Anda di halaman 1dari 27

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tumbuhan Bakau di Indonesia merupakan yang terbanyak di dunia, baik dari
segi kuantitas area (+ 42.550 km2) maupun jumlah species (+45 species) (Spalding
dkk. 2001). Bakau mempunyai banyak sekali manfaat yang bersinggungan langsung
dengan kehidupan manusia di daratan, mulai dari manfaat ekologi sampai dengan
sebagai sumber pangan dan obat.
Famili Rhizophoraceae merupakan salah satu famili tumbuhan yang
sebagian besar tumbuh di daerah pesisir pulau-pulau di indonesia. Famili
Rhizoporaceae terdiri dari 11 spesies yang semua anggotanya terdiri dari atas pohon
meliputi, Bruguiera cylindrica, B. exaristata, B. gymnorrhiza, B.sexangula, Ceriops
decandra, C. tagal, Kandelia candel, R. apiculata, R. mucronata, dan R.stylosa
(Kartawinata dkk., 1978). Rhizophora stylosa termasuk famili Rhizophoraceae.
Spesies ini dalam bahasa Indonesia disebut bakau merah, dalam bahasa jawa
disebut juga dengan tanjang lanang. Tumbuhan ini memiliki daun berbentuk
lonjong dan runcing pada ujungnya dan terdapat bintik-bintik hitam pada bagian
belakang daunnya, kulit batang berwarna keabu-abuan, dan memiliki bunga
sebanyak 4 pasang.
Tumbuhan Rhizophora stylosa (Rhizophoraceae) Bakau Merah dalam
bahasa indonesia) merupakan salah satu jenis tumbuhan yang keberadaannya
melimpah di kawasan pulau-pulau bagian timur Indonesia. Kulit batang dari genus
Rhizophora telah dimanfaatkan oleh masyarakat tradisional sebagai obat-obatan
untuk berbagai penyakit. Di India kulit batang Rhizophora mucronata digunakan
sebagai terapi penyakit diabetes, dan sebagai astringent untuk diare. Ekstrak
beberapa spesies dari genus ini telah dilaporkan memiliki aktivitas anti bakteri,
aktivitas anti-inflamasi, dan melindungi dari disfungsi mitokondria akibat induksi
naphthalene.
Menurut penelitian Chalista, (2008) melaporkan bahwa ekstrak polar dari R.
mucronata yang merupakan kerabat dekat dari R. stylosa berpotensi untuk melawan

1
larva Spodoptera liturainstar II karena dapat membunuh 50% dari populasi dengan
masa pemaparan 24 jam pada konsentrasi 83,4586% (LC50 - 24 jam=83,4586%).
Beberapa tumbuhan bakau genus Rhizoporacea telah dilakukan uji terhadap
daya toksisitas terhadap larva suatu serangga diantaranya adalah Brugueira
cylindrica, Ceriops decandra, Rhizophora apiculata, Rhizophora lamarckii, dan
Rhizophora mucronata dari tanaman-tanaman tersebut, ekstrak petroleum eter dari
tanaman Rhizophora apiculata yang paling efektif terhadap larva nyamuk Culex
quinquefasciatus dengan nilai LC50 sebesar 25,7 mg/L (Thangam & Kathiresan, 1997
dalam Anonim, 2009) Penelitian tentang kandungan senyawa tumbuhan ini telah
dilakukan. Dong Li.,dkk (2007) telah berhasil mengisolasi senyawa asetilasi flavanol
yang baru yaitu, 3,7-O-diacetil (-)- epicatechin dan tujuh turunan flavanol yang telah
diketahui seperti, (-)- epicatechin, 3-O-acetyl(-)-epicatechin, 3,3,4,5,7-Opentaacetyl
()-epicatechin, (+)-afzelechin, (+)-catechin, cinchonain Ib dengan fraksi etil asetat
dan proanthocyanidin B2 dengan fraksi n-butanol dari batang bakau merah
(Rhizophora stylosa. Griff). Selain senyawa tersebut, dua senyawa flavan-3- ol
glikosida dengan tujuh senyawa flavan-3-ol juga berhasil di isolasi dari batang
Rhizophora stylosa dengan menggunakan pelarut metanol, senyawasenyawa tersebut
adalah flavon-3-ol glikosida, glabraosida A dan glabraosida B. bersama dengan tujuh
turunan flavanol, diantaranya (+)-katekin, (-)- epikatekin, cinchonain IIa, cinchonain
IIb, (+)-katekin 3-O--L-rhamnoside, cinchonain Ia dan cinchonain Ib (Takara,
Kensaku, dkk., 2008).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa penelitian ini pada
tumbuhan genus Rhizophora, khususnya bakau merah (Rhizophora stylosa) guna
menemukan senyawa-senyawa yang terkandung dalam bagian tumbuhan tersebut
masih memiliki peluang yang besar, mengingat tumbuhan dari genus tersebut
mengandung senyawa yang berpotensi untuk memberikan efek aktivitas biolarvasida
yang luar biasa jika dilihat dari pendekatan kemotaksonomi, maka peneliti akan
melakukan kegiatan eksplorasi, isolasi, dan identifikasi senyawa yang terkandung
dalam tumbuhan bakau merah (Rhizophora stylosa). Dalam penelitian ini yang

2
diisolasi adalah batang tumbuhan bakau merah (Rhizophora stylosa). Diharapkan
senyawa hasil isolasi dari tumbuhan bakau merah ini adalah senyawa flavonoid yang
memiliki aktivitas sebagai biolarvasida yang aman untuk menanggulangi larva
nyamuk. Oleh karena itu juga akan dilakukan uji aktivitas biolarvasida ekstrak
kloroform dan senyawa hasil isolasi dari tumbuhan bakau merah (Rhizophora
stylosa) terhadap larva nyamuk Aedes aegypti.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka Rumusan masalah yang diperolah
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana isolasi senyawa yang terkandung dalam tumbuhan bakau merah
(Rhizophora stylosa).
2. Bagaimana identifikasi senyawa yang terkandung dalam tumbuhan bakau merah
(Rhizophora stylosa).
3. Bagaimana senyawa hasil isolasi dari tumbuhan bakau merah (Rhizophora
stylosa) memiliki aktivitas sebagai biolarvasida yang aman untuk menanggulangi
larva nyamuk.

C. Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai pada penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui isolasi senyawa yang terkandung dalam tumbuhan bakau merah


(Rhizophora stylosa).
2. Mengetahui identifikasi senyawa yang terkandung dalam tumbuhan bakau merah
(Rhizophora stylosa).
3. Mengetahui senyawa hasil isolasi dari tumbuhan bakau merah (Rhizophora
stylosa) memiliki aktivitas sebagai biolarvasida yang aman untuk menanggulangi
larva nyamuk Aedes aegypti.

D. Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui isolasi senyawa yang terkandung dalam tumbuhan bakau merah
(Rhizophora stylosa).

3
2. Mengetahui identifikasi senyawa yang terkandung dalam tumbuhan bakau merah
(Rhizophora stylosa).
3. Mengetahui senyawa hasil isolasi dari tumbuhan bakau merah (Rhizophora
stylosa) memiliki aktivitas sebagai biolarvasida yang aman untuk menanggulangi
larva nyamuk Aedes aegypti.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tumbuhan Bakau Merah (Rizhophora stylosa Griff)


1. Morfologi Bakau Merah
Tanaman Bakau merah (Rizhophora stylosa Griff), Menurut Isroi (2008) R.
stylosa Griff memiliki taksonomi sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida

4
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Myrtales
Famili : Rhizophoraceae
Genus : Rhizophora
Spesies : Rhizophora stylosa Griff.

Bakau merah adalah nama sekelompok tumbuhan dari genus Rhizophora,


famili Rhizophoraceae. Tumbuhan ini memiliki ciri-ciri yang menyolok berupa akar
tunjang yang besar dan berkayu, pucuk yang tertutup daun penumpu yang meruncing,
serta buah yang berkecambah serta berakar ketika masih di pohon (vivipar). Pohon
bakau juga memiliki banyak nama lain seperti tancang, tanjang (Jw.); tinjang (Md.);
bangko (Bugis); kawoka (Timor), wako, jangkar dan lain-lain. Pohon besar, dengan
akar tunjang yang menyolok dan bercabang-cabang. Tinggi total 10 m, dengan tinggi
akar mencapai 0.5-2 m atau lebih di atas lumpur, dan diameter batang mencapai 50
cm.
Bakau merupakan salah satu jenis pohon penyusun utama ekosistem hutan
bakau. Daun tunggal, terletak berhadapan, terkumpul di ujung ranting, dengan
kuncup tertutup daun penumpu yang menggulung runcing. Helai daun eliptis, tebal
licin serupa kulit, hijau atau hijau muda kekuningan, berujung runcing, bertangkai,
3,5-137-23 cm. Daun penumpu cepat rontok, meninggalkan bekas serupa cincin
pada bukubuku yang menggembung. Perbungaan terjadi sepanjang tahun. Bunga R.
stylosa Griff dalam kelompok besar, 8-16 kuntum, kecil-kecil. Daun mahkota putih,
berambut panjang hingga 8 mm. Buah coklat kecil, panjang sampai dengan 4 cm.
Hipokotil berbintil agak halus, 20-35 cm (terkadang 50 cm); leher kotiledon kuning
kehijauan ketika matang (Noor, dkk, 1999).
R. stylosa Griff merupakan pohon dengan satu atau banyak batang, tinggi
hingga 10 m. Kulit kayu halus, bercelah, berwarna abu-abu hingga hitam. Memiliki
akar tunjang dengan panjang hingga 3 m, dan akar udara yang tumbuh dari cabang
bawah. Daun berkulit, berbintik teratur dilapisan bawah. Gagang daun berwarna
hijau, panjang gagang 1-3,5 cm, dengan panjang 4-6 cm. Unit dan letak sederhana
dan berlawanan. Bentuk daun elips dan melebar dengan ujung daun yang meruncing.

5
Gagang kepala bunga seperti cagak, biseksual, masing-masing menempel pada
gagang individu yang panjangnya 2,5-5 cm, terletak diketiak daun, daun mahkota 4
berwarna putih, terdiri dari 4 kelopak bunga dengan panjang 13-19 mm. Buah
berbentuk buah pir, berwarna cokelat, berisi satu biji fertil. Hipokotil selindris
panjangnya 20-35 cm dengan diameter 1,5-2,0 cm (Noor, dkk, 2006).
Jaringan sistem akar bakau merah memberikan banyak nutrien bagi larva dan
juvenil ikan tersebut. Sistem perakaran bakau merah juga menghidupkan komunitas
invertebrata laut dan algae. Memberikan gambaran tentang tingginya produktivitas
habitat pantai berbakau ini, dikatakan bahwa satu sendok teh lumpur dari daerah
mangrove di pantai utara Queensland (Australia) mengandung lebih dari 10 milyar
bakteri suatu densitas lumpur tertinggi di dunia (Irwanto, 2006)
2. Habitat Tumbuhan Bakau Merah
Keberadaan tanaman Bakau Merah dari famili Rhizophoraceae, spesies R.
stylosa di daerah dekat pantai berfungsi sebagai resisten atau penghalang bagi
gelombang dalam menggempur pantai. Fungsi akar dan batang dari tanaman ini
meredam energi gelombang. Habitat bakau merah seringkali ditemukan di tempat
pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian menjadi pelindung
daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan air tawar untuk
mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove dikelilingi oleh air garam atau air
payau. Hutan bakau merah ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan subtropis,
antara 32 Lintang Utara dan 38 Lintang Selatan. Hidup pada temperatur dari 19
sampai 40 C dengan toleransi fluktuasi tidak lebih dari 10 C (Irwanto, 2006).

B. Kandungan Senyawa Tumbuhan Bakau Merah

Tumbuhan mangrove mengandung senyawa seperti alkaloid, flavonoid, fenol,


terpenoid, steroid dan saponin. Golongan senyawa ini merupakan bahan obat-obatan
modern (Eryanti dkk., 1999). Flavonoid ditemukan hampir pada semua tumbuhan
tingkat tinggi. Sedikitnya terdapat 4000 struktur flavonoid yang telah dilaporkan.
Kelas flavonoid lainnya adalah flavon, flavonol, flavanon, flavanonol yang kurang
begitu berwarna terutama pada tumbuhan berkayu (Harborne, 1987).

