2. Pengarang : Pago Hardian 3. Tahun terbit : 2015 4. Kota terbit : Surakarta 5. Penerbit : Indiva 6. Tebal halaman buku : 232 Halaman 7. Kelebihan buku : Kelebihan cerita ini karena menampilkan pendidikan karakter yang kental. Latar belakang penulis sebagai seorang guru tak bisa terlepas dari berbagai pendidikan karakter ditampilkan. Sesuai menjadi bacaan para pelajar dengan kurikulum yang sedang berlaku, yaitu KTSP yang mengutamakan pendidikan karakter. Begitupun remaja pada umumnya. Disamping itu sudut pandang pengarang sebagai orang pertama serba tahu dengan gaya penceritaan pembaca sebagai orang kedua membuat pembaca lebih dekat dengan cerita ini karena merasa dilibatkan langsung.
8. Kekurangan buku : Kelemahan cerita ini terdapat perilaku tidak singkron
diantara bertabur pendidikan karakter. Terlebih ditampilkan keluarga muslim. Dalam ajaran Islam, tidak ada perbedaan, dari ras atau suku manapun, bahwa siapapun yang berbuat kasar akan dijauhi orang lain. Tetapi penulis sengaja ingin membuat novel ini tanpa tercela, pada akhir cerita diklarifikasi bahwa perilaku kasar melanggar agama dan dijauhi orang lain. Begitupun ketika Bapang punya niat mengeluarkan anak- anaknya dari sekolah umum. Pendidikan di rumah adalah pendidikan dasar. Meski begitu pendidikan formal tidak kalah penting karena menyangkut interaksi dengan orang lain dan pasti ada ilmu-ilmu yang bermanfaat yang tidak didapat dari rumah. Sekalipun dengan mengambil solusi mendirikan sekolah sesuai versi Bapang. Tidak setiap orang bisa mewujudkannya. Disamping membutuhkan biaya yang tidak sedikit, banyak hal lain yang dibutuhkan untuk mendirikan sebuah sekolah.
9. Kesalahan kata dan kalimat :
- Pokoknya serem! (hal 27) - Di ibukota negara Indonesia yang kaya raya dan gemah ripah loh jinawi, ini ada banyak sekolah-sekolah pinggiran. (hal 59) 10. Sinopsis : Ini kisah antik keluargaku bersama Ayah yang tidak mau dipanggil Ayah, maunya dipanggil Bapang. Itu panggilan untuk ayah dalam bahasa Semende. Tak cukup sampai disitu, diam-diam Bapang menganut aliran PUNK. Itu aliran yang mengagung-agungkan kebebasan. Mulai dari kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi, hingga kebebasan berkarya dan mengeluarkan pendapat. Syukurlah, Bapang tidak menata rambutnya gaya buah duren masak di pohon atau gaya sapu ijuk dari Yunani. Sebab, Bapang mengaku kalau dia itu PUNK muslim! Meski demikian, pemikiran dan tindakan Bapang sehari-hari nyentriknya minta ampun! Apa-apa diprotes, sistem pendidikan diprotes, pembangunan masjid diprotes, kepala sekolah diajak rebut, dokter ditantang, maling jemuran dijadikan sahabat, dan petugas KB di Puskesmas diajak berdebat. Klimaksnya, pada hari Senin sehabis liburan kenaikan kelas, Bapang melarang anak-anaknya pergi ke sekolah! Seragam sekolah kami dimasukkan ke dalam karung untuk dibakar. Bunda meradang melihat kenyataan itu, Berpikir bebas boleh saja, tapi membakar seragam sekolah anak-anak adalah tindakan yang tidak bisa lagi ditoleransi. Bunda melawan Bapang dengan garang. Dan kebahagiaan keluarga kami berada di ujung tanduk; akte cerai nyaris diteken! *** Seorang Bapak dalam struktur agama apapun selalu menjadi kepala rumah tangga. Bapang pun menjadi kepala rumah tangga atas seorang istri dan empat orang anaknya, Alap, Harnum, Tuah, dan Anjam dalam keluarga Islam yang kuat. Sebagaimana kebiasaan orang-orang dari suku di luar Jawa yang cenderung berperilaku kasar, Bapang bertemperamen tinggi. Tetapi sebagai salah satu sifat Tuhan yang Mahaadil, Bapang yang kasar disandingkan dengan Bunda, seorang wanita lemah lembut dari Jogja. Bapang sangat kuat dalam memegang prinsip. Dia berpendapat pendidikan sesungguhnya dan mendasar adalah di rumah. Kedua orangtualah yang pertama kali melihat perkembangan anak sekaligus paling tahu. Itu pula menjadi hal utama bagi pendidikan anak-anak kelak di luar rumah atau masyarakat, termasuk dalam sekolah formal. Dan dia sangat menjunjung tinggi bahwa setiap orang punya kelebihan sendiri- sendiri. Sehingga ketika Anjam, anak bungsunya, tidak naik kelas dua dan dikatakan bodoh oleh teman-temannya, ia sangat marah. Bagaimana mungkin juara mewarnai tingkat