MODUL XI
GERAKAN-GERAKAN MODERNISME ISLAM DI INDONESIA DAN GAGASAN
MENDIRIKAN SEKOLAH TINGGI ISLAM
DI INDONESIA
I. Petunjuk Umum
Petunjuk umum ini, memuat penjelasan tentang langkah-langkah yang akan
ditempuh dalam perkuliahan, sebagai berikut :
1. Tujuan Pembelajaran
Setelah perkuliahan berakhir mahasiswa memahami gerakan-gerakan
modernis Islam di Indonesia.
2. Materi
Gerakan-gerakan Modernis Islam di Indonesia dan Gagasan Mendirikan
Perguruan Tinggi Islam.
3. Indikator Pencapaia
Setelah kuliah berakhir mahasiswa dapat menjelaskan dan mengkritis
gerakan-gerakan modernis Islam di Indonesia dan Gagasan Mendirikan
Perguruan Tinggi Islam
4. Sumber
Ary H. Gunawan,1996, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan [Edisi Revisi], Cet.II,
Rineka Cipta, Jakarta.
Aunur Rahim Faqih dan Munthoha, 1997, Pemikiran dan Peradaban Islam,
UII Press, Yogyakarta.
Bob S.Hadiwinata, Masyarakat Sipil Indonesia: Sejarah, Kelangsungan, dan
Transformasinya, dalam Wacana, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif,
Edisi 1.Vo.1,1999.
Craig Calhoun, Social Theory of the Politics of Identity, Blackwell Publihers,
USA,1994.
Dahlan Thaib dan Moh. Mahfud MD, 1984, [penyunting], 5 Windu UII,
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta 1945-1984, Liberty Offsit, Yogyakarta.
Delian Noer, 1995, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, cet.
Ketujuh, LP3ES, Jakarta
Fazlur Rahman, 1982, Islam & Modernity, Transformation of an Intellectual
Tradition, University of Chicago Press, Chicago, hlm. terj. Ahsin
Mohammad, 1985, Islam dan Modernitas, Tentang Transformasi
Intelektual, Pustaka, Bandung
Hujair AH. Sanaky, 2003, Paradigma Pendidikan Islam, Membangunan
Masyarakat Madani Indonesia, MSI dan Safiria Insania Press,
Yogyakarta.
5. Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran yang digunakan adalah Ceramah dan Active Debate.
Skenario kelas: dengan waktu 100 menit, langkah-langkah yang dilakukan,
sebagai berikut :
a. Materi kuliah telah diberikan kepada mahasiswa 1 [satu] minggu sebelum
perkuliahan. Mahasiswa diharuskan untuk membaca dan memahami
materi tersebut agar memudahkan debat.
b. Dalam kegiatan debat, kelas dibagi menjadi 4 [empat] atau 5 [lima]
kelompok. Secara acak akan ditugaskan [1] kelompok pertama ditetapkan
sebagai penyaji, [2] kelompok kedua dan ketiga ditentukan sebagai
kontra atau penyangga, [3] kelompok keempat sebagai pembela
kelompok pertama, dan [4] kelompok kelima sebagai penengah. Masing-
masing kelompok terdiri 5 [lima] atau lebih mahasiswa atau lebih.
c. Sebelum debat dimulai dosen menyajikan global materi kuliah yang
akan didebatkan kepada mahasiswa dalam bentuk ceramah.
d. Sebelum debat dilaksanakan, masing-masing kelompok menetukan juru
bicaranya. Masing-masing kelompok mendikusikan materi pada
kelompoknya sendiri dan merumuskan arguman-argumen dari hasil
diskusinya.
7. Evaluasi
a. Setelah kegiatan belajar berakhir, mahasiswa diminta mengerjakan test
[post test], sehingga dapat diketahui seberapa jauh Tujuan Pembelajaran
dalam pembahasan materi tersebut dapat tercapai.
1
Dahlan Thaib dan Moh. Mahfud MD, 1984, [penyunting], 5 Windu UII, Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan Universitas Islam Indonesia Yogyakarta 1945-1984, Liberty Offsit, Yogyakarta., hlm. 7.
Madinah, dan Makkah. Kesempatan belajar ini bukan saja menimbulkan kontak
intelektual di antara mahasiswa Indonesia di Timur Tengah, tetapi mereka
mengalami langsung suasana pembaruan yang disosialisasikan oleh tokoh-tokoh
seperti Afghany, Abduh, Rashid Ridha, Sayyid Qutb, dan lain-lain2. Kedua, banyak
tokoh-tokoh Islam Indonesia yang memperoleh informasi melalui brosur-brosur
dan majalah-majalah dari Timur Tengah serta negara-negara Islam lainnya. Para
mahasiswa yang belajar di Timur Tengah mengadakan koresponden dengan
teman-teman di Indonesia dengan memperkenalkan ide-ide pembaruan dengan
mengirimkan tulisan-tulisan pembaharu Timur Tengah dan salah satunya adalah
ide pembaruan di bidang pendidikan. Publikasi lewat majalah al-Manar yang
banyak memperkenalkan gagasan pembaruan pendidikan. Ketiga, kontak
langsung umat Islam Indonesia dengan umat Islam lain melalui sarana ibadah haji
yang tidak dapat dibendung, walaupun pemerintahan kolonial Belanda berusaha
membatasi dan mengawasi jumlah jemaah haji, sehingga peluang umat Islam
Indonesia untuk membawa pengalaman-pengalaman mereka dari luar terutama
dari negara-negara Islam ke Indonesia sangat terbuka.
Gerekan-gerakan kebangkitan Islam menginspirasi umat Islam Indonesia
untuk segera melakukan perubahan. Perkumpulan Jamiat Khair yang didirikan di
Jakarta, telah menghasilkan tokoh-tokoh masyarakat yang jadi pelopor
pembaharuan dikemudian hari, misalnya KHA. Dahlan, sebagai pendiri
Muhammadiyah. Jamiat Khair didirikan pada tahun 1901 tanpa ijin pemerintah
kolonial Belanda. Namun, para pemimpin dari perkumpulan ini mempunyai
hubungan dengan negara-negara Islam yang sudah maju, seperti Mesir dan
Turki. Mereka mendatangkan majalah dan surat kabar yang dapat
membangkitkan rasa kenasionalisme bangsa Indonesia seperti al-Muayat, al-
Liwa, al-Ittihad, as-Siyasah, dan al-Musyawarah. Perkumpulan ini kurang
menyenangkan pemerintah kolonial Belanda, karena perkumpulan ini mempunyai
pengaruh dalam membangkitkan semangat baru di Indonesia3.
