Anda di halaman 1dari 11

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga


2.1.1 Anatomi Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari aurikula dan kanalis auditorius eksternus dan dipisahkan dari
telinga tengah oleh membrana timpani. Aurikula berfungsi untuk membantu pengumpulan
gelombang suara. Gelombang suara tersebut akan dihantarkan ke telinga bagian tengah
melalui kanalis auditorius eksternus. Tepat di depan meatus auditorius eksternus terdapat
sendi temporal mandibular (Kumar et al, 2005).
Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga lateral
mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat tempat kulit melekat. Dua pertiga medial
tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis. Kanalis auditorius eksternus berakhir pada
membrana timpani. Kulit dalam kanal mengandung kelenjar khusus, glandula seruminosa,
yang mensekresi substansi seperti lilin yang disebut serumen. Serumen mempunyai sifat
antibakteri dan memberikan perlindungan bagi kulit (Audiolab, 2004).

2.1.2. Anatomi Telinga Tengah


Bagian atas membrana timpani disebut pars flaksida, sedangkan bagian bawah pars
tensa. Pars flaksida mempunyai dua lapisan, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit
liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran
napas. Menurut Sherwood, pars tensa mempunyai satu lapisan lagi di tengah, yaitu lapisan
yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian
luar dan sirkuler di bagian dalam.
Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar
ke dalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran di dalam telinga tengah
saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membrana timpani, maleus
melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap oval yang
berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang pendengaran merupakan
persendian. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah menghubungkan daerah
nasofaring dengan telinga tengah (Hall et al, 1987).

Universitas Sumatera Utara


2.1.3 Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam terbagi atas cochlea dan vestibulum. Vestibulum memonitor
pergerakan dan posisi kepala dengan mendeteksi akselerasi linier dan angular.Bagian
vestibular dari labirin terdiri dari tiga kanalis semisirkularis, yakni kanal anterior, posterior,
dan horisontal (Fife D.T.,2009). Ketiga kanalis semisirkularis ini mendeteksi akselerasi
angular.Setiap kanalis semisirkularis terisi oleh endolimfe dan pada bagian dasarnya
terdapat penggelembungan yang disebut sebagai ampula.Ampula mengandung kupula, suatu
masa gelatin yang memiliki densitas yang sama dengan endolimfe, serta melekat pada sel
rambut (Parnes et al, 2003).
Labirin juga terdiri dari dua struktur otolit, yakni utrikulus dan sakulus yang
mendeteksi akselerasi linear, termasuk deteksi terhadap gravitasi. Organ reseptornya adalah
makula. Makula utrikulus terletak pada dasar utrikulus kira-kira di bidang kanalis
semisirkularis horisontal. Makula sakulus terletak pada dinding medial sakulus dan terutama
terletak di bidang vertikal. Pada setiap makula terdapat sel rambut yang mengandung
endapan kalsium yang disebut otolith (otokonia). Makula pada utrikulus diperkirakan
sebagai sumber dari partikel kalsium yang menjadi penyebab BPPV (Fife D.T., 2009).
Kupula adalah sensor gerak untuk kanalis semisirkularis dan ini teraktivasi oleh
defleksi yang disebabkan oleh aliran endolimfe (Fife D.T., 2009). Pergerakan kupula oleh
karena endolimfe dapat menyebabkan respon, baik berupa rangsangan atau hambatan,
tergantung pada arah dari gerakan dan kanalissemisirkularis yang terkena. Kupula
membentuk barier yang impermeabel yang melintasi lumen dari ampula, sehingga partikel
dalam kanalis semisirkularis hanya dapat masuk atau keluar kanal melalui ujung yang tidak
mengandung ampula (Parnes et al, 2003).

Gambar 2.1 Anatomi Labirin (Balasubramanian, 2009)


Ampulofugal berarti pergerakan yang menjauhi ampula, sedangkan
ampulapetal berarti gerakan mendekati ampula. Pada kanal semisirkular posterior
dan superior, defleksi utrikulofugal dari kupula bersifat merangsang (stimulatory)
dan defleksi utrikulopetal bersifat menghambat (inhibitory). Pada kanalis
semisirkularis lateral, terjadi yang sebaliknya (Parnes et al, 2003).

