TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Infanticide (Pembunuhan Anak Sendiri) adalah pembunuhan bayi (Dorland,
2000). Sedangkan menurut Undang-Undang di Indonesia, infanticide adalah
pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu atas anaknya ketika dilahirkan atau tidak
berapa lama setelah dilahirkan, karena takut ketahuan bahwa ia melahirkan anak
(Budiyanto, 1997).
Infanticide dapat dibagi berdasarkan atas jenis kelamin anak yang dibunuh, yaitu
pembunuhan anak laki-laki (male infanticide) dan pembunuhan anak perempuan (female
infanticide). Female infanticide lebih banyak dibandingkan dengan male infanticide, hal
ini dilatarbelakangi banyak hal, antara lain faktor kultural dan ekonomi (Laksono, 2010).
B. KRITERIA
Berdasarkan definisi yang telah disebutkan sebelumnya, maka kriteria dari
infanticide adalah :
1. Pelaku adalah ibu kandung
2. Korban adalah anak kandung
3. Alasan melakukan tindakan tersebut adalah takut ketahuan telah melahirkan anak
4. Waktu pembunuhan, yaitu tepat pada saat melahirkan, atau beberapa saat setelah
melahirkan.
C. PREVALENSI
Menurut Friedman dan Resnick (2007), di Amerika prevalensi infanticide sekitar 8
kasus setiap 100.000 kelahiran anak. Di Instalasi Kedokteran Forensik dan Medikolegal
RSUD Dr.Moewardi, selama 2006-2011, terdapat 24 kasus infanticide. 4 kasus pada
2006, 5 kasus pada 2007, 6 kasus pada 2008, 5 kasus pada 2009, 1 kasus pada 2010, dan
3 kasus pada 2011. Dari 24 kasus didapatkan jenis kelamin laki-laki 17 (70,83%) kasus
dan perempuan sebanyak 7 (29,17%) kasus. Penyebab terjadinya adalah asfiksia (13
kasus), kelalaian (7 kasus), dan trauma tumpul (4 kasus) (Setyarini, 2012).
D. ASPEK MEDIKOLEGAL
Laksono (2010) menyebutkan bahwa dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana), pembunuhan anak sendiri tercantum di dalam bab kejahatan terhadap nyawa
orang.
Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat anak
dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya,
diancam karena membunuh anaknya sendiri dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
Pasal 341 KUHP
Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan
ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak, pada saat akan dilahirkan atau tidak lama
kemudian merampas nyawa anaknya, diancam karena melakukan pembunuhan anak
sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 342 KUHP
Kejahatan yang diterangkan dalam pasal 341 dan 342 dipandang, bagi orang lain
yang turut serta melakukan, sebagai pembunuhan atau pembunuhan anak dengan
rencana.
Pasal 343 KUHP
Apabila ditemukan mayat bayi di tempat yang tidak semestinya, seperti di tempat
sampah, sungai, got, atau di tempat lainnya, mungkin bayi tersebut merupakan korban
pembunuhan anak sendiri (dijerat dengan pasal tersebut di atas), lahir mati kemudian
dibuang (pasal 181), atau mungkin bayi tersebut ditelantarkan sampai mati (pasal 308).
5. Penyebab Kematian
Cara atau metoda yang banyak dijumpai untuk melakukan tindakan
pembunuhan anak adalah cara atau metoda yang menimbulkan keadaan mati lemas
(asfiksia) seperti penjeratan, pencekikan dan pembekapan serta membenamkan ke
dalam air. Adapun cara yang lain seperti menusuk atau memotong serta kekerasan
dengan benda tumpul relatif jarang ditemukan.
Perlu diperhatikan adanya tanda-tanda mati lemas seperti sianosis pada bibir dan
ujung-ujung jari, bintik-bintik perdarahan pada selaput biji mata dan selaput kelopak
mata serta jaringan longgar lainnya, lebam mayat yang lebih gelap dan luas, busa
halus berwarna putih atau putih kemerahan yang keluar dari lubang hidung dan atau
mulut serta tanda-tanda bendungan pada alat dalam.