Dari perkumpulan-perkumpulan ini lahir karangan-karangan yang bertema
membangkitkan semangat kebangsaan, karangan mengenai pergerakan Islam di
Indonesia yang dimuat dalam surat kabar dan majalah di Istambul. Majalah al-
Mannar, mendapatkan sumber-sumber pemberitaannya dari perkumpulan ini.
Oleh karena itu, perkumpulan ini mendapatkan pengawasan yang sangat ketat
dari pemerintahan kolonial Belanda. Khalifah di Istambul mengirimkan utusannya,
Ahmed Amin Bey, ke Indonesia atas permintaan perkumpulan ini, untuk
menyelidiki keadaan muslimin di Indonesia. Akibatnya, pemerintah kolonial
Belanda melarang beberapa daerah tertentu yang tidak boleh didatangi oleh
orang Arab. Pada tahun 1905, Jamiat Khair, mendapatkan izin dari pemerintahan
kolonial Belanda untuk mendirikan perkumpulan tersebut secara sah dengan
2
Mastuki HS, Sejarah Asal-Usul Madrasah, From: http://www. bagais. go.id/index.htm. Akses, 19
Oktober 2002.
3
Aunur Rahim Faqih dan Munthoha,1998, Pemikiran dan Peradaban Islam, UII Press, Yogyakarta.
hlm.105.
syarat tidak boleh membuka cabang di Jakarta. Pada awal pendiriannya, Jamiat
Khair gerekannya lebih menitik beratkan pada usaha pendidikan, namun pada
perkembangan selanjutnya Jamiat Khair memperluas kegiatannya dengan
bidang dawah dan penerbitan surat kabar Harian Utusan Hindia, yang dipimpin
oleh Umar Said Cokroaminoto [Maret 1913]4.
Selain perkumpulan tersebut, berdiri pula a-Islah wal Irsjad yang merupakan
ikatan orang-orang Arab. Bersamaan itu pula berdiri ar-Rabithah al Alawiyah,
suatu ikatan keturunan Sayyid Alawi yang resmi didirikan tahun 1928 di Jakarta.
Organisasi ini menitikberatkan pada penerbitan majalah sendiri dengan judul ar-
Rabithah. Tujuan organisasi ini adalah mengusahakan segala sesuatu yang dapat
memajukan golongan Arab yang berasal dari Arab Selatan [Syabul Hadhrami].
Yang menguntungkan bagi umat Islam pada umumnya adalah didirikannya,
rumah-rumah miskin, memberikan pertolongan bagi orang-orang terlantar, dan
menyiarkan ajaran Islam yang terbuka untuk umum. Pelopor pendiri organisasi ini
adalah Sayyaid Muhammad bin Abdurrahman bin Shahab. Organisasi ini
perkembangannya sampai Singapura dan membuka perwakilan organisasi di
Singapura. Organisasi ini menyerukan persatuan di antara semua orang Arab atau
keuturunan di Indonesia, dan jangan memperbesarkan perbedaan keturunan di
Indonesia demi kelancaran ajaran Islam. Mereka menyatakan kecintaan kepada
Indonesia sebagai tanah airnya, mereka memasuki gerakan-gerakan Islam
nasional, dan mereka dengan cepat mengadakan asimilasi dengan bangsa
Indonesia terutama dalam bidang kebudayaan5.
Di Jawa Barat, pada tahun 1917 berdiri organisasi Persatuan Oemat Islam
[POI] di Majalengka dengan tokoh KH. Ahmad Halim. Beliau adalah ulama yang
disenangi rakyat dan pernah menjadi murid pemikir Islam terkenal Syeikh
Thanthawi Djauhari, pengarang tafsir al-Djawahir, pengarang al-Quran wal
Ulumil Asyriah [buku ini pernah dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda masuk
ke Indonesia karena semangat ilmiha yang terkandung di dalamnya]. Maka, sejak
tahun 1917, KH. Ahmad Halim, giat mendirikan sekolah-sekolah, mulai tingkat
Ibtidaiyah [tahun 1917] sampai sekolah guru Madrasah Muallimin [tahun 1923].
KH. Ahmad Halim, juga berhasil mendirikan perguruan tinggi yang diberi nama
Santi Ashrama walaupun mendapatkan tantangan dan ancaman dari
pemerintahan kolonial Belanda. Para mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi
ini selain mendapatkan pengetahuan agama dan umum dan juga mendapatkan
pelatihan pekerjaan tangan dan kerajinan.
Tahun 1930, organisasi Jamiatul Wasliyah berdiri di Medan tepatnya pada
tanggal 30 November 1930. Pemimpin-pemimpinya berpikir maju, setelah melihat
kelemahan-kelemahan umat Islam, dalam bentuk perselisihan diantara mereka
sendiri, melihat perkembangan umat Kristen yang makin menghebat, dan melihat
kesempitan bergerak bagi umat Islam yang makin dirasakan, apalagi dengan
4
Ibid, hlm.106.
5
Ibid, hlm.106-107.
adanya gejala yang makin nampak, berupa penyimpangan pendidikan yang tidak
serasi dengan kepribadian bangsa Indonesia. Organisasi Jamiatul Wasliyah
bertujuan melaksanakan tuntunan agama Islam, memperkuat hubungan di antara
kaum muslimin, berbuat baik serta berlaku adil dengan yang bukan muslim, yang
tidak memusuhi kaum muslimin sendiri dalam agamanya dan dalam perjuangan
negerinya, memperbanyak tablig, menyampaikan dawah Islam kepada mereka
yang belum Islam, mendirikan perguruan-perguruan, menerbitkan berkala maupun
harian, dan semua kegiatan lain yang bermanfaat bagi kehidupan dan
penghidupan umat Islam. Jamiatul Wasliyah, mempunyai jasa besar dalam peng-
Islaman orang-orang Batak Karo yang masih paganistis.
