Anda di halaman 1dari 3

Battle Hymn of the Tiger Mother

Proses belajar akan berhasil dengan baik hanya jika kita melakukannya
dalam kondisi menyenangkan. Begitu teori buku buku pendidikan dan
pembelajaran yang saya baca dari dulu. Buku Quantum Learning adalah
buku yang sangat menyenangkan bagi saya hingga saya pernah
membacanya berkali kali. Dan saya rasa, setelah buku Bobby DePorter
ini terbit, metode pembelajaran di negeri kita ini menambahkan kata
menyenangkan di belakangnya. Model pembelajaran PAKEM
(Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan) muncul di
Indonesia pada tahun 1999, pada tahun yang sama buku terjemahan
Bobbi DePorter terbit di Indonesia.
Untuk beberapa lama saya terpengaruh dengan metode belajar yang
menyenangkan ini. Saya juga begitu memuja metode belajar Montessori
sehingga saya pernah menulis kecaman terhadap proses pembelajaran di
TK yang saya rasa terlalu menuntut anak anak agar segera bisa menulis
dan membaca. Namun, setelah saya membaca resensi buku Amy Chua,
Battle Hymn of the Tiger Mother, saya rasa saya perlu meninjau ulang
keyakinan saya itu.
Amy Chua adalah seorang profesor hukum di Yale University. Sebagai
seorang anak imigran China di Amerika, ia mendapatkan pendidikan yang
keras dari ayahnya yang juga seorang profesor di University of California.
Chua diharuskan selalu mendapatkan nilai A plus. Ia diharuskan berbicara
menggunakan bahasa China di rumah dan dipukul jika terlontar bahasa
Inggris. Ia juga harus belajar matematika dan piano setiap sore dan tidak
pernah diijinkan untuk menginap di rumah temannya.
Ketika tiba saatnya Chua menjadi orang tua, ia pun menerapkan pola
pendidikan serupa kepada anak anaknya. Hal ini dilakukannya bukan
karena ia hanya mengikuti ayahnya dalam mendidik anak. Namun, ia
begitu percaya dengan sebuah pepatah China yang berbunyi:
Kemakmuran tidak pernah bertahan lebih dari tiga generasi. Jika
pepatah ini dikaitkan dengan keluarga Chua, generasi pertama adalah
ayah dan ibunya sendiri. Mereka adalah imigran yang hidup di Amerika
secara pas pasan. Mereka terus bekerja keras hingga menjadi akademisi
yang sukses. Namun, sebagai orang tua, mereka adalah orang tua yang
keras dan kikir.
Generasi kedua adalah generasi Chua sendiri. Karena didikan yang keras
dari orang tuanya, ia juga menjadi seorang akademisi sukses lulusan
Harvard University. Sedangkan generasi ketiga adalah generasi anak
anak Chua. Anak anak Chua hidup makmur karena kerja keras yang
telah dilakoni oleh kakek nenek dan orang tuanya. Kenyamanan hidup
yang sedemikian rupa inilah yang seringkali berperan dalam merosotnya
kualitas generasi. Chua sadar dengan hal ini, dan ia tidak ingin anak
anaknya menjadi penyebab kemerosotan generasi.
Sebagai orang tua Amy Chua juga mengharuskan anak anaknya
mendapatkan nilai A di setiap pelajaran sekolah, melarang mereka
menonton TV atau main game komputer, melarang mereka main musik
kecuali piano dan biola dan, seperti ayahnya, ia juga melarang anak
anaknya untuk menginap di rumah temannya.
Meskipun anak anak Chua berhasil mendapatkan nilai A di setiap
pelajaran, namun buku ini sebagian besar berkisah tentang peperangan
Amy Chua dalam mendidik anak anaknya bermain piano dan biola.
Mengapa piano dan biola? Menurut Chua, dua instrumen ini adalah
instrumen yang paling sulit dimainkan. Dan menurutnya, keindahan
terletak pada kesukaran. Ia tidak akan pernah mengijinkan anak
anaknya bermain drum misalnya karena alat musik seperti ini hanya akan
membawa anak anaknya menjadi pecandu narkoba. (halaman 9).
Orang tua China, sebagaimana yang diyakini oleh Chua, tidak
mengutamakan kesenangan dalam membesarkan anak. Ketika ia
bertengkar dengan anak anaknya karena mereka merasa ibu mereka
terlalu keras, Amy Chua berkata: Tujuan Mommy sebagai orang tua
adalah menyiapkan kalian untuk masa depan bukan untuk membuat
kalian suka pada Mommy. (hal. 50). Amy Chua mengkritik habis
habisan budaya Amerika dalam membesarkan anak yang menurutnya
hanya akan berujung pada hilangnya rasa hormat anak kepada orang tua.
Sesuatu yang sangat tabu jika terjadi pada orang tua Asia.
Amy Chua berhasil dalam mendidik anak anaknya. Dalam berbagai
kesempatan, kedua anaknya mendapatkan pujian sebagai pianis dan
violis berbakat. Chua memiliki dua anak perempuan. Sophia, anak
pertama, adalah pemain piano klasik hebat, kolektor nilai A dan meskipun
seringkali berperang mulut dengan ibunya, ia adalah anak yang berbakti.
Sedangkan anak Chua yang kedua, Lulu, adalah pemain biola, begitu
mahir dan mencintai biola. Namun ia adalah seorang pemberontak.
Menurut saya, karena Lulu-lah, Amy Chua menulis buku ini (jika anda
membaca buku ini, ada sebuah kisah tak terbayangkan yang terjadi di
Rusia antara Lulu dan ibunya, sehingga Chua menulis buku ini
sekembalinya dari Rusia, dan juga yang kemudian memporakporandakan
paradigma berpikir Amy Chua).
Buku yang sudah lama saya nantikan akan diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia ini adalah buku yang sangat kontroversial sekaligus
mengilhami. Ketika kita menerapkan metode belajar yang menyenangkan
gaya barat, kita masih saja mendengar berita tentang orang tua murid
yang khawatir anaknya tidak lulus ujian. Ketika saya menulis review ini,
saya mendengar anak SMK di kota saya yang dilarikan ke rumah sakit
karena tawuran. Jika memang metode belajar menyenangkan ala barat
tidak bisa menjawab permasalahan pendidikan kita, mungkin ada baiknya
kita beralih ke metode Amy Chua.

Anda mungkin juga menyukai