensitif seperti
cairan dan bahan padat yang mudah terbakar,

44
gas bertekanan, bahan beracun dan produk yang
mengandung radiasi.
8) Produk yang membutuhkan kondisi khusus
(seperti temperatur dan/atau kelembaban untuk
produk steril) harus ditempatkan di ruang yang
dilengkapi dengan peralatan untuk menciptakan
kondisi yang diinginkan.
9) Ruang dengan kondisi penyimpanan yang
terkontrol harus dimonitor dan dicatat secara
rutin, diukur pada interval waktu tertentu yang
dapat menunjukkan temperatur maksimal dan
minimal selama sehari, serta dicatat minimal 2
(dua) kali per hari. Apabila kondisi terkontrol tidak
tercipta, maka perlu dilakukan tindakan yang
tepat terhadap ruangan, peralatan, dan/atau
produk tersebut. Jika diperlukan, pengukuran
kelembaban juga dilakukan.

Penyimpanan sarana penunjang di gudang kabupaten/


kota dimaksudkan sebagai kebutuhan sarana penunjang
di Faskes KB dan persediaan/buffer stock.
Sedangkan rotasi persediaan barang perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Harus tersedia standar prosedur operasional
untuk kegiatan rotasi persediaan;
2) Pisahkan barang yang telah kadaluwarsa atau
melewati umur guna dari produk yang masih
layak pakai, dan diberi label yang jelas produk
tidak untuk didistribusikan atau istilah lain yang
serupa.
3) Penyalur Alat Kesehatan (PAK) dan Cabang PAK
harus memastikan bahwa barang yang masa

45
kedaluarsanya lebih dahulu didistribusikan lebih
awal (First Expire First Out/FEFO). Jika tidak
tercantum tanggal kedaluwarsa, maka produk
yang datang lebih dahulu harus didistribusikan
lebih dahulu (First In First Out/FIFO).
4) Penyesuaian jumlah persediaan secara periodik
(stock opname) harus dilakukan dengan
membandingkan jumlah persediaan secara fisik
dan yang tercatat.
6) Rekaman kegiatan perputaran persediaan harus
dipelihara.

d. Penyaluran
Penyaluran dan penyerahan kepada SKPD KB harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Harus tersedia standar prosedur operasional
mengenai pengiriman dan penyerahan barang ke
fasilitas kesehatan;
2) Proses pengiriman dan penyerahan tidak boleh
mempengaruhi keamanan, mutu dan manfaat
barang;
3) Satuan Kerja Perangkat Daerah KB harus
memastikan barang yang dikirimkan memiliki
penandaan yang jelas dan mudah dibaca, meliputi
nama produk, nomor izin edar, tipe, nomor batch
atau nomor seri, nama dan alamat pabrik, serta
nama dan alamat penyalur;
4) Ketentuan mengenai keamanan, kondisi
penyimpanan dan perlindungan mutu produk
selama pengiriman harus dicantumkan dan
diinformasikan kepada fasilitas kesehatan;

46
5) Alat transportasi yang digunakan harus disesuaikan
dengan ukuran dan kondisi produk yang diangkut,
serta dalam kondisi terawat dan tidak boleh
digunakan sebagai tempat penyimpanan barang.
Alat transportasi harus diperiksa sebelum
mengangkut produk, untuk memastikan tidak ada
kerusakan.
6) Rekaman kegiatan pengiriman harus dipelihara.

e. Penempatan dan Pemanfaataan


Beberapa kriteria yang menjadi dasar penempatan
sarana penunjang pelayanan kontrasepsi di Faskes KB
adalah Faskes tersebut telah memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1) Telah teregister dalam K/0/KB dan telah
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan;
2) Memberikan pelayanan kontrasepsi sesuai dengan
kapasitas dan kewenangannya;
3) Memiliki SDM yang berkompetensi atau terstandar
untuk memberikan pelayanan kontrasepsi;
4) Melaksanakan sistem data dan informasi
manajemen logistik;
5) Melaksanakan sistem pencatatan dan pelaporan
pelayanan kontrasepsi sesuai dengan sub
sistem pencatatan dan pelaporan program
Kependudukan, Keluarga Berencana dan
Pembangunan Keluarga;
6) Bersedia melayani peserta Jaminan Kesehatan
Nasional dan masyarakat PUS, Pra sejahtera dan
Sejahtera 1 dan atau Jameskesda;

47
7) Faskes KB yang belum memiliki sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi atau sudah memiliki tetapi
dalam kondisi rusak atau tidak layak pakai;
8) Faskes KB yang belum menerima sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi dari DAK Bidang KB;

Dalam hal penempatan dan pemanfataan sarana


penunjang pelayanan kontrasepsi khususnya
laparoskopi di rumah sakit, SKPD KB kabupaten/kota
perlu memfasilitasi dan mendampingi proses instalasi
sarana penunjang tersebut sampai dapat dipastikan
laparoskopi siap dimanfaatkan. Kabupaten/kota
memegang peranan penting dalam hal pemanfaatan
sarana penunjang pelayanan kontrasepsi dengan
menggalakkan upaya penggerakan masyarakat (KIE).
Upaya penggerakan masyarakat ini bertujuan untuk
menumbuhkan kebutuhan masyarakat khususnya
pelayanan tubektomi di Faskes KB dimana sarana
penunjang pelayanannya telah terpenuhi.
Satuan Kerja Perangkat Daerah kabupaten/kota perlu
melakukan koordinasi bersama sektor terkait untuk
menjamin pembiayaan pelayanan kontrasepsi agar
setiap PUS yang berhak mendapatkan jaminan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat
diberikan layanan kontrasepsi di Faskes KB dimana
sarana penunjang pelayanan kontrasepsi telah
disediakan.

4. Fasilitas Kesehatan KB
a. Penempatan/Pemanfaatan
Penempatan dan pemanfaatan sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi di Faskes KB perlu

48
memperhatikan tenaga dan prasarana yang dibutuhkan
agar sarana penunjang pelayanan kontrasepsi tersebut
dapat digunakan secara optimal. Tenaga dan prasarana
yang dimaksud merujuk pada Buku Panduan Praktis
Pelayanan Kontrasepsi (BP3K) tentang persyaratan
minimal fasilitas kesehatan berdasarkan klasifikasi
Faskes KB.

b. Pemeliharaan
Untuk menjamin mutu, keamanan, dan kemanfaatan
sarana penunjang pelayanan kontrasepsi, sarana
penunjang pelayanan kontrasepsi medis harus
dipelihara dengan baik sesuai dengan prosedur tetap
yang telah ditentukan.
Khusus alat kesehatan elektromedik seperti laparoskopi
perlu dilakukan kalibrasi alat secara periodik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Apabila terjadi kerusakan laparoskopi setelah
digunakan di rumah sakit dan masih dalam masa
garansi, maka perbaikan dan penggantian suku cadang
menjadi tanggung jawab penyedia barang. Namun
jika kerusakan terjadi diluar masa garansi, maka biaya
pemeliharaan laparoskopi menjadi tanggung jawab
Rumah Sakit penerima laparoskopi dan atau perwakilan
BKKBN provinsi sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam perjanjian kerjasama.
Proses pemeliharaan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi tersebut meliputi:
1) Pendataan alat;
2) Pengecekan dan pembersihan seluruh bagian
alat;

49
3) Pelumasan pada bagian-bagian alat yang bergerak;
4) Pengencangan /tightening;
5) Pengecekan bagian alat dan fungsi komponen;
6) Penggantian bahan pemeliharaan;
7) Pengecekan kinerja alat atau uji fungsi;
8) Penyetelan/adjustment;
9) Pengukuran aspek keselamatan (arus bocor,
tegangan lebih dll).