Perkumpulan laian, adalah pergerakan Tarbiyah Islamiyah [PERTI], berdiri
pada tahun 1928. Perkumpulan ini bergerak dalam lapangan pendidikan Islam,
dengan bekerja sama dengan golongan adat Minangkabau. Sekolah-sekolahnya
meluas sampai ke Indragiri, Jambi, Tapanuli, Bengkulu, Aceh, bahkan mencapai
Kalimantar Barat dan Sulawesi. Sekolah-sekolah makin lama makin maju,
demikian juga masjid-masjid yang didirikannya, merupakan lambing gerakan
modernis walaupun dengan dasar tradisi. Pergerakan ini sukar menerima ajaran
Salaf dengan aliran pembaharuannya yang terkenal. Di Jawa Barat, tepatnya di
Menes juga berdiri perkumpulan Mathlaul Anwar pada tahun 1905. Pada masa
kepemimpinan KH. Abdurrahman, perkumpulan ini bekerjasama dengan Syarekat
Islam dalam hal-hal menentang politik colonial Belanda dan membela
kemerdekaan rakyat, terutama dalam persoalan tanah. Pada tahun 1926,
Mathlaul Anwar bekerjasama dengan SI dan komunis berusaha mengusir
penjajahan Belanda dari bumi Indonesia6.
Organisasi Muhammadiyah, adalah salah satu organisasi sosial Islam yang
terpenting di Indonesia sebelum perang dunia II dan mungkin sampai saat
sekarang ini adalah Muhammadiyah. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada
tanggal 18 November 1912 bertepatan dengan tanggal 18 Zulhijjah 1330 H, oleh
Kiai Haji Ahmad Dahlan. Organisasi ini merupakan "perkumpulan yang dapat
dianggap sebagai pelopor pembaharu yang mengajarkan agama di Indonesia"7.
Fazlur Rahman, seorang ilmuan dari Pakistan, menyatakan bahwa "organisasi
Muhammadiyah adalah organisasi yang modernis dan progresif"8. Hal ini
dibuktikan dengan kegiatan KHA. Dahlan, selalu "mengajarkan pendidikan Islam
secara modern dan senantiasa ia berusaha untuk mengubah konservatisme
[paham kolot]". Organisasi Muhammadiyah, "berusaha mengembalikan ajaran
Islam kepada sumber aslinya yaitu Qur'an dan Sunnah, seperti yang diamanatkan
oleh Rasulullah SAW. Itulah sebabnya tujuan perkumpulan ini, ialah: meluaskan
6
Aunur Rahim Faqih dan Munthoha, 1998, op.cit., hlm.106-108-109.
7
Delian Noer, 1995, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, cet. Ketujuh, LP3ES, Jakarta, hlm.
85.
8
Fazlur Rahman, 1982, Islam & Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, University of
Chicago Press, Chicago, hlm. terj. Ahsin Mohammad, 1985, Islam dan Modernitas, Tentang Transformasi
Intelektual, Pustaka, Bandung, 53.
Hijaz yang dibangun dengan dua maksud: Pertam, untuk mengimbangi Komite
Khilafah yang secara berangsur-angsur jatuh ke tangan golongan pembaharu.
Kedua, untuk berseru kepada Ibnu Sa'ud, penguasa baru di tanah Arab, agar
kebiasaan beragama secara tradisi dapat diteruskan. Pandangan lain, yaitu
maksud berdirinya gerakan Nahdlatul Ulama "sebagai reaksi terhadap gerakan
reformasi kalangan umat Islam Indonesia yang berusaha mempertahankan salah
satu dari empat mazhab dalam masalah yang berhubungan dengan fiqh, yaitu
Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi'i, dan Mazhab Hambali, sedangkan
dalam hal i'tiqad Nahdlatul Ulama berpegang pada aliran Ahlussunah Waljama'ah.
Dalam konteks ini NU memahami hakikat Ahlussunah Waljama'ah sebagai ajaran
Islam yang murni, sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah bersama
para sehabatnya".
Pada mulanya Nahdlatul Ulama merupakan organisai keagamaan, akan
tetapi dikarenakan oragnisasi ini lahir dan tubuh pada masa pergerakan nasional,
tentu Nahdlatul Ulama tidak dapat terlepas dari langkah-langkah yang berisi dan
berjiwa pergerakan untuk membebaskan diri dari penjajahan, atau terlibat dalam
kanca politik di antaranya, menolak subsidi yang ditawarkan pemerintah untuk
madrasah NU dan menolak kerja rodi yang dibebankan kepada bangsa Indonesia,
menolak rencana ordinansi perkawinan tercatat, menolak diadakan milisi,
mendukung tuntutan berparlemen, mengadakan usaha-usaha sosial dalam
masyarakat, dan mendidik mental beragama di antaranya mendirikan pondok
pesantren. Selain alasan-alasan ini, "motivasi utama berdirinya Nahdlatul Ulama
adalah untuk mengorganisasikan potensi dan peran ulama pesantren yang sudah
ada, untuk lebih ditingkatkan dan dikembangkan secara luas. Nahdlatul Ulama,
digunakan sebagai wadah untuk mempersatukan dan menyatukan langkah para
ulama pesantren di dalam tugas pengabdian, yang tidak terbatas kepada masalah
kepesantrenan dan kegiatan ritual Islam saja, tetapi lebih diringkaskan lagi agar
para ulama lebih peka terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi dan masalah-
masalah kemasyarakatan pada umumnya".
Nahdlatul Ulama, sebagai organisasi Islam "bertujuan memegang teguh pada
salah satu mazhab dari keempat mazhab, yaitu : Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan
Hambali dan mengerjakan apa-apa yang menjadikan kemaslahan untuk Agama
Islam. Maka untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkah yang dilakukan
adalah : [1] Mengadakan hubungan di antara ulama-ulama yang bermazhab
tersebut di atas. [2] Memeriksa kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar,
supaya diketahui apakah kitab itu termasuk kitab-kitab Ahlussunah Waljama'ah
atau kitab-kitab ahli bid'ah. [3] Menyiarkan agama Islam berdasarkan pada
mazhab-mazhab tersebut di atas dengan jalan apa saja yang baik. [4] Berikhtiar
memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasarkan agama Islam. [5]
Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid, surau-surau dan
pndok-pondok, dan anak-anak yatim dan orang-orang fakir miskin. [6] Mendirikan
badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan dan perusahan yang
tidak dilarang oleh syara' agama Islam". Inilah maksud dan tujuan konsep
9
Baca : Aunur Rahim Faqih dan Munthohah, 1998, hlm. 108-110.
pengajaran dengan metode sorogan dan halaqah.19 Hal yang menarik dalam
sistem pendidikan tersebut adalah "tidak dipungut biaya", hanya tergantung pada
kerelaan [keikhlasan] orang tua murid, sehinga sesuatu yang dapat diberikan
berupa "benda" sebagai tanda mata atau uang sesuai kemampuan dan kerelaan
masing-masing orang tua. Hubungan kiai dngan murid dan orang tua sangat
kental, karena diikat oleh rasa hormat pada kiai dan seorang kiai atau guru
dipandang sebagai seorang yang memiliki kharisma dan siswa tidak boleh
mengecam kiai atau guru karena dianggap berdosa. Model belajar seperti ini dapat
terbangun suatu hubungan sosial antara murid dengan guru yang sangat kuat dan
kental serta hubungannya dapat berlangsung terus walaupun murid-murid telah
melanjutkan pelajarannya ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi20.
