Anda di halaman 1dari 12

REFERAT

Hiperplasia Endometrium

Oleh:
Tendi Roby (0815147)
Angretty Sebastian (1015030)
Brigitta Widhayu (1015056)
Rafaela Elleny (1015105)
Puspa Saraswati (1015124)
Fenny Mariady (1015152)

Pembimbing:
dr. Arief, SpOG(K)

KSM/BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


R.S. IMMANUEL/FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
BANDUNG
2015
BAB I
PENDAHULUAN

Hiperplasia endometrium dikenal sebagai lesi pra-kanker dari karsinoma endometrium


tipe I (estrogen-dependent disease) yang ditandai secara klinis dengan adanya perdarahan
uterus yang abnormal. Berkembangnya hiperplasia endometrium yang tidak mendapatkan
terapi menjadi suatu karsinoma endometrium tergantung pada adanya gambaran atipia dan
tingkat kompleksitas kelenjar yang terbagi menjadi simpleks dan kompleks. Hiperplasia
simpleks yaitu dengan terdapatnya peningkatan rasio kelenjar terhadap stroma dengan stroma
yang relatif banyak dan hiperplasia kompleks dengan kelenjar tersusun padat dengan stroma
yang sedikit (rasio kelenjar : stroma > 2 : 1). Insidensinya untuk menjadi karsinoma
endometrium adalah sebagai berikut hiperplasia simpleks (1%), kompleks (10%), simpleks
dengan atipia (30%), dan kompleks dengan atipia (44%). Menurut penelitian Kurman
menunjukkan bahwa kurang dari 10% hiperplasia non-atipik berlanjut menjadi karsinoma
dengan durasi hampir 10 tahun (Hammond & Johnson, 2001).
Hubungan patogenesis berkembangnya hiperplasia endometrium menjadi suatu karsinoma
endometrium dipengaruhi oleh aktivitas paparan estrogen yang mengakibatkan proliferasi
yang tidak terkontrol. Aktivitas proliferasi tersebut seharusnya dikendalikan oleh mekanisme
apoptosis (kematian sel yang terprogram) yang mempunyai peranan dalam proses
karsinogenesis. Proses tersebut tidak hanya dijelaskan secara sederhana dengan adanya
peningkatan stimulasi pertumbuhan sel tetapi juga disebabkan oleh hilangnya faktor supresi
dan pengendali proliferasi sel serta perubahan pada proses apoptosis yang sampai saat ini
masih belum jelas. Hal tersebut ditunjukkan dari penelitian Kurman dkk, dengan selain
didapatkan progresi juga terdapat regresi dari hiperplasia non-atipik simpleks sebanyak 80%
dan kompleks sebesar 79%. (Kaku & Tsukamoto, 1996)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hiperplasia endometrium adalah kondisi abnormal berupa pertumbuhan berlebih


(overgrowth) pada endometrium (Ronald S. Gibbs MD, 2008). Hiperplasia endometrium
mewakili rangkaian kesatuan histopatologi yang sulit dibedakan dengan karakteristik standar.
Lesi ini berkisar antara endometrium anovulasi sampai pre kanker monoklonal (John O.
Schorge, 2008).

Hiperplasia endometrium diketahui sebagai prekursor langsung dari penyakit invasif.


Kebanyakan kanker endometrium timbul setelah perkembangan histologis lesi hiperplastik
dibedakan.

2.2 Etiologi

Hiperplasia endometrium adalah hasil dari stimulasi estrogen secara kontinyu tanpa
dihambat oleh progesteron. Sumber estrogen dapat berasal dari endogen maupun eksogen.
Estrogen endogen dapat menyebabkan anovulasi kronik yang berhubungan dengan
polycystic ovary syndrome (PCOS) atau perimenopause. Obesitas juga tidak menghambat
paparan estrogen berkaitan dengan kadar estradiol yang tinggi secara kronis, hasil dari
aromatisasi androgen dalam jaringan lemak dan konversi androstenedione ke estrone.
Hiperplasia endometrium dan kanker endometrium juga dapat berasal dari tumor ovarium
yang mensekresikan estradiol seperti tumor sel granulosa.

Eksogen estrogen tanpa progesteron juga berhubungan dengan peningkatan resiko


hiperplasia endometrium dan adenocarcinoma. Tamoxifen, dengan efek estrogeniknya pada
endometrium, meningkatan resiko hiperplasia endometrium dan kanker endometrium. Resiko
progresi ke arah kanker berhubungan dengan peningkatan durasi pemakaian.