C. PENCATATAN DAN PELAPORAN

1. Pencatatan dan pelaporan sarana penunjang pelayanan


kontrasepsi sampai dengan tingkat kabupaten/kota merujuk
pada Peraturan Kepala tentang Penerimaan, Penyaluran dan
Pendistribusian Alat dan Obat Kontrasepsi yang berlaku.
2. Pencatatan dan pelaporan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi di tingkat Faskes KB merujuk pada Peraturan
Kepala tentang tata cara pelaksanaan pencatatan dan
pelaporan program Kependudukan, Keluarga Berencana dan
Pembangunan Keluarga yang berlaku.
3. Khusus untuk pencatatan dan pelaporan pemanfaatan sarana
laparoskopi disampaikan setiap tahunnya oleh perwakilan
BKKBN provinsi kepada BKKBN Pusat cq. Direktorat Bina
Kesertaan KB Jalur Pemerintah sesuai format terlampir
(form 1 dan form 2) pada trimester ke 3 (bersamaan dengan
pengajuan usulan kebutuhan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi) dari Provinsi ke Pusat.

50
D. PEMANTAUAN DAN EVALUASI

Dalam upaya mendukung program Kependudukan dan Keluarga


Berencana melalui penyediaan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi maka diperlukan pemantauan dan evaluasi yang
disusun secara terstruktur dan dilakukan secara berjenjang dari
pusat-provinsi-kabupaten dan kota dan ke Faskes KB. Upaya
pemantauan dan evaluasi ini dilakukan dengan melibatkan
organisasi profesi dan instansi terkait.

1. Indikator Keberhasilan
Sebagai dasar pemantauan dan evaluasi penyediaan
sarana penunjang pelayanan kontrasepsi, perlu ditetapkan
beberapa indikator keberhasilan yang terbagi menjadi tiga
kelompok, yaitu indikator input, proses dan output. Indikator
tersebut adalah sebagai berikut:

a. Indikator input
Indikator input yang menjadi dasar pemantauan dan
evaluasi adalah:
1) Tersedianya data jumlah klinik yang telah diregister
dalam K/O/KB dan pendistribusian geografisnya;
2) Tersedianya data kebutuhan medis dan non medis
klinik yang belum terpenuhi;
3) Tersedianya data jumlah sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi yang telah dimiliki;
4) Tersedianya data ketersediaan dan distribusi SDM
berdasarkan standar kompetensi tertentu;
5) Tersedianya data jumlah dan status fasilitas
kesehatan yang memberikan pelayanan
kontrasepsi berdasarkan perjanjian kerjasama
dengan BPJS;

51
6) Tersedianya data tentang jumlah PUS potensial
yang dilayani dalam suatu wilayah tertentu;
7) Tersedianya rasionalitas rata-rata pelayanan
kontrasepsi terutama layanan KB jangka panjang
di klinik dalam suatu wilayah tertentu;
8) Tersedianya data tentang jumlah tenaga lapangan
(PKB/PLKB);
9) Tersedianya data tentang jumlah institusi terkait
(PPKBD/Sub, UPPKS, Kader KB);
10) Tersedianya pedoman/ petunjuk teknis penyediaan
sarana penunjang pelayanan kontrasepsi.

b. Indikator proses
1) Terlaksananya perencanaan kebutuhan sarana
penunjang pelayanan kontrasepsi berdasarkan
pemetaan kebutuhan dan justifikasi
2) Terlaksananya pengadaaan sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi yang efisiensi, efektif,
transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak
diskriminatif dan akuntabel
3) Terlaksananya penempatan sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi yang berdaya guna dan
menganut asas ekuitas akses layanan
4) Terpeliharanya sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi guna optimalisasi penggunaan sarana
5) Tercatat dan terlaporkannya status sarana
penunjang pelayanan kontrasepsi di pusat,
provinsi, kabupaten/kota dan klinik Faskes KB

52
c. Indikator output
1) Tersedianya sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi di Faskes KB
2) Terlayaninya akseptor dan calon akseptor di
Faskes KB yang telah dipenuhi kebutuhan sarana
penunjang pelayanan kontrasepsinya

Pemantauan dimaksudkan sebagai upaya untuk memetakan


perkembangan penyediaan sarana penunjang pelayanan
kontrasepsi dalam menunjang pelaksanaan program
Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan
Keluarga.
Evaluasi dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui
dan menilai pencapaian indikator keberhasilan penyediaan
sarana penunjang pelayanan kontrasepsi.
Sasaran pemantauan dan evaluasi adalah seluruh kegiatan
operasional di:
a. Pusat
b. Provinsi
c. Kabupaten/kota
d. Faskes KB
Ruang lingkup pemantauan dan evaluasi sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi meliputi hal-hal terkait penyediaan
sarana penunjang pelayanan kontrasepsi, yaitu:
a. Pemetaan
b. Perencanaan
c. Pengadaan
d. Pendistribusian
e. Penempatan dan pemanfaatan

53
f. Pemeliharaan
g. Pencatatan dan pelaporan
Mekanisme pemantauan dan evaluasi dilakukan secara
berkala melalui:
1. Pertemuan dan koordinasi
2. Kunjungan lapangan/supervise
3. Survei/kajian

54
BAB V
PENUTUP

Dalam rangka mengemban amanah Undang-Undang Nomor 52 Tahun


2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga yang kemudian program-program penyelenggaraan
keluarga berencana dijabarkan dalam Rancangan Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 yaitu untuk
meningkatkan akses dan kualitas pelayanan keluarga berencana yang
merata di setiap wilayah dan kelompok masyarakat.
Pedoman penyediaan sarana penunjang pelayanan kontrasepsi
merupakan acuan baik bagi Pemerintah Pusat, Provinsi dan Daerah
tentang penting dan perlunya menjamin ketersediaan sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi yang aman dan berkualitas. Untuk itu penyedia
sarana penunjang pelayanan kontrasepsi baik yang dilakukan oleh
sektor Pemerintah maupun swasta dapat melaksanakan kebijakan ini
dengan sebaik-baiknya.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-
2019, kebijakan Program Kependudukan dan Keluarga Berencana
adalah untuk meningkatkan Kebijakan ini dijabarkan dalam beberapa
strategi antara lain penyediaan sarana dan prasarana serta jaminan
ketersediaan alat dan obat kontrasepsi yang memadai di setiap fasilitas
kesehatan KB dan jejaring pelayanan.
Pedoman Penyediaan Sarana Penunjang Pelayanan Kontrasepsi
dalam Program Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional ini
dimaksudkan sebagai acuan dalam pengelolaan sarana penunjang
pelayanan kontrasepsi, baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat,
daerah maupun swasta.

55
Dengan memanfaatkan buku pedoman ini diharapkan pengelola
dan pelaksana program KKB beserta mitra terkait dapat menjamin
tercapainya tujuan pelayanan KB yang aman dan berkualitas.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 17 Juni 2015
KEPALA BADAN KEPENDUDUKAN DAN
KELUARGA BERENCANA NASIONAL,

SURYA CHANDRA SURAPATY

56
LAMPIRAN:

1. Formulir usulan rencana kebutuhan sarana penunjang


pelayanan kontrasepsi
2. Prototipe Formulir Perjanjian Kerja Sama Laparoskopi
3. a. Formulir 1: Penempatan Laparoskopi
b. Formulir 2: Laporan pemanfaatan laparoskopi
4. Tata cara penggunaan ADS
5. Surat Edaran Nomor : 995/I/KU.201/B3/2015 Tentang
Tata Kelola Permintaan, Penyimpanan Dan Pengeluaran
Alkon/Non Alkon Di Lingkungan Badan Kependudukan
Dan Keluarga Berencana Nasional

57
58
Lampiran 1: Formulir 1.a

Usulan Rencana Kebutuhan Sarana Penunjang Pelayanan Kontrasepsi


Nomor: .......................................................