Pemikiran kebudayaan meliputi gending-gending Jawa karya Sultan Agung
dan lagu-lagu atau tembang-tembang macapat yang bernafaskan Islam. Demikian
pula perayaan Sekaten yang diadakan untuk dawah Islam menjelang perayaan
kelahiran Nabi Muhammad saw, dengan dipukulnya instrumen Jawa gending-
gending Sekaten yang diberi nama Salatun, Ngajbun dan lain-lain.
19
Sistem sorogan, murid-murid belajar secara perorangan dengan guru atau kyai [Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam,hlm.23]. Sistem khalaqah, seorang guru atau kyai dalam memberikan pengajaran sambil
duduk bersila dengan dikelilingi oleh murid-muridnya, guru dan semua murid harus sama-sama memengang
kitab kemudian guru atau kyai membaca dan disimak oleh murid-muridnya [Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, hlm. 57].
20
Hujair AH. Sanaky, 2003, Pembaruan Pendidikan Islam, Menuju Masyarakat Madani Indonesia [Tinjauan
Sosio-kultural Historis], Tesis, S-2, Magister Studi Islam UII, Yogyakarta, hlm, 28-29.
poranda, tetapi kenyataanya lain. Umat Islam di Indonesia pada zaman itu, justru
banyak melakukan aktivitas pendidikan Islam dan lembaga-lembaga pendidikan
Islam tumbuh dan berkembang sebagaimana adanya dan sulit dibendung
pemerintahan kolonial Belanda. Kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintahan
Belanda tersebut dengan tujuan untuk mengekang dan bahkan mematikan
aktivitas pendidikan Islam berlangsung sampai Jepang berhasil mengusir
pemerintah Hindia Belanda dari bumi Indonesia dan "menguasai Indonesia pada
tahun 1942 dengan membawa semboyan: Asia Timur Raya untuk Asia dan
semboyan Asia Baru"24.
terdapat perubahan dalam penggunaan istilah dan nama mulai dari sekolah Dasar
samapi sekolah tinggi serta sekolah-sekolah kejuruan dan sekolah-sekolah
tersebut terbuka bagi semua golongan penduduk dari sekolah dasar sampai
perguruan tinggi. Dengan penataan sistem pendidikan dan persekolahan,
kesempatan belajar terbuka lebar bagi semua golongan penduduk di Indonesia
dan semua mendapat kesempatan yang sama, sehingga jalur-jalur sekolah dan
pendidikan menurut penggolongan keturunan bangsa, strata ataupun status sosial
telah dihapuskan". Banyak sekolah-sekolah yang telah diseragamkan dan
dinegerikan dan bagi sekolah-sekolah swasta seperti sekolah Muhammadiyah,
Taman Siswa, madrasah-madrasah, dan lain-lainnya tetap dizinkan untuk terus
berkembang, walaupun dengan pengaturan yang diselenggarakan oleh
pemerintahan pendudukan Jepang.
33
Ibid, http://rully-indrawan.tripod.com/rully01.htm,
selalu dianggap berjalan linier dengan penggugatan Dwi Fungsi ABRI. Dengan
begitu menurut yang pro pada pemikiran ini, konsep Indonesia baru yang dicita-
citakan merupakan masyarakat tanpa pengaruh dan dominasi kekuatan militer.
Maka dengan demikian dinamika kehidupan sosial dan politik harus memiliki garis
batas pemisah yang jelas dengan dinamika pertahanan dan keamanan.
Koreksi kritis terhadap peran sosial ABRI bagi sementara orang merupakan
keharusan sejarah setelah melihat betapa rezim lama memposisikan ABRI sebagai
backing untuk melindungi kepentingan-kepentingan kelompok ekonomi kuat
tertentu yang memiliki akses bagi penguatan legitimasi politik Soeharto.
Sementara mereka tidak melihat komitmen yang sebanding untuk fungsi
substansialnya yakni pertahanan dan keamanan.
Berlanjutnya kerusuhan di beberapa tempat dan terancamnya rasa aman
masyarakat, serta kekurangprofesionalan dalam teknik penanganan pada kasus-
kasus politik tertentu merupakan bukti kuat bahwa militer tidak cukup memiliki
kecakapan pada fungsi utamanya. Maka sangat wajar bila kader-kader militer
dipersilahkan untuk hengkang dari posisi eksekutif dan legislatif, ke tempat yang
lebih fungsional yakni barak-barak.
Kekurangsetujuan terhadap implementasi Dwi Fungsi ABRI, khususnya tugas
kekaryaan, sebenarnya syah-syah saja namun masalahnya apakah masyarakat
madani tepat bila hanya dipersepsikan sebagai bentuk peminggiran peran militer.
Kebutuhan untuk keluar dari rasa takut akibat distorsi peran militer selama masa
orde baru menyebabkan terjadinya proses kristalisasi konsep masyarakat madani
yang berbeda dengan konsep bakunya. Dengan kata lain telah terjadi gejala
contradictio internemis pada wacana masyarakat madani dalam masyarakat kita
dewasa ini.
Masyarakat Sipil Vs Negara, masyarakat madani atau masyarakat sipil [civil
society] dalam wacana baku ilmu sosial pada dasarnya dipahami sebagai antitesa
dari masyarakat politik atau negara. Pemikiran itu dapat dilacak dari pendapatnya
Hobbes, Locke, Montesquieu, Hegel, Marx, Gramsci dan lain-lain. Pemikiran
mengenai masyarakat sipil tumbuh dan berkembang sebagai bentuk koreksi
radikal kepada eksistensi negara karena peranannya yang cenderung menjadi alat
kapitalisme.
