Anda di halaman 1dari 134

SIMULASI DINAMIKA SISTEM KETERSEDIAAN UBI KAYU

(Studi Kasus di Kabupaten Bogor)

Oleh
RAHAYU UTAMI
F34101027

2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Rahayu Utami. F34101027. Simulasi Dinamika Sistem Ketersediaan Ubi
Kayu (Studi Kasus Di Kabupaten Bogor). Dibawah Bimbingan Machfud dan
Agus Supriatna S. 2005.

RINGKASAN

Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu komoditas


tanaman pangan yang memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan sebagai
bahan baku industri. Komoditas ubi kayu dalam pembentukan PDRB (Product
Domestic Regional Bruto) Kabupaten Bogor 2003 memiliki kontribusi sebesar
9,9% dari sub sektor tanaman bahan makanan yang memberikan kontribusi
sebesar 5,68% terhadap total PDRB (BPS Kabupaten Bogor, 2004).
Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten sentra produksi ubi
kayu di Jawa Barat. Total produksi ubi kayu Kabupaten Bogor periode 1995-2003
adalah 7-12% dari total produksi ubi kayu Jawa Barat atau sekitar 1% dari total
produksi ubi kayu nasional (BPS, 2004, diolah). Perkembangan produksi ubi kayu
Kabupaten Bogor berfluktuatif setiap tahunnya. Dinamika produksi ubi kayu
tersebut antara lain dapat dipengaruhi oleh faktor alam (iklim), waktu panen
(delay), harga di tingkat petani, dan sebagainya.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis ketersediaan ubi kayu sebagai
bahan baku industri maupun konsumsi di masa mendatang, membuat simulasi
model dinamik terhadap kemungkinan beberapa skenario perencanaan penyediaan
ubi kayu, dan memberikan alternatif kebijakan bagi para pengambil keputusan.
Metode yang digunakan adalah pemodelan dengan pendekatan sistem
dinamik yang dilanjutkan dengan simulasi berdasarkan beberapa skenario yang
telah ditetapkan. Pemodelan sistem dinamik dilakukan dengan alat bantu diagram
simpal kausal (loops) yang menghasilkan struktur model dinamis dan perilaku
sistem dinamis. Perangkat lunak yang digunakan untuk membantu penyelesaian
model dinamik adalah Powersim versi 2.5 for windows.
Pengembangan model Cassava.Sim terdiri atas 3 sub model yaitu sub
model penyediaan, sub model kebutuhan konsumsi, dan sub model kebutuhan
industri. Pada masing-masing sub model tersebut terdapat variabel input (dynamic
object) yang berfungsi untuk menginputkan data pada setiap skenario yang dibuat
sesuai dengan kondisi nyata. Model sistem dinamik ini mempunyai lima skenario,
yaitu (1) skenario tanpa adanya kebijakan (upaya pelestarian); (2) skenario dengan
kebijakan pendayagunaan sumber daya lahan; (3) skenario dengan kebijakan
peningkatan produktivitas; (4) skenario dengan kebijakan pendayagunaan sumber
daya lahan dan peningkatan produktivitas; (5) skenario dengan pengaruh
peningkatan kebutuhan konsumsi dan industri.
Hasil analisis menunjukkan bahwa apabila terjadi pergeseran/penurunan
luas areal tanam sebesar 2% per tahun maka persediaan ubi kayu di Kabupaten
Bogor diperkirakan akan habis pada tahun 2008 jika tidak ada upaya pelestarian
(skenario 1). Upaya pelestarian melalui perluasan areal tanam 1% per tahun
mampu memenuhi kebutuhan ubi kayu selama 10 tahun ke depan (skenario 2).
Sedangkan upaya pelestarian melalui peningkatan produktivitas sebesar 19 ton/ha
tidak terlalu banyak memberikan pengaruh hanya mampu memenuhi kebutuhan
ubi kayu hingga tahun 2011 (skenario 3). Upaya pelestarian dengan perluasan
areal tanam 0,5% per tahun dan peningkatan produktivitas sebesar 19 ton/ha
(skenario 4) telah mampu memenuhi kebutuhan ubi kayu sampai 10 tahun ke
depan. Upaya ini merupakan alternatif yang lebih baik, bahkan membuka peluang
yang besar bagi pengembangan diversifikasi pangan non beras dan industri
berbasis ubi kayu. Apabila diasumsikan terjadi perubahan tingkat konsumsi
sebesar 0,009 ton/kapita/tahun diikuti peningkatan kebutuhan industri khususnya
industri aci sebesar 2,5 ton/unit/hari maka produksi ubi kayu tidak dapat
memenuhi kebutuhan tersebut selama lebih dari 10 tahun (skenario 5). Upaya
untuk mengatasi persoalan pada skenario 5 adalah dengan melakukan upaya
perluasan lahan sebesar 1% per tahun dan peningkatan produktivitas rata-rata 19
ton/ha. Upaya tersebut mampu memenuhi kebutuhan ubi kayu selama 10 tahun ke
depan.
Secara keseluruhan model dinamik yang dirancang telah mampu
menganalisis ketersediaan ubi kayu dan implikasinya terhadap alternatif kebijakan
yang dapat diambil untuk mendukung teknologi pengembangan ubi kayu baik
untuk kebutuhan konsumsi maupun industri. Model yang telah dibuat
memungkinkan untuk dapat dipakai sebagai alat dalam pengambilan keputusan
maupun penentuan kebijakan pengembangan ubi kayu di masa mendatang secara
lebih komprehensif.
Rahayu Utami. F34101027. Dynamic Simulation of Cassavas Supply System
(Case Study in Bogor Regency). Under Supervision of Machfud and Agus
Supriatna S. 2005.

SUMMARY

Cassava (Manihot esculenta Crantz), one of agriculture commodities, has a


big potential to be developed as industrial raw material. Cassava contributes 9,9%
of sub sector food plant which provides 5,68% from total Bogor regency Product
Domestic Regional Bruto (PDRB) in 2003 ( BPS of Bogor Regency, 2004).
Bogor regency has become one of cassavas production centre in west
java. Its productivity during 1995-2003 period is 7-12% of total cassava
production in west java or approximately 1% from national production. (BPS,
2004, processed). The development of cassavas production fluctuates every year.
This cassavas production dynamics can be caused by natural factor (climate),
harvest time, industrial needs, price at farmer level, etc.
The objectives of this research are to analyze the cassavas supply as
industrial raw material as well as for consumption in the future, to make dynamic
simulation model of several cassavas supply planning scenarios, and to give
policy alternatives to the decision makers. The method used is modelling with
dynamic system approach followed by simulation based on the determined
scenario. Dynamic system modelling conducted by using simple causal diagram
(loops) that produce structure and behaviour of dynamic system. The supporting
software used to built dynamic model is Powersim version 2.5 for Windows.
Cassava.Sim model development consists of 3 sub models : supply,
consumption needs, and industrial needs sub models. There are input variables
(dynamic object) on each sub model, to input data on every scenario made
according to the real condition. This system dynamic model consist of five
scenarios according to model purposes, which are (1) scenario without policy
(preservation effort); (2) scenario with land-resource efficiency policy; (3)
scenario with productivity improvement policy; (4) scenario with land-resource
efficiency and productivity improvement policy; (5) scenario with consumption
and industrial needs improvement impact.
Analysis result indicates that if there is a descent of plant area 2%
annually, cassavas supply in Bogor regency estimated will be run out in 2008 if
there is no preservation effort (scenario 1). Preservation effort by expanding 1%
of plant area annually would be able to fulfil cassavas need for the next 10 years
(scenario 2). While preservation effort through productivity improvement of 19
ton/ha would only be able to fulfil cassavas need until 2011 (scenario 3).
Preservation by plant area expansion of 0,5% annually and productivity
improvement of 19 ton/ha (scenario 4) would be able to fulfil cassavas need for
the next 10 years. These effort is a better alternative, even create big opportunity
for the development of cassava based food and industry diversification. Assumed
that the change of consumption level is 0,009 ton/capita/year followed by the
change of industrial needs, especially tapioca industry, 2,5 ton/unit/day then
cassavas production would not be able to fulfil cassavas need for more than 10
years (scenario 5). To overcome the problem on scenario 5, land expansion of 1%
annually and productivity improvement rate of 19 ton/ha should be conducted.
This effort would be able to fulfil cassavas need for the next 10 years.
As a whole, the dynamic model designed is able to analyze cassavas
supply and its implication to the policy alternatives that can be conducted to
support cassavas development technology for consumption and industrial needs.
The model made can be used as a tool in decision making as well as policy
making of cassavas development in the future more comprehensively.
SIMULASI DINAMIKA SISTEM KETERSEDIAAN UBI KAYU
(Studi Kasus di Kabupaten Bogor)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
RAHAYU UTAMI
F34101027

2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : Rahayu Utami
NRP : F34101027
Judul Skripsi : Simulasi Dinamika Sistem Ketersediaan Ubi Kayu (Studi Kasus
di Kabupaten Bogor)
menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul di atas adalah
hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang
dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, Desember 2005


Yang membuat pernyataan

RAHAYU UTAMI
BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah pada tanggal 9 Oktober 1983.


Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari keluarga Bapak
Darsono dan Ibu Mulyarsih.
Riwayat pendidikan penulis dimulai dari Taman Kanak-kanak Pertiwi
Kebonromo V pada tahun 1988-1989. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di
Sekolah Dasar Negeri Kebonromo II pada tahun 1995, Sekolah Menengah
Pertama Negeri II Sragen pada tahun 1998, dan Sekolah Menengah Umum Negeri
I Sragen pada tahun 2001. Pada tahun terakhir SMU, penulis mendapat
kesempatan untuk mengikuti Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan pada
tahun 2001 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Teknologi
Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pada bulan Juni-Agustus 2004, penulis melakukan kegiatan Praktek
Lapang di PT. Diamond Cold Storage Cimahi, Bandung dengan topik Proses
Produksi, Perencanaan Produksi dan Pengendalian Persediaan.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Simulasi Dinamika Sistem
Ketersediaan Ubi Kayu (Studi Kasus di Kabupaten Bogor). Skripsi ini diajukan
sebagai syarat untuk menyelesaikan studi dan meraih gelar Sarjana Teknologi
Pertanian di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Dr. Ir. Machfud, MS., selaku pembimbing I yang berkenan memberikan
bimbingan, pengarahan, dan nasehat selama penyusunan skripsi.
2. Ir. Agus Supriatna S., selaku pembimbing II yang berkenan memberikan
bimbingan, pengarahan, dan nasehat selama penyusunan skripsi.
3. Ir. Sugiarto, selaku penguji yang telah memberikan saran dalam penyelesaian
skripsi ini.
4. Ayahanda Darsono, ibunda Mulyarsih, dan kakak-kakakku tercinta atas doa,
dukungan moral dan material hingga terselesainya skripsi ini.
5. Ibu Noviana, selaku Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bogor yang telah
memberikan izin kepada penulis untuk memperoleh data dan informasi.
6. Ibu Ellyza, selaku Ka.Bid Produksi dan Bapak Dedi Supriadi, selaku Ka.Bid
Program dan Pengendalian Dinas Pertanian Kabupaten Bogor atas diskusi dan
masukan yang diberikan demi perbaikan model.
7. Bapak Ganda Sudiana, selaku Ka.Si Perlindungan Tanaman dan Bapak
Mahmud, selaku staff Bina Usaha Dinas Pertanian Kabupaten Bogor yang
telah memberikan informasi lapang dan bantuan dalam survei pendahuluan.
8. Eko Suwarno (KSH 38), Mas Sugeng (MNH 35), dan Sari S. (TIN 38) atas
bantuan dalam pengumpulan data primer selama survei lapang.
9. Teman-temanku Dian K, Dinny, Nieken, Yana, Bunga, Freddy, Pipink, Jaki
(TEP 38) atas persahabatan, semangat, dan masukan selama penyusunan
skripsi.
10. Keluarga besar wisma Zulfa : Anggi, Novi, Mba Weni, Her-Her, Wulan, Ina,
Ika, De Anis, De Ela, atas keceriaan dan kekeluargaan yang terjalin selama
ini.
11. Rekan-rekan TIN 38 atas dorongan, bantuan, kerjasama, dan
persahabatannya.
12. Serta semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan
penyusunan skripsi.
Kritik dan saran sangat diharapkan guna perbaikan skripsi ini. Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Desember 2005

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................. iii

DAFTAR TABEL ......................................................................................... v

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vi

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. viii

I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG ...................................................................... 1
B. TUJUAN .......................................................................................... 3
C. RUANG LINGKUP .......................................................................... 3
D. MANFAAT ..................................................................................... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 5


A. UBI KAYU ...................................................................................... 5
B. SISTEM DINAMIK ......................................................................... 8
1. Definisi ....................................................................................... 8
2. Pemodelan Dinamik .................................................................... 9
3. Pendekatan Sistem Dinamik ....................................................... 10
4. Sistem Umpan Balik ................................................................... 12
5. Komponen Pemodelan Sistem Dinamik ...................................... 14
C. TEKNIK SIMULASI ....................................................................... 24
D. LANDASAN TEORI ....................................................................... 25
1. Demografi .................................................................................. 25
2. Validasi Model ........................................................................... 26
E. PENELITIAN TERDAHULU .......................................................... 27

III. METODOLOGI ..................................................................................... 29


A. KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................. 29
B. PENDEKATAN SISTEM ................................................................ 30
1. Analisa Kebutuhan ..................................................................... 32
2. Formulasi Permasalahan ............................................................ 33
3. Identifikasi Sistem ...................................................................... 33
C. PEMODELAN DINAMIKA SISTEM ............................................. 36
1. Konseptualisasi Model ............................................................... 36
2. Spesifikasi Model ...................................................................... 36
3. Evaluasi Model .......................................................................... 36
D. TATA LAKSANA ........................................................................... 37
1. Identifikasi Masalah ................................................................... 37
2. Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 37
3. Perancangan Model .................................................................... 38
4. Pembuatan Model dan Simulasi ................................................. 38
5. Verifikasi dan Validasi Model ................................................... 39

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 40


A. KEADAAN UMUM UBI KAYU DI KABUPATEN BOGOR ........ 40
1. Usaha Tani Ubi Kayu ................................................................ 40
2. Agroindustri Ubi Kayu .............................................................. 43
B. RANCANGAN MODEL ................................................................ 47
1. Deskripsi Sistem ........................................................................ 47
2. Konseptualisasi Model ............................................................... 48
3. Formulasi Model ........................................................................ 55
C. SKENARIO DAN HASIL SIMULASI ............................................ 66
D. VALIDASI MODEL ....................................................................... 81
E. SARAN KEBIJAKAN ..................................................................... 82

V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 89


A. KESIMPULAN ............................................................................... 89
B. SARAN ........................................................................................... 90

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 91


LAMPIRAN .................................................................................................. 95
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. PDRB sektor pertanian Kabupaten Bogor atas dasar harga


berlaku (milyar rupiah) ..................................................................... 1
Tabel 2. Kandungan gizi dalam tiap 100 gram ubi kayu dan berbagai
produk olahannya ............................................................................. 5
Tabel 3. Perbedaan sifat-sifat umbi yang dikehendaki untuk kebutuhan
makanan dan pembuatan tepung tapioka ........................................... 7
Tabel 4. Luas panen dan produksi komoditas tanaman pangan
Kabupaten Bogor .............................................................................. 40
Tabel 5. Rincian luas areal tanam ubi kayu di Kabupaten Bogor ..................... 41
Tabel 6. Hasil simulasi skenario tanpa perubahan kebijakan ........................... 72
Tabel 7. Hasil simulasi skenario dengan perluasan areal tanam 1% per tahun .. 73
Tabel 8. Hasil simulasi skenario dengan perluasan areal tanam 1% per dua
tahun ................................................................................................. 75
Tabel 9. Hasil simulasi dengan skenario upaya peningkatan produktivitas
(intensifikasi) .................................................................................... 77
Tabel 10. Hasil simulasi dengan skenario kebijakan pendayagunaan lahan
dan peningkatan produktivitas ......................................................... 79
Tabel 11. Hasil simulasi dengan skenario pengaruh perubahan tingkat
kebutuhan ubi kayu ......................................................................... 81
Tabel 12. Varietas ubi kayu yang telah dilepas ............................................... 83
Tabel 13. Jenis dan dosis pemupukan pada tanaman ubi kayu ......................... 85
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Produksi ubi kayu Kabupaten Bogor tahun 1995-2004 .................. 2


Gambar 2. Pohon industri ubi kayu ................................................................ 6
Gambar 3. Tahapan pendekatan sistem dinamik ............................................. 11
Gambar 4. Diagram lingkar umpan balik ........................................................ 13
Gambar 5. Lingkar umpan balik positif dan negatif ........................................ 14
Gambar 6. Simbol variabel level ................................................................. 15
Gambar 7. Simbol variabel rate ................................................................... 15
Gambar 8. Simbol variabel auxiliary ........................................................... 16
Gambar 9. Simbol konstanta ....................................................................... 16
Gambar 10. Simbol fungsi tabel .................................................................. 16
Gambar 11. Simbol delay ............................................................................ 17
Gambar 12. Simbol sumber dan penampung ............................................... 17
Gambar 13. Simbol garis penghubung ........................................................ 18
Gambar 14. Simbol urutan komputasi simulasi sistem dinamik ...................... 19
Gambar 15. Diagram alir kerangka penelitian ................................................. 30
Gambar 16. Tahapan pendekatan sistem ......................................................... 31
Gambar 17. Diagram sebab akibat dinamika sistem ketersediaan ubi kayu ..... 34
Gambar 18. Diagram input-output dinamika sistem ketersediaan ubi kayu ..... 35
Gambar 19. Sketsa tata niaga ubi kayu di Kabupaten Bogor ........................... 42
Gambar 20. Skema proses produksi usaha kecil tapioka ................................. 44
Gambar 21. Skema proses produksi keripik singkong ..................................... 45
Gambar 22. Skema proses produksi tape peuyeum ......................................... 47
Gambar 23. Diagram sebab akibat sub model penyediaan ubi kayu ................ 50
Gambar 24. Diagram alir sub model penyediaan ubi kayu .............................. 51
Gambar 25. Diagram sebab akibat sub model kebutuhan konsumsi ................ 52
Gambar 26. Diagram alir sub model kebutuhan konsumsi ............................. 53
Gambar 27. Diagram sebab akibat sub model kebutuhan industri ................... 54
Gambar 28. Diagram alir sub model kebutuhan industri ................................. 55
Gambar 29. Diagram Simulasi Monte Carlo ................................................... 58
Gambar 30. Luas areal tanam ubi kayu dan kecenderungannya ....................... 67
Gambar 31. Perilaku model dasar sistem dinamis ........................................... 69
Gambar 32. Hasil simulasi pada skenario tanpa perubahan kebijakan ............. 70
Gambar 33. Hasil simulasi dengan upaya perluasan areal tanam 1% per tahun 73
Gambar 34. Hasil simulasi dengan upaya perluasan areal tanam 1% per dua
tahun............................................................................................ 74
Gambar 35. Hasil simulasi dengan skenario upaya peningkatan produktivitas
(intensifikasi) ............................................................................... 77
Gambar 36. Hasil Simulasi dengan skenario kebijakan pendayagunaan lahan
dan peningkatan produktivitas ..................................................... 78
Gambar 37. Hasil simulasi dengan skenario pengaruh perubahan tingkat
kebutuhan ubi kayu ..................................................................... 80
Gambar 38. Model kemitraan ubi kayu ........................................................... 88
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Sketsa wilayah Kabupaten Bogor ............................................... 96


Lampiran 2. Luas panen, produktivitas, produksi ubi kayu
Kabupaten Bogor tahun 1999-2004 ............................................. 97
Lampiran 3. Tingkat konsumsi ubi kayu (kg setara ubi segar/kapita/minggu)
menurut kelas pengeluaran ......................................................... 99

Lampiran 4. Keadaan umum usaha kecil (pengrajin) tapioka yang disurvei


di Kabupaten Bogor .................................................................... 100
Lampiran 5. Daftar industri kecil/home industry pangan berbasis ubi kayu
di Kabupaten Bogor ................................................................... 104
Lampiran 6. Formulasi model Cassava.Sim pada perangkat lunak Powersim .. 108
Lampiran 7. Uji distribusi data produktivitas ubi kayu Kabupaten Bogor
tahun 1999-2004 ........................................................................ 112
Lampiran 8. Kesesuaian lahan bagi tanaman ubi kayu di Kabupaten Bogor .... 113
Lampiran 9. Hasil perhitungan rate pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor
tahun 1999-2004 ....................................................................... 114
Lampiran 10. Tampilan model Cassava1.Sim ................................................ 115
Lampiran 11. Tampilan model Cassava2.Sim ................................................ 116
Lampiran 12a. Validasi model penduduk dengan uji MAPE .......................... 117
Lampiran 12b. Validasi model produktivitas ubi kayu dengan uji MAPE ...... 117
Lampiran 12c. Validasi model produksi ubi kayu dengan uji MAPE ............. 117
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu komoditas


tanaman pangan yang memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan
sebagai bahan baku agroindustri. Selain dapat dikonsumsi secara langsung
sebagai makanan, ubi kayu dapat menjadi bahan baku bagi industri tepung
tapioka dan tepung ubi kayu (gaplek) yang selanjutnya dipergunakan untuk
berbagai macam industri seperti makanan, pakan ternak, kertas, kayu lapis dan
sebagainya.
Komoditas ubi kayu memiliki kontribusi dalam pembentukan PDRB
(Product Domestic Regional Bruto) Kabupaten Bogor pada tahun 2003 yaitu
sebesar 9,9% dari sub sektor tanaman bahan makanan yang memberikan
kontribusi sebesar 840,15 milyar rupiah atau 5,68% terhadap total PDRB
(BPS Kabupaten Bogor, 2004). Nilai tersebut berdasarkan PDRB sektor
pertanian atas dasar harga berlaku yang dapat disimak pada Tabel 1.

Tabel 1. PDRB sektor pertanian Kabupaten Bogor atas dasar harga berlaku
(milyar rupiah)
2003 2004 **)
Lapangan Usaha 2003 *)
Semester I Semester II Semester I
1. Pertanian 781,51 817,95 1.599,46 842,05
a. Tanaman bahan 417,54 422,61 840,15 429,63
makanan
b. Tanaman 26,89 27,68 54,57 26,80
perkebunan
c. Peternakan 324,99 355,04 680,03 370,39
d. Kehutanan 2,19 2,28 4,47 2,35
e. Perikanan 9,90 10,34 20,24 10,86
Total PDRB 7.152,43 7.632,10 14.784,53 7.990,45
Sumber : BPS, Kabupaten Bogor bekerja sama dengan BAPEDA, Kabupaten Bogor (2004)
Keterangan : *) Angka Perbaikan
**) Angka Sementara
Kabupaten Bogor dengan luas wilayah 2.388,93 km2 merupakan salah
satu kabupaten sentra produksi ubi kayu di Provinsi Jawa Barat. Kriteria suatu
daerah sebagai kabupaten sentra produksi ubi kayu menurut Hafsah (2003)
antara lain memiliki areal tanam yang cukup luas, produksi yang relatif tinggi,
memiliki akses terhadap pasar, terdapat industri yang memanfaatkan bahan
baku ubi kayu seperti pabrik tapioka dan chips/pellet, home industry
pembuatan keripik/ceriping singkong dan lain-lain, jaringan kemitraan usaha,
serta memiliki sarana dan prasarana penunjang.
Total produksi ubi kayu Kabupaten Bogor periode 1995-2003 adalah
sekitar 7-12% dari total produksi ubi kayu Jawa Barat atau sekitar 1% dari
total produksi ubi kayu nasional (BPS, 2004, diolah). Jumlah produksi ubi
kayu Kabupaten Bogor sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan
industri pengolahan ubi kayu seperti industri tepung tapioka (aci), keripik,
tape, dan lain-lain. Perkembangan produksi ubi kayu Kabupaten Bogor tahun
19952004 dapat dilihat pada Gambar 1.

250,000

200,000
Jumlah (Ton)

150,000

100,000

50,000

0
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Tahun

Gambar 1. Produksi ubi kayu Kabupaten Bogor tahun 1995-2004


(Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, 2004)

Dinamika tingkat persediaan (produksi) ubi kayu di atas selain dapat


dipengaruhi oleh faktor alam (iklim), waktu panen (delay), harga di tingkat
petani, juga dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh
Pemerintah Kabupaten Bogor. Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang
diterapkan bersifat operasional dan bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Untuk itu diperlukan suatu model ketersediaan
dinamik yang diharapkan dapat membantu Pemerintah dalam menentukan
kebijakan penyediaan ubi kayu bagi kepentingan konsumsi maupun
kepentingan agroindustri. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk
memahami perilaku dinamis tingkat persediaan ubi kayu di Kabupaten Bogor
adalah dengan pendekatan simulasi model System Dynamics.

B. TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :


1. Menganalisis ketersediaan ubi kayu sebagai bahan baku industri maupun
konsumsi di Kabupaten Bogor pada masa mendatang dengan
menggunakan pendekatan model dinamik.
2. Membuat simulasi model dinamik terhadap kemungkinan beberapa
skenario perencanaan penyediaan ubi kayu.
3. Memberikan alternatif kebijakan dalam rangka perencanaan agrobisnis dan
pengembangan agroindustri ubi kayu khususnya di Kabupaten Bogor.