Kepada Yth.
Direktorat Bina Kesertaan KB Jalur Pemerintah, BKKBN Pusat

Bersama ini kami mengajukan usulan rencana kebutuhan sarana


penunjang pelayanan kontrasepsi, sebagai berikut:

....................,tgl........bulan........tahun...........
Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi .............


(...................................................)

59
Lampiran 1: Formulir 1.b

Usulan Rencana Kebutuhan Sarana Penunjang Pelayanan Kontrasepsi


Nomor: ....................................................

Kepada Yth.
Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi.......
Cq. Sekretaris Badan

Bersama ini kami mengajukan usulan rencana kebutuhan sarana


penunjang pelayanan kontrasepsi, sebagai berikut:

.......................,tgl.......bulan......tahun............
Kepala SKPD KB Kabupaten/Kota .................

(...................................................)

60
Lampiran 1: Formulir 1.c

Usulan Rencana Kebutuhan Sarana Penunjang Pelayanan Kontrasepsi


Nomor : .............................................

Kepada Yth.
Kepala SKPD KB Kabupaten/Kota.......
Cq. Sekretaris Badan

Bersama ini kami mengajukan usulan rencana kebutuhan sarana


penunjang pelayanan kontrasepsi, sebagai berikut:

.....................,tgl........bulan.......tahun............
Kepala Faskes KB ...................

(...................................................)

61
Lampiran 2: Prototipe Perjanjian Kerjasama Laparoskopi Tanpa
Monitor

PERJANJIAN KERJASAMA
ANTARA
PERWAKILAN BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA
NASIONAL PROVINSI .........................................
DAN
RUMAH SAKIT ......................................................................
TENTANG
PINJAM PAKAI PERALATAN MEDIS LAPAROSKOPI TANPA MONITOR
Nomor : ...........................................
Nomor ............................................

Pada hari ini, ................ Tanggal ................Bulan ...............Tahun Dua


Ribu Tiga Belas, yang bertanda tangan di bawah ini :

NAMA...................
NIP................................ Kepala Perwakilan Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana Nasional Provinsi
..................... yang berkedudukan di Jalan
............................ dalam hal ini bertindak
untuk dan atas nama Perwakilan Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional Provinsi ....................... sebagai
Pengguna Barang
Selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA

62
NAMA....................
NIP................................
Direktur Rumah ...............................yang
berkedudukan di Jalan ................................
.............. dalam hal ini bertindak untuk dan
atas nama Rumah Sakit ...........................
sebagai Pemanfaat Barang
Selanjutnya disebut .PIHAK KEDUA

Berdasarkan :
1. Surat Pengajuan bantuan alat Medis Laparoskopi
MOW dari Rumah Sakit ................................... Nomor
............................, Tanggal ................................, perihal
Permohonan Permintaan Alat Laparoskopi.
2. Surat Perwakilan BKKBN Provinsi ........................... Nomor :
................................. perihal Data Rumah Sakit dan Provider
MOW.

Kedua belah pihak dalam kedudukannya tersebut di atas sepakat untuk


mengadakan Kontrak Kerja Pemanfaatan peralatan Medis Laparoskopi
dalam rangka kegiatan pelayanan Kontap Wanita (MOW) di Rumah
Sakit ............................ dengan ketentuan yang dituangkan dalam
pasal-pasal sebagai berikut :

63
Pasal 1
PENGERTIAN UMUM
(1) Perjanjian Kerjasama adalah perjanjian antara Kepala Perwakilan
BKKBN Provinsi............................. dan Direktur Rumah Sakit
.............................. dalam hal pemanfaatan peralatan Medis
Laparoskopi untuk pelayanan MOW di PIHAK KEDUA.
(2) Perwakilan BKKBN Provinsi .......................... adalah Lembaga
Pemerintah Non Departemen yang bertugas melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional.
(3) Rumah Sakit ............................... adalah rumah sakit pemerintah
yang terletak di Jalan ......................... yang memenuhi persyaratan
untuk melakukan Pelayanan KB MOW metode laparoskopi.
(4) Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pengguna
barang dalam mengelola dan menatausahakan Barang Milik
Negara yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi yang
bersangkutan.
(5) Pemanfaatan adalah pendayagunaan Barang Milik Negara yang
dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kementerian
negara/lembaga lainnya, dalam bentuk sewa / pinjam pakai,
kerjasama pemanfaatan dan bangun serah guna / bangun guna
serah dengan tidak mengubah status kepemilikan.
(6) Direktur Rumah Sakit .......................... adalah Pimpinan Rumah
Sakit ......................... yang oleh karena jabatannya tersebut berhak
dan berwenang untuk mewakili Rumah Sakit .............................
dalam menandatangani perjanjian ini.
(7) Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi ............................ adalah
Pimpinan Perwakilan BKKBN Provinsi ...................... yang oleh
karena jabatannya tersebut berhak dan berwenang untuk mewakili
Perwakilan BKKBN Provinsi ................ dalam menandatangani
Perjanjian ini.

64
(8) Alat Medis Laparoskopi adalah alat canggih yang dapat melihat
dan melakukan operasi minimal invasive ke organ yang terdapat
dalam rongga panggul.

Pasal 2
MAKSUD DAN TUJUAN
(1) Upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, khususnya
yang memerlukan pelayanan peralatan Medis Laparoskopi secara
tepat, cepat, mudah, nyaman dan berkualitas.
(2) PIHAK PERTAMA bersedia menempatkan peralatan Medis
Laparoskopi di Rumah Sakit ............................. yang beralamat di
Jalan .......................................

Pasal 3
OBYEK KERJASAMA OPERASIONAL
Peralatan Medis Laparoskopi yang ditempatkan merk ..................
adalah alat untuk melayani akseptor KB Kontap Wanita (MOW)
sebagaimana brosur terlampir.

Pasal 4
HAK DAN KEWAJIBAN PIHAK PERTAMA
(1) PIHAK PERTAMA mempunyai tugas meminjamkan alat tersebut
dan menyipakan fallope ring sebagai salah satu pendukung
pelaksanaan penggunaan alat tersebut
(2) PIHAK PERTAMA mempunyai tugas memfasilitasi pelatihan untuk
penggunaan laparoskopi tersebut.
(3) PIHAK PERTAMA mempunyai tugas memfasilitasi apabila ada
kerusakan alat tersebut

65
(4) PIHAK PERTAMA berhak memindahkan laparoskopi tersebut
apabila jumlah capaian peserta KB hasil pelayanan MOW yang
dilaksanakan kurang dari perjanjian yang diterapkan ke RS/KKB
lain yang lebih potensial

Pasal 5
HAK DAN KEWAJIBAN PIHAK KEDUA
(1) PIHAK KEDUA mempunyai tugas melaksanakan pelayanan MOW
menggunakan alat tersebut dengan jumlah tidak kurang dari 30
peserta KB tiap bulan (dari hasil rata-rata laporan pencapaian
peserta KB MOW tahun sebelumnya)
(2) PIHAK KEDUA tidak diperkenankan memindahtangankan barang
tersebut kepada pihak lain tanpa seijin PIHAK PERTAMA.
(3) PIHAK KEDUA mempunyai tugas menjaga kualitas dan kelengkapan
alat tersebut
(4) PIHAK KEDUA harus menyediakan kebutuhan bahan medis habis
pakai untuk pelayanan tubektomi dengan laparoskopi

Pasal 6
STATUS KEPEMILIKAN ALAT
(1) Selama Kerjasama ini berlangsung serta setelah berakhirnya, maka
hak milik atas peralatan Medis Laparoskopi adalah sepenuhnya
milik PIHAK PERTAMA.
(2) PIHAK KEDUA tidak dibenarkan untuk mengadakan perubahan
apapun pada peralatan Medis Laparoskopi tersebut atau sebagai
jaminan terhadap transaksi PIHAK KEDUA dengan pihak lain.

