Anda di halaman 1dari 12

PORTOFOLIO

PRAKTIKUM TEKNOLOGI SEDIAAN FITOFARMASETIKA

“Pembuatan Ekstrak Tanpa Pengeringan”


Pertemuan ke-5

Dosen Pengampu

apt. Ghani Nurfiana F.S, M. Farm

Kelompok : 1

Penyusun :

1. Fordiana Eka Puspitasari (24185595A)


2. Fauzia Rahmani (24185598A)
3. Melaningsih (24185600A)
4. Astatin Ardhiasari (24185603A)
5. Resy Budi Ramadanti (24185619A)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SETIA BUDI

SURAKARTA

2020
A. TUJUAN
Setelah mengikuti praktikum ini mahasiswa mampu melakukan preparasi simplisia
tanpa pengeringan yaitu dengan proses pembuatan yang memperlukan air dan dengan
proses khusus.

B. DASAR TEORI
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah
dikeringkan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia
pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian
tanaman atau eksudat tanaman. Yang dimaksud eksudat tanaman ialah isi sel yang secara
spontan keluar dari tanaman atau yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau
zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya.
Bengkuang (Pachyrrhizus erosus)
Menurut sejarahnya, tanaman bengkuang berasal dari daerah Amerika Tengah dan
Selatan, khususnya daerah Meksiko. Awalnya tanaman bengkuang dianggap sebagai obat-
obatan oleh suku Aztec, terutama karena manfaat bijinya. Selanjutnya oleh bangsa
Spanyol, bengkuang disebarkan ke daerah Filipina. Kedatangan bangsa Spanyol ke Asia
pada abad ke-17 tersebut mempunyai andil besar dalam menyebarkan tanaman bengkuang,
hingga ke seluruh negara Asia dan Pasifik.Tanaman bengkuang masuk ke Indonesia dari
Manila melalui Ambon. Berawal dari Ambon, bengkuang kemudian dibudidayakan di
seluruh pelosok negeri ini. Sentra produksi bengkuang saat ini adalah Jawa, Madura, dan
di beberapa daerah lain, terutama di dataran rendah.Varietas yang banyak dibudidayakan
di Indonesia adalah bengkuang gajah dan bengkuang badur. Perbedaan di antara kedua
jenis bengkuang ini adalah waktu panennya. Varietas bengkuang gajah dapat dipanen
ketika usia tanam memasuki empat sampai lima bulan. Varietas bengkuang badur memiliki
waktu panen lebih lama. Jenis ini baru dapat dipanen ketika tanamannya berusia tujuh
sampai sebelas bulan.Dalam praktik budi daya, tanaman bengkuang sering ditanam di sela-
sela tanaman lada. Hal ini dikarenakan akar tanaman bengkuang memiliki kemampuan
untuk bersimbiosis dengan Rhizobium yang dapat menambat nitrogen dari udara.Dengan
kondisi berbagai iklim, khususnya tropis basah, bengkuang dapat beradaptasi dan tumbuh
dengan baik. Keberadaan tanaman bengkuang yang dapat memfiksasi nitrogen membuat
suplai nitrogen bagi tanaman lada tercukupi, sehingga tidak perlu penambahan unsur
nitrogen dari luar (berupa pupuk urea).Umbi bengkuang tidak tahan suhu rendah, sehingga
mudah mengalami kerusakan. Karena itu, umbi sebaiknya disimpan pada tempat kering
bersuhu maksimal 16°C. Penyimpanan umbi pada kelembaban dan suhu yang sesuai akan
membuat bengkuang tahan hingga sekitar 2 bulan.
Adapun nama simplisia pada bengkuang (Pachyrrhizus erosus), yaitu :
a. Pachyrrhizus erosus Semen : biji bengkuang
b. Pachyrrhizus erosus Radix : akar bengkuang
Klasifikasi Ilmiah Bengkuang (Pachyrrhizus erosus)
Berdasarkan ilmu taksonomi tanaman, bengkuang (Pachyrrhizus erosus) dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae (suku polong-polongan)
Genus : Pachyrrhizus Spesies : Pachyrrhizus erosus (L.) Urban
Morfologi Bengkuang (Pachyrrhizus erosus)
Herba membelit, panjang 2-5 m. Akar utama bentuk umbi,diameter 5-15 cm.
Batang dengan rambut panjang yang mengarah ke bawah: poros daun dengan tangkai 8,5-
16 cm. Anak daun runcing, sepanjang tepi atas bergigi kasar bertekuk, kedua sisi
berambut; anak daun ujung bentukbelah ketupat, 7-21 kali 6-20 cm;anak daun sedikit lebih
kecil. Tandan bunga diujung atau duduk di ketiak, sendiri atau berkumpul 2-4, panjang
sampai 60 cm, berambut coklat; poros bertonjolan;tonjolan berbunga 7 buah atau kurang;
panjang anak tangkai ± 0,5 cm. Tabung kelopak bentuk lonceng, tinggi ± 0,5 cm; panjang
taju 0,5 cm. Mahkota gundul, ungu kebiru-biruan; bendera pada pangkalnya dengan 2
telinga yang terlipat membaik dan dengan noda yang hijau, panjang ± 2cm;tunas tumpul.
Tangkai pipih, ujung sedikit menggulung; kepala putik di bawah ujung tangkai putik,
bentuk bola; tangkai putik di bawah kepala putik berjanggut. Polongan bentuk garis, pipih,
dengan penyempitan melintang tercetak ke dalam di antara biji, panjang 8-13 cm,
berambut. Biji 4-9. Dari Amerika; terpelihara dan liar, terutama di dataran rendah.
Sifat Kimiawi dan Efek Farmakologis Bengkuang (Pachyrrhizus erosus)
Menurut literatur, efek farmakologis umbi bengkuang adalah manis, dingin, sejuk,
dan berkhasiat mendinginkan. Kandungan kimia bengkuang adalah pachyrhizon, rotenon,
vitamin B1, dan vitamin C.
Umbi bengkuang mengandung protein, fosfor, besi, vitamin A, B1, dan C. Daun
bengkuang mengandung saponin dan flavonoid. Sedangkan biji bengkuang mengandung
saponin, flavonoid dan minyak atsiri. Dalam penelitian berjudul The Exploration of
Whitening and Sun Screening Compounds in Bengkoang Roots (Pachyrrhizus erosus) oleh
Endang Lukitaningsih dari Universitat Wurzburg, Jerman, juga disebutkan bahwa
bengkuang mengandung vitamin C, flavonoid, dan saponin yang merupakan tabir surya
alami untuk mencegah kulit rusak oleh radikal bebas. Selain itu, zat fenolik dalam
bengkuang cukup efektif menghambat proses pembentukan melanin, sehingga pigmentasi
akibat hormon, sinar matahari, dan bekas jerawat dapat dicegah dan dikurangi.umbinya
dapat dimakan, bagian bengkuang yang lain sangat beracun karena mengandung rotenon,
sama seperti tuba. Racun ini sering dipakai untuk membunuh serangga atau menangkap
ikan. Bagian biji dan daun bengkuang mengandung racun. Oleh karena itu, untuk
menghindari keracunan jumlah penggunaan dari dua bagian tumbuhan tersebut perlu
diperhatikan.
Lidah Buaya (Aloe vera L.)
Lidah buaya merupakan tanaman sukulen berbentuk roset dengan tinggi 30-60 cm
dan diameter tajuk 60 cm atau lebih. Daunnya berdaging, kaku, lancip (lanceolate) dengan
warna daun hijau keabu-abuan dan memiliki bercak putih (Setiabudi, 2009). Lidah buaya
merupakan 4 tumbuhan berbatang pendek yang tidak terlihat karena tertutup oleh
daundaun yang rapat dan sebagian terbenam dalam tanah, melalui batang inilah muncul
tunas-tunas yang selanjutnya akan menjadi tanaman anak. Lidah buaya tahan terhadap
kekeringan karena di dalam daunnya banyak tersimpan cadangan air yang dapat
dimanfaatkan pada waktu kekurangan air. Permukaan daun dilapisi lilin dengan duri lemas
di pinggirnya. Akar lidah buaya berupa akar serabut yang pendek dan berada di permukaan
tanah, panjangnya sekitar 50-100 cm (Agoes, 2010). Lidah buaya mempunyai sekitar 300
spesies. Daun lidah buaya yang berdaging tebal dikupas kulitnya, terdapat cairan kuning
yang rasanya pahit dan bagian dalam menghasilkan gel pekat. Perbanyakan dengan
pemisahan anakan (Dalimartha, 2008).
Lidah buaya merupakan tumbuhan yang dapat tumbuh di berbagai daerah dan di
berbagai negara maka dari itu lidah buaya memiliki berbagai nama yang sesuai dengan
nama daerah atau negara tersebut. Sinonim : Aloe barbadensis Miller, Aloe ferox Miller,
Aloe vulgaris Lamk. Nama Daerah : lidah buaya (Indonesia), jadam (Malaysia), crocodile
tongue (Inggris). Nama Asing : Lu hui (Cina), salvila (Spanyol). Nama simplisia : Aloe
(konsentrat kering dari jus daun lidah buaya) (Dalimartha, 2008).
Sistematika Tanaman Lidah Buaya (Aloe vera L. Webb)
Kedudukan tanaman lidah buaya (Aloe vera L. Webb) :
Devisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Anak Kelas : Liliidae
Bangsa : Liliales
Suku : Liliaceae
Marga : Aloe
Jenis : Aloe barbadensis Mill.
Sinonim : Aloe vera (L.) W
Morfologi Lidah Buaya Lidah buaya merupakan tumbuhan liar di tempat yang
berhawa panas. Akan tetapi, dapat juga ditanam di dalam pot dan pekarangan rumah
sebagai tanaman hias. Lidah buaya memiliki ciri-ciri, yaitu daun agak runcing berbentuk
taji, tebal, getas dan tepinya bergerigi atau berduri kecil. Permukaan daun berbintik-bintik
dan memiliki panjang 15-36 cm dan lebar 2-6 cm. Bunga lidah buaya bertangkai dengan
panjang 60- 90 cm dan berwarna kuning kemerahan (jingga). Lidah buaya banyak
ditemukan di Afrika bagian Utara dan Hindia Barat. Bagian tanaman yang dapat
digunakan yaitu batang, daun, bunga, dan akar.
Tanaman lidah buaya berbatang pendek sehingga tidak terlihat karena tertutup oleh
daun-daun yang rapat dan sebagian batang terbenam dalam tanah. Dari batang ini, akan
muncul tunas-tunas yang selanjutnya menjadi anakan. Lidah buaya yang bertangkai
panjang juga muncul dari batang melalui celah-celah atau ketiak daun. Untuk
memperbanyaknya, batang lidah buaya dapat disetek. Peremajaan tanaman ini dapat
dilakukan dengan cara memangkas habis daun dan batangnya. Kemudian, dari sisa tunggul
batang ini akan muncul tunas-tunas baru atau anakan.
Daun tanaman lidah buaya berbentuk pita dengan helaian memanjang. Daunnya
berdaging tebal, tidak bertulang, berwarna hijau keabu-abuan, bersifat sukulen (banyak
mengandung air), dan banyak mengandung getah atau lendir (gel) sebagai bahan baku
obat. Tanaman lidah buaya dapat bertahan hidup pada kondisi kekeringan karena memiliki
daun yang banyak menyimpan cadangan air. Cadangan ini digunakan ketika kekurangan
air. Bentuk daun lidah buaya menyerupai pedang. Ujung meruncing, permukaan daun
dilapisi lilin, dengan duri lemas di pinggirnya. Panjang daun mencapai 50-75 cm dan berat
0,5-1 kg. Posisi daun melingkar rapat di sekeliling batang secara berselang-seling.
Lidah buaya mengandung saponin, salisilat, asam amino, mineral, vitamin A, B1,
B2, B6, B12, C, E, dan asam folat. Kegunaan dari tanaman lidah buaya adalah
menyuburkan rambut, luka bakar, atau tersiram air panas, bisul, jerawat, noda-noda hitam,
untuk perawatan kulit (scrub, tabir surya, dan anti gigitan serangga), bahan kosmetik dan
pelembab (pH yang seimbang dengan kulit). Penyakit lainnya dapat menurunkan
kolesterol, mengobati serangan jantung, mengobati wasir, cacingan, susah buang air kecil,
sembelit, batuk yang membandel, diabetes militus, radang tenggorokan, pencegah infeksi
lambung dan usus dua belas jari (Rahayu, 2011:10).
C. ALAT DAN BAHAN

D. CARA KERJA

Buatlah skema kerja mulai dari cara pengumpulan simplisia, pembuatan serbuk simplisia
hingga mendapatkan ekstrak secara sistematis dan tuliskan tujuan dari setiap tahapnya contoh
(sortasi basah dilakukan dengan tujuan meghilangkan pengotor yg berasal dari tanah dll.)
Lengkapi dengan gambar yang mewakili langkah kerja tersebut (bisa dari foto atau screenshoot
video) dan cantumkan sitasi.literaturnya.

Sampel simplisia (jadi 1 portofolio)


1. Pembuatan ekstrak bengkuang
2. Pembuatan ekstrak lidah buaya

E. HASIL/DATA

No Simplisia Bobot Bobot Sari


Bahan Bengkuang (g)
Segar (g)

1 Bengkuang 3.000 125

Hitung rendemen sari bengkuang:

Rumus Rendemen = X 100 %

= x 100 %
= 4, 166 %

No Simplisia Bobot Bobot


Bahan Ekstrak (g)
Segar (g)
1 Lidah 10.000 930
buaya
Hitung rendemen sari bengkuang dan ekstak lidah buaya:

Rumus Rendemen = X 100 %

= X 100 %
= 9,3 %
F. PEMBAHASAN
Pembuatan ekstrak bengkoang dalam buku praktikum terdapat 2 metode. Metode
yang pertama bengkoang di haluskan menggunakan blender dengan air selama 1
menit,ampas dibuang,selanjutnya air hasil perasan dari umbi bengkoang diendapkan dalam
beaker glass 1000 ml dan 2000 ml semalaman (overnight) pada suhu ruang Supernatan
dibuang setelah dipastikan sari bengkoang mengendap di bagian bawah beaker glass. Sari
bengkoang di tuang dalam loyang dan di oven pada suhu 45°C sampai kering selama 120
jam (5 hari). Setelah kering, sari bengkoang dikering anginkan pada suhu ruang selama 15
menit, kemudian di blender selama 1 menit sampai halus dan di ayak sehingga di hasilkan
sari umbi bengkoang dalam bentuk serbuk halus.
Sedangkan pada metode 2 umbi bengkuang dibersihkan, diparut, dan diperas. Hasil
perasan dibiarkan selama beberapa jam sampai terbentuk endapan. Selanjutnya disaring
dan airnya dibuang. Endapan dikeringkan dalam oven suhu 50°C selama 24 jam.
Diperoleh serbuk pati bengkuang yang kemudian diayak dengan pengayak mesh 120.
Perbedaan dari kedua metode, pada metode 1 untuk mendapatkan serbuk halus waktu yang
dibutuhkan lebih lama,suhu yang digunakan pada pengeringan juga berbeda. Pada
penyerbukan metode 1 penyerbukan sari bengkongan diblender,sedangkan metode 2 tidak.
Jika dilihat dari cara kerja nya kemungkinan serbuk bengkoang dengan metode 1 hasil
lebih halus daripada metode 2. Penggunaan suhu yang rendah mengakibatkan pengeringan
lambat sehingga tekstur bengkuang hasil pengeringan menjadi keras dan sulit untuk
digiling atau dihaluskan.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari Herudiyanto dan Agustina (2009), bahwa
tingkat tekstur bahan akan mempengaruhi proses penggilingan dimana bahan yang lebih
keras akan menghasilkan partikel yang lebih besar. Sedangkan di jurnal bengkoang
diblender dengan air panas dipanaskan di waterbath selama kurang lebih 1 jam kemudian
disaring,diendapkan selama 18 jam,kemudian di sentrifugasi selama 15 menit hingga
terdapat endapan lalu dikeringkan hingga serbuk kering dan ditumbuk atau di haluskan.
Serbuk sari bengkoang yang diperoleh harus benar benar halus agar saat dibuat sediaan
masker peel off serbuk tidak kasar dan menggumpal saat di aplikasikan di wajah.
Pengukuran rendemen tepung bengkoang dilakukan untuk mengetahui tingka
keberhasilan proses mendapatkan pati bengkoang. Cara kerja di jurnal berbeda dengan
buku praktikum karena yang diambil atau yang dibutuhkan bukan serbuk sari bengkoang
tetapi ekstrak air nya untuk di uji adanya inulin pada bengkoang.Penggunaan pengayakan
menggunakan ayakan mesh 120, serbuk sari bengkoang yang diperoleh harus benar benar
halus agar saat dibuat sediaan masker peel off serbuk tidak kasar dan menggumpal saat di
aplikasikan di wajah.
Semakin besar hasil rendemen yang diperoleh semakin baik kualitas pati
bengkoang yang didapat karena menandakan keberhasilan dari proses produksi.
Pengukuran rendemen tepung bengkuang dengan cara membandingkan berat tepung yang
dihasilkan dengan berat awal bahan (bengkoang) sebelum mengalami proses dengan
jumlah sebesar 1000 gram. temperatur dan waktu pengeringan pati bengkoang
memberikan pengaruh terhadap rendemen tepung yang dihasilkan. Semakin tinggi
temperatur pengeringan yang digunakan, semakin tinggi rendemen tepung bengkoang
yang dihasilkan. Begitu pula dengan penggunaan waktu pengeringan, semakin lama waktu
pengeringan semakin tinggi rendemen pati bengkoang yang dihasilkan. Penggunaan
temperatur pengeringan yang rendah mengakibatkan proses pengeringan berjalan lambat,
hal ini dikarenakan kadar air pada potongan bengkuang yang dikeringkan belum berkurang
secara optimal. Hasil rendemen dari data diatas dari bobot awal simplisia segar 3000 dan
bobot sari akhir 125 diperoleh sebesar 4,166%
Untuk mendapatkan ekstrak kental lidah buaya hal yang harus dilakukan adalah
tanaman lidah buaya yang sudah dipanen dicuci dengan air mengalir,pencucian bertujuan
untuk membersihkan batang lidah buaya dari kotoran yang menempel seperti tanah
maupun getahnya. Setelah dicuci, lidah buaya di potong pangkal dan ujung lidah buaya,
selanjutnya lidah buaya diiris untuk memisahkan kulit dan dagingnya. Daging lidah buaya
yang sudah diiris tipis-tipis dan selanjutnya dilakukan pengekstrakan dengan metode
maserasi.
Ekstraksi pada penelitian ini dilakukan menggunakan metode maserasi. Metode
ini dilakukan dengan merendam 300 gram serbuk simplisia dengan pelarut etanol 70%
dengan perbandingan 1 : 10 selama 2x24 jam sambil sesekali dikocok hal ini bertujuan
untuk menghancurkan kesetimbangan dalam sistem tersebut. Kemudian maserat yang
diperoleh disaring 2 kali dengan menggunakan kain flanel dan kertas saring.
Penyaringan dengan kain flanel terlebih dahulu dilakukan agar mempermudah pada saat
ekstrak disaring dengan kertas saring, lalu residu dilarutkan kembali dengan pelarut
etanol 70% secara berulang sampai tersari sempurna. Maserat yang didapatkan
kemudian diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu dibawah 60 <60⁰C, hal ini
bertujuan agar ekstrak tidak rusak sehingga diperoleh ekstrak kental (semi padat).
Rotary evaporator berfungsi untuk memisahkan suatu pelarut (solvent) dari
sebuah larutan, sehingga akan menghasilkan ekstrak dengan kandungan atau konsentrasi
lebih pekat atau sesuai kebutuhan. Ketika proses ekstraksi dengan maserasi, ruang
dalam wadah tempat ekstraksi harus tersisa minimal 30% untuk proses aerasi. Prinsip
ekstraksi menggunakan maserasi ini yaitu adanya difusi cairan penyari ke dalam sel
tumbuhan yang mengandung senyawa aktif. Difusi tersebut mengakibatkan tekanan
osmosis dalam sel menjadi berbeda dengan keadaan diluar. Senyawa aktif kemudian
terdesak keluar akibat adanya tekanan osmosis didalam dan diluar sel (Dean, 2009).
Setelah didapatkan ekstrak kental daging lidah buaya, ditambahkan bahan pengawet
0,1% yang bertujuan agar tidak akan tumbuh bakteri selama penyimpanannya untuk
dijadikan sediaan karena gel ini banyak mengandung air.
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan
peralatan yang digunakan sederhana. Sedangkan kerugian dari maserasi adalah
pengerjaan lama dan penyarian kurang sempurna. Pelarut yang digunakan dalam metode
maserasi adalah etanol 70%, pemilihan pelarut etanol 70% bertujuan untuk menarik
semua komponen kimia di dalam meniran karena pelarut etanol merupakan pelarut
universal yang dapat menarik senyawa-senyawa yang larut dalam pelarut non polar
hingga polar, dengan indeks polaritas sebesar 5,2. (Snyder, 1997). Pelarut etanol 70%
dipilih karena senyawa fenol yang terdapat pada daun meniran memiliki sifat polar,
sehingga untuk mengekstrak senyawa fenol dipilih pelarut yang juga polar. Pelarut
etanol 70% merupakan pelarut polar sehingga tepat digunakan untuk mengekstrak
senyawa fenolik, karena berdasarkan prinsip like dissolves like menyatakan bahwa
suatu pelarut akan cenderung melarutkan senyawa yang mempunyai tingkat kepolaran
yang sama dimana pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan sebaliknya.
Rendemen merupakan perbandingan jumlah (kuantitas) ekstrak yang dihasilkan
dari ekstraksi tanaman. Rendemen menggunakan satuan (%) dimana semakin tinggi
nilai rendemen yang dihasilkan menandakan nilai ekstrak yang dihasilkan semakin
banyak. Kualitas ekstrak yang dihasilkan biasanya berbanding terbalik dengan jumlah
rendemen yang dihasilkan. Semakin tinggi nilai rendemen yang dihasilkan maka
semakin rendah mutu yang didapatkan. Dari data praktikum didapat bobot ekstrak
sebesar 930 gr dari 10.000gr bobot bahan segar, dengan rendemen 9,3%. Sedangkan
pada data dari jurnal didapat bobot ekstrak sebesar 35gr dari 285 gr bobot bahan segar,
dengan rendemen 12,28%. Dari sini dapat dikatakan antara data praktikum dan data
jurnal,yang memiliki nilai ekstrak lebih tinggi adalah data dari jurnal. Sedangkan untuk
kualitas ekstrak yang dihasilkan, kualitas ekstrak data praktikum lebih baik dari pada
kualitas ekstrak data jurnal. Meskipun begitu, menurut hasil perhitungan rendemen lidah
buaya (aloe vera) baik data dari praktikum maupun dari jurnal sama-sama sudah
memenuhi persyaratan pada Suplemen I Farmakope Herbal Indonesia halaman 60, yaitu
rendemen tidak kurang dari 0,4%.
Perbedaan randemen dalam penelitian dan dari jurnal pada tanaman yang sama
dapat dikarenakan pada asal simplisia yang digunakan. Asal simplisia mempengaruhi
kadar sari zat aktif dari suatu tanaman yang menyebabkan randemen tanaman juga
berbeda.
G. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

I. DAFTAR PUSTAKA
Format :
1). Pengarang satu orang
Johnson MW. 1987. Parasitization of Liriomyza spp (Diptera: Agromyzidae) infesting
commercial watermelon plantings in Hawaii. J Econ Entomol 80:56-60, 62.
https://academic.oup.com/jee/article-abstract/80/1/56/758060?
redirectedFrom=fulltext.
2). Pengarang 2-5 orang
Runtunuwu SD, Hartana A, Suharsono, Sinaga MS. 2000. Penanda molekuler sifat ketahanan
kelapa terhadap Phyphthora penyebab gugur buah. Hayati 7:101-105.
http://perkebunan.litbang.pertanian.go.id/dbasebun/asset_dbasebun/Penerbitan-
20141207 111430.pdf
3). Pengarang lebih dari lima orang
Wilkinson MJ et al. 2000. A direct regional scale estimate of transgene movement from
genetically modified oilseed rape to its wild progenitors. Mol Ecol 9:983-991.
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1046/j.1365-294x.2000.00986.x?sid=nlm
%3A pubmed
4). Pengarang merupakan organisasi
[SSCCCP] Scandinavian Society for Clinical Chemistry and Clinical Physiology, Committee
on Enzymes. 1976. Recommended method for the determination f γ-
glutamyltransferase in blood. Scand J Clin Lab Invest 36:119-125.
https://www.tandfonline.com/doi/abs/10. 1080/00365517609055236
5). Terbitan sebagai suplemen, sisipan, edisi khusus
Magni F, Rossoni G, Berti F. 1988. BN-52021 protects guinea-pig from heart anaphylaxis.
Pharm Res Commun 20 Supl 5:75-78. https://www.sciencedirect.com/science/
article/pii/S0031698988808452
Rifai MA. 1992. Penggodokan peneliti taksonomi tumbuhan siap pakai. Floribunda 1 Sisipan
3: 22-24.
1). Buku dengan pengarang
Gunawan AW. 2000. Usaha Pembibitan Jamur. Jakarta: Penebar Swadaya.
2). Buku dengan editor
Gilman AG, Rall TW, Nies AS, Taylor P, editor. 1990. The Pharmacological Basis of
Therapeutics. Ed ke-8. New York: Pergamon. hlm 60-65.
3). Buku dengan lembaga atau organisasi
[FMIPA IPB] Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.1996. Katalog Program sarjana FMIPA IPB. Bogor: FMIPA IPB.
4). Buku terjemahan tanpa editor
LAMPIRAN

JUDUL JURNAL
Alamat url : gunakan jurnal yang terkait dengan contoh sampel/simplisia
kel anda

Anda mungkin juga menyukai