Mekanisme pasti bagaimana peran estrogen dalam transformasi dari endometrium


normal ke hiperplasia dan kanker tidak diketahui. Perubahan genetik diketahui berhubungan
dengan hiperplasia dan tipe I kanker endometrium. Lesi dengan hiperplasia berhubungan
dengan instabilitas mikrosatelit dan defek pada gen DNA perbaikan. Mutasi PTEN tumor
suppressor gene juga ditemukan pada 55% kasus hiperplasia dan 83% kasus hiperplasia yang
berprogresi ke arah kanker endometrium. (Jing Wang Chiang & Warner K Huh, 2013)

2.3 Klasifikasi

Sistem klasifikasi yang digunakan WHO dan International Society of Gynecological


Pathologists membedakan 4 tipe dengan potensial maligna yang bervariasi. Hiperplasia
diklasifikasikan sebagai simple atau complex berdasarkan ada tidaknya abnormalitas struktur
seperti kompleksitas glandular dan crowding. Hiperplasia ditetapkan sebagai atipikal bila
menunjukkan atipia sitologik (nuclear). Hanya hiperplasia endometrium atipikal yang jelas
berhubungan dengan perkembangan berikutnya ke arah adenocarcinoma. Hiperplasia atipikal
simple adalah diagnosis yang jarang ada. Umumnya hiperplasia atipikal mempunyai struktur
yang kompleks. (John O. Schorge, 2008)

Simple hyperplasia - Peningkatan jumlah glandula tetapi struktur glandula masih


reguler
Complex hyperplasia - Glandula ireguler dan banyak
Simple hyperplasia dengan atypia - Simple hyperplasia dengan adanya cytologic
atypia (nukleoli menonjol dan nuklear pleomorfik)
Complex hyperplasia with atypia - Complex hyperplasia dengan cytologic atypia

Tabel 1. Klasifikasi Hiperplasia Endometrium Menurut WHO


Gambar 2.1 Simple hyperplasia tanpa atypia

Gambar 2.2 Complex hyperpasia tanpa atypia

Gambar 2.3 Simple atypical hyperplasia


Gambar 2.4 Complex atypical hyperplasia

Baru-baru ini, istilah endometrium intraepithelial neoplasia (EIN) telah diperkenalkan


untuk membedakan lebih akurat dua kategori hiperplasia klinis yang sangat berbeda:

1. Endometrium poliklonal yang normal secara difus berespon terhadap lingkungan hormonal
yang abnormal, dan

2. Lesi monoklonal intrinsik proliferatif yang muncul secara fokal dan memberi peningkatan
risiko adenocarcinoma. Nomenklatur ini menekankan potensi ganas prekanker endometrium,
sesuai dengan preseden serupa di leher rahim, vagina, dan vulva.

Dengan sistem ini, anovulasi nonatypical atau endometrium yang terpajan estrogen
berkepanjangan umumnya ditetapkan sebagai hiperplasia endometrium. Sebaliknya,
endometrium neoplasia intraepithelial digunakan untuk endometrium yang premalignant
dengan kombinasi tiga fitur morfometrik, yaitu volume yang glandular, kompleksitas
arsitektur, dan kelainan sitologi. Ssistem klasifikasi EIN adalah cara yang lebih akurat dan
dapat memprediksi perkembangan kanker, tetapi belum dilaksanakan secara universal. (John
O. Schorge, 2008)

2.4 Faktor Resiko

Hiperplasia endometrium paling sering didiagnosa pada wanita post menopause, tetapi wanita
dengan umur berapapun dapat menjadi faktor resiko bila terpapar estrogen yang tidak
terhambat. Hiperplasia endometrium sering pada wanita muda dengan anovulasi kronik
karena PCOS atau obesitas.

