Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan
oleh karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada
kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini
adalah Corynebacterium Diphteriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran
pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/
tenggorok) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat,
melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga
melalui batuk dan bersin penderita, manusia merupakan salah satu reservoir dari
bakteri ini. 1
Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada
kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala -gejala
lokal dan sistemik,efeksistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh
mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5 hari,
penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier. 2
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan
segera. Bayi baru lahir biasanya membawa antibody secara pasif dari ibunya yang
biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di
vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit
tersebut. 3
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC,
Diphteri, Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu
penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Diperkirakan1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah
akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah
dengan imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh
kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan
kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri

1
digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun
dengan drastis.4
Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah.
Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak
diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri
mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut.
Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap
penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.5
Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan ingus
yang bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus difteri. Bila tidak
diobati akan berlangsung mingguan dan merupakan sumber utama penularan.6
Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan
keadaan lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50%
penderita difteri meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa ini dapat
terjadi terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir
ini berkat adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan
dan kematian menurun secara drastis.7
Tujuan penulisan refrat ini adalah untuk mengetahui anatomi dan fisiologi
dari hidung. definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gejela klinis, diagnosis
dari anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnose banding,
penatalaksaan, dan komplikasi dari difteri hidung.

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring,
laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang
konjunngtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik
yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatumembran asimetrik keabu-
abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit,
sekalipun pada difteri faucial atau pada difteri faringotonsiler diikuti dengan kelenjar
limfe yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan sedang ditandai
dengan pembengkakan dan odem di leher dengan pembentukan membran pada
trakea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.4
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung
tersumbat dan terjadi ekskorisasi. Infeksi subklinis (kolonisasi) merupakan kasus
terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart block dan
kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala
klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-macam dan tidak dapat
dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian
dari impetigo.4

2.2 Epidemiologi
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara
mencolok setelah penggunaan toksoid difteri secara meluar. Umumnya masih
tetap terjadi pada individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak
mendapatkan imunisasi primer). Bagaimanapun, pada setiap epidemi insidens
menurut usia tergantung pada kekebalan individu. Serangan difteri yang sering
terjadi, mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan penduduk
miskin ynag tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas pelayanan
kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum
mendapatkan imunisasi.5

3
Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah.
Rendahnya kasus difteri sangat dipengaruhi adanya program imunisasi. Jumlah
kasus penyakit difteri di Propinsi Jawa Timur tahun 2006 sebesar 39 kasus,dengan
rincian jumlah terbanyak Kota Surabaya 8 Kasus, Kab. Sidoarjo 7 kasus, Kab.
Sumenep 4 kasus dan Kota Probolinggo 4 kasus. Prevalesi difteri hidung 2 %
dari total kasus difteri. Bila tidak diobati akan berlangsung mingguan dan
merupakan sumber utama penularan.5

2.3 Anatomi dan Fisiologi Hidung


Hidung merupakan organ penting yang menjadi salah satu organ pelindung
tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas nasus
eksternus (hidung luar) dan cavum nasi. Hidung luar menonjol pada garis tengah
di antara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga
bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan, di bawahnya
terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah
adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan.6
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah
yakni pangkal hidung, dorsum nasi, puncak hidung (apeks), alas nasi, kolumela
dan lubang hidung. Hidung luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang hidung terdiri
dari sepasang os nasalis (tulang hidung), prosesus frontalis os maksila dan
prosesus nasalis os frontalis. sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan terletak di bagian bawah hidung yaitu sepasang
kartilago nasalis lateralis superior dan sepasang kartilago nasalis lateral inferior
(kartilago alar mayor).6
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya. Kavum nasi bagian
anterior disebut nares anterior dan bagian posterior disebut nares posterior atau
koana yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Vestibulum terletak
tepat di belakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak

4
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrissae. Septum nasi
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan di mana bagian tulang terdiri dari
lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila, krista nasalis
os palatine. Bagian tulang rawan terdiri dari, kartilago septum atau lamina
kuadrangularis, kolumela. Kavum nasi terdiri dari dasar hidung, atap hidung,
dinding lateral dan dinding medial.6
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksilaris dan prosesus
horizontal os palatum, atap hidung yang terdiri dari kartilago lateralis superior dan
inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os
sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui
filamen-filamen nervus olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial
konka superior. Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis
os maksila, os lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina
perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial. Konka, pada dinding
lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media dan konka
superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini
biasanya rudimenter.6
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian
dari labirin etmoid. Meatus nasi, di antara konka-konka dan dinding lateral hidung
terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak di antara
konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak di
antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Di sini terdapat muara
sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang
merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus
etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding medial, dinding medial hidung adalah
septum nasi.6

5
Gambar 2.1. Rongga Hidung

2.4 Etiologi
Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif (basil
aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati
pada pemanasan 60C, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan,
kuman ini bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau merupakan
formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya,
isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit agar darah) yang
menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila direduksi oleh C.
diphteheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau dapat pula dengan
menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang sudah
dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang
berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni akan
berwarna krem. Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup
bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi
serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan
khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa.4

6
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius
dan mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini
merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik.
Hal ini mungkin bias menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa
mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae
adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro,
toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji
kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek)
yaitu suatu uji reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu
protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya,
mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B
(karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau
memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa
diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene.2

2.5 Patofisiologi
Biasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar permukaan selaput
lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai
ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan kepita suara
(laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan
terjadi gangguan pernafasan.7
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda
maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah
masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan
menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh
tubuh, terutama jantung dan saraf. Toksin biasanya menyerang saraf tertentu,
misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada
minggu pertama kontaminasi toksin .Antara minggu ketiga sampai minggu
keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi
kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis)

7
bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat
ringan, tampak sebagai kelainan ringanpada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat,
bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung
dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu.7
Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri
juga menyerang kulit. Pada serangan difteri berat akan ditemukan
pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati,
bakteri dan bahan lainnya, di dekat tonsil dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini
tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa,
maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab
penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat
saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas. Berdasarkan gejala
dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang dilakukan
pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium.
Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan
pemeriksaan dengan EKG.7
Pada difteri hidung, gejalanya paling ringan dan jarang terjadi ( hanya 2% ).
Gejala sukar dibedakan dari common cold. Tanda karasteristik adalah dijumpai
pengeluaran sekresi hidung tanpa diikuti gejala lain. Demam bila ada biasanya
rendah. Pengeluaran sekresi hidung ini mula-mula serous, kemudian
serosanguinos, pada beberapa kasus terjadi epitaksis. Pengeluaran sekresi hidung
bisa berasal dari satu atau dua lubang hidung. Lama kelamaan sekresi hidung ini
bisa mucopurulentdan dijumpai eskoriasi pada lubang hidung sebelah luar dan
bibir bagian atas, terlihat seperti impetigo. Pengeluaran sekresi kadang
mengaburkan tentang adanya membrane putih pada sekat hidung. Karena absorpsi
toxin yang jelek pada tempat lokasi, menyebabkan gejala ringan. Penyebaran
pseudomembran dapat pula mencapai laring dan faring. Penderita diobati seperti
penderita lainnya seperti anti toksin dan terapi antibiotic. Bila tidak diobati akan
berlangsung mingguan dan merupakan sumber utama penularan.8
Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif,
purulen, serosanguinis dengan pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares

8
luar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane
putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik
yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.8

2.6 Gejala Klinis


Tanda-tanda dan gejala difteri tergantung pada fokus infeksi, status kekebalan
dan apakah toksin yang dikeluarkan itu telah memasuki peredaran darah atau
belum. Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari, walaupun dapat singkat hanya
satu hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit
agak terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokan yang ringan, panas yang
tidak tinggi, berkisar antara 37,80C 38,90C. Pada mulanya tenggorok hanya
hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membran putih/keabu-abuan.6
Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle,
uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal.,
abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke
dalam eksudat. Membran mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan
jaringan dibawahnya. Sehingga sukar untuk diangkat, sehingga bila diangkat
secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak ada membran
biasanya tidak membengkak.3
Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari
5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan. Gejala lokal dan sistemik secara
bertahap menghilang dan membran akan menghilang. Dan perubahan ini akan
lebih cepat bila diberikan antitoksin. Difteri berat akan lebih berat pada anak yang
lebih muda. Bentuk difteri antara lain bentuk Bullneck atau maglinant difteri.
Bentuk ini timbul dengan gejala-gejala yang lebih berat dan membran menyebar
secrara cepat menutupi faring dan dapat menjalar ke hidung. Udema tonsil dan
uvula dapat pula timbul. Kadang-kadang udema disertai nekrosis. Pembengkakan
kelenjer leher, infiltrat ke dalam jaringan sel-sel leher, dari telinga satu ke telinga
yang lain. Dan mengisi dibawah mandibula sehingga memberi gambaran
bullneck.5
Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek
ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih

9
sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan
pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam
adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi.
Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata
sehingga diagnosis lambat dibuat.4

2.7 Diagnosis
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian
antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus ditegakkan
berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Karena
preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan
waktu beberapa hari.6
Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara Flourescent antibody
technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan
isolasi C diphtheriae dengan pembiakan pada media loeffler dilanjutkan dengan
tes toksinogenitas secara in-vivo (marmot) dan in-vitro (tes Elek).1
Adanya membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri,
karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi
membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain, warna
membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih
banyak fibrin dan melekat dengan mukosa di bawahnya. Bila diangkat terjadi
perdarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula.4
Pada difteri hidung, pemeriksaan didapatkan ingus bercampur darah, mungkin
ditemukan pseudomembran putih yang mudah berdarah di konka inferior dan
sekitarnya, krusta coklat di nares dan cavum nasi. Diagnosis pasti ditegakkan
dengan pemeriksaan kuman dari sekret hidung.5

10
Gambar 2.2 Difteri Hidung
Pemeriksaan Penunjang:7
1.
Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa
hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab)
2.
Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin
3.
Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen
4.
Enzim CPK, segera saat masuk RS
5.
Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
6.
EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot
jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu,
kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.
7.
Tes schick: Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah
seseorang telah mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml
satuan per millimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteria. Untuk
pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan
dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada
seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada
bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang
mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas
suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick
dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan
dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin

11
yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein
antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam. (FKUI kapita selekta).8
Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan
kasus-kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati
dengan sempurna. Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml
toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang
lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca
pada hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang
diameternya 10mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil positif berarti
adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri).8
Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan
oleh reaksi alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi
eritema dan indurasinya menghilang dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan
yang positif karena adanya antitoksin akan menetap selama beberapa hari.8
8.
Tes hapusan spesimen: Diambil dari hidung, tenggorokan dan terdapat lesi
mukokutan lain, berguna untuk identifikasi tempat spesies,uji toksigenitas
dan kerentanan anti mikroba sebagai medikasi.9
2.8 Komplikasi

Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat
aktivitas eksotoksin, maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam
infeksi tumpangan oleh kuman lain, obstruksi jalan nafas akibat membrane
atau adema jalan nafas, sistemik; karena efek eksotoksin terutama ke otot
jantung, syaraf, dan ginjal. 3
Infeksi tumpangan pada anak dengan difteri seringkali mempengaruhi
gejala kliniknya sehingga menimbulkan permasalahan diagnosis maupun
pengobatan. Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokok dan
stafilokok. Panas tinggi terutama didapatkan pada penderita difteri dengan
infeksi tumpangan dengan streptokok. Mengingat adanya infeksi tumpangan
ini, kita harus lebih waspada dalam mendiagnosis dan mengobati difteri pada
anak. 7