Substansi pembahasannya terletak pada penggugatan hegemoni negara
dalam melanggengkan kekuatan kelompok kapitalis dengan memarjinalkan peran
masyarakat pada umumnya. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah kekuatan non-
pemerintah yang mampu mengimbangi dan mencegah kekuatan negara untuk
mengurangi tekanan-tekanan yang tidak adil kepada rakyatnya. Akan tetapi di sisi
lain, mendukung peran pemerintah dalam menjadi juru damai dan penjaga
keamanan dari kemungkinan konflik-konflik antar kepentingan dalam masyarakat.
Dengan kata lain perlu adanya reposisi struktural dan kultural antar
komponen dalam masyarakat, sederhananya, serahkan urusan rakyat pada
rakyat, dan posisikan pemerintah sebagai pejaga malam. Penggugatan peran
pemerintah oleh rakyat dalam konstelasi sosial di Indonesia bukan sama sekali
34
Baca: Hujair AH. Sanaky, 2003, Paradigma Pendidikan Islam, Membangunan Masyarakat Madani
Indonesia, MSI dan Safiria Insania Press, Yogyakarta, hlm. 19-55.
lainnya, seperti PTI Muhammadiyah, PTI Santi Ashrama, dan lain sebagainya.
Walaupun corak keterpisahan itu tidak pernah menimbulkan pertentangan antara
satu dengan yang lainnya, tetapi jelas kekuatan pendukungnya tidak sekuat
seandainya didirikan oleh berbagai organisasi Islam seperti STI yang didukung
oleh sebagai lembaga Islam yang ada. Sedangkan Perguruan tinggi yang sudah
bercorak persatuan dari ummat Islam adalah perguruan yang didirikan berda-
sarkan hasil mu'tamar MIAI di Solo, namun tidak bertahan lama, karena pada
tahun 1941 terpaksa berhenti disebabkan oleh situasi politik, yaitu pecahnya
Perang Dunia II38.
38
Supardi, dkk.,1994, op.cit., hlm.19.
39
Organisasi-organisasi Islam yang terhimpun dalam Masyumi, terdiri dari Nahdlatul Ulama [NU],
Muhammadiyah, Persatuan Oemat Islam [POI], dan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), oleh Jepang
dizinkan hidup terus sebagai organisasi sosial dan da'wah.
3. Pembukaan STI
Setelah panitia Perencana mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan
seperti disebutkan di atas, maka panitian memilih hari yang baik yaitu hari
peringatan Isra dan Miraj Nabi Muhammad saw, dengan harapan agar STI
menjadi lembaga kesucian turunya perintah sholat. Maka bertepan dengan hari
peringatan Isra Miraj Nabi, yakni pada tanggal 27 Rajjab 1364 H, bertepatan
dengan tanggal 8 Juli 1945 Sekolah Tinggi Islam resmi didirikan/dibuka 45.
Menurut Mahmud Yunus, tujuan mendirikan STI adalah "untuk mengeluarkan alim
ulama yang intelek, yaitu mereka yang mempelajari ilmu pengetahuan agama
Islam secara luas dan mendalam, serta mempunyai pengetahuan umum yang
42
Dahlan dan Moh. Mahfud, MD.,1984, op.cit., hlm. 13.
43
Menurut Panitia Penyusun Buku Kenang-kenangan 10 Tahun UII arsip tentang susunan pengurus
dan anggota Badan Wakaf yang pertama itu telah hilang ketika terjadi peristiwa penyerbuan tentara NICA ke
Sekretariat STI, sehingga mungkin massih ada orang lain di samping yang tercatat di atas [Dahlan dan Moh.
Mahfud, MD. 5 Windu UII, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta 1945-1984, Leberty, Offset, Yogyakarta, 14
44
Dahlan dan Moh. Mahfud, MD., op.cit., hlm. 13-14.
45
Supardi, dkk., 1994, op.cit., hlm.25.
46
Mahmud Yunus, 1979, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Cet.Kedua, Mutiara, Jakarta, hlm. 288].
47
Dahlan dan Moh. Mahfud, MD.1984, op.cit., ,hlm.17.
Rajjab 1367 H atau 10 Maret 1948 M yang merupakan kelanjutan dan pengganti
dari STI yang dibuka pertama kali di Jakarta pada tanggal 27 Rajjab 1361 H atau
8 Juli 194550.
Jadi, Sekolah Tinggi Islam [STI] yang diubah menjadi Universitas Islam
Indonesia [UII], tepatnya pada tanggal 10 Maret 1948, dengan mempunyai
beberapa fakultas yaitu fakultas agama, fakultas hukum, fakultas ekonomi, dan
fakultas pendidikan [paedagogik]. Kemudian, pada tahun 1950, fakultas agama
diserahkan kepada Kementerian Agama RI, dan dijadikan Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri [PTAIN] dengan peraturan Pemerintah No.34 tahun 1950
[Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, hlm. 288]. dan
kemudian berkembang perguruan tinggi Islam dan perguruan tinggi lain sampai
saat ini.
Dari paparan di atas, dapat dikatakan bahwa Sekolah Tinggi Islam [STI]
yang sekarang menjadi UII adalah Universitas swasta nasional yang paling tua di
Indonesia, karena pada saat itu [beberapa lama] setelah UII didirikan di
Indonesia belum ada satupun universitas yang didirikan dan bercorak nasional.
Memang, secara umum sudah ada Perguruan Tinggi yang lebih dahulu ada
sebelum UII yaitu perguruan tinggi yang tidak bernafas kebangsaan Indonesia
melainkan merupakan produk pemerintahan kolonial Belanda sebagai strategi
politis etik [menjaga opini publik tentang sikap penjejah kepada pribumi].
Lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang tidak bernafas kebangsaan Indonesia
yang didirkan oleh pemerintahan kolonial Belanda adalah Technische
Hoogeschool [yang kini bernama ITB, berdiri tahun 1920 di Bandung], Recht
Hoogeschool [Sekolah Tinggi Hukum, berdiri tahun 1924 di Jakarta], dan
Pendidikan Tinggi Pertanian [berdiri di Bogor tahun 1941]. Perguruan tinggi ini
tidak bernafas kebangsaan Indonesia, tetapi merupakan produk pemerintahan
kolonial Belanda.