66
Pasal 7
PERAWATAN DAN REPARASI ALAT
(1) PIHAK PERTAMA akan memberikan pelayanan untuk memperbaiki
peralatan medis Laparoskopi yang mengalami kerusakan atau
gangguan operasional atas pemberitahuan dari PIHAK KEDUA.
(2) Biaya-biaya yang ditimbulkan untuk memperbaiki kerusakan
peralatan medis Laparoskopi ditanggung oleh PIHAK PERTAMA.

Pasal 8
JANGKA WAKTU PERJANJIAN
(1) Perjanjian Kerjasama ini berlaku untuk jangka waktu 4 (empat)
tahun sejak ditandatanganinya Perjanjian Kerjasama ini oleh
KEDUA BELAH PIHAK Tanggal ....................... dan akan berakhir
pada Tanggal ....................................
(2) Kerjasama ini akan dievaluasi secara kelembagaan dengan
menghormati dan mengindahkan ketentuan-ketentuan yang
berlaku pada KEDUA BELAH PIHAK

Pasal 9
PERPANJANGAN DAN PENGHENTIAN PERJANJIAN
(1) Perjanjian kerjasama ini dapat diperpanjang jangka waktunya,
sesuai dengan kesepakatan KEDUA BELAH PIHAK , berdasarkan
permohonan perpanjangan secara tertulis dari PIHAK KEDUA.
Apabila PIHAK KEDUA maupun PIHAK PERTAMA menghendaki
perjanjian ini diakhiri sebelum jangka waktu perjanjian berakhir,
maka PIHAK KEDUA atau PIHAK PERTAMA harus memberitahukan
terlebih dahulu minimal 3 (tiga) bulan masa sebelum perjanjian
berakhir melalui permohonan penghentian perjanjian kerjasama.

67
(2) PIHAK PERTAMA harus memberikan jawaban bersedia atau
tidaknya untuk memperpanjang perjanjian kepada PIHAK KEDUA
paling lambat 14 (empat belas) hari kalender setelah diterimanya
pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pasal ini.

Pasal 10
FORCE MAJEURE
(1) Pengertian force majeure dimaksud dalam Pasal ini adalah
keadaan yang ditimbulkan bencana alam seperti banjir bandang,
gempa bumi, gunung meletus, perang dan atau akibat adanya
kebijaksanaan Pemerintah Pusat di bidang moneter dan peraturan
perundang-undangan di luar kemampuan PIHAK PERTAMA dan
PIHAK KEDUA untuk melaksanakan perjanjian ini.
(2) Apabila terjadi keadaan force majeure sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), akan diadakan musyawarah oleh KEDUA BELAH
PIHAK. Selanjutnya akan dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama
tersendiri yang merupakan addendum dari Perjanjian Kerjasama
ini.

Pasal 11
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
(1) PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA sepakat untuk menyelesaikan
perselisihan yang timbul akibat pelaksanaan Perjanjian Kerjasama
ini secara musyawarah mufakat dan apabila tidak tercapai
kesepakatan PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA sepakat untuk
menyelesaikan melalui jalur hukum dan memilih domisili hukum
yang tetap tidak berubah di Kantor Pengadilan Negeri .................
.................
(2) Jika perselisihan terjadi, PIHAK KEDUA harus mengembalikan
peralatan medis Laparoskopi kepada PIHAK PERTAMA dalam

68
keadaan utuh dan baik, untuk itu PIHAK KEDUA memberikan
kuasa kepada PIHAK PERTAMA untuk menarik kembali peralatan
medis Laparoskopi tersebut.

Pasal 12
PEJABAT YANG DITUNJUK
Untuk kelancaran pelaksanaan perjanjian ini, KEDUA BELAH PIHAK
sepakat bahwa semua hubungan surat menyurat dan permasalahan
tentang operasional obyek perjanjian selama berlangsungnya
perjanjian ini diutamakan :
I. Dari PIHAK PERTAMA
Perwakilan Badan Kependudukan & Keluarga Berencana Nasional
Provinsi .........................
Jl. ..................................
Telp. ....................., Fax. ...............................
II. Dari PIHAK KEDUA
Rumah Sakit ..............................................
Jl. ...........................................
Telp. ...................................

Pasal 13
LAIN-LAIN
(1) Perjanjian kerjasama tentang peralatan medis Laparoskopi
berlaku sejak tanggal ditetapkan.
(2) Untuk mengisi kekosongan hukum perjanjian ini apabila sudah
masa berlakunya habis dengan ketentuan akan diperpanjang
sedangkan perjanjian yang baru belum selesai maka ketentuan
perjanjian yang lama masih tetap dipergunakan.

69
Pasal 14
KETENTUAN PENUTUP
(1) Hal-hal yang tidak atau belum diatur dalam Perjanjian Kerjasama
ini akan diatur dan ditetapkan kemudian oleh KEDUA BELAH
PIHAK atas dasar musyawarah yang selanjutnya dituangkan dalam
surat perjanjian tersendiri yang merupakan addendum yang tidak
dapat dipisahkan dengan perjanjian ini.
(2) Perjanjian Kerjasama ini dibuat rangkap 2 (dua) dan bermaterai
cukup serta ditandatangani oleh PIHAK PERTAMA dan PIHAK
KEDUA sehingga memiliki kekuatan hukum yang sama.

Demikian Perjanjian ini dibuat untuk dilaksanakan sebagaimana


mestinya dan mulai berlaku efektif pada hari, tanggal, bulan, dan tahun
yang disebutkan pada Perjanjian Kerjasama ini.

PERWAKILAN BKKBN RUMAH SAKIT


PROVINSI ..................... .............................................
Kepala Direktur

NAMA.................. NAMA.......................
NIP............................ NIP...................................\

70
Lampiran 2: 2.b. Prototype Perjanjian Kerjasama Laparoskopi Dengan
Monitor

PERJANJIAN KERJASAMA
ANTARA
PERWAKILAN BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA
NASIONAL PROVINSI .........................................
DAN
RUMAH SAKIT ......................................................................
TENTANG
PINJAM PAKAI PERALATAN MEDIS LAPAROSKOPI DENGAN MONITOR
Nomor : ...........................................
Nomor ............................................

Pada hari ini, ................ Tanggal ................Bulan ...............Tahun Dua


Ribu Tiga Belas, yang bertanda tangan di bawah ini :

NAMA...................
NIP................................ Kepala Perwakilan Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana Nasional Provinsi
..................... yang berkedudukan di Jalan
............................ dalam hal ini bertindak
untuk dan atas nama Perwakilan Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional Provinsi ....................... sebagai
Pengguna Barang
Selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA

71
NAMA....................
NIP................................
Direktur Rumah ...............................yang
berkedudukan di Jalan ................................
.............. dalam hal ini bertindak untuk dan
atas nama Rumah Sakit ...........................
sebagai Pemanfaat Barang
Selanjutnya disebut .PIHAK KEDUA
Berdasarkan :
1. Surat Pengajuan bantuan alat Medis Laparoskopi
MOW dari Rumah Sakit ................................... Nomor
............................, Tanggal ................................, perihal
Permohonan Permintaan Alat Laparoskopi.
2. Surat Perwakilan BKKBN Provinsi ........................... Nomor :
................................. perihal Data Rumah Sakit dan Provider
MOW.