Bila terbukti bayi lahir hidup (sudah bernafas), maka harus ditentukan penyebab
kematiannya. Bila terbukti bayi lahir mati (belum bernafas) maka ditentukan sebab
lahir mati atau sebab mati antenatal atau sebab mati janin (fetal death) (Budijanto dkk,
1988). Ada berbagai penyebab kematian pada bayi, yaitu:
a. Kematian wajar
1) Kematian secara alami
a) Imaturitas
Terjadi jika bayi yang lahir belum cukup matang dan mampu hidup di luar
kandungan sehingga mati setelah beberapa saat sesudah lahir.
b) Penyakit kongenital
Seringkali terjadi jika ibu mengalami sakit ketika sedang mengandung seperti
sifilis, tifus, campak sehingga anak memiliki cacat bawaan yang menyebabkan
kelainan pada organ internal seperti paru-paru, jantung dan otak.
2) Perdarahan
Perdarahan dapat terjadi dari umbilikus, perut, anus dan organ genital.
3) Malformasi
Kadangkala bayi tumbuh dengan kondisi organ tubuh yang tidak lengkap seperti
anensefali. Jika kelainan tersebut fatal, maka bayi tidak akan bisa bertahan hidup.
4) Penyakit plasenta
Penyakit plasenta atau pelepasannya secara tidak sengaja dari dinding uterus akan
dapat menyebabkan kematian dari bayi dan ibu, dan dapat diketahui jika sang ibu
meninggal dan dilakukan pemeriksaan dalam.
5) Spasme laring
Hal ini dapat terjadi karena aspirasi mekonium ke dalam laring atau akibat
pembesaran kelenjar timus.
6) Eritroblastosis fetalis
Ini dapat terjadi karena ibu yang memiliki rhesus negatif mengandung anak
dengan rhesus positif, sehingga darah ibu akan membentuk antibodi yang
menyerang sel darah merah anak dan menyebabkan lisisnya sel darah merah
anak, sehingga menyebabkan kematian anak baik sebelum maupun setelah
kelahiran.
d. Penenggelaman (drowning)
Ini dilakukan dengan membuang bayi ke dalam penampungan berisi air, sungai dan
bahkan toilet. Adanya tanda terendam seperti tubuh yang basah dan berlumpur,
telapak tangan dan telapak kaki yang pucat dan keriput (washer woman hand), kulit
yang berbintil-bintil (cutis anserina seperti kulit angsa, serta adanya benda asing di
saluran pernapasan terutama trakea).
f. Kekerasan tajam
Kematian pada bayi baru lahir yang dilakukan dengan melukai bayi dengan senjata
tajam seperti gunting atau pisau dan menyebabkan luka yang fatal hingga menembus
organ dalam seperti hati, jantung dan otak.
g. Keracunan
Jarang dilakukan, tetapi pernah terjadi dimana ditemukan sisa opium pada putting
susu ibu, yang kemudian menyusui bayinya dan menyebabkan bayi tersebut mati.
Penentuan penyebab kematian dapat ditunjang dari pemeriksaan patologi anatomi
yang diambil dari jaringan tubuh mayat bayi.
(Budijanto dkk, 1988)
6. Tanda Perawatan
Penentuan ada tidaknya tanda perawatan sangat penting artinya dalam kasus
pembunuhan anak. Keadaan baru lahir dan belum dirawat merupakan petunjuk dari
bayi tersebut tidak lama setelah dilahirkan. Menurut Ponsold, bayi baru lahir
(neugeborenen) adalah bayi yang baru dilahirkan dan belum dirawat. Jika sudah
dirawat, maka bayi itu bukan bayi baru lahir dan tidak dapat disebut sebagai
pembunuhan anak sendiri (Budijanto dkk, 1988; Budiyanto dkk, 1997)
Adapun anak yang baru dilahirkan dan belum mengalami perawatan dapat
diketahui dari tanda-tanda sebagai berikut:
a. Tubuh masih berlumuran darah.
b. Ari-ari (plasenta) masih melekat dengan tali pusat dan masih berhubungan dengan
pusat (umbilikus).
c. Bila ari-ari tidak ada, maka ujung tali pusat tampak tidak beraturan, hal ini dapat
diketahui dengan meletakkan ujung tali pusat tersebut ke permukaan air.
d. Adanya lemak bayi (vernix caseosa), pada daerah dahi serta di daerah yang
mengandung lipatan-lipatan kulit, seperti daerah lipat ketiak, lipat paha dan bagian
belakang bokong (Budijanto dkk, 1988; Budiyanto dkk, 1997).