2.5 Patogenesis
Siklus menstruasi normal ditandai dengan meningkatnya ekspresi dari onkogen bcl-2
sepanjang fase proliferasi. Bcl-2 merupakan onkogen yang terletak pada kromosom 18 yang
pertama kali dikenali pada limfoma folikuler, tetapi telah dilaporkan juga terdapat padaa
neoplasma lainnya. Apoptosis seluler secara parsial dihambat oleh ekspresi gen bcl-2
yangmenyebabkan sel bertahan lebih lama. Ekspresi dari gen bcl-2 tampaknya sebagian
diregulasi oleh faktor hormonal dan ekspresinya menurun dengan signifikan pada fase sekresi
siklus menstruasi. Kemunduran ekspresi dari gen bcl-2 berkorelasi dengan gambaran sel
apoptosis pada endometrium yang dilihat dengan mikroskop elektron selama fase sekresi
siklus menstruasi. Identifikasi dari gen bcl-2 pada proliferasi normal endometrium sedang
dalam penelitian tentang bagaimana perannya dalam terjadinya hiperplasia endometrium.
Ekpresi gen bcl-2 meningkat pada hiperplasia endometrium tetapi terbatas hanya pada tipe
simpleks. Secara mengejutkan, ekspresi gen ini justru menurun pada hiperplasia atipikal dan
karsinoma endometrium.
Peran dari gen Fas/FasL juga telah diteliti akhit-akhir ini tentang kaitannya dengan
pembentukan hiperplasia endometrium. Fas merupakan anggota dari keluarga tumor necrosis
factor (TNF)/Nerve Growth Factor (NGF) yang berikatan dengan FasL (Fas Ligand) dan
menginisisasi apoptosis. Ekpresi gen Fas dan FasL meningkat pada sampel endometrium
setelah terapi progesteron. Interaksi antara ekspresi Fas dan bcl-2 dapat memberikan
kontribusi pembentukan dari hiperplasia endometrium. Ekspresi gen bcl-2 menurun saat
terdapat progesteron intrauterin sedangkan ekspresi gen Fas justru meningkat.
Studi diatas telah memberikan tambahan wawasan tentang perubahan molekuler yang
kemudian berkembang secara klinis menjadi hyperplasia endometrium. Dibutuhkan
penelitian lebih lanjut untuk mengklarifikasi peran bcl 2 dan Fas/FasL pada patogenesis
molekular terbentuknya hiperplasiaendometrium dan karsinoma endometrium.

2. 6 Diagnosis

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis Hiperplasia


endometrium dengan cara USG, kuretase, melakukan pemeriksaan Hysteroscopy dan
dilakukan juga pengambilan sampel untuk pemeriksaan PA. Secara mikroskopis sering
disebut Swiss cheese patterns.

2.6.1 Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Pada wanita pasca menopause ketebalan endometrium pada pemeriksaan


ultrasonografi transvaginal kira kira < 4 mm. Untuk dapat melihat keadaan dinding cavum
uteri secara lebih baik maka dapat dilakukan pemeriksaan hysterosonografi dengan
memasukkan cairan ke dalam uterus.
Gambar 2.5 USG transvaginal

Diagnosis hiperplasia endometrium dapat ditegakkan melalui pemeriksaan biopsi


yang dapat dikerjakan dengan menggunakan mikrokuret. Metode ini juga dapat menegakkan
diagnosis keganasan uterus. kuretase untuk terapi dan diagnosa perdarahan uterus

Gambar 2.6 Gambaran PA hasil kuretase

2.6.2 Histeroskopi

Histeroskopi adalah tindakan dengan memasukkan peralatan teleskop kecil kedalam


uterus untuk melihat keadaan dalam uterus.Dengan peralatan ini selain melakukan inspeksi
juga dapat dilakukan tindakan pengambilan sediaan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi.

2.7 Diagnosis Banding

Karsinoma endometrium

Abortus inkomplit

Leiomyoma

Polip
2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan bagi penderita hiperplasia, antara lain sebagai berikut:

1. Terapi progesterone

Tujuannya adalah untuk menyeimbangkan kadar hormon di dalam tubuh. Namun


perlu diketahui kemungkinan efek samping yang bisa terjadi, di antaranya mual,
muntah, pusing, dan sebagainya. (Lurain, 2007)

Terapi progestin sangat efektif dalam mengobati hiperplasia endometrial tanpa atipik,
akan tetapi kurang efektif untuk hiperplasia dengan atipik. Terapi cyclical progestin
(medroxyprogesterone asetat 10-20 mg/hari untuk 14 hari setiap bulan) atau terapi
continuous progestin (megestrol asetat 20-40 mg/hari) merupakan terapi yang efektif
untuk pasien dengan hiperplasia endometrial tanpa atipik. Terapi continuous progestin
dengan megestrol asetat (40-160 mg/hari) kemungkinan merupakan terapi yang paling
dapat diandalkan untuk pasien dengan hiperplasia atipikal atau kompleks. Terapi
dilanjutkan selama 2-3 bulan dan dilakukan biopsi endometrial 3-4 minggu setelah
terapi selesai untuk mengevaluasi respon pengobatan. (Lurain, 2007)

2. Histerektomi

Khusus bagi penderita hiperplasia kategori atipik, jika memang terdeteksi ada kanker,
maka jalan satu-satunya adalah menjalani operasi pengangkatan rahim. Histerektomi
adalah terapi yang terbaik untuk penderita hiperplasia endometrium kategori atipik.
(Schorge, Schaeffer, Halvorson, Hoffman, Bradshaw, & Cunningham, 2008)