6
Beberapa senyawa metabolit baru-baru ini dengan struktur kimia dan
tergolong salah satu diversitas dari kelas-kelas kimia telah dikarakterisasi dari
tumbuhan bakau dan tumbuhan asosiasinya. Di antara yang terbaru ditemukan adalah
gugus substansi dari getah dan perekat sampai senyawa alkaloid dan saponin dan
beberapa senyawa lainnya yang terkait dengan industri obat-obatan, seperti halnya:
derivat benzoquinone, naphthoquinone, naphthofurans, flavonoid, polyfenol,
rotenone, flavoglican, sesquiterpene, di- dan triterpene, limonoid, minyak esensial,
sterols, karbohidrat, o-metil-inositol, gula, iridoid glikosida, alkaloid dan asam amino
bebas, feromon, gibberellin, forbol ester, keterosiklik oksigen, senyawa sulfur, lemak
dan hidrokarbon, alcohol alipatik rantai panjang dan lemak jenuh, asam lemak bebas
termasuk PUFAs (asam lemak tak jenuh ganda).

C. Larva Nyamuk Aedes aegypti


DBD (Demam Berdarah Dengue) merupakan salah satu penyakit yang dapat
menyebabkan kematian dalam waktu singkat.Penyakit tersebut bersifat menular dan
sering menimbulkan kejadian luar biasa di Indonesia. DBD merupakan salah satu
penyakit yang belum ditemukan obat maupunvaksinnya.Pengobatannya hanya
bersifat suportif berupa istirahat dan pemberian cairanintravena.Tindakan pencegahan
denganmemberantas sarang nyamuk dan membunuh larva serta nyamuk dewasa,
merupakan tindakan yang terbaik. Pengendalian penyebaran penyakit DBD dapat
dilakukan dengan mengontrol vektornya yaitu nyamuk Aedes aegypti dengan
menggunakan insektisida, misalnya abate yang berbahan aktif temephos. Bahan
insektisida tersebut walaupun memiliki efektitas yang tinggi, akan tetapi bisa
berdampak negatif terhadap lingkungan dan menimbulkan resistensi dari organisme
target. Salah satu cara untuk memecahkan masalah tersebut adalah dengan
penggunaan insektisida alami yang lebih ramah lingkungan.

D. Ekstraksi, Fraksinasi dan Pemurnian (Fisher, 1992; Harborne, 1987)

7
Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan senyawa-senyawa kimia dari
tumbuh-tumbuhan, hewan, dan lain-lain menggunakan pelarut tertentu. Teknik yang
umum untuk ekstraksi senyawa kimia adalah dengan cara maserasi, sokletasi,
perkolasi dan perebusan. Maserasi merupakan proses penyarian sederhana yaitu
dengan merendam sampel dalam pelarut yang sesuai beberapa kali selama 3-5 hari.
Pelarut akan menembus ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif
akan larut dan karena perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel
dengan di luar sel maka larutan yang terpekat akan didesak keluar. Peristiwa tersebut
terjadi berulang-ulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di
dalam sel dan di luar sel. Keuntungan dari metoda maserasi yaitu teknik pengerjaan
dan alat yang digunakan sederhana serta dapat digunakan untuk mengekstraksi
senyawa yang bersifat termolabil.
Sokletasi merupakan teknik penyarian dengan pelarut organic menggunakan
alat soklet. Pada cara ini pelarut dan sampel ditempatkan secara terpisah. Prinsip
kerjanya adalah penyarian yang dilakukan berulang-ulang sehingga penyarian lebih
sempurna dan pelarut yang digunakan relatif sedikit. Akan tetapi, metoda sokletasi ini
tidak dapat digunakan untuk mengekstraksi senyawa yang termolabil. Perkolasi
merupakan teknik penyarian dengan pelarut organik menggunakan alat perkolator.
Pada cara ini pelarut dialirkan melewati sampel sehingga penyarian lebih sempurna.
Namun metoda ini membutuhkan pelarut yang relatif banyak. Perebusan merupakan
teknik penyarian menggunakan pelarut air. Pada cara ini sampel direndam dengan
pelarut kemudian dipanaskan sampai mendidih. Metoda perebusan merupakan
metoda yang paling kuno dan sekarang jarang digunakan karena proses penyarian
kurang sempurna dan tidak dapat digunakan untuk mengekstraksi senyawa yang
termolabil.
Fraksinasi pada prinsipnya merupakan teknik pemisahan ekstrak berdasarkan
tingkat kepolarannya. Senyawa bersifat polar akan tertarik ke pelarut polar, senyawa
bersifat semi polar akan tertarik ke pelarut semi polar dan senyawa bersifat non polar
akan tertarik ke pelarut non polar. Pelarut yang umum dipakai untuk fraksinasi adalah

8
n-heksana, etil asetat, dan n-butanol. Untuk menarik lemak dan senyawa non polar
digunakan n-heksana, etil asetat untuk menarik senyawa semi polar, sedangkan
butanol untuk menarik senyawa-senyawa polar. Tiap-tiap fraksi diuapkan secara in
vacuo sampai kental dengan rotary evaporator.
Pemurnian (Harborne, 1987) Senyawa hasil isolasi jarang didapatkan berupa
senyawa murni, biasanya dicemari oleh senyawa lain selama isolasi. Salah satu
pemurniannya adalah dengan rekristalisasi yaitu berdasarkan perbedaan kelarutan
antara zat utama yang akan dimurnikan dengan senyawa minor dalam suatu pelarut
tunggal atau campuran pelarut yang cocok. Pelarut yang digunakan dipilih
berdasarkan kemampuan melarutkan zat yang akan dimurnikan dengan baik, dapat
memisahkan pengotor, dapat memisahkan kristal murni serta tidak bereaksi secara
kimia dengan zat yang akan dimurnikan. Adanya perbedaan kelarutan akibat
pemanasan atau penambahan pelarut lain yang akan menyebabkan senyawa utama
akan mengkristal terlebih dahulu. Proses rekristalisasi ini diulang beberapa kali
sehingga didapatkan senyawa berbentuk kristal yang murni dan ditandai dengan jarak
leleh yang tajam.

E. Metode pemisahan
Kromatografi adalah suatu teknik yang diterapkan untuk memisahkan
komponen-komponen dalam campuran yang cukup rumit. Semua metoda
kromatografi didasarkan atas pembagian zat yang harus dipisahkan kepada dua jenis
fasa. Fasa yang pertama disebut fasa stasioner, karena dengan atau tanpa bantuan
suatu medium (zat pendukung) yang padat. Fasa yang kedua disebut fasa gerak,
karena bergerak melalui fasa yang pertama (Djamal, 1990).
Pemisahan pada kromatografi berdasarkan perbedaan distribusi komponen
pada fasa diam, fasa gerak dan berdasarkan kepada sifat-sifat molekul. Sifat utama
yang terlibat adalah kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan),
kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk halus (adsorbsi) dan
kecenderungan molekul untuk menguap (keatsirian). Pada sistem kromatografi,
campuran yang akan dipisahkan ditempatkan dalam keadaan tertentu sehingga

9
komponen-komponen harus menunjukkan dua dari ketiga sifat tersebut (Scheuer,
1987; Ikan, 1991).
Kromatografi Lapis Tipis (Suganda, 1997) Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
adalah suatu metoda pemisahan berdasarkan sifat kimia dan fisika dari zat. Suatu
campuran dapat dipisahkan dari persenyawaan kimia atau fisika ke dalam komponen-
komponen murni yang membentuk senyawa tersebut, dengan menggunakan zat
penyerap berupa serbuk halus yang dilapiskan serba rata pada lempeng kaca.
Kromatografi kolom adalah suatu teknik pemisahan yang berdasarkan daya
adsorbsi dari suatu adsorben, baik terhadap hasil isolasi maupun terhadap
pengotornya. Prinsip kromatografi kolom adalah perbedaan daya serap masing-
masing komponen. Metoda kromatografi kolom diperkenalkan oleh Michael Tswett
seorang ahli botani dari Rusia. Pada kromatografi kolom terlebih dahulu dilakukan
kromatografi lapis tipis untuk menentukan adsorben yang cocok dan pelarut yang
sesuai agar memberikan hasil yang baik. Adsorben yang paling umum digunakan
adalah silika gel, alumina, dan sephadex.

F. Instrumen Analisis
Spektrofotometer merupakan alat yang digunakan untuk mengukur absorbansi
dengan cara melewatkan cahaya dengan panjang gelombang tertentu pada suatu
obyek kaca atau kuarsayang disebut kuvet. Sebagian dari cahaya tersebut akan
diserap dan sisanya akan dilewatkan. Nilai absorbansi dari cahaya yang dilewatkan
akan sebanding dengan konsentrasi larutan di dalam kuvet.
1. Spektrofotometer UV-vis
Spektrum elektromagnetik terdiri dari urutan gelombang dengan sifat-sifat
yang berbeda. Kawasan gelombang penting di dalam penelitian biokimia adalah ultra
lembayung (UV, 180-350 nm) dan tampak (VIS, 350-800 nm). Cahaya di dalam
kawasan ini mempunyai energi yang cukup untuk mengeluarkan elektron valensi di
dalam molekul tersebut (Keenan 1992).
Penyerapan sinar UV-Vis dibatasi pada sejumlah gugus fungsional atau gugus
kromofor yang mengandung elektron valensi dengan tingkat eksutasi rendah. Tiga
jenis elektron yang terlibat adalah sigma, phi, dan elektron bebas. Kromofor-

10
kromofor organik seperto karbonil, alkena, azo, nitrat, dan karboksil mampu
menyerap sinar ultraviolet dan sinar tampak. Panjang gelombang maksimumnya
dapat berubah sesuai dengan pelarut yang digunakan. Auksokrom adalah gugus
fungsional yang mempunyai elektron bebas nseperti hidroksil, metoksi, dan amina.
Terkaitnya gugus kromofor akan mengakibatkan pergeseran pita absorpsi menuju ke
panjang gelombang yang lebih besar dan disertai dengan peningkatan intensitas (Hart
2003).
Ketika cahaya melewati suatu larutan biomolekul, terjadi dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama adalah cahaya ditangkap dan kemungkinan kedua adalah
cahaya discattering. Bila energi dari cahaya (foton) harus sesuai dengan perbedaan
energi dasar dan energi eksitasi dari molekul tersebut. Proses inilah yang menjadi
dasar pengukuran absorbansi dalam spektrofotometer (Aisyah, 2009).
Cara kerja spektrofotometer dimulai dengan dihasilkannya cahaya
monokromatik dari sumber sinar. Cahaya tersebut kemudian menuju ke kuvet (tempat
sampel/sel). Banyaknya cahaya yang diteruskan maupun yang diserap oleh larutan
akan dibaca oleh detektor yang kemudian menyampaikan ke layar pembaca (Hadi,
2009)
Larutan yang akan diamati melalui spektrofotometer harus memiliki warna
tertentu. Hal ini dilakukan supaya zat di dalam larutan lebih mudah menyerap energi
cahaya yang diberikan. Secara kuantitatif, besarnya energi yang diserap oleh zat akan
identik dengan jumlah zat di dalam larutan tersebut. Secara kualitatif, panjang
gelombang dimana energi dapat diserap akan menunjukkan jenis zatnya (Cahyanto,
2008).
2. Spektrofotometri IR (Infra Red)
Senyawa organik dikenai sinar infra-merah yang mempunyai frekwensi
tertentu (bilangan gelombang 500 - 4000 cm-1 ), sehingga beberapa frekwensi
tersebut diserap oleh senyawa tersebut. Berapa banyak frekwensi tertentu yang
melewati senyawa tersebut diukur sebagai 'persentasi transmitasi' (percentage
transmittance). Persentasi transmitasi dengan nilai 100 berarti semua frekwensi

11
dapat melewati senyawa tersebut tanpa diserap sama sekali. Transmitasi sebesar 5%
mempunyai arti bahwa hampir semua frekwensi tersebut diserap oleh senyawa itu
Spektrofotometri ini berdasar pada penyerapan panjang gelombang infra
merah. Cahaya infra merah terbagi menjadi infra merah dekat, pertengahan, dan
jauh. Infra merah pada spektrofotometri adalah infra merah jauh dan pertengahan
yang mempunyai panjang gelombang 2.5-1000 m. Pada spektro IR meskipun bisa
digunakan untuk analisa kuantitatif, namun biasanya lebih kepada analisa kualitatif.
Umumnya spektro IR digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi pada suatu
senyawa, terutama senyawa organik. Setiap serapan pada panjang gelombang
tertentu menggambarkan adanya suatu gugus fungsi spesifik.
Hasil analisa biasanya berupa signal kromatogram hubungan intensitas IR
terhadap panjang gelombang. Untuk identifikasi, signal sample akan dibandingkan
dengan signal standard. Perlu juga diketahui bahwa sample untuk metode ini harus
dalam bentuk murni. Karena bila tidak, gangguan dari gugus fungsi kontaminan akan
mengganggu signal kurva yang diperoleh. Terdapat juga satu jenis spektrofotometri
IR lainnya yang berdasar pada penyerapan sinar IR pendek.

Daerah spektrum, Bilangan Ikatan yang menyebabkan


3. Sp
gelombang (cm-1) absorpsi
ekt
3750 3000 Regang O-H; N-H
rof
3300- 2900 Regang C-H : -C C-H; C=C-H; Ar-H
oto
3000 2700 Regang C-H : CH3 ; CH2; -H
2400 2100 Regang CC; CN me
Regang C=O (asam , aldehida, keton, ter
1900- 1650
amida, ester, anhidrida)
Regang C=C (alifatik dan aromatik);
1675 1500
C=N
1475- 1300 Lentur C-H
1000 -650 Lentur C=C-H; Ar-H (luar bidang)
GC-MS

12
GCMS merupakan metode pemisahan senyawa organik yang menggunakan
dua metode analisis senyawa yaitu kromatografi gas (GC) untuk menganalisis
jumlah senyawa secara kuantitatif dan spektrometri massa (MS) untukmenganalisis
struktur molekul senyawa analit.
Pada metode analisis GCMS (Gas Cromatografy Mass Spektroscopy) adalah
dengan membaca spektra yang terdapat pada kedua metode yang digabung tersebut.
Pada spektra GC jika terdapat bahwa dari sampel mengandung banyak senyawa,
yaitu terlihat dari banyaknya puncak (peak) dalam spektra GC tersebut. Berdasarkan
data waktu retensi yang sudah diketahui dari literatur, bisa diketahui senyawa apa saja
yang ada dalam sampel.

Gambar 2.1 Gambar Bagian-bagian GCMS


Selanjutnya adalah dengan memasukkan senyawa yang diduga tersebut ke
dalam instrumen spektroskopi massa. Hal ini dapat dilakukan karena salah satu
kegunaan dari kromatografi gas adalah untuk memisahkan senyawa-senyawa dari
suatu sampel. Setelah itu, didapat hasil dari spektra spektroskopi massa pada grafik
yang berbeda.

13
III. METODE PENELITIAN

A. Tahap Pengumpulan dan Persiapan Sampel


10 kg sampel batang bakau merah (R. stylosa) diperoleh dari Margomulyo,
Surabaya, Jawa Timur. Sebelum diteliti lebih dahulu diidentifikasi ke LIPI UPT Balai
Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi, Pasuruan, Jawa Timur. Batang
tumbuhan tersebut selanjutnya dikeringkan dengan cara diangin-anginkan untuk
mengurangi penguapan yang mengikutkan senyawa yang terkandung di dalamnya,
sehingga diperoleh sampel batang bakau merah (R. stylosa), kemudian digiling
hingga berbentuk serbuk.
B. Tahap Isolasi Senyawa Fenolik Ekstrak Kloroform
Serbuk halus batang bakau merah (R. stylosa. Griff) sebanyak 3 kg dimaserasi
menggunakan pelarut kloroform dengan ketinggian pelarut pada waktu merendam 1
cm di atas sampel. Maserasi dilakukan sebanyak 3 kali masing-masing selama 5 hari
pada suhu kamar. Hasil maserasi disaring secara vakum menggunakan penyaring
Buchner dan filtrat yang diperoleh diuapkan secara vakum menggunakan penguap
putar vacuum rotary evaporator untuk memperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental
yang diperoleh, dipisahkan senyawanya dengan metode KCV menggunakan pelarut
nheksan 100% sebanyak 2 kali, n-heksan: etil asetat (9:1), (8:2), (7:3) dan (6:4)
kemudian dilanjutkan dengan etil asetat 100% dan metanol 100% sehingga
menghasilkan beberapa fraksi senyawa. Fraksifraksi senyawa tersebut kemudian
dimonitor dengan kromatografi lapis tipis dengan menggunakan eluen nheksan : etil
asetat (9:1). Tiap-tiap fraksi yang memiliki Rf sama, digabung selanjutnya dilakukan
pemisahan lebih lanjut dengan kromatografi cair vakum (KCV) bertingkat dengan

14
eluen n-heksan 100% sebanyak 4 kali, n-heksan : etil asetat = 9:1 sebanyak 4 kali dan
metanol 100% sebanyak 2 kali. Tiap-tiap fraksi dari kromatografi kolom gravitasi
dimonitor dengan kromatografi lapis tipis (KLT) menggunakan eluen n-heksan: etil
asetat (9:1), dan fraksi yang mempunyai Rf yang sama digabung selanjutnya
dipisahkan kembali dengan metode kromatografi kolom gravitasi menggunakan fasa
diam silica gel dengan eluen campuran yang terdiri dari campuran n-heksan: etil
asetat (9:1).
Hasil pemisahan dimonitor dengan kromatografi lapis tipis (KLT)
menggunakan pelat KLT dengan berbagai eluen, dan selanjutnya tiap fraksi di uji
dengan FeCl3 dan Shinoda test untuk mengetahui keberadaan senyawa flavonoid.
Fraksi-fraksi yang dihasilkan selanjutnya dimurnikan dengan cara rekristalisasi
berulang-ulang dengan menggunakan pelarut kloroform dan metanol dengan
perbandingan kloroform: n-heksana=1:5 hingga diperoleh isolat murni. Uji
kemurnian isolat dilakukan dengan penentuan titik leleh dan kromatografi lapis tipis
dengan 3 sistem eluen.
C. Tahap Karakterisasi Senyawa Isolat
Karakterisasi senyawa hasill isolasi dilakukan dengan beberapa pengujian
yaitu uji sifat fisika, kimia dan spektrofotometer. Uji sifat fisika yang meliputi uji
kelarutan dan uji titik leleh, pengujian sifat kimia yang meliputi uji dengan reagen
(FeCl3 dan Shinoda test), dan pengujian spektofometer meliputi IR, UV-Vis dan GC-
MS.
D. Tahap Pengujian Aktivitas Biolarvasida Terhadap Larva Aedes aegypti
Tahap uji aktivitas biolarvasida senyawa ekstrak kloroform batang bakau
merah (R. stylosa) adalah sebagai berikut : melarutkan isolat bakau merah dengan
larutan tween 80 agar isolat dapat larut kedalam air, mengencerkan larutan uji dengan
air pada variasi konsentrasi 0, 40, 60, 80 dan 100 ppm, Memasukkan larutan uji (stok,
isolat dan larvasida sintetik) sebanyak 5 mL pada botol vial kecil, memasukkan larva
nyamuk Aedes aegypti instar 3 sebanyak 20 ekor ke dalam larutan uji dengan
menggunakan pipet, Pengamatan dilakukan setelah 24 jam terhadap kematian larva
nyamuk, melakukan pengulangan sebanyak 4 kali dan menghitung tingkat mortalitas

15
larva nyamuk Aedes aegypti : Persentase mortalitas dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :

Ket:
P : persentase mortalitas,
X : jumlah larva yang mati,
Y : jumlah larva yang diamati
Apabila mortalitas pada perlakuan kontrol lebih besar 0% dan lebih kecil
20%, maka mortalitas larva pada perlakuan dikoreksi dengan formula Abbot (dalam
Negara, 2003) dengan rumus sebagai berikut :

Ket:
P : persentase mortalitas
P1 : mortalitas larva pada saat pengamatan
C : kematian kontrol
Pendugaan nilai toksisitas larvasida terhadap larva uji nyamuk Aedes aegypti
diukur dengan nilai LC50, yaitu suatu konsentrasi atau dosis yang dapat menyebabkan
kematian 50% serangga yang diuji (Moekasan, 1993 dalam Negara, 2003). Penentuan
LC50 dihitung dengan analisis Probit menggunakan program minitab 13. Analisis
probit digunakan dalam pengujian biologis untuk mengetahui respon subyek yang
diteliti oleh adanya stimuli dalam hal ini larvasida untuk mengetahui respon berupa
mortalitas (Umniyati, 1990 dalam Negara, 2003). Hasil analisis ini akan diperoleh
nilai LC50 untuk masing-masing bahan bioaktif larvasida yang paling efektif atau kuat
pengaruhnya terhadap serangga uji larva nyamuk Aedes aegypti. Bahan-bahan alami
yang digunakan sebagai biolarvasida, dapat dikatakan memiliki aktivitas biolarvasida
yang tinggi apabila nilai LC50 setelah 48 jam adalah kurang dari 100 g/mL dan
berkisar antara 13.9-56.2 g/mL. Sedangkan dikatakan pertengahan apabila harga
LC50 setelah 48 jam adalah kurang dari 200 g/mL yang berkisar antara 82,6-130,3
g/mL. (Suwannee, dkk., 2006).

16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Isolasi dan Karakterisasi Isolat Ekstrak Kloroform Batang Tumbuhan


Bakau Merah (R.stylosa)

Dalam penenelitian ini sampel serbuk batang bakau merah dimaserasi dengan
pelarut kloroform p.a selama 5 hari dan diulang sebanyak 3 kali, setelah itu ekstrak
diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator dan didapat ekstrak kental
sebanyak 15,342g. Selanjutnya diambil sebanyak 10,173 untuk dilakukan KCV
dengan eluen H =100 % sebanyak 2 kali, H:E= 9:1 sampai 6:4 dan E = 100% dan
metanol 100%) dan dihasilkan 8 fraksi (volume tiap fraksi 150 ml) selanjutnya hasil
pemisahan dimonitor dengan KCVseperti tampak pada gambar 1:

Gambar 1. Kromatogram Hasil KCV Ekstrak Kloroform Batang Bakau Merah.


Selanjutnya pada fraksi 1 sampai 5 digabung untuk selanjutnya dilakukan
KCV bertingkat dengan menggunakan eluen n-heksan 100% , n-heksan : Etil asetat =
9:1 dan metanol 100%. Selanjutnya hasil KCV2 dimonitor dengan KLT dengan eluen
n-heksan : etil asetat = 9:1 sehingga didapat kromatogram sebagai berikut :

17
Gambar 2. Kromatogram Hasil KCV 2 Ekstrak Kloroform Batang Bakau
Merah.

Berdasarkan hasil kromatogram di atas, fraksi 5 dan 6 digabung untuk


selanjutnya dilakukan KKG dengan berat fraksi gabungan sebesar 1,78 g dan dielusi
menggunakan eluen n-heksan : etil asetat = 9:1 menghasilkan 25 fraksi dan Pada
fraksi ke-5 pada hasil KKG terdapat kristal amorf berwarna jingga sebanyak 157 mg.

Gambar 3. Isolat Pada Fraksi ke-5


Selanjutnya kristal yang didapat dilakukan rekristalisasi dalam pelarut n-
heksan dan kloroform dengan perbandingan 3:1. Isolat yang didapat, diuji
kemurniannya dengan KLT menggunakan sistem 3 eluen yang berbeda. Pada isolat
ke-5 yang diperoleh dari proses KKG diuji kemurniannya menggunakan sistem 3
eluen yang berbeda metanol : kloroform= 8:2 (Rf= 0,88) : n-heksan : kloroform = 8:2
(Rf 0,42) ; dan metanol : kloroform = 9:1 (Rf = 0,93).
2. Tahap Karakterisasi Senyawa Hasil Isolasi
Selanjutnya isolat 5 dan 4 diuji dengan FeCl3 dan shinoda test untuk isolat
ke-5 dengan FeCl3 menjadi berwarna hijau sedangangkan dengan shinoda test
tetap tidak berwarna, hal ini menandakan bahwa isolat mengandung senyawa

18
fenolik yang tergolong senyawa flavan. Dengan pengujian titik leleh isolate 5
mempunyai titik leleh sebesar 298-299 oC, 299-300oC, dan 299-300oC. Berdasarkan
pengukuran titik leleh isolat tersebut cukup murni karena memiliki rentang tidak
lebih dari 2oC.
Untuk mengetahui gugus fungsi pada isolat ke-5 dilakukan uji
spektrofotometer IR (Infra-Red) berdasarkan pengukuran IR serapan dari isolat 5
disajikan didalam gambar 3 dibawah ini :

Gambar 3. Spektra IR isolat 5

Berdasarkan spektra diatas dapat dilihat adanya pita kuat pada 3406,1
cm-1 yang spesifik terhadap gugus OH, puncak tajam pada 2939,7 dan 2866,4 cm -1
menunjukkan adanya serapan pada gugus fungsi CH3 alkil, serapan pada daerah 1667
dan 1596,1 cm-1 menunjukkan serapan khas untuk gugus fungsi C=C aromatik,
sedangkan serapan pada daerah 1284,7 dan 1172,9 cm-1 menunjukkan serapan pada
gugus fungsi C-O. Hasil analisis menggunakan spektrofotometri UV-Vis isolat ke-
5 memberikan satu serapan yang karakteristik untuk senyawa flavonoid golongan

19
katekin, yaitu serapan pada panjang gelombang 311 nm dan dapat ditunjukkan
pada gambar 5 dibawah ini :

Berdasarkan spektra diatas isolat ini memiliki kerangka katekin diperoleh


dari diagnostik pereaksi geser seperti: NaOH, NaOAc, NaOAc-H 3BO3, AlCl3,
dan AlCl3-HCl. Hasil pergeseran panjang gelombang setelah penambahan tiap-
tiap pereaksi geser tersebut dapat disimpulkan bahwa kemungkinan letak
substituen gugus hidroksi pada kerangka katekin adalah pada posisi atom C-3,
C-7 dan C-4. Spektrum UV-vis sebelum dan sesudah penambahan pereaksi
geser dan data tabulasinya dipaparkan pada tabel berikut :
Tabel 1. Tabel pergeseran panjang gelombang

Panjang Geseran
Pereaksi geser gelombang Panjang
maks(nm) Gelombang
+ Metanol 311 nm - -
+ Metanol + NaOH 359 nm, 311 (bh) 48 nm
+ Metanol + NaOAc 307 nm 4 nm
+ Metanol + NaOAc 307 nm 4 nm

20
+ H3BO3
+ Metanol + AlCl3 300 nm 11 nm

+ Metanol + AlCl3 298 nm 13 nm


+ HCl

Analisis menggunakan spektrofotometri GC-MS. Hasil analisis menggunakan


spektrofotometri GC-MS isolat 5 menunjukkan ada 3 puncak akan tetapi puncak
dominan ada pada puncak ke-3 dengan waktu retensi sebesar 32,058 menit
merupakan senyawa yang mempunyai kelimpahan tertinggi (98 %), berikut
merupakan kromatogram GC-MS

Gambar 9. Kromatogram Isolat 5


Sedangkan fragmentasi puncak ke-tiga sebagai berikut :

Gambar 10. Spektra MS puncak ke-3

Berdasarkan gambar 10, pola fragmentasi pada isolat 5 seperti gambar diwah ini

21
Hasil tersebut memperlihatkan bahwa dalam ekstrak kloroform batang
tumbuhan tumbuhan bakau merah (Rhizophora stylosa. Griff) ditemukan senyawa
flavonoid golongan katekin yang mempunyai gugus hidroksil pada C-3, C-7 dan
C-4 serta memiliki gugus O-Glikosida dengan berat senyawa kitekin sebesar 426
m/z.
3. Tahap Uji Aktivitas Biolarvasida Terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti
Uji aktivitas biolarvasida terhadap larva nyamuk Aedes aegypti dilakukan
pada didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 2. Hasil Uji Aktivitas Biolarvasida

Konsentrasi Jumlah Jumlah total larva mati setelah


mg/L larva total pemaparan
N
24 jam 48 jam 72 jam
0 20 0 0 2
40 20 2 5 8
60 20 5 6 10
80 20 7 9 13
100 20 8 12 16

Untuk mengetahui nilai LC 50 tiap-tiap lama pemaparan digunakan analisis probit


dengan menggunakan program minitab versi 13.

22
Tabel 3. Nilai LC50 Dalam Rentang Waktu 24,48, dan 72 jam pemaparan
Pengamatan (jam) LC50 (mg/L)
24 1 04,376
48 84,724
72 58,6507

Berdasarkan tabel 3 isolat 5 bersifat toksik, dan dikatakan efektif untuk


mematikan larva nyamuk Aedes aegypti. Hasil uji aktivitas biolarvasida yang
dinyatakan dengan nilai LC50 pada inkubasi selama 24, 48, 72, jam masing-
masing adalah 104.376mg/L; 84,7241 mg/L; dan 58,6507 mg/L. Suatu zat yang
memiliki harga LC 50 pada pengamatan sebesar 100 1000 mg/L dapat
dikategorikan memiliki toksisitas sedang Hal ini diperlihatkan bahwa Flavonoid
bekerja sebagai sebagai racun pernapasan yaitu dengan masuk ke dalam tubuh
larva melalui sistem pernapasan yang kemudian akan menimbulkan kelayuan
pada syaraf serta kerusakan pada sistem pernapasan dan mengakibatkan larva tidak
bisa bernapas dan akhirnya mati.

V. PENUTUP

23
Berdasarkan tujuan, hasil dan pembahasan diperoleh sebagai berikut:
1. Isolasi senyawa metabolit sekunder ini dengan pelarut klorofom diperoleh hasil
diperolah bebearap fraksi.
2. Identifikasi dengan spektrofotometer UV-vis, spekrofotometer IR dan GC MS
adalah pada spektrofotometer UV-vis dimana pereaksi geser seperti: NaOH,
NaOAc, NaOAc-H3BO3, AlCl3, dan AlCl3-HCl. Hasil pergeseran panjang
gelombang setelah penambahan tiap- tiap pereaksi geser tersebut dapat
disimpulkan bahwa kemungkinan letak substituen gugus hidroksi pada
kerangka katekin adalah pada posisi atom C-3, C-7 dan C-4. Pada
pengukuran dengan spektrofotometer IR diperoleh diperoleh senyawa flavonoid
golongan katekin ditandai dengan 3 puncak akan tetapi puncak dominan ada
pada puncak ke-3 dengan waktu retensi sebesar 32,058 menit merupakan
senyawa yang mempunyai kelimpahan tertinggi (98 %),
3. Uji senyawa katekin terhadap larva Aedes aegypti diperoleh inkubasi selama 24,
48, 72, jam masing-masing adalah 104.376mg/L; 84,7241 mg/L; dan 58,6507
mg/L.

DAFTAR PUSTAKA

24
Adaniya, S dan D. Shirai. 2001. In Vitro Induction Of Tetraploid Ginger (Zingiber
Officinale Roscoe) And Its Pollen Fertility And Germination Ability. Sci.
Hort. 88: 277-287.

Atlas, M. R. dan L. C. Parks. 1993. Hand Book Of Microbiological Media. London:


CRC Press.

Backer dan Bakhuizen. 2000. R. stylosa .Griff. Ding Hou, Fl. Males.
www.scribd.com. diakses pada tanggal 30 Oktober 2016.

Berghe, D.A. dan Vlietinck, A.J. 1991. Screening Methods for Antibacterial and
Antiviral Agents from Higher Plants. A Method in Plant Biochemistry, 47-
48.

Betina, V. 1973. Bioautography In Paper And Thin Layer Chromatography And Its
Scope In The Antibiotic Field. J. Chromatography, 31-34.

Brunetton, J. 1999. Pharmacognosy (2nd Ed). Translated by: Caroline K. H.


Hampshire: Intercept Ltd.

Carte, K.B. 1996. Biomedical Potential Of Marine Natural Product. America


Institute Of Biology Science, 271-272.

Chalista, vivid. 2010. Uji Toksisitas Potensi Insektisida Nabati Ekstrak Kulit Batang
R. Mucronata terhadap Larva Spodoptera litura.
http://www.ITS-umdergraduate-10.co.id. (diakses pada tanggal 2 November
2016)

Ciminiello, P. dkk. 1987. Can. J. Chem., 65, 518-522.


http://www.litbang.deptan.go.id/ warta-ip/pdf-file/abdinegara-12.pdf.
(Diakses pada tanggal 16 November 2016)

Dachriyanus. 2004. Analisis Struktur Senyawa Organic Secara Spektroskopi. Padang:


Andalas University Press.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia. Jakarta:


Depkes RI.

Ditjenbun. 2004. Statistik Perkebunan Indonesia. Jakarta: Diektorat Jenderal Bina


Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian.
Djamal, R. 1990. Prinsip-Prinsip Dasar Bekerja Dalam Bidang Kimia Bahan Alam.
Padang: Universitas Andalas Press

25
Dong Li Li, Xiao-Ming Li, dan Bin-Gui Wang. 2007. Flavanol Derivatives from
Rhizophora stylosa and their DPPH Radical Scavenging Activity.
Molekul. ISSN 1420-3049.

Ely, R., T. Supriya, dan C. G, Naik. 2004. Antimicrobial Activity Of Marine


Organisms Collected Off The Coast Of South East India. Elsevier Sciences,
309, 121-127.

Fisher, L. F. dan K. L. Williamson. 1992. Organic Experiment (7th ed). Lexington,


Massachusets, Toronto: D.C. Health and Company.

Gritter, R. J., J. M. Bobbitt, dan A. E. Scharwarting. 1991. Introduction to


chromatography (pengantarkromatografi). (Edisi II). Penerjemah: Kokasih
Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB.

Habazar, T., dan Rivai, F. 2004. Bakteri patogenik tumbuhan. Padang: Andalas
University Press.

Handayani, D., Almahdy A, dan Ali F. 2006. Isolasi Senyawa Larvasida dari Fraksi
Nonpolar Spon laut Axinella carteri Dendy. Jurnal Sains Teknologi
Farmasi, Vol. 11(2).

Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia.(Penerjemah K.Padmawinata dan I. Soediro.


Penyunting S.Niksolihin).Bandung: Penerbit ITB.

Ikan, R. (1991). Natural product, a laboratory guide. (2nd Ed). San Diego, California:
Academic Press inc.

Jasin, M. (1984). Zoologi Invertebrata Untuk Perguruan Tinggi. Surabaya: Sinar


Wijaya.

Kanagasabhapathy, M., Sasaki, H., Nakajima, K. Nagatan, K., & Nagata, S. (2005).
Inhibitory activities of surface associated bacteria from the marine sponge
Pseudoceratina purpurea. Microbes and Enviroment, 20, 178-185.

Lay, B. W. (2001). Analisis mikroba di laboratorim. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Mahmud, M. (1985). Pengamatan Penyakit Pustul dan Hawar Bakteri Kedelai.


Dalam Prosiding Kongres Nasional dan Seminar Ilmiah VIII PFI di
Surabaya, hal. 35-37.

Mann, J. (1994). Chemical aspect of biosynthesis (1st Ed).Oxford, New York: Oxford
University Press.

26
Markham, K.R., 1988. Cara Identifikasi Flavonoid. Penerjemah: Padmawinata, K.
Bandung: Penerbit ITB

Miller, L.P. (1973). Phytochemistry (Vol. II). Van Strand Reinhold Company, New
York, Cincinnati, Toronto, London, Melbourne.

Negara, A. 2003. Penggunaan Analisis Probit untuk Pendugaan Tingkat Kepekaan


Populasi Spodoptera exigua terhadap Deltrametrin Di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Informatika Pertanian. Vol. 12.

Takara, Kensaku; Ayako Kuniyoshi, Koji Wada, Kazuhiko Kinjyo, and Hironori
Iwasaki. 2008. Antioxidative Flavan-3-ol Glycosides from Stems of
Rhizophora stylosa. Biosci. 72, 2191-2194.

27

Anda mungkin juga menyukai