Anda di halaman 1dari 8

FORENSIK UPH 10

MODUL INFANTICIDE (PEMBUNUHAN ANAK SENDIRI)


(Christian Mayumi Semeru – 1305003677 ; Gezta Nasafir – 1305003517)

I. PERUNDANG-UNDANGAN “PEMBUNUHAN ANAK SENDIRI”


Pembunuhan anak sendiri adalah pembunuhan yang dilakukan oleh ibu atas anaknya
ketika dilahirkan atau tidak lama setelah bayi dilahirkan karena takut ketahuan melahirkan
anak. Pembunuhan anak sendiri (infanticide) adalah merupakan salah satu kategori dari
penyebab kematian dan kekerasan pada anak yang juga mencakup: lahir mati (stillbirths),
sindroma kematian anak mendadak (Sudden Infant Death Syndrome) dan kekerasan pada
anak (Child Abuse).
Di Indonesia, “Pembunuhan Anak Sendiri” diatur dalam KUHP Bab XIX tentang
Kejahatan Terhadap Nyawa, Pasal 341 – 343.

Pasal 341. Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat
anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa
anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.
Pasal 342. Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut
akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak pada saat anak dilahirkan
atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam karena
melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 343. Kejahatan yang diterangkan dalam pasal 341 dan 342 dipandang bagi orang
lain yang turut serta melakukan, sebagai pembunuhan (pasal 338 tanpa
rencana, 15 atau 20 tahun penjara) atau pembunuhan anak dengan rencana
(pasal 339 dan 340, seumur hidup penjara/hukuman mati).

Ada 3 faktor dalam kasus “Pembunuhan Anak Sendiri”:


1. Ibu
Yang bisa dihukum hanyalah ibu kandung, tidak peduli apakah sudah menikah atau tidak.
Orang lain yang melakukan atau ikut berperan dalam proses pembunuhan, mendapat
hukuman yang lebih berat: Penjara 15 tahun (rujuk ke pasal 338: tanpa rencana) atau
hukuman mati / penjara seumur hidup / penjara 20 tahun (rujuk ke pasal 339 dan 340:
dengan rencana).
FORENSIK UPH 10

2. Waktu
Batasan waktu untuk “Pembunuhan Anak Sendiri” dikatakan ‘pada saat anak dilahirkan
atau tidak lama kemudian’  dianggap sesaat sebelum timbul rasa kasih sayang terhadap
anaknya.

3. Psikis
Ibu membunuh anaknya karena rasa ketakutan akan diketahui orang. Biasanya anak yang
dibunuh didapatkan dari hubungan yang tidak sah.

Bayi korban “Pembunuhan Anak Sendiri” dapat ditemukan di tempat-tempat sebagai


berikut:
- Tempat Sampah
- Got
- Sungai
- Sumur, dll

Selain itu, penemuan bayi pada tempat-tempat tersebut dapat juga terjadi pada kasus-
kasus seperti:
- Pembunuhan (KUHP ps. 338, 339, 340, 343)
- Lahir mati kemudian dibuang (KUHP ps. 181, 9 bulan pidana penjara atau penjara
denda 4500 rupiah)
- Bayi ditelantarkan (KUHP ps. 308, merujuk ke pasal 305 dan 306)
o Pasal 305 (kasus penelantaran anak dibawah 7 tahun) -> pidana penjara paling
lama 5 tahun 6 bulan.
o Pasal 306
 Ayat (1): (kasus penelantaran yang menyebabkan luka-luka berat) ->
pidana penjara paling lama 7 tahun 6 bulan.
 Ayat (2): (kasus penelantaran yang menyebabkan kematian) -> pidana
penjara paling lama 9 tahun.

Kriteria “Pembunuhan Anak Sendiri” : Bayi atau anak harus dilahirkan hidup setelah seluruh
tubuhnya keluar dari tubuh ibu (separate existence). Bayi dikatakan keluar dari tubuh ibu jika
FORENSIK UPH 10

bayi sudah keluar seluruhnya dari tubuh ibu, meskipun tali pusat dan plasenta masi berada di
dalam ibunya.