Kedua belah pihak dalam kedudukannya tersebut di atas sepakat untuk


mengadakan Kontrak Kerja Pemanfaatan peralatan Medis Laparoskopi
dalam rangka kegiatan pelayanan Kontap Wanita (MOW) di Rumah
Sakit ............................ dengan ketentuan yang dituangkan dalam
pasal-pasal sebagai berikut :

72
Pasal 1
PENGERTIAN UMUM
(1) Perjanjian Kerjasama adalah perjanjian antara Kepala Perwakilan
BKKBN Provinsi............................. dan Direktur Rumah Sakit
.............................. dalam hal pemanfaatan peralatan Medis
Laparoskopi untuk pelayanan MOW di PIHAK KEDUA.
(2) Perwakilan BKKBN Provinsi .......................... adalah Lembaga
Pemerintah Non Departemen yang bertugas melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional.
(3) Rumah Sakit ............................... adalah rumah sakit pemerintah
yang terletak di Jalan ......................... yang memenuhi persyaratan
untuk melakukan Pelayanan KB MOW metode laparoskopi.
(4) Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pengguna
barang dalam mengelola dan menatausahakan Barang Milik
Negara yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi yang
bersangkutan.
(5) Pemanfaatan adalah pendayagunaan Barang Milik Negara yang
dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kementerian
negara/lembaga lainnya, dalam bentuk sewa / pinjam pakai,
kerjasama pemanfaatan dan bangun serah guna / bangun guna
serah dengan tidak mengubah status kepemilikan.
(6) Direktur Rumah Sakit .............................. adalah Pimpinan
Rumah Sakit ................................... yang oleh karena jabatannya
tersebut berhak dan berwenang untuk mewakili Rumah Sakit
............................. dalam menandatangani perjanjian ini.
(7) Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi ............................ adalah
Pimpinan Perwakilan BKKBN Provinsi ...................... yang oleh
karena jabatannya tersebut berhak dan berwenang untuk mewakili
Perwakilan BKKBN Provinsi ................ dalam menandatangani
Perjanjian ini.

73
(8) Alat Medis Laparoskopi adalah alat canggih yang dapat melihat
dan melakukan operasi minimal invasive ke organ yang terdapat
dalam rongga panggul.

Pasal 2
MAKSUD DAN TUJUAN
(1) Upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, khususnya
yang memerlukan pelayanan peralatan Medis Laparoskopi secara
tepat, cepat, mudah, nyaman dan berkualitas.
(2) PIHAK PERTAMA bersedia menempatkan peralatan Medis
Laparoskopi di Rumah Sakit ............................. yang beralamat di
Jalan .......................................

Pasal 3
OBYEK KERJASAMA OPERASIONAL
Peralatan Medis Laparoskopi yang ditempatkan merk ..................
adalah alat untuk melayani akseptor KB Kontap Wanita (MOW)
sebagaimana brosur terlampir.

Pasal 4
HAK DAN KEWAJIBAN PIHAK PERTAMA
(1) PIHAK PERTAMA mempunyai tugas meminjamkan alat tersebut
dan menyipakan fallope ring sebagai salah satu pendukung
pelaksanaan penggunaan alat tersebut;
(2) PIHAK PERTAMA mempunyai tugas memfasilitasi pelatihan untuk
penggunaan laparoskopi tersebut;
(3) PIHAK PERTAMA mempunyai tugas memfasilitasi apabila ada
kerusakan alat tersebut;

74
(4) PIHAK PERTAMA berhak memindahkan laparoskopi tersebut
apabila jumlah capaian peserta KB hasil pelayanan MOW yang
dilaksanakan kurang dari perjanjian yang diterapkan ke RS/KKB
lain yang lebih potensial.
(5) PIHAK PERTAMA merujuk PIHAK KEDUA sebagai tempat
pendidikan dan pelatihan medis tehnis pelayanan kontrasepsi
bagi tenaga kesehatan termasuk di rumah sakit jejaringnya;
(6) PIHAK PERTAMA merujuk PIHAK KEDUA sebagai tempat penelitian
dan pengembangan pelayanan kontrasepsi.

Pasal 5
HAK DAN KEWAJIBAN PIHAK KEDUA
(1) PIHAK KEDUA mempunyai tugas melaksanakan pelayanan MOW
menggunakan alat tersebut dengan jumlah tidak kurang dari 30
peserta KB tiap bulan (dari hasil rata-rata laporan pencapaian
peserta KB MOW tahun sebelumnya);
(2) PIHAK KEDUA tidak diperkenankan memindahtangankan barang
tersebut kepada pihak lain tanpa seijin PIHAK PERTAMA;
(3) PIHAK KEDUA mempunyai tugas menjaga kualitas dan kelengkapan
alat tersebut;
(4) PIHAK KEDUA harus menyediakan kebutuhan bahan medis habis
pakai untuk pelayanan tubektomi dengan laparoskopi;
(5) PIHAK KEDUA memfasilitasi pendidikan dan pelatihan medis
tehnis pelayanan kontrasepsi bagi tenaga kesehatan termasuk di
rumah sakit jejaringnya;
(6) PIHAK KEDUA memfasilitasi penelitian dan pengembangan
pelayanan kontrasepsi.

75
Pasal 6
STATUS KEPEMILIKAN ALAT
(1) Selama Kerjasama ini berlangsung serta setelah berakhirnya, maka
hak milik atas peralatan Medis Laparoskopi adalah sepenuhnya
milik PIHAK PERTAMA.
(2) PIHAK KEDUA tidak dibenarkan untuk mengadakan perubahan
apapun pada peralatan Medis Laparoskopi tersebut atau sebagai
jaminan terhadap transaksi PIHAK KEDUA dengan pihak lain.

Pasal 7
PERAWATAN DAN REPARASI ALAT
(1) PIHAK PERTAMA akan memberikan pelayanan untuk memperbaiki
peralatan medis Laparoskopi yang mengalami kerusakan atau
gangguan operasional atas pemberitahuan dari PIHAK KEDUA.
(2) Biaya-biaya yang ditimbulkan untuk memperbaiki kerusakan
peralatan medis Laparoskopi ditanggung oleh PIHAK PERTAMA.

Pasal 8
JANGKA WAKTU PERJANJIAN
(1) Perjanjian Kerjasama ini berlaku untuk jangka waktu 4 (empat)
tahun sejak ditandatanganinya Perjanjian Kerjasama ini oleh
KEDUA BELAH PIHAK Tanggal ....................... dan akan berakhir
pada Tanggal ....................................
(2) Kerjasama ini akan dievaluasi secara kelembagaan dengan
menghormati dan mengindahkan ketentuan-ketentuan yang
berlaku pada KEDUA BELAH PIHAK

76
Pasal 9
PERPANJANGAN DAN PENGHENTIAN PERJANJIAN
(1) Perjanjian kerjasama ini dapat diperpanjang jangka waktunya,
sesuai dengan kesepakatan KEDUA BELAH PIHAK , berdasarkan
permohonan perpanjangan secara tertulis dari PIHAK KEDUA.
Apabila PIHAK KEDUA maupun PIHAK PERTAMA menghendaki
perjanjian ini diakhiri sebelum jangka waktu perjanjian berakhir,
maka PIHAK KEDUA atau PIHAK PERTAMA harus memberitahukan
terlebih dahulu minimal 3 (tiga) bulan masa sebelum perjanjian
berakhir melalui permohonan penghentian perjanjian kerjasama.
(2) PIHAK PERTAMA harus memberikan jawaban bersedia atau
tidaknya untuk memperpanjang perjanjian kepada PIHAK KEDUA
paling lambat 14 (empat belas) hari kalender setelah diterimanya
pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pasal ini.