2.2 Benign Paroxymal Positional Vertigo (BPPV)


2.2.1 Definisi
BPPV adalah vertigo yang timbul bila kepala mengambil posisi atau sikap tertentu
(Lumbantobing, 2003). Vertigo posisi paroksismal jinak atau BPPV adalah gangguan
keseimbangan perifer yang sering dijumpai.Gejala yang dikeluhkan adalah vertigo yang
datang tiba-tiba pada perubahan posisi kepala (Bashiruddin, 2008). Vertigo pada BPPV
termasuk vertigo perifer karena kelainannya terdapat pada telinga dalam, yaitu pada sistem
vestibularis. BPPV pertama kali dikemukakan oleh Barany pada tahun 1921 (Li JC dan
Epley, 2009). Karakteristik nistagmus dan vertigo berhubungan dengan posisi dan menduga
bahwa kondisi ini terjadi akibat gangguan otolit (Furman, 2009).

2.2.2. Etiologi
Pada sekitar 50% kasus penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). Beberapa kasus
BPPV dijumpai setelah mengalami jejas atau trauma kepala atau leher, infeksi telinga
tengah atau operasi stapedektomi. Banyak kasus BPPV yang timbul spontan, disebabkan
oleh kelainan di otokonial berupa deposit yang berada di kupula bejana semisirkular
posterior. Deposit ini menyebabkan bejana menjadi sensitif terhadap perubahan gravitasi
yang menyertai keadaan posisi kepala yang berubah (Lumbantobing, 2003).

