Anda di halaman 1dari 24

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Medis
1. Pengertian
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak, tanpa terputusnya kontinuitas
otak. Trauma serebral adalah suatu bentuk trauma yang dapat mengubah
kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan aktifitas fisik, intelektual,
emosional, sosial dan pekerjaan (Krisanty et all, 2009).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun
tidak langsung pada kepala (Suriadi &Yuliani, 2001).
Cidera kepala adalah adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi -
decelerasi ) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan
peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu
pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada
tindakan pencegahan.
2. Mekanisme cedera
Trauma kepala terjadi bila ada kekuatan mekanik yang ditransmisikan ke jaringan
otak. Mekanisme yang berkontribusi terhadap trauma kepala:(Krisanty et all, 2009)
a. Akselerasi: kepala yang diam (tak bergerak) ditabrak oleh benda yang bergerak
b. Deselerasi: kepala membentur benda yang tidak bergerak
c. Deformasi: bentuk pada kepala (tidak menyebabkan fraktur tulang tengkorak)
menyebabkan pecahnya pembuluh darah vena terdapat dipermukaan kortikal
sampai ke dura sehingga terjadi perdarahan subdural.
3. Etiologi
Trauma kapitis paling sering dijumpai pada kecelakaan lalulintas (60%).
Disamping itu dapat pula dijumpai pada kecelakaan yang terjadi sewaktu
berolahraga, jatuh dari pohon, kejatuhan kelapa dll. Setiap trauma kapitis dapat
menimbulkan kerusakan pada otak (brain damage), disamping itu dapat pula
dijumpai luka pada kepala atau mungkin suatu factor kranii atau hanya luka memar
saja.
Suatu fraktor kranii membuktikan bahwa trauma kapitis tersebut adalah
trauma yang cukup berat, dan trauma yang demikian berat biasanya menimbulkan
pula kerusakan pada otak, namun demikian tidak jarang kita lihat adanya kerusakan
pada otak tanpa tanda-tanda adanya fraktur kranii pada foto rotgen.Bila kepala itu
terbentur pada jalan aspal misalnya maka gaya akselerasi deselerasi yang mencakup
seluruh otak akan dapat menimbulkan kerusakan sel-sel neuron, perdarahan, laserasi
serebri dan kontusio serebri pada otak.
Setiap trauma kapitis yang telah menimbulkan kesadaran menurun/koma,
walaupun sangat singkat selalu/telah memberikan suatu kerusakan struktural pada
otak. Kerusakan dapat beruipa kelainan yang reversible tetapi dapat pula menjadi
kerusakan yang permanen misalnya sel-sel ganglion dalam nucleus vestibularis
tampak berkurang.
Disamping kesadaran yang menurun, suatu trauma kapitis dapat pula
menimbulkan amnesia yang terbagi dalam :
a. Amnesia Retrograd; yaitu amnesia tentang hal-hal yang terjadi beberapa saat
sampai beberapa hari terjadi trauma kapitis.
b. Amnesia pasca traumatic (PTA = Post Traumatik Amnesia) yaitu amnesia
tentang hal-hal yang terjadi sesudah trauma kpitis.
Dari panjangnya PTA ini secara retrospektif kita dapat mengetahui tentang berat
ringannya trauma kapitis tersebut. Walaupun penderita telah dapat bicara spontan
namun ia tidak ingat bahwa waktu itu telah dilakukan pemeriksaan rotgen, EEG dan
lain-lain. Selain dari pada itu penderita tidak ingat lagi siapa yang bertamu
danbmenengoknya pada waktu itu. Suatu trauma kapitis dapat menimbulkan
kesadaran menurun tetapi apa yang menimbulkan kesadaran itu menurun sampai
kini masih belum jelas.
4. Klasifikasi
a. Menurut penyebabnya
1) Trauma tumpul
Kekuatan benturan akan menyebabkan kerusakan yang menyebar. Berat
ringannya cedera yang terjadi tergantung pada proses akselerasi-deselerasi,
kekuatan benturan dan kekuatan rotasi internal. Rotasi internal dapat
menyebabkan perpindahan cairan dan perdarahan petekie karena pada saat
otak bergeser akan terjadi pergesekan antara permukaan otak dengan
tonjolan-tonjolan yang terdapat dipermukaan dalam tengkorak laserasi
jaringan otak sehingga mengubah integritas vaskuler otak.
2) Trauma tajam
Disebabkan oleh pisau atau peluru, atau fragmen tulang pada fraktur tulang
tengkorak. Kerusakan tergantung pada kecepatan gerak (velocity) benda
tajam tersebut menancap ke kepala atau otak. Kerusakan terjadi hanya pada
area dimana benda tersebut merobek otak. Obyek dengan velocity tinggi
(peluru) menyebabkan kerusakan struktur otak yang luas. Adanya luka
terbuka menyebabkan risiko infeksi.
3) Coup dan contracoup
Pada cedera coup kerusakan terjadi segera pada daerah benturan sedangkan
pada cedera contracoup kerusakan terjadi pada sisi yang berlawanan dengan
cedera coup.
b. Menurut berat ringannya trauma
Hudak et all (1996) membagi cedera kepala sebagai berikut:
Penentuan
Deskripsi Frekuensi
keparahan
Minor GCS 13 15 55 %

Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau


amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada
kontusio serebral, hematoma
Sedang 24 %
GCS 9 12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih
dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
Dapat mengalami fraktur tengkorak
Berat 21 %
GCS 3 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam sampai berhari-hari.
Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau
hematoma intracranial.

c. Menurut hubungan dengan dunia luar


1) Trauma Kapitis tertutup
a) Komusio cerebri
Adalah dimana sipenderita koma setelah mendapat trauma kapitis,
mengalami kesadaran menurun sejenak ( dari 10 menit), kemudian
dengan cepat siuman kembali tanpa mengalami suatu defisit
neurologis.
b) Kontusio cerebri
Terdapat perdarahan jaringan otak, timbul karena adanya ruptur di
kapiler subtansia grisea dan subtansia alba. Kesadaran menurun (dapat
sampai koma yang dalam), dapat berlangsung beberapa jam sampai
berhari-hari, bahkan sewaktu-waktu dapat berlangsung dalam
beberapa minggu.
c) Edema cerebri
Bila hal ini terjadi, maka :
Penderita bertambah gawat.
Kesadaran terus menurun, misalnya semula hanya samnolen
menjadi koma misalnya semula skor 10 menjadi skor 4.
Funduskopi terlihat papil bendung, keadaan ini mengkhawatirkan
karena akan dapat menimbulkan inkaserasio inkus kedalam
insisura tentorii atau tonsil serebelli kedalam foramen magnum.
Bila penderita memperlihatkan kesadaran menurun terus, hendaknya
mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan :
Hipoksia hiperkapnoe
Telah diberikan injeksi luminal, largati atau vitamin.
Setelah tindakan pembedahan abdominal, tulang atau operasi
lainnya.

d) Hematoma Epidural
Adalah suatu haematom yang terjadi diantara duramater tulang, timbul
karena telah terjadi sobekan pada arteri meningen media atau pada
salah satu cabangnya dari artericarotis ekterna yang masuk dalam
rongga tengkotak melalui foramen spinosum. Sobekan dapat terjadi
bila ada garis fraktur yang jalannya melintang dengan jalannya arteri
meningen media.
e) Haematoma Subdural
Timbul oleh karena adanya sobekan pad Biridgins Veins, dapat akau
atau kronis. Diagnosis yang kronis tidak gampang dan gejalanya sangat
menyerupai gejalatumor serebri serta terletak diantara duramater dan
arachnoid yang dapat menyerap cairan sekitarnya, oleh karena itu
simptomatologi sangat menyerupai gejala tumor serebri.
Trauma kapitis ringan sehingga penderita tidak ingat kapan dan dimana
kepalanyaterbentur, tidak menimbulkan kesadaran menurun.
Diantaranya trauma kapitis dan timbulnya haematoma subdural
terdapat jarak yang cukup panjang.
f) Haematoma Intraserebral dan hematom
Perdarahan kedalam substansi otak. Hemoragi biasanya terjadi pada
cedera kepala dimana tekanan mendesak ke kepala sampai daerah
kecil. Hemoragi ini mungkin disebabkan oleh hipertensi sistemik, yang
menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah pembuluh darah;
ruptur kantung aneurima; anomali vaskuler; tumor intra kranial;
penyebab sistemik, termasuk gangguan perdarahan seperti leukemia,
hemofilia, anemia aplastik dan trombositopenia; dan komplikasi terapi
antikoagulan.
g) Fraktur Kranii
Fraktur Impresi ( fraktur depresi )
Bagian yang patah menonjol kedalam rongga tengkorak, nampak
pada foto kepala utamanya proyeksi tangensial pada tempat fraktur
, tidak jarang ditemukan juga fraktur bentuk bintang (stellate
fracture). Dikemudian hari dapat menimbulkan epilepsy, apalagi
bila menekan girus prensentralis, perlu reposisi (operatif atau
disedot vakum ) agr tulang kembali kedudukannya semula.
Fraktur Basis Cranii :
Fraktur fossa kranii media, tampak :
Perdarahan liang telinga
Lesi N. VII, VIII dan VI (atau N.IV III dan V)
Mungkin otoroe(keluar liquor dari liang telinga)
Fraktur fossa kranii anterior, tampak :
Anosmi
Lesi N Optikus dekstra/sinistra atau keduanya
Mungkin Rinorhea (keluar liquor dari hidung)
2) Trauma Kapitis Terbuka
a) Trauma Spirai
Lesi spiral terutama servikal memerlukan tindakan penanganan ekstra
karena transportasi dan pembuatan foto leher dapoat mencelakakan
penderita, terutama lesi servikal atau misalnya akibat fraktur atau
spordilostesis C1 C2 C3. Sebaiknya leher segera difiksasi sejak
dijalan raya. Pembuatan foto sangat hati-hati atau ditunda dahulu dan
dipasang kawat likasi atau traksi leher secepatrnya, jangan dilakukan
funksi lumbal atau pemeriksaan kaku kuduk dan valsava. Umumnya
tidak diperlukan obat khusus tetapi anti oedema dapat menolong. Lesi
spiral lain yang sering adalah ovulsi radialis terutama dari regio fleksus
brachialis yang sangat nyeri, secara dermatomal jelas dan dapat
mengakibatkan paresis anggota badan terkait. Diagnosis ovulsi
diperkuat oleh EEG, evaked potensial, mielografi dan MRI
5. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan oksigen. Jadi kekurangan aliran darah
keotak tidak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula
dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh
kurang dari 20 mg%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak
25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma
turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral.
Pada saraf otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolic anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan as. Laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini menyebabkan timbulnya
metabolik asidosis.