F. PEMERIKSAAN LUAR
Pelaksanaan otopsi didahului dengan pemeriksaan luar jenazah. Pemeriksaan luar
adalah pemeriksaan jenazah dengan mengamati sangat hati hati atas kelainan yang
ditimbulkan oleh tindak kekerasan pada tubuh korban dan kemudian dicatat dan dibuat
deskripsi secara sistematis dengan memggunakan titik titik anatomis yang tetap pada
tubuh korban.
Pemeriksaan ini dilakukan mulai dari ujung rambut kepala sampai ujung kuku kaki
seteliti mungkin. Periksa identitas jenazah, memastikan keamanan pengelolaan jenazah
(ada/tidaknya label), memeriksa benda-benda di sekitar jenazah (baik yang menutupi,
melekat ataupun yang dikenakan korban), menilai keadaan umum jenazah (utuh atau
tercerai-berai), memeriksa ukuran jenazah (tinggi badan-berat badan), memeriksa tanda-
tanda kematian sekunder untuk memperkirakan saat kematian, dan mencari tanda-tanda
kekerasan serta kelainan-kelainan yang mungkin berhubungan dengan peristiwa
kematian korban.
Yang perlu dinilai dalam pemeriksaan luar adalah:
1. Label
Pada pemeriksaan luar harus dijelaskan label pada mayat terletak atau terikat
pada bagian tubuh yang mana, terbuat dari apa, berwarna apa, ada atau tidak materai /
cap, bertuliskan apa.
3. Kaku mayat
Tingkat kaku mayat ( rigor mortis ) dinilai dengan memfleksikan lengan dan
kaki untuk mengetes tahanan. Kaku mayat mulai tampak kira kira 2 jam setelah
mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh ( otot otot kecil )kearah dalam
( sentripetal ). Teori lama menyebutkan bahwa kaku mayat ini menjalar kranio
kaudal. Setelah mati klinis 12 jam kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan
selam 12 jam dan kemudian menghilang dalam urutan yang sama. Kaku mayat
umumnya tidak disertai pemendekan serabut otot, tetapi jika sebelum terjadi kaku
mayat, otot berada dalam posisi teregang, maka saat kaku mayat terbentuk akan
terjadi pemendekan otot.
Faktor faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktivitas fisik
sebelum mati, suhu tubuh yang tinggi, bentuk tubuh kurus dengan otot- otot kecil
dan suhu lingkungan yang tinggi.
4. Lebam Mayat
Lebam mayat biasanya mulai tampak 20-30 menit paska mati, makin lama
intensitasnya bertambah dan menjadi lengkap dan menetap setelah 8 12 jam.
Sebelum waktu ini, lebam mayat masih hilang ( memucat pada penekanan dan dapat
berpindah jika posisi mayat diubah. Memucatnya lebam akan lebih cepat dan lebih
sempurna apabila penekanan atau perubahan posisi tersebut dilakukan dalam 6 jam
pertama setelah mati klinis.
5. Identifikasi Umum
a. Umur
Untuk mengetahui apakah anak tersebut cukup bulan dalam kandungan (matur)
atau belum cukup bulan dalam kandungan (prematur), dapat diketahui dari
pemeriksaan sebagai berikut:
1) Pengukuran lingkar kepala, lingkar dada, panjang badan dan berat badan:
dimana yang mempunyai nilai tinggi adalah lingkar kepala dan tinggi atau
panjang badan. Panjang badan diukur dari tumit hingga vertex (puncak kepala).
Bayi dianggap cukup bulan jika:
Panjang badan di atas 45 cm.
Berat badan 2500 3500 gram.
Lingkar kepala lebih dari 34 cm.
Termasuk infanticide bila umur janin 7 bulan dalam kandungan oleh karena
pada umur ini janin telah dapat hidup di luar kandungan secara alami tanpa
bantuan beralatan. Apabila umur janin di bawah 7 bulan termasuk kasus
abortus.
2) Untuk menentukan umur bayi dalam kandungan, ada rumus empiris yang
dikemukakan oleh De Haas, yaitu menentukan umur bayi dari panjang badan
bayi. Untuk bayi (janin) yang berumur di bawah 5 bulan, umur sama dengan
akar pangkat dua dari panjang badan. Jadi bila dalam pemeriksaan didapati
panjang bayi 20 cm, maka taksiran umur bayi adalah antara 4 sampai 5 bulan
dalam kandungan atau lebih kurang 20 22 minggu kehamilan. Untuk janin
yang berumur di atas 5 bulan, umur sama dengan panjang badan (dalam cm)
dibagi 5 atau panjang badan (dalam inchi) dibagi 2.
b. Panjang tubuh
Panjang tubuh diukur dari tumit sampai puncak kepala. Pada bayi juga diukur
lingkar kepala fronto occipital dan Mento Occipitale, serta lingkkar dada.
c. Berat Badan
Berat badan dalam kilogram diukur bila tersedia fasilitas, jika tidak ada sebaiknya
ditaksir. Berat badan bayi harus selalu diukur.
6. Identifikasi khusus
Kelainan kongenital dari beberapa tipe dilaporkan dari talipes equinovarus
sampai spina bifida, dari nevus sampai kaki tambahan.
7. Rambut
Dijelaskan secara rinci seluruh keadaan rambut, yang dimaksud rambut disini
mencakup seluruh rambut yang terdapat pada bagian kepala, yakni meliputi rambut
kepala, alis mata, dan bulu mata. Rambut dijelaskan warnanya, jenisnya, tumbuhnya,
panjangnya, sukar dicabut atau tidak. Termasuk disini keadaan bagian yang tertutup
rambut, apakah tampak pengelupasan atau tidak, pada bayi dijelaskan keadaan ubun
ubun, apakah masih terbuka, terdapat luka atau hematom, warnanya, dan
konsistensinya lunak atau tidak.
8. Mata
Mata harus diperiksa dengan cermat, terutama untuk mendeteksi petekie pada
sisi luar dari kelopak mata, konjungtiva dan sklera. Petekie juga dicari dibelakang
telinga dan pada kulit dari wajah, terutama sekeliling mulut, dagu dan dahi.
Disamping itu sangat penting untuk dilihat apakah mata mayat dalam keadaan
tertutup atau terbuka, dilihat keadaan kekeruhan selaput bening mata (kornea) dan
lensa, pupil, iris, selaput bola mata (konjungtiva bulbi), dan selaput kelopak mata
(konjungtiva palpebra).
G. PEMERIKSAAN DALAM
a. Leher, adakah tanda penekanan, resapan darah pada kulit sebelah dalam.
b. Mulut, apakah terdapat benda asing, robekan palatum mole.
c. Rongga dada, pemeriksaan makroskopik paru, pemeriksaan histopatologik paru dan
tes apung paru.
d. Tanda asfiksia, Tardieus spots pada permukaan paru, jantung, timus dan epiglotis.
e. Tulang belakang, apakah terdapat kelainan kongenital atau tanda kekerasan.
f. Pusat penulangan pada distal femur, proximal tibia, kalkaneus, talus dan kuboid.
g. Kepala, kulit kepala disayat dan dilepaskan seperti pada orang dewasa
A. Tanda Pernafasan :
1. Letak Diafragma
Pada bayi yang sudah bernapas, letak diafragma setinggi iga ke-5 atau ke-6.
Sedangkan pada yang belum bernapas setinggi iga ke-3 atau ke-4.
2. Gambaran Makroskopik Paru
Paru-paru bayi yang sudah bernapas berwarna merah muda tidak homogen
namun berbercak-bercak (mottled). Konsistensinya adalah seperti spons dan
berderik pada perabaan. Sedangkan, pada paru-paru bayi yang belum bernapas
berwarna merah ungu tua seperti warna hati bayi dan homogen, dengan
konsistensi kenyal seperti hati atau limpa.
3. Uji Apung Paru
Uji apung paru dilakukan dengan teknik tanpa sentuh (no touch technique),
paru-paru tidak disentuh untuk menghindari kemungkinan timbulnya artefak pada
sediaan histopatologik jaringan paru akibat manipulasi berlebihan.
Lidah dikeluarkan seperti biasa di bawah rahang bawah, ujung lidah dijepit
dengan pinset atau klem, kemudian ditarik ke arah ventrokaudal sehingga tampak
palatum mole. Dengan scalpel yang tajam, palatum mole disayat sepanjang
perbatasannya dengan palatum durum. Faring, laring, esophagus bersama dengan
trakea dilepaskan dari tulang belakang. Esofagus bersama dengan trakea diikat di
bawah kartilago krikoid dengan benang. Pengikatan ini dimaksudkan agar pada
manipulasi berikutnya cairan ketuban, mekonium atau benda asing lain tidak
mengalir ke luar melalui trakea; bukan untuk mencegah masuknya udara ke dalam
paru. Pengeluaran organ dari lidah sampai paru dilakukan dengan forsep atau
pinset bedah dan scalpel, tidak boleh dipegang dengan tangan. Kemudian
esophagus diikat di atas diafragma dan dipotong di atas ikatan. Pengikatan ini
dimaksudkan agar udara tidak masuk ke dalam lambung dan uji apung lambung-
usus (uji Breslau) tidak memberikan hasil meragukan. Setelah semua organ leher
dan dada dikeluarkan dari tubuh, lalu dimasukkan ke dalam air dan dilihat apakah
mengapung atau tenggelam. Kemudian paru-paru kiri dan kanan dilepaskan dan
dimasukkan kembali ke dalam air, dilihat apakah mengapung atau tenggelam.