Pasal 10
FORCE MAJEURE
(1) Pengertian force majeure dimaksud dalam Pasal ini adalah
keadaan yang ditimbulkan bencana alam seperti banjir bandang,
gempa bumi, gunung meletus, perang dan atau akibat adanya
kebijaksanaan Pemerintah Pusat di bidang moneter dan peraturan
perundang-undangan di luar kemampuan PIHAK PERTAMA dan
PIHAK KEDUA untuk melaksanakan perjanjian ini.
(2) Apabila terjadi keadaan force majeure sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), akan diadakan musyawarah oleh KEDUA BELAH
PIHAK. Selanjutnya akan dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama
tersendiri yang merupakan addendum dari Perjanjian Kerjasama
ini.

77
Pasal 11
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
(1) PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA sepakat untuk menyelesaikan
perselisihan yang timbul akibat pelaksanaan Perjanjian Kerjasama
ini secara musyawarah mufakat dan apabila tidak tercapai
kesepakatan PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA sepakat untuk
menyelesaikan melalui jalur hukum dan memilih domisili hukum
yang tetap tidak berubah di Kantor Pengadilan Negeri .................
.................
(2) Jika perselisihan terjadi, PIHAK KEDUA harus mengembalikan
peralatan medis Laparoskopi kepada PIHAK PERTAMA dalam
keadaan utuh dan baik, untuk itu PIHAK KEDUA memberikan
kuasa kepada PIHAK PERTAMA untuk menarik kembali peralatan
medis Laparoskopi tersebut.

Pasal 12
PEJABAT YANG DITUNJUK
Untuk kelancaran pelaksanaan perjanjian ini, KEDUA BELAH PIHAK
sepakat bahwa semua hubungan surat menyurat dan permasalahan
tentang operasional obyek perjanjian selama berlangsungnya
perjanjian ini diutamakan :
I. Dari PIHAK PERTAMA
Perwakilan Badan Kependudukan & Keluarga Berencana Nasional
Provinsi .........................
Jl. ..................................
Telp. ....................., Fax. ...............................
II. Dari PIHAK KEDUA
Rumah Sakit ..............................................
Jl. ...........................................
Telp. ...................................

78
Pasal 13
LAIN-LAIN
(1) Perjanjian kerjasama tentang peralatan medis Laparoskopi
berlaku sejak tanggal ditetapkan.
(2) Untuk mengisi kekosongan hukum perjanjian ini apabila sudah
masa berlakunya habis dengan ketentuan akan diperpanjang
sedangkan perjanjian yang baru belum selesai maka ketentuan
perjanjian yang lama masih tetap dipergunakan.

Pasal 14
KETENTUAN PENUTUP
(1) Hal-hal yang tidak atau belum diatur dalam Perjanjian Kerjasama
ini akan diatur dan ditetapkan kemudian oleh KEDUA BELAH
PIHAK atas dasar musyawarah yang selanjutnya dituangkan dalam
surat perjanjian tersendiri yang merupakan addendum yang tidak
dapat dipisahkan dengan perjanjian ini.
(2) Perjanjian Kerjasama ini dibuat rangkap 2 (dua) dan bermaterai
cukup serta ditandatangani oleh PIHAK PERTAMA dan PIHAK
KEDUA sehingga memiliki kekuatan hukum yang sama.

Demikian Perjanjian ini dibuat untuk dilaksanakan sebagaimana


mestinya dan mulai berlaku efektif pada hari, tanggal, bulan, dan tahun
yang disebutkan pada Perjanjian Kerjasama ini.

PERWAKILAN BKKBN RUMAH SAKIT


PROVINSI ..................... ..............................................
Kepala Direktur

NAMA.................. NAMA.......................
NIP............................ NIP...................................\

79
Lampiran 3 (Form 1)

80
Lampiran 3 (Form 2)

INSTRUMEN
MONITORING, EVALUASI DAN PEMBINAAN
DISTRIBUSI DAN UTILISASI LAPAROSKOPI
TAHUN 2015

Sasaran: RS Penerima Laparoskopi

81
IDENTIFIKASI UTILISASI LAPAROSKOPI
Instruksi: Pada lajur skor, beri nilai 1 untuk setiap komponen penilaian
yang sesuai dengan tolok ukur dan 0 bila tidak sesuai dengan tolok
ukur. Keterangan diisi dengan kondisi yang sebenarnya terjadi dan
alasannya.

82
MASALAH DAN SARAN

.., 2015
Responden Petugas MONEV

( .) ( .)

Mengetahui

Ttd dan cap


( .. )
Kepala Departemen OB GYN/Ka. PKBRS
83
84
SURAT EDARAN
NOMOR : 995/I/KU.201/B3/2015
TENTANG
TATA KELOLA PERMINTAAN, PENYIMPANAN DAN PENGELUARAN
ALKON/NON ALKON
DI LINGKUNGAN BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA
BERENCANA NASIONAL

A. Latar Belakang
Salah satu upaya menjamin keberlangsungan pelayanan KB
diperlukan dukungan tata kelola alkon dan non alkon yang
profesional efektif dan efisien melalui pengelolaan logistik sesuai
standard yang berlaku.
Perwakilan BKKBN Provinsi sebagai kepanjangtanganan BKKBN
Pusat diharapkan mampu berperan di wilayah kerjanya sebatas
kewenangan termasuk dalam hal pengelolaan permintaan,
penyimpanan dan pengeluaran alkon dan non alkon untuk
menjamin ketersediaan alkon dan non alkon yang sangat
dibutuhkan untuk memenuhi pelayanan KB.
Mengingat alkon dan non alkon memiliki nilai yang sangat
strategis dalam menunjang operasional Program Kependudukan
dan KB, maka alkon dan non alkon tersebut harus dikelola dengan
baik sesuai standard penyimpanan yang baik.
Agar pengelolaan alkon dan non alkon dapat dilakukan dengan
baik, maka diperlukan suatu tata kelola yang dapat dijadikan
acuan dalam permintaan, penyimpanan, dan pengeluaran sampai
dengan pengeluaran alkon dan non alkon sehingga terjamin
kelayakan persediaan (buffer stock) di gudang.

85
B. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan penyusunan tata kelola permintaan,
penyimpanan dan pengeluaran alkon dan non alkon lingkungan
BKKBN, sebagai berikut :
1. Maksud
a) Terlaksananya permintaan, penyimpanan dan
pengeluaran alkon dan non alkon secara tertib, aman
dan lancar taat azas sesuai standard tata kelola sehingga
alkon dan non alkon dalam keadaan siap pakai;
b) Sebagai acuan dalam monitoring dan pengendalian
permintaan dan pengeluaran alkon dan non alkon.
2. Tujuan
a) Terlaksananya permintaan alkon dan non alkon sesuai
ketentuan yang berlaku ;
b) Terciptanya penyimpanan alkon dan non alkon sesuai
dengan standard penyimpanan ;
c) Terkendalinya pengeluaran alkon dan non alkon sesuai
tepat jenis, tepat waktu, dan tepat sasaran.