Dalam keadaan normal aliran darah serebral (CBF) adalah 5060 ml/menit /
100gr jaringan otak yang merupakan 15% dari curah jantung (CO).Trauma kepala
menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial,
perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi
ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan
ventrikel, takikardia. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan
vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol
akan berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh
darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.

6. Manifestasi klinik

Manifestasi klinik cedera otak meliputi gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas


pupil, awitan tiba-tiba, defisit neurologis dan perubahan tanda-tanda vital. Mungkin
ada gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensori, kejang otot, sakit
kapala, vertigo, gangguan pergerakan, kejang dan banyak efek lainnya. Karena
cedera SSP sendiri tidak menyebabkan syok, adanya syok hipovolemik
menunjukkan kemungkinan cedera multi sistem (Smeltzer & Bare, 2002).

7. Pemeriksaan diagnostik

Pemeriksaan penunjang pada trauma kapitis menurut Doenges, Moohouse &


Geissler (2000), yaitu :

a. Skan CT (tanpa/dengan kontras: mengidentifikasi adanya SOL, hemoragic,


menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan pemeriksaan
berulang mungkin diperlukan karena iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi
dalam 24 72 jam pascatrauma.
b. MRI : sama dengan skan CT dengan/tanpa menggunakan kontras.
c. Angiografi serebral : menunjukan kelaianan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
d. EEG: Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis,
e. Sinar X: mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.
f. BAER (Brain Auditori Evoked Respons): menentuk fungsi korteks dan batang
otak.
g. PET (Positron Emission Tomografi): menunjukan perubahan aktivitas
metabolisme dalam otak.
h. Pungsi Lumbal, CSS: dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subarachniod .
i. GDA (Gas Darah Arteri): mengetahuai adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
yang dapat meningkatkan TIK..
j. Kimia/Eolektrolit Darah: mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
peningkatan TIK/perubahan mental.
k. Pemeriksaan Toksikologi: mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
dalam penurunan kesadaran.
l. Kadar Antikonvulsan Darah: Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi
yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
8. Komplikasi
a. Hemorrhagie
b. Infeksi
c. Edema
d. Herniasi