Setelah itu tiap lobus dipisahkan dan dimasukkan ke dalam air, dan dilihat apakah
mengapung atau tenggelam. Lima potong kecil dari bagian perifer tiap lobus
dimasukkan ke dalam air, diperhatikan apakah mengapung atau tenggelam.
Hingga tahap ini, paru bayi yang lahir mati masih dapat mengapung oleh karena
kemungkinan adanya pembusukan. Bila potongan kecil itu mengapung, letakkan
di antara dua karton dan ditekan dengan arah penekanan tegak lurus jangan
digeser untuk mengeluarkan gas pembusukan yang terdapat pada jaringan
interstisial paru, lalu masukkan kembali ke dalam air dan diamati apakah masih
mengapung atau tenggelam. Bila masih mengapung berarti paru terisi udara residu
yang tidak akan keluar. Namun, terkadang dengan penekanan, dinding alveoli
pada mayat bayi yang telah membusuk lanjut akan pecah dan udara residu keluar
dan memperlihatkan hasil uji apung paru negatif.
Uji apung paru harus dilakukan menyeluruh sampai potongan kecil paru
mengingat kemungkinan adanya pernapasan sebagian (parsial respiration) yang
dapat bersifat buatan atau alamiah (vagitus uternus atau vagitus vaginalis) yaitu
bayi sudah bernapas walaupun kepala masih dalam uterus atau dalam vagina).
Hasil negatif belum berarti pasti lahir mati karena adanya kemungkinan bayi
dilahirkan hidup tapi kemudian berhenti bernapas meskipun jantung masih
berdenyut, sehingga udara dalam alveoli diresorpsi. Pada hasil uji negatif ini,
pemeriksaan histopatologik paru harus dilakukan untuk memastikan bayi lahir
mati atau lahir hidup. Bila sudah jelas terjadi pembusukan, maka uji apung paru
kurang dapat dipercaya, sehingga tidak dianjurkan untuk dilakukan.
4. Histopatologik paru-paru
Setelah paru-paru dikeluarkan dengan teknik tanpa sentuh, dilakukan fiksasi
dengan larutan formalin 10 %. Sesudah 12 jam, dibuat irisan melintang untuk
memungkinkan cairan fiksatif meresap dengan baik ke dalam paru. Setelah
difiksasi selama 48 jam, kemudian dibuat sediaan histopatologik. Biasanya
digunakan perwarnaan HE dan bila paru telah membusuk digunakan pewarnaan
Gomori atau Ladewig. Struktur seperti kelenjar bukan merupakan ciri paru bayi
yang belum bernapas, tetapi merupakan ciri paru janin yang belum mencapai usia
gestasi 26 minggu. Tanda khas untuk paru janin belum bernapas adalah adanya
tonjolan (projection) yang berbentuk seperti bantal (cushion-like) yang kemudian
akan bertambah tinggi dengan dasar menipis sehingga akan tampak seperti gada
(club-like).
Pada permukaan ujung bebas projection tampak kapiler yang berisi banyak
darah. Pada paru bayi belum bernapas yang sudah membusuk dengan perwarnaan
Gomori atau Ladewig, tampak serabut-serabut retikulin pada permukaan dinding
alveoli berkelok-kelok seperti rambut yang keriting, sedangkan pada projection
berjalan di bawah kapiler sejajar dengan permukaan projection dan membentuk
gelung-gelung terbuka (open loops). Pada paru bayi yang lahir mati mungkin pula
ditemukan tanda inhalasi cairan amnion yang luas karena asfiksia intrauterin,
misalnya akibat tertekannya tali pusat atau solusio plasenta sehingga terjadi
pernapasan janin prematur (intrauterine submersion). Tampak sel-sel verniks
akibat deskuamasi sel-sel permukaan kulit, berbentuk persegi panjang dengan inti
piknotik berbentuk huruf S, bila dilihat dari 6 atas samping terlihat seperti
bawang. Juga tampak sel-sel amnion bersifat asidofilik dengan batas tidak jelas
dan inti terletak eksentrik dengan batas yang juga tidak jelas.