12
Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh
membrane difteria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah
submandibular dan servical.
Kasus septikemi yang jarang dan secara umum mematikan telah diuraikan.
Kasus endokarditis sporadik terjadi, dan kelompok-kelompok pengguna obat
intravena telah dilaporkan di beberapa negara; kulit adalah tempat masuk yang
mungkin, dan hampir semua strain adalah nontoksigenik. Kasus arthritis
piogenik sporadic terutama karena strain nontoksigenik, dilaporkan pada
orang dewasa dan anak-anak. Difteroid yang diisolasi dari tempat-tempat
tubuh steril tidak boleh dianggap sebagai kontaminan tanpa pertimbangan
wujud klinis yang teliti. 5
Miokardiopati toksik. Terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri
dan menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak
kentara dapat terdeteksi pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang
lebih tua, tetapi resiko komplikasi yang berarti berkorelasi secara langsung
dengan luasnya dan keparahan penyakit orofaring lokal eksudatif dan
penundaan pemberian antitoksin. Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi
pada minggu ke-2 dan ke-3 sakit ketika penyakit faring membaik tetapi dapat
muncul secara akut seawall 1minggu bila berkemungkinan hasil akhir
meninggal, atau secara tersembunyi lambat sampai sakit minggu ke-6.
Takikardi diluar proporsi demam lazim dan dapat merupakan bukti efektif
toksisitas jantung atau disfungsi system saraf otonom. Pemanjangan interval
PR dan perubahan pada gelombang ST-T pada elektrokardiogram relative
merupakan tanda yang lazim. Disaritmia jantung tunggal atau disaritmia
progresif dapat terjadi, seperti blockade jantung derajat I,II dan III, dissosiasi
atrioventrikule, dan takikardi ventrikuler. Gagal jantung kongestif klinis
mungkin mulai secara tersembunyi atau akut. Kenaikan kadar
aminotransferase aspartat serum sangat parallel dengan keparahan
mionekrosis. Disaritmia berat menramalkan kematian. Penemuan histologik
pascamati dapat menunjukkan sedikit mionekrosis atau difus dengan respons
radang akut. Yang bertahan hidup dari disaritmia yang lebih berat dapat

13
mempunyai defek hantaran permanent; untuk yang lain, penyembuhan dari
miokardiopati toksik biasanya sempurna.
Neuropati toksik, komplikasi neurologis parallel dengan luasnya infeksi
primer dan pada mulainya yang multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu
sesudah mulai radang orofaring, sering terjadi hipestesia dan paralisis lokal
palatum molle. Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan fasialis posterior
dapat menyertai, menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan
resiko kematian karena aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu
ke-5 dan menyebabkan paralisis okulomotor dan paralisis siliaris, yang
nampak sebagai strabismus, pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi.
Polineuropati simetris mulainya 1hari sampai 3 bulan sesudah infeksi
orofaring dan terutama menyebabkan deficit motor dengan hilangnya refleks
tendon dalam. Kelemahan otot proksimal tungkai menyebar kedistal dan lebih
sering. Tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal pada yang kedua tidak
dapat dibedakan dari tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal polineuropati
sindrom Landry-Guillain-Barre. Paralisis diafragma dapat terjadi. Mungkin
terjadi penyembuhan sempurna. 2 atau 3 minggu sesudah mulai sakit jarang
ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat menyebabkan hipotensi atau
gagal jantung.1

2.9 Diagnosa Banding


Difteri Hidung, penyakit yang menyerupai difteri hidung ialah rhinorrhea
(common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues
congenital).1
Common Cold
Gejala pilek biasanya muncul selama 2-3 hari setelah kontak dengan
virus, bahkan bisa terjadi hingga seminggu. Gejala yang muncul antara lain7 :
Kongesti nasal
Mengeluarkan ingus

Tenggorokan gatal

14
Bersin
Orang dewasa dan anak-anak yang mengalami pilek biasanya juga
disertai dengan demam atau tidak disertai dengan demam. Seseorang juga
mengalami hal-hal berikut tergantung pada virus penyebab:7

Demam
Penurunan nafsu maka

Sakit kepala

Sakit otot

Postnasal drip

Sakit tenggorokan
Rhinosinusitis
Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi akibat alergi
atau infeksi karena bakteri, virus atau jamur. Rinosinusitis dapat didiagnosa
apabila dijumpai dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor
ditambah dua atau lebih kriteria minor. Gejalanya menurut kriteria mayor dan
minor adalah7:
Gejala Mayor :
a. Obstruksi hidung
b. Sekret pada daerah hidung/ sekret belakang hidung yang sering
disebut PND (Postnasal drip).
c. Kongesti pada daerah wajah
d. Nyeri atau rasa tertekan pada wajah
e. Kelainan penciuman(Hiposmia atau anosmia)
f. Demam (hanya pada akut)
Gejala Minor:
a. Sakit kepala

15
b. Sakit atau rasa penuh pada telinga
c. Halitosis atau nafas berbau
d. Sakit gigi
e. Batuk dan iritabilitas
f. Demam (semua nonakut)