II. PEMERIKSAAN LUAR “PEMBUNUHAN ANAK SENDIRI”

Hal-hal yang perlu didapatkan pada pemeriksaan luar kasus “Pembunuhan Anak Sendiri”:
 LAHIR HIDUP / MATI?

Definis Lahir Mati: Kematian janin sebelum keluar atau dikeluarkan dari ibunya dengan usia
gestasi > 24 minggu atau > trimester III.
Tanda-tanda: Tidak bernafas atau tidak menunjukkan tanda kehidupan lainnya, seperti tidak
ada denyut jantung, tidak ada gerakan otot rangka, tidak menangis, atau tidak ada denyut nadi
tali pusat. Bila bayi lahir mati, maka ibu korban hanya dapat dikenakan tuntutan
penyembunyian kelahiran dan kematian orang.

Pada kematian yang terjadi beberapa hari sebelum kelahiran, akan ditemukan tanda-tanda
maserasi (aseptic decomposition). Hal ini terjadi karena adanya proses pembusukan
intrauterin + paparan air dan prosesnya berlangsung dari luar ke dalam tubuh. Jika kematian
terjadi saat akan melahirkan atau saat proses kelahiran, tidak terlihat tanda-tanda maserasi.
Tanda-tanda maserasi terlihat setelah 8-10 hari kematian intrauterine.
Yang menjadi tanda-tandanya:
a. Vesikel atau bula yang berisi cairan kemerahan; Jika vesikel atau bula pecah, akan
terlihat kulit berwarna merah-kecoklatan.  terjadi setelah 3-4 hari.
b. Pengelupasan kulit.
c. Epidermis berwarna putih dan berkeriput.
d. Bau “tengik” (bukan bau busuk).
e. Dada terlihat mendatar  karena perlunakan.
f. Sendi pada lengan dan tungkai lunak  bisa hiperekstensi.
g. Otot atau tendon terlepas dari tulang.
h. Organ tampak basah tetapi tidak bau busuk.
i. Terbentuk litopedion jika telah lama sekali meninggal dalam kandungan.
FORENSIK UPH 10

Penyebab lahir mati bermacam-macam dan terkadang sulit ditentukan, meskipun sudah
dilakukan otopsi lengkap.
Kondisi-kondisi yang diketahui sebagai penyebab kematian intrauterin atau kematian peri-
mortem:
- Prematuritas
- Hipoksia
- Placental insufficiency
- Infeksi intrauterine (virus, bakteri, jamur)
- Kelainan bawaan (kardiovaskuler atau sistem saraf)
- Trauma lahir

 UMUR BAYI INTRA- & EKSTRA-UTERINE?


Rumus De Haas (intra/ekstra):
o Untuk 5 bulan pertama, panjang kepala-tumit (cm) = kuadrat umur gestasi
(bulan).
o Untuk setelah 5 bulan pertama, panjang kepala-tumit (cm) = umur gestasi
(bulan) x 5.
Pusat Penulangan (radiologis-intra/autopsy-extra):
o Klavikula (1.5 bulan), tulang panjang/diafisis (2 bulan), iskium (3 bulan),
pubis (4 bulan), kalkaneus (5-6 bulan), manubrium sterni (6 bulan), talus
(akhir 7 bulan), sternum bawah (akhir 8 bulan), distal femur/proksimal
tibia/kuboid (akhir 9/setelah lahir, untuk kuboid bayi wanita lebih cepat).
o Metode saat autopsy:
 kalkaneus dan kuboid: dorsofleksikan kaki, buat insisi antara jari 3 dan
4 ke arah tengah tumit sehingga telihat pusat pertulangan.
 Distal femur dan proksimal tibia: fleksikan tungkai bawah pada sendi
lutut, buat insisi melintang pada lutut, lepas patella dengan memotong
lig.patela, buat irisan femur dari arah distal ke proksimal sampai
terlihat pusat penulangan pada epifisis distal femur, demikian juga dari
proksimal tibia kearah distal. Diameter pusat penulangan 4-6 cm.
Udara dalam saluran cerna (extra):
FORENSIK UPH 10