RT, RW, kelurahan, kecamatan bahkan tingkat kabupaten dan provinsi dengan segudang piala dan piagam dikatakan anak bodoh dan tidak naik kelas. Wali kelasnya sekalipun belum tentu bisa mewarnai dan mendapat piala serta piagam sebanyak yang Anjam peroleh. Atas prestasinya foto-foto Anjam dipasang untuk promosi spanduk penerimaan murid baru. Sementara sekolah mempunyai standar kenaikan kelas yang berbeda, yaitu bisa membaca dan menulis. Untuk itulah Bapang punya ide mendirikan sekolah sendiri. Sesuai filosofinya bahwa tidak ada orang yang bodoh, melainkan pasti punya kelebihan, dalam sekolah baru itu, mereka akan memilih jurusan sesuai dengan kelebihan yang dipunya. Muridnya pun tidak dibatasi, dari anak-anak hingga lansia, berpegang pada kenyataan, setiap orang memiliki kesiapan sendiri-sendiri dalam menghadapi hal baru, termasuk menerima pembelajaran. Tidak kuasa membendung amarah, keempat anaknya berencana dikeluarkan dari sekolah umum. Bapang bahkan rela kehilangan Bunda dengan menceraikannya ketika ia membantah keras tidak menyetujui rencananya mengeluarkan keempat anak laiknya orang bersekolah. Bunda ketakutan, tidak disangka suaminya memegang demikian kuat pendiriannya hingga siap kehilangan dirinya. Tidak mau kehilangan suami terlebih keempat anaknya, Bunda meminta pihak ketiga, yaitu Uwak Bagus, orang yang dianggap kakaknya sendiri, untuk menengahi. Setelah diberi masukan, pikiran Bapang sedikit melunak, akhirnya diambil jalan tengah. Mereka tetap masuk sekolah sampai satu tahun, menunggu sekolah versi Bapang berdiri, dengan model yang sangat berbeda dengan sekolah umum, dari peserta didik usia lima sampai lima puluh tahun, pelajaran wajib seperti spiritual, budi pekerti, personality, interpersonality dan finansial, hingga jurusan pengecapan, pendengaran, penglihatan, suara, geraka tubuh, perhitungan, dan pengucapan. Dengan model sekolah versi Bapang, terbukti dua puluh tahun kemudian, Alap, Harnum, Tuah, dan Anjam menjadi orang sukses bertumpu pada kelebihannya masing- masing. *** Agamis itu tidak dapat dinilai dari panggilan Selama ini kita lebih sering memanggil orangtua lelaki dengan Ayah, Bapak, Papa, Bokap, dan Abi. Sementara keluarga antik dalam novel ini, Paguh Nian benar-benar bersikeras dipanggil Bapang. Satu alasan sederhana, Bapang hanya ingin membuat anak-anaknya tahu panggilan ayah dalam bahasa Semende. Menghargai panggilan dalam budaya masing-masing. Bukan ikut-ikutan hanya karena ingin terlihat agamis, semisal yang sedang marak di kalangan keluarga aktivis, panggilan ummi-abi. Selain itu, novel Bapang ini menyinggung kita yang terkesan menjadi burung Beo dengan segala pemikiran, keputusan, dan yang sedang tren di sekitar. Aliran PUNK yang kita pahami selama ini adalah dandanan norak, penuh aksesoris disana-sini, tawuran di jalanan. Sejatinya tidak begitu, aliran PUNK adalah aliran kebebasan. Bapang yang mengaku muslim memegang teguh aliran PUNK ini. Bapang tak mau didikte oleh orang lain tentang cara menjalani hidup. Terkesan ekstrem. Saat mencarikan sekolah anak-anaknya, Bapang tidak kenal dan tidak peduli dengan sekolah unggulan, sekolah elite, atau sekolah favorit. Bapang tidak membutuhkan sekolah terakreditasi A, terakreditasi B atau terakreditasi C. Kualitas kepintaran anak itu hanya sedikit sekali ditentukan oleh sekolah. Yang paling menentukan adalah didikan di rumah. Walaupun sekolahnya berkualitas dan mahal, kalau orangtuanya tidak menyempatkan waktu secara disiplin untuk mendidik anak di rumah, hasilnya tidak akan terlalu menggembirakan. Paling-paling hanya dapat gengsi doang karena anaknya sekolah di SD terkenal, begitu kata Bapang. Sebab, pada dasarnya, pendidikan di sekolah itu hanya pelengkap. Ibarat makanan, sekolah hanya sayur, bukan nasi. Bapang juga termasuk keras dalam mendidik anak-anaknya ketika Alap Nian mendapat surat cinta pertama kali dari Wulandari. Bapang seolah mengajarkan bagaimana orangtua menghadapi anak-anak yang terkena virus merah jambu. Kata Bapang, Dia akan jatuh cinta kalau sudah waktunya. Dan ketika waktu itu tiba, dia sudah cukup umur benar-benar tahu apa itu cinta, sehingga dia bisa mensyukuri dan menikmati cinta. ***