Adenoiditis
Adenoiditis adalah gangguan yang ditandai dengan hidung tersumbat,
sekret hidung dan nyeri tenggorok. Kondisi ini disebabkan karena peradangan
pada adenoid, suatu benjolan jaringan yang terletak pada bagian belakang dari
tenggorok dan di atas tonsil. Adenoid adalah kelenjar getah bening, yang terdiri
dari limfosit (sel darah putih) yang membantu menyaring dan membunuh patogen
asing dan bakteri. Akan tetapi, jaringan ini kadang dapat sangat membesar karena
bakteri dan terinfeksi, menyebabkan adenoiditis. Hal ini paling sering terjadi pada
anak-anak tetapi sesekali dapat terjadi pada orang dewasa khususnya penderita
alergi khususnya dengan hihidung sensitif. Seringkali terjadi overtreatment
antibiotika dan overtreatment operasi Adenoidektomi. Pemberian antibiotika
seringkali berlebihan karena penyebab utama infeksi yang mendasari adalah
infeksi virus yang tidak memerlukan antibiotika. Pada kasus tertentu yang berat,
pengangkatan adenoid melalui operasi dapat dilakukan untuk mencegah infeksi
lebih lanjut. Tanda dan gejala Adenoiditis7:
a. Batuk
b. Demam
c. Hidung pilek (rinorea)
d. Ngorok (OSA)
e. Memiliki kesulitan bernapas
f. Mengalami kesulitan menelan
g. Pembengkakan pada tenggorok
h. Sakit tenggorok

2.10 Penatalaksanaan

16
Tujuan pengobatan penderita difteri adalah menginaktivasi toksin yang belum
terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteri.7

A. Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
hidung negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi
selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,
pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah
dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat
atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan
EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada
difteri laring di jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara
dengan menggunakan nebulizer.3

B. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria.
Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6,
angka kematian ini biasa meningkat sampai 30%.9

17
Tipe Difteria Dosis ADS (IU)
Difteria Hidung 20.000 IM
Difteria tonsil 40.000 IM
Difteria faring 40.000 IM
Difteria laring 40.000 IM
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-120.000 IM
Terlambat berobat (>72 jam)
80.000-120.000IM
lokasi di mana saja
Tabel 2.1 Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit

Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata
terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi
anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam
semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam
larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam
20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan
1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain
diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak
gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata
positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila
ujihiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus
secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat
penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar
antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS
intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-
2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan
selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula
perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum
sickness).10

2. Antibiotik

18
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan
untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga
mencegah penularan organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya
rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin,
klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap
eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas.
Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih
unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring.8
Dosis : Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2
jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama
14 hari. Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau
i.v. , dibagi dalam 4 dosis.
Amoksisilin.
Rifampisin.
Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit
diobati 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-
kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit)
yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi.8

3. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada
difteria. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang
disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai
atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian
kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti. Dosis :
Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama
14 hari.8

C. Pengobatan Penyulit

19
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap
baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible. Bila
tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif
merupakan indikasi tindakan trakeostomi.4

D. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji
Schick negative tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin
diperlukan tindakan tonsilektomi atau adenoidektomi.4

20
Biakan Uji Schick Tindakan

Bebas isolasi : anak yang


telah mendapat imunisasi
(-) (-) dasar diberikan booster
toksoid difteria

Pengobatan karier : Penisilin


100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin
(+) (-) 40 mg/kgBB/hari selama 1
minggu

Penisilin 100 mg/kgBB/hari


oral/suntikan atau eritromisin
(+) (+) 40 mg/kgBB + ADS 20.000
KI

Toksoid difteria ( imunisasi


aktif), sesuaikan dengan
(-) (+) status imunisasi

Tabel 2.2 Pengobatan Terhadap Kontak Difteria

2.11 Prognosis

21
Sebelum adanya antitoksin dan antibiotika, angka kematian
mencapai 30-50 %. Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka
kematian menurun menjadi 5-10% dan sering terjadi akibat miokarditis.8
Prognosa tergantung pada :
1. Usia penderita
Makin rendah makin jelek prognosa. Kematian paling sering ditemukan
pada anak-anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat tercekik
oleh membran difterik.
2. Waktu pengobatan antitoksin
Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin.
3. Tipe klinis difteri
Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe
nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%)
4. Keadaan umum penderita
Prognosa baik pada penderita dengan gizi baik.
Difteri yang disebabkan oleh strain gravis biasanya memberikan prognosis
buruk. Semakin luas daerah yang diliputi membran difteri, semakin berat penyakit
yang diderita. Difteri laring lebih mudah menimbulkan akibat fatal pada bayi atau
pada penderita tanpa pemantauan pernafasan ketat. Terjadinya trombositopenia
amegakariositik atau miokarditis yang disertai disosiasi atrioventrikuler
menggambarkan prognosis yang lebih buruk.8

2.12 Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang
anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga
perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat
imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi
tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan demikian
memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier)
atau menderita difteri ringan. 5

22
Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin,
kekuatannya dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar
imunogenitas. Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan
batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu
DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL;
preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5
mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk
dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya
superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang
lebih tua, Tidak dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar
toksoid difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar
toksoid difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi.
Rencana (Jadwal):4
1. Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin
mengandung-difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6
bulan. Dosis ke empat adalah bagian intergral seri pertama dan diberikan
sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis booster siberikan umur 4-6
tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan pada umur 4 tahun).
Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5
mL yang mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang
berjarak 4-8 minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
2. Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td.
Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus
mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada
usia 6 tahun. Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun,
seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan
booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis ketiga
diberikan sesudah umur 4 tahun.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

23
3.1 Kesimpulan
Difteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di therapi dengan
segera, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti
dalam mengurangi insidensi penyakit tersebut, walaupun difteri sudah jarang di
berbagai tempat di dunia tetapi kadang-kadang masih ada yang terkena penyakit
ini.
Penyebab dari penyakit difteri ini adalah C diphtheriae yang merupakan
kuman gram (+), ireguler,tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik dan
memperlihatkan bentuk seperti tulisan China.Masa inkubasi kuman ini 2-5 hari,
dengan gejala klinis berupa sakit tenggorokan ringan, panas badan 38,9C.
Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal,
difteri tonsil dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri
konjungtiva, dan difteri telinga, akan tetapi yang paling terseringa adalah difteri
tonsil faring.
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung
tersumbat dan terjadi ekskorisasi. Infeksi subklinis (kolonisasi) merupakan kasus
terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart block dan
kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala
klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-macam dan tidak dapat
dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian
dari impetigo.
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian
antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit
ini adalah isolasi C. Diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran bagian
dalam (kultur).
Dasar dari therapi ini adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C.
diphtheriae dengan antibiotik. Antibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif
untuk kebanyakan strain C. diphtheriae.
Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan
penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan
diagnosis, dan perawatan umum.
Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan
memberi pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak dan juga dengan

24
pemberian imunisasi DPT 0,5 mL intramuscular untuk anak kurang dari 7 tahun
dan pemberian DT 0,5 mL intramuscular untuk anak lebih dari 7 tahun.

3.2 Saran
Penyusun sangat membutuhkan saran demi meningkatkan kualitas dan
mutu dari referat yang disusun dilain waktu sehingga dapat memberikan informasi
yang lebih berguna untuk pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dr. T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit
Infeksi Tropik Pada Anak, Difteri. 1-18.
2. Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FKUP/RSHS. 173-176.

25
3. http://rarediseases.about.com/cs/Diphtheriae/a/090703.htm
4. http://rarediseases.about.com/cs/Diphtheriae/a/090703.htm

5. Kadun I Nyoman. 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. CV


Infomedika, Jakarta.
6. Dinas Kesehatan Jawa Timur. 2014. Analisis Data Penyakit Difteri
Provinsi Jawa Timur.
7. Zieve, D., Vorvick, L.J. 2011. Common Cold. Medline Plus, National
Institute of Health.
8. Soepardi Efiaty, Nurbaiti Iskandar, Jenny Bashiruddin, Ratna Dwi Restuti.
2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher. Edisi Keenam. Hal 139-142. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
9. Rudolf Probst, Gerhard Grevers, Heinrich Iro. 2006. Basic
Othorhinolaryngology. Thieme. Hal 49-51
10. http://www.cdc.gov/ncbddd/dd/Diphtheri.htm

26

Anda mungkin juga menyukai