9. Penatalaksanaan

Penilaian dan pengelolaan awal penderita trauma


a. Kematian karena trauma akibat keterlambatan pertolongan
b. Ketidakmampuan tenaga kesehatan menilai dengan baik serta memberi
pertolongan awal
c. Tindakan yang tidak tepat dan cepat
Penilaian Awal :persiapan, triase, survei primer, resusitasi, pemantauan dan re-
evaluasi lanjut dan penanganan menetap
Tahap Pengelolaan Penderita
a. Tahap Pra Rumah Sakit
1) Koordinasi antara petugas lapangan rumah sakit
2) Informasi kerumah sakit sudah disampaikan sebelum mengirim/membawa
pasien :
3) Jaga airway, breathing, kontrol perdarahan dan syok
4) Immobilitas pasien
5) Kirim pasien ke rumah sakit terdekat (pusat trauma)
6) Sertakan pasien keterangan yang dibutuhkan di rumah sakit yang meliputi :
waktu kejadian, sebab kejadian, riwayat pasien & mekanisme kejadian serta
jenis perlakuan
Triase
a. Menilai pasien berdasarkan tingkat kebutuhan pasien dan sumber daya yang
tersedia
b. Tindakan berdasarkan pada ABC dengan tetap menjaga cervical spine control
serta perdarahan
c. Hal ini berlaku baik dilapangan maupun rumah sakit
d. Sebelum pengiriman dilakukan scoring
e. Dua jenis keadaan triase dapat terjadi :
Jumlah pasien dan beratnya perlukaan tidak melampaui kemampuan
petugasYang dilayani : gawat darurat dan multi trauma
Jumlah pasien dan beratnya perlukaan melampaui kemampuan petugas
Yang dilayani : Pasien dengan kemungkinan survival yang terbesar dan
membutuhkan waktu serta tenaga paling sedikit
Survei Primer
Penilaian keadaan pasien & prioritas keadaan berdasarkan jenis :
a. Perlukaan
b. Tanda-tanda Vital
c. Mekanisme ruda paksa
d. Pasien luka parah, prioritas tindakan diberikan berurutan :
Airway control servikal
Penilaian : Kelancaran Airway
- Periksa adanya observasi jalan napas (benda asing, fraktur tulang
wajah, mandibula dan maksila, fr. laring dan trakea
- Tetap menjaga vertebra servikal risiko fraktur servikal > lakukan Chin
Lift (Jaw Thrust)
- Jangan lakukan ekstensi, fleksi atau rotasi leher
Kemungkinan patahnya tulang servikal bila ada :
1. Trauma kesadaran
2. Adanya luka Trauma tumpul diatas clavikula
3. Setiap multi trauma (2 regio atau lebih)
4. Juga harus waspada terhadap kemungkinan patah tulang belakan (Bio
Mecanic Trauma ) Sebaiknya pasang kolar
Bila ada gangguan jalan napas BHD (cari sendiri artinya)
Breathing dan ventilasi
Jalan napas baik tidak mutlak ventilasi baik
Ventilasi yang baik fungsi paru, dinding dada dan difragma
Perlukaan Bahaya misalnya Tension Pneumothorax
Circulation dengan control perdarahan
Volume darah (Cardiac Output)
Perdarahan penyebab kematian yang cepat
Penilaian status hemodinamik : perubahan kesadaran, warna kulit, nadi, tekanan
darah.
Kontrol Perdarahan
Perdarahan dapat :eksternal, internal, rongga thorax, rongga abdomen, fraktur
pelvis, fraktur tulang panjang
Perdarahan eksternal Balut Tekan
Disability Sistem Neurologis
Dinilai tingkat :
-Kesadaran, ukuran dan reaksi pupil
-GCS (Glasgow Coma Scale)
Perubahan kesadaran O2 diotak perubahan perfusi jaringan di otak

Pemeriksaan meliputi ventilasi, perfusi dan oksigenasi


Exposure Cegah kedinginan
Ini dilakukan untuk memeriksa fisik . thoraks
Cegah kedinginan : Pakai selimut hangat, ruangan cukup hangat, cairan
yang sudah dihangatkan
Obat-Obatan :
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema cerbral, dosis sesuai
debgan berat ringannya trauma.
b. Therapi hiperventilasi (trauma kapitis berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
c. Pemberian analgetik.
d. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau
glukosa 40 % atau gliserol 10%.
e. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (penicillin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidazole.
f. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa hany cairan infus dextrose 5%. Aminophusin, aminophel (18
jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
g. Pada trauma berat. Karena pada hari-hari pertama didapat penderita mengalami
penurunan kesadaran dan cendrung terjadi retensi Na dan elektrolit maka hari-
hari pertama (2 3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dextrose 5% 8 jam ke tiga.
Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui NGT
(2500 3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai urea N.

B. ASKEP TEORI
1. Dasar Data Pengkajian Pasien
Data tergantung pada tipe, lokasi, dan keparahan cedera dan mungkin dipersulit oleh
cedera tambahan pada organ-organ vital.
a. Aktivitas dan Istiharat
Gejala: merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan,
Tanda: perubahan kesadaran/letargi, hemiparese, quadraplegi, ataksia, cara
berjalan tak tegap, masalah dalam kesimbangan, cedera (trauma ) orthopedic,
kehilangan tonus otot spastic.
b. Sirkulasi
Gejala : perubahan TD atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung,
bradikardi, takikardi, diselingi dengan bradikardi, disritmia
c. Integritas Ego
Gejala : perubahan tingkah laku atau kepribadian, tenang atau dramatis
Tanda : cemas, meudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan
impulsif
d. Eliminasi
Gejala : inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi
e. Makanan dan Cairan
Gejala : mual muntah dan mengalami perubahan selera
Tanda : muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur
keluar, disfagia)
f. Neurosensori
Gejala : kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkop, tinnitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstremitas, perubahan
pada penglihatan seperti ketajaman, diplopia, kehilangan sebagian lapang
pandang, fotophobia.
Tanda : perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah,
pengaruh emosi/tingkah laku dan memori, perubahan pupil(respon terhadap
cahaya), deviasi pada mata, genggaman lemah, tidak seimbang.
g. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda dan biasanya
lama
Tanda : wajah menyeringai, respon menarik pada rangfsangan nyeri yang
hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
h. Pernafasan
Tanda : perubahan pola napas (apnea yang dselingi oleh hiperventilasi). Napas
berbunyi, stridor, tersedak, ronkhi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
i. Keamanan
Gejala : trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan
Kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna kulit. Adanya aliran cairan
(drainage) dari telinga/hidung
Gangguan kognitif
Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum
mengalami paralisis

2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran
darah oleh SOL, haemoragik (hematoma) edema serebral, penurunan tekanan
darah sistemik/hipoksia.
b. Risiko pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler
(cedera pada pusat pernapasan otak), obstruksi trachea bronchial
c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan adanya trauma atau defisit
neurologis.
d. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kekuatan/tahanan, terapi
pembatasan
e. Risiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan kulit rusak, prosedur
invasive.
f. Risiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d
perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran).
g. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan kurang pemajanan, tidak mengenal sumber-sumber informasi, kurang
mengingat/keterbatasan kognitif ditandai dengan meminta informasi, pernyataan
salah konsepsi, ketidakakuratan mengikuti instruksi.