Mekonium yang berbentuk bulat berwarna jernih sampai hijau tua mungkin
terlihat dalam bronkioli dan alveoli. kadang-kadang ditemukan deskuamasi sel-sel
epitel bronkus yang merupakan tanda maserasi dini, atau fagositosis mekonium oleh
sel-sel dinding alveoli.
Ada beberapa keadaan dimana test ini diragukan hasilnya.
1. Paru-paru sudah berkembang, namun dalam pemeriksaan ternyata tenggelam.
Penyakit: pada edema paru atau pemadatan karena bronkopneumonia atau
lues (sifilis). Tetapi biasanya jarang melibatkan kedua bagian paru atau seluruh
jaringan paru. Sebagian tetap akan merapung. Lagi pula pemeriksaan ini
secara patologi anatomi akan menegaskan adanya penyakit tersebut.
Atelektase paru. Biasanya jarang terjadi.
2. Paru-paru yang belum berfungsi (bayi belum bernafas), tetapi pada pemeriksaan
mengapung:
Telah terjadi proses pembusukan. Ini mudah dikenal karena proses
pembusukan pada daerah lain juga didapati.
Dimasukkan udara secara artifisial. Susah melakukannya, apalagi oleh orang
awam.
B. Saluran Pencernaan
Adanya udara dalam lambung dan usus merupakan petunjuk bahwa si-anak
menelan udara setelah ia dilahirkan hidup, dengan demikian nilai dari pemeriksaan
udara di dalam lambung dan usus ini sekedar memperkuat saja. Seperti halnya pada
pemeriksaan untuk menentukan adanya udara dalam paru-paru, maka pemeriksaan
yang serupa terhadap lambung dan usus baru dapat dilakukan bila keadaan si-anak
masih segar dan belum mengalami proses pembusukan serta tidak mengalami
manipulasi seperti pemberian pernafasan buatan. Caranya adalah dengan mengikat
bagian bawah esofagus di bawah thyroid proksimal dari cardia dan colon, kemudian
dilepaskan dari organ lainnya. Bila yang terapung adalah lambung, hal ini tidak
berarti apa-apa. Bila usus yang terapung berarti bayi telah pernah menelan udara dan
ini berarti bayi telah pernah bernafas.
Adanya udara di dalam liang telinga bagian tengah hanya dapat terjadi bila
anak menelan udara dan udara tersebut melalui tuba eustachii masuk ke dalam liang
bagian tengah. Untuk dapat mengetahui keadaan tersebut pembukaan liang telinga
bagian tengah harus dilakukan di dalam air; tentunya baru dilakukan pada mayat yang
masih segar.
Adanya makann di dalam lambung dari seorang anak yang baru dilahirkan
tentunya baru dapat terjadi pada anak yang dilahirkan hidup dan diberi makan oleh
orang lain, dan makanan tidak mungkin akan dapat masuk ke dalam lambung bila
tidak disertai dengan aktivitas atau gerakan menelan.
Adanya udara di dalam paru-paru, lambung dan usus serta di dalam liang
telinga bagian tengah merupakan petujuk pasti bahwa si-anak yang baru dilahirkan
tersebut memang dilahirkan dalam keadaan hidup. Sedangkan adanya makanan di
dalam lambung lebih mengarahkan kepada kenyataan bahwa si-anak sudah cukup
lama dalam keadaan hidup; hal mana bila keadaannya memang demikian maka si-ibu
yang menghilangkan nyawa anak tersebut dapat dikenakan hukuman yang lebih berat
dari ancaman hukuman seperti yang tertera pada pasal 341 dan 342.
Apabila bayi dilahirkan dalam keadaan mati, ada 2 kemungkinan yang harus
diperhatikan, yaitu:
1. Still birth, artinya dalam kandungan masih hidup, waktu dilahirkan sudah mati.
Ini mungkin disebabkan perjalanan kelahiran yang lama, atau terjadi accidental
strangulasi dimana tali pusat melilit leher bayi waktu dilahirkan.