C. RUANG LINGKUP

Penelitian ini dilaksanakan dengan mengambil studi kasus wilayah


Kabupaten Bogor, sebagai salah satu kabupaten sentra produksi ubi kayu di
Jawa Barat. Pemilihan komoditas ubi kayu tersebut mengingat peranannya
sebagai bahan pangan berkarbohidrat tinggi serta sebagai bahan baku industri.
Aspek yang dikaji dalam dinamika sistem ketersediaan ubi kayu
meliputi sub sistem penyediaan dan sub sistem kebutuhan. Sub sistem
penyediaan ubi kayu dianalisis berdasarkan pada jumlah produksi komoditas
ubi kayu di wilayah Kabupaten Bogor. Dalam hal ini komoditas ubi kayu yang
masuk ke wilayah Kabupaten Bogor dan keluar dari wilayah Kabupaten Bogor
tidak dimasukkan dalam pemodelan sistem.
Sub sistem kebutuhan terdiri atas sub sistem kebutuhan konsumsi dan
industri. Sub sistem kebutuhan konsumsi dianalisis berdasarkan dinamika
populasi penduduk dan tingkat konsumsi ubi kayu per kapita penduduk.
Sedangkan sub sistem kebutuhan industri dianalisis berdasarkan dinamika
jumlah industri dan kebutuhan ubi kayu bagi bahan baku industri yang
meliputi industri kecil/home industry berbasis ubi kayu.

D. MANFAAT

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan arah perencanaan


sebagai alternatif kebijakan bagi para pengambil keputusan dalam upaya
pendayagunaan ubi kayu secara maksimal bagi masyarakat Bogor, baik dalam
penyediaan ubi kayu sebagai bahan baku industri maupun kebutuhan
konsumsi.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. UBI KAYU

Ubi kayu dalam taksonomi tumbuhan termasuk ke dalam kingdom


Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, famili Euphorbiaceae,
genus Manihot dengan spesies esculenta Crantz dengan berbagai varietas.
Umbi yang terbentuk merupakan akar yang berubah bentuk dan fungsinya
sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan. Umbi ubi kayu memiliki
bentuk bulat memanjang dan daging umbi mengandung zat pati. Setiap
tanaman ubi kayu dapat menghasilkan 5-10 umbi (Rukmana, 1997).
Awalnya, ubi kayu ditanam untuk diambil umbinya dan dimanfaatkan
sebagai bahan pangan. Selanjutnya ubi kayu dimanfaatkan sebagai bahan
pakan dan industri. Selain dapat dikonsumsi langsung dalam berbagai jenis
makanan, yakni ubi kayu rebus, ubi kayu kukus, ubi kayu bakar, ubi kayu
goreng, kolak, keripik, opak, tape, dan enyek-enyek, umbi ubi kayu dapat
diolah menjadi produk antara (intermediate product), seperti gaplek dan
tepung tapioka (Rukmana, 1997).
Ubi kayu dan produk olahannya memiliki kandungan gizi yang
masing-masing dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan gizi dalam tiap 100 gram ubi kayu dan berbagai produk
olahannya
Banyaknya dalam
No Kandungan Gizi Ubi Kayu Ubi Kayu Tepung
Gaplek Tapioka
Biasa Kuning Gaplek
1 Kalori (kal) 146,00 157,00 338,00 362,00 363,00
2 Protein (g) 1,20 0,80 1,50 0,50 1,10
3 Lemak (g) 0,30 0,30 0,70 0,30 0,50
4 Karbohidrat (g) 34,70 37,90 81,30 86,90 88,20
5 Kalsium (mg) 33,00 33,00 80,00 0 84,00
6 Fosfor (mg) 40,00 40,00 60,00 0 125,00
7 Zat Besi (mg) 0,70 0,70 1,90 0 1,00
8 Vitamin A (SI) 0 385,00 0 0 0
9 Vitamin B1(mg) 0,06 0,06 0,04 0 0,04
10 Vitamin C (mg) 30,00 30,00 0 0 0
11 Air (g) 62,50 60,00 14,50 12,00 9,10
12 Bagian yang dapat 75,00 75,00 100,00 100,00 100,00
dimakan (%)
Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1981) di dalam Rukmana (1997)
Ubi kayu sebagai bahan baku industri dapat diolah menjadi berbagai
produk antara lain tapioka, glukosa kristal, fruktosa, sorbitol, high fructose
syrup (HFS), dekstrin, alkohol, etanol, asam sitrat (citric acid), dan
monosodium glutamate. Dekstrin digunakan antara lain pada industri tekstil,
kertas perekat plywood dan farmasi/kimia. Asam sitrat digunakan sebagai
pemberi rasa asam dalam pembuatan makanan kaleng, minuman, jams, jelly,
obat-obatan dan dapat pula digunakan sebagai pemberi rasa asam pada sirup,
kembang gula dan saus tembakau. Monosodium glutamate digunakan sebagai
penyedap makanan. Sorbitol (produk akhir ubi kayu) dibuat dari tapioka cair
berwarna putih bening seperti gel/putih mengkilat digunakan antara lain pada
industri kembang gula/permen dan minuman instan yang produknya
mempunyai nilai jual yang tinggi, serta dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pemanis untuk pasta gigi, kosmetik, dan cat minyak (Hafsah, 2003). Pohon
industri ubi kayu dapat dilihat pada Gambar 2.

Dikeringkan (Dried)

Pelet (Pellets)
Gaplek
(Manioc) Tepung Gaplek
(Manioc Flour)
Makanan Ringan
Lain-Lain (Snack)
(Other Product of
Manioc) Dekstrin (Dextrin)

Tapioka Berbentuk Glukosa (Glucose)


Mutiara (Pearl
Ubi Kayu Tapioka Tapioca)
Sorbitol (Sorbitol)
(Cassava) (Tapioc)
Serpihan (Flakes)
Fruktosa (Fructose)

Etanol (Etanol)

Onggok Asam Sitrat Asam Asetat


(Residues) (Citric Acid) (Acetic Acid)

Gambar 2. Pohon industri ubi kayu (Bank Indonesia, 2004)


Ubi kayu merupakan bahan campuran pakan ternak yang cukup baik.
Namun demikian, penggunaannya di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini
antara lain disebabkan industri pakan ternak di Indonesia masih banyak
menggunakan jagung dan kedelai sebagai bahan baku utamanya. Negara
pemakai hasil ubi kayu untuk pakan ternak yang cukup besar adalah Jerman
dan Belanda, dimana > 50% menggunakan campuran ubi kayu sebagai pakan
ternak. Bahan ubi kayu yang digunakan pada industri pakan ternak antara lain
gaplek, chips, gaplek pellet, tepung gaplek, ampas, dan tepung ampas tapioka
(Hafsah, 2003).
Menurut Darjanto dan Murjati (1980), umbi ubi kayu yang digunakan
sebagai bahan pangan dan pakan adalah umbi yang manis, memiliki
kandungan HCN dalam umbi kurang dari 50 miligram HCN per kilogram
umbi. Sedangkan umbi pahit dengan kandungan HCN lebih banyak,
digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung tapioka. Tapioka banyak
dimanfaatkan dalam industri tekstil, kertas, bahan perekat kardus, industri
pengolahan pangan, dan sebagainya. Selanjutnya sifat-sifat umbi yang
dikehendaki untuk makanan dan pembuatan tepung tapioka dapat dilihat pada
Tabel 3.

Tabel 3. Perbedaan sifat-sifat umbi yang dikehendaki untuk kebutuhan


makanan dan pembuatan tepung tapioka
No Sifat-sifat Umbi Untuk Makanan Untuk Tepung Tapioka
1. Racun HCN dalam < 50 mg/kg umbi > 100 mg/kg umbi
umbi
2. Rasa umbi Enak manis Boleh pahit
3. Umur panen 5 8 bulan 1 2 tahun
4. Kadar protein Dikehendaki tinggi Rendah (<1,3 %)
5. Faktor lain yang Mengandung Memberi kualitas tepung
diperlukan vitamin, warna yang baik antara lain :
tidak menjadi soal a. Halus, bersih, sama
rata.
b. Warnanya putih.
c. Viskositasnya tinggi.
d. Ampas, serat & kotoran
lain tidak boleh banyak.
e. Tidak mengandung air.
Sumber : Darjanto dan Murjati (1980)
B. SISTEM DINAMIK

1. Definisi
Sistem dinamik pertama kali diperkenalkan oleh Jay W. Forrester
di Massachussetts Institute of Technology (MIT) pada tahun 1950-an,
merupakan suatu metode pemecahan masalah-masalah kompleks yang
timbul karena adanya kecenderungan sebab-akibat dari berbagai macam
variabel di dalam sistem. Metode sistem dinamik pertama kali diterapkan
pada permasalahan manajemen seperti fluktuasi inventori, ketidakstabilan
tenaga kerja, dan penurunan pangsa pasar suatu perusahaan. Hingga saat
ini aplikasi metode sistem dinamik terus berkembang semenjak
pemanfaatannya dalam bidang-bidang sosial dan ilmu-ilmu fisik.
Berikut ini pengertian sistem dinamik adalah sebagai berikut :
a. Sistem dinamik adalah suatu metode analisis permasalahan dimana
waktu merupakan salah satu faktor penting, dan meliputi pemahaman
bagaimana suatu sistem dapat dipertahankan dari gangguan di luar
sistem, atau dibuat sesuai dengan tujuan dari pemodelan sistem yang
akan dibuat (Coyle, 1979).
b. Sistem dinamik adalah metodologi untuk memahami suatu masalah
yang kompleks. Metodologi ini dititikberatkan pada kebijakan dan
bagaimana kebijakan tersebut menentukan tingkah laku masalah-
masalah yang dapat dimodelkan oleh sistem dinamik (Richardson dan
Pugh, 1986).
c. Sistem dinamik adalah suatu metode pendeskripsian kualitatif,
pemahaman, dan analisis sistem kompleks dalam ruang lingkup proses,
informasi, dan struktur organisasi, yang memudahkan dalam simulasi
pemodelan kuantitatif dan analisis kebijakan dari struktur sistem dan
kontrol (Wolstenholme, 1989 di dalam Daalen dan Thissen, 2001).
d. Sistem dinamik adalah suatu bidang untuk memahami bagaimana
sesuatu berubah menurut waktu. Sistem ini dibentuk oleh persamaan-
persamaan diferensial. Persamaan diferensial digunakan untuk
masalah-masalah biofisik yang diformulasikan sebagai keadaan di
masa datang yang tergantung dari keadaan sekarang (Forrester, 1999).
2. Pemodelan Dinamik
Pemodelan merupakan alat bantu dalam pengambilan keputusan.
Model didefinisikan sebagai suatu penggambaran dari suatu sistem yang
telah dibatasi. Sistem yang dibatasi ini merupakan sistem yang meliputi
semua konsep dan variabel yang saling berhubungan dengan permasalahan
dinamik (dynamic problem) yang ditentukan (Rhichardson dan Pugh,
1986).
Model yang dikembangkan dengan sistem dinamik mempunyai
karakteristik sebagai berikut :
a. Menggambarkan hubungan sebab akibat dari sistem
b. Sederhana dalam mathematical nature
c. Sinonim dengan terminologi dunia industri, ekonomi, dan sosial dalam
tatanama
d. Dapat melibatkan banyak variabel
e. Dapat menghasilkan perubahan yang tidak kontinyu jika dalam
keputusan memang dibutuhkan (Forrester, 1961 di dalam Noorsaman
dan Wahid, 1998).
Pada umumnya model dibangun untuk tujuan peramalan
(forecasting) atau perancangan kebijaksanaan. Berbeda dengan model
statis, pendekatan model dinamik bersifat deduktif dan mampu
menghilangkan kelemahan-kelemahan dalam asumsi-asumsi yang dibuat
sehingga kesepakatan atas asumsi-asumsi dapat diperoleh. Model dinamik
menekankan pada proses perubahan dari satu kondisi ke kondisi lainnya.
Karena perubahan memakan waktu, delay menjadi hal penting dalam
pemodelan dinamik. Apabila dalam model statis tingkat variabel keadaan
dan kelakuan sistem yang lalu menentukan tingkat stok dan kelakuan
sistem sekarang, maka dalam model sistem dinamik hubungan temporal
hanya berlaku untuk tingkat stok saja dan tidak untuk kelakuan sistem.
Kelakuan sistem pada saat sekarang tidak dapat diterangkan oleh
kelakuannya pada waktu yang lalu, melainkan oleh mekanisme interaksi
struktur mikro dalam sistem (Tasrif, 1993 di dalam Noorsaman dan Wahid,
1998).
Dalam menyusun model dinamik terdapat tiga bentuk alternatif
yang dapat digunakan (Muhammadi et al., 2001), yaitu :
a. Verbal
Model verbal adalah model sistem yang dinyatakan dalam bentuk kata-
kata.
b. Visual (analog model kualitatif)
Deskripsi visual dinyatakan secara diagram dan menunjukkan hubungan
sebab akibat banyak variabel dalam keadaan sederhana dan jelas.
Analisis deskripsi visual dilakukan secara kualitatif.
c. Matematis
Model visual dapat direpresentasikan ke dalam bentuk matematis yang
merupakan perhitungan-perhitungan terhadap suatu sistem. Semua
bentuk perhitungannya bersifat ekuivalen, yang mana setiap bentuk
berperan sebagai alat bantu untuk dimengerti bagi yang awam.

3. Pendekatan Sistem Dinamik


Permasalahan dalam sistem dinamik dilihat tidak disebabkan oleh
pengaruh dari luar namun dianggap disebabkan oleh struktur internal
sistem. Tujuan metodologi sistem dinamik berdasarkan filosofi kausal
(sebab akibat) adalah mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang
tata cara kerja suatu sistem (Asyiawati, 2002). Tahapan dalam pendekatan
sistem dinamik adalah :
a. Identifikasi dan definisi masalah
b. Konseptualisasi sistem
c. Formulasi model
d. Simulasi model
e. Analisa kebijakan
f. Implementasi kebijakan
Tahapan dalam pendekatan sistem dinamik ini diawali dan diakhiri
dengan pemahaman sistem dan permasalahannya sehingga membentuk
suatu lingkaran tertutup. Proses dari pendekatan sistem dinamik dapat
dilihat pada Gambar 3.
Implementasi
model
Pemahaman
sistem
Identifikasi
Analisa
masalah
kebijakan

Simulasi Konseptualisasi
model sistem

Formulasi model

Gambar 3. Tahapan pendekatan sistem dinamik (Widayani, 1999)

Pendefinisian masalah merupakan tahap yang sangat penting


dilakukan untuk mengetahui dimana sebenarnya pemodelan sistem perlu
dilakukan. Tahap selanjutnya adalah menetapkan tujuan dan batas
permasalahan dari sistem yang akan dimodelkan. Batas sistem menyatakan
komponen-komponen yang termasuk dan tidak termasuk dalam
pemodelan sistem. Batas sistem ini meliputi kegiatan-kegiatan di dalam
sistem sehingga perilaku yang dipelajari timbul karena interaksi dari
komponen-komponen di dalam sistem (Purnomo, 2003).
Selanjutnya, konseptualisasi model dilakukan atas dasar
permasalahan yang didefinisikan. Ini dimulai dengan identifikasi
komponen atau variabel yang terlibat dalam pemodelan. Variabel-variabel
tersebut kemudian dicari interrelasinya satu sama lain dengan
menggunakan ragam metode seperti diagram sebab akibat (causal),
diagram kotak panah (stock and flow), dan diagram sekuens (aliran).
Konseptualisasi model ini memberikan kemudahan bagi pembaca agar
dapat mengikuti pola pikir yang tertuang dalam model sehingga
menimbulkan pemahaman yang lebih mendalam atas sistem (Purnomo,
2003.
Kemudian pada tahap formulasi (spesifikasi) model dilakukan
perumusan makna yang sebenarnya dari setiap relasi yang ada dalam
model konseptual, ini dilakukan dengan memasukkan data kuantitatif ke
dalam diagram model. Spesifikasi model dilakukan terhadap variabel-
variabel yang saling berhubungan dalam diagram. Pemodel dapat
menentukan nilai parameter dan melakukan percobaan-percobaan terhadap
pengembangan model dengan mengkomunikasikan kepada aktor-aktor
yang terlibat. Dalam hal ini, model diformulasikan dengan persamaan
matematik (Purnomo, 2003).
Pada prinsipnya, model sistem dinamik dapat dinyatakan dan
dipecahkan secara numerik dalam sebuah bahasa pemrograman. Perangkat
lunak khusus untuk sistem dinamik telah banyak tersedia seperti Dynamo,
Stella, Powersim, Vensim, Ithink, dan lain-lain. Pemilihan Powersim
sebagai perangkat lunak untuk simulasi model adalah karena kemudahan
dan kecanggihannya yang terus berkembang. Dalam Powersim, model
kualitatif disajikan dalam bentuk grafik dari satu atau lebih variabel
terhadap waktu. Pada model yang telah dibuat, data kuantitatif berupa data,
informasi dimasukkan dengan mengklik variabel-variabel yang tersedia
seperti level, rate, auxiliary, dan konstanta dan kemudian nilai/formula
dimasukkan ke dalam variabel-variabel tersebut. Selanjutnya, metode
numerik dan time step dapat dipilih untuk mengkalkulasi model
(Muhammadi et al., 2001).
Tahap selanjutnya adalah melakukan simulasi terhadap model dan
melakukan validasi model yang juga akan menimbulkan umpan balik
terhadap pemahaman sistem. Menurut Muhammadi et al. (2001) simulasi
model dilakukan untuk memahami gejala atau proses sistem, membuat
analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan.
Sedangkan validasi model dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara
hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Hasil validasi ini
kemudian akan menimbulkan proses perbaikan dan reformulasi model.
Akhirnya dilakukan analisis kebijakan pada model yang telah valid dan ini
akan menambah pemahaman terhadap sistem.

4. Sistem Umpan Balik (feedback system)


Permasalahan yang dimodelkan dengan pendekatan sistem dinamik
sebaiknya mengandung dua karakteristik (Richardson dan Pugh, 1986),
yaitu :
a. Masalah yang akan dimodelkan mempunyai sifat dinamik, yakni
menyangkut kuantitas yang berubah menurut waktu, sehingga dapat
direpresentasikan dalam grafik kuantitas terhadap waktu.
b. Adanya sistem umpan balik (feedback system).
Lingkaran umpan balik merupakan suatu lingkaran tertutup dimana
sederetan keputusan dihubungkan untuk menentukan tindakan, keadaan
(level) sistem serta informasi mengenai keadaan sistem (Richardson dan
Pugh, 1986). Informasi tersebut kemudian akan kembali kepada keputusan.
Hal-hal yang mempengaruhi keputusan bukanlah keadaan (level) saja,
melainkan juga informasi tentang keadaan yang mungkin berbeda dari
keadaan sebenarnya akibat kesalahan atau keterlambatan (delay) yang
terjadi dalam lintasan. Diagram lingkar umpan balik dapat dilihat pada
Gambar 4.

Keputusan

Informasi keadaan Keadaan


system (level) (level)

Gambar 4. Diagram lingkar umpan balik

Menurut Muhammadi et al. (2001), lingkar umpan balik dibedakan


menjadi dua, yaitu positif dan negatif. Lingkar umpan balik positif
menghasilkan proses pertumbuhan yang menghasilkan kegiatan yang
selalu meningkat, hal ini akan merupakan gangguan terhadap sistem yang
dicirikan sebagai ketidakstabilan, ketidakseimbangan, makin memperkuat
pertumbuhan. Lingkar umpan balik positif jika jumlah tanda (-) dalam
loop genap. Tanda (-) ini dibentuk dari hubungan antara dua parameter.
Hubungan positif jika :
 Parameter A menambah terhadap parameter B.
 Atau, jika parameter A berubah maka parameter B berubah searah.
Lingkar umpan balik negatif jika jumlah tanda (-) dalam loop ganjil.
Hubungan negatif jika :
 Parameter A sifatnya mengurangi terhadap parameter B
 Atau, jika parameter A berubah maka parameter B berubah berlawanan
arah.
Lingkar umpan balik hubungan positif dan hubungan negatif dapat
disimak pada Gambar 5.

+ +
Kelahiran (+) Penduduk (-) Kematian
+ -

Gambar 5. Lingkar umpan balik positif dan negatif

Lingkar umpan balik tersebut terdiri atas lingkar umpan balik


positif yaitu hubungan antara kelahiran dengan penduduk, dimana semakin
banyak kelahiran bayi semakin bertambah jumlah penduduk, di lain pihak
semakin banyak jumlah penduduk semakin banyak jumlah kelahiran bayi.
Sebaliknya, lingkar umpan balik negatif yaitu hubungan antara kematian
dengan penduduk, dimana semakin banyak kematian bayi semakin
berkurang jumlah penduduk, di lain pihak semakin banyak jumlah
penduduk semakin banyak jumlah kematian bayi.

5. Komponen Pemodelan Sistem Dinamik


Dalam pemodelan sistem dinamik terdapat besaran-besaran pokok
yang terdiri atas variabel-variabel. Variabel dalam Powersim yang
digunakan adalah variabel level, variabel rate, variabel auxiliary,
dan variabel konstanta (Powersim, 2005).
a. Level
Level merupakan variabel yang menyatakan akumulasi dari
sejumlah benda (nouns) seperti orang, uang, inventori, dan lain-lain,
terhadap waktu. Level dipengaruhi oleh variabel rate dan
dinyatakan dengan simbol persegi panjang. Pada bagian bawah simbol
variabel level menunjukkan nama variabel (Powersim, 2005).

Gambar 6. Simbol variabel level

b. Rate
Rate merupakan suatu aktivitas, pergerakan (movement), atau
aliran yang berkontribusi terhadap perubahan per satuan waktu dalam
suatu variabel level. Rate merupakan satu-satunya variabel yang
mempengaruhi variabel level (Tasrif, 2004). Dalam Powersim
simbol rate dinyatakan dengan kombinasi antara flow
dan auxiliary. Simbol ini harus terhubung dengan sebuah
variabel level.

Gambar 7. Simbol variabel rate

c. Auxiliary
Auxiliary merupakan variabel tambahan untuk
menyederhanakan hubungan informasi antara level dan rate
(Shintasari, 1988). Seperti variabel level, variabel auxiliary juga
dapat digunakan untuk menyatakan sejumlah benda (nouns).
Simbol auxiliary dinyatakan dengan sebuah lingkaran (Powersim,
2005).
Gambar 8. Simbol variabel auxiliary

d. Konstanta
Konstanta merupakan input bagi persamaan rate baik
secara langsung maupun melalui auxiliary. Konstanta menyatakan
nilai parameter dari sistem real. Simbol konstanta dinyatakan dengan
segiempat (Powersim, 2005).

Gambar 9. Simbol konstanta

Simbol-simbol lain yang digunakan dalam diagram aliran model


adalah simbol fungsi tabel, simbol fungsi tunda (delay), simbol sumber
dan penampung (sink), dan simbol garis-garis aliran.
a. Fungsi Tabel
Fungsi tabel menyatakan hipotesa pembuat model tentang
hubungan dua variabel yang tidak dapat dinyatakan dalam sebuah
persamaan matematik (Shintasari, 1988). Persamaan tabel juga
merupakan persamaan auxiliary. Nilai variabel auxiliary dalam
fungsi/persamaan tabel ditentukan melalui suatu tabel yang
menggambarkan pengaruh satu variabel terhadap variabel lainnya
(Tasrif, 2004). Simbol fungsi tabel dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Simbol fungsi tabel


b. Fungsi Tunda (delay)
Fungsi tunda (delay) menyatakan penundaan waktu yang
terjadi pada aliran material (barang) maupun informasi. Dalam
Powersim fungsi delay dibedakan menjadi tiga yaitu DELAYMTR-N-
th (delay material orde ke-1,2,3...,n), DELAYINF-N-th (delay
informasi orde ke-1,2,3...,n) dan DELAYPPL (delay pipeline, infinite
order material) (Radzicki, 1994). Simbol delay dapat dilihat pada
Gambar 11.

Gambar 11. Simbol delay

c. Sumber dan Penampung


Sumber dan penampung menggambarkan sesuatu di luar sistem
(lingkungan sistem). Sumber dan penampung memiliki kapasitas tidak
terbatas dan tidak mempengaruhi dalam model aliran. Sumber
menyatakan asal aliran, sedangkan penampung menyatakan tujuan dari
suatu aliran (Powersim, 2005). Simbol sumber dan penampung dapat
dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Simbol sumber dan penampung

d. Garis Penghubung
Garis penghubung (link) menghubungkan antara satu variabel
dengan variabel lainnya atau antara variabel dengan konstanta. Simbol
link dalam Powersim dinyatakan dengan sebuah panah halus
(Shintasari, 1988).

