Anda di halaman 1dari 3

ESAI: PENTINGNYA PELAYANAN INFORMASI OBAT

Oleh: Kirana Rizky/M0615023

Pelayanan kefarmasian merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan. Pelayanan


kefarmasian ini merupakan wujud dari pelaksanaan pekerjaan kefarmasian berdasarkan UU No.
23 tahun 1992 tentang kesehatan. Memberikan informasi mengenai obat kepada pasien maupun
tenaga kesehatan yang lain adalah suatu keharusan yang harus dilakukan oleh Apoteker.

Definisi pelayanan informasi obat adalah pengumpulan, pengkajian, pengevaluasian,


pengindeksan, pengorganisasian, penyimpanan, peringkasan, pendistribusian, penyebaran serta
penyampaian informasi tentang obat dengan berbagai bentuk dan metode pada pengguna nyata
dan yang mungkin (Siregar,2006). Informasi obat merupakan pengetahuan yang bersifat objektif,
yang dijelaskan secara ilmiah. Informasi yang dibutuhkan mencakup farmakologi, farmakoterapi,
dan toksikologi obat. Informasi obat mencakup tiga aspek tersebut namun tidak terbatas pada
pengetahuan seperti yang tertera pada Farmakope Indonesia yaitu nama kimia, struktur dan sifat-
sifat, identifikasi, dosis, indikasi terapi, kontraindikasi, efek samping, mekanisme aksi/kerja,
onset dan durasi kerja, jadwal pemberian, absorpsi, harga, reaksi merugikan, keuntungan, tanda,
gejala dan pengobatan toksisitas, dan informasi lainnya yang akan berguna untuk pasien maupun
keluarga pasien.

Sebelum tahun 2013 sangat sulit mendapatkan sumber informasi yang netral serta mampu
mewadahi informasi mengenai obat-obat secara objektif dari perusahaan di bidang farmasi
mengenai obat dan macam-macamnya secara rinci dan spesifik. Hal ini yang menjadi
pertimbangan Menteri Kesehatan RI untuk membuat software pelayanan informasi obat 2013
untuk memudahkan Apoteker, Tenaga Teknis Kefarmasian dan Tenaga Kesehatan lain, serta
mahasiswa program profesi Apoteker, dalam memperoleh informasi mengenai karakteristik obat
dan bentuk sediaannya.

Kurangnya pengetahuan tentang informasi obat dapat berakibat fatal bagi


konsumen/pasien, dalam berbagai kasus yang ditemukan ada yang sampai menyebabkan
kematian. Erie Gusnellyanti, Apt, MKM dalam Buletin INFARKES edisi III Mei-Juni 2015
menyebutkan ditemukannya kasus kematian karena kurangnya informasi pemberian obat. Pasien
yang meninggal dunia karena infeksi lambung yang sangat parah akibat mengkonsumsi obat
sakit kepala yang dijual bebas tanpa resep dokter. Pasien tersebut biasa meminum 2-4 tablet jika
sakit kepala nya kambuh, pasien tidak mengetahui bahwa bukan kesembuhan yang akan didapat
tetapi malah risiko yang berunjung pada kematian. Obat bebas yang dipikirnya aman,
mengandung kafein dan parasetamol yang berbahaya jika digunakan tidak sesuai petunjuk.
Kandungan kafein pada obat bebas yang dikonsumsi secara berlebih mengakibatkan
meningkatnya asam lambung, lama kelamaan dinding lambung mengalami iritasi akibat
mengkonsumsi kafein secara berlebih dan terus menerus. Selain itu, parasetamol yang dianggap
aman untuk dikonsumsi secara bebas dapat menyebabkan sirosis hati jika diminum terlalu sering
dan dalam jumlah banyak. Kasus lain yang ditemukan yaitu ada pasien yang menderita penyakit
saluran cerna dan tidak bisa menemukan salah satu obat yang dibutuhkan, kepanikan dan
kegelisahan meliputi pasien tersebut dan saat pasien memberi tahu nama obat yang sedang dicari,
Erie Gusnellyanti tidak mengenali nama obat tersebut namun setelah ditelusuri obat yang dicari
bisa dengan mudah didapatkan. Hanya karena nama dagang yang berbeda dari pabrik yang
berbeda pula, sehingga pasien tersebut tidak bisa menemukan obat yang dicari. Pasien ini tidak
bisa menemukan obat tersebut karena tidak menanyakan kepada apoteker dan tidak mengetahui
bahwa nama obat dagang bisa berbeda jika dari pabrik yang berbeda namun memiliki kandungan
zat aktif dan fungsi yang sama. Dari dokter dan tenaga kefarmasian tidak ada informasi yang
memadai terkait informasi yang dibutuhkan pasien. Dua kasus diatas menjadi bukti nyata bahwa
pentingnya pelayanan informasi obat yang bisa dicapai dengan mudah dan terpecaya oleh
masyarakat awam. Hal ini dikarenakan ketidakseimbangan informasi dalam pelayanan
kesehatan. Informasi obat hanya dapat diketahui dan dipahami oleh tenaga kesehatan, sedangkan
masyarakat awam hanya memiliki sedikit pengetahuan mengenai informasi obat. Kondisi ini
terjadi karena berbagai faktor, baik faktor dari pasien maupun dari tenaga kesehatan yang
bersangkutan. Sosialisasi tentang bagaimana mendapatkan informasi obat secara mudah, aktual
dan terpercaya masih kurang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Sebenarnya saat ini telah dibuat
program untuk mengakses informasi yang dibutuhkan oleh pasien/konsumen secara online yang
difasilitasi oleh Kemenkes RI dan didukung oleh Ikatan Apoteker Indonesia(IAI). Jadi,
sesungguhnya sudah ada sistem pelayanan informasi obat yang memadai, tinggal bagaimana
membimbing masyarakat menjadi konsumen obat yang cerdas.

Anda mungkin juga menyukai