o Dalam lambung dan duodeunum (hidup beberapa saat), usus halus (hidup 1-2
jam), usus besar (hidup 5-6 jam), rectum (hidup 12 jam).
Mekonium dalam colon (extra):
o Sudah keluar semua (24 jam setelah lahir)
Perubahan tali pusat (extra):
o Makroskopis: Tempat lekat terbentuk lingkaran merah (dalam 36 jam), tali
pusat mongering seperti benang (6-8 hari), penyembuhan luka bila tidak ada
infeksi (15 hari).
o Mikroskopis: pada daerah yang melepas tampak reaksi inflamasi berupa
serbukan sel leukosit berinti banyak, limfosit dan jaringan granulasi (24 jam).

Eritrosit berinti (extra):


o Hilang dalam waktu 24 jam pertama setelah lahir, kadangkala masih ada di
sinusoid hati.
Ginjal (extra):
o Deposit asam urat/fan-shaped dalam pyramid lebih banyak disbanding
medulla (2-4 hari) menghilang setelah hari ke 4 setelah metabolism terjadi.
Perubahan sirkulasi darah (extra):
o Obliterasi a.v. umbilikalis (3-4 hari), ductus venosus menutup/foramen ovale
menutup/ductus arteriosus menutup (3-4 minggu).

 SUDAH DIRAWAT / BELUM?


o Tali Pusat
o Verniks Kaseosa
o Pakaian

 PENYEBAB KEMATIAN?
Trauma Lahir (Proses persalinan, kelainan terbatas jarang ditemukan fraktur atau
retak tulang tengkorak maupun memar jaringan otak):
o Kaput Suksedaneum
o Sefalhematom
o Fraktur tulang tengkorak
o Perdarahan Intrakranial
FORENSIK UPH 10

o Perdarahan subaraknoid/intraventricular
o Perdarahan Epidural
Kecelakaan Lahir (Bayi terjatuh, partus presipitatus)
Alamiah (penyakit)
Pembunuhan (Anak Sendiri/oleh orang lain):
o Ibu dalam keadaan panic sehingga melakukan tindakan kekerasan berlebih.
o Asfiksia/mati lemas (Paling sering pada pembunuhan anak sendiri dengan
pembekapan, penyumbatan, penjeratan, pencekikan, dan penenggelaman, dimasukin
ke tempat tertutup)
o Kekerasan Tumpul (Jarang dijumpai, biasa dilakukan berulang-ulang, meliputi daerah
luas: patah/retak tulang dan memar jaringan otak)
o Kekerasan Tajam (Jarang ditemukan, cth: menusuk palatum mole sehingga melalui
foramen magnum dan merusak medulla oblongata, memuntir kepala).
o Kekerasan Kimia (Jarang ditemukan, cth: membakar, meniram cairan panas,
memberikan racun)

III. PERTANYAAN DAN JAWABAN:

1. Pertanyaan: Apakah dalam kasus “Sudden Infant Death Syndrome” orang tua dari
bayi tersebut akan dijerat hukum?
Jawaban: Dalam kasus kematian anak mendadak (sudden infant death syndrome/sids)
terdapat banyak sekali penyebab kematian yang terkadang sulit dipastikan dan
memiliki penemuan yang tidak khas dalam Pemeriksaan dalam, anamnesis maupun
reka ulang kejadian. SIDS sendiri didefinisikan sebagai kematian tak terduga di
bawah umur satu tahun (paling sering dalam kurun waktu 1-2 bulan pertama) dengan
kejadian yang sering terjadi sehabis tidur pada musim maupun keadaan yang lebih
dingin, pada bayi dengan berat badan yang relatif lebih rendah. Etiologi SIDS yang
pasti belum diketahui akan tetapi berujung pada kegagalan kardiorespiratori. Oleh
karena banyak kemungkinan yang bisa menyebabkan kegagalan kardiorespiratori,
penyebab asfiksia mekanik pun masih sulit untuk disangkal, dan bisa terungkap
dengan pengakuan dan Pemeriksaan yang mendetil. Jika kematian bayi memang
disebabkan oleh asfiksia mekanis, maka besar kemungkinan kematian dilaksanakan
oleh niat orang tua maupun orang lain, segala jenis bentuk pembunuhan dianggap
sebagai tindak criminal dan harus dijerat hukum. Meskipun demikian masih banyak
FORENSIK UPH 10

mekanisme yang diduga menyebabkan SIDS seperti botulism, defisiensi enzim liver,
dan masih banyak kelainan metabolis lain.