2.9 Pencegahan
Langkah-langkah yang bisa disarankan untuk pencegahan, seperti:
1. Melakukan pemeriksaan USG dan / atau pemeriksaan secara rutin untuk deteksi dini
ada kista yang bisa menyebabkan terjadinya penebalan dinding rahim
2. Penggunaan estrogen pada masa pasca menopause harus disertai dengan pemberian
progestin untuk mencegah karsinoma endometrium

2.10 Progresifitas
Seperti diketahui bahwahiperplasia endometrium berpotensi berubah menjadi
progresif ke arah karsinoma endometrium. Namun selain menjadi progresif, hiperplasia
endometrium juga dapat mengalami regresi dan jugadapat persisten. (Montgomery, Daum, &
Dunton, 2004)
Tipe Jumlah % Regresi % Persisten % Progresif
Sampel
Sederhana 93 80% 19% 1%
Sederhana 13 69% 23% 8%
dengan Atipia
Kompleks 29 80% 17% 3%
Kompleks 35 57% 14% 29%
dengan Atipia
Semua lesi 48 58% 19% 23%
dengan Atipia

2.11 Prognosis
Umumnya lesi pada hiperplasia atipikal akan mengalami regresi dengan terapi progestin,
akan tetapi memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi ketika terapi dihentikan
dibandingkan dengan lesi pada hiperplasia tanpa atipi.
Penelitian terbaru menemukan bahwa pada saat histerektomi 62,5% pasien dengan
hiperplasia endometrium atipikal yang tidak diterapi ternyata juga mengalami karsinoma
endometrial pada saat yang bersamaan. Sedangkan pasien dengan hiperplasia endometrial
tanpa atipi yang di histerektomi hanya 5% diantaranya yang juga memiliki karsinoma
endometrial. (Wildemeersch & Dhont)
BAB III
KESIMPULAN

Hiperplasia Endometrium adalah suatu kondisi di mana lapisan dalam rahim


(endometrium) tumbuh secara berlebihan. Kondisi ini merupakan proses yang jinak (benign),
tetapi pada beberapa kasus (hiperplasia tipe atipik) dapat menjadi kanker rahim.
Endometrium merupakan lapisan paling dalam dari rahim. Lapisan ini tumbuh dan
menebal setiap bulannya dalam rangka mempersiapkan diri terhadap terjadinya kehamilan,
agar hasil konsepsi bisa tertanam. Jika tidak terjadi kehamilan, maka lapisan ini akan keluar
saat menstruasi.
Risiko terjadinya hiperplasia endometrium bisa tinggi pada: usia sekitar menopause,
menstruasi yang tidak beraturan atau tidak ada haid sama sekali, over-weight, diabetes, SOPK
(PCOS), mengonsumsi estrogen tanpa progesteron dalam mengatasi gejala menopause.
Gejalanya yang biasa/ sering adalah perdarahan pervaginam yang tidak normal (bisa haid
yang banyak dan memanjang).
DAFTAR PUSTAKA

Hammond, R., & Johnson, J. (2001). Endometrial Hyperplasia. Curr Obstet Gynecol.

Jing Wang Chiang, M., & Warner K Huh, M. (2013, March 13). Retrieved February 27, 2015, from
http://emedicine.medscape.com/article/269919-overview#showall

John O. Schorge, M. J. (2008). Williams Gynecology. The McGraw-Hill Companies, Inc.

Kaku , T., & Tsukamoto, N. (1996). Endometrial Carcinoma Associated with Hyperplasia.

Lurain, J. R. (2007). Uterine Cancer. In J. S. Berek, Berek & Novak's Gynecology (14th Edition ed.,
pp. 1343-1403). Lippincott Williams & Wilkins.

Montgomery, B., Daum, G., & Dunton, C. (2004). Obstetrical and Gynecological Survey.
Endometrial Hyperplasia: A Review , 368-378.

Ronald S. Gibbs MD, B. Y. (2008). Danforth's Obstetrics and Gynecology Tenth Edition. Lippincott
Williams & Wilkins.

Schorge, J. O., Schaeffer, J. I., Halvorson, L. M., Hoffman, B. L., Bradshaw, K. D., & Cunningham, F.
G. (2008). Endometrial Cancer. In J. O. Schorge, J. I. Schaeffer, L. M. Halvorson, B. L. Hoffman, K.
D. Bradshaw, & F. G. Cunningham, Williams Gynecology. McGraw-Hill.

Wildemeersch, D., & Dhont, M. (n.d.). American Journal of Obstretics and Gynecologics. Treatment
of Non Atypical and Atypical Endometrial Hyperplasia With a Levonorgestrel-Releasing Intra Uterine
System , 1-4.

Anda mungkin juga menyukai