C. Ruang Lingkup
Surat Edaran ini meliputi tata kelola permintaan, penyimpanan
dan pengeluaran alkon dan non alkon di gudang BKKBN Pusat dan
Perwakilan BKKBN Provinsi yang bersumber dari dana APBN.

D. Dasar
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 47). Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4286;

86
2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan Barang Milik
Negara;
3. Peraturan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional Nomor 72/PER/B5/2011 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional yang telah diubah dengan Peraturan
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional Nomor 273/PER/B4/2014;
4. Peraturan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional Nomor 82/PER/B5/2011 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana Nasional Provinsi;
5. Peraturan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional Nomor 286/PER/B3/2011 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Penerimaan, Penyimpanan, dan
Penyaluran Alat/Obat Kontrasepsi dan Non Kontrasepsi
Program kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional;

E. Ketentuan Permintaan, Penyimpanan, dan Pengeluaran Alkon


dan Non Alkon di lingkungan Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional, sebagai berikut :
1. Permintaan adalah sejumlah alkon dan non alkon yang
diminta (request system) pada suatu waktu tertentu.
Permintaan berkaitan dengan stok alkon dan non alkon yang
ingin dipenuhi.
2. Permintaan (non request) berdasarkan atas rencana
distribusi (rensi) atau berdasarkan kontrak masing-masing
Perwakilan BKKBN Provinsi
3. Pengeluaran merupakan rangkaian kegiatan perpindahan
alkon dan non alkon dari gudang pusat ke gudang provinsi,

87
dan dari gudang provinsi ke gudang/tempat penyimpanan di
Kabupaten/Kota berdasarkan atas kebutuhan karena kondisi
stock sudah mencapai pada posisi minimum.
4. Pengiriman/penyaluran adalah kegiatan pengiriman alkon
dan non alkon ke tempat-tempat penyimpanan (gudang)
dan pelayanan berdasarkan pemesanan/permintaan, tanpa
permintaan (request, non request atau pull dan push system)
dan atau distribusi dinamis yang bersifat horizontal.
5. Push Distribution System adalah sistem distribusi yang
dilakukan berdasarkan Dropping/Non Request.
6. Pull Distribution System adalah sistem distribusi yang
dilakukan berdasarkan permintaan/request.
7. Lead Time adalah waktu yang diperhitungkan untuk proses
permintaan alkon dan non alkon mulai surat permintaan
alkon dan non alkon diproses sampai alkon dan non alkon
tersebut diterima.
8. Penyimpanan adalah kegiatan penempatan, penataan,
pencatatan, dan pemeliharaan alkon dan non alkon di
gudang disemua tingkatan wilayah.
9. Dalam penyimpanan alkon dan non alkon sebaiknya
mengikuti standarisasi penyimpanan seperti :
a. Susunan alat/obat kontrasepsi pada pallet berdasarkan
jenis dan sifat alat/obat kontrasepsi dengan suhu ruang
derajat antara 15-25 celcius dan tinggi susunan tidak
lebih dari 2 m dan jarak antara pallet dan tembok 30
cm atau disesuaikan dengan kapasitas gudang.
b. Ruang tempat penyimpanan harus dibersihkan dari
segala sesuatu yang dapat mempercepat proses
kadaluarsa/rusak (debu, bahan kimia, barang bekas).
c. Persiapan ruang harus memperhatikan sistem First In
First Out (FIFO).

88
d. Kapasitas ruang yang dipersiapkan harus mampu
menyimpan seluruh alkon dan non alkon yang
akan diterima, apabila tidak, siapkan tempat untuk
penyimpanan sementara dan diberi tanda.
10. Memeriksa kelayakan perlengkapan dan peralatan
gudang, termasuk gudangnya terutama di ruang tempat
penyimpanan yang disiapkan antara lain:
a. Kelayakan bangunan gudang : pastikan atap gudang
tidak bocor dan pintu/jendela gudang tidak rusak
serta dipasang teralis untuk mendukung pengamanan
gudang.
b. Jumlah pallet atau almari/rak alkon dan non alkon yang
akan digunakan sudah cukup, dan layak pakai.
c. Alat pemadam kebakaran apakah masih layak pakai
dan dilakukan pemeriksaan secara rutin.
d. Alat pengukur suhu dan kelembaban apakah masih
berfungsi.
IUD maksimum 25 derajat celcius
Kondom maksimum 25 derajat celcius
Pil maksimum 25 derajat celcius
Suntikan maksimum 15 s/d 25 derajat celcius
Implant maksimum 15 s/d 25 derajat celcius
11. Semua pihak terkait harus melakukan penghitungan
minimum dan maksimum stock disesuaikan dengan sistem
distribusi yang digunakan; Pull Distribution System (Request
System) atau Push Distribution System (Dropping).
12. Buffer Stock adalah tingkat ketersediaan suatu alkon dan
non alkon untuk waktu tertentu.

89
13. First In First Out (FIFO) adalah proses pengeluaran alkon dan
non alkon berdasarkan waktu, bila masuk pertama maka
harus dikeluarkan lebih awal.
14. First to Expire Date, First Out (FEFO) adalah proses
pengeluaran alkon dan non alkon berdasarkan batas
kadaluarsa, bila alkon dan non alkon yang batas kadaluarsanya
lebih awal maka harus dikeluarkan lebih awal.
15. Pengeluaran alkon dan non dari gudang harus dilakukan
dengan menggunakan Surat Bukti Barang Keluar (SBBK)
yang ditanda tangani oleh Bendahara Barang dan pengirim
(ekpedisi), dasar penerbitan SBBK tersebut adalah SPMB
yang dibuat berdasarkanrensi atau surat permintaan
alkon dan non alkon dari provinsi/bagian/komponen serta
memperhatikan perhitungan stock alkon/non alkon yang
masih tersedia.
16. Formulir yang dipergunakan dalam permintaan dan
penyaluran alkon dan non alkon adalah sebagai berikut :
a. Formulir permintaan alkon dan alkon untukPerwakilan
BKKBN Provinsi dan Dinas Pengendalian Penduduk dan
KB Kabupaten dan Kota;
b. Surat Perintah Mengeluarkan Barang (SPMB), SPMB
yang dikeluarkan oleh Pembantu Kuasa Barang
merupakan dokumen yang dipergunakan sebagai dasar
untuk mengeluarkan alkon dan non alkon dari gudang;
c. Berita Acara Penerimaan Barang (BAPB), Dokumen
yang dipergunakan sebagai dasar untuk mencatat ke
dalam buku barang masuk, baik yang bersumber dari
APBN maupun APBD serta Hibah;
d. Surat Bukti Barang Masuk (SBBM), Dokumen yang
dibuat oleh Bendahara Barang sebagai tanda bahwa
alkon dan non alkon telah diterima secara resmi;

90
e. Surat Bukti Barang Keluar (SBBK), Dokumen yang
dibuat oleh Bendahara Barang sebagai bukti telah
dikeluarkannya alkon dan non alkon dari gudang;
17. Buku dan Kartu yang dipergunakan dalam pencatatan alkon
dan non alkon
a. Buku Barang Masuk (BBM), Buku yang dipergunakan
untuk mencatat setiap alkon dan non alkon yang
diterima sebagai agenda untuk penomoran SBBM ;
b. Buku Barang Keluar (BBK), buku yang dipergunakan
untuk mencatat setiap alkon dan non alkon yang
dikeluarkan dari gudang sebagai agenda untuk
penomoran SBBK;
c. Kartu Persediaan Barang, kartu yang dibuat per
jenis barang untuk mencatat dan mengetahui setiap
penerimaan dan pengeluaran serta sisa pesediaan
akhir. Kartu Persediaan Barang ini merupakan kontrol
bagi Atasan Langsung Bendahara Barang.
d. Kartu Barang, Kartu yang dibuat per jenis alkon
dan non alkon yang ditempelkan pada barang yang
bersangkutan, dipergunakan untuk mencatat setiap
penerimaan, pengeluaran serta sisa persediaan akhir.