2. Dead born child, di sini bayi memang sudah mati dalam kandungan. Bila
kematian dalam kandungan telah lebih dari 2 3 hari akan terjadi maserasi pada
bayi. Ini terlihat dari tanda-tanda:
Bau mayat seperti susu asam.
Warna kulit kemerah-merahan.
Otot-otot lemas dan lembek.
Sendi-sendi lembek sehingga mudah dilakukan ekstensi dan fleksi.
Bila lebih lama didapati bulae berisi cairan serous encer dengan dasar bullae
berwarna kemerah-merahan.
Alat viseral lebih segar daripada kulit.
Paru-paru belum berkembang.
H. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus infanticide antara lain:
1. Pemeriksaan plasenta
Pemeriksaan plasenta dilakukan dengan mengambil sedikit jaringan plasenta bayi
untuk mengetes kecocokan DNA bayi dengan DNA ibu jika ibu sudah ditemukan.
2. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk melihat aerasi paru dan gelembung gas pada
lambung. Jika terdapat aerasi paru dan gelembung gas pada lambung, kemungkinan
bayi sempat lahir hidup. Selain itu, pada bagian kepala bayi terdapat Spauldings sign,
yakni kepala bayi kurang terbentuk.
3. Pemeriksaan histologi-PA
Pemeriksaan histologi-PA dapat menggunakan jaringan plasenta maupun paru. Pada
pemeriksaan histologis jaringan plasenta dapat ditemukan reaksi sel radang di sekitar
lokasi pemotongan plasenta jika bayi sempat hidup antara 24-48 jam. Namun pada
bayi yang segera mati saat lahir, tidak terdapat reaksi sel radang. Pada pemeriksaan
histologis paru dapat ditemukan alveoli yang sudah terbuka sehingga terbentuk
kavitas udara dan dinding alveolus dilapisi epitel pipih pada bayi yang sempat lahir
hidup dan bernafas secara spontan. Pada bayi yang meninggal dalam proses kelahiran,
sebagian alveoli terbuka, namun ada alveoli yang kolaps juga. (Padure dan Bondarev,
2015; Byard, 2004)
Gambar 1. Radiografi pada bayi yang meninggal saat proses kelahiran menunjukkan
paru-paru padat dan tidak ada udara di lambung.
Gambar 2. Radiografi menunjukkan adanya gelembung gas pada lambung dan aerasi
paru yang menindikasikan bahwa bayi sempat bernafas spontan setelah lahir.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi et al. (2008). Pembunuhan Anak Sendiri (PAS) Dengan Kekerasan Multipel.
Majalah Kedokteran Indonesia, September 2008, Vol 58 Nomor 9.
Apuranto H, Hoediyanto (2007). Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga.
Budijanto, dkk (1988). Pembunuhan Anak Sendiri. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Budiyanto A, dkk (1997). Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI, pp: 165-176
Budiyanto, dkk (1997). Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama, cetakan kedua.
Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hal. 165 176.
Byard RW. 2004. Sudden Death in Infancy, Childhood and Adolescence Second Edition.
New York: Cambridge University Press.Dorlands Illustrated Medical Dictionary
(2000). Edisi 29 (Ed). Philadelpia : WB Saunders
Forensik BI, Indonesia MF (2005). Pedoman teknik pemeriksaan dan interpretasi luka
dengan orientasi medikolegal atas kecederaan. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Indonesia.
Friedman SH, Resnick PJ (2007). Child murder by mothers: Patterns and prevention.
World Psychiatry. 6 (3) : 137-141
Hoediyanto. (Last Update: 2008, September 17). Pembunuhan Anak (Infanticide).
Available from: http://www.fk.uwks.ac.id
Idries, A.M. (1997). Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Binarupa Aksara.
Laksono S (2010). Aspek Hukum Pembunuhan Anak Sendiri (Infanticide). Cermin
Dunia Kedokteran, pp: 617-620
Padure A, Bondarev A (2015). Infanticide Neonaticide Medicolegal Examination of
Newborn Cadavers (Guidline). Department of Forensic Medicine State University
of Medicine and Pharmacy Nicolae Testemitanu.
Saukko P, Knight B (2015). Knight's Forensic Pathology Fourth Edition. CRC Press.
Setyarini RI (2012). Prevalensi Jenis Kelamin dan Variasi Penyebab Kematian Bayi
pada Kasus Infanticide di RSUD Dr.Moewardi Januari 2006 sampai engan
Desember 2011. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret