Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

PENDAHULUAN

Keloid adalah pertumbuhan jaringan ikat padat hiperproliferatif jinak akibat respon
penyembuhan luka abnormal. Keloid terjadi karena sintesis dan penumpukan kolagen yang
berlebihan dan tidak terkontrol pada kulit yang sebelumnya terjadi trauma dan mengalami
penyembuhan luka.4,7 Keloid berbeda dengan skar hipertrofik karena keloid menyebar melewati
garis batas luka awal, menginvasi kulit normal di sekitarnya, tumbuh mirip pseudotumor dan
cenderung rekuren setelah eksisi.10
Penanganan keloid merupakan tantangan bagi dermatolog, terutama karena respon
terhadap pengobatan yang bervariasi. Berbagai metoda terapi telah dilakukan untuk mengobati
keloid. Metoda terapi keloid yang banyak digunakan saat ini adalah kortikosteroid, pembedahan,
radiasi, laser dan silicone gel sheets. Beberapa metoda lain, masih dalam taraf eksperimen,
seperti interferon, bleomisin dan 5-fluorouracil.1
Keloid sering timbul kembali walaupun telah diterapi dengan berbagai teknik.2 Sampai
saat ini pun, belum ada baku emas penanganan keloid. 9 Keloid dapat muncul pada daerah dada,
bahu, punggung, leher belakang, dan daun telinga.4 Lebih sering muncul pada orang kulit hitam,
Hispanik, dan Asia, dan jarang dijumpai pada Kaukasian. Pada wanita lebih sering dijumpai dari
pada pria. Keloid lebih sering muncul pada decade ketiga. Walaupun sering muncul pada daerah
yang terkena trauma, namun dapat muncul secara spontan.4
Pada referat ini akan dibahas tentang patogenesis, manifestasi klinis, gambaran
histopatologis, pencegahan dan terutama berbagai metoda penanganan keloid, juga akandibahas
berbagai metoda penanganan keloid terbaru seperti antineoplastic agent dan botulinum toksin.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Keloid adalah pembentukan jaringan parut berlebihan (pertumbuhan proliferatif) diatas
permukaan kulit yang disebabkan oleh trauma atau luka dan bekas operasi karena sintesis dan
deposisi yang tidak terkontrol dari jaringan kolagen pada dermis.1, 2
Luka pada kulit seperti luka bakar, insisi pembedahan, ulkus dan lain-lain diperbaiki
melalui deposisi dari komponen yang akan membentuk kulit baru. Komponen tersebut meliputi
pembuluh darah, saraf, serat elastin (memberelastisitas kulit), serat kolagen (memberi
ketegangan kulit), dan gliko-saminoglikan yang membentuk matriks di mana serat-serat
struktural, saraf dan pembuluh darah berada.1,2
Pada beberapa orang, jaringan parut yang terbentuk akibat proses penyembuhan luka
tumbuh secara abnormal menghasilkan jaringan parut hipertrofik atau keloid. Jaringan parut
abnormal tersebut dapat menyebabkan gangguan psikis dan fungsional pada pasien dan
penatalaksanaannya relatif sulit.1,2.

2.2. Epidemiologi
Data epidemiologi keloid masih terbatas, namun dari data tersebut terlihat perbedaan di
antara kelompok ras. Keloid lebih sering dijumpai pada ras Afrika, AmerikaLatin dan Asia.
Secara umum resiko untuk terjadi keloid pada ras dengan kulit lebih gelap15% lebih tinggi
dibanding ras kulit putih. Insidens keloid pada kulit hitam dan Hispanik bervariasi dari 4-16%,
dengan insidens tertinggi pada pubertas dan kehamilan. Terdapat predominasi wanita yang
mungkin disebabkan oleh karena budaya tindik telinga. (3,7) Pertumbuhan keloid juga dapat
dicetuskan oleh kehamilan. Berbeda dengan skar hipertrofik yang dapat terjadi pada semua usia,
keloid umumnya terjadi pada dekade ketiga kehidupan manusia. Penelitian Bayat dkk yang
meneliti karakteristik klinis keloid pada 211 kasus keloid mendapatkan data kependudukan
seperti yang tertera di tabel 1.

2
Tabel 1. Data kependudukan pasien keloid termasuk penyebab terbanyak, rentang usia dan usia
rerata. 1

Lokasi Penyebab Rentang Usia Standar Deviasi Usia Rerata


Terbanyak Rentang Usia

Dada Laserasi 1-64 12,2 22,3

Telinga Tindik telinga 1-37 7,04 17,1

Kepala dan Leher Laserasi 1-51 11,6 17,6

Ektremitas
Akne 1-53 12,02 17,4
Bawah

Skalp Akne 1-36 9,5 21,4

Trunkus Laserasi 1-68 13,06 22,0

Ekstremitas Atas Vaksinasi 2-44 9,96 15,5

2.3. Etiologi

Selain trauma, penyebab pasti belum diketahui, tidak adaa gen khusus yang diidentifikasi
sebagai penyebab berkembangnya suatu keloid, meskipun peningkatan prevalensi keloid
berhubungan dengan peningkatan pigmentasi kulit yang menunjukkan adanya pengaruh genetik.
Keloid dihubugkan secara genetik dengan HLA-B14, HLA-B21, HLA-BW16, HLA-BW35,
HLA-DR5, HLA-DQW3, dan golongan darah A. transmisi dilaporkan secara autosom dominan
dan autosom resesif. Keloid dapat disebabkan oleh insisi bedah, luka, penyuntikan vaksin
(BCG), luka bakar, bekas jerawat, setelah cacar, gigitan serangga, pemakaian anting. Beberapa
faktor lain yang diketahui berpengaruh adalah herediter dan ras, umur dan faktor endokrin, jenis
luka dan lokasi trauma seperti yang telah dijelaskan diatas.(1,2)

2.4. Patogenesis

3
Keloid dapat dijelaskan sebagai suatu variasi dari penyembuhan luka. Pada suatu luka,
proses anabolik dan katabolik mencapai keseimbangan selama kurang lebih 6-8 minggu setelah
suatu trauma. Pada stadium ini, kekuatan luka kurang lebih 30-40% dibandingkan kulit sehat.
Seiring dengan maturnya jaringan parut (skar), kekuatan meregang dari skar juga bertambah
sebagai akibat pertautan yang progresif dari serat kolagen. Pada saat itu, skar akan nampak
hiperemis dan mungkin menebal, tepi penebalan ini akan berkurang secara bertahap selama
beberapa bulan sampai menjadi datar, putih, lemas, dapat diregangkan sebagai suatu skar yang
matur. Jika terjadi ketidakseimbangan antara fase anabolik dan katabolik dari proses
penyembuhan, lebih banyak kolagen yang diproduksi dari yang dikeluarkan, dan skar bertumbuh
dari segala arah. Skar sampai diatas permukaan kulit dan menjadi hiperemis.5
Skar yang meluas ini akan timbul sebagai keloid dengan dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain : semua rangsang fibroplasia yang berkelanjutan (infeksi kronik, benda asing
dalam luka, tidak ada regangan setempat waktu penyembuhan, regangan berlebihan pada
pertautan luka), usia pertumbuhan, bakat, ras dan lokasi.3
Pemahaman tentang penyembuhan luka normal sangat penting dalam upaya memahami
mekanisme pembentukan keloid. Secara klasik, penyembuhan luka terbagi dalam tiga fase, yaitu:
4
inflamasi, fibroblastik dan maturasi.10 Secara umum, keloid timbul setelah cedera atau inflamasi
kulit pada individu yang beresiko. Keloid dapat terjadi dalam jangka waktu satu bulan sampai
satu tahun setelah trauma atau inflamasi. Trauma kulit pada dermis retikuler atau lapisan kulit
lebih dalam lagi cenderung berpotensi menjadi skar hipertrofik dan keloid. Beberapa penyebab
keloid yang sering dilaporkan adalah: akne, folikulitis, varicella, vaksinasi, tindik telinga, luka
robek dan luka operasi. Luka kecil sekalipun, bahkan bintil bekas gigitan serangga dapat menjadi
keloid. Injeksi menggunakan jarum ukuran kecil, seperti injeksi anestesi lokal, biasanya tidak
menimbulkan keloid. Keloid dapat terjadi pada injeksi yang memprovokasi inflamasi, seperti
vaksinasi. Penelitian di Taiwan mendapatkan bahwa 10% remaja mendapat keloid pada tempat
bekas injeksi vaksin Bacil Calmette Guerin (BCG).7
Setelah terjadi trauma/luka, pada lokasi luka terjadi degranulasi platelet, aktifasi faktor
pembekuan dan komplemen, mengakibatkan pembentukan bekuan fibrin untuk hemostasis.
Bekuan ini selanjutnya berperan sebagai rangka untuk penyembuhan luka. Degranulasi platelet
menyebabkan pelepasan dan aktifasi sitokin poten termasuk transforming growth factor- (TGF-
), epidermal growth factor (EGF), insulin like growth factor-1 (IGF-1) dan platelet-derived
growth factor (PDGF). Growth factor berfungsi merekrut dan mengaktifkan sel netrofil, epitel,
endotel makrofag, sel mast dan fibroblas. (10,2)
Pembentukan jaringan granulasi dan maturasi skar membutuhkan keseimbangan antara
biosintesis kolagen dan degradasi matriks hingga dicapai penyembuhan luka optimal. Makrofag,
fibroblas dan pembuluh darah bergerak ke tempat luka untuk mengembalikan integritas dermal
yang rusak. Makrofag merupakan sumber sitokin yang berfungsi untuk stimulasi fibroplasia dan
angiogenesis. Fibroblas berfungsi membangun komponen matriks ekstraseluler baru, memulai
sintesis kolagen dan menciptakan regangan tepi luka melalui protein yang kontraktil seperti aktin
dan desmin. Pembuluh darah menyuplai oksigen dan nutrisi untuk mempertahankan
pertumbuhan sel. Degradasi matrik dikoordinasikan melalui aksi kolagenase, proteoglikanase,
metalloproteinase dan protease. 10
Seiring dengan proses diatas, faktor antifibrotik juga dilepaskan, termasuk interferon-
dan interferon- yang diproduksi oleh leukosit dan fibroblas, sedangkan interferon- diproduksi
oleh limfosit T. Interferon berfungsi menghambat sintesis kolagen dan fibronektin oleh fibroblas.
Interferon juga menghambat diferensiasi fibroblas. Maturasi skar berakhir dengan dengan regresi
stimulasi sitokin dan stimuli angiogenik, menghasilkan skar yang hiperemis dan contracted.
5
Scar remodelling terjadi pada 6-12 bulan selanjutnya, dengan skar yang terbentuk mendekati 70-
80% tensile strength kulit normal. Fase inflamasi yang memanjang mengakibatkan peningkatan
aktifitas sitokin. Resiko pembentukan keloid meningkat seiring dengan aktifitas sitokin yang
berkepanjangan ini.(3,10)
Penelitian lain tentang patogenesis keloid berpendapat bahwa pada keloid terjadi down-
regulation gen yang terkait apoptosis. Selain itu pada biakan fibroblas keloid didapatkan
produksi kolagen dan matriks metalloproteinase lebih besar dibandingkan fibroblas dermal
normal.8 Berikut beberapa teori yang sering dianggap sebagai patogenesis keloid:

2.4.1. Aktifitas Fibroblas Abnormal

Fibroblas yang terdapat pada keloid memproduksi type I procollagen secara berlebihan.
Secara in vitro, fibroblas keloid juga mengekspresikan lebih banyak vascular endothelial growth
factor (VEGF), transforming growth factor-(TGF-)1/2, reseptor platelet derived growth
factor-(PDGF-) dan mengalami penurunan kebutuhan growth factor. Ladin dkk melaporkan
bahwa fibroblas keloid mengalami penurunan frekuensi apoptosis.7
Fibroblas keloid (FK) menghasilkan kolagen dalam jumlah banyak. Selain itu FK juga
menghasilkan elastin, fibronektin, dan proteoglikan serta chondroitin 4 sulfat (C4S) lebih banyak
dibanding fibroblas normal. Fibroblas keloid menghasilkan kolagen tipe I dan memiliki kapasitas
untuk berproliferasi 20 kali lebih besar dibandingkan dengan fibroblas normal. Pada keloid juga
terjadi penurunan degradasi kolagen, hal ini disebabkan C4S yang meningkat membuat serat
kolagen sukar didegradasi, selain itu ditemukan penurunan enzim collagenase inhibitor seperti
-antitrypsin 2-macroglobulin.7

2.4.2. Reaksi Imunitas Abnormal

Beberapa teori menyatakan bahwa keloid disebabkan oleh reaksi imun spesifik.
Immunoglobin (Ig) yang meningkat pada keloid, adalah: IgA, IgG dan IgM. Pelepasan produk
sel mast yang dimediasi oleh IgE juga berperan pada pembentukan keloid. Histamin
berhubungan dengan sintesis kolagen karena menghambat enzim lysil oksidase kolagen yang
berperan terhadap cross-linking kolagen, sehingga mengakibatkan peningkatan jumlah kolagen
pada keloid. Aktifitas metabolik sel mast juga berperan dan mendasari terjadinya rasa gatal yang
sering menyertai kondisi ini.10
6
2.4.3. Peningkatan Produksi Asam Hyaluronat
Asam hyaluronat merupakan glikosaminoglikan yang terikat pada reseptor di permukaan
fibroblas dan memiliki peranan penting dalam mempertahankan sitokin tetap terlokalisir dalam
sel. Salah satu sitokin yang dimaksud adalah TGF-1. Produksi asam hyaluronat meningkat pada
fibroblas keloid, dan kadarnya kembali normal setelah pengobatan dengan triamsinolon.
Beberapa peneliti tidak setuju dengan teori ini, berdasarkan temuan kadar asam hyaluronat yang
lebih rendah dalam dermis keloidal dibandingkan dermis normal.2
2.4.4. Peningkatan Kadar Growth Factor dan Sitokin
Transforming growth factor- (TGF-) memiliki tiga sub-tipe yaitu: tipe 1, 2 dan 3. Tipe
1 dan 2 menstimulasi fibroblas, ditemukan meningkat pada skar hipertrofi dan keloid. Pada
keloid, TGF- terkait dengan peningkatan sintesis kolagen fibronektin oleh fibroblas.
Peningkatan kadar TGF-1 mempengaruhi extracellular matrix (ECM) dengan menstimulasi
sintesis kolagen dan mencegah penghancurannya. TGF-2 dapat mengaktifkan fibroblas pada
keloid. Disamping itu insulin like growth factor-1 (IGF-1) juga meningkat pada keloid. Fungsi
IGF-1 adalah meregulasi proliferasi, diferensiasi dan pertumbuhan sel.8
Penelitian lain menunjukkan adanya peningkatan kadar interleukin-6 (IL-6) pada
fibroblas keloid. IL-6 diduga merupakan prekursor produksi fibroblas dari sumsum tulang ke
tempat luka dan menstimulasi produksi kolagen secara berlebihan, sedangkan IL-13 akan
menghambat degradasi kolagen melalui penghambatan matriks metalloproteinase (MMP)-1 dan
MMP-3 sehingga terjadi penumpukan kolagen.2

2.4.5. Pengaruh Melanin terhadap Reaksi Kolagen-kolagenase


Melanin adalah produk organel melanosom dalam melanosit yang bersifat asam.
Kepadatan kolagen akan sesuai dengan skar normal bila sintesis dan degradasi kolagen berada
dalam keseimbangan. Peranan pH sangat berpengaruh terhadap aktifitas enzim, terganggunya
enzim degradasi menyebabkan produksi kolagen hasil sintesis menjadi tidak terkontrol,
kemudian secara kumulatif akan membentuk tumpukan kolagen padat dan bermanifestasi
menjadi keloid.3 Enzim yang berperan sebagai degradator adalah kolagenase. Enzim ini bekerja
maksimal pada pH 7,5. Hoopes dan Im menemukan fosfatase asam pada keloid dapat meningkat
sampai 10 kali jaringan ikat normal. Peningkatan kadar melanin berpengaruh terhadap terjadinya

7
akumulasi kolagen melalui mekanisme penurunan pH menjadi lebih asam sehingga kemampuan
enzim kolagenase mendegradasi kolagen menjadi berkurang. Penelitian ini juga menjelaskan
kejadian keloid pada kulit berwarna disebabkan karena keberadaan melanin yang lebih banyak
akan mengganggu keseimbangan sintesis dan degradasi kolagen pada penyembuhan luka.3

2.4.6. Kegagalan Mekanisme Umpan Balik Negatif

Pada proses penyembuhan luka normal, Bronson dkk melaporkan bahwa fibroblas dari
skar matur memiliki kemampuan untuk menghambat proliferasi fibroblas lanjut. Pada
penyembuhan luka normal, aktifitas TGF- akan berhenti jika penyembuhan luka telah selesai.9
Hal ini merupakan mekanisme umpan balik negatif untuk mencegah pembentukan fibroblas
secara berlebihan. Berdasar teori ini, keloid mungkin disebabkan oleh kegagalan aktifasi atau
kegagalan respon terhadap mekanisme umpan balik negatif, sehingga terjadi proliferasi fibroblas
berlebihan, berakibat pada pembentukan keloid yang meninggi, melebar dan mengganggu secara
kosmetik. 1
2.4.7. Hipotesis Reaksi Sebum
Menurut teori ini, keloid terjadi akibat reaksi imun terhadap sebum. Trauma dermis
menyebabkan unit pilosebaseus terpapar ke sirkulasi sistemik. Pada individu dengan sel T yang
sensitif terhadap sebum, suatu cell mediated immune response dimulai sesudahnya. Proses yang
selanjutnya terjadi adalah pelepasan sitokin yang menstimulasi kemotaksis sel mast dan produksi
kolagen oleh fibroblas. 8
Dasar pemikiran teori ini adalah predileksi keloid pada area kulit yang banyak
mengandung kelenjar sebasea; presternal, bahu, punggung bagian atas dan telinga. Keloid sangat
jarang terjadi pada area kulit yang sedikit mengandung kelenjar sebasea seperti telapak tangan
dan kaki. Teori ini juga didasari fakta bahwa keloid hanya terjadi pada manusia, satu-satunya
mamalia dengan kelenjar sebasea sejati. Dari sudut pandang epidemiologik, keloid lebih banyak
terjadi pada ras Asia dan Afrika yang memiliki kulit lebih tebal dan lebih banyak kelenjar
sebasea dibanding ras Kaukasia. Teori ini juga didukung oleh hasil penelitian Schierle dkk. yang
mendapatkan peningkatan jumlah reseptor androgen pada jaringan keloid. Berdasarkan teori
reaksi sebum ini dapat dipahami mengapa pada satu individu dengan dua insisi yang sama pada
lokasi berbeda, dapat terjadi keloid pada satu lokasi dan skar normal di lokasi lainnya.8
2.5. Diagnosis

8
2.5.1. Klinis

Gambar 1. Keloid
Diagnosis dari gambaran klinis biasanya mudah dengan adanya riwayat trauma atau
radang kulit sebelumnya. Bila perlu, ditambah dengan pemeriksaan histopatologis. Keloid dapat
juga tumbuh spontan, biasanya di daerah presternal atau dada atas.
Secara klinis keloid merupakan nodul fibrosa, papul atau plak, keras, elastis, berkilat,
tidak teratur, berbatas tegas, terdapat telangiektasis dan berwarna merah muda, merah sampai
coklat gelap.2,3 Pasien sering mengeluhkan rasa gatal dan nyeri.3,5 Keloid cenderung tumbuh
lambat lebih dari beberapa bulan sampai tahun. Secara histopatologis menunjukkan adanya
hialinisasi serabut kolagen yang tersusun melingkar. Keloid biasanya diagnosis banding dengan
skar hipertrofi, dermatofibroma dan dermatofibrosarkoma protuberans.2 Skar hipertrofi sama
dengan keloid, namun secara klinis tinggi skarnya tidak tumbuh melebihi batas dari lukanya.3
Keloid tidak mengalami resolusi spontan, tetapi dengan pengobatan yang sesuai
progresinya dapat dihambat. Keloid dapat menyebabkan terganggunya pasien secara fisik
maupun psikologis dan menyebabkan dampak negatif pada kualitas hidupnya.2
Walaupun prevalensi keloid ini tinggi pada populasi umum, namun masih menjadi
tantangan bagi dermatolog untuk menanganinya karena kekambuhan sering terjadi setelah
penanganan. Penanganan kombinasi sepertinya merupakan stategi yang optimal. 4 Terdapat
beberapa penanganan pada keloid. Namun, tidak ada penanganan keloid yang dinyatakan 100%

9
efektif.3 Ada beberapa penanganan keloid seperti kompresi, kortikosteroid intralesi, penggunaan
silikon, vitamin dan bahan farmakologi secara topikal, pembedahan, bedah beku, laser,
radioterapi, penanganan kombinasi dan beberapa penanganan keloid lainnya.1,3,6
2.5.2. Pemeriksaan Penunjang
Biopsi kulit untuk pemeriksaan histopatologi yang menunjukkan serat kolagen yang
tersusun, seperti nosud, tersusun konsentris, serta tumbuh perlahan menjadi kolagen yang tebal
dan padat. Pada keloid, perkembangan ini terus berlanjut, sedangkan pada skar hipertrofik,
berkas kolagen berangsur-angsur menipis dan tersusun lurus sesuai dengan permukaan kulit.
Karakteristik histologis keloid adalah peningkatan kolagen dan glikosaminoglikan.
Terdapat banyak serabut kolagen berhyalin tebal yang tersusun secara tidak teratur, disebut
sebagai keloidal collagen.7 Susunan kolagen yang tidak beraturan ini berbeda dari serabut
kolagen normal yang tersusun secara paralel terhadap epidermis. Selain itu pada keloid terdapat
beberapa gambaran histologis, diantaranya: tidak adanya pembuluh darah yang tersusun vertikal,
adanya gambaran seperti ujung lidah di bawah epidermis dan papiler dermis yang tampak
normal, gambaran horizontal fibrous band dan fascia like band di dermis retikuler bagian atas. 6

10
Gambar 2. Pewarnaan hematoksilin eosin pada paraffin sections jaringan keloid. Tampak penebalan epidermis dan
gambaran seperti ujung lidah di bawah epidermis dan papiler dermis yang tampak normal. E, epidermis; D, dermis. 6
2.6. Diagnosis Banding
Skar hipertrofi merupakan diagnosis banding keloid yang secara klinis hampir sama. Skar
hipertrofi lebih sering ditemukan, bentuknya linear mengikuti bentuk trauma dan popular atau

nodular mengikuti lesi inflamasi dan ulserasi awal seperti pada akne kistika atau luka bakar .
Dapat tumbuh dalam waktu 4 hingga 6 minggu pasca trauma. Regresi spontan dalam beberapa
tahun. Memungkinkan untuk dilakukan eksisi tanpa menimbulkan kekambuhan.
Dermatofibroma merupakan suatu nodul yang berasal dari mesodermal dan dermal.
Gejala yang dapat dirasakan dan menjadi keluhan pada sebagian besar pasien adalah rasa gatal
hebat pada daerah lesi dan nyeri saat perabaan tetapi tidak umum. Terkadang pasien juga tidak
bergejala. Umumnya ditemukan pada wanita, tetapi sering juga ditemukan pada penderita usia
muda. Rata-rata lesi terjadi pada umur 17 tahun. Bentuk khas pada dermatofibroma adalah nodul
kecil, dengan ukuran 3-10 mm, namun ada juga sampai diameter 1-3 cm. Bentuknya dapat
berupa papul, plak atau nodul, batas tegas, menetap dalam kulit dan dapat ditekan ke bawah atau
sedikit meninggi, tumor ini agak hiperpigmentasi. Suatu tanda klinis khas yaitu dample sign
atau Fitzpatricks sign yakni jika sisi lateral ditekan maka akan membentuk cekungan pada
kulit di atasnya.

2.7. Penatalaksanaan Keloid


Penanganan keloid merupakan tantangan bagi dermatolog. Beberapa metoda terapi telah
digunakan dengan tingkat keberhasilan bervariasi. Berdasarkan pemahaman tentang patogenesis
keloid yang ada saat ini, terdapat tiga pendekatan terapi yang dapat digunakan:manipulasi
terhadap aspek mekanis penyembuhan luka, koreksi terhadap ketidakseimbangan antara sintesis
dan degradasi kolagen, dan perubahan responimun/inflamasi.2 Penanganan keloid merupakan
masalah yang sulit, karena rendahnya respon penyembuhan terhadap berbagai terapi dan
cenderung kambuh. Keloid yang hanya diterapi dengan pembedahan memiliki angka kekambuhan
sampai 80%. Pada algoritma yang terdapat dalam referat ini, ukuran dan jumlah lesi keloid harus
diukur dalam merencanakan penanganan keloid. Penggolongan ini penting karena lesi yang kecil

11
(dini) dapat diterapi secara radikal dengan cara pembedahan dan terapi adjuvant. Terapi laser
sebagai monoterapi juga efektif untuk terapi radikal keloid dini. Terapi konservatif non bedah, tidak
efektif jika digunakan sebagai monoterapi.5 Diskusi dengan pasien untuk menentukan tujuan akhir
terapi merupakan hal penting yang harus dilakukan dalam menangani keloid yang besar dan
multipel. Pasien dengan keloid berukuran besar biasanya disertai infeksi dan nyeri, sehingga
pengurangan ukuran massa keloid dan terapi simtomatik dengan berbagai modalitas terapi harus
dipertimbangkan.5
Penanganan keloid yang paling sering digunakan dan paling sering dilaporkan efikasinya
adalah injeksi kortikosteroid intralesi, bedah eksisi, 5-fluoruorasil, cryotherapy, laser, radiasi dan
silicone gel sheeting.1, 8
2.7.1. Konservatif
2.7.1.1. Kortikosteroid Intralesi
Kortikosteroid intralesi telah lama digunakan untuk terapi keloid karena memiliki respon
yang baik, mudah digunakan dan efek samping yang rendah. Kortikosteroid intralesi
menginhibisi pertumbuhan fibroblas dan produksi mediator inflamasi, mengurangi sintesis
kolagen dan mengubah sintesis glykosaminoglikan sehingga mengurangi jumlah kolagen pada
keloid. Secara klinis mengurangi rasa gatal, melembutkan dan meratakan lesi. Keloid yang besar
memiliki respon yang baik dengan penanganan triamsinolon asetonid intralesi. Dapat
dikombinasi dengan terapi lain untuk meningkatkan respon dan efikasi terapi. Kekambuhan
sering dan dapat muncul dalam beberapa bulan atau tahun.
Dosis triamsinolon asetonid yang diperlukan untuk terapi keloid lebih tinggi daripada
untuk penyakit lain. Robles menganjurkan Dosis yang digunakan untuk kotikosteroid intralesi
10-40 mg/mL dengan interval 4-6 minggu dan batas dosis perbulan dari triamsinolon asetonid
adalah 20 mg, tergantung dari ukuran, lokasi dan respons keloid. Injeksi KIL menyebabkan
keloid jadi mendatar, lebih lunak dan meringankan gejala nyeri dan gatal. Efek samping
kortikosteroid intralesi yang bisa muncul termasuk hiper-hipopigmentasi, atropi, dan
telangiektasi. Sedangkan efek samping sistemik jarang muncul pada kortikosteroid intralesi.
Namun injeksi kostikosteroid ini sering tidak nyaman bagi pasien, tidak praktis dan sulit
dilakukan pada keloid yang besar dan atau keras juga multipel.3