IIII. Lembar Latihan
Pada lembar latihan ini, mahasiswa diminta untuk menjawab atau memecahkan
masalah pada akhir kuliah, sebagai berikut.
1. Apa yang menjadi kekhawatiran dan analisis Snouck Horgronje, terhadap
Pan-Islamisme yang akan masuk ke Indonesia?
2. Apa yang menjadi perhatian organisasi Jamiatul Wasiliyah, sehingga
pimpinan berpikiran maju, jelaskan?
3. Gerakan pengembagan organisasi Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan
dari situasi sosial. Kmukakan situasi sosial tersebut!
4. Apa alasan didirikannya organisasi Nahdlatul Ulama. Pada mulanya
organisasi ini merupakan organisasi keagamaan dan kemudian terlibat dalam
dunia politik. Kemukakan alasannya!
5. Apa yang mewarnai kebijakan pemerintahan Belanda dalam bidang
pendidikan di Indonesia?
50
Ibid, hlm.29.
MODUL XII
PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM
I. Petunjuk Umum
Petunjuk umum ini, memuat penjelasan tentang langkah-langkah yang akan
ditempuh dalam perkuliahan, sebagai berikut :
6. Tujuan Pembelajaran
Setelah kuliah berakhir, mahasiswa memahami masa depan kebudayaan
dan kebangkitan kebudayaan Islam.
7. Materi
Masa Depan Kebudayaan dan Kebangkitan Kebudayaan Islam
8. Indikator Pencapaian
Mahasiswa dapat menjelaskan masa depan kebudayaan dan kebangkitan
kebudayaan Islam.
4. Sumber
Fahmi Huwaidi, Kebangkitan Islam dan Persamaan Hak Antar Warga Negara,
http://media. isnet.org/islam/ Bangkit/ Huwaidi1.html, akses, 2/9/2003.
Faisal Ismail, 1998, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi
Historis, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, hal, 261-272].
Hasan at-Turabi, kebangkitan Islam [fakta dan analisa], http://www. geocities.
com/ kebenaran_ islam/ kebangkitan. html, akses, 2/9/2003.
Nourouzzaman Shiddiqi, 1996, Jeram-jeram Peradaban Muslim, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
5. Strategi Pembelajaran
7. Evaluasi
c. Setelah kegiatan belajar berakhir, mahasiswa diminta mengerjakan test
[post test], sehingga dapat diketahui seberapa jauh Tujuan Pembelajaran
dalam pembahasan materi tersebut dapat tercapai.
d. Apabila mahasiswa dapat menjawab 70% dari soal-soal test dengan betul,
berarti mahasiswa telah mencapai Tujuan Pembelajaran dalam
pembahasan materi yang disampaikan dosen.
di kalangan pemeluknya. Hal ini menyiratkan kesan bahwa Islam menjadi penting
kambali. Artinya, Islam memperoleh kembali prestise dan kehormatan dirinya.
Kedua, kebangkitan kembali mengisyaratkan bahwa keadaan tersebut telah
terjadi sebelumnya. Maka dalam gerak kebangkitan kembali ini terdapat keterkaitan
dengan masa lalu; bahwa kejayaan Islam pada masa lalu itu jejak hidup Nabi
Muhammad saw, dan para pengikutnya memberi pengaruh besar terhadap
pemikiran orang-orang yang menaruh perhatian pada jalan hidup Islam pada
masa lalu51.
Menurut Chandra Muzaffar, kebangkitan kembali Islam antara lain diilhami
oleh beberapa faktor, yaitu: Pertama, kekecewaan terhadap peradaban Barat
secara keseluruhan yang dialami oleh generapi baru Muslim. Kedua, gagalnya
sistem sosial yang bertumpu pada kapitalisme dan sosialisme. Ketiga, ketahanan
ekonomi negara-negara Islam tertentu akibat melonjakkanya harga minyak, dan
Keempat, rasa percaya diri kaum Muslimin akan masa depan mereka akibat
kebenangan Mesir atas Israil tahun 1975, revolusi Iran tahun 1979 dan fajar
kemunculan kembali peradaban Islam abad ke-15 menurut kalender Islam52.
Di sisi lain, sebagian ahli mengatakan bahwa kebangkitan Islam merupakan
wacana yang suram dalam pemikiran Islam kontemporer. Tetapi, fenomena ini tidak
sepenuhnya tampak jelas, tetapi sebaliknya tidak pula dapat dikatakan tidak jelas.53
Fenomena ini dapat diamati dibeberapa negara Islam yang mengalami krisi politik,
eknomi, dan sosial budaya seperti Afganistan, Iraq, Indonesia sebagai negara
muslim yang mengalami krisis ekonomi berkepanjangan. Palestina yang
mengalami tekanan dari Israil dan Amerika yang tidak memapu bangkit dan
berkembang, serta Iraq yang dijajah oleh Amerika sebagai emperialisme baru diera
modern.
Ungkapan kebangkitan kembali di atas menyiratkan adanya proses dan
gerak berkesinambungan yang mengacu ke masa depan yang dinamik. Dinamik
Islam dalam kebudayaan sebagaimana telah dicapainya pada masa-masa
keemasannya diharapkan dapat tampil kembali dan sekaligus menjadi tenaga
penggerak bagi munculnya kejayaan budaya baru di masa depan. Kejayaan ini
hanya akan mucul jika dinamika Islam benar-benar dapat menyentuh dan
membangkitkan seluruh rangsangan budaya. Untuk itu sikap kultural yang kreatif
harus tumbuh dan menggelora dalam gerak dunia Islam54.
Tantangan terhadap Islam dewasa ini justru datang dari segi kebudayaan.
Persoalan kebudayaan dan peradaban kurang menjadi perhatian dan pemikiran
51
Chandra Muzaffar, Kebangkiuatn Kembali Islam: Tinjauan Global dengan Ilustrasi dari Asia Tenggara,
dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddiqie, eds., Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, terj.
Rachman Achwan, LP3ES, 1989, Jakarta, hlm. 7., dan dalam Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam,
Studi Kritis dan Refleksi Historis, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, hlm.261.
52
Ibid, hlm. 32 dan Faisal Ismail, ibid. 262.
53
Fahmi Huwaidi, Kebangkitan Islam dan Permaslahan Hak Antara Warga Negara, From: http:/ /mediua.
isnet.org/islam/Bangkit/Huwaidi1.html., akses, 2 September 2003.