Gambar 13. Simbol garis penghubung

Dalam proses simulasi, perhitungan persamaan dilakukan setahap


demi setahap terhadap waktu. Pertambahan waktu yang kontinyu, dipecah-
pecah dalam interval waktu yang pendek dan sama besar. Tasrif (2004)
mengemukakan persamaan model sistem dinamik merupakan persamaan
discrete differential. Sistem persamaan tersebut memiliki bentuk umum
sebagai berikut :

Lsk = Lsb + PLsbsk .................... (1)


PLsbsk = f (Lsb) .................... (2)

Persamaan (1) menyatakan nilai variabel level (L) pada saat


sekarang (Lsk) adalah sama dengan nilai variabel L pada saat sebelumnya
(Lsb) ditambah dengan perubahan nilai variabel L dari sebelumnya sampai
sekarang (PLsbsk). Persamaan (2) menyatakan bahwa perubahan nilai
variabel L dari sebelumnya (sb) sampai sekarang (sk), PLsbsk, merupakan
suatu fungsi dari nilai variabel sebelumnya (Lsb). Apabila interval waktu
antara sbsk dinyatakan sebagai t, dan dipilih cukup kecil, maka
perilaku L terhadap waktu mendekati perilaku suatu sistem kontinyu.
Dalam formulasi pemodelan sistem dinamik digunakan operasi aritmatika
sebagai barikut :
+ Penjumlahan / Pembagian
- Pengurangan ^ Pangkat
* Perkalian ( ) Pengelompokan
Dalam simulasi sistem dinamik, urutan komputasi simulasi dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 14. Urutan komputasi simulasi sistem dinamik (Tasrif, 2004)

dimana,
Sb : Sebelumnya
Sk : Sekarang
Ya : Yang akan datang
Dt : Interval waktu simulasi (t)

Sesuai dengan banyaknya jenis variabel dan konstanta, dikenal


beberapa macam persamaan yaitu :
1. Persamaan level
Persamaan level merupakan persamaan yang menghitung
akumulasi aliran masuk dan aliran keluar pada selang waktu tertentu.
Harga baru suatu level dihitung dengan menambah atau mengurangi
harga level suatu interval waktu sebelumnya dengan rate yang
bersangkutan dikalikan dengan interval waktu yang digunakan. Harga
variabel level dapat diubah oleh beberapa buah variabel rate
(Shintasari, 1988).
Contoh : Lsk = Lsb + DT * (RMsbsk RKsbsk)
dimana,
L : level (unit)
Lsk : harga baru dari level yang akan dihitung pada saat
sekarang (sk)
Lsb : harga level pada saat sebelumnya (sb)
DT : interval waktu (satuan waktu)
RM : rate yang akan menambah level L (rate masuk)
RK : rate yang akan mengurangi level L (rate keluar)
RMsbsk : harga rate yang akan menambah level L
selama interval waktu sbsk (unit/satuan waktu)
RKsbsk : harga rate yang akan mengurangi level L
selama interval waktu sbsk (unit/satuan waktu)

2. Persamaan rate
Persamaan rate menyatakan bagaimana aliran di dalam
sistem diatur. Harga variabel rate dalam suatu interval waktu sering
dipengaruhi oleh variabel-variabel level, auxiliary, atau konstanta
dan tidak dipengaruhi oleh panjangnya waktu. Persamaan rate
dihitung pada saat sk, dengan menggunakan informasi dari level
atau auxiliary pada saat sk untuk mendapatkan rate aliran selama
interval waktu selanjutnya (skya). Asumsi yang diambil dalam
perhitungan rate ini adalah bahwa selama interval waktu DT,
harga rate konstan. Hal ini merupakan pendekatan dari keadaan
sebenarnya dimana rate berubah terhadap waktu secara kontinyu
(Shintasari, 1988). Bentuk persamaan rate adalah :
RMskya = f (level, auxiliary, dan konstanta)

3. Persamaan auxiliary
Persamaan auxiliary berfungsi untuk membantu
menyederhanakan persamaan rate yang rumit. Harga auxiliary
dipengaruhi oleh variabel level, variabel auxiliary lain dan
konstanta yang telah diketahui (Shintasari, 1988).
Contoh : Ask = Lsk / C
dimana,
A : variabel auxiliary
Ask : harga variabel auxiliary A yang akan dihitung pada
saat sk
Lsk : harga variabel level L pada saat sk
C : harga konstanta
4. Persamaan konstanta / parameter
Suatu konstanta mempunyai harga yang tetap sepanjang selang
waktu simulasi, sehingga tidak memerlukan notasi waktu di
belakangnya. Persamaan konstanta menunjukkan nilai parameter yang
selalu mengikuti persamaan variabel level, rate, atau auxiliary
(Shintasari, 1988).
Contoh : Const = 0,04
dimana,
Const : nama dari suatu konstanta

5. Persamaan Fungsi Tabel (Graph)


Persamaan fungsi tabel nilainya ditentukan melalui sebuah
tabel sebagai fungsi dari besaran tertentu. Dalam Powersim, tabel ini
dinyatakan dalam fungsi GRAPH yang dapat memberikan solusi
hubungan antara dua variabel dalam bentuk grafik. Fungsi GRAPH
digunakan bila data berupa tabel atau data menunjukkan hubungan
yang nonlinier. Disamping fungsi GRAPH sendiri, terdapat beberapa
bentuk fungsi GRAPH antara lain GRAPH CURVE, GRAPH
LINAS, dan GRAPH STEP. Perbedaan keempat fungsi GRAPH
tersebut adalah terletak pada output yang dimunculkan (Muhammadi et
al, 2001).
Contoh : GR = GRAPH [X, X1, Dx, Y(N)]
dimana,
X : variabel input, variabel independen (bebas), disebut
juga sumbu X
X1 : nilai pertama dari variabel X
Dx : pertambahan nilai (increment) dari variabel bebas X,
nilainya selalu positif
Y(N) : vektor (sumbu Y, disebut juga output)

6. Persamaan Fungsi Tunda (Delay)


Delay merupakan suatu bentuk kelambatan (waktu) yang
terjadi pada aliran material, informasi, ataupun aliran lainnya dan
merupakan aspek yang penting dalam sistem dinamik. Delay sering
terjadi dalam sistem riil, misalnya dalam pengambilan keputusan,
dalam transportasi, penyebaran informasi, dan lain-lain (Muhammadi
et al., 2001).
Dalam Powersim terdapat tiga bentuk persamaan yang dapat
digunakan untuk menyatakan "delay". Delay aliran material
dinyatakan oleh fungsi DELAYMTR, delay aliran informasi
dinyatakan oleh fungsi DELAYINF, dan delay aliran material dengan
infinite order dinyatakan dengan fungsi DELAYPPL. Contoh bentuk
fungsi delay adalah :
DELAYMTR (Input, Delay_Time, n, Initial)
DELAYINF (Input, Delay_Time, n, Initial)
DELAY PPL (Input, Delay_Time, Initial)
dimana,
Input : variable yang menjadi input bagi variable yang
mengalami delay
Delay_Time : rata-rata waktu delay
n : orde delay
Initial : nilai inisial dari delay

7. Persamaan Fungsi Logika


Beberapa fungsi logika yang terdapat dalam Powersim adalah
fungsi IF, TIMECYCLE, MAX, dan MIN (Tasrif, 2004).
a. IF
Digunakan untuk menggambarkan suatu kondisi (conditional
function).
IF (Condition, Val1, Val2)
dimana,
Condition : suatu logical value (true or false)
Val1 : angka sembarang (computational parameter)
Val2 : angka sembarang (computational parameter)
b. TIMECYCLE
Digunakan untuk menguji siklus waktu atau interval waktu.
TIMECYCLE (First, Interval)
dimana,
First : waktu pertama untuk pengecekan
Interval : waktu diantara pengecekan satu ke pengecekan
berikutnya
c. MAX
Digunakan untuk memilih nilai yang paling besar dari beberapa
nilai.
MAX (X1, X2, X3,...., Xn)
d. MIN
Digunakan untuk memilih nilai yang paling kecil dari beberapa
nilai.
MIN (X1, X2, X3,...., Xn)

8. Persamaan Fungsi Bilangan Acak (Random Number)


Beberapa fungsi bilangan acak antara lain fungsi RANDOM,
dan fungsi NORMAL (Tasrif, 2004).
a. RANDOM
Digunakan untuk membangkitkan sejumlah bilangan acak yang
berdistribusi uniform.
RANDOM (0.5,1.5)
b. NORMAL
Digunakan untuk memberikan bilangan acak yang sebarannya
sesuai dengan sebaran normal.
NORMAL (mean, StdDev)
dimana,
Mean : mean nilai yang ditentukan
StdDev : nilai standar deviasinya

Setiap persamaan yang telah disebutkan di atas dalam Powersim


diberi simbol sesuai dengan jenis persamaan yang diwakilinya, yaitu :

: persamaan level : persamaan auxiliary

: persamaan rate : persamaan konstanta


Persamaan level merupakan penjumlahan/akumulasi, atau
persamaan integral. Persamaan rate dan auxiliary adalah perhitungan
aritmatik. Sedangkan persamaan konstanta merupakan masukan nilai
untuk parameter yang harganya konstan selama simulasi (Shintasari, 1988).

C. TEKNIK SIMULASI

Simulasi adalah proses perancangan suatu model dari suatu sistem


nyata dan melakukan percobaan-percobaan dengan model tersebut dengan
tujuan untuk memahami tingkah laku sistem atau mengevaluasi berbagai
strategi untuk pengoperasian sistem (Shannon, 1975 di dalam Tasrif, 2004).
Simulasi menurut Subagyo et al. (1989) adalah duplikasi atau abstraksi
persoalan dalam kehidupan nyata dalam model matematika. Dalam hal ini
biasanya dilakukan penyederhanaan, sehingga pemecahan dengan model-
model matematika bisa dilakukan. Teknik simulasi bersifat luwes terhadap
perubahan-perubahan, sehingga sesuai dengan keperluan sistem yang
sebenarnya. Teknik simulasi digunakan karena :
1. Sistem dunia nyata dengan elemen-elemen stokastik sangat kompleks
sehingga tidak dapat digambarkan dengan model matematika dan dianalisa
dengan teknik analisis.
2. Simulasi dapat memperkirakan dari tingkah laku sistem yang ada.
3. Alternatif desain tujuan sistem dapat dibandingkan melalui simulasi.
4. Pada simulasi dapat dilakukan pengendalian terhadap kondisi-kondisi
eksperimen yang lebih baik dibanding melakukan eksperimen langsung
terhadap sistem tersebut.
5. Simulasi memungkinkan untuk kajian yang memerlukan waktu lama.
Keuntungan penggunaan simulasi (Chase dan Aquilano, 1991) :
1. Simulasi mampu mengembangkan model dari sistem sehingga dapat
memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap sistem nyata.
2. Simulasi jauh lebih umum dibandingkan model matematik dan dapat
digunakan dimana model analitik matematik tidak dapat digunakan untuk
mengatasi permasalahan.
3. Model simulasi memberikan replikasi yang lebih realistis terhadap sistem
nyata karena memerlukan asumsi yang lebih sedikit.
Sedangkan kekurangan dalam penggunaan simulasi (Siagian, 1987) :
1. Simulasi tidak menghasilkan sebuah jawaban tetapi menghasilkan cara
untuk menilai jawaban termasuk jawaban optimal. Simulasi bukan sebuah
presisi dan juga bukan sebuah proses optimisasi.
2. Model simulasi yang baik dan efektif adalah sangat mahal dan
memerlukan waktu lama dibandingkan model analitik.
3. Tidak semua situasi dapat dinilai melalui simulasi kecuali situasi yang
memuat ketidakpastian.

D. LANDASAN TEORI

1. Demografi
Demografi adalah studi matematik dan statistik terhadap jumlah,
komposisi, dan distribusi spasial dari penduduk manusia, dan perubahan-
perubahan dari aspek-aspek tersebut yang senantiasa terjadi sebagai akibat
bekerjasamanya lima proses yaitu : fertilitas, mortalitas, perkawinan,
migrasi dan mobilitas sosial (Bogue, 1969 di dalam Rusli, 1994).
Variabel-variabel demografi yang pokok adalah kelahiran, kematian, dan
migrasi yang juga dikenal sebagai komponen-komponen atau determinan-
determinan pertumbuhan penduduk.
Menurut Rusli (1994), sistem regristrasi penduduk seperti data
jumlah kelahiran, kematian, dan migrasi dapat digunakan untuk
menghitung jumlah penduduk pada akhir suatu periode dari daerah dengan
persamaan penduduk berimbang sebagai berikut :
Pt = Po + B D + I E
dimana,
Pt = jumlah penduduk pada akhir periode t
Po = jumlah penduduk pada awal periode t
B = jumlah kelahiran yang terjadi dalam periode t
D = jumlah kematian yang terjadi dalam periode t
I = jumlah imigran atau migran masuk
E = jumlah emigran atau migran keluar
Berdasarkan persamaan penduduk berimbang tersebut dapat
dihitung rate perkembangan penduduk untuk tahun tertentu dengan
rumus :
BD+I E
r= 100%
Ptt
dimana,
Ptt = jumlah penduduk pada pertengahan tahun
Disamping menggunakan persamaan penduduk berimbang, rate
perkembangan penduduk per tahun juga dapat dihitung dengan persamaan
geometrik dan eksponensial berdasarkan data total penduduk tahunan.
Selanjutnya, berdasarkan rate perkembangan penduduk tahunan geometrik
dan eksponensial dapat dilakukan estimasi penduduk total pada titik-titik
waktu yang diperlukan (Rusli, 1994).
Persamaan geometrik : Pt = P0 (1 + r)t
Persamaan eksponensial : Pt = P0 ert (e= 2,71828)
dimana,
P0 = jumlah penduduk pada awal periode waktu t
Pt = jumlah penduduk pada akhir periode waktu t
r = rate perkembangan penduduk per tahun

2. Validasi Model
Validasi merupakan tahap terakhir dalam pengembangan model
untuk memeriksa model dengan meninjau apakah keluaran model sesuai
dengan sistem nyata, dengan melihat konsistensi internal, korespondensi,
dan representasi (Simatupang, 2000). Menurut Daalen dan Thissen (2001),
validasi dalam pemodelan sistem dinamik dapat dilakukan dengan
beberapa cara meliputi uji struktur secara langsung (direct structure tests)
tanpa merunning model, uji struktur tingkah laku model (structure-
oriented behaviour test) dengan merunning model, dan pembandingan
tingkah laku model dengan sistem nyata (quantitative behaviour pattern
comparison).
Validasi pada pemodelan ini dilakukan dengan membandingkan
tingkah laku model dengan sistem nyata (quantitative behaviour pattern
comparison) yaitu dengan uji MAPE.
 Uji MAPE (Mean Absolute Percentage Error)
Mean Absolute Percentage Error (nilai tengah persentase
kesalahan absolut) adalah salah satu ukuran relatif yang menyangkut
kesalahan persentase. Uji ini dapat digunakan untuk mengetahui
kesesuaian data hasil prakiraan dengan data aktual.

1 Xm Xd
MAPE =
n
Xd
100%

Keterangan :
Xm = data hasil simulasi
Xd = data aktual
n = periode/banyaknya data
Kriteria ketepatan model dengan uji MAPE (Lomauro dan
Bakshi, 1985 di dalam Somantri, 2005) adalah :
MAPE < 5% : sangat tepat
5% < MAPE < 10% : tepat
MAPE > 10% : tidak tepat

E. PENELITIAN TERDAHULU

Waskito (2005) membuat pemodelan ekonometrik dan dinamik sistem


terhadap daya saing ekspor komoditas agroindustri karet alam Indonesia. Daya
saing ekspor melalui pemodelan dinamik terbagi menjadi tiga subsistem
(submodel) yaitu submodel agroindustri, submodel perdagangan, dan
submodel makroekonomi. Pada setiap subsistem terdapat faktor-faktor yang
saling mempengaruhi dalam hubungan sebab akibat.
Nuroniah (2003) melakukan penjadwalan produksi dengan
menggunakan pendekatan model dinamik. Model dinamik yang
dikembangkan mendeskripsikan dinamika jumlah produksi pada setiap
tahapan produksi berdasar data historis permintaan produksi. Sistem yang
dibuat bertujuan menentukan alternatif terbaik dari penjadwalan produksi
dengan meminimumkan inventori, waktu proses, dan kekurangan produk yang
berlebihan.
Shintasari (1988) melakukan penelitian terhadap dinamika persediaan
daging sapi dengan pendekatan model dinamik untuk wilayah DKI Jakarta.
Simulasi model dibuat berdasarkan fluktuasi tingkat persediaan daging sapi
dengan software Dynamo untuk menghasilkan kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang mampu mengatasi ketidakstabilan dalam produksi dan persediaan
sehingga dapat menghemat sejumlah besar biaya.
III. METODOLOGI

A. KERANGKA PEMIKIRAN

Ubi kayu merupakan tanaman pangan yang digunakan tidak hanya


sebagai bahan makanan, tetapi juga untuk keperluan industri dan pakan.
Pengembangan pengolahan pangan dari ubi kayu dilakukan dengan mengolah
umbi segar atau dengan pengeringan, yaitu pembuatan gaplek dan tepung
tapioka. Pengolahan ini dapat dilakukan dalam skala kecil sebagai industri
kecil, industri rumah tangga dan dalam skala besar oleh pabrik sebagai
industri pengolahan. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri tersebut
diperlukan upaya-upaya peningkatan produksi dan mutu ubi kayu di tingkat
usaha tani, menciptakan keterpaduan/kemitraan antar petani dan pihak
agroindustri (pengrajin, pabrik) yang melakukan pengolahan, pemasaran, dan
ekspor.
Permasalahan ketersediaan ubi kayu secara regional merupakan suatu
permasalahan sistem yang cukup kompleks dengan melibatkan berbagai
komponen, variabel di dalamnya yang saling berinteraksi dan terintegrasi.
Secara disengaja atau tidak, sistem pengembangan ubi kayu tersebut akan
berusaha mencapai tujuan tertentu, seperti pemenuhan bahan baku bagi
industri, pemenuhan kebutuhan/penyediaan pangan, keperluan ekspor, dan
lain-lain.
Penelitian ini bertujuan untuk mencoba mengembangkan suatu model
dinamik yang dapat menerangkan mekanisme penyediaan ubi kayu di masa
mendatang. Struktur model dinamik yang akan dikembangkan merupakan
gambaran dari interaksi antara elemen-elemen sebuah sistem. Untuk
memudahkan proses perancangan model, maka perlu dilakukan pembagian
sistem secara keseluruhan menjadi beberapa sub sistem yaitu sub sistem
penyediaan dan sub sistem kebutuhan untuk keperluan konsumsi dan industri.
Setiap struktur dari masing-masing sub sistem menunjukkan
kebergantungan sebab akibat dari perilaku masing-masing sub sistem
penyediaan dan permintaan. Sub sistem penyediaan antara lain meliputi luas
areal tanam, luas panen, produktivitas, produksi, dan siklus pertanaman ubi
kayu. Sedangkan sub sistem permintaan dipengaruhi oleh perilaku konsumen
(masyarakat dan pihak industri) dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan
dan bahan baku bagi industrinya.

Identifikasi
Masalah

Tijauan Pustaka Tujuan Penelitian

Perancangan Diagram
Pemilihan Metode
Sebab Akibat

Pengumpulan Data Perancangan Model


Simulasi

Simulasi Model

Validasi Tidak
Model

Ya

Pemilihan Alternatif

Implementasi

Gambar 15. Diagram alir kerangka penelitian

B. PENDEKATAN SISTEM

Sistem adalah sekumpulan entitas yang bertindak dan berinteraksi


bersama-sama untuk memenuhi tujuan akhir yang logis (Law et al., 1982).
Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan masalah yang dimulai
dengan dilakukannya identifikasi dan analisa kebutuhan serta diakhiri dengan
sistem operasi yang efektif. Pendekatan sistem ini memiliki beberapa unsur
antara lain adanya metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, bersifat
multidisiplin dan terorganisir, mampu berfikir secara non-kuantitatif,
menggunakan model matematika, teknik simulasi dan optimasi, serta dapat
diaplikasikan dengan komputer (Eriyatno, 1998). Tahapan pendekatan sistem
dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Tahapan pendekatan sistem (Manetsch dan Park, 1976


di dalam Shintasari, 1988)
1. Analisa Kebutuhan
Tahap analisa kebutuhan merupakan tahap awal dari pengembangan
suatu sistem. Pada tahap ini dicari secara selektif apa saja yang dibutuhkan
dalam analisa sistem. Komponen-komponen yang terlibat secara langsung
maupun tidak langsung dalam pemodelan dinamik ketersediaan ubi kayu
adalah sebagai berikut
a. Dinas Pertanian
 Membina kemitraan antara petani dengan pihak industri
 Mengontrol produktivitas ubi kayu di tingkat petani
 Menekan fluktuasi harga di tingkat petani
b. Petani
 Harga jual ubi kayu tinggi, sehingga merangsang minat
untuk meningkatkan produksi
 Jalur pemasaran mudah
c. Pihak Agroindustri
 Kebutuhan bahan baku terpenuhi dalam kuantitas, kualitas,
dan waktu yang tepat
 Kontinuitas produksi dan suplai ke pasar
 Keuntungan usaha yang optimal
 Kemudahan memperoleh modal
 Jalur pemasaran mudah
d. Koperasi
 Kemudahan pengumpulan produk
 Kepercayaan dalam pengorganisasian petani dalam produksi
dan penjualan produk
 Jalur pemasaran mudah
e. Konsumen
 Kemudahan memperoleh produk
 Harga produk stabil
 Jaminan kualitas produk tinggi dan stabil
2. Formulasi Permasalahan
Formulasi permasalahan dilakukannya setelah analisa kebutuhan.
Pada tahapan ini dilakukan formulasi permasalahan untuk pengembangan
sistem ketersediaan ubi kayu. Masalah utama yang timbul dalam sistem
ketersediaan ubi kayu adalah tidak tersedianya kuantitas bahan baku secara
kontinyu dan terjadinya fluktuasi harga ubi kayu pada tingkat petani
sehingga mempengaruhi minat petani untuk menanam ubi kayu. Kedua hal
tersebut akhirnya dapat menimbulkan ketidakstabilan dalam persediaan
ubi kayu.
Faktor penting yang berpengaruh dalam pemodelan sistem dinamik
ketersediaan ubi kayu adalah delay (waktu tunda). Ini terjadi karena ubi
kayu merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang memiliki
umur panen cukup lama rata-rata 9-12 bulan dan memiliki sifat barang
mudah rusak tanpa adanya penanganan khusus (penyimpanan dalam tanah
dan dalam sekam lembap). Faktor penyebab lainnya adalah adanya
kelancaran informasi, terutama dalam hal ini informasi pasar yang dapat
mempengaruhi sistem. Semua faktor tersebut perlu dimasukkan dalam
model dinamik sistem yang dibuat agar model dapat mewakili keadaan
yang sebenarnya.

3. Identifikasi Sistem
Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara
pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari
masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan tersebut.
Berdasarkan kepentingan komponen-komponen yang terlibat, keterkaitan
komponen dalam sistem dapat dilihat pada Gambar 17. Diagram input
output dari sistem ini dapat dilihat pada Gambar 18.
+ +

Laju kelahiran (+) Penduduk


(-) Laju kematian
Kab. Bogor
+ -
Tingkat konsumsi
ubi kayu
+
+
Jumlah
ubi kayu_konsumsi

+
Kebutuhan ubi +
kayu_tapioka + Kebutuhan
Jumlah ubi kayu
ubi kayu_industri
-
+
Neraca ketersediaan
Kebutuhan ubi kayu
ubi kayu_produk
makanan +
+ Penyediaan
ubi kayu
Produksi
Produktivitas + +

Penyusutan Luas panen


- +
luas panen
Delay
+
+ -
Laju Luas areal Laju
ekstensifikasi (+) (-) konversi
tanam
+ + +
(-)
-
Gap
Potensi
+ lahan

Gambar 17. Diagram sebab akibat dinamika sistem ketersediaan ubi kayu
Input Lingkungan
- Kebijaksanaan pemerintah
- Kondisi sosial budaya
Input Tak Terkendali
Output Dikehendaki
- Serangan hama penyakit
- Iklim - Persediaan ubi kayu sesuai
- Tingkat konversi lahan dengan permintaan konsumen
- Laju pertumbuhan penduduk - Stabilitas harga ubi kayu

SIMULASI MODEL DINAMIK


KETERSEDIAAN UBI KAYU

Input Terkendali Output Tak Dikehendaki


- Produktivitas tanaman - Mutu produk rendah
- Luas lahan - Persediaan ubi kayu tidak
kontinyu

Manajemen Pengendalian

Gambar 18. Diagram input-output dinamika sistem ketersediaan ubi kayu


C. PEMODELAN DINAMIKA SISTEM

1. Konseptualisasi Model
Pada tahap ini pemahaman tentang sistem yang akan dimodelkan
dituangkan dalam sebuah konsep. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan
gambaran secara menyeluruh tentang model yang akan kita buat. Tahap ini
dimulai dengan mengidentifikasi semua komponen penting yang terlibat
atau yang akan dimasukkan ke dalam pemodelan dan menetapkan batas
model (model boundaries). Komponen-komponen tersebut kemudian
dicari interrelasinya satu sama lain dengan menggunakan metode diagram
sebab akibat. Tanda panah pada diagram diberi tanda (+) atau (-)
tergantung pada hubungan yang terjadi apakah positif atau negatif. Tanda
(+) digunakan untuk menyatakan hubungan yang terjadi antara dua faktor
yang berubah dalam arah yang sama. Sedangkan tanda (-) digunakan jika
hubungan yang terjadi antara dua faktor tersebut berubah dalam arah yang
berlawanan.