2.2.3. Patofisiologi
BPPV disebabkan ketika otolith yang terdiri dari kalsium karbonat yang berasal dari
makula pada utrikulus yang lepas dan bergerak dalam lumen dari salah satu kanalis
semisirkularis. Kalsium karbonat dua kali lebih padat dibandingkan endolimfe, sehingga
bergerak sebagai respon terhadap gravitasi dan pergerakan akseleratif lain. Ketika kristal
kalsium karbonat bergerak dalam kanalis semisirkularis (kanalitiasis), mereka menyebabkan
pergerakan endolimfe yang menstimulasi ampula pada kanal yang terkena, sehingga
menyebabkan vertigo. Arah dari nistagmus ditentukan oleh eksitasi saraf ampula pada kanal
yang terkena oleh sambungan langsung dengan otot ektraokular. Setiap kanalyang terkena
kanalitiasis memiliki karakteristik nistagmus tersendiri. Kanalitiasis mengacu pada partikel
kalsium yang bergerak bebas dalam kanalis semisirkularis.
Konsep calcium jam pernah diusulkan untuk menunjukkan partikel kalsium yang
kadang dapat bergerak, tetapi kadang terjebak dalam kanal. Alasan terlepasnya kristal
kalsium dari makula belum dipahami dengan pasti. Debris kalsium dapat pecah karena
trauma atau infeksi virus, tapi pada banyak keadaan dapat terjadi tanpa trauma atau penyakit
yang diketahui. Mungkin ada kaitannya dengan perubahan protein dan matriks gelatin dari
membran otolith yang berkaitan dengan usia. Pasien dengan BPPV diketahui lebih banyak
terkena osteopenia dan osteoporosis daripada kelompok kontrol, dan mereka dengan BPPV
berulang cenderung memiliki skor densitas tulang yang terendah. Pengamatan ini
menunjukkan bahwa lepasnya otokonia dapat sejalan dengan demineralisasi tulang pada
umumnya. Tetap perlu ditentukan apakah terapi osteopenia atau osteoporosis berdampak
pada kecenderungan terjadinya BPPV berulang (Fife D.T., 2009). BPPV dapat disebabkan
baik oleh kanalitiasis ataupun kupulolitiasis dan secara teori dapat mengenai ketiga kanalis
semisirkularis, walaupun terkenanya kanalis superior (anterior) sangat jarang. Bentuk yang
paling sering adalah bentuk kanalis posterior, diikuti bentuk lateral. Sedangkan bentuk
kanalis anterior dan bentuk polikanalikular adalah bentuk yang paling tidak umum (Fife
D.T., 2009).
a. Benign Paroxysmal Positional VertigoTipe Kanalis Posterior
Benign Paroxysmal Positional Vertigoyang paling sering terjadi adalah tipe
kanalis posterior. Ini tercatat pada 85 sampai 90% dari kasus dari BPPV, karena
itu, jika tidak diklasifikasikan, BPPV umumnya mengacu pada BPPV bentuk
kanalis posterior (Fife D.T., 2009). Penyebab paling sering terjadinya BPPV
kanalis posterior adalah kanalitiasis. Hal ini dikarenakan debris endolimfe yang
terapung bebas cenderung jatuh ke kanalis posterior disebabkan karena kanal ini
adalah bagian vestibulum yang berada pada posisi yang paling bawah saat
kepala pada posisi berdiri ataupun berbaring (Parnes et al, 2003).
Mekanisme dimana kanalitiasis menyebabkan nistagmus dalam kanalis
semisirkularis posterior digambarkan oleh Epley. Partikel harus berakumulasi
menjadi "massa kritis" di bagian bawah dari kanalis semisirkularis posterior.
Kanal tersebut bergerak ke bagian yang paling rendah pada saat orientasi dari
kanalis semisirkularis berubah karena posisi dan gravitasi. Tarikan yang
dihasilkan harus dapat melampaui resistensi dari endolimfe pada kanalis
semisirkularis dan elastisitas dari barier kupula, agar bisa menyebabkan defleksi
pada kupula. Waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya hal ini ditambah inersia
asli dari partikel tersebut menjelaskan periode laten yang terlihat selama
manuver Dix-Hallpike (Parnes et al, 2003).
b. Benign Paroxysmal Positional VertigoTipe Kanalis Lateral
BPPV tipe kanalis lateral adalah tipe BPPV yang paling banyak kedua. BPPV
tipe kanalis lateral sembuh jauh lebih cepat dibandingkan dengan BPPV tipe
kanal posterior. Hal ini dikarenakan kanal posterior tergantung di bagian inferior
dan barier kupulanya terdapat pada ujung yang lebih pendek dan lebih rendah.
Debris yang masuk dalam kanalis posterior akan terperangkap di dalamnya.
Sedangkan kanalis lateral memiliki barier kupula yang terletak di ujung atas.
Karena itu, debris bebas yang terapung di kanalis lateral akan cenderung untuk