54
Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, Titian Ilahi Press,
Yogyakarta, hlm.262
baru serta kreatif sebagai upaya memajukan kebudayaan dan peradaban Islam.
Tanpaknya umat Islam lebih puas menerima kebudayaan dan peradaban dari dunia
Barat, karena takut dikatakan tidak mau menerima perubahan, ketinggalan zaman,
dan bahkan dikatakan kolot. Kemudian umat Islam mengeksport secara besar-
besaran, pemakai, dan bahkan sebagai pengagum budaya dan peradaban Barat.
Jadi, tantangan Islam dewasa ini justru dari segi kebudayaan. Artinya pemikiran
umat Islam pada masalah ibadah [formal] sudah selesai. Asal ibdat itu dikerjakan
dengan baik, benar, khusyu dan ikhlas, sudah memenuhi syarat. Umat Islam tidak
lagi memikirkan tata cara dan upacaranya, sebab telah ada ketentuan-ketentuan
dari Allah yang sudah pasti, permanen dan serba tetap. Namun untuk masalah-
maslah kebudayaan meminta perhatian dan pemikiran-pemikiran baru yang kreatif
dalam upaya memajukannya.55
Untuk selalu mengagung-agungkan kebesaran masa silam sudah bukan
waktunya lagi. Mempelajarinya masa lalu sebagai pengalaman, pengetahuan, dan
sejarah [historis] untuk membangun perdaban masa depan adalah suatu hal yang
harus dilakukan. Tetapi, sikap selalu mengagungkan kebesaran masa silam
adalah sikap defensif dan apologetis. Mental defensif dan apologetis dalam banyak
hal tidak selalu menguntungkan karena berpikir secara reaktif, tidak kreatif. Sikap
dan mental defensif dan sikap apologetis hanya memberikan kepuasaan
sementara dan kebanggaan semu, tetapi tidak memberikan fungsi sebenarnya
kepada akal. Karena itu, dalam rangka pengembangan kebudayaan Islam, akal
harus difungsikan secara kreatif untuk menghasilkan karya-karya yang
mengukuhkan eksistensi pilar-pilar masa depan Islam. Untuk itu, kebesaran masa
lalu memang harus dipelajari secara seksama, bukan untuk didengungkan dan
membuat kita terlena, tetapi dengan pelajaran dan pengalaman masa lalu itu kita
harus membuat era kejayaan yang baru56 untuk masa sekarang dan masa akan
datang.
Al-Quran memberi sinyalemen sebagai berikut, Apakah meraka tidak
memjelajahi bumi dan memperhatikan bagaimana akibat [yang dialami] orang-
orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu lebih kuat daripada mereka [sendiri]
[Q.S. Ar-Ruum [30]:9].57 Apakah mereka tidak melawat di bumi, maka mereka
tidak memperhatikan bagaimana akibat orang-orang yang sebelum mereka? Allah
menimpakan kebinasaan atas mereka [Q.S. Muhammad [47]:10].58 Dari dua ayat
Quran ini, jelas menunjukkan bahwa manusia harus memperhatikan dan
mempelajari pengalaman orang-orang masa lalu. Hal itu, berarti umat Islam
diperintahkan mempelajari sejarah? Mengapa? Sejarah adalah cermin masa lalu
untuk dijadikan pedoman bagi masa kini dan mendatang. Oleh karena itu, sejarah
bagi kaum muslimin tidak hanya bermanfaat bagi cermin dan pedoman, tetapi juga
menjadi alat untuk memahami secara lebih tepat sumber-sumber Islam. Melalui dan
55
Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, hlm.262.
56
Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, hlm.262
57
Al-Quran, Surat Ar-Ruum [30], ayat 9.
58
Al-Quran,Surat Muhammad [47], ayat 10
dari sejarah, orang akan mengenal siapa dirinya serta memperoleh keteladanan. 59
Dari sini, hal-hal yang positif dapat terus dikembangkan, sehingga kita dapat
membuat era kejayaan yang baru untuk masa sekarang dan masa akan datang
untuk membangun peradaban manusia.
Al-Quran mendorong umat Islam untuk menjadi sebaik-baik umat, bukan
sebaliknya. Sudah barang tentu kita tidak ingin menjadi seburuk-buruk golongan
umat, akan tetapi kita ingin menjadi sebaik-baik golongan ummat, karena Islam
mengajarkan untuk menjadi ummat terbaik [khairu ummah].60 Yakni ummat yang
telah memiliki kejayaan dan kemulyaan pada masa silam dan berusaha terus untuk
meraih kemajuan, kemulyaan dan kejayaan baru. Maka, tentang kemulyaan di
masa silam, ummat Islam telah mempunyainya. Sekarang, kemulyaan dan
kejayaan untuk era budaya baru harus diciptakan kembali61.
Dalam sejarahnya, keyajaan itu bukan hanya terjadi di Barat seperti kita
saksiakan ini. Tetapi kejayaan selalu berpindah tangan dari satu bangsa kepada
bangsa lain. Garis besar perjalanan sejarah kejayaan itu bermula dari Mesir,
berpindah ke Babilonia, dari Babilonia ke Aegian, dari Aegian ke Yunani, dari Yunani
ke Carthago, dari Carthago ke Roma, dari Roma ke ummat Islam, dan akhirnya dari
ummat Islam berpindah ke Barat. Maka, kejayaan Barat dan kebudayaannya
sekarang ini pun sudah diramalkan akan juga berakhir62.
Di ambang pintu berakhirnya dominasi Barat modern dewasa ini, kesempatan
besar terbuka bagi Islam untuk membuat kejutan-kejutan kemajuan budaya baru.
Menurut Faisal Ismail, bahwa hal ini bukan suatu hal yang mustahil terjadi, karena
Tuhan sendiri menggilirkan hari-hari kejayaan itu di antara para manusia [bangsa] 63.
Menurut Faisal Ismail, kejutan-kejutan sebanarnya sudah dimulai oleh pelopor-
pelopor kebangkitan Islam, seperti Jamaluddin al-Afghani [1838-1897 M], Syaikh
Muhammad Abduh [1849-1905 M] bersama muridnya Syaikh Rashid Ridha [1856-
1935 M], yang mengumandangkan ruh jihad dan ijtihad. Al-Afghani, menulis buku
dalam bahasa Persia dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad
Abduh dengan judul Ar-Ruddu alad-Dahriyin [Penolakan atas Paham Materialisme].