2. Formulasi Model
Pada tahap ini dilakukan perumusan makna sebenarnya dari setiap
relasi yang ada dalam model konseptual. Sistem dinamik menggunakan
persamaan matematika (differential equations) untuk menggambarkan
sebuah sistem ke dalam model. Pada tahap ini dilakukan kuantifikasi
model dengan memasukkan data kuantitatif ke dalam diagram sistem
dinamik sehingga diperoleh hubungan yang sesuai antara variabel-variabel
dalam diagram. Identifikasi parameter dan pengembangan model juga
dilakukan untuk mendapatkan model yang konsisten.

3 Evaluasi Model
Evaluasi model meliputi verifikasi dan validasi model. Verifikasi
dilakukan untuk mengetahui konsistensi model yang dibuat, dengan
mengecek dimensi variabel yang digunakan dalam model dan mengetahui
ketepatan penggunaan metode integrasi (time step) yang dipilih. Sedang
validasi dilakukan dengan cara membandingkan model simulasi dengan
keadaan yang sebenarnya. Validasi meliputi uji struktur secara langsung
(direct structure tests) tanpa merunning model, uji struktur tingkah laku
model (structure-oriented behaviour test) dengan merunning model, dan
pembandingan tingkah laku model dengan sistem nyata (quantitative
behaviour pattern comparison).

D. TATA LAKSANA

1. Identifikasi Masalah
Masalah yang mungkin timbul dalam suatu sistem dinamik adalah
adanya permasalahan yang cukup kompleks, banyaknya variabel yang
terkait, dan banyaknya pengaruh waktu yang sangat signifikan. Untuk
memperjelas lingkup permasalahan diperlukan pembatasan masalah dan
asumsi yang relevan dalam membangun model. Beberapa variabel yang
diperlukan nilai awalnya antara lain populasi penduduk, luas areal tanam
ubi kayu, luas panen, produktivitas rata-rata ubi kayu, banyaknya industri
berbasis ubi kayu, dan rata-rata kebutuhan ubi kayu untuk pangan dan
industri.

2. Teknik Pengumpulan Data


Pengambilan data dilakukan melalui data primer dan data sekunder.
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data primer adalah dengan
cara survei melalui wawancara secara langsung dan menggunakan
kuesioner terhadap stakeholder. Dalam hal ini, stakeholder adalah praktisi
yang terlibat dalam bidang produksi, perlindungan tanaman, dan bina
usaha di Dinas Pertanian, dan pengrajin tapioka (aci). Wawancara ini
bertujuan untuk memperoleh informasi dan mengetahui kondisi lapang.
Wawancara dengan kuesioner dilakukan terhadap responden yaitu
pengrajin tapioka. Kuesioner ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan
bahan baku ubi kayu dan kondisi usaha kecil (pengrajin) tapioka.
Pemilihan responden dilakukan dengan teknik sampling yaitu Judgement
Sampling. Sampel diambil berdasarkan kriteria-kriteria yang telah
ditentukan sebelumnya sesuai dengan tujuan penelitian yaitu sebagai
berikut :
1. Merupakan daerah yang memiliki karakteristik wilayah yang relatif
sama
2. Memiliki karakteristik usaha pengolahan ubi kayu yang relatif sama
3. Merupakan daerah pusat budidaya tanaman ubi kayu
4. Memiliki jarak yang relatif dekat dengan industri pengolahan tepung
tapioka
Berdasar kriteria tersebut, daerah yang terpilih sebagai sampel
penelitian adalah Kecamatan Sukaraja, Babakan Madang, dan Citeureup.
Ukuran sampel ditetapkan sebanyak 30 pengrajin aci yang dianggap telah
dapat mewakili populasi dan memenuhi syarat untuk dilakukan uji statistik.
Data sekunder diperoleh dari studi pustaka dan data dari instansi-
instansi terkait. Data sekunder yang digunakan meliputi data
kependudukan, data luas areal tanam, luas panen, produksi, produktivitas,
data kapasitas produksi industri pengolahan ubi kayu dan data pendukung
lainnya. Sumber data sekunder adalah Badan Pusat Statistik Pusat
(Jakarta) dan Daerah (Kabupaten Bogor), Dinas Pertanian Kabupaten
Bogor, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor, Dinas
Kependudukan Kabupaten Bogor, BAPEDA Kabupaten Bogor, Balai
Besar Industri Agro, dan lain-lain.

3. Perancangan Model
Model yang digunakan untuk analisis ketersediaan ubi kayu
mengacu pada pendekatan sistem dinamik berdasarkan diagram lingkar
sebab akibat. Penyusunan model ketersediaan ubi kayu menggunakan
software powersim 2.5, berbentuk simbol-simbol dan simulasinya
mengikuti suatu metode yang dinamakan dinamika sistem (system
dynamic).

4. Pembuatan Model dan Simulasi


Pembuatan model, simulasi dan analisis dilakukan dengan
mengacu pada tujuan, sasaran, dan skenario yang dibuat. Sebelum
menjalankan simulasi, maka perlu dimasukkan nilai-nilai parameter yang
diperlukan. Nilai awal variabel yang dikaji, fraksi atau parameter dan
pengaruh keterkaitan antara suatu variabel dengan variabel lain yang
signifikan ditentukan berdasarkan data empirik maupun informasi yang
dapat dikumpulkan dari narasumber dan pustaka relavan.

5. Verifikasi dan Validasi Model


Verifikasi model dilakukan dengan pengecekan secara dimensional
(satuan ukuran) terhadap variabel-variabel model meliputi level, rate, dan
konstanta terhadap data sekunder, mengetahui ketepatan penggunaan
metode integrasi dan time step yang dipilih, serta meminta stakeholder
untuk mengevaluasi model yang dibuat. Sedangkan validasi model
dilakukan sesuai dengan tujuan pemodelan yaitu dengan membandingkan
perilaku dinamis model dengan kondisi sistem nyata. Apabila model telah
dianggap valid, selanjutnya model ini dapat dipergunakan sebagai wakil
sistem nyata.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KEADAAN UMUM UBI KAYU DI KABUPATEN BOGOR

1. Usaha Tani Ubi Kayu


Ubi kayu merupakan salah satu komoditas unggulan Kabupaten
Bogor. Luas panen ubi kayu pada tahun 2004 mencapai 11.550 ha dengan
produksi sebesar 192.357 ton atau 26,69% dari seluruh produksi sub sektor
tanaman pangan. Luas panen dan produksi komoditas tanaman pangan di
Kabupaten Bogor disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Luas panen dan produksi komoditas tanaman pangan Kabupaten


Bogor
2002 2003 2004
Komoditi Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi
(ha) (ton) (ha) (ton) (ha) (ton)
Padi
- Padi sawah 87.702 462.538 72.075 373.421 84.975 445.958
- Padi gogo 5.209 13.647 3.544 9.746 2.809 7.656
Ubi kayu 10.117 177.630 10.047 189.888 11.550 192.357
Ubi jalar 4.144 67.515 3.882 67.519 3.656 56.213
Jagung 2.795 8.562 2.707 8.378 2.626 8.374
Padi ladang 5.209 13.633 3.544 9.757 2.809 7.656
Kacang tanah 2.374 2.808 2.042 2.436 1.757 2.236
Kedelai 246 289 146 184 153 176
Sumber : BPS Kabupaten Bogor dalam Angka (2003) dan Dinas Pertanian Kabupaten
Bogor (2004)

Tanaman ubi kayu di Kabupaten Bogor sebagian besar ditanam di


lahan kering yaitu sekitar 50-70% dan sisanya ditanam di lahan sawah.
Rincian luas areal tanam ubi kayu pada lahan sawah dan lahan kering
selama tahun 1998-2004 dapat disimak pada Tabel 5.
Ubi kayu dihasilkan di hampir semua kecamatan di Kabupaten
Bogor. Daerah yang memiliki rata-rata luas panen terbesar selama tahun
1999-2004 adalah Kecamatan Sukaraja yaitu seluas 1.970 ha dengan rata-
rata produksi sebesar 36.018 ton/tahun. Luas panen dan produksi ubi kayu
setiap kecamatan di Kabupaten Bogor selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 2.

Tabel 5. Rincian luas areal tanam ubi kayu di Kabupaten Bogor


Luas pemanfaatan (ha) pada Luas areal
Tahun
Lahan sawah Lahan kering tanam (ha)
1998 4.955 9.841 14.796
1999 - - 10.032
2000 3.641 7.878 11.519
2001 3.542 8.323 11.865
2002 3.189 6.528 9.717
2003 3.746 7.610 11.356
2004 3.245 7.207 10.452
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bogor (2004)
Keterangan : (-) Data tidak tersedia

Ubi kayu cukup diminati oleh petani di Kabupaten Bogor. Para


petani mengusahakan ubi kayu baik sebagai komoditas pokok maupun
komoditas sampingan pada lahan pertaniannya. Keputusan petani untuk
menanam tanaman ubi kayu antara lain didasarkan kondisi iklim yang
sesuai untuk budidaya ubi kayu, sifat usaha yang turun-temurun (tradisi),
dan teknik budidaya dan sistem pemeliharaan yang relatif mudah.
Pola pertanaman ubi kayu yang dilakukan oleh petani di
Kabupaten Bogor umumnya adalah pola tanam monokultur. Hingga saat
ini beberapa varietas ubi kayu yang ditanam oleh petani di Kabupaten
Bogor adalah Adira 1, Adira 2, Adira 4, dan Mangi. Menurut narasumber,
varietas Adira 1 dan 4 adalah varietas yang paling banyak ditanam di
Kabupaten Bogor.
Waktu tanam yang dianjurkan untuk tanaman ubi kayu di tanah
tegalan adalah awal musim hujan atau akhir musim hujan (Hafsah, 2003).
Hal ini karena tanaman ubi kayu memerlukan cukup air pada awal masa
tanam untuk pertumbuhan vegetatifnya. Waktu penanaman ubi kayu di
Kabupaten Bogor dapat dilakukan setiap bulannya karena merupakan
daerah dengan curah hujan cukup tinggi.
Pemanenan ubi kayu dilakukan sesuai dengan keperluan. Untuk
keperluan industri tapioka, pemanenan ubi kayu terbaik biasanya
dilakukan pada saat tanaman mencapai umur 12-18 bulan. Sedangkan
untuk keperluan industri pangan, pemanenan ubi kayu dapat dilakukan
pada umur tanaman 6-9 bulan.
Sistem penjualan hasil panen ubi kayu yang dilakukan petani di
Kabupaten Bogor antara lain melalui pedagang perantara/pengumpul,
dijual langsung ke industri rumah tangga yang mengolah produk makanan,
dijual langsung ke usaha kecil (pengrajin) tapioka. Penjualan ubi kayu oleh
petani langsung ke pengrajin tapioka biasanya terjadi karena adanya
jalinan kemitraan di antara keduanya. Secara umum jalur tata niaga ubi
kayu yang terjadi di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 19.

Industri kecil
Petani Umbi segar
(produk makanan)

Umbi segar Pedagang pengumpul

Pengrajin tapioka
kasar

Industri kecil
Tepung
(produk makanan)

Pabrik tapioka Produk makanan

Hasil olahan Distributor/pedagang

Distributor Konsumen

Konsumen
(industri, dll)

Gambar 19. Sketsa tata niaga ubi kayu di Kabupaten Bogor 1)

1)
Berdasarkan wawancara dengan narasumber, Sub Dinas Bina Usaha Tani,
Dinas Pertanian Kabupaten Bogor (dimodifikasi)
2. Agroindustri Ubi Kayu
Industri pengolahan ubi kayu atau singkong di Kabupaten Bogor
cukup banyak jenisnya meliputi industri tapioka, industri keripik singkong,
tape, dan lain-lain. Industri tersebut umumnya tergolong dalam industri
skala kecil atau rumah tangga dan industri skala sedang.

a. Industri tepung tapioka


Industri tepung tapioka merupakan industri pengolahan ubi
kayu yang cukup banyak jumlahnya di Kabupaten Bogor. Menurut
narasumber, hingga akhir tahun 2004 belum terdapat industri yang
mengolah ubi kayu secara langsung menjadi tepung tapioka.
Industri tepung tapioka di Kabupaten Bogor terdiri atas usaha
kecil (pengrajin) tapioka dan pabrik penggilingan tapioka. Umumnya
pengrajin tapioka mengolah ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar.
Selanjutnya tapioka kasar tersebut diolah menjadi tepung tapioka halus
oleh pabrik penggilingan tepung tapioka. Berdasarkan survei lapang,
rata-rata produksi pabrik penggilingan tapioka adalah 7-10 ton tapioka
kasar per hari. Sedangkan rata-rata produksi pengrajin tapioka adalah
1,5-2 ton ubi kayu per hari.
Tahapan proses produksi pada pengrajin tapioka secara umum
bersifat tradisonal dan semi modern. Tahapan proses produksi tersebut
meliputi pembersihan, pencucian, pemarutan, pemerasan, pengendapan,
pengeringan, penggilingan, dan pengemasan (Gambar 20). Setelah
dikemas biasanya tapioka kasar oleh pengrajin tapioka langsung
dikirim ke pabrik penggilingan tapioka halus dengan harga jual sekitar
Rp 2.250,00 - Rp 2.800,00.
Selanjutnya pabrik penggilingan tapioka halus melakukan
pemasaran produk akhirnya (tepung tapioka) ke beberapa daerah di
luar wilayah Bogor seperti Surabaya, Tasikmalaya, Kuningan, dan
Sumatera.
Dalam pembuatan tapioka diperlukan bahan baku ubi kayu yang
tersedia secara kontinyu. Berdasarkan survei lapang, para pengrajin
tapioka pada waktu tertentu mengalami kekurangan bahan baku. Untuk
memenuhi kekurangan bahan baku tersebut pengrajin tapioka biasanya
mendatangkan bahan baku dari daerah sekitar Kabupaten Bogor seperti
Sukabumi, Cianjur, Garut, dan Bandung.
Pengrajin tapioka di Kabupaten Bogor tersebar di beberapa
kecamatan sekitar daerah Ciluar, sedangkan pabrik tapioka sebagian
besar terkonsentrasi di daerah Ciluar. Usaha kecil (pengrajin) tapioka
tersebut cukup menyerap tenaga kerja yaitu sekitar 2-20 orang. Jumlah
tenaga kerja pada pengrajin tapioka bervariasi sesuai dengan kapasitas
produksi dan jumlah ubi kayu yang diolah.

Ubi kayu 1 ton

Pengupasan Kulit & 100 kg


(Manual) kotoran

Pencucian
1,5 m3 Air
(Manual)
Limbah cair 1,5 m3

Pemarutan
(Semi mekanis)

Ekstraksi
8,5 m3 Air Ampas 400 kg
(Manual)

Pengendapan
Limbah cair 8,8 m3
(Batch)

Penjemuran

Penggilingan

Tapioka kasar 300 kg

Pengemasan

Gambar 20. Skema proses produksi usaha kecil tapioka


(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2000)
2. Industri keripik singkong
Industri keripik singkong di Kabupaten Bogor umumnya
tergolong sebagai industri makanan ringan dan merupakan industri
tradisional serta tidak jarang berskala kecil atau rumah tangga. Industri
keripik singkong yang tercatat di Dinas Pertanian Kabupaten Bogor dan
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor hingga akhir
tahun 2004 berjumlah kurang lebih 25 buah.
Tahapan proses produksi pada industri kecil keripik singkong
umumnya meliputi pembersihan, pencucian, pengirisan, perendaman
(bumbu), penirisan, penggorengan, dan pengemasan (Gambar 21).

Ubi kayu

Pengupasan

Pencucian

Pengirisan

Perendaman dalam bumbu


(setiap air mendidih 1 lt + garam 3 menit
1 gr + bawang putih 20 gr)

Penirisan

Penggorengan

Keripik
singkong

Pengemasan

Gambar 21. Skema proses produksi keripik singkong (Dewan Ilmu


Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumbar, 2001)
Pemasaran produk keripik singkong oleh sebagian industri kecil
dilakukan di pasar lokal Bogor yaitu di sekitar lokasi industri. Selain di
pasar lokal Bogor, beberapa industri kecil melakukan pemasaran
produk keripik singkong di luar wilayah Bogor seperti Jakarta, Banten,
Tangerang, Bekasi.
Industri kecil keripik singkong di Kabupaten Bogor cukup
menyerap tenaga kerja 2-20 orang. Besarnya jumlah tenaga kerja
bergantung pada kapasitas produksi dan permintaan pasar.

3. Industri tape
Industri tape di Kabupaten Bogor umumnya merupakan industri
tradisional dan tergolong skala kecil atau rumah tangga. Industri tape
yang tercatat di Dinas Pertanian Kabupaten Bogor hingga akhir tahun
2004 berjumlah kurang lebih 4 buah.
Tape merupakan produk olahan ubi kayu dengan cara
fermentasi. Tahapan proses produksi tape meliputi pembersihan,
pemotongan, pencucian, pengukusan, peragian, pembungkusan dan
penyimpanan (pemeraman) ubi kayu yang telah diberi ragi selama 2-7
hari (Gambar 22). Pemasaran produk tape dilakukan tidak hanya di
wilayah Bogor tetapi juga di luar wilayah Bogor seperti Pasar Minggu
dan Tangerang.
Industri kecil tape umumnya membutuhkan tenaga kerja 2-10
orang. Pembuatan tape tersebut dapat dilakukan secara sendiri
(keluarga) karena tidak memerlukan keterampilan khusus.
U b i kay u

P en gu p asan

P em o to ng an

P en cu cian

P en g u ku san
(seten g ah m asak )

P en irisan

P erag ian

P em b un g k u san
(d en g an p lastik , d au n
talas)

P em eram an
(2 -7 h ari)

T ap e p eu y eu m

Gambar 22. Skema proses produksi tape peuyeum (Margono dkk., 1993)

B. RANCANGAN MODEL

1. Deskripsi Sistem
Permasalahan ketersediaan ubi kayu merupakan suatu permasalahan
sistem yang cukup kompleks dengan melibatkan berbagai komponen,
variabel di dalamnya yang saling berinteraksi dan terintegrasi.
Ketersediaan ubi kayu secara regional dapat dipandang sebagai suatu
masalah dinamika sistem yang berubah sepanjang waktu dan dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang juga bersifat dinamis.
Ubi kayu merupakan komoditas palawija unggulan di Kabupaten
Bogor sehingga pemantauan terhadap ketersediaannya perlu dilakukan
setiap tahunnya. Tujuan pemodelan ketersediaan ubi kayu ini adalah untuk
melihat pola ketersediaan ubi kayu di masa mendatang sebagai pemenuhan
bahan baku bagi agroindustri, pengembangan agroindustri, pemenuhan
kebutuhan pangan dalam upaya diversifikasi pangan non beras, pemenuhan
keperluan ekspor, dan lain-lain dengan berbagai alternatif pengembangan
skenario yang sesuai dengan kondisi nyata.
Model dinamika sistem yang dikembangkan dibatasi pada hal-hal
yang berkaitan dengan penyediaan (produksi) ubi kayu dan permintaan
terhadap ubi kayu bagi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri.
Untuk memudahkan dalam pemodelan, sistem ketersediaan ubi kayu dibagi
menjadi tiga sub sistem yaitu sub sistem penyediaan, sub sistem kebutuhan
konsumsi, dan sub sistem kebutuhan industri.
Simulasi model dinamik ketersediaan ubi kayu merupakan suatu
model yang dirancang dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik
dan diberi nama dengan Cassava.Sim. Model ini dibuat berdasar
identifikasi permasalahan yang dituangkan ke dalam diagram sebab akibat
(causal loop), diformulasikan dalam diagram alir (stock dan flow) dan
disimulasikan dengan menggunakan software Powersim versi 2.5.

2. Konseptualisasi Model
Untuk menganalisa sistem ketersediaan ubi kayu dibuat model
simulasi sesuai dengan formulasi permasalahan guna mempermudah dan
mempercepat keluaran yaitu sebagai arah kebijakan dalam pengambilan
keputusan. Model Cassava.Sim yang dibuat merupakan replikasi dari
sistem nyata yang terbagi menjadi tiga sub sistem (sub model) yaitu sub
model penyediaan ubi kayu, sub model kebutuhan ubi kayu konsumsi, dan
sub model kebutuhan ubi kayu industri.

a. Sub Model Penyediaan


Pada sub model penyediaan ubi kayu dipengaruhi oleh variabel-
variabel antara lain luas areal tanam, alih fungsi lahan (konversi),
perluasan areal tanam (ekstensifikasi), luas panen, dan produktivitas.
Disamping variabel-variabel tersebut, dibutuhkan pula konstanta
sebagai input bagi model sehingga memudahkan dalam modifikasi
model apabila terjadi perubahan-perubahan yang sesuai dengan kondisi
nyata. Konstanta tersebut antara lain persen ekstensifikasi, persen
konversi dan produktivitas ubi kayu.
Hubungan sebab akibat antar variabel pada sub model
penyediaan dapat digambarkan oleh diagram sebab akibat (causal
loops). Bahasa gambar tersebut adalah panah yang saling mengait,
dimana hulu panah mengungkapkan sebab dan ujung panah
mengungkapkan akibat. Jika terjadi hubungan umpan balik (feedback)
antar variabel dalam diagram sebab akibat maka keterkaitan tersebut
disebut sebagai suatu loop.
Pada sub model penyediaan terdapat dua loop yang dapat
disimak pada Gambar 23. Loop pertama menyatakan bahwa semakin
banyak perluasan areal tanam (ekstensifikasi) yang dilakukan untuk
budidaya tanaman ubi kayu, maka semakin banyak areal tanam untuk
budidaya tanaman tersebut. Sedangkan jika semakin banyak areal
tanam, maka semakin banyak perluasan areal tanam. Ini berkaitan
dengan alternatif kebijakan perluasan areal tanam yang dapat diambil
oleh pemerintah seperti kebijakan perluasan areal tanam ubi kayu
secara kontinyu per tahun, per tiga tahun, dan sebagainya. Selanjutnya
hubungan yang terjadi antara variabel perluasan areal tanam dengan
areal tanam dapat dinyatakan sebagai feedback positif yang memiliki
sifat memperkuat (reinforcing/R1).
Perluasan areal tanam dapat dilakukan apabila masih terdapat
potensi lahan yang belum dimanfaatkan untuk budi daya tanaman ubi
kayu. Dalam hal ini potensi lahan merupakan variabel pembatas bagi
kegiatan perluasan areal tanam. Ini dapat dinyatakan dengan loop
tambahan (ballancing/B1) yang dapat dilihat pada loop pertama
(Gambar 23).
+ Penyediaan
ubi kayu
Produksi
Produktivitas + +
Luas panen
Penyusutan
-
luas panen +

Delay

+ + -
Laju Luas areal Laju
R1 B1
ekstensifikasi tanam konversi
+ +
+ -
B1
Gap Potensi
+ lahan

Gambar 23. Diagram sebab akibat sub model penyediaan ubi kayu

Pada loop B1 digunakan variabel perantara yaitu gap yang


menyatakan selisih antara potensi lahan dengan luas areal tanam riil.
Semakin besar luas areal tanam untuk budidaya tanaman ubi kayu,
maka semakin kecil luas gap. Semakin kecil luas gap, maka semakin
kecil perluasan areal tanam yang dapat dilakukan. Atau semakin besar
luas gap, maka semakin besar perluasan lahan yang dapat dilakukan.
Variabel gap pada loop B1 akan menghasilkan hubungan feedback
negatif yang memiliki sifat memperlemah (ballancing/B1).
Sementara itu loop kedua menyatakan bahwa semakin banyak
luas areal tanam yang tersedia untuk budidaya tanaman ubi kayu maka
semakin besar peluang terjadinya alih fungsi lahan (konversi).
Sedangkan jika semakin besar alih fungsi lahan yang terjadi maka
semakin sedikit luas areal tanam untuk budidaya tanaman ubi kayu.
Hubungan yang terjadi pada loop kedua adalah feedback negatif yang
memiliki sifat memperlemah (ballancing/B2).
Selanjutnya luas areal tanam akan memberikan pengaruh positif
terhadap luas panen. Pada proses luas areal tanam menjadi luas panen
terdapat delay (waktu tunggu) yaitu sejak tanaman ubi kayu ditanam
sampai dengan dipanen yang memerlukan waktu rata-rata 9-12 bulan.
Dalam variabel luas panen terdapat penyusutan luas panen yang akan
memberikan pengaruh negatif terhadap luas panen. Hal ini berarti
semakin besar penyusutan luas panen yang terjadi maka semakin
berkurang luas panen. Penyusutan luas panen dapat terjadi sebagai
akibat kerusakan tanaman karena serangan hama/penyakit, bencana
alam, atau penggantian tanaman yang diusahakan.
Luas panen akan memberikan pengaruh positif terhadap
produksi yang berarti semakin besar luas panen ubi kayu, maka
semakin besar produksi ubi kayu yang dihasilkan. Selanjutnya produksi
akan memberikan pengaruh positif terhadap penyediaan ubi kayu yang
berarti semakin banyak produksi ubi kayu, maka semakin banyak ubi
kayu yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan.
Berdasarkan hubungan sebab akibat antar variabel pada sub
model penyediaan di atas dilakukan penterjemahan diagram sebab
akibat ke diagram alir (diagram stock dan flow). Penyusunan struktur
program ini menggunakan perangkat lunak Powersim 2.5 seperti dapat
dilihat pada Gambar 24.