2.7.1.2. 5-Fluorouracil

12
5-Fluorouracil (5-FU), merupakan analog pirimidin yang banyak digunakan dalam
pengobatan kanker dan glaukoma. Dalam sel 5-FU dikonversikan menjadi substrat aktif yang
menghambat sintesis DNA dengan cara kompetitif terhadap penggabungan urasil. Penelitian
terbaru mendapatkan bahwa 5-FU memiliki efikasi yang baik untuk menangani keloid.
Kemampuan 5-FU untuk untuk mengganggu TGF-b signaling merupakan dasar penggunaan 5-
FU untuk menghambat pembentukan keloid. Teknik yang digunakan dalam penelitian efikasi 5-
FU terhadap keloid adalah dengan injeksi intralesi atau menempatkan kain yang sebelumnya
direndam dengan 5-FU selama 5 menit sebelum luka ditutup. Efek samping yang sering terjadi
adalah nyeri di lokasi injeksi, ulserasi dan rasa terbakar. 10
Penelitian Kontochristopoulos dkk menggunakan injeksi 5-FU intralesi dengan interval
1 pekan, sebanyak 6 kali, mendapatkan hasil yang baik. Perbaikan secara klinis dibuktikan juga
dengan temuan histopatologi berupa; berkurangnya jumlah hyalinized collagen fibers,
berkurangnya prominent vascularity, pendataran papila dermis tanpa tanda atrofi, pigmentary
incontinence, penurunan ekspresi Ki-67 dan penurunan ekspresi TGF-b. Ki-67 adalah petanda
proliferasi sel. Fitzpatrick juga melaporkan perbaikan klinis pada keloid yang diterapi dengan
injeksi intralesi 5-FU, walaupun bukan sebagai terapi tunggal. (1, 9, 10)
Karena terapi 5-FU sistemik dihubungkan dengan anemia, leukopenia dan
trombositopenia, maka pasien harus dimonitor gambaran darah tepinya secara ketat. Terapi
menggunakan 5-FU juka tidak dianjurkan untuk wanita hamil atau menyusui dan pada pasien
dengan bone marrow suppression.(9, 10)
2.7.1.3. Penggunaan Silikon gel sheeting
Pemberian silikon gel sheeting secara topikal merupakan alternatif lain untuk penanganan
keloid. Silikon ini dapat melembutkan dan menurunkan pruritus, merah dan nyeri. 4 Penggunaan
silikon sedikitnya 12 jam perhari atau dua kali sehari dalam beberapa bulan agar efektif. Dapat
digunakan sebagai terapi tambahan seperti pada terapi pembedahan, kortikosteroid intralesi dan
laser. Silokon gel sheet ini merupakan campuran dan kombinasi dari beberapa ekstrak herbal dan
derivate silicone. Oleh ahli international merekomendasikan silikon gel ini sebagai profilaksis
lini pertama setelah bedah eksisi. Namun, ada sebuah penelitian lanjutan yang dilakukan oleh
seorang ahli dari Thailand Muangman dkk tahun 2001, tentang pengunaan gel ini sebagai
penanganan keloid.4

13
Cybele Scagel adalah kombinasi dari ekstrak herbal dan turunan silicon dalam bentuk
preparat gel yang terdiri dari 12% A. cepa (0nion extract), 1% allantoin, asiaticoline (ekstrak
daun gotu kola), ekstrak lidah buaya (Aloe barbadensis), Kazinol F (ekstrak paper mulberry),
ekstrak tamarind, dan nano hydroxyproline C yang dibuat untuk mengobati parut hipertrofik.
Pada penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa penggunaan obat topkal ini dapat
mengurangi rasa nyeri dan gatal-gatal setelah epitelisasi pada luka bakar dan dapat mencegah
terbentuknya parut hipertrofik setelah luka bakar.5 Penelitian ini dirancang untuk menilai
4
manfaat dan potensi Cybele Scagel dalam pencegahan parut hipertrofik dan keloid. Sampai
saat ini tidak ditemukan ada efek samping dalam penggunaan gel ini.
2.7.2. Pembedahan
Bedah eksisi merupakan cara penanganan keloid yang pertama kali dikenal. Pertama kali
dilakukan oleh Druit di tahun 1844 dan disempurnakan oleh De Costa pada tahun 1903. Secara
umum pembedahan diperlukan sebagai terapi lini kedua untuk lesi yang tidak berespon terhadap
terapi lain. Selain itu bedah eksisi juga dilakukan pada lesi keloid yang luas sehingga
membutuhkan debulking lebih dahulu sebelum terapi lain dilakukan.
Bedah eksisi merupakan lini kedua dalam penanganan keloid. Penanganan ini bukan
hanya invasif tetapi juga memiliki angka kekambuhan yang tinggi yaitu sekitar 50%. Pada keloid
yang kecil dapat langsung ditutup dan pada keloid yang besar dapat menggunakan skin graf
namun dapat menyebabkan keloid pada daerah donor. Untuk menghindarinya dapat digunakan
autograf. Pada metode ini menggunakan kulit dari keloid untuk menutupi defek setelah
dilakukan pembedahan debulking. 3
Banyak teknik yang berkembang untuk debulking ini, seperti penggunaan suction-
assisted lipectomy, aspirator bedah ultrasonik dan rekonstruksi bedah mikro dengan
menggunakan arthroscopic shaver. Bedah eksisi merupakan prosedur yang sering digunakan
untuk tindakan debulking.3 Pada bedah eksisi dapat dilakukan debulking parsial untuk
mengurangi ketebalan dari tumor. Kuretase sebagai prosedur pada tindakan debulking baik untuk
mengangkat massa tumor nodular yang lembut, namun tidak efektif dilakukan untuk mengangkat
tumor apabila didapati jaringan tumor dan fibrosis bersama-sama. Kuretase jarang dilakukan
sebagai prosedur debulking sedangkan debulking eksisi dilakukan lebih dari 90% pada tumor.
Tindakan debulking digunakan pada tumor yang terlihat oleh mata. Setelah dilakukan
tindakan debulking maka penyuntikan kortikosteroid intralesi akan lebih mudah dan waktu
14
penyuntikan yang diperlukan pun akan lebih singkat. Tidak ada komplikasi yang terjadi seperti
nekrosis flap, infeksi, bentuk yang irregular, seroma atau hematoma pada salah satu penelitian
dengan penggunaan teknik debulking. Terapi tambahan setelah operasi seperti injeksi steroid
sebaiknya dipertimbangkan.3 Kombinasi tindakan debulking dengan injeksi kortikosteroid
intralesi beberapa waktu setelah pembedahan menjamin tidak terganggunya penutupan defek dan
resolusi yang cepat dibandingkan bila penggunaan teknik secara sendiri-sendiri. Injeksi
triamsinolon asetonid dapat dilakukan 3-4 minggu setelah operasi. Dari kebanyakan penelitian
didapati bedah eksisi dikombinasi dengan injeksi steroid menunjukkan kekambuhan kurang dari
50%.
2.7.3. Laser
Laser memiliki harapan baik untuk penanganan terhadap keloid. Pulsed-dye laser (PDL)
memberikan angka respon yang baik dan menurunkan kekambuhan. Mekanisme kerjanya masih
belum jelas. Diketahui PDL 585 nm memiliki target pembuluh darah yang menyebabkan
fototermolisis selektif. Sehingga pembuluh darah yang berlebihan pada keloid dapat
dihancurkan, selanjutnya terjadi hipoksia lokal. Hasilnya peningkatan asam laktat yang
menstimulasi kolagenase dan penghancuran kolagen.3, 9
Dapat dikombinasi dengan injeksi
kortikosteroid.4, 9
Laser karbondioksida (CO2) merupakan salah satu jenis laser yang pertama
kalidigunakan untuk terapi keloid. Pada tahun 1982 continous wave CO2 laser sukses dalameksisi
keloid. Keuntungan laser adalah bersifat non traumatik dan memiliki efek antiinflamasi. Namun
selanjutnya didapat bahwa eksisi keloid menggunakan continous wave CO2 laser yang dilanjutkan
dengan penyembuhan luka sekunder, gagal menekan pertumbuhan dan mencegah rekurensi
keloid. Saat ini laser CO2 digunakan untuk debulking keloid berukuran besar, sebelum terapi lain
dimulai.2

2.7.4. Radioterapi

Penanganan keloid hanya menggunakan radioterapi dinyatakan tidak dapat dipercaya.


Hasil yang lebih baik didapati bila dikombinasi dengan pembedahan dengan tingkat kekambuhan
yang lebih rendah dan merupakan salah satu cara yang efektif. Radiasi dilakukan segera setelah
pembedahan. Pada salah satu penelitian, pasien mendapat radiasi 1500-2000 rad. Hati-hati
penggunaan luas dari radiasi ini, karena ditakutkan efek karsinogenesisnya. Efek samping yang
sering terjadi adalah transient erythema dan hiperpigmentasi. Terapi radiasi memiliki resiko

15
karsinogenesis, sehingga walaupun resiko ini kemungkinan kecil terjadi pada keloid, pasien
harus tetap diberitahu agar waspada karena secara teori hal itu mungkin terjadi.
Terapi ini sebaiknya dilakukan pada pasien dewasa dan kecacatan yang bermakna akibat
keloid, yang gagal dengan penanganan keloid lain.9

2.7.5. Cryotherapy

Cryotherapy menggunakan refrigerant, sebagai terapi tunggal atau dikombinasi dengan


injeksi KIL telah lama digunakan sebagai terapi keloid. Metoda aplikasi cryotherapy adalah
dengan cara ditempelkan, disemprotkan, dan disuntikkan intralesi. Dalam sebuah penelitian
randomized clinical trial, Layton dkk mendapatkan bahwa lesi vaskuler dini berespon lebih baik
secara signifikan dibanding lesi yang lebih besar, sehingga disimpulkan cara ini efektif untuk
keloid berukuran kecil.3
Rusciani dkk menemukan bahwa kerusakan sel dan mikrovaskuler yang diakibatkan oleh
cryotherapy, secara langsung menyebabkan stasis dan pembentukan trombus sehingga terjadi
nekrosis serta perlunakan dan pendataran keloid. Secara in vitro, cryotherapy mampu mengubah
sintesis kolagen dan differensiasi keloidal collagen menjadi normal. Kelemahan cryotherapy
adalah nyeri yang ditimbulkan cukup berat dan waktu penyembuhan yang lama, sehingga pasien
sering tidak datang kembali. Metoda ini memerlukan kombinasi dengan cara pengobatan lain.
Pada pasien dengan warna kulit gelap dapat terjadi efek hipopigmentasi, yang dapat
menimbulkan masalah baru.3