mengapung kembali ke utrikulus sebagai akibat dari pergerakan kepala (Parnes
et al, 2003).
Dalam kanalitiasis pada kanalis lateral, partikel paling sering terdapat di lengan
panjang dari kanal yang relatif jauh dari ampula. Jika pasien melakukan
pergerakan kepala menuju ke sisi telinga yang terkena, partikel akan membuat
aliran endolimfe ampulopetal, yang bersifat stimulasi pada kanal lateral.
Nistagmus geotropik (fase cepat menuju tanah) akan terlihat. Jika pasien
berpaling dari sisi yang terkena, partikel akan menciptakan arus hambatan
ampulofugal. Meskipun nistagmus akan berada pada arah yang berlawanan, itu
akan tetap menjadi nistagmus geotropik, karena pasien sekarang menghadap ke
arah berlawanan. Stimulasi kanal menciptakan respon yang lebih besar daripada
respon hambatan, sehingga arah dari gerakan kepala yang menciptakan respon
terkuat (respon stimulasi) merupakan sisi yang terkena pada geotropik
nistagmus (Parnes et al, 2003).
Kupulolitiasis memiliki peranan yang lebih besar pada BPPV tipe kanalis lateral
dibandingkan tipe kanal posterior. Karena partikel melekat pada kupula, vertigo
sering kali berat dan menetap saat kepala berada dalam posisi provokatif. Ketika
kepala pasien dimiringkan ke arah sisi yang terkena, kupula akan mengalami
defleksi ampulofugal (inhibitory) yang menyebabkan nistagmus apogeotrofik.
Ketika kepala dimiringkan ke arah yang berlawanan akan menimbulkan defleksi
ampulopetal (stimulatory), menghasilkan nistagmus apogeotrofik yang lebih
kuat. Karena itu, memiringkan kepala ke sisi yang terkena akan menimbulkan
respon yang terkuat. Apogeotrofik nistagmus terdapat pada 27% dari pasien
yang memiliki BPPV tipe kanal lateral (Parnes et al, 2003).
2.2.4 Diagnosis
A. Anamnesis
Pasien biasanya mengeluh vertigo dengan onset akut kurang dari 10-20 detik
akibat perubahan posisi kepala. Posisi yang memicu adalah berbalik di tempat
tidur pada posisi lateral, bangun dari tempat tidur, melihat ke atas dan belakang,
dan membungkuk. Vertigo bisa diikuti dengan mual (Johnson J et al, 2004).
B. Pemeriksaan fisik
Pasien memiliki pendengaran yang normal, tidak ada nistagmus spontan, dan
pada evaluasi neurologis normal (Johnson J & Lalwani AK, 2004).
Pemeriksaan fisik standar untuk BPPV adalah : Dix-Hallpike dan Tes kalori
(Teixeira L.J., 2006).
a. Tes Dix-Hallpike
Tes ini tidak boleh dilakukan pada pasien yang memiliki masalah dengan
leher dan punggung. Tujuannya adalah untuk memprovokasi serangan
vertigo dan untuk melihat adanya nistagmus.
Cara melakukannya sebagai berikut :
1. Pertama-tama jelaskan pada penderita mengenai prosedur
pemeriksaan, dan vertigo mungkin akan timbul namun menghilang
setelah beberapa detik.
2. Penderita didudukkan dekat bagian ujung tempat periksa, sehingga
ketika posisi terlentang kepala ekstensi ke belakang - ,
penderita diminta tetap membuka mata untuk melihat nistagmus yang
muncul.
3. Kepala diputar menengok ke kanan (kalau kanalis semisirkularis
posterior yang terlibat). Ini akan menghasilkan kemungkinan bagi
otolith untuk bergerak, kalau ia memang sedang berada di kanalis
semisirkularis posterior.
4. Dengan tangan pemeriksa pada kedua sisi kepala penderita, penderita
direbahkan sampai kepala tergantung pada ujung tempat periksa.
5. Perhatikan munculnya nistagmus dan keluhan vertigo, posisi tersebut
dipertahankan selama 10-15 detik.
6. Komponen cepat nistagmus harusnya up-bet (ke arah dahi) dan
ipsilateral.
7. Kembalikan ke posisi duduk, nistagmus bisa terlihat dalam arahyang
berlawanan dan penderita mengeluhkan kamar berputar kearah
berlawanan.
8. Berikutnya manuver tersebut diulang dengan kepala menoleh ke sisi
kiri dan seterusnya.
Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat gerakan provokasi ke belakang,
namun saat gerakan selesai dilakukan tidak tampak lagi nistagmus. Pada pasien BPPV
setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbulnya lambat, 40 detik, kemudian
nistagmus menghilang kurang dari satu menit bila sebabnya kanalitiasis, pada kupulolitiasis
nistagmus dapat terjadi lebih dari satu menit, biasanya serangan vertigo berat dan timbul
bersamaan dengan nistagmus (Teixeira L.J., 2006).

Gambar 2.2 Dix-Hallpike (Teixeira L.J., 2006)


b. Tes Kalori
Tes kalori ini dianjurkan oleh Dix dan Hallpike. Pada cara ini dipakai 2
macam air, dingin dan panas. Suhu air dingin adalah , sedangkan
suhu air panas adalah . Volume air yang dialirkan ke dalam liang
telinga masing-masing 250 ml, dalam waktu 40 detik. Setelah air
dialirkan, dicatat lama nistagmus yang timbul. Setelah telinga kiri
diperiksa dengan air dingin, diperiksa telinga kanan dengan air dingin
juga. Kemudian telinga kiri dialirkan air panas, lalu telinga dalam. Pada
tiap-tiap selesai pemeriksaan (telinga kiri atau kanan atau air dingin atau
air panas) pasien diistirahatkan selama 5 menit (untuk menghilangkan
pusingnya) (Teixeira L.J., 2006).
c. Tes Supine Roll
Jika pasien memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV dan hasil tes Dix-
Hallpike negatif, dokter harus melakukan supine roll test untuk memeriksa
ada tidaknya BPPV kanal lateral. BPPV kanal lateral atau disebut juga
BPPV kanal horisontal adalah BPPV terbanyak kedua. Pasien yang
memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV, yakni adanya vertigo yang
diakibatkan perubahan posisi kepala, tetapi tidak memenuhi kriteria
diagnosis BPPV kanal posterior harus diperiksa ada tidaknya BPPV kanal
lateral (Bhattacharyya N et al, 2008).

Gambar 2.3 Supine Roll (Teixeira L.J., 2006)


Dokter harus menginformasikan pada pasien bahwa manuver ini bersifat provokatif
dan dapat menyebabkan pasien mengalami pusing yang berat selama beberapa saat. Tes ini
dilakukan dengan memposisikan pasien dalam posisi supinasi atau berbaring terlentang
dengan kepala pada posisi netral diikuti dengan rotasi kepala 90 derajat dengan cepat ke
satu sisi dan dokter mengamati mata pasien untuk memeriksa ada tidaknya nistagmus.
Setelah nistagmus mereda (atau jika tidak ada nistagmus), kepala kembali menghadap ke
atas dalam posisi supinasi. Setelah nistagmus lain mereda, kepala kemudian diputar/
dimiringkan 90 derajat ke sisi yang berlawanan, dan mata pasien diamati lagi untuk
memeriksa ada tidaknya nistagmus (Bhattacharyya N et al, 2008).
C. Diagnosis Banding
a. Vestibular Neuritis
Vestibular neuronitis penyebabnya tidak diketahui, pada hakikatnya
merupakan suatu kelainan klinis di mana pasien mengeluhkan pusing berat
dengan mual, muntah yang hebat, serta tidak mampu berdiri atau berjalan.
Gejala-gejala ini menghilang dalam tiga hingga empat hari. Sebagian pasien
perlu dirawat di Rumah Sakit wrtuk mengatasi gejala dan dehidrasi. Serangan
menyebabkan pasien mengalami ketidakstabilan dan ketidakseimbangan
selama beberapa bulan, serangan episodik dapat berulang. Pada fenomena ini
biasanya tidak ada perubahan pendengaran (Anderson et al, 1998).
b. Labirintitis
Labirintitis adalah suatu proses peradangan yang melibatkan mekanisme
telinga dalam. Terdapat beberapa klasifikasi klinis dan patologik yang
berbeda. Proses dapat akut atau kronik, serta toksik atau supuratif.
Labirintitis toksik akut disebabkan suatu infeksi pada struktur didekatnya,
dapat pada telinga tengah atau meningen tidak banyak bedanya. Labirintitis
toksik biasanya sembuh dengan gangguan pendengaran dan fungsi vestibular.
Hal ini diduga disebabkan oleh produk-produk toksik dari suatu infeksi dan
bukan disebabkan oleh organisme hidup. Labirintitis supuratif akut terjadi
pada infeksi bakteri akut yang meluas ke dalam struktur-struktur telinga
dalam. Kemungkinan gangguan pendengaran dan fungsi vestibular cukup
tinggi. Yang terakhir, labirintitis kronik dapat timbul dari berbagai sumber
dan dapat menimbulkan suatu hidrops endolimfatik atau perubahan-
perubahan patologik yang akhirnya menyebabkan sklerosi labirin (Anderson
et al, 1998).
c. Penyakit Meniere
Penyakit Meniere adalah suatu kelainan labirin yang etiologinya belum
diketahui, dan mempunyai trias gejala yang khas, yaitu gangguan
pendengaran, tinitus, dan serangan vertigo. Terutama terjadi pada wanita
dewasa. Patofisiologinya pembengkakan endolimfe akibat penyerapan
endolimfe dalam skala media oleh stria vaskularis terhambat. Manifestasi
klinis yang dialami penderita Meniere adalah vertigo disertai muntah yang
berlangsung antara 15 menit sampai beberapa jam dan berangsur membaik.
Disertai pengurnngan pendengaran, tinitus yang kadang menetap, dan rasa
penuh di dalam telinga. Serangan pertama hebat sekali, dapat disertai gejala
vegetatif Serangan lanjutan lebih ringan meskipun frekuansinya bertambah
(Mansjoer, 2001).
D. Penatalaksanan
Penatalaksanaan utama pada BPPV adalah manuver untuk mereposisi debris
yang terdapat pada utrikulus. Yang paling banyak digunakan adalah manuver
epley seperti yang diperlihatkan pada gambar di bawah. Manuver mungkin
diulangi jika pasien masih menunjukkan gejala-gejala. Bone vibrator bisa
ditempatkan pada tulang mastoid selama manuver dilakukan untuk
menghilangkan debris (Johnson et al,2001).

Gambar 2.4. Epley Manuver

Pasien digerakkan dalam 4 langkah, dimulai dengan posisi duduk dengan kepala
dimiringkan pada sisi yang memicu.
1. Pasien diposisikan sama dengan posisi Hall-pike sampai vertigo dan nistagmus
mereda.
2. Kepala pasien kemudian diposisikan sebaliknya, hingga telinga yang terkena
berada di atas dan telinga yang tidak terkena berada di bawah.
3. Seluruh badan dan kepala kemudian dibalikkan menjauhi sisi telinga yang terkena
pada posisi lateral dekubitus, dengan posisi wajah menghadap ke bawah.
4. Langkah terakhir adalah mendudukkan kembali pasien dengan kepala ke arah
yang berlawanan pada langkah (Wreksoatmojo, 2009).
Operasi dilakukan pada sedikit kasus pada pasien dengan BPPV berat. Pasien ini
gagal berespon dengan manuver yang diberikan dan tidak terdapat kelainan patologi
intrakranial pada pemeriksaan radiologi. Gangguan BPPV disebabkan oleh respon stimulasi
kanalis semisirkularis posterior, nervus ampullaris, nervus vestibuler superior, atau cabang
utama nervus vestibuler. Oleh karena itu, terapi bedah tradisional dilakukan dengan
transeksi langsung nervus vestibuler dari fossa posterior atau fossa medialis dengan menjaga
fungsi pendengaran (Johnson dan Lalwani, 2004).
E. Prognosis
Prognosis setelah dilakukan CRP biasanya bagus. Remisi dapat terjadi spontan
dalam 6 minggu, meskipun beberapa kasus tidak terjadi. Dengan sekali
pengobatan tingkat rekurensi sekitar 10-25% (Li dan Epley, 2009).

2.3 Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah
orang melakukan pengindaraan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui indra mata dan telinga. Ada enam tingkatan pengetahuan, yaitu :
a. Tahu (know)
Kemampuan mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan
yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
b. Memahami (comprehension)
Kemampuan untuk menjelaskan dan menginterpretasikan secara benar tentang
objek yang diketahuinya.
c. Aplikasi (application)
Kemampuan untuk menerapkan suatu kaidah metode bekerja pada suatu kasus
dan masalah yang nyata.
d. Analisis (analysis)
Kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen-
komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih
ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (synthesis)
Kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu
bentuk keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi (evaluation)
Kemampuan melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek atau
materi. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden (Notoatmodjo, 2007).

Anda mungkin juga menyukai