F. Tata Kelola Permintaan dan Pengeluaran Alkon dan Non Alkon


di lingkungan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional, sebagai berikut :
Tingkat Pusat
a. Request/Permintaan
1. Kepala/Sekretaris Perwakilan BKKBN Provinsi
mengajukan kebutuhan/permintaan alkon dan non
alkon kepada Deputi Bidang KB-KR tembusan Direktorat

91
Pelayanan KB Jalur Pemerintah (Ditjalpem) BKKBN
Pusat dengan surat/formulir permintaan alkon dan non
alkon.
2. Ditjalpem mengkaji permintaan tersebut dengan PPM
sesuai dengan kontrak kinerja masing-masing provinsi
dan kondisi ketersediaan stock alkon dan non alkon di
gudang BKKBN.
3. Ditjalpem membuat Nota Dinas Kepada BIKUB perihal
permintaan dan pengeluaran alkon dan non alkon
sebagai dasar pembuatan Surat Perintah Mengeluarkan
Barang (SPMB).
4. Apabila tersedia, alkon dan non alkon yang
diminta oleh Bikub ditindaklanjuti sesuai dengan
permintaan tersebut dilengkapi dengan administrasi
pengeluaran barang dan memberitahukan kepada
Ditjalpem tembusan Perwakilan BKKBN Provinsi
yang bersangkutan. Apabila tidak tersedia Bikub
memberitahukan ketidaktersediaan alkon dan non
alkon tersebut kepada Ditjalpem tembusan Perwakilan
BKKBN Provinsi.
b. Non Request
1. Alkon dan non alkon berdasarkan Rencana Distribusi
(rensi) dari kontrak pengadaan alkon dan non alkon
Ditjalpem membuat Nota Dinas kepada Kepala Bikub
untuk mendistribusikan alkon dan non alkon ke
perwakilan BKKBN Provinsi.
2. BIKUB cq Kepala Bagian Pengelolaan Sarana Program
menandatangani SPMB dengan diketahui oleh Kepala
Biro Keuangan dan Pengelolaan BMN sebagai dasar
pengeluaran alkon dan non alkon.

92
3. Bendahara Barang atas dasar SPMB tersebut
mengeluarkan/mengirimkan alkon dan non alkon
kepada provinsi/bagian/komponen yang mengajukan
permintaan disertai dengan Surat Bukti Barang Keluar
(SBBK).

Tingkat Provinsi
a. Request
1. Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi selaku Kuasa
Pengguna Barang Wilayah melalui Sekretaris Perwakilan
BKKBN menyetujui SPMB atas permintaan dari Kabid
KB mengetahui Kepala Sub Bagian Keuangan dan
Pengelolaan BMN selaku Atasan Langsung Bendahara
Barang. Dasar mengeluarkan SPMB adalah permintaan
dari Kabupaten dan Kota atau perhitungan stock alkon.
2. SPMB dibuat dan ditandatangani oleh Kepala Bidang KB
selaku pengguna dan disetujui oleh Sekretaris Badan
untuk disampaikan kepada Bendahara Barang, asli
SPMB disampaikan kepada Bendahara Barang dengan
satu tembusan Bidang KB selaku pengguna barang
dan satu tembusan disampaikan kepada Sekretaris
Badan Cq. Kasubag Keuangan dan BMN. Atas perintah
mengeluarkan barang tersebut Bendahara Barang
membuat dan menandatangani SBBK.
3. Setiap penyerahan/pengiriman alkon dan non alkon
dari gudang Provinsi ke gudang SKPD-KB/(Dinas
Pengendalian Penduduk dan KB Kabupaten dan Kota)
harus disertai dengan Berita Acara Penyerahan dan
Penerimaan alkon dan non alkon.
4. Bendahara barang harus memberikan tembusan SBBK
kepada atasan langsungnya sebagai bukti bahwa alkon

93
dan non alkon telah dikirim oleh ekspedisi pada tanggal,
bulan, tahun sesuai yang tercantum pada SBBK kepada:
Kepala Sub Bagian Keuangan dan Pengelolaan
BMN selaku Atasan Langsung Bendahara Barang;
Sekretaris untuk cross check F/V/KB, dan
dilaporkan kepada Kepala Perwakilan BKKBN
Provinsi.
5. Sebagai bukti barang telah diterima di Kabupaten
dan Kota tujuan pengiriman, maka pihak pengirim
(ekspedisi) harus mengembalikan SBBK yang telah
ditandatangani dan distempel oleh Bendahara barang
Kabupaten dan Kota yang bersangkutan kepada :
Kepala Sub Bagian Keuangan dan Pengelolaan
BMN selaku Atasan langsung Bendaharawan
Barang,
Sekretaris untuk cross check F/V/KB, dan
dilaporkan kepada Kepala Perwakilan BKKBN
Provinsi.
b. Non Request
1. Berdasarkan Rencana Distribusi (rensi) dari Bidang
KB, selanjutnya Kabid KB membuat Nota Dinas
kepada Sekretaris Perwakilan BKKBN Provinsi untuk
mendistribusikan alkon dan non alkon yang telah
disetujui tersebut.
2. Sekretaris cq Kasubag Keuangan dan Pengelolaan BMN
menandatangani SPMB dengan diketahui oleh Kabid KB
Perwakilan BKKBN Provinsi sebagai dasar pengeluaran
alkon dan non alkon.
3. Bendahara Barang atas dasar SPMB tersebut
mengeluarkan/mengirimkan alkon dan non alkon

94
kepada kabupaten/kota yang mengajukan permintaan
disertai dengan Surat Bukti Barang Keluar (SBBK).

Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung-


jawab.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal, 16 Juni 2015

Kepala BKKBN,

Surya Chandra Surapaty

Tembusan :
1. Sekretaris Utama (sebagai laporan)
2. Para Pengelola Anggaran BKKBN
3. Arsip

95
DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional: Biro


Keuangan dan Pengelolaan BMN 2011, Penerimaan, penyimpanan
dan penyaluran alat/obat kontrasepsi dan non kontrasepsi
program KB nasional, Jakarta.
2. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional: Biro
Keuangan dan Pengelolaan BMN 2011,Perencanaan kebutuhan
alat/obat kontrasepsi dan non kontrasepsi, Jakarta.
3. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional:
Petunjuk Pelaksanaan 2011, Pengadaan barang/jasa pemerintah
di lingkungan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional, Jakarta.
4. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional:
Direktorat Pelaporan dan Statistik 2012, Hasil pelaksanaan
sub sistem pencatatan dan pelaporan: Data potensi Faskes KB
program KKB Nasional tahun 2012, Jakarta.
5. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Ikatan
Dokter Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, Perkumpulan
Keluarga Berencana Indonesia, Perkumpulan Kontrasepsi
MantapIndonesia, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional, Kementerian Kesehatan 2011, Buku Panduan Praktis
Pelayanan Kontrasepsi, Edisi 3, PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta.

96
Catatan :

97
Catatan :

98
DIREKTORAT BINA KESERTAAN KB JALUR PEMERINTAH

Anda mungkin juga menyukai