Gambar 24. Diagram alir sub model penyediaan ubi kayu


b. Sub Model Kebutuhan Konsumsi
Pada sub model kebutuhan ubi kayu untuk konsumsi sangat
dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dalam mengkonsumsi ubi kayu
baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahannya seperti
gaplek, tepung gaplek, dan tepung ubi kayu. Dalam hal ini perilaku
masyarakat yang berada di pedesaan dan perkotaan Kabupaten Bogor
diasumsikan sama dengan perilaku masyarakat Provinsi Jawa Barat.
Sehubungan dengan hal tersebut maka kebutuhan konsumsi ubi kayu
Kabupaten Bogor menggunakan data neraca bahan makanan Provinsi
Jawa Barat berdasarkan Susenas tahun 2003, seperti dapat dilihat pada
Lampiran 3.
Pada sub model kebutuhan konsumsi dapat dilihat dinamika
perkembangan penduduk yang sangat berpengaruh terhadap permintaan
ubi kayu untuk konsumsi. Dinamika model penduduk ini akan
menghasilkan output berupa prakiraan jumlah penduduk di masa
mendatang. Dinamika perkembangan penduduk dalam sub model ini
terbentuk melalui interaksi antara variabel Penduduk Kab.Bogor
dengan variabel laju pertumbuhan penduduk yang membentuk sebuah
loop seperti dapat dilihat pada Gambar 25.

Gambar 25. Diagram sebab akibat sub model kebutuhan konsumsi

Hubungan yang terjadi pada loop di atas adalah feedback positif


yang memiliki sifat memperkuat (reinforcing/R2). Ini berarti bahwa
semakin besar laju pertumbuhan penduduk per tahun maka semakin
besar jumlah penduduk tahunan. Di lain pihak, semakin besar jumlah
penduduk per tahun mengakibatkan semakin besar laju pertumbuhan
penduduk per tahun.
Pada loop R2, variabel Penduduk Kab.Bogor menyatakan
jumlah penduduk pada akhir tahun. Sistem registrasi penduduk
Kabupaten Bogor pada dasarnya menggunakan persamaan penduduk
berimbang untuk menghitung jumlah penduduk pada akhir tahun yaitu
dengan menjumlahkan jumlah penduduk pada awal tahun, jumlah
kelahiran, dan jumlah migrasi masuk dikurangi jumlah kematian, dan
jumlah migrasi keluar per tahun. Sedangkan variabel laju pertumbuhan
penduduk menggambarkan perkembangan/pertumbuhan penduduk
tahunan dan dihitung berdasar jumlah penduduk pada akhir tahun.
Berdasarkan sub model kebutuhan konsumsi dapat dilihat pola
konsumsi berdasarkan dinamika penduduk dan rata-rata kebutuhan ubi
kayu untuk konsumsi yang dikonversi dalam satuan ton/kapita/tahun.
Untuk mengetahui kebutuhan konsumsi ubi kayu diperlukan variabel
(konstanta) tingkat konsumsi ubi kayu yang menginputkan rata-rata
konsumsi ubi kayu sesuai dengan kondisi nyata. Variabel tingkat
konsumsi ubi kayu tersebut selanjutnya akan memberikan pengaruh
positif terhadap jumlah ubi kayu_konsumsi. Ini berarti semakin besar
tingkat konsumsi ubi kayu per kapita, maka semakin besar jumlah ubi
kayu yang diperlukan untuk konsumsi.
Berdasarkan hubungan sebab akibat antar variabel pada sub
model konsumsi tersebut dilakukan penterjemahan diagram sebab-
akibat ke dalam diagram alir (diagram stock dan flow) dengan perangkat
lunak Powersim 2.5 seperti dapat dilihat pada Gambar 26.

Gambar 26. Diagram alir sub model kebutuhan konsumsi


c. Sub Model Kebutuhan Industri
Sub model kebutuhan industri dibangun melalui pendekatan
kebutuhan bahan baku pada industri kecil/home industry yang meliputi
industri tapioka, industri keripik dan industri tape. Industri tersebut
merupakan industri primer yang mengolah secara langsung ubi kayu
menjadi produk setengah jadi maupun produk jadi.
Data yang digunakan pada sub model kebutuhan industri adalah
data kebutuhan ubi kayu pada pengrajin tapioka dan industri kecil/home
industry lainnya. Data rata-rata kebutuhan ubi kayu pada pengrajin
tapioka diperoleh secara langsung dari lapang melalui wawancara yang
hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Sedangkan data kebutuhan ubi
kayu pada industri kecil/home industry diperoleh dari data sekunder
Dinas Pertanian Kabupaten Bogor yang dapat dilihat pada Lampiran 5.
Pada sub model kebutuhan industri variabel-variabel yang
berpengaruh terhadap variabel Jumlah ubi kayu_industri adalah jumlah
industri dan kebutuhan ubi kayu bagi industri (Gambar 27). Kedua
variabel ini masing-masing memberikan pengaruh positif terhadap
Jumlah ubi kayu_industri. Ini berarti semakin bertambah jumlah
industri tapioka, keripik, dan tape, maka semakin banyak bahan baku
yang diperlukan untuk proses produksi pada industri tersebut. Di lain
pihak, semakin besar kebutuhan ubi kayu bagi industri akan
mengakibatkan total kebutuhan ubi kayu meningkat.

Gambar 27. Diagram sebab akibat sub model kebutuhan industri


Pada sub model kebutuhan industri digunakan variabel
konstanta yang berfungsi menginputkan besarnya kebutuhan ubi kayu
pada masing-masing industri yang disesuaikan dengan kondisi nyata.
Penterjemahan diagram sebab akibat sub model kebutuhan industri ke
dalam diagram alir (diagram stock dan flow) dengan perangkat lunak
Powersim 2.5 dapat dilihat pada Gambar 28.

Gambar 28. Diagram alir sub model kebutuhan industri

3. Formulasi Model

a. Asumsi Model
Asumsi merupakan pikiran-pikiran dasar yang digunakan
sebagai titik tolak atau alasan dalam menjelaskan suatu fenomena dan
diyakini kebenarannya (Simatupang, 2000). Dalam pembuatan model
dinamik ketersediaan ubi kayu Kabupaten Bogor digunakan beberapa
asumsi antara lain :
1. Pemodelan ketersediaan yang dibangun berlaku untuk kedua jenis
ubi kayu yaitu manis dan pahit.
2. Terjadi alih fungsi lahan atau pergeseran pemanfaatan lahan ubi
kayu menjadi tanaman palawija lain atau untuk keperluan non
pertanian sebesar 2 % per tahun.
3. Permintaan ubi kayu adalah untuk kebutuhan industri dan kebutuhan
konsumsi.
4. Umur panen rata-rata ubi kayu diasumsikan 12 bulan. Hal ini karena
kebutuhan ubi kayu di Kabupaten Bogor sebagian besar digunakan
untuk industri tapioka. Asumsi ini mengacu pada Rukmana (1997),
ubi kayu (varietas dalam) memiliki kadar karbohidrat (pati)
maksimal pada umur tanaman 9-12 bulan.
5. Laju pertumbuhan penduduk dianggap tetap selama periode tahun
1998-2013.
6. Konsumsi rata-rata ubi kayu penduduk Kabupaten Bogor baik dalam
bentuk segar maupun dalam bentuk olahannya diasumsikan sama
dengan konsumsi penduduk Jawa Barat yaitu sebesar 0,008
ton/kapita/tahun (Susenas, 2003, diolah) dan dianggap tetap selama
tahun 1998-2003.
7. Jumlah industri tapioka, industri keripik, dan industri tape dianggap
tetap selama tahun 1998-2013.
8. Periode analisis simulasi dibatasi untuk periode tahun 1998 sampai
dengan tahun 2013.

b. Formulasi Model
Formulasi model merupakan perumusan masalah ke dalam
bentuk matematis yang dapat mewakili sistem nyata. Formulasi model
menghubungkan variabel-variabel yang telah diidentifikasi dalam
model konseptual dengan bahasa simbolik. Formulasi model
Cassava.Sim dalam perangkat lunak Powersim selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 6.
1. Sub Model Penyediaan
Sub model penyediaan dirumuskan dalam persamaan
matematis sebagai berikut :

Penyediaan = Produksi_UK (1)

dimana,
Produksi_UK : jumlah produksi ubi kayu Kabupaten Bogor

Persamaan 1 menyatakan penyediaan sama dengan produksi


ubi kayu. Dalam hal ini penyediaan ubi kayu diasumsikan hanya
berasal dari wilayah Kabupaten Bogor. Sedangkan jumlah ubi kayu
yang masuk ke Kabupaten Bogor dan keluar dari Kabupaten Bogor
tidak dimasukkan dalan pemodelan.

Prod_UK_1 = (L_Panen*Prdktvts_UK)/10 (2)

dimana,
Prod_UK_1 : produksi ubi kayu (ton)
L_Panen : luas panen ubi kayu (ha)
Prdktvts_UK : produktivitas ubi kayu (ku/ha)

Persamaan 2 menyatakan produksi ubi kayu sebagai


perkalian antara luas panen dengan prakiraan produktivitas ubi kayu.
Pada persamaan ini prakiraan produktivitas ubi kayu di masa
mendatang dilakukan dengan teknik simulasi Monte Carlo.
Simulasi Monte Carlo merupakan simulasi probabilistik yang
menggunakan distribusi peluang dengan penarikan contoh secara
acak. Teknik simulasi dengan penarikan contoh secara acak ini
mempunyai kelebihan yaitu dapat mengatur jumlah simulasi yang
akan diulang sehingga diperoleh peubah acak dengan deviasi kecil
(Watson dan Blackstone, 1989).
Parameter
Distribusi
Peluang

Bil
Pembangkitan acak Pembangkitan Cetak Peubah Ya
Acak n=N? Selesai
Bilangan Acak Peubah Acak

tidak
N = n+1

Gambar 29. Diagram simulasi Monte Carlo (Eriyatno, 1998)

Tahap awal simulasi Monte Carlo adalah pengujian


distribusi data untuk menentukan parameter distribusi. Pengujian
distribusi data dilakukan terhadap data aktual produktivitas ubi kayu
setiap kecamatan di Kabupaten Bogor periode tahun 1999 sampai
dengan 2004 dengan uji Kolmogorov Smirnov.
Berdasarkan pengujian Kolmogorov Smirnov menunjukkan
bahwa terdapat kecenderungan bagi data tersebut untuk menyebar
sesuai distribusi normal dengan D sama dengan 0,095. Nilai ini
lebih kecil dari D tabel (0,0964) sehingga dapat disimpulkan Ho
diterima. Berdasarkan angka probabilitas didapatkan angka pada
Asymp.sig adalah 0,053 yang berarti lebih besar dari 0,05 dan
disimpulkan Ho diterima. Ini berarti distribusi data produktivitas
mengikuti distribusi normal.
Menurut Walpole (1995), Sebaran peluang normal
bergantung pada dua parameter dan , yaitu nilai tengah dan
simpangan baku. Berdasarkan pengujian Kolmogorof Smirnov data
produktivitas ubi kayu memiliki nilai dan masing-masing
sebesar 172,07 dan 11,17. Pengujian distribusi data produktivitas
tersebut selengkapnya dapat disimak pada Lampiran 7.
Dalam simulasi Monte Carlo terdapat pembangkitan
bilangan acak dan variabel acak (Gotfried, 1984). Dalam proses
simulasi, pengambilan sampel dengan bilangan acak mencerminkan
suatu sistem yang nyata.
Bil_acak_prdktvts = Bil acak*Prdktvts (3)
Bil_acak = RANDOM (0.8-1.2)
Prdktvts = NORMAL (172.07,11.17)

Pada persamaan 3, pembangkitan bilangan acak dilakukan


dengan menggunakan fungsi RANDOM. Sedangkan pembangkitan
variabel/peubah acak dilakukan dengan menggunakan fungsi
NORMAL. RANDOM (0.8-1.2) menunjukkan pembangkitan
bilangan acak antara 0,8-1,2. Sedangkan NORMAL (172.07,11.17)
menunjukkan variabel acak dengan parameter distribusi dan
masing-masing sebesar 172,07 dan 11,17.
Selanjutnya hasil simulasi produktivitas ubi kayu dengan
simulasi Monte Carlo tersebut digunakan sebagai input dalam sub
model penyediaan. Berikut persamaan 4 merupakan hasil simulasi
model dengan teknik Monte Carlo yang disederhanakan dalam
fungsi GRAPH.

Prdktvts_UK = GRAPH (TIME, 1998, 1, [166,174,169,177,169,159,


173,174,174,183,172,175,179,176,174,167 Min:159; Max:183]) (4)

dimana,
Prdktvts_UK : produktivitas ubi kayu hasil simulasi dengan teknik
Monte Carlo (ku/ha)

Prod_UK_2 = (L_Panen*Prdktvts_per_Ha) (5)

dimana,
Prod_UK_2 : produksi ubi kayu (ton)
L_Panen : luas panen ubi kayu (ha)
Prdktvts_per_Ha : produktivitas ubi kayu per ha melalui
upaya intensifikasi (bagian dari skenario)

Persamaan 5 menyatakan produksi ubi kayu sebagai bagian


dari skenario simulasi. Prod_UK_2 merupakan perkalian antara luas
panen dengan produktivitas ubi kayu. Produktivitas ubi kayu
merupakan konstanta yang menginput dalam model yang
diasumsikan sebagai hasil dari upaya peningkatan produktivitas
(intensifikasi) yang merupakan bagian dari skenario.

L_panen = DELAYMTR (L_tanam, wkt_delay, 1, 10172)


RANDOM (0.05,0.1)*L_tanam (6)

Persamaan 6 menyatakan luas panen ubi kayu sebagai


fungsi delay orde pertama dari luas areal tanam. Waktu delay
(waktu tunggu) luas areal tanam menjadi luas panen diasumsikan
selama 12 bulan. Sedangkan initial delay adalah 10172, ini
menunjukkan luas panen riil pada tahun sebelumnya yaitu luas
panen pada tahun 1997 sebesar 10.172 ha. Pada variabel L_panen
ini terdapat penyusutan luas panen yang dapat mengurangi
besarnya luas panen yaitu diasumsikan sebesar 5%-10% dari luas
areal tanam. RANDOM (0.05,0.1) menyatakan penyusutan luas
panen sebesar 5%-10% dari luas areal tanam.

L_tanam =14796+dt*Lj_perluasan_lhndt*Lj_alih_fungsi_lhn (7)

dimana,
L_tanam : luas areal tanam (ha)
Lj_perluasan_lhn : laju perluasan areal tanam
Lj_alih_fungsi_lhn : laju alih fungsi lahan atau pergeseran areal
tanam

Persamaan 7 menyatakan bahwa luas areal tanam


mengakumulasi perbedaan antara laju perluasan lahan dan laju
pergeseran areal tanam terhadap keadaan L_tanam sebelumnya
yaitu luas tanam pada tahun 1998 (tahun dasar simulasi) sebesar
14.796 ha. Luas areal tanam adalah besarnya luas lahan yang
digunakan untuk tanaman ubi kayu. Perluasan areal tanam adalah
besarnya lahan yang dapat diusahakan untuk menambah luas areal
tanam yang ada. Alih fungsi lahan merupakan istilah untuk
pergeseran lahan tanaman ubi kayu menjadi tanaman non ubi kayu
(palawija lain) dan pemanfaatan lahan bagi keperluan non
pertanian.

Lj_perluasan_lhn = Gap*fktr_perluasan_lhn (8)

dimana,
Lj_perluasan_lhn : laju perluasan areal tanam (ha/th)
fktr_perluasan_lhn : angka perluasan areal tanam (%/th)

Pada persamaan 8 menyatakan laju perluasan lahan sebagai


perkalian antara gap dengan angka perluasan areal tanam. Besarnya
angka perluasan lahan merupakan input data yang dimasukkan
dalam model dan disesuaikan dengan kondisi nyata.

Lj_alih_fungsi_lhn = L_tanam*fktr_alih_fungsi_lhn (9)

dimana,
Lj_alih _fungsi_lhn : laju alih fungsi lahan tanaman ubi kayu
(ha/th)
fktr_alih_fungsi_lhn : angka alih fungsi lahan (%/th)

Laju alih fungsi lahan/pergeseran fungsi lahan tanaman ubi


kayu dinyatakan dengan persamaan 9 sebagai perkalian antara luas
areal tanam riil dengan angka alih fungsi/pergeseran lahan tanaman
ubi kayu. Besarnya angka alih fungsi lahan merupakan input data
yang dimasukkan dalam model dan disesuaikan dengan kondisi
nyata.

Gap = Potensi_lahan L_tanam (10)

dimana,
Gap : luas lahan yang masih potensial dikurangi luas areal
tanam riil (ha)
Potensi_lhn : luas lahan yang masih potensial untuk tanaman ubi
kayu (ha)
L_tanam : luas areal tanam (ha)

Persamaan 10 menyatakan gap yaitu variabel yang


menggambarkan selisih antara luas lahan yang masih potensial
untuk budi daya tanaman ubi kayu dengan luas areal tanam riil.
Luas lahan yang masih potensial untuk tanaman ubi kayu dapat
dilihat pada Lampiran 8.

2. Sub Model Kebutuhan Konsumsi


Sub model kebutuhan konsumsi dirumuskan dengan
persamaan matematis sebagai berikut :

Kbthn_UK_kons = Penduduk_Kab_Bogor*Tingkat_konsumsi (11)

dimana,
Kbthn_UK_kons : kebutuhan/jumlah ubi kayu untuk
konsumsi (ton/th)
Penduduk_Kab_Bogor : jumlah penduduk Kabupaten Bogor (jiwa)
Tingkat_konsumsi : fraksi (tingkat) konsumsi (ton/jiwa/th)

Persamaan 11 merupakan persamaan untuk mengetahui


kebutuhan/jumlah ubi kayu yang diperlukan untuk konsumsi.
Besarnya merupakan perkalian antara jumlah penduduk dengan
tingkat konsumsi. Tingkat konsumsi dihitung berdasarkan data
konsumsi rata-rata ubi kayu dalam bentuk segar dan olahannya
seminggu menurut golongan pengeluaran per kapita sebulan
(Susenas, 2003). Konsumsi ubi kayu tersebut dikonversi dalam
satuan yang sama yaitu dalam bentuk ubi segar dan dikonversi
untuk kebutuhan selama satu tahun. Berdasarkan perhitungan
tersebut diperoleh fraksi konsumsi sebesar 0,008 ton/kapita/tahun.
Tingkat konsumsi merupakan nilai parameter (input) yang
dilambangkan dengan konstanta sehingga perubahan-perubahan
nilai parameter dalam model dapat dilakukan sesuai kondisi nyata.

Penduduk_Kab_Bogor = 2917524+dt*Lj_pertumbuhan (12)


Lj_pertumbuhan = Penduduk_Kab_Bogor*Rate_pertumbuhan

dimana,
Lj_pertumbuhan : laju pertumbuhan penduduk (jiwa/th)
Rate_pertumbuhan : rate pertumbuhan penduduk (%/th)

Persamaan 12 menyatakan bahwa jumlah penduduk


Kabupaten Bogor mengakumulasi keadaan awal jumlah penduduk
pada tahun 1998 sebagai tahun dasar simulasi sebesar 2.917.524
jiwa terhadap laju pertumbuhan penduduk per tahun. Dalam hal ini
laju pertumbuhan penduduk per tahun dipengaruhi oleh rate
pertumbuhan penduduk. Berdasarkan hasil perhitungan
menggunakan persamaan geometris diperoleh rate pertumbuhan
penduduk selama periode tahun 1998-2004 sebesar 2,77% per tahun.
Rate pertumbuhan penduduk ini merupakan input bagi variable
Penduduk_Kab_Bogor dan diasumsikan tetap selama kurun waktu
simulasi. Hasil perhitungan rate pertumbuhan penduduk
selengkapnya dapat disimak pada Lampiran 9.

3. Sub Model Kebutuhan Industri


Sub model kebutuhan industri dirumuskan dengan
persamaan matematis sebagai berikut :

Kbthn_UK_tapioka = Ind_tapioka*Rata2_kbthn_UK_1*300 (13)


Ind_tapioka = 269+dt*Lj_buka_1-dt*Lj_tutup_1 (14)

dimana,
Kbthn_UK_tapioka : kebutuhan ubi kayu untuk industri tapioka
(ton/th)
Rata2_kbthn_UK_1 : rata-rata kebutuhan ubi kayu untuk industri
tapioka (ton/unit/hari)
Ind_tapioka : jumlah industri tapioka (unit)
Lj_buka_1 : laju industri tapioka buka/tumbuh (unit/th)
Lj_tutup_1 : laju industri tapioka tutup (unit/th)

Persamaan 13 menyatakan perkalian antara jumlah industri


tapioka dengan kebutuhan rata-rata ubi kayu yang akan
menghasilkan kebutuhan total ubi kayu untuk industri tapioka.
Besarnya rata-rata kebutuhan ubi kayu pada industri tapioka
dihitung berdasarkan data hasil survei lapang terhadap 30
unit/pengrajin tapioka (Lampiran 4). Selanjutnya kebutuhan rata-
rata ubi kayu per hari tersebut dikonversi menjadi kebutuhan rata-
rata per tahun dengan angka konversi 300 (asumsi 1 tahun 300 hari
produksi). Besarnya kebutuhan ubi kayu di setiap pengrajin tapioka
bervariasi bergantung pada kapasitas produksi mesin, modal
pengrajin, luasan tempat penjemuran tapioka, dan sebagainya.
Persamaan 14 menyatakan jumlah industri (pengrajin)
tapioka mengakumulasi perbedaan jumlah industri yang tumbuh
(buka) dan jumlah industri yang tutup. Berdasarkan hasil
wawancara dengan narasumber diperoleh informasi jumlah unit
pengrajin tapioka hingga tahun 2004 adalah sekitar 269 unit.
Jumlah industri (pengrajin) tapioka sebanyak 269 unit selanjutnya
akan menjadi inisial (keadaan awal) simulasi.

Kbthn_UK_keripik = ind_keripik*Kbthn_UK_2 (15)


ind_keripik = 25+dt*Lj_buka_2-dt*Lj_tutup_2 (16)

dimana,
Kbthn_UK_keripik : kebutuhan total ubi kayu untuk industri
keripik (ton/th)
Kbthn_UK_2 : kebutuhan rata-rata ubi kayu industri
keripik (ton/unit/th)
ind_keripik : jumlah industri keripik ubi kayu/singkong
(unit)
Lj_buka_2 : laju industri keripik singkong buka/tumbuh
(unit/th)
Lj_tutup_2 : laju industri keripik singkong tutup (unit/th)

Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Dinas Perindustrian


(2004) diperoleh jumlah industri keripik singkong sekitar 25 buah,
terdiri atas industri kecil dan home industry. Persamaan 15
menyatakan kebutuhan ubi kayu untuk industri keripik singkong
merupakan perkalian antara jumlah industri yang tercatat dengan
kebutuhan rata-rata ubi kayu pada industri keripik. Kebutuhan ubi
kayu bagi industri keripik merupakan hasil konversi produk jadi
(keripik) ke dalam bentuk ubi kayu segar.
Persamaan 16 menyatakan jumlah industri keripik singkong
mengakumulasi perbedaan jumlah industri keripik singkong yang
tumbuh (buka) dan jumlah industri yang tutup. Jumlah industri
keripik singkong pada keadaan awal simulasi adalah sebanyak 25
unit.

Kbthn_UK_tape = ind_tape*Kbthn_UK_3 (17)


ind_tape = 4+dt*Lj_buka_3-dt*Lj_tutup_3 (18)

dimana,
Kbthn_UK_tape : kebutuhan total ubi kayu untuk industri tape
(ton/th)
Kbthn_UK_3 : kebutuhan rata-rata ubi kayu industri tape
(ton/unit/th)
ind_tape : jumlah industri tape (unit)
Lj_buka_3 : laju industri tape buka/tumbuh (unit/th)
Lj_tutup_3 : laju industri tape tutup (unit/th)

Persamaan 17 menyatakan kebutuhan ubi kayu untuk


industri tape merupakan perkalian antara jumlah industri yang
tercatat dengan kebutuhan rata-rata ubi kayu pada industri tape.
Kebutuhan ubi kayu bagi industri tape merupakan hasil konversi
produk jadi (tape) ke dalam bentuk ubi kayu segar.
Persamaan 18 menyatakan jumlah industri tape
mengakumulasi perbedaan jumlah industri yang tumbuh (buka) dan
jumlah industri yang tutup. Berdasarkan data Dinas Pertanian
(2004) tercatat jumlah industri tape sekitar 4 buah. Jumlah industri
tersebut selanjutnya menjadi inisial (keadaan awal) simulasi.

Kbthn_industri = Kbthn_UK_tapioka + Kbthn_UK_keripik +


Kbthn_UK_tape (19)

Persamaan 19 menyatakan penjumlahan dari kebutuhan ubi


kayu untuk industri tapioka, industri keripik, dan industri tape.
Industri (pengrajin) tapioka merupakan jenis industri hulu yang
mengolah bahan baku ubi kayu menjadi produk setengah jadi
berupa tapioka kasar yang kemudian diolah lagi menjadi tepung
tapioka halus di pabrik pengolahan tepung tapioka. Sedangkan
industri keripik dan industri tape merupakan jenis industri
kecil/industri rumah tangga yang mengolah bahan baku ubi kayu
menjadi produk jadi.