2.8. Pencegahan
Pencegahan pembentukan keloid merupakan faktor penting yang harus diperhatikan
dalam penanganan keloid. Klinisi harus waspada terhadap faktor resiko keloid, termasuk riwayat
keloid, riwayat keloid dalam keluarga, tension di lokasi trauma dan warna kulit gelap. Keloid
timbul jika sebelumnya terjadi cedera kulit walaupun cedera tersebut ringan sekali. Keloid juga
dapat berasal dari proses inflamasi yang lemah, termasuk akne dan injeksi. Perhatian khusus
harus diberikan ketika mengobati pasien dengan riwayat keloid. Faktor yang dapat dikelola
untuk mencegah terjadinya keloid adalah daya mekanik luka (stretching tension), pencegahan
infeksi luka dan reaksi benda asing.7 Beberapa hal penting untuk mencegah keloid adalah.5
1. Hindari gerakan berlebihan yang dapat meregangkan luka
2. Gunakan perban dan kain pembalut luka dengan tepat.
3. Hindarkan luka dari daya mekanis langsung (misalnya gesekan dan garukan)
16
4. Gunakan gel sheeting dan plester perekat.
5. Untuk pasien dengan luka di telinga, kurangi kontak dengan bantal ketika tidur,untuk
mencegah gesekan.
6. Untuk pasien wanita dengan luka di dada, gunakan bra dan pakaian dalam ketatuntuk
mencegah regangan kulit yang disebabkan oleh berat payudara.
7. Untuk pasien dengan luka di supra pubik, dianjurkan untuk memakai korset.
8. Setelah pembedahan dan trauma, luka yang terjadi harus dijaga tetap bersih dengancara
melakukan irigasi dan mengoleskan obat antibakteri atau antijamur.
9. Setelah pembedahan dan trauma, hindari kontak antara dermis daerah luka (termasuk
lubang tindik telinga) dengan benda asing.
2.9. Prognosis
Harus diperhatikan kemungkinan timbulnya keloid pada luka, trauma, atau infeksi di daerah
predileksi dan eksisi keloid pada tempat tersebut, kemungkinan besar akan menimbulkan
rekurensi sehingga penatalaksanaan harus hati-hati. Keloid secara medis biasanya tidak
berbahaya, tetapi sangat berpengaruh pada penampilan (kosmetik). Keloid jarang sembuh secara
spontan, tetapi dengan pengobatan keloid dapat menjadi lebih kecil dan lembut, tanpa nyeri dan
gatal. Pada beberapa kasus, keloid dapat mengecil secara spontan seiring waktu. Terapi keloid
dengan eksisi tanpa terapi yang lain dapat menimbulkan rekurensi.(1,5)

17
BAB 3
KESIMPULAN

Penanganan keloid merupakan tantangan bagi dermatolog. Beberapa metoda terapi telah
digunakan dengan tingkat keberhasilan bervariasi. Berdasarkan pemahaman tentang patogenesis
keloid yang ada saat ini, terdapat tiga pendekatan terapi yang dapat digunakan:manipulasi
terhadap aspek mekanis penyembuhan luka, koreksi terhadap ketidakseimbangan antara sintesis
dan degradasi kolagen, dan perubahan responimun/inflamasi. Terdapat algoritma penanganan
yang cukup baik, namun diskusi dengan pasien untuk menentukan tujuan akhir terapi merupakan
hal penting yang harus dilakukan dalam menangani keloid.

DAFTAR PUSTAKA
18
1. Bayat, A., Arscott, G., Ollier W.E.R., McGrouther D.A., Ferguson, M.W.J. 2005.
Keloid disease: Clinical relevance of single versus multiple site scars. British Association
of Plastic Surgeons 58:28-37
2. Berman, B., Villa A.M., Ramirez, C.C. 2005. Novel opportunities in the treatment and
preventionof scarring. J Cutan Med Surg 32-6.
3. Butler, P.D., Longaker, M.T., Yang, G.P. Current progress in keloid research and
treatment. J Am Coll Surg. 2008 206:731-41
4. Hartyng M, Hicks MJ, Levy ML. Dermal hypertrophies. In: Wolff K, et al, editor.
Fitzpatricks dermatology in general medicine. 7 Edition. New York: Mc. Graw Hill, 2008. h.
th

553-4
5. Muangman P, Aramwit P, Palapinyo S, et al. Efficacy of the combination of herbal
extracts and a silicone derivative in the treatment of hypertrophic scar formation after
burn injury. African Journal of Pharmacy and Pharmacology Vol. 5(3), pp. 442 - 446,
March 2011.
6. Ogawa R. The most current algorithms for the treatment and prevention of
hypertrophicscars and keloids. Plast Reconstr Surg.2010, 125:557-68.
7. Robles, D.T., Berg, D. 2007. Abnormal wound healing: keloids. Clinics in
Dermatology 25:26-32.
8. Steifert O, Mrowietz U. 2009. Keloid scarring: bench and bedside. Arch Dermatol Res
301:259-72
9. Sridharani, S.M., Magarakis, M., Manson, P.N., Singh, N.K., Basdag, B., Rosson,
G.D. The emerging role of antineoplastic agents in the treatment of keloids and
hypertrophic scars. Annals of Plastic Surgery, 2010; 64:355-61

19

Anda mungkin juga menyukai