3. Intervensi keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran
darah oleh SOL (hemoragi dan hematom), edema serebral, penurunan
TD/hipoksia
Tujuan: mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi
motorik/sesnsorik.
Intervensi :
1) Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang
menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial
peningkatan TIK.
R/ : menentukkan pilihan intervensi, penurunan tanda gwjala neurologis atau
kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal mungkin menunjukan
bahwa pasien itu perlu dipindahkan ke perawatan intensif untuk memantau
TIK dan atau pembedahan
2) Pantau/catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai
standar (misalnya Skala Coma Glascow)
R/ : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan
perkembangan kerusakan SSP.
3) Evaluasi kemampuan membuka mata, seperti spontan (sadar penuh),
membuka hanya jika diberi rangsangan nyeri, atau tetap tertutup (koma).
R/ : Menentukan tingkat kesadaran.
4) Kaji respon verbal; catat apakah pasien sadar, orientasi terhadap orang,
waktu dan tempat baik atau malah bingung; menggunakan kata-kata/frase
yang tidak sesuai
R/ : mengukur kesesuaian dalam berbicara dan menentukan tingkat
kesadaran.
5) Kaji respon motorik terhadap perintah yang sederhana, gerakan yang
bertujuan (patuh terhadap perintah, berusaha untuk menghilangkan rangsang
nyeri yang diberikan) dan gerakan yang tidak bertujuan (kelainan postur
tubuh). Catat gerakan anggota tubuh dan catat sisi kiri dan kanan secara
terpisah .
R/ : Mengukur kesadaran secara keseluruhan dan kemampuam untuk
berespon pada rangsangan eksternal dan merupakan petunjuk keadaan
kesadaran terbaik pada pasien yang matanya tertutup sebagai akibat pasien
trauma atau afasia. Pasien dikatakan sadar apabila pasien dapat meremas atau
melepas tangan pemeriksa atau dapat menggerakan tangan sesuai dengan
perintah. Gerakan yang bertujuan dapat meliputi mimik kesakitan atau
gerakan menarik atau menjauhi rangsangan nyeri. Gerakan lain (fleksi
abnormal dari ekstremitas tubuh) biasanya sebagai indikasi kerusakan
serebral yang menyebar. Tidak adanya gerakan spontan pada salah satu sisi
tubuh yang menandakan kerusakan pada jalan motorik pada hemisfer otak
yang berlawanan (kontralateral).
6) Pantau TD:
a) Catat adanya hipertensi sistolik secara terus menerus dan tenaga nadi
yang semakin berat; observasi terhadap hipertensi pada pasien yang
mengalami trauma multiple.
R/ : Normalnya, autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang
konstan pada saat ada fluktasi tekanan darah sistemik. Kehilangan
autoregulasi dapat mengikuti kerusakakan vaskularisasi serebral lokal
atau menyebar. Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti oleh
penurunan tekanan darah diastole merupakan tanda terjadinya
peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan tingkat kesadaran.
Hipovolemia/hipertensi dapat juga mengakibatkan kerusakan/iskemia
serebral.
b) Frekwenai jantung, catat adanya bradikardia, takikardia, atau bentuk
disritmia lainnya.
R/ : Perubahan pada ritme (paling sering bradikaria) dan disritmia dapat
timbul yang mencerminkan adanya depresi/trauma pada batang otak
pada pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung sebelumnya.
c) Pantau pernapasan meliputi pola dan iramanya, seperti adanya periode
apnue setelah hiperventilasi yang disebut pernapasan cheynestokes.
R/ : Napas yang tidak teratur dapat menunjukan adanya gangguan
serebral/peningkatan TIK dan memerlukan intervensi yang lebih lanjut
termasuk kemungkinan dukungan napas buatan.
7) Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketjaman, kesamaan antara kiri dan
kanan, dan reaksinya terhadap cahaya.
R/ : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (N.III) dan berguna
untuk menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/kesamaan
ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis.
Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkoordinasi dari saraf
cranial optikus dan okulomtorius.
8) Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya penglihatan yang kabur,