C. SKENARIO DAN HASIL SIMULASI

Pada pemodelan dinamika sistem ketersediaan ubi kayu, rancangan


model, simulasi dan analisis dilakukan dengan mengacu pada tujuan dan
skenario pada setiap model. Beberapa skenario kebijakan yang akan
digunakan dalam analisis ketersediaan ubi kayu antara lain :
1. Skenario tanpa perubahan kebijakan
Model yang dirancang akan menggambarkan kondisi luas areal
tanam ubi kayu selama periode tahun 1998-2004 dimana terjadi
kecenderungan menurun dari 14.796 ha pada tahun 1998 menjadi 10.452
ha pada tahun 2004 (Gambar 30).
Gambar 30. Luas areal tanam ubi kayu dan kecenderungannya

Berdasar kondisi tersebut kemudian diprediksi untuk melihat


situasi di masa mendatang. Dalam model ini diasumsikan tidak terdapat
kegiatan intensifikasi maupun perluasan areal tanam. Situasi ini
menggambarkan ketidak aktifan pemerintah dalam mengatur penyediaan
ubi kayu di Kabupaten Bogor. Dengan model ini dapat dianalisis situasi
dan perilaku sistem penyediaan ubi kayu di Kabupaten Bogor tanpa
adanya intervensi dari pemerintah sebagai akibat perilaku masyarakat
terhadap pendayagunaan ubi kayu saat ini.

2. Skenario kebijakan pendayagunaan sumberdaya lahan (perluasan areal


tanam)
Model yang dirancang akan menjelaskan pengaruh kebijakan
pendayagunaan sumber daya lahan terhadap ketersediaan ubi kayu di
masa mendatang. Skenario ini merupakan salah satu upaya untuk
mengatasi permasalahan yang timbul pada skenario 1. Berdasar hasil
simulasi dapat dilihat perubahan yang terjadi karena pengaruh perluasan
areal tanam maupun karena adanya alih fungsi lahan.

3. Skenario kebijakan peningkatan produktivitas (upaya intensifikasi)


Model yang dirancang menggambarkan pengaruh ketersediaan ubi
kayu terhadap upaya pemerintah dalam meningkatkan produktivitas ubi
kayu melalui upaya intensifikasi. Upaya intensifikasi ini juga merupakan
alternatif pemecahan masalah yang timbul pada skenario 1. Kebijakan
intensifikasi ini dapat dilakukan apabila kebijakan perluasan areal tanam
pada skenario 2 tidak dapat diterapkan.

4. Skenario kebijakan pendayagunaan sumber daya lahan dan peningkatan


produktivitas
Model yang dirancang merupakan gabungan antara skenario 2 dan
skenario 3 dan akan mewakili gambaran perhatian pemerintah terhadap
masalah ketersediaan ubi kayu yaitu melalui pendayagunaan sumber daya
lahan dan upaya intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas. Skenario
4 juga merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah pada skenario 1.

5. Skenario pengaruh peningkatan kebutuhan konsumsi dan industri


Model yang dirancang akan menggambarkan perubahan tingkat
konsumsi ubi kayu dan perubahan kebutuhan rata-rata ubi kayu khususnya
untuk industri tapioka/aci. Melalui model ini dapat dilihat perubahan
kebutuhan ubi kayu terhadap penyediaannya. Skenario 5 ini
menggambarkan dinamika kebutuhan ubi kayu baik untuk keperluan
konsumsi maupun bahan baku industri.

Hasil simulasi model dinamik ini dilengkapi dengan fasilitas interaktif


(dynamic object) berupa slide bar untuk memudahkan dalam menginputkan
atau menjalankan skenario yang ingin ditampilkan. Pada bagian pertama
(Cassava1.Sim) ditampilkan perilaku pertumbuhan penduduk, luas areal
tanam akibat adanya alih fungsi lahan (pergeseran luas areal tanam), dan
produksi ubi kayu. Pada bagian kedua (Cassava2.Sim) ditampilkan perilaku
produksi atau penyediaan ubi kayu dengan beberapa skenario dan perilaku
kebutuhan ubi kayu untuk konsumsi dan industri. Tampilan model
Cassava1.Sim dan Cassava2.Sim masing-masing dapat dilihat pada Lampiran
10 dan Lampiran 11.
Perilaku dinamis bersumber dari struktur model dan dikenali dari hasil
simulasi model. Dalam hal ini hasil simulasi dapat digunakan untuk
memahami perilaku gejala atau proses serta mengetahui kecenderungannya di
masa mendatang melalui struktur sebab akibat model. Menurut Sterman
(2004) terdapat beberapa macam perilaku dinamis dari model dasar antara lain
exponential growth, goal seeking, dan oscillation. Masing-masing dari
perilaku dinamis ini dibentuk oleh struktur umpan balik (feedback structure)
yang sederhana. Growth muncul dari feedback positif, goal seeking muncul
dari feedback negatif, dan oscillation muncul dari feedback negatif dengan
waktu delay dalam loop. Perilaku dinamis dari model lain yang dapat muncul
antara lain S-shaped growth, S-shaped growth with overshoot and oscillation,
dan overshoot and collapse, muncul dari interaksi non linier dari struktur
dasar umpan balik. Perilaku dari model dasar dalam sistem dinamis dapat
disimak pada Gambar 31.

Gambar 31. Perilaku model dasar sistem dinamis (Sterman, 2004)

Berdasarkan struktur model dan skenario model yang telah disebutkan


sebelumnya diperoleh hasil simulasi sesuai dengan tujuan pemodelan adalah
sebagai berikut
1. Skenario tanpa perubahan kebijakan
Pada skenario tanpa perubahan kebijakan dapat dilihat perubahan
yang terjadi selama kurun waktu 15 tahun apabila diasumsikan beberapa
komponen tidak mengalami perubahan, seperti tingkat konsumsi ubi kayu,
kebutuhan ubi kayu untuk industri, dan alih fungsi lahan. Pada skenario
ini rata-rata konsumsi ubi kayu baik dalam bentuk segar maupun dalam
bentuk olahannya adalah 0,008 ton/kapita/tahun (Susenas (2003), diolah).
Besarnya rata-rata konsumsi ubi kayu tersebut diasumsikan tetap selama
tahun 1998-2013. Sementara itu, kebutuhan ubi kayu untuk industri dilihat
berdasar kebutuhan rata-rata industri hulu (primer) yaitu industri
kecil/industri rumah tangga seperti industri tapioka, industri keripik, dan
industri tape. Jika diasumsikan terjadi pergeseran/alih fungsi lahan
tanaman ubi kayu baik untuk keperluan tanaman palawija lain maupun
keperluan non pertanian secara kontinyu sebesar 2% per tahun, maka pola
kecenderungan dari skenario 1 ini dapat dilihat pada Gambar 32.

Gambar 32. Hasil simulasi pada skenario tanpa perubahan kebijakan


. Gambar 32. Hasil simulasi pada skenario tanpa perubahan kebijakan
(lanjutan)

Berdasar hasil simulasi di atas terlihat bahwa produksi ubi kayu


berfluktuatif setiap tahunnya dan memiliki kecenderungan menurun
sebagai akibat adanya pergeseran areal tanam ubi kayu. Sementara itu
kebutuhan ubi kayu baik untuk keperluan konsumsi maupun industri
mengalami pertumbuhan (growth). Produksi ubi kayu yang fluktuatif
dapat menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan ubi kayu sesuai
jumlahnya. Pada Gambar 32 terlihat bahwa neraca ketersediaan ubi kayu
mengalami surplus pada pertengahan tahun 1998 sampai dengan tahun
2008. Ini berarti bahwa penyediaan atau produksi ubi kayu hanya mampu
memenuhi kebutuhan ubi kayu hingga tahun 2008.
Pada tahun 2003 dan tahun 2008 terlihat bahwa kebutuhan dan
penyediaan ubi kayu bertemu pada satu titik, artinya neraca ubi kayu nol
atau produksi dapat memenuhi kebutuhan. Sedangkan pada tahun 2008
sampai dengan tahun 2013 terlihat bahwa grafik produksi ubi kayu berada
di bawah grafik kebutuhan, artinya neraca ubi kayu defisit atau dapat
dikatakan bahwa produksi sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan.
Hasil simulasi produksi dan kebutuhan ubi kayu untuk konsumsi
dan industri (skenario 1) secara kuantitatif disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil simulasi skenario tanpa perubahan kebijakan

2. Skenario kebijakan pendayagunaan sumberdaya lahan


Skenario kedua adalah skenario kebijakan pendayagunaan sumber
daya lahan untuk memperluas areal tanam ubi kayu secara kontinyu
sebesar 1% per tahun. Upaya perluasan areal tanam tersebut masih dapat
dilakukan di wilayah Kabupaten Bogor mengingat masih terdapat jumlah
lahan yang sesuai dan potensial untuk tanaman ubi kayu yaitu seluas
57.164 ha (Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, 2000 di dalam Nurmalawati,
2001). Luas lahan tersebut merupakan total luas tegalan di setiap
kecamatan yang dianalisa berdasarkan karakteristik kesesuaian tanaman
ubi kayu dan karakteristik wilayah/lahan yang ada dan selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 8.
Pada simulasi model ini, peningkatan luas areal tanam yang tetap
setiap tahun akan menyebabkan penyediaan atau produksi ubi kayu
meningkat pula. Pada Gambar 33 dapat dilihat bahwa dengan peningkatan
luas areal tanam sebesar 1% per tahun mengakibatkan penyediaan ubi
kayu meningkat sehingga dapat memenuhi kebutuhan ubi kayu selama 10
tahun ke depan. Selanjutnya neraca ketersediaan ubi kayu yang surplus
setiap tahunnya dapat menjadi pertimbangan bagi pengembangan
agroindustri berbasis ubi kayu maupun untuk memenuhi permintaan
ekspor.
Gambar 33. Hasil simulasi skenario dengan upaya perluasan areal
tanam 1% per tahun

Selanjutnya hasil simulasi tersebut secara kuantitatif dapat disimak


pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil simulasi skenario dengan perluasan areal tanam 1%


per tahun

Disamping kebijakan pendayagunaan sumber daya lahan secara


kontinyu per tahun, dapat pula dirancang suatu kebijakan pendayagunaan
sumber daya lahan secara periodik (berkala) seperti kebijakan perluasan
areal tanam per dua tahun, per tiga tahun, dan per lima tahun. Sehubungan
dengan hal tersebut, pada skenario kedua dikembangkan kebijakan
perluasan areal tanam sebesar 1% secara berkala per dua tahun.
Simulasi model dilakukan terhadap kebijakan perluasan areal
tanam sebesar 1% secara berkala per dua tahun dengan fungsi PULSE
(Gap*Fktr_knvrs,1998,2) dan diasumsikan berlaku mulai dari tahun 1998
sebagai tahun dasar simulasi. Hasil simulasi (Gambar 34) menunjukkan
bahwa pengambilan kebijakan pendayagunaan sumber daya lahan
(perluasan areal tanam) sebesar 1% per dua tahun mampu menyediakan
produksi ubi kayu yang masih dapat memenuhi kebutuhan ubi kayu
hingga 10 tahun ke depan. Sedangkan pada tahun berikutnya (tahun 2015)
produksi ubi kayu tersebut sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan ubi
kayu (Tabel 8).

Gambar 34. Hasil simulasi skenario dengan upaya perluasan areal


tanam 1% per dua tahun
Tabel 8. Hasil simulasi skenario dengan perluasan areal tanam 1%
per dua tahun

3. Skenario kebijakan dengan peningkatan produktivitas (upaya intensifikasi)


Skenario ketiga adalah skenario dengan peningkatan produktivitas
tanaman ubi kayu dengan upaya intensifikasi. Peningkatan produktivitas
dan produksi ubi kayu dapat dilakukan melalui upaya konkrit yaitu
penerapan teknologi tepat guna yang berdaya saing dan berkelanjutan serta
dapat diterapkan secara mudah oleh petani.
Penerapan teknologi pada tingkat usaha tani dapat dilakukan
dengan teknologi budidaya antara lain penelitian dan pengembangan
teknologi untuk program jangka menengah dan panjang yang diarahkan
pada penggunaan varietas unggul berpotensi hasil tinggi, berumur pendek
(varietas genjah) 5-7 bulan, dan tahan hama penyakit sehingga diperoleh
nilai hasil yang tinggi dan berdampak pada peningkatan pendapatan petani.
Untuk mendapatkan produktivitas ubi kayu yang tinggi dapat dilakukan
dengan membuat penangkaran benih sehingga dapat diperoleh bibit yang
bermutu tinggi dari varietas ubi kayu yang telah ada (Hafsah, 2003).
Teknologi pemupukan yang efisien diupayakan untuk peningkatan
produktivitas lahan dan kesuburan tanah dengan menggunakan pupuk
anorganik maupun pupuk organik (pupuk kandang, mulsa, jerami, dan
sebagainya). Disamping itu, peran penyuluh sangat diperlukan dalam
memperkenalkan teknologi budidaya yang telah dikembangkan dan cara
pemakaiannya kepada petani.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Kabupaten Bogor (2004, diolah),
produktivitas rata-rata ubi kayu dari beberapa varietas yang ditanam di
Kabupaten Bogor selama periode tahun 1999-2004 mencapai 17,20 ton/ha.
Pada skenario ini diasumsikan dapat dilakukan peningkatan produktivitas
rata-rata menjadi 19 ton/ha.
Peningkatan produktivitas tersebut masih dapat dilakukan
mengingat potensi hasil dari masing-masing varietas unggul dapat
mencapai 22 ton/ha (varietas Adira 1); 21 ton/ha (varietas Adira 2); 35
ton/ha (varietas Adira 4); dan 20 ton/ha (varietas Mangi) (Hafsah, 2003).
Peningkatan produktivitas dengan menanam varietas unggul dapat
dilakukan dengan memperhatikan kesesuaian lahan, pola tanam pada suatu
daerah, dan preferensi penggunaan varietas ubi kayu yang disesuaikan
untuk keperluan konsumsi maupun industri.
Berdasarkan hasil simulasi (Gambar 35) terlihat bahwa perubahan
produksi melalui upaya peningkatan produktivitas rata-rata ubi kayu
sebesar 19 ton/ha tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan ubi kayu
sampai tahun 2011. Sehingga diperlukan keterpaduan upaya untuk dapat
memenuhi kebutuhan ubi kayu. Selanjutnya hasil simulasi skenario
dengan kebijakan peningkatan produktivitas ubi kayu secara kuantitatif
dapat dilihat pada Tabel 9.
Gambar 35. Hasil simulasi dengan skenario upaya peningkatan
produktivitas (intensifikasi)

Tabel 9. Hasil simulasi dengan skenario upaya peningkatan produktivitas


(intensifikasi)

4. Skenario kebijakan pendayagunaan sumber daya lahan dan peningkatan


produktivitas

Skenario keempat merupakan gabungan skenario 2 dan skenario 3


yaitu dengan kebijakan pendayagunaan lahan (perluasan areal tanam)
sebesar 0,5% per tahun dan upaya intensifikasi yang dapat menghasilkan
produktivitas rata-rata sebesar 19 ton/ha. Adanya upaya perluasan areal
tanam sebesar 0,5% dan peningkatan produktivitas rata-rata 19 ton/ha ini
telah mampu memenuhi kebutuhan ubi kayu hingga 10 tahun ke depan
(Gambar 36).

Gambar 36. Hasil simulasi dengan skenario kebijakan pendayagunaan


lahan dan peningkatan produktivitas

Untuk mengatasi kelebihan produksi ubi kayu dapat dilakukan


beberapa alternatif antara lain melakukan penjualan ubi kayu ke luar
wilayah Bogor sehingga akan menambah pendapatan daerah. Disamping
itu, kelebihan produksi ubi kayu dapat diarahkan pada pengembangan
produk-produk pangan tradisional, seperti kerupuk, ceriping, dan produk-
produk makanan jajanan dan camilan seperti lemet, combro dengan teknik
pembuatan yang lebih baik dengan meningkatkan mutu dan penampilan
produk sehingga potensi pemasarannya diharapkan menjadi lebih besar.
Selanjutnya kelebihan produksi tersebut juga dapat membuka peluang bagi
pengembangan agroindustri ubi kayu dalam jangka waktu menengah/
panjang antara lain usaha diversifikasi pangan, pengembangan produk
pangan dan non pangan, dan sebagainya.
Hasil simulasi dengan skenario kebijakan pendayagunaan lahan
dan peningkatan produktivitas secara kuantitatif disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil simulasi dengan skenario kebijakan pendayagunaan lahan
dan peningkatan produktivitas

5. Skenario dengan pengaruh peningkatan kebutuhan konsumsi dan industri


Pada model yang dirancang diasumsikan terjadi perubahan
kebutuhan ubi kayu bagi industri dan peningkatan konsumsi sebagai
akibat berhasilnya diversifikasi hasil olahan ubi kayu. Jika diasumsikan
kebutuhan rata-rata ubi kayu untuk konsumsi dan industri tapioka
meningkat menjadi 0,009 ton/kapita/tahun dan 2,5 ton/unit/hari maka
kebutuhan ubi kayu keseluruhan akan meningkat pula. Akibat adanya
perubahan tersebut maka diperkirakan produksi ubi kayu tidak dapat
memenuhi kebutuhan ubi kayu bagi industri dan konsumsi (seperti dapat
dilihat pada neraca kebutuhan ubi kayu_1). Oleh karena itu perlu
dilakukan upaya pendayagunaan sumber daya lahan dan peningkatan
produktivitas. Untuk memenuhi kebutuhan ubi kayu yang meningkat
tersebut dapat dilakukan upaya perluasan areal tanam sebesar 1% per
tahun dan peningkatan produktivitas rata-rata sebesar 19 ton/ha.
Berdasarkan hasil simulasi dapat dilihat bahwa dengan upaya tersebut
telah dapat memenuhi kebutuhan ubi kayu yang meningkat (neraca
kebutuhan ubi kayu_2). Hasil simulasi selengkapnya dapat dilihat pada
Gambar 37.
Gambar 37. Hasil simulasi dengan skenario pengaruh perubahan
tingkat kebutuhan ubi kayu

Selanjutnya hasil simulasi dengan skenario pengaruh perubahan


tingkat kebutuhan ubi kayu secara kuantitatif disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil simulasi dengan skenario pengaruh perubahan tingkat
kebutuhan ubi kayu

D. VALIDASI MODEL

Validasi model Cassava.Sim dilakukan dengan membandingkan


keluaran model (hasil simulasi) dengan data aktual yang diperoleh dari sistem
nyata (quantitative behaviour pattern comparison). Validasi model dilakukan
terhadap data aktual yang tersedia meliputi data kependudukan, produksi ubi
kayu, dan produktivitas ubi kayu.
Berdasarkan hasil simulasi, jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada
tahun 2004 adalah sebesar 3.444.968 jiwa. Sedangkan data aktual penduduk
Kabupaten Bogor pada tahun 2004 adalah sebesar 3.437.083 jiwa.
Perhitungan uji MAPE (Mean Absolute Percentage Error) yang dilakukan
terhadap data jumlah penduduk Kabupaten Bogor tahun 1998-2004 diperoleh
nilai sebesar 0,4%. Ini berarti bahwa terdapat penyimpangan sebesar 0,4%
antara hasil simulasi dengan data aktual. Berdasarkan kriteria ketepatan model
nilai MAPE tersebut adalah lebih kecil dari 5% sehingga dapat disimpulkan
model sangat tepat dan model dapat diterima. Perhitungan validasi penduduk
tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12a.
Berdasarkan hasil simulasi, produktivitas ubi kayu pada tahun 2004
menunjukkan nilai sebesar 173 ku/ha. Sedangkan data aktual produktivitas
ubi kayu pada tahun 2004 adalah sebesar 167 ku/ha. Perhitungan dengan uji
MAPE terhadap data produktivitas ubi kayu tahun 1998-2004 diperoleh nilai
sebesar 5,3%. Nilai tersebut lebih besar dari 5% dan kurang dari 10%
sehingga dapat disimpulkan bahwa model tepat dan dapat diterima.
Perhitungan validasi produktivitas ubi kayu tersebut selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 12b.
Hasil simulasi produksi ubi kayu pada tahun 2004 menunjukkan nilai
sebesar 209.079 ton. Sedangkan data aktual produksi ubi kayu pada tahun
2004 adalah sebesar 192.357 ton. Berdasarkan perhitungan uji MAPE
terhadap data produksi ubi kayu tahun 1998-2004 diperoleh nilai sebesar
8,4%. Nilai tersebut lebih besar dari 5% dan kurang dari 10% sehingga dapat
disimpulkan bahwa model tepat dan dapat diterima. Perhitungan validasi
produksi ubi kayu tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12c.

E. SARAN KEBIJAKAN

Saran kebijakan yang dapat menjadi pertimbangan dalam usaha


menumbuhkembangkan sentra-sentra produksi ubi kayu, pengembangan
agroindustri, serta sebagai alternatif ketahanan pangan non beras di Kabupaten
Bogor adalah sebagai berikut

1. Peningkatan produktivitas/produksi ubi kayu (intensifikasi)


Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
produktivitas/produksi ubi kayu antara lain melalui penggunaan varietas
unggul, pengaturan pola tanam dan waktu tanam sesuai ketersediaan air,
pemupukan berimbang, dan konservasi lahan sehingga kelestarian lahan
tetap terjaga.
a. Penggunaan varietas unggul
Penggunaan varietas unggul berpotensi hasil tinggi dan berumur
genjah (pendek) perlu dilakukan untuk penganekaragaman varietas dan
peningkatan produksi ubi kayu. Penggunaan varietas ubi kayu pada
umumnya berbeda untuk keperluan konsumsi maupun industri. Ubi
kayu untuk konsumsi antara lain dikehendaki umbinya memiliki rasa
enak/tidak pahit, warna umbi kuning/putih, dan memiliki kadar HCN
(racun) rendah <50 mg/kg. Sedangkan untuk industri antara lain
umbinya harus memiliki kandungan pati tinggi, boleh pahit dengan
kadar HCN >100 mg/kg.
Berikut Tabel 12 adalah varietas-varietas unggul ubi kayu yang
dapat menjadi pertimbangan untuk meningkatkan produksi, disamping
varietas ubi kayu yang sudah ada atau telah ditanam.

Tabel 12. Varietas ubi kayu yang telah dilepas


Tahun Potensi Kadar Kadar
Umur
Varietas pele- Warna hasil Rasa tepung HCN
(bulan)
pasan (ton/ha) (%) (mg/kg)
1. Gading - 7-8 Putih 15-20 Manis - < 45
2. Valenca - 8 Putih 15-20 Manis - < 45
3. SPP - 10-11 Putih 20-30 Pahit - > 100
4. Bogor - 8-10 Putih 20-30 Pahit - > 100
5. Muara - 7-10 Putih 20-30 Pahit - > 100
6. Adira 1 1978 7-10 Kuning 22 Sedang 45 27,5
7. Adira 2 1978 8-12 Putih 21 Sedang 41 124
8. Adira 4 1986 10,5-11,5 Putih 35 Agak pahit 18-22 68
9. Malang 1 1992 9-10 Putih- 36,5 Manis 32-36 < 40
kekuningan
10. Malang 2 1992 8-10 Kuning muda 31,5 Manis 32-36 < 40
11. Darul- 1998 8-12 Putih 102 Kenyal- 25-31,5 < 40
Hidayah seperti ketan
12. Uj 3 2000 8-10 Putih- 20-35 Pahit 20-27 -
kekuningan 19-30 -
13. Uj 5 2000 9-10 Putih 25-38 - - -
14. Malang 4 2001 9 Putih 39,7 - - -
15. Malang 6 2001 9 Putih 36,4 - - -
Sumber : Balitkabi Malang (2001) di dalam Hafsah (2003)

Menurut Kelompok Peneliti Umbi-umbian (2000), untuk


mendapatkan bibit unggul dengan enam tepat (tepat jenis, jumlah, mutu,
waktu, tempat, dan harga) antara lain dapat dilakukan : (1) memilih
varietas unggul berdasarkan preferensi dan kesesuaian agroekosistem,
(2) membentuk penangkar benih secara berkelompok maupun individu,
dan (3) menyediakan lokasi khusus pembibitan untuk menghindari
penyimpanan bibit yang menyebabkan penurunan mutu bibit.
Batang ubi kayu yang baik untuk dijadikan bibit/stek antara lain
bagian pangkal batang dengan panjang 20-25 cm; tanaman berumur
cukup tua, 10-12 bulan; pertumbuhan normal dan sehat; batang telah
berkayu, berdiameter 2,5 cm, dan lurus; belum tumbuh tunas-tunas
baru (Rukmana, 1997).

b. Pengaturan waktu tanam dan pola tanam


Waktu tanam yang dianjurkan untuk menanam ubi kayu yang
disesuaikan dengan ketersediaan air untuk pertumbuhan vegetatif 4-5
bulan antara lain : (1) pada daerah beriklim basah sepanjang tahun
(bulan basah > 4 bulan), dapat ditanam sepanjang tahun; (2) pada
daerah yang bulan keringnya > 4 bulan berturut-turut, dapat ditanam
pada musim hujan; (3) di tanah tegalan penanaman dilakukan pada
awal musim hujan (Oktober-November) atau akhir musim hujan; dan
(4) di sawah tadah hujan, penanaman dilakukan pada akhir musim
hujan (Maret-April) setelah penanaman padi (Hafsah, 2003).
Pola tanam ubi kayu umumnya terdiri atas pola tanam
monokultur dan tumpangsari. Dalam usaha meningkatkan produktivitas
ubi kayu pada lahan kering sekaligus konservasi kesuburan tanah, pola
bertanam tumpangsari dengan tanaman lain dapat dilakukan. Pola
bertanam yang serasi untuk stabilisasi makanan dan pendapatan petani
di Jawa Barat yang dianjurkan (Rukmana, 1997) adalah sebagai berikut

Jagung ditanam dengan jarak tanam 300 cm x 50 cm dan padi


gogo 30 cm x 15 cm. Pemupukan untuk kedua jenis tanaman ini
menggunakan urea 75 kg, TSP 40 kg, dan KCl 25 kg per ha. Kedelai
ditanam dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm dan ubi kayu 300 cm x 50
cm. Pupuk yang digunakan untuk tanaman kedelai dan ubi kayu terdiri
atas urea 125 kg, TSP 75 kg, dan KCl 75 kg per ha. Pada pola tanam
tumpangsari, pemberian pupuk harus sebanding dengan banyaknya
jenis tanaman yang ditumpangsarikan.
c. Pemupukan sesuai dosis anjuran
Hasil penelitian di Puslitbang Tanaman Pangan menunjukkan
bahwa dengan pemupukan dapat meningkatkan hasil ubi kayu 61,28%-
404,38% (Rukmana, 1997). Jenis dan dosis pupuk anjuran pada
tanaman ubi kayu dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Jenis dan dosis pemupukan pada tanaman ubi kayu
Dosis pemupukan Saat tanam Umur 2-3 bulan
A. Dosis Umum
1. N = 60-90 kg N/ha 1/3 dosis N 2/3 dosis N
(133-200 kg urea) (44-66 kg urea) (89-134 kg urea)
2. P = 30-50 kg P2O5/ha Seluruh dosis P -
(60-100 kg TSP) (60-100 kg TSP)
3. K = 60-100 kg K2O/ha 1/3 dosis K 2/3 dosis K
(120-200 kg KCl) (40-66 kg KCl) (80-234 kg KCl)

B. Dosis di Jawa Barat


1. Urea 100-250 kg/ha 1/3 dosis urea 2/3 dosis N
(33-83 kg urea) (67-167,5 kg urea)
2. TSP 50-200 kg/ha Seluruh dosis P -
(50-200 kg TSP)
3. KCl 50 kg/ha (17 kg KCl) (33 kg KCl)
Sumber : R Sunaryo D (1978) dan BIP Jawa Barat (1988) di dalam Rukmana (1997)

Pemupukan susulan (kedua) dilakukan pada waktu tanaman ubi


kayu berumur 2-3 bulan dengan pupuk N (urea) dan K (KCl), masing-
masing 2/3 dosis anjuran. Pemupukan tersebut pada dasarnya dapat
disesuaikan dengan kondisi daerah (spesifik lokasi).
Untuk meningkatkan produksi ubi kayu yang optimal,
disamping pemberian pupuk NPK juga harus diberi pupuk Ca atau
dilakukan pengapuran dan pemberian pupuk organik. Dosis efisien
untuk pupuk anorganik dan organik tersebut adalah urea 100-200 kg/ha,
TSP 50-100 kg/ha, KCl 50-100 kg/ha dan pupuk kandang 3-5 ton/ha
(Hafsah, 2003).

2. Perluasan areal tanam (ekstensifikasi)


Usaha-usaha perluasan areal tanam ubi kayu dapat dilakukan
dengan memanfaatkan lahan kering (tegalan) yang potensial di setiap
kecamatan dan memenuhi persyaratan bagi pengembangan budi daya ubi
kayu serta belum dimanfaatkan sebelumnya. Dalam usaha perluasan areal
tanam, pengapuran lahan dapat dilakukan untuk mengurangi keasaman
tanah yang memiliki pH < 4,0-8,5 sehingga lahan dapat memenuhi
karakteristik tanaman ubi kayu.
Perluasan areal tanam secara keseluruhan dapat dilakukan sebesar
1% per tahun dari total luas lahan (tegalan) potensial. Melalui upaya
tersebut diharapkan produksi ubi kayu mampu memenuhi kebutuhan ubi
kayu hingga 10 tahun ke depan. Perluasan areal tanam dapat dilakukan
dengan memperhatikan kondisi agroekosistem wilayah, permintaan pasar
terhadap produk-produk olahan ubi kayu, dan jaminan harga ubi kayu
yang layak.

3. Pengembangan agroindustri
Pengembangan agroindustri ubi kayu dapat meningkatkan
penyerapan produksi dari petani, mendorong usaha diversifikasi pangan,
substitusi komoditas impor seperti terigu, peningkatan nilai tambah, dan
membuka peluang ekspor produk ubi kayu, serta perbaikan gizi
masyarakat.
Pengembangan pada industri skala kecil/pedesaan dapat diarahkan
pada pengembangan produk-produk tradisional seperti tape, kerupuk,
ceriping, kue-kue tradisional dengan pendidikan dan pelatihan cara
pengolahan ubi kayu yang lebih baik untuk meningkatkan mutu,
penampilan sehingga pemasarannya menjadi lebih besar.
Pengembangan pada industri skala menengah dan besar diarahkan
pada pengembangan produk-produk pangan dan non pangan yang belum
pernah ada sebelumnya seperti tepung ubi kayu (tepung kasava), gaplek,
tepung gaplek, HFS (high fructose syrup), alkohol, dekstrin, dan lain-lain
dengan pemanfaatan teknologi canggih.
Pada tingkat konsumsi, sasaran pemecahan masalah adalah
mengubah citra ubi kayu sebagai makanan konsumen miskin menjadi
makanan yang bercitra tinggi. Gizi produk ubi kayu dapat ditingkatkan
dengan penambahan tepung yang terbuat dari komoditas pangan lainnya
(tepung komposit). Selain itu, nilai gizi olahan ubi kayu dapat pula
ditingkatkan dengan penambahan protein seperti kedelai, ikan, dan sumber
protein lainnya.

4. Kelembagaan/kemitraan dan Permodalan


Peran Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Pertanian sangat
diperlukan untuk memediasi dan memfasilitasi terbentuknya kelembagaan
dan organisasi petani dalam rangka pemberdayaan petani. Hafsah (2003)
mengemukakan bahwa kelembagaan petani ubi kayu dapat diarahkan
untuk membentuk kelompok tani dan apabila kelompok tani berkembang,
kelompok tersebut dapat bergabung dalam Gabungan Kelompok Tani
(GAPOKTAN) selanjutnya membentuk Koperasi Tani (KOPTAN) atau
koperasi Agribisnis. Pemberdayaan organisasi petani tersebut antara lain
dilakukan melalui penyuluhan, kursus, pelatihan magang, dan studi
banding.
Selanjutnya Koperasi Tani atau Asosiasi Petani ubi kayu yang
terbentuk diharapkan dapat berperan dalam menjembatani kepentingan
petani dengan pihak industri hulu dan hilir, mewujudkan kemitraan usaha,
meningkatkan posisi tawar dengan lembaga bisnis lainnya, saling
berkomunikasi untuk mendapatkan informasi teknologi, sarana produksi,
pembiayaan dan pemasaran, dan lain-lain.
Terciptanya kelembagaan/asosiasi petani yang kokoh dan kompak
selanjutnya menjadi modal dalam membina hubungan kemitraan antara
petani/kelompok tani dengan industri pengolahan ubi kayu (pengrajin,
pabrik pengolahan tepung tapioka, dan lain-lain) yang saling
menguntungkan. Model kemitraan antara petani ubi kayu yang tergabung
dalam wadah kelompok tani/koperasi yang sudah kokoh dengan
perusahaan/pihak agroindustri dapat dilihat pada Gambar 38.

Pada model kemitraan ini petani bertanggung jawab dalam


kegiatan usaha tani meliputi penyediaan lahan, tenaga kerja, penerapan
teknologi budidaya yang dianjurkan, dan menjual hasil produksi ke pihak
agroindustri. Sedangkan perusahaan/pihak agroindustri menyediakan
bimbingan saprodi, bimbingan teknis, dan membeli ubi kayu yang
dihasilkan petani sesuai dengan harga kesepakatan yang telah ditetapkan
bersama. Untuk meningkatkan upaya kemitraan tersebut maka peran
pemerintah daerah dan masyarakat ubi kayu sangat diperlukan dalam
melakukan pembinaan dan bertindak sebagai fasilitator, mediator, dan
regulator untuk menciptakan iklim berusaha yang kondusif (Hafsah, 2003).

Gambar 38. Model kemitraan ubi kayu (Hafsah, 2003)

Sementara itu, permodalan merupakan salah satu faktor penting


dalam kegiatan produksi ubi kayu maupun perluasan areal tanam.
Penumbuhan sumber-sumber modal yang mudah diakses oleh para pelaku
ekonomi mutlak diperlukan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar
modal tersedia dan fleksibel dalam penyalurannya (Hafsah, 2003) adalah :
(1) tersedianya kredit yang murah dan mudah bagi petani untuk membeli
sarana produksi/peralatan pertanian seperti kredit usaha tani (KUT), kredit
usaha kecil (KCK), dan lain-lain; (2) tersedianya kredit yang murah dan
mudah untuk membiayai dan investasi bagi industri pengolahan; (3)
tersedianya bank khusus yang secara konsisten mendukung permodalan
usaha agrobisnis seperti Bank Pertanian, ataupun Bank Agribisnis, Bank
Pembangunan Daerah, dan sumber-sumber pembiayaan dari lembaga
keuangan lainnya, dengan menyesuaikan pola perkreditannya dengan
karakteristik agrobisnis sehingga diharapkan bank tersebut dapat
mendukung keberhasilan pengembangan agrobisnis ubi kayu; (4)
menumbuhkembangkan kelembagaan dan sumber-sumber permodalan di
tingkat masyarakat melalui pengoptimalan sumberdaya dan potensi yang
dimiliki.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Model sistem dinamis yang dikembangkan telah dapat


mendeskripsikan kondisi ketersediaan ubi kayu baik sebagai bahan baku
industri maupun konsumsi dengan berbagai skenario kebijakan. Hasil simulasi
terhadap model yang dikembangkan menunjukkan bahwa jika terjadi
pergeseran luas areal tanam ubi kayu secara kontinyu sebesar 2% per tahun
dengan tingkat kebutuhan konsumsi dan industri tetap, maka produksi ubi
kayu hanya mampu memenuhi kebutuhan ubi kayu hingga tahun 2008. Jika
tidak terdapat perubahan kebijakan maka pada tahun 2009 produksi ubi kayu
tidak dapat mencukupi kebutuhan ubi kayu sebanyak 4.317,48 ton.
Beberapa skenario kebijakan untuk mengatasi masalah ketersediaan
ubi kayu antara lain : (1) kebijakan pendayagunaan sumber daya lahan sebesar
1% per tahun yang mampu memenuhi kebutuhan ubi kayu hingga 10 tahun ke
depan, (2) kebijakan peningkatan produktivitas rata-rata ubi kayu melalui
upaya intensifikasi sebesar 19 ton/ha yang hanya mampu memenuhi
kebutuhan ubi kayu hingga tahun 2011, (3) kebijakan pendayagunaan sumber
daya lahan disertai dengan peningkatan produktivitas rata-rata ubi kayu
masing-masing sebesar 0,5% per tahun dan 19 ton/ha yang juga mampu
memenuhi kebutuhan ubi kayu hingga 10 tahun ke depan.
Pengembangan skenario dilakukan terhadap perubahan tingkat
konsumsi ubi kayu menjadi 0,009 ton/kapita/tahun dan peningkatan kebutuhan
rata-rata ubi kayu (industri tapioka) menjadi 2,5 ton/unit/hari menyebabkan
kebutuhan total ubi kayu pun meningkat. Upaya yang dapat diambil untuk
mengatasi perubahan kebutuhan tersebut adalah dengan pendayagunaan
sumber daya lahan dan peningkatan produktivitas masing-masing sebesar 1%
per tahun dan 19 ton/ha. Upaya ini juga mampu memenuhi kebutuhan ubi
kayu selama 10 tahun ke depan.
Secara umum kebijakan yang paling efektif dalam menanggapi
permasalahan ketersediaan ubi kayu adalah melalui upaya perluasan areal
tanam ubi kayu sebesar 0,5% per tahun disertai dengan upaya peningkatan
produktivitas rata-rata (intensifikasi) sebesar 19 ton/ha.

B. SARAN

Pengembangan model dapat dilakukan dengan memasukkan aspek-


aspek finansial untuk mengetahui pengaruh harga ubi kayu dan harga input
produksi (sarana produksi) terhadap jumlah penggunaan ubi kayu bagi industri
dan konsumsi dengan mengidentifikasi variabel-variabel secara lebih detail
dalam model sistem dinamis. Untuk verifikasi dan validasi model diperlukan
data yang lebih lengkap sehingga diperoleh model yang dapat mendekati
sistem nyata.
Pengkajian lebih lanjut dapat dilakukan untuk studi kasus wilayah
kecamatan sentra produksi ubi kayu sebagai bagian dari rencana
pengembangan wilayah agrobisnis ubi kayu. Disamping itu, pengkajian sistem
dinamis pada ruang lingkup/wilayah yang lebih spesifik akan memudahkan
dalam identifikasi variabel-variabel yang lebih lengkap.
Dalam kaitannya dengan penyediaan ubi kayu perlu memperhitungkan
pasokan ubi kayu dari luar wilayah Kabupaten Bogor dan ekspor ubi kayu ke
luar wilayah Kabupaten Bogor.
DAFTAR PUSTAKA

Asyiawati, Y. 2002. Pendekatan Sistem Dinamik dalam Penataan Ruang Wilayah


Pesisir (Studi Kasus Wilayah Pesisir Kabupaten Bantul, Propinsi DIY).
Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Badan Pusat Statistik. 2003. Statistika Indonesia. BPS, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2003. Kabupaten Bogor Dalam Angka. BPS,


Kabupaten Bogor.

Badan Pusat Statistik. 2003. Konsumsi Rata-rata per Kapita Menurut Jenis
Pengeluaran dan Golongan Pengeluaran per Kapita Sebulan, Jawa Barat
2002. Survei Sosial Ekonomi Nasional. BPS, Kabupaten Bogor.

Badan Pusat Statistik. 2004. Statistika Indonesia. BPS, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2004. Perkembangan Ekonomi dan Keuangan Kabupaten


Bogor Semester I 2004. BPS, Kabupaten Bogor Kerjasama dengan
BAPEDA Kabupaten Bogor.

Bank Indonesia. 2004. Sistem Informasi Komoditas Berbasis Ekspor (SIABE):


Komoditi Ubi Kayu. http:// www.bi.go.id [3 Februari 2005].

Chase, R.B dan N.J. Aquilano. 1991. Production and Operations Management;
A Life Cycle Approach 6th Edition. Irwin, Boston.

Coyle, R.G. 1996. System Dynamics Modelling, A Practical Approach. Chapman


& Hall, United Kingdom.

Daalen, V. dan W.A.H. Thissen. 2001. Dynamics Systems Modelling


Continuous Models. Faculteit Techniek, Bestuur en Management (TBM).
Technische Universiteit Delft.

Darjanto dan Moerjati. 1980. Khasiat, Racun, dan Masakan Ketela Pohon.
Yayasan Dewi Sri, Bogor.

Dinas Pertanian. 2004. Laporan Tahunan. Pemerintah Kabupaten Bogor, Bogor.

Djafar, T.F. dan S. Rahayu. 2003. Ubi Kayu dan Olahannya. Penerbit Kanisisus,
Yogyakarta.

Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen.


IPB Press, Bogor.
Forrester, J.W. 1999. System Dynamics : The foundation Under System Thinking.
Sloan School of Management MIT. Cambridge, MA 02139.
ftp://sysdyn.mit.edu/ftp/sdep/papers/D-4828.html [30 Januari 2005].

Furlong, N.E., E.A. Lovelace, dan K.L. Lovelace. 2000. Researh Methods and
Statistics, An Integrated Approach. Harcourt College Publisher, New York.

Hermanto, M.O. Adnyana, dan A. Mussadad. 1993. Prospek Pengembangan


Agroindustri Tepung Kasava. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Hafsah, M.J. 2003. Bisnis Ubi Kayu Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Law, A.M. dan W.D. Kelton. 1982. Simulation, Modelling and Analysis.
McGrawHill. New York.

Mahmud, Staf Sub Dinas Bina Usaha Tani, Dinas Pertanian Kabupaten Bogor.
Komunikasi Pribadi [April 2005].

Margono, T., D. Suryati, dan S. Hartinah. 1993. Buku Panduan Teknologi


Pangan : Peuyeum. Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan PDII-
LIPI bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation
http://www.ristek.go.id [14 November 2005].

Muhammadi, E. Aminullah, dan B. Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis


Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, dan Manajemen. UMJ Press, Jakarta.

Noorsaman S., A. dan A. Wahid. 1998. Pemodelan industri minyak bumi dan
gas alam Indonesia dengan pendekatan sistem dinamik. Jurnal
Teknologi Edisi No.1/Tahun XII/Maret/1998:27-29.

Nurmalawati, D. 2001. Pengembangan Agroindustri Terpadu dan Komoditas


Unggulan Berbasis Ubi Kayu (Studi Kasus di Kabupaten Bogor). Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Nuroniah, N.S. 2003. Penjadwalan Produksi dengan Pendekatan Metode Dinamik


(Studi Kasus di PT. Goodyear Indonesia, Tbk.). Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Purnomo, H. 2003. Analisis Sistem. Pemodelan Sistem. Bahan Kuliah. Fakultas


Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Radzicki, M.J. 1994. Powersim, The Complete Software Tool For Dynamic
Simulation. Users Guide and Reference. Model Data As, Norway.

Richardson, G.P. and A.L. Pugh. 1986. Introduction to System Dynamics


Modelling with Dynamo. The MIT Press, Cambridge, Massachussete,
and London, England.
Rukmana, R.H. 1997. Ubi Kayu, Budidaya dan Pasca Panen. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.

Rusli, S. 1994. Pengantar Ilmu Kependudukan. PT. Pustaka LP3ES Indonesia.

Shintasari, I. 1988. Dinamika Persediaan Daging Sapi : Suatu Model


Dinamik Untuk DKI Jakarta. Skripsi. Jurusan Teknologi Industri
Pertanian. Fateta IPB, Bogor.

Simatupang, T.M. 2000. Pemodelan Sistem. Penerbit Nindika, Klaten.

Sterman, J.D. 2004. Business Dynamics System Thinking and Modelling for a
Complex World. Mc Graw Hill, New York

Subagyo, P., A. Marwan dan T.H. Handoko. 1989. Dasar-Dasar Operation


Research. BPFE-UGM, Yogyakarta.

Sudiana, G., Ka.Si Perlindungan Tanaman, Dinas Pertanian Kabupaten Bogor.


Komunikasi Pribadi [April 2005].

Tasrif, M. 2004. Model Simulasi Untuk Analisis Kebijakan : Pendekatan


Metodologi System Dynamics. Kelompok Peneliti dan Pengembangan
Energi. Institut Teknologi Bandung.

Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi Ke-3. Terjemahan. Penerbit PT


Gramedia Pustaka Umum, Jakarta.

Waskito, A.B. 2005. Pemodelan Ekonometrik dan Dinamika Sistem Daya Saing
Ekspor Komoditas Agroindustri Karet Alam Indonesia. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Watson, H.J. and J.H. Blackstone, Jr. 1989. Computer Simulation. John Wiley
and Sons Inc., Singapore.

Widayani, K. 1999. Analisis Perencanaan Kebijakan Pengembangan Produksi


Buah-buahan di Indonesia dengan Pendekatan Sistem Dinamik (Studi
Kasus Pengembangan Produksi mangga di Jawa Barat). Tesis. Fakultas
Pascasarjana. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

--------------------. 2005. Powersim Studio Professional 2005 : Users Guide.


Powersim Software AS, Copyright 1993-2005.

--------------------. 2000. Tepung Tapioka. Pusat Dokumentasi dan Informasi


Ilmiah, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
http://www.pdii.lipi.go.id [31 Maret 2005].
--------------------. 2001. Teknologi Tepat Guna Agroindustri Kecil Sumatera
Barat : Keripik Renyah Ubi Kayu. Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi
dan Industri Sumatera Barat. http://www.ristek.go.id [14 November 2005].
Lampiran 1. Sketsa wilayah Kabupaten Bogor

Sumber : BAPEDA, Kabupaten Bogor (2000)


Lampiran 2. Luas panen, produktivitas, produksi ubi kayu Kabupaten Bogor tahun
1999-2004

1999 2000 2001


Kecamatan Luas Produk- Produksi Luas Produk- Produksi Luas Produk- Produksi
panen tivitas (ton) panen tivitas (ton) panen tivitas (ton)
(ha) (ku/ha) (ha) (ku/ha) (ha) (ku/ha)
1. Tenjo 588 157 9.219 522 165 8.602 154 184,74 2.845
2. Parung .
766 158 12.128 574 164 9.411 453 178,21 8.073
Panjang
3. Jasinga 968 149 14.441 668 158 10.565 248 170 4.216
4. Cigudeg 193 164 3.181 106 170 1.807 184 184,35 3.392
5. Nanggung 179 158 2.816 123 165 2.039 142 171,62 2.437
6. Rumpin 263 155 4.087 778 165 12.865 727 171,27 12.451
7. Leuwiliang 475 169 8.004 557 173 9.604 608 180,28 10.961
8. Cibung-
bulang 466 175 8.142 417 176 7.348 476 183,47 8.733
9. Pamijahan 330 174 5.748 283 179 5.051 109 190,18 2.073
10. Ciampea 1.454 175 25.422 580 180 10.432 594 186,89 11.101
11. Gunung
126 156 1.966 101 168 1.694 102 172,84 1.763
Sindur
12. Parung 232 165 3.840 327 172 5.641 916 181,92 16.664
13. Bojonggede 197 165 3.247 224 178 3.976 154 190,78 2.938
14. Kemang 451 161 7.250 197 169 3.328 235 180,6 4.244
15. Dramaga 107 170 1.821 101 175 1.772 64 188,59 1.207
16. Ciomas 119 168 1.991 126 172 2.178 118 186,1 2.196
17. Cijeruk 264 165 4.353 179 169 3.013 174 179,83 3.129
18. Caringin 158 158 2.510 123 166 2.038 104 180,38 1.876
19. Mega-
mendung 230 166 3.814 207 169 3.494 291 181,13 5.271
20. Ciawi 93 162 1.511 120 167 1.997 59 181,19 1.069
21. Cisarua 48 166 803 66 174 1.149 96 184,38 1.770
22. Sukaraja 1.031 172 17.765 2.252 178 40.139 2.907 188,74 54.866
23. Citeureup 1.099 153 16.757 283 167 4.723 476 182,04 8.665
24. Babakan
Madang 0 0 0 471 163 7.660 296 171,93 5.089
25. Cibinong 427 162 6.934 405 169 6.845 453 175,76 7.962
26. Gunung
Putri 215 162 3.489 211 164 3.462 95 178,53 1.696
27. Cileungsi 290 157 4.556 203 165 3.346 192 178,85 3.434
28. Jonggol 377 159 5.995 225 161 3.630 213 166,57 3.548
29.
Sukamakmur 0 0 0 0 0 0 240 168,17 4.036
30. Cariu 133 155 2.062 167 155 2.586 180 170,17 3.063
31. Cimanggis 55 153 839 0 0 0 0 0 0
32. Sawangan 179 164 2.924 0 0 0 0 0 0
33. Limo 12 148 181 0 0 0 0 0 0
34.
Pancoranmas 7 146 96 0 0 0 0 0 0
35. Beji 8 49 127 0 0 0 0 0 0
36. Sukmajaya 22 153 331 0 0 0 0 0 0
Kab. Bogor 11.561 163 188.352 10.737 168.77 182.766 11.060 179,65 200.768
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bogor (1999-2004)
Lampiran 2. (Lanjutan)

2002 2003 2004


Luas Produk- Produksi Luas Produk- Produksi Luas Produk- Produksi
Kecamatan
panen tivitas (ton) panen tivitas (ton) panen tivitas (ton)
(ha) (ku/ha) (ha) (ku/ha) (ha) (ku/ha)
1. Tenjo 292 167,05 4.878 161 182 2.924 220 162 3.556
2. Parung
Panjang 597 164,94 9.847 386 181 6.971 367 158 5.787
3. Jasinga 483 158,14 7.638 182 174 3.137 286 157 4.491
4. Cigudeg 185 170,38 3.152 151 187 2.827 181 164 2.966
5. Sukajaya 118 168,56 1.989 167 183 3.053 356 161 5.722
6. Nanggung 122 167,79 2.047 76 180 1.371 155 162 2.516
7. Rumpin 312 175,48 5.475 155 185 2.872 74 163 1.206
8. Leuwiliang 441 170,09 7.501 454 183 8.330 540 161 8.691
9. Cibung-
bulang 547 179,32 9.809 440 189 8.337 180 168 3.028
10. Pamijahan 67 164,03 1.099 21 185 389 84 155 1.306
11. Ciampea 574 175,64 10.082 827 192 15.899 1.532 168 25.777
12. 12. Gunung
Sindur 239 164,90 3.941 512 187 9.565 284 165 4.689
13. Parung 309 177,48 5.484 163 192 3.134 213 169 3.607
14. Ciseeng 291 175,70 5.113 226 192 4.334 330 169 5.561
15. Bojonggede 192 184,84 3.549 290 194 5.615 113 168 1.896
16. Kemang 121 169,29 2.048 261 189 4.930 289 164 4.737
17.Rancabungur 95 168,53 1.601 190 187 3.568 174 164 2.845
18. Dramaga 123 176,75 2.174 141 193 2.717 69 168 1.161
19. Ciomas 37 176,76 654 76 193 1.463 49 172 843
20. Tamansari 95 179,26 1.703 208 194 4.035 198 172 3.397
21. Cijeruk 155 175,42 2.719 175 192 3.366 190 167 3.180
22. Caringin 88 164,43 1.447 186 187 3.469 247 162 3.990
23. Mega-
mendung 89 174,04 1.549 54 188 1.015 286 167 4.765
24. Ciawi 75 168,80 1.266 232 191 4.438 82 163 1.333
25. Cisarua 107 175,33 1.876 64 192 1.228 20 171 341
26. Sukaraja 1.711 185,25 31.696 1.456 193 28.784 2.463 174 42.861
27. Citeureup 365 165,73 6.049 652 182 11.885 413 159 6.582
28. 28. Babakan
Madang 527 168,58 8.884 716 184 13.247 548 162 8.881
29. Cibinong 593 175,50 10.407 598 193 11.520 733 169 12.417
30. Gunung-
Putri 92 165,76 1.525 115 189 2.171 101 163 1.650
31. Cileungsi 79 171,14 1.352 67 188 1.257 93 165 1.537
32.Klapanunggal 104 172,12 1.790 5 194 97 17 166 282
33. Jonggol 151 165,43 2.498 49 183 896 111 159 1.767
34. Sukamakmur 472 165,36 7.805 356 185 6.569 454 163 7.409
35. Cariu 269 162,71 4.377 235 190 4.459 98 161 1.580
Kab. Bogor 10.117 171,16 175.024 10.047 187,8 189.888 11.550 164,6 192.357
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bogor (1999-2004)
Lampiran 3. Tingkat konsumsi ubi kayu (kg setara ubi segar/kapita/minggu) menurut kelas pengeluaran

Jawa Barat Perkotaan+Pedesaan


Kelas pengeluaran (Rp/kapita/bulan)
Jenis Makanan <40.000 40.000- 60.000- 80.000- 100.000- 150.000- 200.000 300.000- 500.000+ Rata-rata
59.999 79.999 99.999 149.999 199.999 299.999 499.999 /kapita
Ubi kayu/singkong (kg) - 0,208 0,150 0,131 0,154 0,148 0,133 0,105 0,079 0,138
Gaplek (kg) - - - - 0,000 0,001 0,001 0,002 0,003 0,001
Tepung gaplek (tiwul) (kg) - - - - 0,000 0,000 0,000 - - 0,000
Tepung ubi kayu (kg) - - 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001
Keterangan : - 1 kg gaplek setara dengan 2,86 kg ubi segar (konversi gaplek 35 %)
- 1 kg tepung gaplek setara dengan 3,33 kg ubi segar (konversi tepung gaplek 30 %)
- 1 kg tepung ubi kayu setara dengan 4 kg ubi segar (konversi tepung ubi kayu 25 %)
Sumber : Diolah dari Data Susenas (2003)
Lampiran 4. Keadaan umum usaha kecil (pengrajin) tapioka yang disurvei di Kabupaten Bogor
No Aspek 1 2 3 4 5 6 7 8
1. Bahan Baku
a. Jumlah
- Maksimum 3 ton/hari 5 ton/hari 5 ton/hari 5 ton/hari - - 6 ton/hari 5 ton/hari
- Minimum 1,5 ton/hari 3 ton/hari 2,5 ton/hari 1 ton/hari - - 4 ton/hari 4 ton/hari
- Rata-rata 2 ton/hari 4 ton/hari 4,5 ton/hari 1 ton/hari 4 ton/hari 3 ton/hari 5 ton/hari 5 ton/hari
b. Harga Rp 370,-/kg Rp 600/kg Rp 600/kg Rp 450/kg Rp 500/kg Rp 500/kg Rp 500,-/kg
c. Asal Pelabuhan Sukabumi, Citeureup, Citeureup, Citeureup, Citeureup, Babakan- Citeureup,
Ratu, Cianjur Gadog Bogor; Bogor; Bogor; Bogor; Madang, Bogor;
Sukabumi; Sukabumi Sukabumi Sukabumi Bogor; Sukabumi
Tasikmalaya Sukabumi
2. Produk
a. Rendemen
- Tapioka/aci 20 % 30 % 26,67 % 30 % 26,67 % 28,57 % 20 % 20 %
- Onggok - - 8% 6% 13,69 % 2,86 % 10 % 5%
b. Pemasaran
- Pedagang Kp. Misbar - - - - - - -
- Pabrik - Ciluar Ciluar Ciluar Ciluar Ciluar Ciluar Ciluar
c. Harga Jual
- Tapioka/aci Rp2.400,-/kg Rp2.500,-/kg Rp2.500,-/kg Rp2.000,-/kg Rp 2.600,-/kg Rp 2.500,-/kg Rp 2.500,-/kg Rp 2.500,-/kg
- Onggok Rp 500,-/kg Rp 600,-/kg Rp 500,-/kg Rp 650,-/kg Rp 500,-/kg Rp 500,-/kg Rp 450,-/kg
3. a. Jumlah Hari Kerja
- Per Minggu 6 7 7 6 7 6 6 6
- Per Tahun 300 300 300 300 300 300 300 300
b. Jumlah Karyawan 3 6 7 5 6 7 5 5
c. Upah/hari Rp 15.000,- Rp 17.000,- Rp 17.500,- Rp 15.000,- Rp 17.500,- Rp 16.000,- Rp 15.000,-
4. Permasalahan yang Kekurangan Musim hujan Musim hujan Musim hujan Musim hujan Kekurangan Musim hujan Harga bahan
dihadapi bahan baku bahan baku baku mahal
Lampiran 4. (Lanjutan)

No Aspek 9 10 11 12 13 14 15 16
1. Bahan Baku
a. Jumlah
- Maksimum - - 3 ton/hari - - - - -
- Minimum - - 1 ton/hari - - - - -
- Rata-rata 2 ton/hari 1,5 ton/hari 2,1 ton/hari 1 ton/hari 1,5 ton/hari 4 ton/hari 1,5-2 ton/hari 1,5 ton/hari
b. Harga Rp 500/kg Rp 400/kg Rp 450/kg Rp 600/kg Rp 500/kg Rp 600,-/kg Rp 600/kg
c. Asal Jampang, Citeureup, Citeureup, Sukaraja, Sukaraja, Babakan Babakan Babakan
Sukabumi Bogor; Cianjur Bogor; Bogor Bogor Madang, Madang, Madang,
Sukabumi Bogor Bogor Bogor
2. Produk
a. Rendemen
- Tapioka/aci 25 % 33,33 % 22,5 % 25 % 30 % 30 % 30 % 30 %
- Onggok 5% 10 % 5% 4% 6,67 % 10 % 7% 7%
b. Pemasaran
- Pedagang - - - - - - - -
- Pabrik Ciluar Ciluar Ciluar Ciluar Ciluar Ciluar Koperasi, Ciluar
c. Harga Jual
- Tapioka/aci Rp 2.250,-/kg Rp 2.500,-/kg Rp2.600,-/kg Rp 2.600,-/kg Rp 2.800,-/kg Rp 2.700,-/kg Rp 2.700,-/kg Rp 2.700,-/kg
- Onggok Rp 400,-/kg Rp 600,-/kg Rp 700,-/kg Rp 600,-/kg Rp 700,-/kg Rp 500,-/kg Rp 675,-/kg Rp 650,-/kg
3. a. Jumlah Hari Kerja
- Per Minggu 8 6 7 6 6 6 6 6
- Per Tahun 300 300 300 300 300 300 300 300
b. Jumlah Karyawan 6 7 5-6 6 5 10 10 6
c. Upah/hari Rp 20.000,- Rp 17.500,- Rp 20.000,- Rp 16.000,- Rp 20.000,- Rp 20.000,- Rp 20.000,- Rp 17.000,-
4. Permasalahan yang Kekurangan Kekurangan Musim hujan Bahan baku Kekurangan Musim hujan Harga bahan Kekurangan
dihadapi bahan baku bahan baku susah didapat bahan baku baku bahan baku
Lampiran 4. (Lanjutan)

No Aspek 17 18 19 20 21 22 23 24
1. Bahan Baku
a. Jumlah
- Maksimum - - - 4 ton/hari - - - -
- Minimum - - - 1,5 ton/hari - - - -
- Rata-rata 3-4 ton/hari 3-4 ton/hari 1,5 ton/hari 2 ton/hari 1.5 ton/hari 2 ton/hari 1 ton/hari 1 ton/hari
b. Harga Rp 650/kg Rp 600/kg Rp 600/kg Rp 600/kg Rp 650/kg Rp 500,-/kg Rp 600/kg Rp 500/kg
c. Asal Babakan- Babakan- Babakan- Babakan- Babakan- Babakan- Babakan- Babakan-
Madang, Madang, Bogor Madang, Madang, Madang, Madang, Madang, Madang, Bogor
Bogor Bogor Bogor Bogor Bogor Bogor
2. Produk
a. Rendemen
- Tapioka/Aci 30 % 30 % 30 % 30 % 30 % 30 % 28 % 30 %
- Onggok 10 % 10 % 10 % 8% 6% 5% 5% 3%
b. Pemasaran
- Pedagang - - - - - - - -
- Pabrik Ciluar Ciluar Ciluar Ciluar Ciluar Ciluar Ciluar Ciluar
c. Harga Jual
- Tapioka/Aci Rp 2.800,-/kg Rp 2.800,-/kg Rp2.750,-/kg Rp 2.500,-/kg Rp 2.600,-/kg Rp 2.600,-/kg Rp 2.500,-/kg Rp 2.600,-/kg
- Onggok Rp 650,-/kg Rp 650,-/kg Rp 600,-/kg Rp 600,-/kg Rp 500,-/kg Rp 750,-/kg Rp 500,-/kg Rp 650,-/kg
3. a. Jumlah Hari Kerja
- Per Minggu 6 6 7 6 6 6 4 4
- Per Tahun 300 300 300 300 300 300 210 210
b. Jumlah Karyawan 10-20 10-15 6 7 5 2 4-5 2
c. Upah/hari Rp 15.000,- Rp 15.000,- Rp 17.500,- Rp 15.000,- Rp 16.000,- Rp 15.000,- Rp 15.000,- Rp 15.00,-
4. Permasalahan yang Musim hujan Musim hujan Musim hujan Kekurangan Musim hujan Harga bahan Harga bahan Musim hujan
dihadapi bahan baku baku mahal, baku
musim hujan
Lampiran 4. (Lanjutan)
No Aspek 25 26 27 28 29 30
1. Bahan Baku
a. Jumlah
- Maksimum - - - - - -
- Minimum - - - - - -
- Rata-rata 2 ton/hari 2 ton/hari 1,5-2 ton/hari 1 ton/hari 1,5-2 ton/hari 2 ton/hari
b. Harga Rp 450/kg Rp 560/kg Rp 500/kg Rp 500/kg Rp 500/kg Rp 350/kg
c. Asal Babakan- Babakan- Babakan- Babakan- Babakan- Bogor, Cianjur
Madang, Madang, Bogor Madang, Madang, Madang,
Bogor Bogor Bogor Bogor
2. Produk
a. Rendemen
- Tapioka/aci 28 % 30 % 30 % 28 % 28 % 20 %
- Onggok 5% 5% 5% 8% 8% 6%
b. Pemasaran
- Pedagang - - - - - -
- Pabrik Ciluar Ciluar Ciluar Ciluar Ciluar Ciluar
c. Harga Jual
- Tapioka/Aci Rp 2.600,-/kg Rp 2.700,-/kg Rp2.700,-/kg Rp 2.700,-/kg Rp 2.700,-/kg Rp 2.500,-/kg
- Onggok Rp 600,-/kg Rp 600,-/kg Rp 600,-/kg Rp 500,-/kg Rp 500,-/kg Rp 500,-/kg
3. a. Jumlah Hari Kerja
- Per Minggu 6 6 6 6 6 5
- Per Tahun 300 300 300 300 300 300
b. Jumlah Karyawan 5 4 5 4 4 5
c. Upah/hari Rp 17.000,- Rp 20.000,- Rp 18.000,- Rp 17.000,- Rp 17.000,- Rp17.500,-
4. Permasalahan yang Musim hujan Bahan baku Kekurangan Musim hujan Musim hujan Kekurangan
dihadapi susah didapat bahan baku bahan baku
Lampiran 5. Daftar industri kecil/home industry pangan berbasis ubi kayu di Kabupaten Bogor
No Nama Alamat Bahan Hasil Kapasitas Jumlah Bahan Jumlah Pemasaran
Pemilik/Usaha Baku Olahan Produksi/bln Baku/bln**) Tenaga Kerja
1. Andi Sofyan Ds.Gunung Singkong Keripik 200 kg 0.67 0.8 ton 8 orang Lokal Bogor
Malang,
Ciampea
2. H. Janim Ds. Cibinong, Singkong Tape 1 kw/hari 0.143 0.167 10 orang Ps.Ciputat,
Gunung Sindur ton/minggu Tanggerang
3 Emad Ds.Curug, Singkong Tape 2 kw/hari 0.286 0.333 4 orang Tanggerang
Gunung Sindur ton/minggu

4 Ahmad Yani Kp.Tegalega, Pisang, Keripik 20 kg/minggu 0.133 0.160 ton 2 orang Ds.Sirnajaya
Sukamakmur Singkong
5 Dasim Kp.Tegalega,Su Pisang, Keripik 25 kg/minggu 0.167 0.200 ton 2 orang Sirnajaya,Wargajaya,
kamakmur Singkong Sukamulya
6 Rosidi Ds.Pasir Pisang, Keripik 9 ton 7.5 9 ton 20 orang Jakarta,Banten,
Jambu, Singkong Tanggerang, Bogor
Sukaraja
Talas
Ubi Jalar
7 Udin Ds.Pasir Pisang Keripik 9 ton 7.5 9 ton 20 orang Jakarta, Banten,
Jambu, Singkong Tanggerang, Bogor
Sukaraja
Talas
Ubi Jalar
Lampiran 5. (Lanjutan)
No Nama Alamat Bahan Hasil Kapasitas Jumlah Bahan Jumlah Pemasaran
Pemilik/Usaha Baku Olahan Produksi/bln Baku/Bln**) Tenaga Kerja
8 H.Abdul Hamid Kp.Kaca Singkong Keripik 0.5 ton/ 6.67 8 ton 10 orang Pasar Ciluar
Pandak, Rt 01/3 minggu
Cibanon,Suka-
raja
9 Usman Parung Panjang Singkong Keripik 1 ton 3.33 4 ton 3 orang Parung Panjang,
Ds.Kabasiron
10 Aneka Keripik, Kp.Cengal Rt Singkong Keripik 200 kg 0.667 0.8 ton 5 orang Leuwiliang
Karya Mekar 01/05 Kracak Pisang 160 kg
11 Oom Sukajadi, Singkong Keripik 20 kg/hari 1.333 1.6 ton 3 orang Tamansari
Tamansari (20 hr produksi)
12 Titing Sukaresmi, Pisang, Keripik 200 kg 0.667 0.8 ton 4 orang Bogor
Tamansari Singkong
13 Iyum Sukaresmi, Pisang, Keripik 150 kg 0.5 0.6 ton 4 orang Tamansari
Tamansari Singkong
14 Aa Suhandi Sukajadi, Singkong Tape 500 kg 0.714 0.833 ton 3 orang Bogor
Tamansari
15 Sukamaju Cibituk udik, Singkong Keripik 200 kg 0.667 0.8 ton 3 orang Parung, Ciseeng
Ciseeng

16 Bina Usaha Ds.Cogred, Singkong Keripik 50 kg/hari 3.333 4 ton 25 orang Ciseeng, Parung,
Kec.Parung (20 hr produksi) Ciampea
Lampiran 5. (Lanjutan)
No Nama Alamat Bahan Hasil Kapasitas Jumlah Bahan Jumlah Pemasaran
Pemilik/Usaha Baku Olahan Produksi/bln Baku/Bln**) Tenaga Kerja
17 Nani Sari/ Semplak Barat Singkong Keripik 0.1 ton 0.333 0.4 ton 2 orang Bogor
Delima
18 Teratai Putih Kemang Singkong Keripik 0.1 ton 0.333 0.4 ton 10 orang Bogor
19 Mandiri Kemang Singkong Keripik 0.1 ton 0.333 0.4 ton 10 orang Bogor

20 Wiwit Ds.Petir, Singkong Keripik 100 kg 0.143 0.167 ton 4 orang Dramaga, Bogor
Dramaga Pisang
21 Kel Tani Ds.Pagelaran Singkong Keripik 200 kg 0.667 0.8 ton 4 orang Bogor,Jakarta,
SumberSari Kec.Ciomas Sukabumi
22 Dadang Ds.Gn.Bunder Ubi Kayu Keripik 3 kg/hari 0.200 0.240 ton 3 orang Ps.Lokal Leuwiliang
I, Pamijahan (20 hr produksi)

23 Marno Ds.Gn.Bunder Ubi Kayu Keripik 100 kg/ 1.33 1.6 ton 5 orang Ps.Lokal Leuwiliang
I, Pamijahan minggu
24 Indah Karya Cibeuteung Singkong Tape 200 kg 0.286 0.333 5 orang Ciputat,
Udik, Ciseeng ton/minggu Pasar Minggu
25 Harapan Cihowe, Singkong Keripik 2 ton 3.33 4 ton 4 orang Parung, Ciseeng
Ciseeng Beras Ketan Rengginan
26 Itoh Masitoh Ds.Cibatok II Singkong Keripik 160 kg/ 2.13 2.56 ton 5 orang Lokal, Leuwiliang
minggu
Lampiran 5. (Lanjutan)
No Nama Alamat Bahan Hasil Kapasitas Jumlah Bahan Jumlah Pemasaran
Pemilik/Usaha Baku Olahan Produksi Baku/Bln**) Tenaga Kerja
27 Dudung Gn.Picung Singkong Keripik 100 kg/ 1.33 1.6 ton 3 orang Lokal, Leuwiliang
minggu
28 Marno Gn.Bunder I Singkong Keripik 200 kg/hari 13.333 16 ton 5 orang Lokal, Leuwiliang
(20 hr produksi)
29 Elih Ciasihan Singkong Keripik 300 kg/hari 20 24 ton 6 orang Leuwiliang,
Pisang (20 hr produksi) Pasar Bogor
30 Rineka Rasa *) Kp.Muara Pisang Keripik 1 kw/hari 6.667 8 ton 8 orang Bogor, Sukabumi,
Suadiri Rt. Talas (20 hr produksi) Bekasi
03/04, Ds.
Singkong
Ciburuy, Kec.
Cijeruk Ubi jalar
31 Sumber Sari*) Jl. Sukamaju Pisang Keripik 30-35 kg/hari 2.1 2.8 ton 4 orang Bogor,Bekasi,
No.1 Rt. 01/01, Singkong (90 120 kg Karawang
Ds. Pagelaran,
singkong tiap
Kec. Ciomas
Produksi)
Sumber : Dinas Pertanian (2004) dan *) dan Hasil wawancara Ningsih (2004)
Keterangan :
**) Jumlah bahan baku ubi kayu/bulan dari hasil konversi :
1. Keripik singkong = 25 30 % X jumlah produk setiap kali produksi
2. Tape = 60 70 % X jumlah produk setiap kali produksi
Lampiran 6. Formulasi model Cassava.Sim pada perangkat lunak Powersim
Lampiran 7. Uji distribusi data produktivitas ubi kayu Kabupaten Bogor tahun
1999-2004

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

VAR0000
4
N 199
Normal Mean 172.07
Parameters(a,b) Std. Deviation 11.176
Most Extreme Absolute .095
Differences Positive .095
Negative -.050
Kolmogorov-Smirnov Z 1.347
Asymp. Sig. (2-tailed) .053
a Test distribution is Normal.
b Calculated from data.
Lampiran 8. Kesesuaian lahan bagi tanaman ubi kayu di Kabupaten Bogor

Nama Daerah Luas Lahan (ha) Kesesuaian


Nanggoeng 517 Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan
Leuwiliang 2460 Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan
Cibungbulang 222 Sesuai
Pamijahan 1.008 Sesuai
Ciampea 715 Sesuai
Ciomas 539 Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan
Dramaga 27 Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan
Cijeruk 1.527 Tidak sesuai, kemiringan lahan terlalu besar
Caringin 1.519 Tidak sesuai, suhu terlalu rendah dan kemiringan
lahan terlalu besar
Ciawi 604 Sesuai
Cisarua 1.597 Sesuai
Megamendung 2.519 Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan
Cariu 5.408 Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan
Jonggol 6.527 Sesuai
Citeureup 2.207 Sesuai
Cileungsi 3.541 Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan
Gunung Putri 1.064 Sesuai
Cibinong 1.299 Sesuai
Sukaraja 1.342 Sesuai
Kemang 716 Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan
Bojonggede 1.745 Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan
Parung 1.149 Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan
Gunung Sindur 1.153 Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan
Rumpin 1.336 Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan
Cigudeg 9.189 Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan
Jasinga 8.463 Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan
Parung panjang 756 Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan
Tenjo 1.061 Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan
Jumlah Lahan 57.164
sesuai
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bogor (2000) di dalam Nurmalawati (2001)
Lampiran 9. Hasil perhitungan rate pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor tahun 1999-2004

Keadaan Keadaan Jumlah Jumlah Migran Migran Rate pertumbuhan


Tahun penduduk penduduk Total Penduduk/tahun
kelahiran kematian masuk keluar penduduk
per 1 Januari per 1 Juli (%)
1999 - 2.947.872 27.566 8.171 31.077 11.512 3.004.444 2,98
2000 - 3.071.708 26.642 8.990 54.207 15.707 3.100.154 3,19
2001 - 3.144.453 24.006 8.741 36.930 8.507 3.170.400 2,27
2002 3.170.400 3.184.165 17.868 5.531 84.656 17.612 3.249.781 2,50
2003 3.340.151 3.354.653 16.470 6.733 23.570 5.680 3.408.810 4,89
2004 3.408.810 3.423.610 16.884 6.787 23.227 5.051 3.437.083 0,83
rata-rata 2,78
Sumber : BPS, Kabupaten Bogor dalam Angka tahun 1998 s.d 2003 dan Dinas Kependudukan Kabupaten Bogor (2004, diolah)

Keterangan :
 Total penduduk : Jumlah penduduk per 1 Januari + jumlah kelahiran jumlah kematian + migran masuk migran keluar
 Rate pertumbuhan penduduk tahun 1999-2004 :
Pt = P0 (1 + r)t
3.437.083 = 3.004.444 (1+ r)6
r = 2, 776 %
Lampiran 10. Tampilan model Cassava1.Sim
Lampiran 11. Tampilan model Cassava2.Sim
Lampiran 12a. Validasi model penduduk dengan uji MAPE

Tahun Simulasi (Xm) Aktual (Xd) Xm Xd Xm Xd / Xd


1998 2.917.524 2.917.524 0 0
1999 2.999.459 3.004.444 4.985 0,0016
2000 3.083.694 3.100.154 16.460 0,0053
2001 3.170.296 3.170.400 104 0,000032
2002 3.259.329 3.249.781 9.548 0,0029
2003 3.350.863 3.408.810 57.947 0,0170
2004 3.444.968 3.437.083 7.885 0,0023
total 0,0292
MAPE 0,4 %

Lampiran 12b. Validasi model produktivitas ubi kayu dengan uji MAPE

Tahun Simulasi (Xm) Aktual (Xd) Xm Xd Xm Xd / Xd


1998 166 157 9 0,059
1999 174 163 11 0,067
2000 169 170 1 0,007
2001 177 181 4 0,020
2002 169 173 4 0,022
2003 159 189 30 0,161
2004 173 167 6 0,038
total 0,373
MAPE 5,3 %

Lampiran 12c. Validasi model produksi ubi kayu dengan uji MAPE

Tahun Simulasi (Xm) Aktual (Xd) Xm Xd Xm Xd / Xd


1998 154.012 159.556 5.544 0,0347
1999 192.885 188.352 4.533 0,0240
2000 200.501 182.766 17.735 0,0970
2001 217.527 200.768 16.759 0,0834
2002 212.321 175.024 37.297 0,2131
2003 199.015 189.888 9.127 0,0480
2004 209.079 192.357 16.722 0,0869
total 0,5871
MAPE 8,4 %

Anda mungkin juga menyukai