Al-Afghani, memperingatkan bahwa terdensi berbahaya yang melekat pada
kebudayaan Barat adalah materialisme64.
Lewat poyek politiknya yang terkenal dengan Pan-Islamisme, al-Afghani
terkenal sebagai seorang arsitek dan aktivis revitalis Muslim pertama yang
menggunakan konsep Islam dan Barat sebagai fenomena sejarah yang
berkonotasi korelatif dan sekaligus bersifat antagonistik. Seruang al-Afghani
kepada dunia dan umat Islam untuk menentang dan melawan Barat, sebab al-
Afghani melihat kolonialisme Barat sebagai musuh yang harus dilawan karena
59
Nourouzzaman Shiddiqi, 1996, Jeram-jeram Peradaban Muslim, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 3-4.
60
Al-Quran, Surat Ali Imran, ayat 110.
61
Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, hlm. 263
62
Ibid, hlm.263
63
QS. Ali Imran ayat 140, dalam Faisal Ismail, hlm. 264.
64
Ibid, hlm. 264
65
Wilfred Cantwell Smith, 1977, Islam in Modern History, Princton University Press, New Jersey, hlm. 49
dan 50., dalam Faisal Ismail, hlm. 264.
66
HAR Gibb, 1970, Modern Trends in Islam, Octagon Books, New York, hlm. 33., dalam Faisal Ismail, hlm.
264-265.
67
M, Natsir, 1976,World of Islam Fertifal dalam Perspektif Sejarah, Yayasan Idayu, Jakarta, hlm.21.
68
Faisal Ismail, 1998, op.cit., hlm. 265.
69
Ibid, hlm. 266.
70
Ibid, hlm. 266.
71
M. Natsir, 1976, op.cit., hlm. 38-39.
72
Faisal Ismail, 1998, op.cit., hlm. 269.
73
Dikutip dalam A. Mukti Ali, 1969, Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional dan
Pemberantasan Kemiskinan dari Segi Agama Islam, Yayasan Nida, Yogyakarta, hlm. 38., dana dalam Faisal
Ismail, 1998, hlm.270.
74
Faisal Ismail, 1998, hlm.270.
75
Lihat Abdurrahman Wahid, 1980, Kebangkitan Kembali Peradaban Islam Adakah Ia?, Gema, Yogyakarta,
hlm. 5., dan Faisal Ismail, 1998, hlm. 270-271.
berkebudayaan adalah Islam. The future religion for the educated, enlightened and
cultured people will be Islam76.
Alisjahbana, dengan melihat potensi kebebasan umat Islam Indonesia dan
kuatnya nilai agama, nilai ilmu dan ekonomi pada kebudayaan Islam, menaruh
perhatian khusus dengan mengatakan : Kalau lita lihat dan bandingkan berbagai-
bagai kebudayaan ekspresif, yaitu kebudayaan yang dikuasai oleh intuisi, perasaan
dan fantasi agama dan seni, mungkin kebudayaan Islam yang dianut sebagian
terbesar dari rakyat Indonesia dan yang kuat nilai agama maupun nilai ilmu dan
ekonominya, seolah-olah teruntuk buat serta mencari jawab soal-soal manusia
abad ke-2077.
Selanjutnya Alisjahbana mengatakan, untuk melakukakan hal itu, ahli-ahli fikir
Islam mesti kembali merumuskan keseimbangan antara agama dan ilmu, antara
kekudusan rahasia hidup dan alam semesta dengan kenyataan dunia empirik yang
dapat dikaji oleh pikiran. Jika ini dapat dilakukan, maka tidak mustahil dalam zaman
ini, umat Islam dapat memimpin seluruh dunia dalam menghadapi masa yang akan
datang78.
Dari pemikiran yang dikemukakan di atas, sebenarnya kebangkitan Islam dan
kebudayaan tergantung kepada umat Islam sendiri, tergantung kepada amal-amal
kultural atau aktivitas-aktivitas kebudayaan yang dilakukannya. Maka, tanpa amal-
amal kultural atau kegiatan kultural, kebangkitan kebudayaan Islam akan hanya
merupakan harapan dan pengandaian saja. Tetapi apa yang dikatakan Toynbee [1889-
1975 M] bahwa masa depan dari agama-agama besar di dunia sekarang ini,
tergantung pada apa yang mereka perbuat bagi umat manusia, di dalam abad di mana
kita hidup79. Di bagian lain, Toynbee mengatakan, bahwa : Sekarang ini pengharapan
kita untuk menolong peradaban dunia hanya tinggal kepada Islam yang masih sehat,
kuat, belum telumuri kebenarannya dengan perbuatan-perbuatan yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip yang dibawanya sebagai modal untuk menolong seluruh dunia
kemanusiaan80.
Maka dalam hubungannya dengan kejayaan masa depan Islam, umat Islam
sudah semestinya terpanggil untuk memberdayakan energi, vitalitas dan etos kerjanya
dalam rangka memperkaya karya-karya budaya dalam segala aspek hidup dan
kehidupan umat dalam memberi makna bagi manusia dan kemanusiaan.
Menggarisbawahi Toynbee, Islam harus tampil untuk menolong peradaban dunia dan
menolong seluruh dunia kemanusiaan, karena misi utama Islam sebagaimana
diungkapkan al-Quran : memberi rahmat bagi seluruh umat manusia. Maka. Misi ini
sudah barang tentu akan memacu Islam dan umatnya untuk tampil sebagai alternatif
76
Dikutip dalam Endang Basari Ananda, 1977, Percikan Pemikiran Tentang Islam, cet. Ke-1, Bulan Bintang,
Jakarta, hlm. 51.
77
Sutan Takdir Alisjahbana, 1977, Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Jurusan Nilai-
nilai, Yayasan Idayu, Jakarta, hlm. 37-38.
78
Ibid, hlm. 38.
79
Ananda, Percikan Pemikiran, hlm. 32., dalam Faisal Ismail, 1998, hlm, 272.
80
Ibid, hlm. 51., dan Faisal Ismail, 1998, hlm, 272.
kekuatan budaya dan sekaligus sebagai paradigma baru yang menandai munculnya
sosok baru kebudayaan dunia81.
81
Faisal Ismail, 1998, hlm, 272.