ganda, lapang pandang menyempit dan kedalaman persepsi.
R/ : Gangguan penglihatan, yang dapat diakibatkan oleh kerusakan
mikroskopik pada otak, mempunyai konsekwensi terhadap keamanan dan
juga akan mempengaruhi pilihan intervensi.
9) Kaji letak/gerakan mata, catat apakah pada posisi tengah atau ada deviasi
pada satu sisi atau kebawah. Catat pula hilangnya refleks dolls eye
(refleks okulosefalik).
R/ : Posisi dan gerakan mata membantu menemukan lokasi area otak yang
terlibat. Tanda awal dari peningkatan TIK adalah kegagalan dalam kegagalan
dalam abduksi pada mata, mengindikasikan penekanan/trauma pada saraf
cranial V.Hilangnya dolls eye mengindikasikan adanya penurunan pada
fungsi batang otak dan prognosisnya jelek.
10) Catat ada tidaknya refelks-refleks tertentu seperti refleks menelan, batuk dan
Babinski dan sebagainya.
R/ : Penurunan refleks menandakan adanya kerusakan pada tingkat otak
tengah atau batang otak dan sangat berpengaruh langsung terhadap pasien.
Refleks Babinski positif mengindikasikan adanya trauma sepanjang jalur
piramida pada otak
11) Pertahankan kepala/leher pada posisi tengah/posisi netral, sokong dengan
gulungan handuk kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada kepala.
R/ : Kepala yang miring pada satu sisi akan menekan vena jugularis dan
menghambat aliran darah venayang selanjutnya akan meningkatkan TIK.
12) perhatikan adanya gelisah yang meningkat, peningkatan keluhan, dan tingkah
laku yang tidak sesuai lainnya.
R/ petunjuk nonverbal mengindikasikan adanya peningkatan TIK atau
menandakan adanya nyeri ketika pasien tidak dapat mengungkapkan
keluhannya secara verbal.
13) Kolaborasi :
a) Tinggikan kepala pasien 15 45derajat sesuai indikasi yang dapat
ditoleransi.
b) R/ : Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga akan
mengurangi kongesti dan edema atau risiko terjadinya peningkatan TIK.
c) Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
d) R/ : menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan
vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK.
e) Berikan obat sesuai indikasi.
Diuretik (manitol, furosemid)
R/ : Diuretik dapat digunakan pada fase akut untuk menurunkan air
dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK.
Steroid (dexametason, metilprednisolon).
R/ : menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema
jaringan.
Antikonvulsan (Fenitoin).
R/ : untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktivitas kejang.
Analgetik (Kodein).
R/ : Untuk menghilangkan nyeri.
Sedatif (Difenhidramin).
R/ : untuk mengendalikan kegelisahan.
Antipiretik ( asetaminofen).
R/ : Mengendalikan demam.
b. Risiko pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler,
obstruksi trakeobronchial.
Tujuan : mempertahankan pola pernapasan normal/efektif, bebas sianosis dengan
GDA dalam batas normal pasien.
Intervensi :
1) Pantau frekwensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan
pernapasan.
R/ : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal (umumnya
mengikuti cedera otak) atau menandakan lokasi /luasnya keterlibatan otak.
Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi
mekanis.
2) Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.
R/ : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan
kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
3) Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif jika pasien
sadar.
R/ : mencegah/menurunkan atelektasis.
4) Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik.
Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
R/ : Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan
imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri.
Penghisapapan pada trachea yang lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra
hati-hati, karena hal tersebut dapat mengakibatkan hipoksia yang
menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh cukup
besar terhadap perfusi serebral.
5) Kolaborasi :
a) Pantau atau gambarkan analisa gas darah, tekanan oksimetri
R/ : Menentukan kecukupan pernapasan. Keseimbangan asam basa dan
kebutuhan akan terapi.