2. Pertanyaan: Apakah dengan menitipkan bayi kita dalam asuhan perawat khusus atau
asisten rumah tangga dan terjadi suatu kasus penelantaran yang berujung pada cidera
atau kematian pada bayi tersebut dapat digolongkan sebagai kasus penelantaran
dimana orang tua lah yang harus memperoleh hukuman?
Jawaban: jikalau orang tua tersebut tidak terbukti memiliki keterlibatan dalam
kematian bayi tersebut maka orang tua tersebut tidak bersalah dan berhak menuntut
perawat khusus atau asisten rumah tangga maupun pihak lain dimana orang tersebut
menitipkan anaknya dalam tanggung jawab merawat bayi tersebut secara sah. Akan
tetapi apabila orang tua tersebut terbukti terlibat dengan pihak lain dalam
melaksanakan niat pembunuhan terhadap anaknya maka orang tua tersebut memiliki
sattus bersalah dan dapat dijerat hukum sesuai dengan yang tertera pada KUHP pasal
341-343 seperti yang sudah dijelskan di atas.

3. Pertanyaan: Bagaimana cara membedakan seorang bayi yang dibunuh oleh orang tua
sendiri (kasus “infanticide”) dengan seorang bayi yang lahir mati (kasus “stillbirth”)?
Jawaban: pada sebagian besar kasus bayi yang yang dibunuh orang tua sendiri
memiliki banyak perbedaan dengan bayi lahir mati yang dapat terlihat dari
Pemeriksaan mayat bayi untuk melihat umur bayi, tanda-tanda perawatan, dan
penyebab kematian. Pada bayi yang terjadi beberapa hari sebelum kelahiran, akan
ditemukan tanda-tanda maserasi (aseptic decomposition) 8-10 hari setelah kematian
seperti yang dijelaskan diatas, sedangkan pada kematian yang terjadi setelah lahir
tidak akan timbul tanda-tanda maserasi. Selain itu pada kasus bayi yang lahir mati
biasanya tidak akan memiliki tanda-tanda perawatan oleh orang tua seperti pakaian,
pemotongan tali pusat yang rapid an verniks kaseosa. Pada kasus kematian infanticide
akan muncul tanda-tanda pembunuhan seperti penjeratan/pembekapan yang
menyebabkan asfiksia, dll.

4. Pertanyaan: Apakah dalam kasus kekerasan kepada anak (“child abuse”) yang
berujung pada kematian akan dikenakan vonis hukum yang setara dengan kasus bayi
yang ditelantarkan hingga berujung pada kematian?
FORENSIK UPH 10

Jawaban: kasus kekerasan kepada anak dikenakan peraturan yang berbeda dengan
kasus bayi yang ditelantarkan dan berujung pada kematian. Penaniayaan anak adalah
pelanggaran hukum seperti tertulis dalam Pasal 76C UU 35/2014 yang berbunyi:

- “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh


melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.” Hukuman atas
tindakan tersebut tertulis dalam Pasal 80 UU 35/2014: [1] “Setiap Orang yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling
banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).” [2] “Dalam hal Anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).” [3] “ Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).” [4] “Pidana
ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.” Pada kasus
penelantaran bayi hukum yang berlaku sesuai dengan yang dijelaskan diatas.
Bayi ditelantarkan (KUHP ps. 308, merujuk ke pasal 305 dan 306)
o Pasal 305 (kasus penelantaran anak dibawah 7 tahun) -> pidana penjara paling
lama 5 tahun 6 bulan.
o Pasal 306
 Ayat (1): (kasus penelantaran yang menyebabkan luka-luka berat) ->
pidana penjara paling lama 7 tahun 6 bulan.
 Ayat (2): (kasus penelantaran yang menyebabkan kematian) -> pidana
penjara paling lama 9 tahun.

Anda mungkin juga menyukai