b) Lakukan ronsen toraks ulang


R/ : melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tanda komplikasi yang
berkembang (seperti atelektasis atau bronkopneumonia).
c) Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.
R/ : Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan
peningkatan TIK fase akut namun tindakan ini seringkali berguna pada
pada akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan memberikan jalan napas
dan menurunkan risiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.
c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi sensori,
transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neureologis)
Tujuan : Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan
fungsi persepsi.
Kriteria : mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlambatan
residu. Mendemonstrasikan perubahan perilaku/gaya hidup untuk
mengkompensasi/defisit hasil.
Intervensi :
1) Evaluasi/pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara,
alam perasaan/afektif, sensorik dan proses piker
R/ : Fungsi serebral bagian atas biasanya terlebih dahulu oleh adanya
gangguan sirkulasi, oksigenasi. Kerusakan dapat terjadi saat trauma awal
atau kadang-kadang berkembang setelahnya akibat dari pembengkakan atau
perdarahan. Perubahan motorik, persepsi, kognitif dan kepribadian mungkin
berkembang dan menetap dengan perbaikan respons secara perlahan-lahan
atau tetap bertahan secara terus menerus pada derajat tertentu.
2) Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas/dingin, benda
tajam/tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh. Perhatikan
adanya masalah penglihatan atau sensasi yang lain.
R/ : Informasi penting untuk keamanan pasien. Semua sistem sensorik dapat
terpengaruh dengan adanya perubahan yang melibatkan peningkatan atau
penurunan sensitivitas atau kehilangan sensasi/kemampuan untuk menerima
dan berespons secara sesuai pada suatu stimuli.
3) Hilangkan suara bising/stimuli yang berlebihan sesuai kebutuhan
R/ : menurunkan ansietas, respon emosi yang berlebihan/bingung yang
berhubungan dengan sensorik yang berlebihan.
4) Buat jadwal istirahat yang adekuat/periode tidur tanpa adanya gangguan.
R/ : Mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan, memberikan kesempatan
untuk tidur REM (ketidakadanya tidur REM ini dapat meningkatkan
gangguan persepsi sensorik).
5) Gunakan penerangan siang atau malam hari.
R/ : Memberikan perasaan normal tentang pola perubahan waktu dan pola
tidur/bangun.
6) Kolaborasi :
b) Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terpi wicara, dan terapi
kognitif.
R/ : Pendekatan antar disiplin dapat menciptakan rencana
penatalaksanaan terintegrasi yang didasarkan atas kombinasi
kemampuan/ketidakmampuan secara individu yang unik dengan
berfokus pada peningkatan evaluasi dan fungsi fisik, dan ketrampilan
perceptual.
d. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif
Tujuan : melakukan kembali/mempertahankan posisi fungsi optimal dibuktikan
oleh tidak adanya kontraktur, footdrop.
Kriteria hasil : Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh
yang sakit dan /atau kompensasi. Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang
memungkinkan dilakukannya kembali aktivitas. Mempertahankan integritas kulit,
kandung kemih dan fungsi usus.
Intervensi :
1) Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan
yang terjadi.
R/: Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan
mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.
2) Kaji derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan
(0-4).
R/ : Pasien mampu mandiri (nilai 0) atau memerlukan bantuan/peralatan yang
minimal (nilai 1); memerlukan bantuan sedang/dengan pengawasan/diajarkan
(nilai 2); memerlukan bantuan/peralatan yang terus menerus dan alat khusus
(nilai 3); atau tergantung secara total pada pemberi asuhan (nilai 4).
Seseorang dalam semua kategori sama-sama mempunyai risiko kecelakaan,
namun kategori dengan nilai 2 4 mempunyai risiko yang terbesar untuk
terjadinya bahaya tersebut sehubungan imobilisasi.
3) Beri/Bantu untuk melakukan latihan rentang gerak.
R/ : Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi/posisi normal ekstremitas
dan menurunkan terjadinya vena yang statis.
4) Berikan perawatan kulit yang cermat, masase dengan pelembab, dan ganti
linen/pakaian yang basah dan pertahankan linen tersebut tetap bersih dan
bebas dari kerutan (jaga tetap tegang).
R/ : Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan risiko
terjadinya ekskoriasi kulit.
5) Pantau haluaran urine. Catat warna dan bau dari urine. Bantu dengan latihan
kandung kemih jika memungkinkan.
R/ : Pemakaian kateter Foley selama fase akut memungkinkan dibutuhkan
untuk jangka waktu yang panjang sebelum memungkinkan untuk dilakukan
latihan kandung kemih. Saat kateter dilepas, beberapa metode kontrol dapat
dicoba seperti kateterisasi intermiten (selama pengosongan sebagian atau
seluruhnya);kateter eksternal, interval diatas pispot memberikan duk
inkontinen.
6) Berikan cairan dalam batas-batas yang dapat ditoleransi (contoh toleransi
neurologis dan jantung).
R/ : sesaat setelah fase akut cedera kepala, dan jika pasien tidak memiliki
faktor kontraindikasi yang lain, pemberian cairan yang memadai akan
menurunkan risiko terjadinya infeksi saluran kemih/batu ginjal/batu kandung
kemih dan berpengaruh cukup baik terhadap konsistensi feses yang normal
dan turgor kulit menjadi optimal.
e. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak,
prosedur invasif, penurunan kerja sillia, statis cairan tubuh, kekurangan nutrisi,
respon inflamasi (penggunaan steroid), perubahan sistem integritas tertutup
(kebocoran CSS).
Tujuan: mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi, mencapai
penyembuhan luka tepat waktu bila ada.
Intervensi :
1) Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan
yang baik.
R/ : Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
2) Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka, garis
jahitan), daerah yang terpasang alat invasi (terpasang infus dan sebagainya),
catat karakterisitik dari drainase dan adanya inflamasi.
R/ : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan
tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
3) Pantau suhu tubuh secara teratur. Catat adanya demam, mengigil, diaforosis,
dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
R/ : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya
memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.
4) Anjurkan untk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru
secara terus menerus, observasi karakterisitk sputum.
R/ : Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan
risiko terjadinya pneumonia, atelektasis. Catatan : Drainase postural harus
digunakan dengan hati-hati jika ada risiko terjadinya peningkatan TIK.
5) Berikan perawatan perawatan perineal. Pertahankan integritas dan sistem
drainase urine tertutup jika menggunakannya. Anjurkan untuk minum
adekuat.
R/ : Menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan bakteri atau infeksi
yang merambah naik.
6) Observasi warna/kejernihan urine. Catat adanya bau busuk (yang tidak enak).
R/ : Sebagai indicator dari perkembangan infeksi pada saluran kemih yang
memerlukan tindakan dengan segera.
7) Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah pengunjung
yang mengalami infeksi saluran infeksi bagian atas.
R/ : Menurunkan pemajanan terhadap pembawa kuman penyebab infeksi
8) Kolaborasi :
a) Berikan antibiotik sesuai indikasi.
R/ : Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien yang mengalami
trauma (perlukaan), kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan
untuk menurunkan risiko terjadinya infeksi nosokomial.
b) Ambil bahan pemeriksaan (spesimen) sesuai indikasi.
R/ : Kultur/sensitivitas, pewarnaan gram Gram dapat dilakukan untuk
memastikan adanya infeksi dan mengidentifikasi organisme penyebab
dan untuk menentukan obat pilihan yang sesuai.
f. Risiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran),
kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan, status
hipermetabolik.
Tujuan : mendemonstrasikan kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan.
Tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai laboratorium dalam batas-
batas normal.
Intervensi :
1) Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi
sekresi.
R/ : menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien
terlindung dari aspirasi
2) Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya atau suara yang
hiperaktif.
R/: Bising usus membantu dalam menentukan respons untuk makan atau
berkembangnya komplikasi seperti paralitik ileus.
3) Timbang berat badan sesuai indikasi.
R/ : mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.
4) Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien seperti tinggikan kepala
tempat tidur selama makan atau selamam pemberian makan lewat NGT.
R/ : menurunkan risiko regurgitasi atau terjadinya aspirasi.
5) Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan
teratur.
R/ : meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi
yang diberikan yang dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.
6) Tingkatkan kenyamanan, lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat
makan. Anjurkan orang terdekat untuk membawa makanan yang disukai
pasien.
R/ : Dapat meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi makan.
7) Kolaborasi :
a) Konsultasi dengan ahli gizi.
R/ : merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan
kalori/nutrisi tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh, dan
keadaan penyakit sekarang.
b) Pantau pemeriksaan laboratorium seperti albumin darah, zat besi,
ureum/kreatinin, glukosa, AST/ALT dan elektrolit darah.
R/ : mengidentifikasi defisiensi nutrisi. Fungsi organ dan respons
terhadap terapi nutrisi tersebut.
c) Berikan makan dengan cara yang sesuai seperti melalui NGT, melalui
oral dengan makanan lunak dan cairan yang agak kental.
R/ : pemilihan rute pemberian tergantung pada kebutuhan dan
kemampuan pasien.
g. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan kurang pemajanan, tidak mengenal sumber-sumber informasi, kurang
mengingat/keterbatasan kognitif ditandai dengan meminta informasi, pernyataan
salah konsepsi, ketidakakuratan mengikuti instruksi.
Tujuan : Berpartisipasi dalam proses belajar, mengungkapkan pemahaman
tentang kondisi, aturan pengobatan, potensial komplikasi dan melakukan prosedur
yang diperlukan dengan benar.
Intervensi :
1) Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari pasien dan juga
keluarganya.
R/ : memungkinkan untuk menyampaikan informasi yang didasarkan atas
kebutuhan secara kebutuhan.
2) Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan proses trauma dan
pengaruh sesudahnya.
R/ : membantu dalam menciptakan harapan yang realistis dan meningkatkan
pemahaman pada keadaan saat ini.
3) Diskusikan rancana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
R/ : berbagai tingkat bantuan perlu direncanakan yang didasarkan atas
kebutuhan yang bersifat individual.
4) Berikan instruksi dalam bentuk tulisan dan jadwal mengenai aktivitas, obat-
obatan dan faktor-faktor penting lainnya.
R/ : memberikan penguatan visual dan rujukan setelah sembuh.
5) Diskusikan dengan pasien dan orang terdekat perkembangan dari gejala
seperti munculnya tanda dan gejala yang pernah dialaminya saat trauma
terjadi (pikiran melayang, pikiran kacau, mimpi berulang/mimpi buruk),
emosi/fisik yang sulit berespon; perubahan gaya hidup termasuk adaptasi dan
tingkah laku yang merusak.
R/ : Dapat menjadi tanda adanya eksaserbasi respon pasca traumatik yang
dapat terjadi dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah
mengalami trauma.
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer & Bare. 2002. Buku ajar keperawatan medical bedahBrunner&Suddathvol 3.Edisi
8. EGC : Jakarta.

Doenges, Moorhouse & Geissler.2000.Rencanaasuhankeperawatan Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. EGC: Jakarta.

Price & Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Edisi 4. Buku 2.
EGC: Jakarta.
Krisanty et all. 2009. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. TIM. Trans Info Media: Jakarta.

Wirjoatmodjo et all. 2007. Materi Pelatihan GELS; General Emergency Life Support dan
PPGD; Penanggulangan Penderita Gawat Darurat. Seri Medis Teknis Dasar. RSU Dr.
Soetomo- FK UNAIR: Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai